Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Pentingnya Tata Kelola Air di Bangladesh
Bangladesh, sebagai negara delta terbesar di dunia, menempatkan sumber daya air sebagai pusat ekonomi, ketahanan pangan, dan pembangunan. Dengan lebih dari 700 sungai, termasuk 57 sungai lintas batas, serta ketergantungan besar pada air tanah untuk irigasi dan konsumsi domestik, tata kelola air di Bangladesh menjadi isu strategis, terlebih di tengah ancaman perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang pesat.
Laporan yang diulas ini merupakan bagian dari proyek regional “Climate Adaptation and Resilience (CARE) for South Asia” yang didukung Bank Dunia. Studi ini menelaah kerangka kebijakan, kelembagaan, dan regulasi sektor air Bangladesh, mengidentifikasi celah, serta menawarkan rekomendasi untuk memperkuat adaptasi dan ketahanan iklim di sektor vital ini.
Lanskap Sumber Daya Air: Fakta dan Tantangan
Gambaran Umum Sumber Daya Air
Distribusi Musiman dan Ancaman Kualitas
Studi Kasus: Krisis Air Tanah di Zona Pesisir
Di wilayah pesisir seperti Khulna dan Barisal, kombinasi intrusi salinitas akibat kenaikan muka air laut dan kontaminasi arsenik menyebabkan krisis air bersih. Penduduk terpaksa mengandalkan air hujan atau air permukaan yang kualitasnya tidak selalu terjamin. Pemerintah telah menggalakkan teknologi rainwater harvesting (RWH), namun infrastruktur dan adopsi masih terbatas. Potensi RWH dapat mengurangi tekanan pada air tanah hingga 50% di wilayah urban1.
Kerangka Kebijakan dan Kelembagaan: Evolusi dan Evaluasi
Pilar Kebijakan Utama
Struktur Kelembagaan
Tantangan Tata Kelola
Studi Kasus: Implementasi Kebijakan dan Dampaknya
1. Pengelolaan Irigasi dan Upaya Pengurangan Ketergantungan Air Tanah
Pemerintah berupaya menurunkan proporsi lahan irigasi yang bergantung pada air tanah dari 73% menjadi 70% pada 2030, dengan meningkatkan pemanfaatan air permukaan. Namun, implementasi di lapangan masih terkendala infrastruktur, biaya, dan resistensi petani yang sudah terbiasa dengan sumur bor1.
2. Adaptasi Iklim di Sektor Pertanian
Melalui National Agriculture Policy 2018 dan Integrated Micro-Irrigation Policy 2017, pemerintah mendorong efisiensi irigasi dan adopsi teknologi hemat air. Namun, keterbatasan data sumber daya air dan kurangnya integrasi informasi antar sektor menjadi hambatan utama1.
3. Penanganan Banjir dan Bencana
Penerapan Bangladesh Delta Plan 2100 dan BCCSAP 2009 telah memperkuat upaya adaptasi, seperti pembangunan tanggul, shelter siklon, dan pengembangan varietas padi tahan salinitas. Namun, tantangan tetap ada pada pendanaan, koordinasi, dan keterlibatan masyarakat1.
Analisis Kritis: Kesenjangan, Tantangan, dan Peluang
Kesenjangan Kebijakan dan Implementasi
Tantangan Adaptasi Iklim
Peluang Perbaikan
Perbandingan dengan Negara Lain & Tren Global
Studi global oleh Gain et al. (2016) menunjukkan bahwa meski ketersediaan fisik air di Bangladesh cukup, aspek kualitas, keamanan, dan tata kelola masih sangat rendah dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia. Indeks keamanan air Bangladesh sangat dipengaruhi oleh risiko banjir, kualitas air yang buruk, dan kompleksitas pengelolaan lintas batas1.
Tren global mengarah pada penguatan tata kelola berbasis data, partisipasi masyarakat, dan integrasi adaptasi perubahan iklim ke dalam seluruh kebijakan sektor air. Bangladesh perlu mempercepat pembaruan kebijakan dan adopsi teknologi untuk mengejar ketertinggalan.
Rekomendasi dan Masa Depan Tata Kelola Air Bangladesh
Rekomendasi Utama dari Laporan
Opini dan Kritik
Laporan ini sangat komprehensif, namun masih kurang menyoroti aspek sosial-budaya dalam pengelolaan air, seperti resistensi masyarakat terhadap inovasi atau konflik kepentingan antar sektor. Selain itu, tantangan pendanaan dan political will untuk pembaruan kebijakan sering kali menjadi bottleneck yang tidak mudah diatasi hanya dengan rekomendasi teknokratik.
Namun, inisiatif CARE for South Asia yang mengintegrasikan penguatan kapasitas, digitalisasi, dan adaptasi iklim patut diapresiasi sebagai model yang dapat direplikasi di negara berkembang lain dengan karakteristik serupa.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif
Bangladesh berada di persimpangan penting dalam tata kelola air. Keberhasilan adaptasi dan ketahanan iklim sangat bergantung pada pembaruan kebijakan, penguatan kelembagaan, serta keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lintas sektor. Dengan tantangan perubahan iklim yang kian nyata, tata kelola air yang adaptif, berbasis data, dan inklusif menjadi kunci masa depan pembangunan berkelanjutan Bangladesh.
Sumber Artikel
Milner, H., Foisal, A., Gupta, N., & Basnayake, S. (2023). Assessment of Water Sector Policy Frameworks of Bangladesh: Identifying Gaps and Addressing Needs. Bangkok: Asian Disaster Preparedness Center (ADPC).
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Air dan energi adalah dua pilar utama pembangunan yang sangat saling bergantung. Laporan “Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future” (SIWI, 2014) menyoroti bagaimana hubungan keduanya menjadi kunci dalam mencapai masa depan yang berkelanjutan. Dengan meningkatnya permintaan global atas air dan energi, serta tantangan perubahan iklim, keterpaduan pengelolaan kedua sektor ini menjadi semakin krusial. Artikel ini akan membedah isi laporan tersebut, menghadirkan studi kasus, data penting, serta analisis kritis yang relevan dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.
Mengapa Keterkaitan Air-Energi Semakin Penting?
Fakta Global yang Mengkhawatirkan
Angka-angka ini menegaskan bahwa tantangan air dan energi saling terkait erat dengan isu kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Jika salah satu sektor gagal, maka sektor lainnya pun akan terdampak, memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat1.
Paradoks dan Tantangan Tata Kelola
Silo Mentality: Hambatan Menuju Kolaborasi
Salah satu tantangan utama yang diangkat laporan ini adalah “silo mentality”, di mana sektor air dan energi sering berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang memadai. Padahal, air dibutuhkan untuk hampir semua proses produksi energi (biofuel, pembangkit listrik, pendinginan), sementara energi sangat penting untuk pengolahan, distribusi, dan pemurnian air1.
Contoh nyata:
Studi Kasus dan Data Kunci
1. Hidroelektrik: Antara Solusi dan Ancaman
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sering dianggap solusi energi ramah lingkungan. Namun, laporan ini menyoroti bahwa pembangunan PLTA juga membawa risiko besar terhadap ekosistem sungai dan masyarakat sekitar.
Studi kasus:
Di beberapa negara Asia dan Afrika, pembangunan bendungan besar memang meningkatkan kapasitas listrik, namun juga menyebabkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Laporan ini menekankan pentingnya penilaian lingkungan yang komprehensif sebelum pembangunan1.
2. Shale Gas dan Fracking: Solusi Energi atau Ancaman Air?
Fracking untuk shale gas menjadi kontroversi besar, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Proses ini membutuhkan air dalam jumlah besar dan berisiko mencemari air tanah.
Studi kasus:
Di beberapa negara bagian AS, fracking telah menyebabkan penurunan kualitas air tanah, memicu protes masyarakat dan regulasi yang lebih ketat. Laporan ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut dan regulasi yang ketat untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dan perlindungan air1.
3. Urbanisasi: Tekanan Ganda pada Air dan Energi
Kota-kota besar menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan air dan energi yang terus meningkat.
Solusi:
Pendekatan terpadu dalam pengelolaan permintaan air dan energi, serta pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi, menjadi strategi penting yang disarankan dalam laporan ini1.
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global
Keterpaduan Kebijakan: Masih Jauh dari Harapan
Laporan ini mengkritisi kurangnya integrasi kebijakan antara sektor air dan energi, baik di level nasional maupun internasional. Meski sudah ada kemajuan sejak Konferensi Rio+20 (2012), dimana keterkaitan air dan energi mulai diakui dalam agenda pembangunan global, namun implementasi di lapangan masih lemah.
Perbandingan:
Peran Teknologi dan Inovasi
Teknologi berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.
Namun, laporan ini menekankan bahwa inovasi teknologi harus diiringi dengan perubahan kebijakan dan insentif ekonomi yang tepat.
Dampak Perubahan Iklim: Ancaman Ganda
Perubahan iklim memperparah tantangan air dan energi:
Laporan ini menekankan pentingnya strategi adaptasi dan mitigasi yang terintegrasi, termasuk perlindungan ekosistem hutan sebagai penyangga air dan penyerap karbon1.
Rekomendasi Strategis dari Laporan
1. Kolaborasi Lintas Sektor
Diperlukan kerjasama erat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan air dan energi saling mendukung.
2. Penetapan Harga yang Adil dan Transparan
Harga air dan energi harus mencerminkan biaya produksi dan dampak lingkungannya, agar mendorong efisiensi dan investasi pada teknologi bersih.
3. Inovasi Kebijakan dan Teknologi
4. Penguatan Data dan Riset
Pengambilan keputusan harus didasarkan pada data yang akurat tentang konsumsi air dan energi, serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Opini dan Kritik: Menuju Tata Kelola yang Lebih Adaptif
Laporan SIWI 2014 memberikan kontribusi penting dalam mendorong integrasi kebijakan air dan energi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di tingkat lokal dan nasional. Banyak negara masih terjebak pada pendekatan sektoral, sehingga peluang kolaborasi sering terhambat oleh ego sektoral dan regulasi yang tumpang tindih.
Dibandingkan dengan laporan-laporan serupa, seperti UN Water Development Report atau World Energy Outlook, SIWI lebih menekankan pada pentingnya dialog lintas sektor dan perlunya perubahan paradigma dalam tata kelola sumber daya alam.
Mengaitkan dengan Tren Industri dan Contoh Nyata
Industri: Menuju Circular Economy
Banyak perusahaan multinasional kini mulai menerapkan prinsip circular economy, di mana limbah air dan energi didaur ulang untuk mengurangi jejak lingkungan. Contohnya, pabrik-pabrik di sektor makanan dan minuman mulai memanfaatkan air limbah untuk menghasilkan biogas yang digunakan kembali sebagai energi.
Kebijakan Nasional: Indonesia dan Negara Berkembang
Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya air melimpah namun distribusi energi yang belum merata, bisa mengambil pelajaran dari laporan ini. Integrasi kebijakan air-energi dapat mempercepat pencapaian target SDGs, khususnya dalam akses air bersih dan energi terjangkau.
Masa Depan Berkelanjutan Butuh Sinergi Air dan Energi
Laporan “Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future” menegaskan bahwa masa depan berkelanjutan hanya bisa dicapai jika sektor air dan energi dikelola secara terpadu. Tantangan global seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk menuntut solusi inovatif, kolaboratif, dan berbasis data. Negara-negara berkembang seperti Indonesia perlu segera mengadopsi pendekatan ini untuk memastikan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Sumber Artikel
Jägerskog, A., Clausen, T. J., Holmgren, T. and Lexén, K., (eds.) 2014. Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future. Report Nr. 33. SIWI, Stockholm.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.
Studi Kasus dan Temuan Kunci
Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:
Angka dan Data Penting
Analisis Mekanisme Maladaptasi
Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:
Opini dan Kritik
Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.
Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.
Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?
Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.
Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi
Kapasitas Adaptif Organisasi
Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.
Hambatan Adaptasi
Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:
Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.
Studi Kasus dan Temuan Empiris
Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:
Strategi Adaptasi yang Diterapkan
Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:
Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:
Kritik dan Opini Tambahan
Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:
Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:
Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim
Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.
Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola
Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan
Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.
Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan
Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:
Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).
Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan
Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.
Kerangka Resilience-Governance
Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:
Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.
Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja
Latar Belakang
Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.
Tantangan Tata Kelola
Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.
Analisis Ketahanan
Data dan Fakta
Pelajaran dari Tonle Sap
Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.
Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan
Latar Belakang
Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.
Tantangan Tata Kelola
Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.
Analisis Ketahanan
Data dan Fakta
Pelajaran dari Limpopo
Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.
Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
Opini dan Rekomendasi
Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.
Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif
Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.
Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Sumber artikel asli:
Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.
Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia
Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks
Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.
Beberapa temuan kunci:
Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah
Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.
Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan
Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:
Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.
Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi
Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua
Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.
Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan
Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko
Kebijakan Multi-Level dan Inklusif
Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:
Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)
Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.
Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India
Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.
Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif
Mengelola Ketidakpastian dan Risiko
Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.
Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.
Peran Pengetahuan Lokal dan Adat
Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Kritik dan Nilai Tambah
Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.
Relevansi Industri dan Praktik Bisnis
Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.
Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan
Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri
Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global
Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.
Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.
Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Sumber artikel asli:
Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.