Peristiwa seperti pandemi global, ketidakstabilan geopolitik, atau bencana alam telah menjadi bagian dari realitas bisnis yang tak terhindarkan. Gangguan yang terjadi di satu belahan dunia sering kali terasa dampaknya di sisi lain, mulai dari terhentinya pasokan bahan baku hingga kenaikan harga produk yang tak terduga. Fenomena ini, yang dalam dunia ilmiah dikenal sebagai "efek riak" dalam rantai pasok (supply chain), bukan sekadar gangguan sporadis. Sebaliknya, sebuah studi empiris terbaru mengungkapkan bahwa ini adalah rantai reaksi yang kompleks, di mana risiko eksternal memicu serangkaian kerentanan internal yang memperparah dampak keseluruhan.
Sebuah tim peneliti yang terdiri dari akademisi di Vietnam dan Jepang, termasuk An Thi Binh Duong dari HUTECH University dan Tho Pham dari Tokyo Keizai University, telah melakukan studi pionir yang mengungkap mekanisme di balik penyebaran efek riak ini.1 Melalui penelitian ini, mereka berupaya mengisi kesenjangan pengetahuan yang selama ini berfokus pada risiko tunggal, dengan menganalisis bagaimana berbagai jenis risiko berinteraksi secara simultan untuk memengaruhi kinerja rantai pasok. Laporan ini akan membawa Anda dalam sebuah investigasi mendalam untuk memahami cetak biru yang mengejutkan tentang bagaimana efek ini menyebar, dan mengapa temuan ini harus mengubah cara kita berpikir tentang ketahanan bisnis di masa depan.
Menggali Temuan Utama: Jaringan Tersembunyi di Balik Kerentanan Rantai Pasok
Selama bertahun-tahun, banyak penelitian tentang manajemen risiko dalam rantai pasok, terutama di industri konstruksi, lebih sering berfokus pada identifikasi dan kuantifikasi dampak dari satu jenis risiko.1 Pendekatan ini, yang melihat risiko sebagai entitas yang terisolasi, sering kali tidak efektif dalam menghadapi situasi dunia nyata, di mana banyak risiko terjadi secara bersamaan dan saling terkait.1 Para peneliti dalam studi ini berargumen bahwa risiko tidak muncul secara independen. Sebaliknya, satu risiko bisa memicu kemunculan risiko lain, menciptakan sebuah jaringan sebab-akibat yang lebih merusak dari sekadar jumlah bagian-bagiannya.
Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti merancang sebuah penelitian empiris berskala besar. Mereka mengumpulkan data dari 207 perusahaan konstruksi di Vietnam melalui survei terstruktur.1 Data ini dikumpulkan sebagai bagian dari sebuah proyek yang didukung oleh pemerintah Jepang untuk mempromosikan pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan di kawasan ASEAN.1 Metode analisis yang digunakan, yaitu
Structural Equation Modeling (SEM), memungkinkan mereka untuk memodelkan hubungan kausal yang kompleks antara berbagai jenis risiko, memetakan bagaimana satu jenis risiko "mendorong" atau "memperparah" risiko lainnya.1
Jaringan Kausal yang Terungkap
Hasil penelitian ini secara mengejutkan memvalidasi dugaan para peneliti tentang sifat sistemik dari risiko. Mereka menemukan bahwa risiko-risiko eksternal, yang sering kali berada di luar kendali langsung perusahaan, secara konsisten memicu jenis risiko internal tertentu. Temuan ini dapat dipetakan dalam sebuah alur sebab-akibat yang jelas:
- Risiko Buatan Manusia (seperti ketidakstabilan politik, masalah hukum, atau krisis ekonomi) terbukti secara signifikan memicu risiko operasional.1
- Risiko Alam (seperti bencana alam atau epidemi) memiliki dampak yang lebih luas, memicu risiko pasokan maupun risiko operasional.1
Risiko pasokan mencakup masalah seperti fluktuasi harga atau kebangkrutan pemasok, sementara risiko operasional meliputi gangguan di dalam perusahaan itu sendiri, seperti perselisihan tenaga kerja, kecelakaan kerja, atau perubahan teknologi.1 Hasil ini menggarisbawahi sebuah fakta krusial: dampak awal dari sebuah bencana tidak berhenti di pintu gerbang perusahaan; ia merembet ke dalam, memicu kerentanan internal yang sudah ada.
Sang Penguat "Efek Riak"
Titik paling penting dan mengejutkan dari penelitian ini adalah identifikasi peran kunci dari risiko operasional.1 Temuan menunjukkan bahwa dampak dari risiko buatan manusia dan risiko alam tidak langsung memengaruhi kinerja perusahaan. Sebaliknya, dampak ini
diperkuat atau diperparah melalui risiko operasional.1 Ini berarti, sebuah gempa bumi atau krisis ekonomi tidak serta-merta merusak kinerja, melainkan memicu gangguan operasional (misalnya, kelangkaan material atau kecelakaan kerja karena tekanan) yang pada akhirnya memiliki konsekuensi buruk terhadap kinerja.
Hubungan ini menjelaskan mengapa banyak strategi mitigasi risiko tradisional yang berfokus pada "titik" sering kali gagal. Misalnya, sebuah perusahaan yang hanya menyiapkan strategi untuk menghadapi bencana alam, tetapi tidak memperkuat fondasi operasional internalnya, akan tetap rentan. Gangguan eksternal akan masuk, memicu kelemahan operasional, dan merusak seluruh sistem. Dalam pandangan ini, risiko operasional bukanlah sekadar efek samping, melainkan merupakan "amplifikasi" atau "penguat" utama dari semua risiko eksternal.
Model penelitian ini mampu menjelaskan $R^{2} = 0.54$, yang berarti model tersebut dapat memprediksi 54% variasi dalam kinerja rantai pasok.1 Angka ini adalah pencapaian yang signifikan, memberikan para manajer keuntungan strategis yang luar biasa. Bayangkan seorang petani yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk memprediksi lebih dari separuh potensi gagal panennya jauh sebelum bibit ditanam, hanya dengan memahami pola cuaca dan jenis tanah. Informasi ini memberikan keuntungan strategis yang luar biasa.
Sebuah Pandangan Realistis: Ketika Prediksi Ilmiah Tak Sesuai Harapan
Sebuah studi ilmiah yang kredibel tidak hanya mempresentasikan apa yang berhasil, tetapi juga apa yang tidak. Sikap transparansi ini justru memperkuat validitas temuan. Para peneliti dalam studi ini secara jujur mengakui bahwa beberapa hipotesis yang mereka ajukan tidak didukung oleh data.1
Secara spesifik, model ini tidak menemukan bukti yang mendukung beberapa hubungan kausal yang diajukan, yaitu:
- Risiko buatan manusia tidak secara langsung memicu risiko pasokan dan risiko permintaan.1
- Risiko pasokan dan risiko permintaan tidak secara langsung menyebabkan risiko operasional.1
- Risiko alam dan risiko permintaan tidak memiliki dampak langsung pada kinerja rantai pasok.1
Meskipun temuan-temuan ini mungkin terlihat seperti kegagalan, para peneliti menawarkan penjelasan yang masuk akal dan memberikan pemahaman yang lebih kaya. Mereka berpendapat bahwa data studi ini hanya dikumpulkan dari perusahaan konstruksi di Vietnam.1 Karakteristik unik dari industri dan geografis ini kemungkinan menjadi alasan mengapa hubungan yang dihipotesiskan dari literatur umum tidak berlaku di sini. Ini bukan berarti hipotesis tersebut salah secara universal, tetapi bahwa "efek riak" bukanlah sebuah hukum universal yang kaku, melainkan sebuah mekanisme yang sangat kontekstual, bergantung pada industri dan lingkungan operasionalnya.
Temuan ini sangat berharga karena ia membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan baru: bagaimana model efek riak ini akan berlaku di industri lain, seperti manufaktur atau teknologi, atau di negara-negara dengan karakteristik ekonomi yang berbeda? Studi ini memberikan landasan yang kuat untuk penelitian selanjutnya, sambil mengingatkan para manajer untuk tidak mengadopsi model mitigasi risiko secara membabi buta tanpa mempertimbangkan konteks spesifik mereka.
Membangun Pertahanan: Kunci Menuju Rantai Pasok yang Tangguh
Temuan dari studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi para manajer dan pembuat kebijakan. Karena risiko operasional teridentifikasi sebagai "penguat" utama dari dampak risiko eksternal, strategi mitigasi harus diprioritaskan di area ini. Dengan mengendalikan kerentanan operasional—seperti dengan meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja, mengurangi perselisihan, dan menginvestasikan dalam teknologi yang lebih efisien—sebuah perusahaan dapat secara signifikan mengurangi kerusakan akibat bencana alam atau krisis buatan manusia yang tidak dapat dihindari.1
Studi ini juga menekankan pentingnya pengembangan resiliensi atau ketahanan rantai pasok.1 Resiliensi bukanlah tentang mencegah semua gangguan, yang merupakan tujuan yang tidak realistis. Sebaliknya, resiliensi adalah tentang membangun kapasitas untuk "menyerap" gangguan dan pulih dengan cepat, mempertahankan kontinuitas operasional bahkan di tengah situasi yang paling kacau.1 Studi ini memberikan bukti empiris bahwa investasi dalam resiliensi, khususnya yang berfokus pada penguatan operasional internal, adalah cara paling efektif untuk mengelola efek riak dan mempertahankan kinerja tinggi.1
Kesimpulan: Dari Data ke Dampak Nyata
Laporan ini dimulai dengan pertanyaan mendasar: mengapa gangguan global begitu merusak bagi rantai pasok kita? Jawabannya, yang disajikan dengan jelas oleh studi ini, bukanlah karena bencana itu sendiri, melainkan karena cara bencana itu diperparah di dalam sistem yang rentan. Temuan ini menjadi pengingat yang kuat bahwa tantangan terbesar bukanlah di luar, tetapi bagaimana sebuah organisasi mengelola kerentanan di dalam sistemnya.
Jika temuan ini diterapkan oleh para manajer dan pembuat kebijakan, mereka berpotensi mengubah cara bisnis beroperasi dalam lanskap global yang tidak pasti. Dengan memprioritaskan mitigasi risiko operasional dan berinvestasi dalam resiliensi, sebuah perusahaan dapat mengurangi biaya kerugian akibat gangguan, meningkatkan efisiensi, dan membangun fondasi bisnis yang jauh lebih stabil dan tahan guncangan dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel:
Duong, A. T. B., Pham, T., Truong Quang, H., Hoang, T. G., McDonald, S., Hoang, T. H., & Pham, H. T. (2024). Ripple effect of disruptions on performance in supply chains: an empirical study. Engineering, Construction and Architectural Management, 31(13), 1-22.