Dari Kompetensi Tersembunyi ke Kebijakan Publik: Reformasi Pendidikan Teknik

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

15 September 2025, 11.02

Mengapa Artikel Ini Penting untuk Kebijakan

Menyoroti bahwa pembentukan kompetensi insinyur tidak hanya dipengaruhi oleh kurikulum formal, melainkan juga oleh pengalaman tak terduga atau accidental competencies. Melalui pendekatan interpretif, penelitian ini menegaskan bahwa kompetensi profesional berkembang dari interaksi sosial, pengalaman proyek, tekanan ujian, hingga dinamika budaya akademik. Fakta ini menantang pandangan tradisional bahwa cukup dengan rancangan kurikulum formal seorang mahasiswa akan keluar sebagai insinyur yang “lengkap.”

Implikasinya bagi kebijakan publik sangat besar: pemerintah, badan akreditasi, dan institusi pendidikan teknik perlu mendesain ulang kebijakan agar mampu mengakui dan mendukung terbentuknya kompetensi yang bersifat sosial, afektif, dan kontekstual. Sebagai gambaran kontekstual, upaya serupa pernah ditunjukkan dalam kebijakan pendidikan tinggi Indonesia yang menekankan penguatan kompetensi non-akademik. Artikel DiklatKerja mengenai Langkah Signifikan UMN Bersama LLDIKTI Wilayah III dalam Menciptakan Lingkungan Akademik yang Aman menunjukkan bagaimana dimensi sosial dan kultural turut diangkat dalam kerangka kebijakan pendidikan tinggi.

Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak penelitian ini adalah kesadaran bahwa insinyur yang sukses tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga tangguh secara emosional, adaptif secara sosial, dan berdaya refleksi. Hambatannya, kurikulum dan sistem evaluasi masih terjebak dalam paradigma teknokratis yang mengukur keberhasilan hanya dari capaian akademik formal. Akibatnya, kompetensi tersembunyi yang terbentuk di luar kelas justru tidak terakomodasi dan berisiko hilang.

Namun, peluang besar terbuka jika kebijakan mengakui pentingnya pengalaman kontekstual. Misalnya, memasukkan proyek lintas disiplin, kegiatan komunitas, atau program mentoring ke dalam standar kurikulum. DiklatKerja melalui artikel Apa itu Insinyur Pertanian dan Mengapa Mereka Penting? memberikan contoh bagaimana pendidikan teknik bisa diperluas dengan perspektif praktis yang sering terabaikan dalam jalur akademik formal.

Rekomendasi Kebijakan Publik

Pertama, kebijakan nasional harus mengintegrasikan experiential learning ke dalam standar pendidikan teknik. Pemerintah dapat mewajibkan minimal satu semester program berbasis proyek yang terkait langsung dengan komunitas atau industri.

Kedua, skema akreditasi perlu diperbarui dengan indikator “kompetensi reflektif dan sosial.” Hal ini bisa berupa asesmen portofolio, jurnal refleksi, atau rekam pengalaman lintas disiplin.

Ketiga, dukungan kebijakan pendanaan untuk inisiatif mahasiswa dalam organisasi, proyek sosial, atau riset interdisipliner harus diperluas, karena di sanalah banyak accidental competencies terbentuk.

Keempat, institusi perlu diberi insentif untuk memperluas program mentoring dan pembimbingan karier, sehingga mahasiswa mendapatkan akses ke pembelajaran yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga pengembangan diri.

Kelima, regulasi kerja sama kampus–industri harus memasukkan unsur pembinaan kompetensi profesional (misalnya manajemen tim, etika, komunikasi), bukan sekadar keterampilan teknis.

Kebijakan publik yang mendukung lima langkah ini akan memastikan kompetensi insinyur tidak hanya “tersurat” dalam kurikulum, tetapi juga “tersirat” dalam praktik nyata yang lebih kontekstual.

Kritik dan Potensi Kegagalan

Kebijakan yang hanya menambahkan beban administratif tanpa memperbaiki budaya akademik akan gagal. Misalnya, jika portofolio atau jurnal refleksi hanya dijadikan syarat administratif tanpa ruang umpan balik yang serius, maka tujuan pengembangan kompetensi sosial akan hilang. Demikian pula, jika skema kerja sama industri hanya formalitas untuk memenuhi standar akreditasi, peluang pembentukan kompetensi profesional nyata akan terabaikan. Risiko lainnya adalah ketimpangan antar institusi: universitas besar mungkin mampu menyediakan program mentoring atau proyek komunitas, tetapi politeknik kecil bisa kesulitan tanpa dukungan dana tambahan.

Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan

Menegaskan bahwa kompetensi insinyur sejati terbentuk dari kombinasi kurikulum formal dan pengalaman kontekstual yang tidak selalu dirancang. Kebijakan publik harus mampu menjembatani keduanya dengan kerangka yang inklusif, terukur, dan berorientasi jangka panjang. Dengan mengintegrasikan experiential learning, memperbarui sistem akreditasi, memberikan insentif pada aktivitas ekstra-kurikuler bermakna, serta memperkuat kerja sama kampus–industri, pemerintah dapat memastikan bahwa insinyur Indonesia siap menghadapi tantangan teknis sekaligus sosial.

Sumber

Walther, J., Kellam, N., Sochacka, N., & Radcliffe, D. (2011). Engineering Competence? An Interpretive Investigation of Engineering Students’ Professional Formation. Journal of Engineering Education, 100(4), 703–740. https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2011.tb00033.x