Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia menyajikan gambaran praktik manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di antara kontraktor bangunan di Johor. Ditemukan bahwa penerapan K3 seringkali bersifat parsial—hanya diterapkan pada proyek besar atau untuk memenuhi syarat tender—dan banyak aspek penting seperti supervisi lapangan, pelatihan rutin, sistem pelaporan insiden, serta keterlibatan pekerja masih lemah.
Temuan ini sangat relevan untuk kebijakan publik karena menunjukkan bahwa regulasi K3 saja tidak cukup; keberhasilan tergantung pada implementasi nyata di lapangan, kepemimpinan manajemen, dan kultur keselamatan dalam organisasi. Negara yang hanya mengandalkan regulasi tapi mengabaikan pengawasan, akuntabilitas, dan pendidikan keselamatan berisiko gagal menurunkan angka kecelakaan kerja.
Konteks Indonesia memperkuat urgensi temuan ini. Sektor konstruksi terus menjadi tulang punggung pembangunan nasional, termasuk dalam proyek strategis seperti Ibu Kota Nusantara, tol, pelabuhan, dan fasilitas publik. Namun, data kecelakaan kerja di Indonesia menunjukkan bahwa proyek konstruksi masih menyumbang banyak kasus kecelakaan dan cedera serius. Artikel K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja mempertegas bahwa standar ILO dan praktik terbaik K3 perlu dijadikan acuan dalam proyek konstruksi Indonesia.
Lebih jauh, artikel Menulis Rencana Keselamatan Konstruksi: Yang Perlu Anda Ketahui menyebut bahwa dokumen rencana keselamatan proyek (site-specific safety plan) harus disusun sejak awal dan dijadikan acuan operasional di lapangan. Tanpa dokumen ini, mitigasi risiko sering berjalan reaktif dan tidak sistematis.
Dengan demikian, studi di Johor menjadi peringatan bahwa kebijakan K3 yang ambisius harus disertai strategi penguatan pelaksanaan di lapangan agar tidak hanya menjadi regulasi kosong.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif dari K3 Terstruktur
Kontraktor yang menerapkan sistem manajemen K3 komprehensif – meliputi pelatihan rutin, inspeksi, pelaporan insiden, dan audit internal – cenderung memiliki penurunan angka kecelakaan, peningkatan produktivitas, dan reputasi yang lebih baik. Karyawan merasa dihargai dan aman, yang berdampak positif terhadap moral dan kualitas kerja.
Hambatan Utama
Penelitian Johor mengidentifikasi beberapa hambatan nyata:
Komitmen manajemen rendah — terutama di kontraktor kecil, manajemen sering melihat K3 sebagai beban biaya tambahan, bukan investasi jangka panjang.
Keterbatasan sumber daya dan kemampuan teknis — tidak semua kontraktor memiliki staf K3 atau akses pelatihan berkualitas.
Pengawasan eksternal lemah — regulasi tanpa inspeksi rutin dan sanksi efektif memungkinkan banyak kontraktor mengabaikan K3.
Kesenjangan budaya keselamatan — pekerja kadang menganggap penggunaan APD atau prosedur keselamatan menghambat kecepatan kerja.
Fokus pada proyek besar saja — proyek kecil cenderung diabaikan dari aspek K3, meskipun proporsi kecelakaan seringkali besar di segmen kecil ini.
Dalam konteks Indonesia, hambatan-hambatan tersebut sudah muncul di berbagai proyek. Artikel Evaluasi Nasional Implementasi K3 di Proyek Konstruksi memaparkan fakta bahwa banyak proyek, terutama berskala kecil dan di daerah, hanya menerapkan K3 minimal atau formalitas semata, disebabkan keterbatasan anggaran, rendahnya kesadaran pekerja, dan sulitnya akses pelatihan.
Sedangkan peluang yang bisa dimanfaatkan termasuk:
Digitalisasi sistem K3 — pemantauan secara daring, aplikasi pelaporan kecelakaan, sensor wearable, dan dashboard manajemen keselamatan.
Kolaborasi lintas sektor — perguruan tinggi, asosiasi profesi, sektor swasta, dan pemerintah bisa bersinergi untuk modul pelatihan, riset keselamatan, dan audit eksternal.
Subsidi pelatihan dan APD untuk kontraktor kecil — membantu mereka memenuhi standar K3 tanpa beban berat finansial.
Promosi budaya keselamatan — strategi bottom-up, melibatkan pekerja dalam evaluasi dan inovasi prosedur keselamatan, agar mereka merasa memiliki tanggung jawab bersama.
Artikel Mengungkap 6 Kunci Sukses Pelatihan Keselamatan Konstruksi menyebut bahwa keberhasilan pelatihan bergantung pada faktor-faktor tertentu seperti dukungan manajemen, relevansi materi terhadap bahaya nyata, kontinuitas pelatihan, dan keterlibatan langsung pekerja dalam simulasi kondisi nyata.
Relevansi untuk Indonesia
Studi di Johor dapat langsung diterjemahkan ke konteks Indonesia. Beberapa poin relevan:
Proyek publik mewajibkan K3, tetapi implementasi lemah
Banyak proyek pemerintah sudah menetapkan persyaratan SMK3 dalam dokumen tender. Namun kenyataannya di lapangan, dokumentasi sering bersifat formalitas. Artikel Meningkatkan Kinerja K3 di Proyek Konstruksi: Evaluasi Implementasi SMK3 pada Pembangunan Gedung meneliti proyek gedung di Kota Kendari dan menemukan bahwa aspek praktis seperti inspeksi lapangan dan tindak lanjut temuan audit masih sangat rendah.
Alat keselamatan yang tidak layak atau rusak
Artikel K3 Konstruksi: 3 Peralatan Penting Bekerja di Ketinggian menekankan bahwa tangga, perancah, dan alat pelindung jatuh adalah komponen vital dalam keselamatan berbasis ketinggian. Jika alat ini rusak atau tidak dipelihara dengan baik, maka risiko kecelakaan melonjak.
Faktor perencanaan proyek mempengaruhi risiko keselamatan
Artikel Fitur Proyek Konstruksi Menyebabkan Kecelakaan Kerja Jika Tidak Direncanakan Sejak Awal menyebut bahwa banyak bahaya muncul dari keputusan desain, metode konstruksi, akses lahan, dan logistik yang tidak memperhitungkan keamanan sejak fase awal.
Kesenjangan persepsi pekerja dan manajemen
Artikel Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan membahas bahwa pekerja sering merasakan bahwa pelatihan keselamatan adalah kewajiban administratif tanpa efek nyata di lapangan. Pemahaman ini memperkuat kebutuhan kebijakan yang melibatkan suara pekerja dalam desain K3.
Budaya keselamatan sebagai faktor keberlanjutan K3
Artikel Menggali Budaya Keselamatan di Proyek Konstruksi Besar menekankan bahwa proyek berskala besar yang berhasil menjaga catatan keselamatan bukan hanya karena regulasi, tetapi budaya internal organisasi yang menghargai keselamatan dalam setiap keputusan.
Dengan merujuk referensi lokal tersebut, resensi menjadi lebih relevan dan kontekstual untuk pembaca Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan temuan penelitian di Johor dan relevansi lokal Indonesia, berikut adalah rekomendasi kebijakan praktis:
Wajibkan Dokumen Rencana Keselamatan Proyek (Safety Plan) dalam Tender
Semua proyek konstruksi (pemerintah maupun swasta) harus menyertakan site-specific safety plan sebagai bagian dari persyaratan tender, dan kepatuhan terhadap rencana ini dapat menjadi dasar evaluasi kinerja selama pelaksanaan.
Penguatan Audit & Inspeksi K3 Independen
Pembentukan lembaga audit K3 independen yang diberi mandat melakukan inspeksi rutin pada proyek konstruksi terutama di tahap pelaksanaan, dengan akses untuk menghentikan pekerjaan jika ditemukan pelanggaran berat.
Sertifikasi dan Pelatihan K3 Terakreditasi untuk Manajemen & Pekerja
Pemerintah dan asosiasi profesional seperti PII harus menyusun kurikulum wajib bagi manajer proyek, pengawas lapangan, serta pekerja mengenai bahaya spesifik dan praktik K3 terbaik. (Modul di DiklatKerja bisa dihubungkan sebagai referensi)
Insentif & Sanksi Berdasarkan Rekam Jejak K3
Kontraktor dengan catatan K3 baik diberi insentif dalam tender publik, prioritas proyek, atau kredit fiskal; sedangkan pelanggar serius dikenai sanksi seperti denda atau larangan beroperasi.
Digitalisasi Sistem Monitoring & Pelaporan K3
Mewajibkan penggunaan aplikasi K3 untuk pelaporan insiden, analisis near-misses, audit daring, dan dashboard manajemen tentang kepatuhan K3. Ini memungkinkan intervensi cepat dan transparansi.
Subsidi atau Bantuan bagi Kontraktor Kecil
Untuk mengurangi hambatan biaya, pemerintah harus menyediakan bantuan APD bersubsidi, pelatihan gratis, atau pinjaman lunak agar kontraktor kecil dapat memenuhi standar keselamatan.
Pengembangan Budaya Keselamatan di Semua Level Organisasi
Kebijakan harus menekankan bahwa keselamatan adalah tanggung jawab semua orang—dari top manajemen, mandor, hingga pekerja lapangan. Program penghargaan, kampanye, dan pelibatan pekerja dalam evaluasi prosedur dapat memperkuat budaya ini.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Bila kebijakan hanya bersifat administratif tanpa pengawasan nyata, maka perusahaan akan melakukan K3 “di atas kertas” tanpa efek nyata di lapangan.
Jika teknologi digital diberlakukan tetapi pekerja dan manajemen tidak memiliki literasi teknologi, sistem akan gagal diterapkan.
Kebijakan yang terlalu berat bagi kontraktor kecil bisa mendorong mereka keluar dari sistem formal dan menjadi proyek informal tanpa K3.
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam audit bisa memicu konflik kepentingan dan manipulasi data.
Jika tidak ada adaptasi lokal terhadap kondisi geografis, budaya, dan sumber daya daerah, kebijakan nasional dapat diabaikan di banyak wilayah.
Penutup
Studi OSH Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia menyuguhkan pelajaran praktis bahwa suksesnya sistem K3 bergantung bukan pada regulasi semata, tetapi bagaimana penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, dan budaya keselamatan diorganisasi secara konsisten. Untuk Indonesia, integrasi regulasi, teknologi, pendidikan & pelatihan, audit independen, dan insentif yang tepat sangat esensial. Dengan pendekatan kebijakan publik yang adaptif dan berbasis data, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi industri yang produktif dan aman bagi pekerjanya.
Sumber
Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia. Journal of Social Science and Management, Vol. 18, No. 2, 2023.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Studi “Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia” (2023) menyoroti bahwa tingkat penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada kontraktor bangunan di Johor masih belum optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kontraktor hanya menerapkan kebijakan K3 secara parsial, terbatas pada proyek besar atau kontrak pemerintah, sementara proyek kecil masih abai terhadap standar keselamatan.
Temuan ini menjadi sangat penting karena konstruksi merupakan sektor berisiko tinggi terhadap kecelakaan dan kematian kerja. Di Malaysia, sebagaimana di Indonesia, konstruksi menyumbang proporsi signifikan dari total kecelakaan kerja nasional. Penelitian ini mengungkap bahwa kurangnya komitmen manajemen, rendahnya pelatihan tenaga kerja, lemahnya pengawasan, serta budaya kerja yang mengabaikan keselamatan menjadi penyebab utama kegagalan penerapan sistem manajemen K3.
Dalam konteks kebijakan publik, hasil studi ini relevan dengan kebutuhan Indonesia untuk memperkuat implementasi K3 di sektor konstruksi yang terus berkembang. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2023, lebih dari 40% kecelakaan kerja di Indonesia terjadi di sektor konstruksi. Meski telah ada regulasi seperti Permenaker No. 9 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3) dan PP No. 50 Tahun 2012, pelaksanaannya di lapangan masih sering bersifat administratif dan belum berorientasi pada perubahan budaya kerja.
Konteks ini sejalan dengan artikel Membedah Mitos Zero Harm: Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi? yang menegaskan bahwa pencapaian target nol kecelakaan (zero harm) hanya bisa diwujudkan jika perusahaan berinvestasi pada pelatihan, supervisi aktif, dan sistem pelaporan yang transparan, bukan sekadar slogan dalam dokumen proyek.
Temuan dari Johor memperlihatkan bahwa tanpa kebijakan publik yang kuat dan pengawasan yang konsisten, keselamatan akan selalu menjadi prioritas kedua di bawah efisiensi biaya dan kecepatan pembangunan. Indonesia dapat mengambil pelajaran langsung dari studi ini untuk memperkuat kebijakan K3 yang berkelanjutan dan berbasis budaya keselamatan (safety culture).
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Implementasi manajemen K3 yang efektif membawa dampak besar terhadap produktivitas, efisiensi proyek, dan reputasi perusahaan. Di Malaysia, kontraktor yang menerapkan sistem K3 dengan baik menunjukkan penurunan tingkat kecelakaan hingga 35% dalam lima tahun terakhir. Dampak sosialnya pun signifikan: meningkatnya kesejahteraan pekerja, kepercayaan masyarakat terhadap industri konstruksi, dan kepastian hukum bagi kontraktor.
Di Indonesia, penerapan K3 yang baik akan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 8 tentang “Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi” serta poin 9 tentang “Industri, Inovasi, dan Infrastruktur.” Keselamatan kerja bukan hanya isu teknis, tetapi bagian dari pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Hambatan
Namun, penelitian Johor mengungkap berbagai hambatan yang serupa dengan yang terjadi di Indonesia. Pertama, kurangnya komitmen manajemen proyek terhadap K3. Banyak kontraktor kecil lebih fokus pada efisiensi biaya ketimbang keselamatan pekerja. Kedua, minimnya pelatihan dan kesadaran pekerja lapangan, di mana sebagian besar tenaga kerja tidak memahami bahaya kerja spesifik. Ketiga, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proyek-proyek non-pemerintah. Keempat, ketidakterpaduan regulasi, karena banyak aturan tumpang tindih antara kementerian tenaga kerja dan kementerian pekerjaan umum.
Kondisi ini tercermin pula dalam artikel Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan, yang menjelaskan bahwa banyak pekerja konstruksi di Indonesia masih menganggap pelatihan keselamatan sebagai formalitas. Kesadaran baru tumbuh setelah terjadi kecelakaan atau sanksi hukum.
Peluang
Peluang besar muncul dari digitalisasi dan kerja sama internasional. Platform daring seperti DiklatKerja kini menyediakan kursus dan pelatihan K3 berbasis e-learning yang dapat diakses secara fleksibel oleh kontraktor di seluruh Indonesia. Digitalisasi pelatihan memungkinkan pelacakan kompetensi, audit daring, dan sistem pelaporan yang lebih cepat.
Selain itu, meningkatnya investasi asing di sektor infrastruktur membuka peluang harmonisasi standar keselamatan dengan praktik internasional seperti ISO 45001:2018. Kolaborasi dengan asosiasi kontraktor dan universitas juga dapat memperluas pengembangan modul pelatihan yang sesuai dengan kondisi lokal Indonesia.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Artikel Menggali Budaya Keselamatan di Proyek Konstruksi Besar menegaskan bahwa budaya keselamatan hanya akan tumbuh jika seluruh aktor—dari manajemen puncak hingga pekerja lapangan—terlibat aktif dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan keselamatan kerja sering gagal bukan karena kurangnya regulasi, melainkan lemahnya penerapan. Jika kebijakan K3 hanya diwujudkan sebagai persyaratan administratif, maka tujuannya tidak akan tercapai. Tanpa pengawasan lapangan dan evaluasi berbasis data, banyak proyek hanya menyiapkan dokumen K3 formalitas untuk memenuhi persyaratan tender.
Selain itu, terdapat risiko bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada proyek besar akan mengabaikan ribuan proyek kecil menengah, padahal di sektor inilah mayoritas kecelakaan terjadi. Jika kebijakan tidak inklusif terhadap semua skala proyek, maka kesenjangan keselamatan akan semakin melebar.
Dari perspektif ekonomi, tanpa insentif yang menarik, kontraktor kecil cenderung menganggap investasi K3 sebagai biaya tambahan. Di sinilah kebijakan publik harus berperan untuk menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan keberlanjutan bisnis.
Penutup
Penelitian tentang praktik manajemen K3 di Johor, Malaysia, memberikan cerminan yang kuat bagi Indonesia. Bahwa keselamatan kerja bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan strategi pembangunan berkelanjutan yang melibatkan manusia sebagai pusatnya. Pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk belajar dari model regional seperti Malaysia, yang telah mulai mengintegrasikan keselamatan ke dalam kontrak proyek, pendidikan teknik, dan sistem audit nasional.
Kebijakan publik yang mendorong penerapan K3 berbasis budaya, pelatihan berkelanjutan, dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi fondasi bagi pembangunan yang aman, produktif, dan berdaya saing global. Dengan dukungan regulasi kuat dan inovasi digital, Indonesia dapat menekan angka kecelakaan kerja dan memperkuat reputasi konstruksi nasional di mata dunia.
Sumber
Abukhashabah, E., Summan, A., & Balkhyour, M. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia. Journal of Social Science and Management, Vol. 18(2).
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Riset Occupational Accidents and Injuries in Construction Industry in Jeddah City (2020) oleh Abukhashabah, Summan, dan Balkhyour mengungkap pola kecelakaan kerja konstruksi yang sangat relevan: kejadian jatuh dari ketinggian, sengatan listrik, paparan panas ekstrem, seringkali disebabkan oleh kombinasi kelemahan pengawasan, pelatihan yang kurang memadai, dan ketidakpatuhan terhadap standar K3. Temuan ini memperkuat argumen bahwa regulasi keselamatan kerja saja tidak cukup tanpa mekanisme implementasi, pengawasan, dan perubahan budaya kerja yang nyata.
Bagi kebijakan publik, hal ini menunjukkan bahwa intervensi harus multipihak: tidak cukup membuat undang-undang atau standar keamanan; pelaksanaan di lapangan, edukasi pekerja, pengawasan rutin, dan akuntabilitas harus dijadikan elemen penting. Di Indonesia, konteks ini sangat relevan karena industri konstruksi menyumbang angka kecelakaan kerja tinggi.
Sebagai contoh lokal, kursus Peran Keselamatan Konstruksi dalam Mewujudkan Konstruksi Berkelanjutan (AK3L), yang menekankan bahwa penerapan K3 konstruksi mampu mengurangi risiko, menjamin kepatuhan regulasi, dan melindungi tenaga kerja serta lingkungan.
Juga, artikel Menulis Rencana Keselamatan Konstruksi: Yang Perlu Anda Ketahui memaparkan bahwa rencana keselamatan konstruksi (site-specific safety plan) adalah dokumen penting yang harus disusun sedari awal proyek agar bahaya bisa teridentifikasi dan mitigasi diterapkan. Intinya: kebijakan K3 harus menyertakan persyaratan rencana keselamatan proyek sebagai bagian integral regulasi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Implementasi sistem K3 yang buruk berdampak langsung pada keselamatan pekerja, biaya proyek, dan reputasi industri konstruksi. Dalam studi Jeddah, insiden seperti jatuh dari tinggi dan sengatan listrik menyebabkan cedera berat dan kerugian finansial bagi perusahaan. Jika proyek di Indonesia mengalami kegagalan serupa, biaya rekompensasi, litigasi, maupun penangguhan proyek bisa sangat besar.
Di samping itu, dampak tidak langsung muncul lewat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap proyek pemerintah, terutama proyek yang bersinggungan dengan publik (jalan tol, jembatan, infrastruktur kota). Bila masyarakat merasa proyek pembangunan membahayakan, resistensi sosial bisa meningkat.
Hambatan
Pelatihan K3 yang tidak memadai & formalitas
Banyak pekerja konstruksi di lapangan belum mendapatkan pelatihan yang benar-benar aplikatif. Dalam artikel Mengungkap 6 Kunci Sukses Pelatihan Keselamatan Konstruksi menyebut bahwa efektivitas pelatihan bergantung pada faktor keberhasilan kritis (CSF), seperti keterlibatan manajemen, konteks lokal, dan relevansi materi terhadap bahaya nyata di lapangan.
Kesenjangan persepsi antara manajemen dan pekerja
Artikel Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan menunjukkan bahwa meskipun manajemen menganggap sistem K3 sudah ada, banyak pekerja merasakan bahwa itu sekadar formalitas yang jarang diterapkan secara konsisten.
Peralatan kerja berisiko tinggi yang rusak atau tidak sesuai standar
Dalam konstruksi, penggunaan alat seperti tangga, perancah, dan alat pelindung jatuh (fall protection) sangat kritis. Artikel K3 Konstruksi: 3 Peralatan Penting Bekerja di Ketinggian menjelaskan pentingnya pemeliharaan dan penggunaan alat tersebut secara tepat agar tidak menjadi sumber kecelakaan.
Lemahnya penegakan regulasi dan audit lapangan
Pengawasan proyek swasta seringkali lemah atau sporadis. Banyak perusahaan kecil yang lolos dari inspeksi atau tidak terjangkau pengawasan regulasi.
Tekanan target waktu dan biaya proyek
Dalam praktik, manajemen proyek sering memberikan tekanan untuk memenuhi tenggat waktu dan menekan biaya, yang bisa menyebabkan pengabaian prosedur keselamatan demi percepatan.
Peluang
Integrasi sistem K3 ke dalam kontrak proyek
Pemerintah bisa membuat regulasi bahwa setiap proyek yang dibiayai publik wajib menyertakan klausul penalti bila standar keselamatan diabaikan.
Platform online dan aplikasi pengawasan K3
Penerapan sistem digital untuk verifikasi pelatihan pekerja, laporan insiden real-time, audit lapangan berbasis data, dan dashboard pemantauan keselamatan.
Kolaborasi dengan asosiasi kontraktor dan serikat pekerja
Menyertakan pekerja langsung dalam desain kebijakan K3 agar praktik aman bukan sekadar beban tambahan, tetapi bagian dari budaya kerja.
Program subsidi pelatihan dan alat keselamatan untuk kontraktor kecil
Untuk menjangkau sektor informal atau sub-kontraktor kecil, pemerintah bisa memberikan dukungan agar mereka mampu mematuhi standar K3.
Audit independen berkala
Menugaskan lembaga eksternal (audit keselamatan profesional) untuk memantau pelaksanaan K3 di proyek berskala menengah dan besar.
Relevansi untuk Indonesia
Konteks Indonesia sangat paralel dengan situasi di Jeddah. Sektor konstruksi di Indonesia terus berkembang pesat di berbagai pulau dan kota. Namun data menunjukkan bahwa kecelakaan kerja terus terjadi, terutama di proyek-perkotaan dan pembangunan infrastruktur publik.
Beberapa hal spesifik relevan:
Requirement proyek publik mewajibkan K3
Di Indonesia, proyek-proyek publik sudah mewajibkan sistem manajemen K3 (SMK3) sebagai syarat tender. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal karena sebaik apapun regulasi, bila tidak diawasi, akan menjadi formalitas.
Pendidikan dan pelatihan K3 di sekolah vokasi & politeknik
Pemerintah perlu memasukkan materi praktik K3 konstruksi di kurikulum SMK teknik sipil, bangunan, dan pekerjaan umum agar lulusan memasuki dunia kerja dengan kesadaran keselamatan awal. Ini relevan dengan kursus Peran Keselamatan Konstruksi dalam Mewujudkan Konstruksi Berkelanjutan.
Standarisasi dan audit lokal K3
Penerapan audit lokal dan penegakan standar K3 minimal (seperti 10 aturan keselamatan di proyek konstruksi) yang dijelaskan dalam artikel 10 Aturan Keselamatan di Lokasi Konstruksi menjadi landasan praktis untuk proyek di Indonesia.
Komponen regulator lokal & daya keterjangkauan alat keselamatan
Projek di daerah terpencil sering menghadapi tantangan distribusi alat keselamatan, biaya logistik, dan minimnya pengawasan dari instansi pemerintah. Kebijakan nasional harus mempertimbangkan subsidi atau bantuan logistik alat keselamatan ke wilayah terpencil.
Budaya keselamatan proyek besar sebagai contoh
Artikel Menggali Budaya Keselamatan di Proyek Konstruksi Besar (kasus proyek Jokeri Finlandia) menekankan bahwa budaya keselamatan harus dibangun dari top-down dan bottom-up. Proyek besar yang menerapkan budaya kuat bisa menjadi model untuk proyek nasional di Indonesia.
Dengan memperhatikan konteks Indonesia, adaptasi kebijakan K3 dari riset Jeddah harus memperhitungkan diversitas geografis, kondisi pekerja, kapasitas pengawasan, dan kultur lokal.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Kewajiban Rencana Keselamatan Konstruksi (Safety Plan) sejak Pra-konstruksi
Regulasi tender harus mengharuskan setiap kontraktor menyertakan rencana keselamatan proyek (site-specific safety plan) sesuai pedoman lokal.
Pelatihan K3 Mandiri & Sertifikasi Wajib bagi Semua Pekerja
Pemerintah pusat/daerah dan LPJK bisa menyediakan modul pelatihan K3 konstruksi wajib dan sertifikasi berbasis digital yang bisa diakses pekerja di mana pun.
Posisi Safety Officer Bersertifikat di Proyek Konstruksi
Menetapkan peraturan bahwa proyek publik minimal harus memiliki satu petugas K3 bersertifikat per 50 atau 100 pekerja, tergantung skala.
Insentif & Sanksi dalam Tender Publik
Kontraktor yang memiliki catatan K3 baik mendapatkan nilai tambah dalam evaluasi tender. Sementara yang melanggar harus dikenakan penalti atau diskualifikasi.
Audit K3 Independen & Teknologi Pengawasan
Gunakan auditor eksternal untuk inspeksi K3 berkala, dan teknologi seperti kamera CCTV, sensor alamiah, dan aplikasi pelaporan real-time agar pengawasan lebih efektif.
Subsidi & Bantuan Peralatan Keselamatan untuk Kontraktor Kecil
Pemerintah harus menyiapkan paket alat keselamatan (APD, alat pelindung jatuh) untuk kontraktor kecil atau daerah terpencil agar mereka tidak tertinggal dari standar.
Kampanye Keselamatan dan Pemberdayaan Budaya Keselamatan
Jalankan kampanye berkelanjutan tentang pentingnya K3 di kalangan pekerja, kontraktor, dan publik—termasuk penggunaan kaidah “Zero Harm?” secara kritis berdasarkan data lokal
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan difokuskan terlalu tekstual dan formal tanpa adaptasi lokal, banyak kontraktor di daerah tertinggal akan kesulitan memenuhinya.
Tanpa regulasi pelaksana dan audit nyata, kebijakan akan menjadi beban administratif tanpa efek nyata.
Biaya pelatihan, sertifikasi, dan alat bisa menjadi hambatan besar jika tidak diimbangi subsidi atau dukungan khusus bagi kontraktor kecil.
Teknologi pengawasan mungkin tidak tersedia di proyek kecil atau daerah terpencil sehingga pemerataan implementasi sulit.
Resistensi dari manajemen proyek yang melihat K3 sebagai tambahan biaya dan hambatan waktu dapat menghambat penerapan.
Penutup
Penelitian di Jeddah menegaskan: sektor konstruksi adalah sektor rawan kecelakaan, dan akar penyebabnya tak hanya faktor teknis—tapi budaya, pelatihan, pengawasan, dan regulasi. Bagi Indonesia, riset ini menjadi cermin bahwa kebijakan K3 harus bersinergi secara menyeluruh: regulasi, pelatihan, pengawasan, implementasi teknologi, dan budaya keselamatan. Dengan demikian, pembangunan bisa berjalan cepat tanpa mengorbankan keselamatan manusia.
Sumber
Abukhashabah, E., Summan, A., & Balkhyour, M. (2020). Occupational Accidents and Injuries in Construction Industry in Jeddah City. Saudi Journal of Biological Sciences.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025
Mengidentifikasi Faktor Penentu Keberhasilan Pelatihan Keselamatan di Industri Konstruksi
Industri konstruksi secara konsisten diakui sebagai salah satu sektor paling berbahaya di dunia, ditandai dengan tingginya tingkat cedera dan fatalitas kerja. Biro Statistik Tenaga Kerja A.S. (BLS) melaporkan bahwa dari 5.250 total cedera fatal di A.S., 1.008 terjadi di sektor konstruksi, ditambah dengan 199.100 cedera non-fatal dari 2.834.500 total nasional. Penyebab utama kecelakaan ini sering kali berakar pada kegagalan pekerja mematuhi aturan keselamatan dan kurangnya program pelatihan yang memadai.
Menanggapi tantangan kritis ini, penelitian ini berfokus pada identifikasi Faktor Keberhasilan Kritis (CSFs) yang mempromosikan efektivitas sesi pelatihan keselamatan, yang pada gilirannya bertujuan untuk meningkatkan kinerja keselamatan secara keseluruhan. Pelatihan keselamatan yang efektif terbukti mampu mengurangi frekuensi cedera, meningkatkan iklim keselamatan, dan mengubah perilaku kerja menjadi lebih aman.
Metodologi penelitian mengadopsi pendekatan campuran (kualitatif dan kuantitatif). Tahap kualitatif melibatkan tinjauan literatur mendalam dan wawancara ahli untuk menyusun 25 variabel keberhasilan pelatihan. Variabel-variabel ini kemudian diuji melalui survei yang diberikan kepada kontraktor terkemuka, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam daftar Engineering News-Record (ENR) Top 400 Contractors 2020. Data survei yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis menggunakan Analisis Faktor Eksploratori (EFA) untuk mengelompokkan variabel-variabel tersebut ke dalam kelompok faktor yang koheren.
Sorotan Data Kuantitatif: Jalur Logis Penemuan
Analisis faktor eksploratori (EFA) dilakukan untuk mengungkap struktur laten di antara 25 variabel keberhasilan pelatihan keselamatan. Untuk memastikan kecukupan pengambilan sampel data, Uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dilakukan, menghasilkan nilai 0.818. Temuan ini menunjukkan kecukupan pengambilan sampel yang kuat (melebihi ambang batas 0.70 yang dianggap baik). Selain itu, uji Bartlett menunjukkan signifikansi yang sangat tinggi (p<0.0005), yang membuktikan bahwa analisis faktor merupakan metode yang tepat untuk himpunan data ini.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa enam komponen mampu menjelaskan total varian kumulatif sebesar 77.070%. Enam faktor keberhasilan kritis (CSFs) yang teridentifikasi, disusun berdasarkan persentase varian yang dijelaskan, adalah:
Fokus krusial penelitian ini terletak pada kelompok pertama, Faktor-faktor Terkait Proyek dan Perusahaan, yang merupakan kelompok faktor paling berpengaruh. Di dalam kelompok ini, variabel Project Duration menunjukkan factor loading terkuat sebesar 0.923, diikuti oleh Project Size (0.921) dan Project Type (0.920). Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara faktor kontekstual proyek dengan efektivitas pelatihan keselamatan, menegaskan potensi kuat bahwa faktor-faktor ini—terlepas dari karakteristik individu pekerja—adalah pendorong utama keberhasilan pelatihan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah pergeseran penekanan dalam manajemen keselamatan konstruksi dari fokus eksklusif pada karakteristik pekerja individu menuju determinan organisasional dan kontekstual yang lebih luas. Dengan mengidentifikasi dan mengelompokkan 25 variabel ke dalam enam faktor keberhasilan kritis yang komprehensif, penelitian ini memberikan kerangka kerja yang kuat bagi para praktisi dan akademisi.
Secara khusus, penemuan bahwa Faktor-faktor Terkait Proyek dan Perusahaan (mencakup Jenis Proyek, Ukuran Proyek, Durasi Proyek, dan Ukuran Perusahaan) adalah kelompok faktor yang paling penting (menjelaskan 39.041% dari total varian) merupakan kontribusi substansial. Hal ini menggarisbawahi perlunya menyesuaikan konten pelatihan tidak hanya berdasarkan pengalaman atau latar belakang pendidikan pekerja, tetapi juga berdasarkan tuntutan bawaan dari proyek itu sendiri—seperti durasi proyek yang lebih singkat atau jenis proyek yang memiliki risiko bawaan tinggi (misalnya, proyek residensial yang rentan terhadap kecelakaan jatuh). Kontribusi ini memandu perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya keselamatan secara lebih strategis dan proporsional.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus dipertimbangkan. Pertama, hasil yang diperoleh didasarkan pada persepsi responden, yang mayoritas adalah manajer proyek dan insinyur dari perusahaan kontraktor Top 400 ENR di A.S.. Sampel yang relatif kecil (93 responden) dan bias terhadap perusahaan besar dengan program keselamatan yang mapan membatasi generalisasi temuan ini ke perusahaan kecil atau kawasan geografis di luar A.S.. Sebagai contoh, tingkat kepuasan yang dilaporkan sangat tinggi (95% responden menyatakan kepuasan tinggi hingga sangat tinggi) dapat mencerminkan bias manajemen dan mungkin tidak mewakili pandangan pekerja lapangan.
Keterbatasan ini membuka beberapa pertanyaan riset terbuka yang kritis:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan utama, keterbatasan, dan potensi jangka panjang studi ini, berikut adalah lima rekomendasi untuk penelitian akademik dan penerima hibah di masa depan:
1. Replikasi Global dan Analisis Komparatif CSFs
Penelitian lebih lanjut harus melakukan replikasi survei CSFs ini di kawasan geografis yang berbeda (misalnya, Asia Tenggara, Eropa) dan berfokus pada kelompok ukuran perusahaan yang berbeda, terutama UKM.
2. Investigasi Mendalam tentang Faktor Proyek (F1) dan Kinerja Keselamatan Aktual
Penelitian selanjutnya harus berfokus pada korelasi eksplisit antara Faktor Proyek dan Perusahaan (F1) dengan data kinerja keselamatan yang terukur (misalnya, Total Recordable Injury Rate, Lost Time Injury Rate).
3. Eksperimentasi Efektivitas Pelatihan Imersif untuk Peningkatan Kognisi Bahaya (F3)
Menganalisis dan menguji secara empiris bagaimana teknologi imersif (seperti Virtual Reality atau Augmented Reality) mempengaruhi variabel di bawah Faktor Implementasi Praktis (F3), terutama Hands-on Training dan Perception of Training.
4. Studi Intervensi untuk Mengatasi Hambatan Bahasa (F5) dan Demografi (F2)
Mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai model pelatihan bilingual yang ditargetkan dan penggunaan visual aid untuk mengatasi hambatan bahasa (F5) dan perbedaan budaya (F2) pada tenaga kerja imigran.
5. Hubungan Kepemimpinan (F6) dan Budaya Zero-Accident
Menyelidiki peran Leadership (F6) dan Management Support (F4) dalam menumbuhkan budaya keselamatan yang proaktif dan berfokus pada pencegahan, tidak hanya kepatuhan reaktif.
Ajakan Kolaboratif Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai konteks, termasuk Sakarya University, University of Huddersfield, Gebze Technical University, dan Istinye University untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama melalui studi komparatif global dan regional.
Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.3390/buildings11040139
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025
I. Pendahuluan: Krisis Keselamatan dan Imperatif Kurikulum
Laporan tahunan mengenai tingginya tingkat kecelakaan fatal dan serius di tempat kerja konstruksi telah lama menjadi perhatian utama Uni Eropa. Realitas ini mendorong adanya kerangka regulasi komprehensif, dimulai dari Directive 89/391/EEC, dan diperkuat oleh Directive 92/57/EEC (Temporary or Mobile Construction Sites Directive). Arahan tersebut secara eksplisit menekankan perlunya pencegahan risiko kerja untuk diintegrasikan sepanjang seluruh siklus hidup proyek, mulai dari tahap desain hingga pelaksanaan, penggunaan, pemeliharaan, dan pembongkaran.
Arahan ini menciptakan tantangan mendasar bagi pendidikan teknik sipil, karena menetapkan rantai pertanggungjawaban kesehatan dan keselamatan (K3) yang melibatkan semua partisipan proyek, termasuk insinyur sipil dan desainer. Oleh karena itu, kekurangan konten K3, pencegahan risiko, dan manajemen risiko dalam kurikulum sarjana dan pascasarjana teknik sipil di masa lalu diakui sebagai akar masalah yang perlu diatasi segera. Insinyur sipil di Portugal, misalnya, secara tradisional memikul banyak tugas desain dan manajemen proyek. Kebutuhan untuk memiliki pengetahuan K3 yang memadai untuk menjalankan tugas sesuai regulasi menuntut reformasi pendidikan.
II. Jalur Logis Intervensi Pendidikan di University of Aveiro
Riset yang disajikan ini berfokus pada studi kasus di University of Aveiro, Portugal, sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan K3 konstruksi pada mahasiswa Teknik Sipil. Penelitian ini bertujuan untuk mendemonstrasikan metode yang digunakan untuk mengintegrasikan pencegahan risiko kerja dan melaporkan evolusi pengetahuan serta sikap mahasiswa terhadap manajemen risiko K3 konstruksi.
Adaptasi Kurikulum Pasca-Bologna
Reformasi kurikulum didorong oleh Agenda Bologna yang mengubah sistem lima tahun tradisional menjadi program Sarjana tiga tahun (180 ECTS) dan Master dua tahun (120 ECTS). Untuk memenuhi tuntutan kompetensi K3 yang diamanatkan Directive 92/57/EEC, University of Aveiro menciptakan serangkaian unit mata kuliah baru di tingkat Master, dibangun di atas konsep K3 fundamental yang sudah diperkenalkan sejak tahun akademik 2001/02.
Unit-unit akademik yang dikembangkan meliputi:
Secara metodologis, unit pilihan spesifik memanfaatkan seminar yang dibawakan oleh spesialis eksternal yang bekerja di tim desain dan lokasi konstruksi, serta melibatkan penempatan praktis di lokasi konstruksi selama satu minggu. Penempatan praktik ini mengintegrasikan mahasiswa ke dalam tim koordinasi pelaksanaan K3.
Metodologi Evaluasi dan Populasi Target
Untuk mengukur dampak intervensi kurikulum, survei berbasis skala Likert lima poin (1=Sangat Buruk, 5=Sangat Baik) dikembangkan dan diterapkan pada semester kedua tahun akademik 2008-2009.
Populasi target dibagi menjadi dua kelompok utama:
Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif
Perbandingan hasil survei secara meyakinkan menunjukkan perbedaan signifikan dalam perolehan kompetensi K3 berdasarkan kedalaman spesialisasi kurikulum.
Pada kelompok mahasiswa sarjana tahun ketiga, yang merupakan titik dasar sebelum intervensi, 65.5% dari responden menilai sikap mereka terhadap pencegahan risiko konstruksi sebagai ‘Buruk’ atau ‘Sangat Buruk’. Kondisi serupa terlihat pada penilaian pengetahuan mereka tentang peraturan hukum dan manajemen risiko K3 konstruksi, dengan sekitar 76% melaporkan pengetahuan yang terbatas. Kesenjangan pengetahuan awal ini, yang diukur dengan tingkat keparahan skor awal, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam studi longitudinal berbasis populasi.
Peningkatan paling signifikan dicatat pada tingkat Master, menggarisbawahi efektivitas unit spesifik.
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kedalaman spesialisasi kurikulum dan perolehan kompetensi manajemen risiko K3, dengan koefisien peningkatan sebesar 51.0 poin persentase (dari 35.7% menjadi 86.7%) pada self-rating ‘Baik’ atau ‘Sangat Baik’—menunjukkan potensi kuat untuk merumuskan kurikulum inti yang lebih ketat.
Peningkatan tersebut juga didukung oleh evaluasi kualitas pengalaman pembelajaran. 100% mahasiswa unit pilihan menilai evolusi sikap mereka terhadap manajemen risiko K3 sebagai ‘Baik’ atau ‘Sangat Baik’. Selain itu,66.7% dari kelompok ini menilai seminar yang diberikan oleh spesialis eksternal sebagai ‘Sangat Baik’, yang menunjukkan bahwa validasi industri memainkan peran penting dalam pembelajaran kompetensi spesialis.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi kasus ini memberikan kontribusi penting bagi pedagogi pendidikan teknik, terutama dalam merespons tuntutan regulasi profesional:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model Aveiro terbukti berhasil dalam menciptakan pergeseran sikap dan kompetensi jangka pendek, beberapa keterbatasan metodologis menciptakan pertanyaan terbuka penting yang harus ditangani oleh riset lanjutan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk menutup kesenjangan yang teridentifikasi dan memvalidasi model pendidikan K3 secara holistik, komunitas akademik dan pendukung hibah riset didesak untuk memprioritaskan agenda riset berikut:
1. Studi Longitudinal tentang Retensi Kompetensi H&S Pasca-Akademik
2. Perbandingan Efektivitas Pedagogi: Integrasi Kurikulum vs. Modul Mandiri Spesialis
3. Kesenjangan Teori-Praktik dan Standardisasi Site Placement
4. Analisis Komparatif Lintas Budaya Mengenai Penerapan Kurikulum K3
5. Pengembangan Alat Prediktif Risiko Berbasis Keputusan Desain Awal
VI. Kesimpulan dan Agenda Kolaborasi
Studi kasus University of Aveiro adalah bukti nyata bahwa melalui desain kurikulum yang bijaksana—khususnya dengan menambahkan unit spesifik yang didukung oleh pengalaman industri dan evaluasi eksternal—pendidikan tinggi dapat menghasilkan lulusan yang merasa kompeten dan memiliki sikap positif yang kuat terhadap pencegahan risiko konstruksi. Keberhasilan ini, yang terlihat dari lompatan 51.0 poin persentase dalam penilaian kompetensi antara kelompok wajib dan kelompok spesialis, memiliki potensi jangka panjang yang signifikan untuk mengurangi tingkat kecelakaan industri yang kronis di Portugal dan Eropa.
Namun, potensi penuh kurikulum ini hanya dapat terealisasi jika komunitas akademik menanggapi keterbatasan yang ada: yaitu, kurangnya data jangka panjang (retensi pengetahuan) dan validitas lintas yurisdiksi. Agenda riset ke depan harus didedikasikan untuk memastikan bahwa kompetensi yang dipelajari di universitas tidak terdegradasi saat lulusan memasuki lingkungan kerja industri yang terkadang resisten terhadap perubahan K3.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi ACT (Autoridade para as Condições de Trabalho) Portugal, Asosiasi Industri Konstruksi Eropa (misalnya, FIEC), dan Jaringan Universitas Teknik Sipil di bawah naungan CESAER untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di seluruh blok Eropa. Kolaborasi ini sangat penting untuk menstandarisasi pengukuran hasil pasca-kelulusan dan menjembatani kesenjangan antara tuntutan akademik dan realitas industri.
Baca riset papernya di: https://www.irbnet.de/daten/iconda/CIB20329.pdf
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 Oktober 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini merinci secara sistematis faktor-faktor penyebab kecelakaan alat berat dan kompetensi yang dibutuhkan operatornya. Dengan menganalisis wawancara 15 manajer konstruksi di Malaysia, studi menemukan lima penyebab utama kecelakaan (misalnya perawatan alat yang kurang, pelatihan tidak memadai, kelalaian operator, faktor manusia, kondisi situs) serta serangkaian kompetensi mitigasi (pengetahuan insentif/penalti keselamatan, kemampuan briefing keselamatan, inspeksi mesin dan lokasi, serta keterampilan komunikasi). Penyebab tersebut dikategorikan dalam ranah proses, manusia, dan lingkungan, sedangkan kompetensi dikelompokkan ke dalam pengetahuan dan keterampilan operasional. Temuan ini secara eksplisit menyusun peta hubungan antara faktor penyebab dan intervensi kompetensi yang dapat digunakan industri untuk merancang modul pelatihan berbasiskan temuan penelitian. Sebagai contoh, data menunjukkan insiden kecelakaan alat berat di Malaysia tercatat 16 kasus, sementara 38 kasus akibat blind spot (monitorasi lingkungan). Temuan ini mengindikasikan hubungan kuat antara kualitas pelatihan keselamatan dan frekuensi kecelakaan – misalnya ilustrasi korelasi (koefisien ~0,78) hipotetis antara tingkat pelatihan dan angka kecelakaan, menyoroti kebutuhan riset kuantitatif lanjutan. Hasil penelitian menegaskan bahwa peningkatan pelatihan keselamatan dan komunikasi operator dapat menurunkan risiko kecelakaan dan meningkatkan produktivitas proyek.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Penelitian ini bersifat eksploratif kualitatif dengan sampel terbatas, sehingga generalisasi temuan perlu diuji lebih jauh. Sampel wawancara hanya 15 manajer dari Malaysia, sehingga cakupan perusahaan dan budaya kerja sangat spesifik. Keterbatasan lainnya adalah fokus pada persepsi narasumber tanpa pengukuran langsung insiden atau efektivitas intervensi. Dengan demikian, terbuka pertanyaan sejauh mana hasil ini berlaku pada proyek konstruksi di negara lain atau sektor industri berbeda. Selain itu, riset ini belum menguji hubungan penyebab–akibat secara statistik; misalnya, bagaimana peningkatan frekuensi inspeksi perawatan secara kuantitatif menurunkan angka kecelakaan. Pertanyaan terbuka lain adalah pengaruh teknologi (sensor/blindspot monitoring) atau kebijakan perusahaan terhadap kompetensi operator. Kesenjangan tersebut mendorong perlunya studi lanjutan untuk memverifikasi temuan kualitatif ini dengan data kuantitatif dan evaluasi program pelatihan di lapangan.
Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi X, Y, Z untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Untuk detail lengkap dari riset ini, K Bedi et al 2021 IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 641 012007