Sumber Daya Air

Menjadikan Air Bagian dari Pembangunan Ekonomi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ekonomi Masa Depan

Air bukan lagi sekadar kebutuhan dasar manusia, melainkan telah menjadi fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan pembangunan di abad ke-21. Paper “Making Water a Part of Economic Development” yang disusun oleh Stockholm International Water Institute (SIWI) bersama WHO dan didukung pemerintah Norwegia serta Swedia, menghadirkan argumen kuat: investasi pada pengelolaan air dan sanitasi bukan hanya urusan sosial atau lingkungan, melainkan strategi bisnis yang cerdas dan sangat menguntungkan untuk negara-negara berkembang maupun maju.

Artikel ini meresensi dan menganalisis temuan utama paper tersebut, mengangkat studi kasus, data penting, serta membandingkan relevansinya dengan tren global saat ini. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan struktur SEO-friendly, artikel ini bertujuan memberikan wawasan baru bagi pembaca umum, pebisnis, maupun pembuat kebijakan.

Mengapa Air Penting untuk Ekonomi?

Air, Sanitasi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Studi SIWI menegaskan adanya hubungan kausal antara akses air bersih dan sanitasi dengan pertumbuhan ekonomi. Negara miskin yang berhasil meningkatkan akses air dan sanitasi mengalami pertumbuhan PDB rata-rata 3,7% per tahun. Sebaliknya, negara dengan tingkat pendapatan serupa namun akses air buruk hanya tumbuh 0,1% per tahun. Artinya, air bukan sekadar kebutuhan, tapi akselerator ekonomi yang nyata.

Wajah Nyata Masalah Air Global

  • 2 dari 10 orang di dunia masih kekurangan akses air bersih.
  • 4 dari 10 orang belum memiliki sanitasi layak.
  • 90% korban diare yang meninggal setiap hari adalah anak-anak di bawah 5 tahun.
  • Perempuan di pedesaan Afrika bisa menghabiskan 4–6 jam/hari hanya untuk mengambil air.

Lima Pesan Penting: Investasi Air adalah Bisnis Cerdas

1. Air dan Sanitasi Mengentaskan Kemiskinan

Akses air dan sanitasi yang lebih baik terbukti mempercepat pengentasan kemiskinan. Studi kasus di Uganda, misalnya, menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya air darat bernilai hampir USD 300 juta per tahun melalui perlindungan hutan, pengendalian erosi, dan jasa pemurnian air.

2. Keuntungan Ekonomi Jauh Melebihi Biaya Investasi

  • Setiap USD 1 investasi di air dan sanitasi berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi USD 3–34, tergantung wilayah dan teknologi yang digunakan.
  • Total manfaat ekonomi tahunan dari pencapaian target MDG air dan sanitasi mencapai USD 84 miliar.
  • Investasi sanitasi seringkali memberikan dampak ekonomi lebih besar dibanding air saja.

3. Ketahanan Ekonomi melalui Infrastruktur Air

Kasus Kenya menjadi contoh nyata: banjir tahun 1997–98 menyebabkan kerugian USD 870 juta (11% PDB), sementara kekeringan 1999–2000 menimbulkan kerugian USD 1,4 miliar per tahun (16% PDB). Rata-rata, Kenya mengalami kerugian 2,4% PDB per tahun akibat variabilitas curah hujan. Dengan investasi pada infrastruktur air dan penyimpanan, ekonomi menjadi lebih tahan guncangan iklim.

4. Air sebagai Daya Saing Bisnis

  • 322 juta hari kerja per tahun dapat diperoleh secara global jika target MDG air dan sanitasi tercapai.
  • Waktu produktif yang dihemat dari pengumpulan air dan akses sanitasi bernilai USD 64 miliar per tahun.
  • Studi di Tiongkok: kerugian pendapatan industri akibat polusi air mencapai USD 1,7 miliar pada 1992.

5. Tantangan Investasi: Besar, Tapi Realistis

  • Dibutuhkan tambahan investasi global USD 11,3 miliar per tahun untuk mencapai target MDG air dan sanitasi.
  • Namun, manfaat ekonomi yang didapat mencapai USD 84 miliar per tahun, atau 7 kali lipat dari biaya.
  • Di negara-negara seperti Bangladesh, Ghana, Tanzania, dan Uganda, biaya per kapita tahunan untuk mencapai target hanya USD 4–7.

Studi Kasus dan Data Penting

Studi Kasus 1: Kenya – Ekonomi yang Bergantung pada Hujan

Kenya adalah contoh klasik negara yang sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Banjir dan kekeringan berulang kali menyebabkan kerugian ekonomi besar, menurunkan pertumbuhan PDB, serta meningkatkan kemiskinan. Investasi pada infrastruktur air, seperti bendungan dan irigasi, terbukti mampu mengurangi dampak negatif ini.

Studi Kasus 2: India – Dampak Proyek Air Terhadap Kesejahteraan Perempuan

Di Karnataka, India, proyek air dan sanitasi senilai USD 200 juta memberikan manfaat langsung kepada 5,5 juta orang. Net Present Value (NPV) proyek ini mencapai USD 85 juta dengan tingkat pengembalian internal lebih dari 20%. Perempuan, yang mayoritas bertanggung jawab atas air rumah tangga, menjadi penerima manfaat utama.

Studi Kasus 3: Bangladesh – Teknologi Sederhana, Dampak Besar

Penggunaan teknologi irigasi sederhana seperti “treadle pump” (pompa injak) seharga USD 12–30 per unit mampu meningkatkan pendapatan petani hingga USD 210 per 1.000 m² lahan, dengan NPV USD 900–1.900 per petani. Jika diadopsi oleh 1,5 juta petani, potensi manfaat ekonomi mencapai USD 1,4–2,8 miliar.

Studi Kasus 4: China – Kerugian Industri Akibat Polusi Air

Pada 1992, industri Tiongkok kehilangan pendapatan sebesar USD 1,7 miliar akibat polusi air. Ini menegaskan bahwa kualitas air menjadi faktor risiko bisnis yang sangat nyata, dan perbaikan pengelolaan air dapat menjadi daya saing nasional.

Manfaat Langsung & Tidak Langsung Investasi Air

Manfaat Kesehatan

  • Pengurangan penyakit diare hingga 25% dengan air bersih, 32% dengan sanitasi, dan 45% dengan edukasi kebersihan.
  • Setiap DALY (Disability Adjusted Life Year) yang diselamatkan melalui intervensi air dan sanitasi hanya membutuhkan USD 20–35, jauh lebih murah dibanding intervensi kesehatan lainnya.

Manfaat Ekonomi

  • Penghematan biaya kesehatan global USD 7 miliar/tahun.
  • Produktivitas meningkat karena waktu sakit berkurang, kehadiran sekolah meningkat, dan waktu pengumpulan air berkurang.
  • Nilai tambah pada properti dan peningkatan nilai lahan.

Manfaat Sosial

  • Peningkatan partisipasi perempuan dan anak perempuan di sekolah serta kegiatan ekonomi.
  • Pengurangan beban kerja domestik perempuan.

Tantangan dan Kritik: Mengapa Investasi Air Sering Terabaikan?

Persepsi “Biaya” vs “Investasi”

Banyak pembuat kebijakan masih menganggap investasi air dan sanitasi sebagai beban biaya, bukan investasi dengan pengembalian tinggi. Padahal, data menunjukkan bahwa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan jauh melebihi biaya awal.

Korupsi dan Tata Kelola

Studi di India menunjukkan bahwa korupsi di sektor air dan sanitasi cukup tinggi, dengan 41% responden pernah melakukan pembayaran informal untuk mempercepat layanan. Korupsi mengurangi efektivitas investasi dan memperlambat pencapaian manfaat ekonomi.

Ketimpangan Akses

Meskipun investasi air dan sanitasi sangat menguntungkan, distribusinya masih timpang. Daerah pedesaan dan masyarakat miskin seringkali menjadi kelompok yang paling tertinggal.

Relevansi dengan Tren Global & Industri

SDGs dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan

Temuan paper ini sangat relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan SDG 1 (No Poverty). Investasi pada air dan sanitasi terbukti menjadi fondasi bagi pencapaian target-target SDGs lainnya.

Adaptasi Perubahan Iklim

Dengan meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim, investasi pada infrastruktur air dan pengelolaan sumber daya air menjadi semakin penting untuk ketahanan ekonomi dan sosial.

Industri dan Bisnis

Banyak perusahaan multinasional kini memasukkan risiko air dalam strategi bisnis mereka. Akses air yang andal menjadi daya tarik investasi, sementara polusi air dapat menjadi hambatan besar bagi pertumbuhan industri.

Opini & Perbandingan dengan Studi Lain

Paper ini menegaskan bahwa air adalah katalisator ekonomi yang sering diabaikan. Dibandingkan dengan studi lain seperti laporan World Bank dan UNDP, hasil SIWI bahkan lebih menekankan pada pengembalian investasi yang sangat tinggi dan efek berantai pada sektor lain, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga produktivitas tenaga kerja.

Namun, tantangan implementasi tetap besar: tata kelola, pendanaan, dan perubahan perilaku masyarakat. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk memastikan manfaat ekonomi air dapat dirasakan secara merata.

Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

  1. Peningkatan Investasi: Baik pemerintah maupun swasta perlu mengalokasikan dana lebih besar untuk infrastruktur air dan sanitasi.
  2. Pemberdayaan Komunitas: Keterlibatan masyarakat, khususnya perempuan, dalam perencanaan dan pengelolaan air sangat penting untuk keberlanjutan.
  3. Transparansi dan Tata Kelola: Upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan tata kelola sektor air harus menjadi prioritas.
  4. Inovasi Teknologi: Adopsi teknologi sederhana dan murah seperti pompa injak dan irigasi tetes dapat mempercepat manfaat ekonomi.
  5. Integrasi dalam Strategi Ekonomi Nasional: Air harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional dan kebijakan makroekonomi.

Air, Investasi yang Tak Ternilai

Paper “Making Water a Part of Economic Development” membuktikan bahwa air bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan investasi strategis dengan pengembalian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sangat besar. Negara-negara yang berani berinvestasi pada air dan sanitasi akan menuai manfaat berlipat, mulai dari pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, hingga ketahanan menghadapi perubahan iklim.

Saatnya para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan masyarakat luas memandang air sebagai aset ekonomi utama, bukan sekadar komoditas murah. Investasi pada air adalah investasi pada masa depan bangsa.

Sumber Asli Artikel

MAKING WATER A PART OF ECONOMIC DEVELOPMENT: The Economic Benefits of Improved Water Management and Services. A report commissioned by the Governments of Norway and Sweden as input to the Commission on Sustainable Development (CSD) and its 2004–2005 focus on water, sanitation and related issues. Stockholm International Water Institute, 2005.

Selengkapnya
Menjadikan Air Bagian dari Pembangunan Ekonomi

Sumber Daya Air

Tindakan Bisnis Penting untuk Mencapai Keamanan Air di Dunia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Krisis Air Global dan Peran Dunia Usaha

Air adalah fondasi kehidupan dan pilar utama ekonomi global. Namun, dunia kini menghadapi krisis air yang kian parah akibat perubahan iklim, urbanisasi, dan persaingan antarsektor. Laporan “Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World” menyoroti peran strategis sektor bisnis dalam mendorong ketahanan air, mengupas tantangan, peluang, serta aksi nyata yang dapat diambil perusahaan demi masa depan yang berkelanjutan. Artikel ini akan membedah temuan utama, studi kasus, data kunci, serta analisis kritis dan relevansi tren global, dengan gaya populer dan SEO-friendly agar mudah dipahami dan ditemukan pembaca luas1.

Gambaran Umum: Mengapa Bisnis Harus Peduli Ketahanan Air?

Fakta dan Angka Kunci

  • 2,2 miliar orang di dunia masih belum memiliki akses ke air minum aman1.
  • 1,42 miliar orang—termasuk 450 juta anak—hidup di wilayah dengan kerentanan air tinggi1.
  • Jika tren saat ini berlanjut, kesenjangan antara pasokan dan permintaan air global diproyeksikan mencapai 40% pada 20301.
  • Pada 2050, satu dari empat orang diperkirakan tinggal di negara dengan kekurangan air kronis1.
  • 97% air di bumi adalah air asin, dan sebagian besar air tawar tersimpan di gletser—kurang dari 1% yang bisa diakses manusia1.
  • 70% air tawar global digunakan untuk pertanian, 19% untuk industri, dan 11% untuk rumah tangga1.
  • Kerugian ekonomi akibat krisis air: $260 miliar per tahun dari pasokan air dan sanitasi yang tidak memadai, $120 miliar per tahun dari kerusakan banjir perkotaan, dan hampir $700 miliar kerugian akibat banjir dan kekeringan dalam 20 tahun terakhir1.
  • World Bank memperkirakan krisis air dapat memperlambat pertumbuhan PDB hingga 6% di beberapa negara pada 20501.

Studi Kasus Global: Dampak Nyata Krisis Air

1. Madagascar: Bertahan di Tengah Kekeringan

Di kawasan kering Madagascar, perempuan terpaksa menggali lubang di dasar sungai yang mengering demi mendapatkan air. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kelangkaan air, tetapi juga memperlihatkan beban gender dan risiko kesehatan yang dihadapi masyarakat rentan1.

2. Pakistan: Banjir dan Disrupsi Kehidupan

Pakistan dilanda banjir parah yang memaksa ribuan keluarga kehilangan rumah dan harus mencari sumber air baru. Bencana ini memperlihatkan bagaimana perubahan iklim memperparah ketidakpastian pasokan air dan memicu migrasi serta konflik sosial1.

3. South Sudan: Banjir dan Ketahanan Pangan

Di South Sudan, banjir ekstrem mengakibatkan panen gagal dan seluruh komunitas terendam air. Hal ini berdampak langsung pada ketahanan pangan, kesehatan, dan stabilitas sosial, memperkuat argumen bahwa air adalah kunci pembangunan berkelanjutan1.

4. Indonesia: Tantangan Air dan Ketahanan Pangan

Indonesia menghadapi tantangan air akibat perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, dan serangan hama yang mengganggu produksi pangan. Krisis air di Indonesia juga memperlihatkan kerentanan sistem pangan nasional terhadap perubahan iklim dan tata kelola air yang belum efektif1.

5. Cameroon: Air dan Pendidikan

Di Cameroon, akses air bersih di sekolah menjadi faktor penting dalam mendukung pendidikan dan masa depan ekonomi generasi muda. Kurangnya air bersih menghambat proses belajar, kesehatan, dan kesejahteraan anak-anak1.

Analisis Bisnis: Mengapa Dunia Usaha Harus Bertindak?

Dampak Krisis Air pada Bisnis

  • Gangguan Operasional: Kekeringan, banjir, dan polusi air dapat menghentikan produksi, menaikkan biaya bahan baku, dan memutus rantai pasok global1.
  • Risiko Finansial: Kerugian ekonomi akibat air yang tidak aman dan sanitasi buruk mencapai $260 miliar per tahun, sementara kerusakan banjir menambah $120 miliar per tahun1.
  • Persaingan Sumber Daya: Dua pertiga air tawar dunia digunakan dalam rantai pasok korporasi—dari pangan hingga kimia. Persaingan air antar industri, pertanian, dan masyarakat kian tajam, terutama di masa krisis1.
  • Reputasi dan Izin Sosial: Perusahaan yang gagal mengelola air secara bertanggung jawab menghadapi risiko hukum, reputasi, dan kehilangan “social license to operate” dari masyarakat dan pemerintah1.

Peluang Bisnis dalam Ketahanan Air

  • Efisiensi Biaya: Setiap $1 yang diinvestasikan untuk mengatasi risiko air dapat menghemat lebih dari $5 biaya masa depan jika dibiarkan1.
  • Inovasi Produk dan Pasar Baru: Permintaan akan teknologi hemat air, produk ramah lingkungan, dan solusi pengelolaan air menciptakan peluang bisnis baru di pasar global1.
  • Keunggulan Kompetitif: Perusahaan dengan tata kelola air yang baik cenderung lebih siap menghadapi perubahan iklim dan tuntutan pasar, serta menarik minat investor yang peduli ESG (Environmental, Social, Governance)1.
  • Penguatan Rantai Pasok: Investasi pada ketahanan air di seluruh rantai pasok meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya kesehatan, dan memperkuat keamanan pasokan bahan baku1.

Tujuh Alasan Bisnis Harus Beraksi untuk Ketahanan Air

  1. Leverage untuk Net Zero: Sistem air adalah sumber emisi gas rumah kaca signifikan. Dekarbonisasi sektor air mendukung strategi net zero perusahaan1.
  2. Pengurangan Biaya Operasional: Efisiensi air menurunkan biaya produksi, perawatan, dan risiko gangguan bisnis1.
  3. Peluang Pasar Baru: Inovasi produk dan layanan hemat air membuka pasar baru dan memperkuat daya saing1.
  4. Ketahanan Rantai Pasok: Investasi air memperkuat rantai pasok dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja1.
  5. Lisensi Sosial untuk Beroperasi: Keterlibatan aktif dalam pengelolaan air memperkuat hubungan dengan masyarakat dan pemerintah, serta mengurangi risiko reputasi1.
  6. Stabilitas Pasar dan Sosial: Akses air yang lebih luas meningkatkan pendapatan rumah tangga, mendorong konsumsi, dan menciptakan masyarakat yang lebih stabil1.
  7. Nilai Tambah bagi Pemegang Saham: Investor semakin menuntut transparansi dan aksi nyata terkait risiko air. Resolusi pemegang saham terkait air meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir1.

Strategi dan Aksi Nyata: Lima Pilar Bisnis untuk Dunia yang Aman Air

1. Integrasi Komitmen Tata Kelola Air dalam Kebijakan Korporasi

  • Menetapkan strategi pengelolaan air jangka panjang, termasuk target konservasi, perlindungan sumber air, pengolahan limbah, dan daur ulang air di seluruh rantai pasok1.
  • Melakukan penilaian penggunaan air secara berkala, memahami dampak sosial dan lingkungan, serta kebutuhan komunitas sekitar operasi bisnis1.

2. Dukungan untuk Komunitas dan Kelompok Rentan

  • Menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas akses air dan edukasi di komunitas lokal1.
  • Berpartisipasi dalam konservasi daerah aliran sungai dan inisiatif kolektif lintas sektor, seperti kolaborasi dengan UNICEF melalui program Water Security for All1.

3. Inovasi Teknologi dan Efisiensi

  • Mengembangkan dan menerapkan teknologi digital seperti IoT, smart meter, dan big data untuk memonitor penggunaan air, kualitas, serta prediksi risiko banjir dan kekeringan1.
  • Mendorong penggunaan energi terbarukan untuk layanan air, seperti pompa air tenaga surya di kawasan terpencil1.
  • Mengadopsi model bisnis baru seperti pembayaran jasa lingkungan (PES) dan blended finance untuk memperluas pembiayaan proyek air berkelanjutan1.

4. Advokasi Kebijakan dan Kolaborasi Pemerintah

  • Mendukung kebijakan publik yang mengedepankan pengelolaan air berkelanjutan, termasuk integrasi WASH (water, sanitation, hygiene) dalam rencana aksi iklim nasional1.
  • Berkontribusi dalam penyusunan regulasi, mekanisme pasar, dan pendanaan iklim yang mendukung konservasi air dan efisiensi penggunaan1.

5. Akselerasi Pembiayaan dan Peningkatan Kapasitas

  • Menyediakan hibah, pinjaman, dan investasi bersama untuk memperluas layanan air dan membangun infrastruktur tahan iklim1.
  • Mendukung pelatihan dan pengembangan kapasitas lokal untuk pengelolaan air yang profesional dan adaptif terhadap perubahan iklim1.

Studi Kasus Bisnis: Praktik Baik dan Pembelajaran

1. Kolaborasi di Afrika: Water Fund Nairobi

Perusahaan air di Nairobi, Kenya, membayar petani di hulu Sungai Tana untuk menerapkan praktik pertanian ramah lingkungan. Skema ini meningkatkan ketahanan air kota, memperbaiki ekosistem, dan meningkatkan pendapatan petani—menjadi model replikasi di Afrika dan Amerika Latin1.

2. Inovasi Energi Terbarukan di Asia

Di berbagai negara Asia, perusahaan mulai mengadopsi irigasi dan pengolahan air bertenaga surya untuk menekan biaya operasional dan mengurangi jejak karbon. Model ini memperluas akses air di daerah terpencil dan memperkuat ketahanan iklim1.

3. Industri Makanan dan Minuman: Efisiensi Rantai Pasok

Perusahaan makanan dan minuman multinasional menerapkan audit air di seluruh rantai pasok, mengurangi konsumsi air, dan mendaur ulang limbah cair. Hasilnya, biaya produksi turun, kualitas produk meningkat, dan risiko gangguan pasokan berkurang1.

Tantangan dan Kritik: Apa yang Masih Kurang?

1. Individualisme vs. Aksi Kolektif

Banyak perusahaan telah memulai inisiatif hemat air secara individual, namun laporan ini menegaskan bahwa solusi sistemik hanya bisa dicapai melalui aksi kolektif lintas sektor dan lintas negara. Kolaborasi menjadi kunci untuk mengatasi kompleksitas dan skala krisis air global1.

2. Kesenjangan Implementasi

Meskipun banyak rekomendasi dan komitmen, implementasi di lapangan masih sering terhambat oleh birokrasi, kurangnya insentif, dan minimnya data monitoring. Banyak program gagal memberikan dampak nyata karena lemahnya evaluasi dan pengawasan jangka panjang1.

3. Ketimpangan Akses dan Keadilan Sosial

Kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak, masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses air bersih. Perusahaan perlu lebih proaktif dalam memastikan keadilan sosial dan inklusi dalam setiap aksi ketahanan air1.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Global

1. ESG dan Green Finance

Investor global kini menilai perusahaan tidak hanya dari profit, tetapi juga dari kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Perusahaan yang gagal mengelola risiko air berisiko kehilangan akses ke pembiayaan hijau dan pasar internasional1.

2. Digitalisasi dan Industri 4.0

Transformasi digital di sektor air—mulai dari sensor, big data, hingga AI—membuka peluang efisiensi, transparansi, dan pemberdayaan komunitas lokal. Namun, adopsi teknologi masih menghadapi tantangan biaya dan kapasitas SDM1.

3. SDGs dan Paris Agreement

Aksi bisnis di sektor air sangat relevan untuk pencapaian SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 17 (kemitraan untuk tujuan). Kolaborasi lintas sektor menjadi syarat utama keberhasilan agenda global ini1.

Rekomendasi Strategis untuk Bisnis dan Pemerintah

  1. Bangun Koalisi Multi-Pihak: Libatkan pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan komunitas lokal dalam aksi kolektif ketahanan air.
  2. Perkuat Monitoring dan Transparansi: Publikasikan data penggunaan air, kualitas, dan dampak sosial-lingkungan secara terbuka.
  3. Dorong Inovasi dan Pembiayaan Adaptif: Kembangkan instrumen blended finance, green bonds, dan insentif fiskal untuk memperluas investasi air berkelanjutan.
  4. Integrasi Solusi Berbasis Alam: Kombinasikan infrastruktur konvensional dengan solusi berbasis alam untuk meningkatkan ketahanan ekosistem.
  5. Pemberdayaan Kelompok Rentan: Pastikan perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin terlibat aktif dalam perencanaan dan implementasi program air.
  6. Advokasi dan Edukasi Publik: Tingkatkan kesadaran dan advokasi tentang pentingnya air sebagai sumber daya terbatas dan hak asasi manusia.

Bisnis sebagai Motor Ketahanan Air Masa Depan

Laporan “Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World” menegaskan bahwa krisis air adalah tantangan sistemik yang hanya bisa diatasi melalui aksi kolektif dan inovatif, dengan bisnis sebagai aktor kunci. Studi kasus dari berbagai negara membuktikan bahwa investasi pada ketahanan air tidak hanya menyelamatkan lingkungan dan masyarakat, tetapi juga menciptakan peluang bisnis, efisiensi biaya, dan keunggulan kompetitif. Dengan mengadopsi rekomendasi laporan ini, perusahaan dan pemerintah dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan—menuju dunia yang benar-benar aman air pada 20301.

Sumber Asli

Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World. UNICEF, 2022.

Selengkapnya
Tindakan Bisnis Penting untuk Mencapai Keamanan Air di Dunia

Sumber Daya Air

Investasi Berkelanjutan di Sektor Air Pertanian: Kunci Ketahanan Pangan dan Iklim Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


 Mengapa Investasi Air Pertanian Menjadi Sorotan Global?

Di tengah krisis pangan, perubahan iklim, dan tekanan populasi dunia yang terus meningkat, sektor air pertanian menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Laporan FAO berjudul Investing in Agricultural Water, Sustainably – Recent Trends in Financing Institutions (2022) mengupas tren, tantangan, dan inovasi dalam pembiayaan air pertanian selama dekade terakhir. Artikel ini merangkum temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta memberikan opini kritis dan relevansi terhadap tren global dan industri, dengan gaya populer dan SEO-friendly agar mudah dipahami serta ditemukan pembaca luas12.

Gambaran Umum: Peran Strategis Investasi Air Pertanian

Mengapa Air Pertanian Penting?

  • Sumber pangan dunia: Sekitar 70% air tawar global digunakan untuk pertanian.
  • Ketahanan pangan: Air irigasi meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi risiko gagal panen, dan menopang mata pencaharian jutaan petani.
  • Tantangan global: Krisis air, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk menuntut efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan air pertanian13.

Peran Lembaga Keuangan Internasional (IFIs)

Lembaga seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank (IsDB) berperan penting sebagai katalis investasi, meski kontribusi finansial mereka hanya sebagian kecil dibanding pemerintah dan sektor swasta. Namun, IFIs memiliki kekuatan dalam mendemonstrasikan investasi bertanggung jawab, mendorong tata kelola, dan mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan12.

Angka-Angka Kunci: Skala dan Pola Investasi

  • Total investasi IFIs: USD 21–68 miliar per tahun (2010–2019) untuk negara berpendapatan rendah dan menengah, dalam bentuk pinjaman, hibah, dan investasi ekuitas1.
  • Porsi air pertanian: Sekitar 27% dari total investasi IFIs di sektor pertanian dialokasikan untuk air pertanian, sisanya untuk kebijakan, manajemen, dan infrastruktur lain14.
  • Distribusi geografis: Sub-Sahara Afrika memiliki jumlah proyek terbanyak (39% dari total global), sementara Asia Selatan menerima komitmen dana terbesar (34% dari total global)1.
  • Proyek besar: Dari 504 proyek IFIs selama satu dekade, hanya 30 proyek yang menyerap setengah dari total dana yang dikomitmenkan—menunjukkan konsentrasi pada proyek-proyek strategis berskala besar1.

Studi Kasus Inspiratif: Inovasi dan Tantangan di Lapangan

1. Proyek Olmos, Peru: Inovasi Skema PPP Irigasi

Pemerintah Peru melelang 38.000 hektar lahan tidur kepada investor swasta untuk dikembangkan menjadi lahan irigasi produktif. Skema take-or-pay memungkinkan petani memperoleh hak atas lahan dan layanan irigasi dari investor swasta. Proyek ini menjadi contoh peralihan fungsi investasi dari pemerintah ke swasta dalam skala besar, dengan model kemitraan yang menyeimbangkan risiko dan keuntungan1.

2. Desalinasi Agadir, Maroko: Kolaborasi Multi-Pihak

Proyek desalinasi di Agadir melibatkan pemerintah, petani, dan investor swasta (Abengoa, Spanyol) untuk membangun pabrik desalinasi bertenaga energi terbarukan. Air hasil desalinasi digunakan untuk kebutuhan domestik dan irigasi 13.600 hektar lahan pertanian. Model Design-Build-Finance-Operate-Maintain (DBFOM) ini menunjukkan potensi kolaborasi lintas sektor dalam mengatasi krisis air di kawasan kering1.

3. Zambia Irrigation Development Support Project: Integrasi Petani Kecil dan Komersial

Proyek ini menggabungkan petani subsisten, petani berkembang, dan petani komersial dalam satu skema irigasi bertingkat. Sistem manajemen irigasi dikelola oleh penyedia jasa profesional, bukan pemerintah, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Model ini masih dalam tahap awal, namun menawarkan pendekatan baru dalam pemberdayaan petani dan efisiensi layanan irigasi1.

Analisis Tren dan Tantangan Investasi

1. Dominasi Investasi Swasta dan Pemerintah

  • Petani sebagai investor: Di negara berkembang, 77% investasi pertanian berasal dari petani sendiri, jauh melampaui ODA atau FDI1.
  • Pemerintah: Menyumbang 19% investasi tahunan di sektor pertanian, terutama untuk riset dan pengembangan.
  • IFIs: Meski kontribusi finansialnya kecil, IFIs berperan penting dalam advokasi, tata kelola, dan inovasi pembiayaan12.

2. Inovasi Instrumen Pembiayaan

  • Multi-phase programmatic approach (MPA): Membagi proyek besar menjadi beberapa fase untuk mengurangi kompleksitas dan risiko politik.
  • Performance-based lending (PBL): Dana dicairkan berdasarkan pencapaian kinerja tertentu, mendorong akuntabilitas dan hasil nyata.
  • Payment for Ecosystem Services (PES): Skema seperti water fund di Kenya dan Tiongkok mengharuskan pengguna air hilir membayar konservasi di hulu, mendukung keberlanjutan ekosistem12.

3. Tantangan Implementasi

  • Ketimpangan manfaat: Evaluasi dampak menunjukkan distribusi manfaat dan beban investasi irigasi sering tidak merata, terutama bagi kelompok rentan dan perempuan1.
  • Kurangnya monitoring: Banyak proyek gagal memberikan manfaat jangka panjang akibat lemahnya pemeliharaan, perubahan iklim, atau masalah tenurial1.
  • Efisiensi air: Paradoks efisiensi irigasi: adopsi teknologi hemat air kadang justru meningkatkan total penggunaan air akibat perluasan lahan irigasi1.

Inovasi Teknologi dan Tata Kelola: Masa Depan Investasi Air Pertanian

1. Teknologi Digital dan Data

  • Internet of Things (IoT): Sensor tanah dan air, aplikasi mobile, serta sistem monitoring real-time membantu petani mengoptimalkan penggunaan air dan input pertanian1.
  • Big Data & AI: Analitik data besar digunakan untuk prediksi cuaca, rekomendasi tanam, dan manajemen risiko iklim. Proyek di Kenya dan Kolombia telah menunjukkan peningkatan hasil panen dan efisiensi melalui sistem informasi agro-klimat1.
  • Remote Sensing: Penginderaan jauh (satellite, LIDAR) mendukung pemetaan sumber daya air dan evaluasi proyek irigasi secara cepat dan murah1.

2. Irigasi Modern dan Energi Terbarukan

  • Drip Irrigation Bertekanan Rendah: Proyek di Yordania dan Maroko mengembangkan sistem irigasi tetes ultra-low pressure, menghemat energi hingga 50% dan cocok untuk petani kecil1.
  • Solar-Powered Irrigation: India dan negara Afrika mulai mengadopsi irigasi bertenaga surya, menekan biaya operasional dan jejak karbon1.
  • Desalinasi dan Reuse: Penggunaan air hasil desalinasi dan daur ulang limbah cair pertanian semakin relevan di kawasan rawan air1.

3. Tata Kelola Partisipatif dan Inklusif

  • Water User Associations (WUAs): Keterlibatan petani dalam pengelolaan irigasi terbukti meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan, meski masih menghadapi tantangan kapasitas dan insentif1.
  • Stakeholder Engagement: Proyek di Malawi dan Eswatini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan irigasi meningkatkan rasa kepemilikan dan hasil jangka panjang1.
  • Gender Mainstreaming: 76% proyek ADB memasukkan rencana aksi gender, namun masih perlu peningkatan dalam hasil nyata pemberdayaan perempuan1.

Studi Kasus Tambahan: Pembelajaran dari Berbagai Kawasan

1. Upper Tana-Nairobi Water Fund, Kenya

Perusahaan air di Nairobi membayar petani di hulu Sungai Tana untuk menerapkan praktik pertanian ramah lingkungan. Skema ini meningkatkan ketahanan air kota, memperbaiki ekosistem, dan meningkatkan pendapatan petani. Model ini kini direplikasi di berbagai negara Afrika dan Amerika Latin1.

2. Vietnam: Adaptasi Iklim di Sektor Pertanian

Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa adopsi teknologi adaptasi iklim di sektor pertanian Vietnam dapat meningkatkan nilai tambah pertanian hingga 10%. Langkah yang diambil meliputi penyesuaian jadwal tanam, varietas tahan kekeringan/banjir, dan peningkatan layanan penyuluhan1.

3. Serbia: Modernisasi Irigasi Berbasis Data

EBRD mendukung modernisasi irigasi di Serbia dengan melibatkan petani, perusahaan internasional, dan UKM. Proyek ini fokus pada rehabilitasi infrastruktur lama dan adopsi teknologi hemat air di tingkat petani, membuktikan pentingnya kolaborasi multi-aktor1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Kekuatan Laporan FAO

  • Menyajikan analisis komprehensif berbasis data global dan studi kasus nyata.
  • Menyoroti pentingnya inovasi tata kelola, teknologi, dan pembiayaan adaptif.
  • Menekankan peran petani sebagai investor, bukan sekadar penerima manfaat12.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data monitoring: Banyak proyek gagal karena minim evaluasi jangka panjang dan data dampak.
  • Ketimpangan akses: Petani kecil dan perempuan masih sering tertinggal dalam akses teknologi dan manfaat proyek.
  • Over-subsidization: Ketergantungan pada subsidi irigasi menimbulkan masalah keberlanjutan keuangan dan lingkungan1.

Perbandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan riset internasional lain (misal OECD, World Bank), laporan FAO menonjol dalam menekankan pentingnya integrasi antara inovasi teknologi, tata kelola, dan partisipasi lokal. Namun, tantangan klasik seperti siklus build-neglect-rehabilitate pada infrastruktur irigasi masih menjadi masalah global yang belum tuntas124.

Kaitan dengan Tren Industri dan Agenda Global

  • SDGs dan Paris Agreement: Investasi air pertanian mendukung pencapaian SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), SDG 13 (Climate Action), dan SDG 15 (Life on Land)12.
  • ESG dan Green Finance: Investor global semakin menuntut proyek pertanian yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), mendorong inovasi pembiayaan hijau dan obligasi hijau.
  • Digitalisasi dan Industri 4.0: Transformasi digital di sektor pertanian dan air membuka peluang efisiensi, transparansi, dan pemberdayaan petani kecil.
  • Ketahanan Iklim: Investasi pada infrastruktur adaptif dan teknologi ramah iklim menjadi prioritas utama untuk menghadapi volatilitas cuaca dan risiko gagal panen13.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan

  1. Fokus pada Tata Kelola dan Monitoring: Prioritaskan investasi pada sistem monitoring, evaluasi, dan tata kelola partisipatif untuk memastikan dampak jangka panjang.
  2. Inovasi Pembiayaan: Kembangkan instrumen blended finance, green bonds, dan skema PES untuk memperluas basis pendanaan.
  3. Pemberdayaan Petani dan Inklusi Gender: Perkuat kapasitas petani kecil dan perempuan dalam akses teknologi, pelatihan, dan pengambilan keputusan.
  4. Adopsi Teknologi Digital: Dorong digitalisasi pertanian melalui IoT, big data, dan aplikasi mobile untuk meningkatkan efisiensi dan ketahanan.
  5. Integrasi Solusi Berbasis Alam: Kombinasikan infrastruktur abu-abu (konvensional) dengan solusi berbasis alam untuk meningkatkan keberlanjutan ekosistem.

Investasi Air Pertanian sebagai Pilar Masa Depan Berkelanjutan

Investasi berkelanjutan di sektor air pertanian bukan hanya soal membangun infrastruktur, tetapi juga membangun ekosistem inovasi, tata kelola, dan pemberdayaan petani. Studi kasus dari Peru, Maroko, Zambia, Kenya, Vietnam, dan Serbia membuktikan bahwa kolaborasi lintas sektor, adopsi teknologi, dan model pembiayaan baru mampu meningkatkan produktivitas, ketahanan pangan, dan kesejahteraan petani. Namun, tantangan ketimpangan, monitoring, dan keberlanjutan pembiayaan masih perlu diatasi dengan strategi adaptif dan partisipatif.

Dengan mengadopsi rekomendasi FAO, negara berkembang seperti Indonesia dapat mempercepat transformasi sektor pertanian menuju masa depan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan—menjadi pelopor dalam investasi air pertanian yang ramah iklim dan pro-petani.

Sumber Asli

Ghosh, E., Kemp-Benedict, E., Huber-Lee, A., Nazareth, A. and Oudra, I. 2022. Investing in agricultural water, sustainably – Recent trends in financing institutions. FAO Investment Centre – Directions in Investment, No. 7. Rome, FAO.

Selengkapnya
Investasi Berkelanjutan di Sektor Air Pertanian: Kunci Ketahanan Pangan dan Iklim Masa Depan

Sumber Daya Air

Asian Water Development Outlook 2020 dan Menjawab Tantangan Keamanan Air di Asia Pasifik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Keamanan air kini menjadi isu strategis di kawasan Asia Pasifik, wilayah yang menampung sekitar 60% populasi dunia dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi global. Namun, di balik kemajuan ekonomi, kawasan ini menghadapi tantangan serius terkait akses air bersih, sanitasi, polusi, serta risiko bencana terkait air. Laporan Asian Water Development Outlook (AWDO) 2020 yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) hadir sebagai referensi utama yang menawarkan analisis berbasis data, studi kasus nyata, dan rekomendasi kebijakan untuk mendorong transformasi sektor air di Asia Pasifik.

Artikel ini akan mengulas temuan utama AWDO 2020, menyoroti angka-angka kunci, studi kasus inspiratif, serta memberikan opini kritis dan relevansi terhadap tren global. Disusun dengan gaya yang mudah dipahami dan SEO-friendly, artikel ini diharapkan menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Kerangka Penilaian AWDO 2020

AWDO 2020 menilai 49 negara di Asia dan Pasifik menggunakan kerangka lima dimensi keamanan air yang saling terkait, yakni:

  1. Keamanan Air Rumah Tangga Pedesaan
  2. Keamanan Air Ekonomi
  3. Keamanan Air Perkotaan
  4. Keamanan Air Lingkungan
  5. Keamanan Bencana Terkait Air

Setiap dimensi diukur dengan indikator terukur, menghasilkan skor komposit yang menggambarkan tingkat keamanan air nasional. Menariknya, tidak ada satu pun negara yang mencapai status “model” (skor tertinggi), menandakan masih banyak ruang untuk perbaikan di seluruh kawasan.

Fakta dan Angka Kunci

AWDO 2020 mengungkapkan sejumlah data yang cukup mencengangkan. Sekitar 1,5 miliar penduduk pedesaan di Asia Pasifik masih belum memiliki akses ke air bersih dan sanitasi layak. Di kawasan perkotaan, 600 juta orang masih menghadapi masalah serupa. Sebanyak 27 negara di kawasan ini menghadapi keterbatasan air serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, 18 negara belum mampu melindungi penduduknya dari bencana air seperti banjir, kekeringan, dan badai.

Skor keamanan air nasional bervariasi tajam. Negara-negara dengan ekonomi maju rata-rata mencatat skor 86,5, jauh di atas skor rata-rata kawasan Pasifik (45,4) dan Asia Selatan (47,7). Negara-negara Asia Timur mencatat skor rata-rata 72,8. Skor terendah yang dicatat dalam laporan ini adalah 39,5, sedangkan yang tertinggi mencapai 89,1. Angka-angka ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan, tantangan mendasar masih sangat besar, terutama di negara-negara berkembang dan kawasan kepulauan Pasifik.

Studi Kasus Inspiratif

Karnataka, India

Karnataka adalah contoh nyata bagaimana metodologi AWDO dapat diadaptasi di tingkat subnasional. Dengan 58% wilayah rawan kekeringan dan permintaan air yang terus meningkat, pemerintah negara bagian mengadopsi pendekatan AWDO untuk perencanaan kebijakan air berbasis data. Tantangan utama yang diidentifikasi meliputi fragmentasi institusi, kurangnya data, dan minimnya partisipasi pemangku kepentingan. Hasilnya, kebijakan air di Karnataka kini lebih terintegrasi dan responsif terhadap kebutuhan lokal.

Timor-Leste

Sebagai negara muda dengan pertumbuhan penduduk tinggi, Timor-Leste menghadapi ketimpangan akses air dan sanitasi antarwilayah. AWDO digunakan untuk pemetaan keamanan air di tingkat kabupaten, mengungkap keterbatasan data, perlunya investasi besar infrastruktur, dan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Studi kasus ini menegaskan bahwa adaptasi metodologi AWDO dapat membantu negara berkembang merumuskan prioritas investasi dan kebijakan berbasis bukti.

Thailand

Thailand mengadopsi kerangka AWDO dalam strategi nasionalnya untuk mengelola air secara lintas sektor. Fokus utamanya adalah mengatasi fragmentasi institusi, meningkatkan ketahanan terhadap banjir dan kekeringan, serta memastikan integrasi kebijakan lintas kementerian. Langkah ini terbukti efektif dalam memperkuat tata kelola dan respons terhadap bencana air yang semakin intens akibat perubahan iklim.

Yellow River, Tiongkok

Basin Sungai Kuning (Yellow River) di Tiongkok menghadapi tantangan kompleks: risiko banjir, kelangkaan air, sedimentasi berat, dan polusi industri. AWDO digunakan sebagai alat penilaian dan desain intervensi lintas provinsi, menyoroti pentingnya kerjasama antarwilayah dan pengelolaan berbasis data untuk mengatasi masalah air secara sistemik.

Analisis Dimensi Kunci Keamanan Air

1. Keamanan Air Rumah Tangga Pedesaan

Hampir 1,5 miliar penduduk pedesaan di Asia Pasifik masih belum memiliki akses ke air bersih dan sanitasi layak. Hal ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, produktivitas ekonomi, dan ketimpangan sosial. Investasi pada WASH (water, sanitation, hygiene) terbukti memberikan return tinggi, menurunkan angka penyakit, serta meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas perempuan dan anak-anak.

2. Keamanan Air Ekonomi

Sebanyak 27 negara menghadapi keterbatasan air serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian, industri, dan energi sangat bergantung pada ketersediaan air yang andal dan berkelanjutan. AWDO menekankan pentingnya data, efisiensi penggunaan air, dan investasi pada infrastruktur modern untuk memastikan air tetap menjadi pendorong utama ekonomi kawasan.

3. Keamanan Air Perkotaan

Urbanisasi pesat menyebabkan 600 juta penduduk perkotaan belum mendapatkan layanan air dan sanitasi memadai. Kota-kota besar menghadapi tantangan baru: banjir, polusi, keterjangkauan tarif, dan ketimpangan layanan di kawasan kumuh. Solusi inovatif seperti circular economy, pemanfaatan air limbah, dan teknologi smart city menjadi semakin relevan untuk mengatasi masalah ini.

4. Keamanan Air Lingkungan

Degradasi lingkungan air—baik sungai, danau, maupun air tanah—semakin mengkhawatirkan akibat polusi, eksploitasi, dan perubahan tata guna lahan. Perlindungan ekosistem dan tata kelola lingkungan yang kuat menjadi prasyarat untuk memastikan keberlanjutan sumber daya air bagi generasi mendatang.

5. Keamanan Bencana Terkait Air

Sebanyak 18 negara belum mampu melindungi penduduknya dari bencana air seperti banjir, kekeringan, dan badai. Investasi pada infrastruktur hijau, sistem peringatan dini, dan penguatan kapasitas masyarakat menjadi kunci untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi kerugian ekonomi maupun korban jiwa.

Rekomendasi Kebijakan AWDO 2020

Berikut adalah ringkasan rekomendasi kebijakan utama dari AWDO 2020 yang relevan untuk seluruh negara Asia Pasifik:

  • Jadikan air sebagai pusat pembangunan berkelanjutan: Integrasikan isu air dalam seluruh kebijakan pembangunan, bukan hanya sektor infrastruktur.
  • Investasi besar pada infrastruktur air dan sanitasi: Kebutuhan investasi rata-rata mencapai USD 53 miliar per tahun hingga 2030, dengan sepertiga diharapkan dari sektor swasta.
  • Penguatan tata kelola dan pendanaan: Reformasi kelembagaan, transparansi, dan akuntabilitas sangat penting untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
  • Pendekatan lintas sektor dan berbasis data: Kolaborasi antar kementerian, pemerintah daerah, dan sektor swasta mutlak diperlukan.
  • Keterlibatan kelompok rentan: Libatkan perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.

Opini & Perbandingan

AWDO 2020 menandai lompatan besar dibanding edisi sebelumnya dengan memperluas cakupan ke aspek tata kelola dan pembiayaan. Jika dibandingkan dengan laporan UN SDG 6, AWDO memberikan detail lebih kaya pada konteks Asia-Pasifik, termasuk studi kasus dan analisis berbasis data lokal. Namun, tantangan implementasi tetap besar: political will, kapasitas institusi, serta keberlanjutan pendanaan sering kali menjadi hambatan utama.

Dari sisi inovasi, AWDO mendorong adopsi solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan circular economy sebagai tren masa depan. Hal ini sejalan dengan perkembangan industri air global, di mana startup teknologi lingkungan, perusahaan air, dan pemerintah daerah berlomba mengembangkan solusi efisien, inklusif, dan berkelanjutan.

Kaitan dengan Tren Global & Industri

  • Urbanisasi & Perubahan Iklim: Tekanan terhadap sistem air semakin besar seiring pertumbuhan kota dan intensifikasi cuaca ekstrem.
  • Teknologi & Circular Economy: Digitalisasi, smart metering, dan pemanfaatan air limbah menjadi solusi masa depan.
  • Bisnis & Startup: Peluang besar bagi pelaku industri untuk mengembangkan layanan air berbasis teknologi dan model bisnis inovatif.
  • Pemerintah Daerah: Didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis data dan kolaboratif sesuai rekomendasi AWDO.

Kesimpulan

AWDO 2020 adalah referensi utama untuk memahami dan meningkatkan keamanan air di Asia Pasifik. Data, tata kelola, dan investasi menjadi pilar utama. Studi kasus dari India, Timor-Leste, Thailand, dan Tiongkok membuktikan pentingnya adaptasi lokal dan inovasi kebijakan. Dengan mengadopsi rekomendasi AWDO, negara-negara di Asia Pasifik berpeluang besar untuk mencapai masa depan yang lebih sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber Asli

Asian Development Bank. Asian Water Development Outlook 2020: Advancing Water Security across Asia and the Pacific.

Selengkapnya
Asian Water Development Outlook 2020 dan Menjawab Tantangan Keamanan Air di Asia Pasifik

Sumber Daya Air

Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air yang Baik Itu Penting?

Tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama dalam menjawab tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “tata kelola air yang baik”? Bagaimana cara menilainya secara objektif dan sistematis? Paper “Assessing the Soundness of Water Governance: Lessons Learned from Applying the 10 Building Blocks Approach” karya Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts, dan Marleen van Rijswick (2022) menawarkan jawaban melalui kajian mendalam atas pengalaman penerapan pendekatan 10 Building Blocks di berbagai negara dan konteks isu air. Artikel ini akan membedah konsep, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan tata kelola air global.

Mengenal 10 Building Blocks Approach: Pilar Penilaian Tata Kelola Air

Apa Itu 10 Building Blocks Approach?

10 Building Blocks Approach adalah kerangka penilaian interdisipliner yang dikembangkan untuk menganalisis tata kelola air secara holistik. Kerangka ini membagi penilaian menjadi tiga dimensi utama—Konten, Organisasi, dan Implementasi—yang dijabarkan dalam 10 blok penilaian (building blocks) berikut:

  1. Water System Knowledge: Pengetahuan tentang sistem air dan dampak perubahan lingkungan.
  2. Values, Principles, and Policy Discourses: Nilai, prinsip, dan diskursus kebijakan yang mendasari pengambilan keputusan air.
  3. Stakeholder Involvement: Keterlibatan pemangku kepentingan dan keseimbangan kepentingan.
  4. Trade-offs Between Social Objectives: Analisis kompromi antara tujuan sosial dan ekonomi.
  5. Responsibility, Authority, and Means: Organisasi kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya.
  6. Regulations and Agreements: Legitimasi dan adaptivitas regulasi serta kesepakatan.
  7. Financing Water Management: Keberlanjutan dan keadilan pembiayaan.
  8. Engineering and Monitoring: Ketersediaan desain teknis, monitoring, dan tindak lanjut.
  9. Enforcement: Penegakan aturan dan ketersediaan mekanisme remediasi.
  10. Conflict Prevention and Resolution: Mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik.

Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai konteks—mulai dari pengelolaan banjir di Belanda, kualitas air di China dan Nigeria, hingga program sanitasi di Ghana—dan terbukti mampu mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan tata kelola air di berbagai skala dan budaya1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Penerapan 10 Building Blocks di Dunia Nyata

1. Skala dan Ragam Aplikasi

  • Jumlah Studi: 9 jurnal ilmiah, 2 buku akademik, dan 67 makalah mahasiswa dianalisis sebagai basis refleksi aplikasi pendekatan ini.
  • Wilayah Studi: Eropa (Belanda, Inggris, Italia), Asia (China, Hong Kong, Indonesia), Afrika (Nigeria, Ghana), Amerika (AS, Kanada, Brasil, Peru), dan Australia.
  • Isu yang Dianalisis: Banjir, kualitas air, kelangkaan air, sanitasi, pengelolaan DAS, hingga pembangunan infrastruktur ramah lingkungan seperti green roofs dan riverbank restoration1.

2. Contoh Studi Kasus

  • Belanda: Program “Rainproof Cities” di Amsterdam dan Rotterdam menargetkan kota 100% rainproof pada 2050, namun belum memiliki indikator kinerja yang jelas dan mekanisme penilaian periodik yang kuat.
  • Lima, Peru: Analisis SWOT pada tiap blok mengungkap bahwa tata kelola air di Lima masih lemah dalam aspek pendanaan, monitoring, dan penegakan hukum, meski sudah ada kemajuan dalam keterlibatan pemangku kepentingan.
  • Nigeria: Fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan sering mengorbankan aspek lingkungan, dengan partisipasi masyarakat sipil yang sangat terbatas.
  • São Paulo, Brasil: Komite DAS Alto Tietê membagi pemangku kepentingan menjadi tiga kelompok (pemerintah negara bagian, pemerintah kota, masyarakat sipil) untuk memastikan representasi yang adil dalam pengambilan keputusan.
  • South Africa (Incomati Catchment): Model tata kelola adaptif diterapkan untuk mengatasi tantangan lintas negara, dengan penekanan pada partisipasi publik dan peningkatan kepatuhan1.

Analisis Setiap Building Block: Temuan, Tantangan, dan Praktik Terbaik

1. Water System Knowledge

  • Tantangan: Data sistem air seringkali hanya tersedia dari pemerintah, yang bisa menjadi masalah di negara dengan tingkat kepercayaan institusi rendah (misal, Nigeria, Bolivia).
  • Studi Kasus: Di Mountain Aquifer (Israel–Palestina), kedua pihak sering memberikan data bias untuk memanipulasi persepsi distribusi air.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek sumber, keterbukaan, dan ketidakpastian data, termasuk aspek perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk1.

2. Values, Principles, and Policy Discourses

  • Temuan: Perubahan nilai terjadi di banyak negara, misal dari “menghindari air” ke “hidup bersama air” (Belanda, China), atau dari “air sebagai barang sosial gratis” ke “air sebagai barang ekonomi” (Indonesia).
  • Praktik Baik: Mekanisme bridging seperti Water Test (Belanda) dan lembaga koordinasi multilevel (Delaware River Basin, AS) membantu mengurangi konflik nilai dan meningkatkan legitimasi1.

3. Stakeholder Involvement

  • Temuan: Keterlibatan pemangku kepentingan sangat bervariasi. Di negara demokrasi, partisipasi multidireksional lebih mungkin terjadi, sementara di negara otoriter atau dengan struktur pemerintahan sentralistik, partisipasi sering hanya formalitas.
  • Studi Kasus: Melbourne mengembangkan rencana komunikasi dan konsultasi khusus untuk melibatkan pemangku kepentingan dalam rekoneksi reservoir air1.

4. Trade-offs Between Social Objectives

  • Tantangan: Monetisasi manfaat dan biaya seringkali sulit dan subjektif. Banyak pihak belum familiar dengan konsep service-level agreements (SLA), sehingga lebih baik menggunakan istilah “policy targets”.
  • Studi Kasus: Skema pengurangan risiko banjir Leeds, Inggris, menargetkan investasi £112 juta untuk melindungi lebih dari 1.000 rumah dan 474 bisnis secara spesifik—memudahkan penilaian kemajuan implementasi1.

5. Responsibility, Authority, and Means

  • Temuan: Publik sering menganggap pengelolaan air sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, padahal peran swasta (misal, asuransi, pemilik rumah) sangat penting dalam mitigasi risiko.
  • Praktik Baik: Keterlibatan swasta dalam pengelolaan banjir, misal pemasangan mobile barriers dan asuransi banjir, dapat mengurangi kerugian secara signifikan1.

6. Regulations and Agreements

  • Temuan: Legitimasi regulasi dipengaruhi oleh proses penyusunan yang partisipatif dan keterbukaan diskusi alternatif kebijakan.
  • Studi Kasus: Inisiatif “Rainproof Cities” di Belanda sulit ditegakkan karena kurangnya mekanisme penegakan hukum yang jelas.
  • Rekomendasi: Perlu integrasi antara peraturan air dan tata ruang, serta antara kebijakan air dan sektor lain (lingkungan, kesehatan, energi, pertanian)1.

7. Financing Water Management

  • Angka Kunci: Di Belanda, lebih dari 95% biaya pengelolaan air bersih dan limbah ditanggung pengguna melalui skema full cost recovery.
  • Tantangan: Ketergantungan pada donor (misal, Bangladesh, Kenya) berisiko bagi keberlanjutan pembiayaan jangka panjang.
  • Rekomendasi: Kombinasi pendanaan pemerintah, pengguna, dan donor harus dikelola agar adil dan berkelanjutan1.

8. Engineering and Monitoring

  • Praktik Baik: Uni Eropa menerapkan sistem monitoring tiga tingkat (surveillance, operational, further investigation) sesuai Water Framework Directive.
  • Tantangan: Banyak program yang targetnya tidak spesifik, sehingga sulit menilai kemajuan dan efektivitas intervensi teknis.
  • Rekomendasi: Monitoring harus diikuti tindak lanjut adaptif jika target belum tercapai1.

9. Compliance and Enforcement

  • Studi Kasus: Kebijakan green roofs di Toronto sukses karena ada sanksi tegas (denda hingga C$100.000), sementara di Belanda gagal karena bersifat sukarela.
  • Tantangan: Korupsi dan resistensi stakeholder dapat menghambat penegakan hukum, seperti pada Riverbank Improvement Program di Bangladesh.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek mekanisme monitoring, sanksi, dan peran swasta dalam penegakan1.

10. Conflict Prevention and Resolution

  • Praktik Baik: EPA (AS) membentuk Conflict Prevention and Resolution Centre, sementara Korea Selatan membangun dewan stakeholder lokal untuk konsultasi dan kompensasi.
  • Temuan: Konsensus nilai mengurangi konflik, namun jika terjadi, mekanisme mediasi, arbitrase, dan pengadilan harus tersedia dan efektif1.

Pembaruan: Building Blocks 2.0 dan Inovasi Penilaian

Paper ini memperkenalkan versi baru, “Building Blocks 2.0”, dengan kriteria yang lebih spesifik dan visualisasi diagram sirkular untuk menekankan keterkaitan antarblok. Penilaian dapat menggunakan sistem traffic light (hijau-kuning-merah), skor 1–5, atau analisis SWOT, sehingga hasilnya lebih komunikatif dan mudah dibandingkan lintas kasus atau negara.

  • Kelebihan: Memberikan gambaran terintegrasi, mengidentifikasi gap, dan memfasilitasi dialog lintas sektor.
  • Kekurangan: Masih bersifat normatif dan subjektif, terutama dalam menilai istilah seperti “cukup”, “berkelanjutan”, “adil”. Perlu panel stakeholder untuk memperkuat intersubjektivitas dan transparansi penilaian1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Kerangka Lain

Kritik terhadap 10 Building Blocks Approach

  • Overlapping dan Terminologi: Beberapa blok tumpang tindih (misal, stakeholder involvement dan responsibility), serta penggunaan istilah yang belum seragam dan kadang ambigu.
  • Bias Data: Ketergantungan pada data pemerintah bisa menimbulkan bias, terutama di negara dengan transparansi rendah.
  • Konteks Global Selatan: Beberapa peneliti menilai pendekatan ini lebih cocok untuk negara maju karena blok-bloknya berakar pada persepsi Eropa.

Perbandingan dengan Framework Lain

  • OECD Principles on Water Governance: Lebih menekankan pada transparansi, integritas, dan kapasitas kelembagaan.
  • City Blueprint Framework: Fokus pada indikator kuantitatif dan benchmarking antar kota.
  • Governance Capacity Framework: Menekankan kapasitas institusional dan adaptasi.

Opini Penulis dan Relevansi Industri

  • Industri Air dan Infrastruktur: Pendekatan ini sangat relevan untuk audit tata kelola air di perusahaan air minum, utilitas kota, dan proyek infrastruktur, terutama dalam konteks ESG dan pelaporan keberlanjutan.
  • Tren Digitalisasi: Integrasi data digital, IoT, dan big data dalam monitoring dan penilaian tata kelola air dapat memperkuat transparansi dan kecepatan respon kebijakan.

Rekomendasi Strategis untuk Praktik dan Kebijakan

  1. Mulai dari Tujuan Kebijakan yang Jelas
    Penilaian harus dimulai dengan mendefinisikan target kebijakan secara spesifik agar analisis tiap blok relevan dan terfokus.
  2. Libatkan Panel Stakeholder
    Untuk mengurangi subjektivitas, gunakan panel stakeholder dalam menilai dan memverifikasi skor tiap blok.
  3. Perkuat Integrasi Data dan Transparansi
    Dorong keterbukaan data antar lembaga, adopsi teknologi digital, dan sistem monitoring real-time.
  4. Harmonisasi dengan Framework Global
    Sinkronkan pendekatan 10 Building Blocks dengan prinsip OECD, SDGs, dan kerangka tata kelola air internasional.
  5. Fokus pada Adaptasi dan Inovasi
    Tata kelola air harus adaptif terhadap perubahan iklim, urbanisasi, dan dinamika sosial-ekonomi, dengan inovasi regulasi, pembiayaan, dan teknologi.

Menata Masa Depan Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa tidak ada satu pendekatan penilaian tata kelola air yang sempurna, namun 10 Building Blocks Approach menawarkan kerangka kerja yang komprehensif, fleksibel, dan mudah diadaptasi untuk berbagai konteks. Kunci keberhasilan terletak pada kejelasan tujuan, keterlibatan stakeholder, transparansi data, serta keberanian untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Dengan demikian, tata kelola air dapat menjadi motor penggerak pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan kesejahteraan masyarakat lintas generasi.

Sumber artikel :
Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts & Marleen van Rijswick. “Assessing the soundness of water governance: lessons learned from applying the 10 Building Blocks Approach.” Water International, 47:4, 610-631, DOI: 10.1080/02508060.2022.2048487

Selengkapnya
Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Sumber Daya Air

Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Hak Air Bersih di Tengah Krisis Global

Pandemi COVID-19 bukan sekadar ujian kesehatan, tetapi juga ujian tata kelola sumber daya dasar—terutama air bersih. Di Indonesia, negara dengan sumber air tawar melimpah, ironi besar terjadi: jutaan rumah tangga masih kesulitan mengakses air layak, terutama saat kebutuhan melonjak akibat pandemi. Studi Nadia Astriani dkk. (2021) membedah secara kritis bagaimana negara memenuhi (atau justru gagal memenuhi) hak atas air bersih selama krisis, menyoroti kebijakan, implementasi, hingga studi kasus nyata seperti Kendeng. Resensi ini mengajak pembaca memahami akar masalah, menelaah data dan studi kasus, serta merefleksikan solusi dan kritik yang relevan dengan tren global tata kelola air1.

1. Hak Atas Air: Fondasi Konstitusi dan Hak Asasi

Air sebagai Hak Asasi dan Mandat Konstitusi

  • Konstitusi Indonesia (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3) menegaskan air sebagai sumber daya vital yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Hak atas air bersih juga diakui sebagai hak asasi manusia, diperkuat oleh adopsi Resolusi PBB 2010 tentang hak air dan sanitasi sebagai hak fundamental1.
  • Tiga Pilar Kewajiban Negara:
    • Menghormati: Tidak menghambat akses masyarakat pada air.
    • Melindungi: Mencegah pihak ketiga (swasta, pencemar) merusak akses air.
    • Memenuhi: Mengupayakan segala sumber daya untuk menjamin hak air bagi semua1.

Regulasi Kunci Tata Kelola Air

  • UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: Menjamin hak rakyat atas air untuk kebutuhan dasar, pertanian rakyat, dan usaha air minum, dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat.
  • UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Memastikan setiap bangunan dan kawasan permukiman wajib menyediakan akses air bersih dan sanitasi layak1.

2. Realitas di Lapangan: Data, Ketimpangan, dan Tantangan Selama Pandemi

Akses Air Bersih: Angka-angka Penting

  • Akses Nasional: Pada 2018, akses air minum layak baru 72% (target 100% di 2019 tidak tercapai). Pada 2019, hanya 76–77% penduduk yang terlayani air minum layak. Artinya, 23% penduduk masih rentan terhadap penyakit akibat air tidak layak1.
  • DKI Jakarta: Cakupan air bersih hanya 60%—artinya 40% warga ibu kota tidak punya akses air layak, dengan kelompok miskin paling terdampak. Di beberapa wilayah, air sumur berwarna hitam, bau, dan tidak layak konsumsi, sementara air PAM tidak selalu mengalir meski sudah dibayar1.
  • Sanitasi: Pada 2018, akses sanitasi layak nasional 70,97%, naik jadi 77,39% di 2019. Namun, hanya 6,8% penduduk yang benar-benar punya akses aman (secure access)1.
  • Kebutuhan Minimum: Rata-rata kebutuhan air rumah tangga 144 liter/hari, dengan kebutuhan minimum 70 liter/orang/hari1.

Dampak Pandemi: Kebutuhan Meningkat, Akses Tertinggal

  • Pandemi COVID-19 meningkatkan kebutuhan air untuk cuci tangan, kebersihan rumah, dan sanitasi. Namun, kelompok miskin dan penghuni kawasan kumuh tetap kesulitan mengakses air layak, bahkan harus membeli dari pedagang keliling tanpa jaminan higienitas1.
  • Pergeseran Konsumsi: Konsumsi air rumah tangga naik signifikan, sementara konsumsi industri turun. PAM Jaya mencatat peningkatan distribusi air melalui mobil tangki dan kios air di wilayah tanpa jaringan pipa1.

3. Studi Kasus: Kendeng dan Perjuangan Hak Air Komunitas Lokal

Kendeng: Karst, Air, dan Perlawanan Warga

  • Latar Belakang: Pegunungan Karst Kendeng di Jawa Tengah adalah “spons” alami yang menyimpan dan mengalirkan air bersih untuk lebih dari 500 ribu warga. Rencana penambangan karst oleh PT Semen Indonesia (BUMN) memicu protes warga, terutama perempuan petani, yang khawatir sumber air akan rusak1.
  • Fakta Lapangan: Kajian pemerintah menemukan permintaan air di Kendeng sudah melebihi pasokan. Penambangan karst mengancam sumber air bawah tanah dan memperparah krisis air, terutama di musim kemarau1.
  • Putusan Mahkamah Agung: Pada 2016, MA membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia setelah gugatan warga dan WALHI dikabulkan. Presiden memerintahkan moratorium izin baru dan penghentian aktivitas tambang sampai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) selesai, namun implementasi di lapangan masih lemah—izin baru tetap terbit, penambangan berlanjut, dan akses air warga tetap terancam1.

Refleksi Kasus Kendeng

  • Kasus Kendeng menyoroti konflik antara pembangunan (industri semen) dan hak dasar warga atas air. Keterlibatan perempuan, advokasi komunitas, dan litigasi lingkungan menjadi kunci perlawanan, namun lemahnya implementasi putusan hukum dan inkonsistensi pemerintah daerah memperburuk ketidakadilan akses air1.

4. Kebijakan dan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas

Kebijakan Nasional dan Target SDGs

  • SDGs (Tujuan 6): Pemerintah menargetkan akses air minum layak 100% dan sanitasi 90% pada 2024, serta 15% akses air minum aman. Namun, capaian hingga 2019 masih jauh dari target, terutama di kawasan timur (Papua hanya 32,87% akses sanitasi layak)1.
  • Rencana Strategis Kementerian PUPR: Fokus pada pembangunan infrastruktur dasar (jaringan pipa, bendungan, irigasi), namun pandemi memaksa refocusing anggaran sehingga banyak program air bersih tertunda1.
  • Pendanaan: Rata-rata anggaran air bersih Rp3,5–6,5 triliun/tahun (2015–2020), jauh dari kebutuhan Rp147 triliun (2024) atau Rp238 triliun (2030). Ketergantungan pada APBN/APBD dan minimnya investasi swasta memperlambat ekspansi layanan1.

Respons Pemerintah Selama Pandemi

  • Minim Terobosan: Tidak ada upaya tambahan signifikan selain program yang sudah direncanakan dalam RPJM dan Renstra. Pemerintah pusat dan daerah lebih fokus pada pembatasan sosial daripada mempercepat akses air bersih1.
  • Inovasi Terbatas: Kementerian PUPR meluncurkan inovasi “Kereta MCK” (mobil toilet dan cuci tangan) di DKI Jakarta, dengan kapasitas 7.000 liter air/hari untuk 350 orang. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah akses air1.
  • Peran Daerah dan Swasta: Beberapa pemerintah daerah memberikan keringanan tarif air, namun bantuan air bersih lebih banyak datang dari inisiatif lokal dan swasta, seperti pemasangan wastafel portabel di area publik1.

5. Perbandingan Global: Belajar dari Afrika Selatan dan Ethiopia

Afrika Selatan: Respons Proaktif dan Koordinasi Nasional

  • Komando Nasional Air dan Sanitasi: Pemerintah membentuk pusat komando khusus sejak awal lockdown, mendistribusikan 18.262 tangki air dan 1.299 truk air ke seluruh negeri, termasuk ke sekolah dan permukiman informal. Dana tambahan Rp831 miliar dialokasikan untuk memastikan keberlanjutan layanan1.
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Kementerian Air, Pendidikan, dan perusahaan air negara (Rand Water) berkoordinasi memastikan tidak ada sekolah atau komunitas tanpa air selama pandemi. Pendekatan ini menekankan pentingnya kepemimpinan nasional dan sinergi antar lembaga1.

Ethiopia: Teknologi dan Partisipasi Komunitas

  • Para-hydrologists: Ethiopia melibatkan warga terlatih untuk mengumpulkan data akses air dan perilaku higienis, membantu pemerintah menyesuaikan intervensi berbasis data lokal.
  • Inovasi Teknologi: Pemerintah dan donor memperluas penggunaan pompa air tenaga surya dan teknologi panen air hujan untuk mengatasi kekurangan air di desa-desa terpencil. Model pembiayaan inovatif (subsidi, kredit mikro) mempercepat adopsi teknologi ini1.

Pelajaran untuk Indonesia

  • Respons Darurat: Negara lain menunjukkan pentingnya respons ekstra-ordinary di masa krisis, bukan sekadar menjalankan program rutin.
  • Kolaborasi dan Inovasi: Keterlibatan komunitas, adopsi teknologi murah, dan sinergi lintas sektor menjadi kunci memperluas akses air secara cepat dan inklusif.

6. Analisis Kritis dan Opini: Di Mana Letak Masalah Utama?

Kelemahan Tata Kelola dan Implementasi

  • Ketimpangan Regional: Akses air bersih sangat timpang antar wilayah (Jakarta vs Papua), memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan kesehatan1.
  • Keterbatasan Anggaran dan Prioritas: Pandemi memperparah krisis fiskal, membuat pemerintah menunda banyak proyek air bersih. Namun, minimnya inovasi dan keberanian mengambil langkah darurat memperlihatkan lemahnya sense of crisis1.
  • Dominasi Negara, Peran Swasta dan Komunitas Lemah: Negara masih menjadi aktor utama, sementara swasta dan komunitas belum diberdayakan optimal. Padahal, pengalaman Ethiopia dan Afrika Selatan menunjukkan pentingnya kolaborasi multipihak1.
  • Inkonsistensi Penegakan Hukum: Kasus Kendeng membuktikan bahwa putusan hukum progresif tidak selalu diikuti implementasi di lapangan, akibat lemahnya pengawasan dan konflik kepentingan di tingkat lokal1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) menyoroti bahwa hak air sering kali hanya diakui secara normatif, namun gagal diwujudkan dalam kebijakan dan praktik sehari-hari, terutama di Global Selatan.
  • Tren Industri: Sektor air global kini bergerak ke arah digitalisasi (IoT, big data), investasi blended finance, dan standar ESG. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi dan inovasi pembiayaan air1.

7. Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Tangguh

  1. Respons Darurat dan Inovasi Kebijakan
    • Pemerintah harus berani mengambil langkah darurat di masa krisis, seperti distribusi air darurat, pemasangan tangki air massal, dan subsidi air bersih untuk kelompok rentan.
    • Adopsi teknologi murah (pompa surya, panen air hujan) dan inovasi pembiayaan (subsidi, kredit mikro) untuk mempercepat akses air di desa dan kawasan kumuh.
  2. Perkuat Kolaborasi Multipihak
    • Libatkan swasta, komunitas, dan LSM dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring program air bersih.
    • Dorong investasi swasta dan kemitraan publik-swasta untuk pembangunan infrastruktur air.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas
    • Tingkatkan transparansi data akses air, anggaran, dan capaian program. Gunakan platform digital untuk pelaporan dan pengawasan publik.
  4. Reformasi Tata Kelola dan Penegakan Hukum
    • Pastikan implementasi putusan hukum lingkungan berjalan konsisten di lapangan.
    • Perkuat pengawasan dan sanksi bagi pelanggar hak air, termasuk pemerintah daerah dan swasta.
  5. Fokus pada Kelompok Rentan
    • Prioritaskan akses air bersih untuk kelompok miskin, perempuan, anak, dan komunitas adat. Libatkan mereka dalam perumusan kebijakan dan solusi lokal.
  6. Integrasi dengan Agenda SDGs dan Perubahan Iklim
    • Sinkronkan program air bersih dengan target SDGs, aksi iklim, dan agenda pembangunan berkelanjutan.

Hak Air, Pandemi, dan Masa Depan Tata Kelola di Indonesia

Pandemi COVID-19 membuka tabir rapuhnya tata kelola air di Indonesia: regulasi sudah memadai, tetapi implementasi, inovasi, dan keberpihakan pada kelompok rentan masih jauh dari ideal. Studi kasus Kendeng dan data nasional menunjukkan bahwa hak atas air bukan sekadar janji konstitusi, tetapi ujian nyata bagi keberpihakan negara pada rakyat. Belajar dari negara lain, Indonesia harus berani berinovasi, memperkuat kolaborasi, dan memastikan setiap warga, tanpa kecuali, mendapatkan hak dasarnya atas air bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di kehidupan sehari-hari1.

Sumber artikel :
Nadia Astriani, Betty Rubiati, Yulinda Adharani, Siti Sarah Afifah, Rewita Salsabila, Rizkia Diffa. "The Responsibility of the Indonesian Government to Fulfill the Rights to Water During the COVID-19 Pandemic: Some Legal Issues." Environmental Policy and Law 51 (2021): 327–341.

Selengkapnya
Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil
« First Previous page 5 of 22 Next Last »