Mengapa Isu Ini Penting untuk Kebijakan
Profesionalisme dalam bidang teknik adalah kunci untuk menjaga keselamatan publik, integritas industri, dan kepercayaan masyarakat. Aturan umum yang ditetapkan oleh Department of Licensing and Regulatory Affairs (LARA) di Michigan menggarisbawahi hal ini melalui regulasi ketat terhadap lisensi, relisensi, pendidikan berkelanjutan, serta kode etik insinyur profesional.
Peraturan semacam ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, karena menyajikan contoh bagaimana standar internasional dapat diterapkan untuk memastikan bahwa insinyur tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial. Inisiatif serupa tentang peningkatan kompetensi dapat ditemukan dalam artikel DiklatKerja tentang Training Dasar K3 Pertambangan, yang menekankan pentingnya profesionalitas dan tanggung jawab publik dalam industri berisiko tinggi.
Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Aturan ini memberikan dampak positif yang besar. Pertama, adanya lisensi memastikan hanya individu yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang dapat menggunakan gelar insinyur profesional. Kedua, kewajiban pendidikan berkelanjutan (minimum 30 jam setiap periode) menjamin insinyur tetap mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan regulasi. Ketiga, pengaturan terkait kode etik memperkuat perlindungan terhadap masyarakat dari praktik curang atau tidak etis.
Namun, hambatan juga muncul. Sistem lisensi dan continuing education membutuhkan biaya dan akses sumber daya yang tidak merata. Di negara berkembang, seperti Indonesia, hambatan serupa dapat menyebabkan kesenjangan antara insinyur yang bekerja di kota besar dan mereka yang berada di daerah terpencil. Meskipun begitu, peluang reformasi terbuka luas. Penguatan sistem lisensi, integrasi kursus daring, serta pengawasan ketat atas penerapan kode etik bisa diadopsi untuk memperkuat regulasi nasional.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pertama, Indonesia perlu merumuskan aturan nasional yang mewajibkan lisensi bagi insinyur profesional dengan standar evaluasi kredensial yang transparan dan selaras dengan praktik internasional.
Kedua, continuing education wajib dilembagakan, minimal dengan jumlah jam tertentu per periode, yang dapat dipenuhi melalui kursus online, seminar, publikasi, maupun praktik profesional.
Ketiga, regulasi mengenai kode etik perlu diperkuat dengan penegakan hukum yang jelas, termasuk sanksi administratif maupun pencabutan lisensi bagi pelanggar.
Keempat, pemerintah perlu memberikan insentif agar asosiasi profesi menyediakan program pendidikan berkelanjutan yang mudah diakses, termasuk bagi insinyur di daerah terpencil.
Kelima, sistem pengawasan independen harus dibangun agar lisensi dan stempel profesional benar-benar menjadi simbol kompetensi, bukan sekadar formalitas administratif.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Kebijakan seperti ini berisiko gagal jika tidak disertai pengawasan independen yang kuat. Jika continuing education hanya menjadi formalitas administratif, maka tujuan peningkatan kompetensi tidak akan tercapai. Selain itu, jika lisensi bisa diperoleh dengan jalur pintas atau melalui praktik kolusi, sistem akan kehilangan kredibilitasnya. Perlu keseimbangan antara regulasi yang ketat dengan akses yang inklusif agar kebijakan tidak diskriminatif terhadap insinyur di wilayah dengan akses terbatas.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
Aturan umum insinyur profesional dari LARA memberikan contoh penting bagaimana kebijakan dapat memperkuat profesionalisme teknik melalui lisensi, pendidikan berkelanjutan, dan kode etik. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model ini dengan mengadopsi sistem lisensi nasional, continuing education wajib, dan penegakan kode etik yang kuat. Peta jalan kebijakan ke depan harus mencakup regulasi yang tegas, pengawasan independen, serta akses inklusif agar semua insinyur mampu berkembang sesuai standar global.
Sumber
LARA. (2021). Professional Engineers – General Rules. Department of Licensing and Regulatory Affairs, Michigan, USA.