Manajemen Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Mengapa IWRM Membutuhkan Terobesan Teknologi?
Air Pengelolaan sumber daya air semakin kompleks. Di tengah perubahan tekanan iklim, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk, pendekatan konvensional terbukti tidak lagi cukup. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) hadir sebagai solusi holhadir sebagai solusi holistik, namun pelaksanaannya sering terganjal pada dua aspek krusial: minimnya data dandan kurangnya alat bantu teknis . Di akhir tesis Christ Herbert Koffi menawarkan solusi visioner: membangun alat pendukung keputusan berbasis GIS di wilayah Sungai Agneby, Pantai Gading.
Peta Masalah: Krisis Air di Sungai Agneby
Sungai Agneby membentang sepanjang 277 km dengan luas DAS 8.525 km². Meskipun wilayah ini menyimpan potensi udara yang besar, permasalahannya tidak sepele:
Misalnya, data kualitas dan kuantitas udara yang tersebar di berbagai institusi, namun tidak terintegrasi , membuat pengambilan keputusan hampir mustahil dilakukan secara tepat waktu dan akurat.
Solusi Cerdas: Sistem Pendukung Keputusan Berbasis GIS
Dalam tesisnya, Koffi membangun sebuah sistem Web-GIS berbasis open-source, yang mengintegrasikan berbagai komponen:
Alat ini dirancang bukan hanya sebagai alat visualisasi, tetapi juga sebagai platform koordinasi lembaga lintas yang memungkinkan penyusunan kebijakan berbasis data nyata di lapangan.
Apa Saja Temuan Utama?
1. Pemetaan Terintegrasi
Sistem berhasil menyatukan data spasial seperti:
2. Prototipe Web-GIS yang Fungsional
Dengan tampilan yang user-friendly, sistem mampu menyajikan:
3. Potensi Kolaborasi Lintas Sektor
Sistem ini dirancang untuk digunakan oleh:
Kritik dan Analisis Tambahan
✦ Kelebihan Utama:
✦ Tantangan Implementasi:
✦ Perbandingan dengan Studi Serupa
Penelitian seperti Pearson dkk. (2009) dan Zhang dkk. (2009) telah mengembangkan DSS serupa di California dan Tiongkok. Namun, pendekatan Koffi lebih membumi dan sesuai konteks Afrika Barat yang memiliki keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.
Studi Kasus & Relevansi Global
Dalam Skala global, studi ini menjadi model penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi:
UN SDG 6 menjadi acuan kuat di sini: memastikan ketersediaan udara dan pengelolaan berkelanjutan untuk semua. Sistem ini adalah wujud nyata dari tata kelola berbasis data untuk mendukung target tersebut.
Dampak Praktis di Lapangan
Dengan alat ini, para pemangku kepentingan dapat:
Kesimpulan: Dari Prototipe ke Penerapan Nasional
Karya Koffi menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air berbasis data bukan hanya impian teknokratik , tetapi kebutuhan yang mendesak. Di era gangguan iklim dan tekanan urbanisasi, alat seperti ini bisa jadi tulang punggung sistem peringatan dini, pengawasan kualitas udara, hingga perencanaan tata ruang berkelanjutan.
Dengan penguatan regulasi dan dukungan kelembagaan, prototipe ini dapat berkembang menjadi sistem informasi nasional , menjawab kebutuhan riil masyarakat dan lingkungan sekaligus.
Referensi
Koffi, CH (2021). Pengembangan Alat Pendukung Berbasis GIS untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Studi Kasus di Cekungan Sungai Agneby, Selatan Pantai Gading . Institut Ilmu Air dan Energi Universitas Pan-Afrika
Cekungan Bandung
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Bandung, Kota yang Dihimpit Kemajuan dan Krisis Air
Bandung bukan sekadar kota kreatif atau surga wisata, melainkan juga medan pertarungan antara pertumbuhan dan keinginan. Dalam makalah “Daya Dukung Sumber Daya Air di Cekungan Bandung” , peneliti dari LIPI, D. Marganingrum, memaparkan dinamika yang mencemaskan: daya dukung udara di wilayah ini kian berkurang seiring meningkatnya tekanan urbanisasi dan kerusakan lingkungan.
Makalah ini menjadi penting karena mengusulkan pendekatan sistem dinamis untuk memahami krisis udara yang kompleks di kawasan Bandung Raya—sebuah pendekatan yang selama ini belum dominan digunakan dalam tata perencanaan
Dampak Nyata di Lapangan: Dari Rumah Tangga Hingga Hulu Sungai
Krisis air bukan hanya wacana teknis di ruang seminar. Di Bandung, dampaknya nyata dan terasa:
1. Air Bersih Tidak Lagi Merata
Wilayah Bandung Timur dan Selatan sering mengalami kekurangan pasokan air bersih, khususnya saat musim kemarau. Warga di perbukitan bahkan bergantung pada tangki air swasta yang mahal dan tidak selalu higienis.
2. Sungai sebagai “Tempat Sampah Cair”
Sungai-sungai utama seperti Cikapundung dan Citarum bagian hulu mengalami penurunan kualitas drastis karena limbah domestik, industri, dan pertanian. Udara permukaan yang seharusnya bisa menopang kebutuhan, kini justru menjadi sumber penyakit.
3. Ketegangan Sosial dan Ketimpangan Ekonomi
Akses terhadap air berkualitas semakin menjadi indikator kelas sosial. Perumahan elite memiliki sumur artesis dan sistem pengolahan, sementara warga pinggiran harus antre jeriken di musim kering. Hal ini menciptakan kesenjangan yang makin leyang makin lebar.
Integrasi ke Kebijakan Nyata: Dari Dokumen ke Aksi
Salah satu tantangan besar yang disampaikan dalam makalah ini adalah kesenjangan antara kajian ilmiah dan kebijakan implementasi . Konsep daya dukung sering diabaikan dalam penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), apalagi pada skala lokal (RT/RW).
Langkah Nyata yang Bisa Diambil:
Keterkaitan dengan Agenda Global: SDGs dan Keberlanjutan Perkotaan
Kajian ini sangat relevan dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6) yaitu “air bersih dan sanitasi layak untuk semua.” Bandung bisa menjadi model percontohan nasional jika:
Keberlanjutan Selain itu, makalah ini juga mendukung visi Urban Sustainability ala UN- Hala UN-Habitat yang mensyaratkan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan sosial.
Pendekatan Partisipatif: Peran Komunitas dan Akademisi
Penulis juga secara implisit membuka peluang kolaborasi lintas pihak. Tanpa partisipasi masyarakat, semua konsep teknokratis akan gagal di lapangan. Beberapa inisiatif komunitas yang dapat mendukung implementasi daya dukung air:
Tantangan Masa Depan: Iklim, Migrasi, dan Perubahan Gaya Hidup
Daya dukung udara di Bandung bukan hanya ditekan oleh urbanisasi, namun juga oleh perubahan iklim dan migrasi internal .
Tren yang Perlu Diantisipasi:
Tanpa intervensi yang terukur dan sistematis, skenario krisis tidak lagi fiksi, namun kepastian waktu.
Penutup: Saatnya Bandung Menjadi Model Tata Kelola Air Cerdas
Makalah karya D. Marganingrum ini bukan hanya menawarkan wacana, tapi peta jalan ilmiah menuju sistem pengmenuju sistem pengelolaan air yang lebih adil dan berkelanjutan di Cekungan Bandung.
Beberapa simpulan praktis yang perlu diambil:
Jika Bandung ingin tetap menjadi kota yang layak huni dalam 20–30 tahun ke depan, maka udara harus dijaga dengan kecermatan ilmiah dan komitmen sosial-politik yang kuat .
Sumber Referensi
2018 Daya Marganingrum, D. (2018). Daya Dukung Sumber Daya Air di Cekungan BandungKonferensi : Ilmu 118( 1), 012026. DOISeri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan, 118(1), 012026.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Dalam era pembangunan infrastruktur masif di Indonesia, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi simbol ambisi nasional dalam mendorong konektivitas antarwilayah secara cepat dan efisien. Dengan waktu tempuh hanya 36 menit dari Jakarta ke Bandung, proyek ini diharapkan mampu memangkas jarak dan waktu secara signifikan. Namun, di balik ambisi besar tersebut, tersembunyi tantangan yang sangat kompleks, terutama dalam hal manajemen risiko yang melekat dalam proyek konstruksi berskala besar.
Penelitian ini mengadopsi pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kuesioner berbasis skala Likert dan wawancara kepada para profesional proyek. Pengolahan data dilakukan melalui severity index (SI) dan pengkategorian risiko berdasarkan matriks risiko PMBOK 2013. Penelitian ini tidak hanya mengandalkan persepsi lapangan dari 35 responden, tapi juga memvalidasi data melalui wawancara dengan tiga pakar berpengalaman lebih dari 15 tahun di bidang konstruksi jalan.
Lokasi penelitian difokuskan pada wilayah kerja subgrade 11A DK52+846 – DK53+372 di Karawang, dengan total panjang area 526 meter dan lebar 13,6 meter. Pelaksanaan proyek ini dilakukan oleh PT. Wijaya Karya (main kontraktor) dan PT. Eureka Putra Mandiri (subkontraktor), berlangsung selama 9 bulan dari Oktober 2020 hingga Juli 2021.
Temuan Utama: Identifikasi 38 Risiko dan 4 Risiko Dominan
Dari 41 variabel risiko yang diajukan, sebanyak 38 variabel lolos validasi dan digunakan dalam analisis. Berdasarkan hasil severity index dan matriks risiko, ditemukan bahwa:
1 risiko dikategorikan sebagai unacceptable.
14 risiko sebagai undesirable.
23 risiko sebagai acceptable.
0 risiko negligible.
Peneliti kemudian memfokuskan analisis pada 4 risiko dominan dengan dampak paling signifikan terhadap kelancaran proyek, yaitu:
Pengaruh Cuaca terhadap Aktivitas Konstruksi
Risiko ini memiliki probabilitas dan dampak tertinggi (kategori risiko tinggi). Hujan deras, genangan air, dan potensi banjir lokal mengganggu produktivitas dan menghambat mobilisasi alat berat.
Perubahan Spesifikasi Material antara Owner dan Kontraktor
Perbedaan persepsi atau kondisi lapangan menyebabkan material yang digunakan tidak sesuai dengan rencana awal, yang bisa berdampak pada kualitas struktur dan estimasi biaya proyek.
Terganggunya Mobilisasi Alat Berat akibat Medan yang Sulit
Akses ke lokasi proyek yang terjal dan rusak menyebabkan alat berat sulit masuk dan bekerja optimal. Hal ini menghambat progres pekerjaan dan berpotensi meningkatkan biaya operasional.
Kerusakan Jalan Akses Proyek yang Menghambat Pengiriman Material
Jalan rusak, beban kendaraan berat, dan cuaca buruk memperparah kondisi akses jalan, menyebabkan keterlambatan material yang berdampak langsung pada timeline proyek.
Studi Kasus: Strategi Pengendalian Risiko di Lapangan
Sebagai bentuk mitigasi, penulis menyarankan pendekatan pengendalian risiko yang dikembangkan dari wawancara dengan pakar proyek. Beberapa strategi proaktif dan reaktif yang diusulkan antara lain:
Untuk cuaca ekstrem:
Memanfaatkan data klimatologi untuk menghindari bulan-bulan dengan curah hujan tinggi saat menyusun jadwal proyek.
Membuat sistem drainase sementara (parit) dan irigasi untuk menghindari genangan di area kerja.
Menegosiasikan klausul kontrak untuk rescheduling dan penyesuaian Analisa Harga Satuan (AHS) agar tidak menimbulkan penalti.
Untuk masalah spesifikasi material:
Mengkaji ulang penggunaan material baru dari segi teknis dan alat yang sesuai.
Menyusun ulang AHS untuk memperhitungkan biaya pengadaan dan penerapan material yang disesuaikan.
Untuk mobilisasi alat berat:
Menyediakan alat berat cadangan seperti excavator atau bulldozer di lokasi sulit dijangkau.
Menentukan penanggung jawab atas akses proyek dan menegosiasikan pemeliharaan akses dalam kontrak.
Untuk masalah pengiriman material:
Menyiapkan stockpile sementara di area yang dapat dijangkau dump truck.
Melakukan double handling untuk mengangkut material dari stockpile ke lokasi kerja.
Memastikan kendaraan pengangkut dalam kondisi optimal untuk menghindari kerusakan akses akibat beban statis.
Kritik dan Saran: Menuju Manajemen Risiko yang Lebih Tangguh
Salah satu kekuatan utama dari paper ini adalah keterlibatan aktif tim proyek dan validasi ahli dalam menyusun langkah mitigasi yang konkret. Namun, penelitian ini akan lebih kaya bila turut membandingkan hasilnya dengan proyek subgrade serupa di luar negeri, seperti High-Speed Rail di Tiongkok atau Eropa. Ini akan memperluas cakrawala pembaca mengenai standar global dalam mitigasi risiko.
Selain itu, metode severity index yang digunakan memang efektif dalam kuantifikasi risiko, namun akan lebih menarik jika disandingkan dengan pendekatan lain seperti FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) atau Monte Carlo Simulation untuk memberikan lapisan analisis probabilistik yang lebih dalam.
Relevansi dan Implikasi terhadap Industri Konstruksi di Indonesia
Studi ini sangat relevan bagi para praktisi teknik sipil dan manajer proyek di Indonesia, terutama yang terlibat dalam proyek berskala besar. Dalam iklim geografis tropis seperti Indonesia, risiko cuaca bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Selain itu, pendekatan paper ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam pengelolaan kontrak dan pengambilan keputusan berbasis data lapangan yang aktual.
Studi ini juga mencerminkan pentingnya manajemen logistik proyek: mulai dari spesifikasi teknis, pemilihan material yang tepat, hingga perencanaan rute distribusi. Gagalnya antisipasi pada faktor-faktor ini akan berdampak bukan hanya pada jadwal, tetapi juga pada anggaran dan kualitas proyek.
Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Risiko Proyek Infrastruktur yang Lebih Adaptif
Paper ini memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen risiko di proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan menyisir aspek cuaca, spesifikasi teknis, logistik, dan kontraktual secara bersamaan, penulis mampu menunjukkan bahwa risiko proyek bukan hanya masalah teknis, tetapi juga manajerial dan strategis.
Melalui studi kasus pada proyek Subgrade Kereta Cepat Jakarta–Bandung, kita belajar bahwa:
Antisipasi terhadap cuaca ekstrem dan medan yang sulit harus dimasukkan sejak tahap perencanaan proyek.
Negosiasi kontrak tidak hanya soal harga, tapi juga tentang fleksibilitas menghadapi dinamika di lapangan.
Sinergi antara kontraktor utama, subkontraktor, dan manajemen proyek sangat menentukan efektivitas penanganan risiko.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur nasional ke depan, hasil penelitian ini menekankan bahwa kesiapan teknis saja tidak cukup. Manajemen risiko yang holistik dan responsif adalah kunci untuk menjamin keberhasilan proyek berskala besar di tengah ketidakpastian yang kerap muncul di dunia konstruksi.
Sumber asli artikel:
Dicky Ferryawan, Akhmad Dofir. "Evaluasi Manajemen Risiko pada Pelaksanaan Pekerjaan Perkerasan Subgrade (Studi Kasus Proyek Subgrade Kereta Cepat Jakarta - Bandung)." Jurnal Artesis, Vol.2 (2): 110-115. Fakultas Teknik, Universitas Pancasila.
inovasi teknologi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Menggali Masalah Sistemik dalam Dunia Konstruksi
Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berbahaya di dunia, dengan tingkat kecelakaan dan fatalitas yang terus menempati peringkat teratas dibandingkan industri lain. Di Afrika Selatan, seperti juga di banyak negara berkembang lainnya, para pekerja konstruksi terjebak dalam kondisi kerja yang keras, kurang perlindungan, dan rentan terhadap masalah psikologis serta sosial. Tesis karya Priscilla Mageret James ini mengupas secara mendalam isu-isu tersebut, sekaligus menawarkan solusi konkret melalui Employee Assistance Programme (EAP) yang dirancang khusus untuk perusahaan konstruksi menengah.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Penelitian ini tidak sekadar mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun model solusi yang terstruktur. Tujuannya adalah:
Mengungkap kondisi kesejahteraan pekerja konstruksi dari sisi psikologis, sosial, dan fisik.
Menilai kebutuhan mereka terhadap bantuan organisasi.
Menyusun model EAP yang relevan dan praktis untuk meningkatkan performa dan kesejahteraan kerja.
Dengan pendekatan ini, penelitian James menjadi acuan penting dalam pengembangan SDM di sektor konstruksi, terutama dalam lingkungan kerja berisiko tinggi.
Gambaran Industri Konstruksi dan Permasalahan Kesejahteraan
Konstruksi: Profesi dengan Risiko Tertinggi
Berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics (2002), industri konstruksi menyumbang sekitar 20% dari semua kecelakaan kerja fatal di AS. Di Afrika Selatan, 162 kasus kematian pekerja konstruksi dilaporkan hanya dalam satu tahun (2007–2008), dengan biaya klaim mencapai lebih dari R133 juta (sekitar 7 juta USD). Penelitian James menghubungkan angka-angka ini dengan rendahnya perhatian terhadap aspek kesejahteraan pekerja.
Pekerja Konstruksi: Jauh dari Keluarga, Dekat dengan Risiko
Hasil observasi dan wawancara dalam tesis ini menunjukkan bahwa banyak pekerja harus bekerja jauh dari keluarga, menghadapi tekanan emosional, stres berkepanjangan, bahkan kecanduan alkohol. Ini tidak hanya menurunkan performa kerja tetapi juga memperburuk kondisi kesehatan mental dan sosial pekerja.
Metodologi Penelitian: Studi Kasus Kualitatif yang Mendalam
Pendekatan Kualitatif untuk Realitas Lapangan
James menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara semi-terstruktur kepada 34 pekerja laki-laki di perusahaan konstruksi menengah di Western Cape. Dengan metode ini, diperoleh pemahaman mendalam tentang pengalaman hidup para pekerja, tekanan emosional, dan kebutuhan akan dukungan organisasi.
Temuan Utama
93% responden mengaku mengalami stres tinggi akibat tekanan kerja dan jarak dengan keluarga.
76% menyatakan kebutuhan mendesak akan program pendampingan psikososial.
59% menyebut penyalahgunaan alkohol sebagai cara pelarian dari stres.
Temuan ini memperkuat urgensi penerapan EAP sebagai sarana intervensi strategis di tempat kerja.
Model Employee Assistance Programme (EAP) yang Diusulkan
Apa Itu EAP?
Menurut Rober
tson (2006), EAP adalah program yang menyediakan layanan penilaian, konseling jangka pendek, dan rujukan untuk karyawan dan keluarga mereka yang mengalami kesulitan emosional, sosial, atau pekerjaan. Di Afrika Selatan, EAP masih tergolong baru, namun potensial sebagai alat strategis perusahaan.
Komponen Kunci Model EAP yang Disarankan
James menyusun model EAP berdasarkan standar EAPA-SA, yang mencakup:
Desain Program dan Kebutuhan Asesmen: Program harus dimulai dengan survei kebutuhan nyata di lapangan.
Kerahasiaan dan Aksesibilitas: Menjamin privasi pekerja dalam menggunakan layanan.
Sistem Rujukan Terstruktur: Termasuk self-referral, rujukan informal, dan rujukan oleh atasan.
Pelatihan Supervisor: Agar manajemen mampu mendeteksi masalah dini dan memberi respon yang tepat.
Layanan Konseling & Aftercare: Termasuk konseling keluarga, penanganan kecanduan, dan trauma kerja.
Analisis Tambahan dan Relevansi Praktis
Kontekstualisasi di Dunia Industri Saat Ini
Dalam konteks global pasca-pandemi, kesehatan mental menjadi perhatian utama. Laporan WHO (2022) menyebut bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja menyebabkan kerugian ekonomi global mencapai $1 triliun per tahun akibat produktivitas yang hilang. Ini menunjukkan bahwa pendekatan seperti EAP bukan hanya solusi sosial, tetapi juga strategi ekonomi.
Perbandingan Internasional
Jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana EAP sudah lazim sejak 1940-an (berawal dari penanganan alkoholisme), Afrika Selatan baru mulai mengadopsi pendekatan ini pada awal 1980-an. Namun, karena mengadopsi model yang sudah matang, perkembangan EAP di Afrika Selatan berjalan cukup cepat.
Nilai Tambah: Kritik, Kelebihan, dan Tantangan Model EAP
Kelebihan Model James
Fleksibel dan Holistik: Tidak hanya fokus pada masalah individu, tapi juga produktivitas dan budaya kerja.
Berbasis Bukti Lapangan: Menggunakan data empirik dari industri nyata.
Sesuai Konteks Lokal: Mempertimbangkan realitas sosial dan budaya Afrika Selatan.
Tantangan Implementasi
Stigma Sosial: Banyak pekerja enggan mengakui masalah pribadi karena takut dipandang lemah.
Kurangnya SDM Terlatih: Terutama dalam bidang konseling dan kesehatan mental.
Keterbatasan Anggaran: Perusahaan menengah kecil sering kali kekurangan dana untuk program semacam ini.
Rekomendasi dan Implikasi untuk Dunia Konstruksi
Integrasi EAP sebagai Strategi SDM
Tidak hanya sebagai layanan tambahan, tetapi sebagai bagian dari kebijakan manajemen risiko dan produktivitas.
Kampanye Edukasi Karyawan
Menghapus stigma terhadap penggunaan layanan bantuan psikologis di tempat kerja.
Kemitraan dengan Lembaga Eksternal
Menggandeng organisasi kesehatan mental, pusat rehabilitasi, dan konselor profesional.
Evaluasi Berkala dan Umpan Balik
Melakukan pengukuran dampak EAP terhadap produktivitas dan retensi karyawan secara berkala.
Kesimpulan: Mewujudkan Kesejahteraan sebagai Fondasi Produktivitas
Tesis Priscilla Mageret James adalah seruan akademik sekaligus praktis bagi pelaku industri konstruksi untuk tidak lagi menunda penerapan model bantuan karyawan sebagai bagian dari strategi utama perusahaan. EAP bukan hanya soal empati, tetapi juga efisiensi, keberlanjutan tenaga kerja, dan peningkatan profit jangka panjang.
Jika perusahaan ingin membangun struktur yang kokoh, mereka harus lebih dahulu membangun manusia yang sehat secara fisik dan mental. Karena pada akhirnya, kesejahteraan pekerja adalah pondasi dari bangunan apa pun—baik secara harfiah maupun metaforis.
Sumber
James, P. M. (2011). The well-being of workers in the construction industry: a model for employment assistance. Cape Peninsula University of Technology.
[DOI atau tautan resmi tidak tersedia; akses melalui perpustakaan institusi atau permintaan kepada penulis]
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Air, Nyawa Irak yang Kian Menipis
Pernah dijuluki sebagai “negara kaya air” di kawasan Timur Tengah, Irak kini menghadapi ironi yang mencemaskan. Menurut studi yang diterbitkan oleh Journal of Water Resource and Protection (2014) oleh Nadhir Al-Ansari dan tim, Irak diprediksi akan menghadapi krisis udara total pada tahun 2040 jika tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola dan kebijakan airnya. Sungai Tigris dan Efrat—sumber kehidupan sejak zaman Mesopotamia—terancam mengering total.
Artikel ini membedah secara sistematis kondisi terkini, menyebabkan krisis eksternal dan internal, serta solusi kebijakan berbasis strategi manajemen udara terpadu.
Statistik Mengkhawatirkan: Menuju Kehabisan Air
Menurut studi proyeksi:
Kesenjangan antara pasokan dan permintaan ini bukan hanya soal statistik, melainkan ancaman terhadap ketahanan pangan, stabilitas sosial, dan bahkan eksistensi negara.
Sumber Krisis: Faktor Eksternal dan Internal
Faktor Eksternal: Politik Udara dan Perubahan Iklim
Faktor Internal: Mismanajemen dan Infrastruktur Usang
Tigris dan Efrat: Sungai Hidup yang Terancam Mati
Sungai Tigris dan Efrat menyediakan lebih dari 90% pasokan udara di Irak. Tapi data historis menunjukkan:
Dengan konflik geopolitik yang terus berlangsung, pengendalian terhadap sumber ini menjadi rumit dan politis.
Tantangan Utama
1. Ketergantungan lebih pada permukaan udara
92% udara digunakan untuk sektor pertanian, namun efisiensi irigasi hanya 28%. Sistem kanal tua menyebabkan hilangnya besaran udara sebelum sampai ke lahan pertanian.
2. Degradasi Air Tanah
Hanya 5–7% dari total kebutuhan air yang berasal dari air tanah. Namun eksploitasi tanpa pengawasan membuat banyak sumur mulai kering, terutama di wilayah gurun barat.
3. Salinitas dan Penggundulan Tanah
6 juta hektar lahan pinggiran kota kini mengandung garam karena irigasi yang berlebihan dan buruknya drainase. Banyak petani yang meninggalkan lahannya karena tidak lagi produktif.
Strategi Solusi: Dari Proyek Infrastruktur hingga Perubahan Paradigma
Penulis menyarankan lima strategi besar:
1. Visi Nasional Manajemen Udara
Sebuah kerangka kebijakan terpadu berbasis Visi Pengelolaan Air Strategis diperlukan untuk menyinergikan pembangunan, konservasi, dan adaptasi iklim.
2. Modernisasi Sistem Irigasi
3. Penggunaan Udara Non-Konvensional
4. Pendidikan dan Teknologi
5. Kerja Sama Regional
Membangun kerangka diplomasi udara dengan Turki dan Suriah berdasarkan prinsip keadilan dan hak bersama atas sungai lintas negara.
Opini Tambahan: Apa yang Bisa Dipelajari dari Israel dan Australia?
Dua negara ini sukses mengatasi krisis air ekstrem:
Irak bisa meniru sistem distribusi udara berbasis kuota digital dan sistem pemantauan berbasis IoT yang sudah mulai diterapkan di negara-negara tersebut.
Kesimpulan: Menyelamatkan Irak Dimulai dari Menyelamatkan Airnya
Makalah ini merupakan peringatan keras bahwa tanpa tindakan sistematis, Irak bisa menjadi negara tanpa sungai di masa depan. Air bukan lagi sumber daya, tapi sumber krisis.
Namun dengan:
Irak masih bisa menghindari bencana ekologi dan sosial dalam skala besar.
Sumber Referensi:
Al-Ansari, N., Ali, AA, & Knutsson, S. (2014). Kondisi Saat Ini dan Tantangan Masa Depan Masalah Sumber Daya Air di Irak . Jurnal Sumber Daya Air dan Perlindungan, 6, 1066–1098.
Pencemaran Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Wajah Sejuk Malang, Tersimpan Krisis Air
Kota Malang selama ini dikenal sebagai kota berhawa sejuk dan kaya akan sumber mata air. Namun, di balik itu, kota ini tengah menghadapi krisis udara yang kian serius. Artikel oleh Brahmantyo Satrioyudo Wicaksono, yang diterbitkan pada tahun 2024 di ResearchGate, mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Malang mengalami masalah 3T — Too Much , Too Little , dan Too Dirty — yang mencerminkan krisis banjir, kekeringan, dan pencemaran udara sekaligus.
Studi ini tidak hanya menjabarkan masalah, tetapi juga menawarkan pendekatan solutif yang berbasis kolaborasi multiaktor. Artikel ini menjadi penting bagi para pengambil kebijakan, aktivis lingkungan, akademisi, dan warga kota.
Terlalu Banyak: Banjir dan Alih Fungsi Lahan yang Tak Terkendali
Meskipun Malang hanya menerima curah hujan menengah (51–150 mm per bulan), fenomena banjir semakin sering terjadi. Sejak tahun 2019 hingga 2022, terjadi lebih dari 700 kejadian banjir, dengan 211 kejadian hanya dalam satu tahun terakhir.
Penyebab utama banjir bukan semata-mata karena hujan ekstrem, tetapi:
Tanpa tindakan korektif terhadap tata ruang, Malang terancam menjadi kota yang tidak layak huni saat musim hujan.
Terlalu Sedikit: Kekeringan Mengancam di Musim Kemarau
Ironisnya, saat musim kemarau tiba, Malang juga kekurangan air bersih. Studi yang dirujuk dalam artikel (Millah, 2019) menunjukkan bahwa kecamatan seperti Jabung, Singosari, dan Lawang masuk kategori sangat kritis dengan indeks kekeringan di atas 200%.
Faktor penyebab:
Perhitungan kebutuhan udara domestik menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat melebihi 75% dari ketersediaan udara, menandakan tingkat krisis yang memprihatinkan.
Terlalu Kotor: Sungai yang Menjadi Tempat Sampah Raksasa
Pencemaran air menjadi masalah akut lainnya. Studi DLH Kota Malang menunjukkan bahwa 26 dari 27 titik sungai yang dipantau sudah masuk kategori kritis. Penyebab utama:
Data dari Wahyono dkk. (2021) menunjukkan bahwa dari 32 sampel air sungai, 23 di antaranya melebihi batas BOD, COD, dan TSS berdasarkan PERMEN LH No. 68 Tahun 2018. Artinya, air sungai tidak layak dikonsumsi bahkan untuk menetes sekalipun.
Dampak Nyata bagi Warga: Sakit, Mahal, dan Tidak Setara
Akibat kombinasi 3T ini, masyarakat menghadapi:
Fenomena ini menunjukkan bahwa air kini telah menjadi isu ketimpangan sosial , bukan sekadar lingkungan.
Solusi Terpadu: Dari Beton hingga Kesadaran
Penulis menawarkan tiga pendekatan utama sebagai solusi krisis air Malang:
1. Infrastruktur: Perbaikan dari Hulu hingga Hilir
Langkah ini harus melibatkan warga sejak tahap perencanaan agar proyek tidak menjadi monumen kosong.
2. Regulasi: Perda Konservasi Air Harus Ditegakkan
Regulasi tanpa pengawasan adalah mimpi tanpa arah.
3. Edukasi: Ubah Perilaku, Mulai dari Rumah
Kesadaran kolektif hanya bisa tumbuh melalui edukasi yang konsisten dan melibatkan komunitas.
Kritik dan Tambahan Opini: IWRM Belum Jadi Arus Utama
Air Satu kekurangan yang mencolok dari kebijakan air Kota Malang adalah belum diterapkannya pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) . Padahal, pendekatan ini terbukti efektif di banyak kota dunia karena mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam satu kerangka.
IWRM mendorong:
Malang bisa mengambil contoh dari Kota Surabaya yang lebih progresif dalam mengembangkan sistem drainase berkelanjutan dan konservasi udara berbasis komunitas.
Kesimpulan: Malang Butuh Rencana Air Masa Depan
Artikel ini membuka mata bahwa krisis air di Malang bukan lagi isu masa depan, tetapi sedang terjadi saat ini. Dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Kota Malang masih memiliki peluang besar untuk menyelamatkan sumber dayanya.
Namun, solusinya tidak bisa hanya tambal sulam proyek. Diperlukan:
Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi tentang keadilan sosial dan keberlanjutan kota . Malang harus segera memilih: berbenah hari ini atau krisis esok hari.
Sumber Referensi:
Wicaksono, BS (2024). Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Malang: Tantangan dan Solusi di Tengah Pertumbuhan PerkotaanTersedia. Universitas Pancasila