Sumber Daya Air

Menakar Efektivitas Penetapan Harga Air melalui Lensa Ketahanan Air

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Harga Air, Ketahanan, dan Masa Depan

Penetapan harga air (water pricing) kini menjadi isu sentral dalam diskursus pengelolaan sumber daya air global. Di tengah ancaman krisis air, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi, harga air tidak lagi sekadar instrumen finansial, melainkan alat strategis untuk mendorong efisiensi, keadilan sosial, dan ketahanan air jangka panjang. Paper “Explaining Water Pricing through a Water Security Lens” (Soto Rios et al., 2018) menelaah secara komprehensif bagaimana harga air dapat menjadi bagian integral dari agenda ketahanan air, dengan menyoroti dimensi ekonomi, sosial, dan kelembagaan, serta mengulas lima studi kasus nyata dari berbagai belahan dunia1.

Kerangka Konseptual: Air sebagai Barang Ekonomi dan Sosial

Definisi Ketahanan Air dan Implikasinya

Ketahanan air didefinisikan oleh UN-Water sebagai kemampuan suatu populasi untuk menjamin akses berkelanjutan ke air berkualitas dan kuantitas yang memadai, mendukung penghidupan, kesehatan, pembangunan ekonomi, serta perlindungan terhadap bencana dan polusi air1. Dalam kerangka ini, harga air harus mampu menyeimbangkan antara nilai ekonomi (efisiensi penggunaan) dan nilai sosial (akses universal yang terjangkau).

Air: Barang Ekonomi Khusus

Air adalah barang ekonomi yang unik—esensial, tidak tergantikan, dan seringkali dikelola sebagai monopoli alami. Penetapan harga air harus mempertimbangkan biaya operasi dan pemeliharaan (OPEX), investasi infrastruktur (CAPEX), serta biaya lingkungan dan sumber daya (environmental/resource costs)2. Namun, harga pasar air sering kali hanya mencerminkan biaya fisik, bukan nilai ekonomi penuh atau eksternalitas lingkungan.

Struktur dan Model Penetapan Harga Air

Ragam Struktur Tarif Air

  • Flat Rate: Semua pelanggan membayar harga tetap, tanpa memperhatikan volume konsumsi.
  • Uniform Volumetric Rate: Harga per unit air tetap, total pembayaran tergantung volume konsumsi.
  • Block/Increasing Block Tariff (IBT): Harga per unit naik seiring bertambahnya konsumsi, mendorong konservasi dan keadilan sosial2.
  • Complex/Hybrid Rate: Kombinasi berbagai struktur tarif, termasuk penyesuaian waktu (seasonal/time-of-day) untuk mengatur permintaan saat puncak.
  • Two-Part Tariff: Kombinasi biaya tetap (fixed fee) dan biaya variabel per volume, menyeimbangkan pendapatan utilitas dan insentif konservasi2.

Tantangan Implementasi

  • Perhitungan biaya jangka panjang (Long Run Marginal Cost/LRMC) sulit karena ketidakpastian permintaan, perubahan iklim, dan proyeksi demografi.
  • Keadilan sosial: Struktur tarif seperti IBT sering diasumsikan menguntungkan rumah tangga miskin, namun dalam praktiknya tidak selalu demikian, terutama jika keluarga besar atau berbagi sambungan2.
  • Efisiensi dan transparansi: Tarif harus sederhana, transparan, dan mudah dipahami agar diterima masyarakat.

Studi Kasus: Dampak Nyata Penetapan Harga Air

1. Sektor Irigasi di Ghana: Model MATA untuk Efisiensi

Ghana menghadapi kelangkaan air di sektor pertanian, yang menyumbang 86% konsumsi air nasional. Studi menggunakan Multi-Analysis Tool for the Agricultural Sector (MATA) untuk mensimulasikan dampak tarif volumetrik seragam 2 cedi/m³ (USD 0,43/m³) pada perilaku petani. Hasilnya, tarif ini mendorong petani mengadopsi teknologi hemat air tanpa menurunkan pendapatan secara signifikan (pendapatan tahunan: GH¢ 449.867 untuk lahan besar, GH¢ 454.081 untuk lahan sedang, GH¢ 359.666 untuk lahan kecil)1. Namun, kenaikan harga air yang drastis dapat menurunkan pendapatan dan kesempatan kerja, sehingga kebijakan harga harus diimbangi insentif efisiensi dan perlindungan sosial.

2. Sektor Irigasi di Spanyol: Tarif Tetap dan Tantangan Subsidi

Di Spanyol, 80% air digunakan untuk irigasi, namun sistem tarif flat rate yang disubsidi menyebabkan konsumsi berlebih dan ketidakefisienan. Simulasi Linear Programming menunjukkan bahwa penerapan tarif tetap 2 Ptas/m³ dapat mengurangi konsumsi air dan mendorong adopsi teknologi irigasi hemat air, namun berisiko menurunkan pendapatan petani hingga 25–40% jika tidak diimbangi kebijakan pendukung1. Ini menyoroti pentingnya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi tarif sesuai musim dan pendapatan.

3. Urban Water Pricing di São Paulo, Brasil: Hybrid Policy dan Respons Sosial

Krisis kekeringan 2014–2015 mendorong SABESP (perusahaan air São Paulo) menerapkan kebijakan insentif: diskon bagi yang mengurangi konsumsi dan denda bagi yang boros. Hasilnya, konsumsi air rumah tangga turun rata-rata 25% selama periode krisis1. Keberhasilan ini tidak hanya karena tarif, tetapi juga kampanye edukasi intensif yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi air.

4. Privatisasi Air di Cochabamba, Bolivia: Konflik dan Kegagalan Implementasi

Privatisasi utilitas air Cochabamba (Aguas del Tunari) memicu kenaikan tarif hingga 60%, memicu protes massal, korban jiwa, dan akhirnya pembatalan kontrak. Kenaikan tarif rata-rata 41% bagi warga miskin dan 51% bagi seluruh pengguna dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi serta kelangkaan air setempat1. Setelah kembali ke pengelolaan publik, akses air justru menurun, menegaskan bahwa tarif air harus dirancang dengan partisipasi masyarakat dan sensitivitas sosial.

5. Reformasi Tarif di Prancis: Efisiensi dan Inklusi Sosial

Prancis menerapkan reformasi tarif air dengan melarang flat rate dan memperluas penggunaan tarif volumetrik progresif. Setelah reformasi 2006, proporsi distrik yang menggunakan tarif progresif naik dari 1% (2003) menjadi 29% (2013), efisiensi air meningkat 3% (dari 78% ke 81%), dan pipa timbal turun 4,2%1. Tarif air dijaga tetap di bawah upah minimum nasional, dan subsidi diberikan untuk keluarga miskin, memastikan keadilan dan akses universal.

Analisis Dampak dan Efektivitas Kebijakan Harga Air

Pengurangan Konsumsi dan Efisiensi

  • Studi di California menunjukkan perubahan struktur tarif dari non-konservasi ke konservasi menurunkan konsumsi air rumah tangga rata-rata 2,6% per kapita per hari3.
  • Efek jangka panjang lebih besar jika tarif konservasi dipertahankan, dan efek rebound terbatas jika kembali ke tarif lama.

Keseimbangan antara Efisiensi Ekonomi dan Keadilan Sosial

  • Prinsip efisiensi ekonomi menuntut harga air mencakup biaya langsung dan tidak langsung (CAPEX, OPEX, biaya lingkungan)2.
  • Namun, tarif yang terlalu tinggi tanpa subsidi atau perlindungan sosial dapat memicu konflik dan penurunan akses, seperti di Bolivia1.
  • Model two-part tariff atau IBT dapat menyeimbangkan kebutuhan pendapatan utilitas, insentif konservasi, dan perlindungan kelompok rentan, namun desain harus memperhatikan konteks lokal.

Pembiayaan Infrastruktur dan Keberlanjutan

  • Studi kasus Stanly County, North Carolina, menunjukkan transisi ke full-cost pricing (mencakup O&M, investasi, dan biaya tidak langsung) dapat meningkatkan keberlanjutan finansial utilitas dan mendorong konservasi4.
  • Namun, transisi harus dilakukan bertahap untuk menghindari lonjakan biaya bagi pelanggan.

Tantangan dan Kritik dalam Implementasi Harga Air

Kompleksitas Perancangan Tarif

  • Menentukan batas blok tarif, harga tiap blok, dan identifikasi rumah tangga miskin memerlukan data yang akurat dan sistem administrasi yang kuat2.
  • Risiko salah sasaran: rumah tangga besar atau berbagi sambungan bisa justru membayar lebih mahal meski miskin.

Resistensi Sosial dan Politik

  • Kebijakan harga air sering mendapat resistensi politik, terutama di negara berkembang dengan ketimpangan ekonomi tinggi.
  • Privatisasi tanpa partisipasi dan transparansi sering gagal, seperti kasus Cochabamba, Bolivia1.

Keterbatasan Data dan Monitoring

  • Banyak negara kekurangan data konsumsi, biaya, dan kemampuan membayar pelanggan, sehingga sulit merancang tarif yang adil dan efisien12.

Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi

  1. Desain Tarif Adaptif dan Inklusif
    • Gunakan kombinasi two-part tariff atau IBT dengan subsidi terarah bagi kelompok rentan.
    • Lakukan evaluasi berkala dan penyesuaian tarif sesuai musim, inflasi, dan daya beli masyarakat.
  2. Transparansi dan Partisipasi
    • Libatkan masyarakat dalam perancangan dan sosialisasi tarif untuk meningkatkan penerimaan dan keadilan.
    • Sediakan informasi terbuka tentang struktur biaya dan penggunaan dana.
  3. Integrasi dengan Kebijakan Lain
    • Gabungkan kebijakan harga air dengan edukasi konservasi, investasi teknologi efisiensi, dan perlindungan sosial.
    • Dorong inovasi seperti smart metering, digitalisasi billing, dan monitoring konsumsi.
  4. Pendekatan Bertahap
    • Lakukan transisi tarif secara bertahap untuk menghindari guncangan ekonomi dan sosial, seperti diterapkan di Stanly County, AS4.
  5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
    • Gunakan indikator seperti IBNET untuk mengukur cakupan layanan, efisiensi operasional, dan keterjangkauan tarif1.

Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global

ESG dan SDGs

  • Penetapan harga air yang adil dan efisien mendukung pencapaian SDG 6 (Clean Water and Sanitation), SDG 10 (Reduced Inequalities), dan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) di sektor utilitas dan industri.
  • Perusahaan global semakin menuntut transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan air sebagai bagian dari rantai pasok berkelanjutan.

Inovasi dan Digitalisasi

  • Teknologi digital seperti smart meter dan billing berbasis konsumsi memperkuat efektivitas tarif berbasis volume dan mendorong perubahan perilaku konsumen.

Harga Air sebagai Kunci Ketahanan dan Keadilan

Penetapan harga air yang cerdas, adaptif, dan inklusif terbukti mampu mendorong efisiensi penggunaan, memperkuat ketahanan air, dan menjaga keadilan sosial. Studi kasus Ghana, Spanyol, Brasil, Bolivia, Prancis, hingga AS dan California, menunjukkan bahwa tidak ada satu model tarif yang cocok untuk semua konteks. Keberhasilan kebijakan harga air sangat bergantung pada desain yang sensitif terhadap kondisi lokal, partisipasi masyarakat, transparansi, dan integrasi dengan kebijakan pendukung lain. Dengan demikian, harga air bukan sekadar angka di tagihan, melainkan instrumen strategis untuk membangun masa depan air yang aman, adil, dan berkelanjutan.

Sumber Asli Artikel

Soto Rios, P. C., Deen, T. A., Nagabhatla, N., & Ayala, G. (2018). Explaining Water Pricing through a Water Security Lens. Water, 10(9), 1173.

Selengkapnya
Menakar Efektivitas Penetapan Harga Air melalui Lensa Ketahanan Air

Sumber Daya Air

Navigasi Konflik dan Ambiguitas Tata Kelola Air di Cekungan Sungai Katari, Bolivia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Air, Konflik, dan Kompleksitas Sosial di Andes

Cekungan Sungai Katari (Katari River Basin/KRB) di Bolivia adalah salah satu kawasan paling padat penduduk di negara tersebut, bermuara ke Danau Titicaca—danau tertinggi di dunia yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang di Andes. Namun, kawasan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana polusi air, perubahan iklim, dan pertarungan kepentingan antara aktor lokal, nasional, dan internasional memunculkan konflik lingkungan yang kompleks dan berlapis. Paper “Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia” (Agramont et al., 2025)1 membedah secara mendalam bagaimana ambiguitas, praktik relasional, dan asimetri kekuasaan membentuk dinamika konflik air di KRB. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengaitkan dengan tren global, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi bagi tata kelola air masa kini.

Latar Belakang: Polusi, Kerentanan, dan Upaya Multi-Stakeholder

Krisis Polusi dan Dampak Sosial-Lingkungan

KRB, yang menjadi sumber air utama Danau Titicaca, menghadapi polusi berat akibat aktivitas manusia: pertambangan, urbanisasi, industri, dan pertanian. Polusi ini menurunkan kualitas, distribusi, dan ketersediaan air, memperburuk kerentanan masyarakat lokal terhadap perubahan iklim. Pada 2015, misalnya, polusi menyebabkan kematian dua ton ikan, katak, dan burung di pesisir Danau Titicaca, menandai kerusakan ekosistem dan ancaman bagi penghidupan komunitas adat yang bergantung pada danau.

Upaya Pemerintah dan Platform Multi-Stakeholder

Sejak 2002, pemerintah Bolivia dan mitra internasional berupaya mengatasi polusi KRB. Namun, hingga 2019, polusi justru makin parah, memengaruhi 83 km² area Danau Titicaca. Pada 2018, pemerintah membentuk platform multi-stakeholder lintas sektor—melibatkan pemerintah pusat, daerah, universitas, LSM, komunitas adat, dan lembaga internasional—untuk mencari solusi kolaboratif atas masalah air.

Kerangka Analisis: Ambiguitas, Konflik Berlapis, dan Praktik Relasional

Ambiguitas dalam Tata Kelola Air

Ambiguitas adalah perbedaan dalam cara aktor memahami masalah air, penyebab, dan solusi yang dianggap tepat. Dalam konteks multi-stakeholder, ambiguitas muncul dari perbedaan pengalaman, nilai, pengetahuan, dan tujuan, diperparah oleh kerangka hukum dan institusi yang tidak jelas serta ketidakpastian akibat perubahan iklim.

Nested Conflicts: Konflik Berlapis

Konflik air di KRB tidak tunggal, melainkan berlapis (nested):

  • Issue-specific conflicts: Perselisihan atas polusi, distribusi air, atau prioritas penggunaan.
  • Relational conflicts: Ketegangan akibat pola interaksi, mistrust, atau dinamika emosional antaraktor.
  • Structural conflicts: Ketidakadilan sistemik dalam alokasi air, kebijakan, atau akses terhadap pengambilan keputusan.

Ketidakmampuan mengenali dan mengelola konflik berlapis ini memperparah masalah air, memicu protes, dan memperdalam ketidakpercayaan.

Praktik Relasional: Kunci Kolaborasi atau Sumber Masalah

Praktik relasional adalah pola komunikasi dan interaksi yang membentuk hubungan antaraktor. Praktik ini dapat memfasilitasi dialog, membangun kepercayaan, dan menciptakan makna bersama—atau sebaliknya, memperkuat kekuasaan sepihak dan menutup ruang partisipasi.

Studi Kasus: Konflik Air di KRB

Polusi Tambang dan Konflik Hulu-Hilir

Sejak abad ke-16, aktivitas pertambangan di hulu KRB (misal, tambang “La Fabulosa Mine Consolidated”) meninggalkan jejak limbah asam tambang (AMD) yang mencemari air dengan logam berat (timbal, arsenik, seng, tembaga, kadmium).

  • Dampak langsung: Waduk Milluni, sumber air minum kedua terbesar di kawasan, tercemar berat sehingga operator air harus menambah proses pengolahan, menaikkan biaya operasional, dan membangun infrastruktur tambahan. Ironisnya, sisa logam berat dari proses pengolahan justru dibuang kembali ke sungai tanpa pengolahan, memindahkan risiko ke komunitas hilir.
  • Dampak hilir: Studi menunjukkan logam berat masuk rantai makanan lokal, mengancam ekosistem dan kesehatan komunitas adat di Danau Titicaca.

Urbanisasi, Limbah Kota, dan Protes Komunitas Adat

Pertumbuhan pesat kota El Alto (kini kota terbesar kedua di Bolivia) tidak diimbangi pengelolaan limbah cair dan padat. Setiap tahun, El Alto membuang sekitar 20 juta m³ limbah cair dan 800 juta ton sampah padat ke sungai, memperparah eutrofikasi di wilayah hilir. Komunitas adat di sekitar Danau Titicaca sudah sejak awal 2000-an mengorganisir protes menuntut pemerintah menghentikan polusi. Tragedi matinya dua juta ton biota di Titicaca pada 2015 memicu gelombang aksi kolektif, termasuk ancaman memutus suplai air ke El Alto jika tuntutan diabaikan.

Proyek Transfer Air dan Konflik Baru

Sejak 2017, pemerintah Bolivia meluncurkan proyek transfer air senilai USD 133 juta untuk menggandakan suplai air minum El Alto dengan mengambil air dari cekungan tetangga.

  • Dampak: Komunitas di daerah sumber air menolak, khawatir akan kekurangan air dan kerusakan ekosistem. Proyek ini memecah solidaritas antar komunitas adat dan menciptakan konflik baru antarwilayah.

Dinamika Platform Multi-Stakeholder: Fragmentasi dan Asimetri Kekuasaan

Struktur dan Fungsi Platform

Platform KRB terdiri dari tiga klaster:

  • Forum Sosial Partisipatif: Organisasi akar rumput, serikat irigasi, komunitas adat.
  • Dewan Teknis: Universitas, lembaga riset, mitra internasional.
  • Dewan Direksi: Pemerintah pusat, daerah, dan kota.

Setiap klaster bertugas mengumpulkan informasi, memberi rekomendasi teknis, dan merumuskan kebijakan. Namun, dalam praktiknya, proses ini justru memperkuat fragmentasi pengetahuan dan memperlemah koordinasi.

Praktik Relasional yang Membatasi Kolaborasi

Observasi dan wawancara mengungkap pola interaksi yang didominasi pemerintah:

  • Pertemuan dimulai dengan presentasi panjang dari kementerian, menyisakan sedikit waktu untuk diskusi.
  • Topik diskusi dan komposisi kelompok kerja ditentukan sepihak oleh pemerintah.
  • Partisipasi komunitas adat dan organisasi lokal hanya simbolis, tanpa ruang nyata untuk menyampaikan aspirasi atau mengelola proyek.
  • Universitas dan mitra internasional hanya diminta memberi masukan pada topik terbatas.

Keluhan peserta menyoroti minimnya ruang dialog dan dominasi narasi pemerintah. “Kami butuh diskusi dua arah, bukan sekadar daftar poin atau presentasi sepihak,” ujar perwakilan universitas. “Kami ingin berbagi pengalaman, bukan hanya mendengar pencapaian pemerintah,” tambah perwakilan LSM.

Analisis Kritis: Mengapa Konflik Tak Kunjung Usai?

Asimetri Kekuasaan dan Pengelolaan Ambiguitas

Pemerintah mengelola ambiguitas dengan memaksakan satu kerangka solusi, menutup ruang bagi narasi alternatif. Praktik ini memperkuat asimetri kekuasaan, menyingkirkan pengetahuan lokal, dan memperdalam ketidakpercayaan.

  • Contoh: Bahasa teknis dan kurang sensitif budaya memperlebar jarak antara aktor teknokrat dan komunitas adat (yang mayoritas berbahasa Aymara), sehingga suara mereka tidak terwakili.

Fragmentasi Pengetahuan dan Kegagalan Kolaborasi

Struktur platform yang memisahkan klaster sosial, teknis, dan administratif justru memperkuat fragmentasi pengetahuan.

  • Teknokrat fokus pada solusi teknis, mengabaikan realitas sosial.
  • Komunitas adat menyoroti dampak sosial-lingkungan, namun minim pengaruh pada kebijakan.
  • Koordinasi lemah antara aktor nasional, daerah, dan lokal.

Konflik Berlapis: Dari Polusi ke Ketidakadilan Struktural

Konflik air di KRB mencakup:

  • Issue-specific: Perselisihan distribusi air, polusi limbah tambang dan kota.
  • Relasional: Mistrust antara komunitas adat dan pemerintah, serta antarwilayah.
  • Struktural: Ketidakadilan dalam akses air, kurangnya perlindungan hukum, dan eksklusi komunitas lokal dari pengambilan keputusan.

Studi Perbandingan dan Tren Global

Relevansi dengan Tata Kelola Air Dunia

Kasus KRB mencerminkan tantangan umum di banyak negara berkembang:

  • Fragmentasi tata kelola dan asimetri kekuasaan memperparah konflik air.
  • Partisipasi multi-stakeholder sering hanya formalitas, tanpa mekanisme nyata untuk dialog dan ko-kreasi solusi.
  • Bahasa dan budaya menjadi penghalang, bukan jembatan, jika tidak dikelola dengan inklusif.

Studi serupa di Andes dan Asia menunjukkan bahwa keberhasilan tata kelola air sangat bergantung pada kualitas praktik relasional: dialog sejajar, pengakuan pengetahuan lokal, dan mekanisme berbagi kekuasaan.

Koneksi dengan Industri dan ESG

Di era ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan dan pemerintah didorong untuk mengadopsi tata kelola inklusif dan transparan. Kasus KRB menegaskan pentingnya integrasi prinsip ESG dalam proyek air, terutama di kawasan dengan keragaman budaya dan sejarah konflik panjang.

Rekomendasi dan Peluang Perbaikan

  1. Reformasi Praktik Relasional: Bangun ruang dialog sejajar, beri waktu dan ruang bagi komunitas lokal untuk menyampaikan aspirasi, dan libatkan mereka dalam perumusan solusi.
  2. Bahasa Inklusif: Gunakan bahasa yang sensitif budaya dan mudah dipahami semua pihak, serta fasilitasi penerjemahan untuk mengurangi eksklusi.
  3. Integrasi Pengetahuan: Gabungkan pengetahuan teknis, lokal, dan adat dalam setiap tahap pengambilan keputusan.
  4. Penguatan Mekanisme Kolaborasi: Bentuk tim lintas klaster untuk mengelola konflik, bukan hanya membagi tugas secara sektoral.
  5. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif: Libatkan semua aktor dalam pemantauan dan evaluasi proyek, bukan hanya sebagai “penerima manfaat”.

Menuju Tata Kelola Air yang Inklusif dan Adaptif

Paper ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif di kawasan kompleks seperti KRB harus berangkat dari praktik relasional yang berkualitas tinggi: dialog sejajar, pengakuan keragaman pengetahuan, dan distribusi kekuasaan yang adil. Tanpa itu, platform multi-stakeholder hanya akan menjadi formalitas, konflik tetap berlarut, dan tujuan keberlanjutan sulit tercapai. Namun, perubahan mulai terlihat: pada 2024, platform KRB mulai membuka ruang diskusi lebih luas, memberi harapan bagi tata kelola air yang lebih inklusif dan adaptif. Kasus KRB menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa dalam mengelola sumber daya alam di tengah kompleksitas sosial dan perubahan iklim.

Sumber Asli Artikel

Agramont, A., L. D. Villafuerte Philippsborn, G. Peres-Cajias, A. Baltodano Martinez, A. van Griensven, M. Craps, and M. F. Brugnach. 2025. Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia. Ecology and Society 30(2):15.

Selengkapnya
Navigasi Konflik dan Ambiguitas Tata Kelola Air di Cekungan Sungai Katari, Bolivia

Sumber Daya Air

Menilai Kondisi Pendukung Investasi Ketahanan Air

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Mengapa Investasi Ketahanan Air Jadi Isu Global?

Ketahanan air kini menjadi fondasi utama pembangunan berkelanjutan, penanggulangan kemiskinan, dan adaptasi perubahan iklim. Namun, investasi di sektor air masih jauh dari kebutuhan: pada 2030, kebutuhan pembiayaan infrastruktur air global diperkirakan mencapai USD 6,7 triliun, melonjak ke USD 22,6 triliun pada 2050. Ironisnya, sektor air hanya menarik kurang dari 2% belanja publik dunia, dengan investasi swasta di negara berkembang juga sangat minim. OECD, bersama Asian Development Bank, mengembangkan “Scorecard” untuk menilai kondisi enabling environment—atau ekosistem pendukung—bagi investasi ketahanan air di tujuh negara Asia: Bangladesh, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, Uzbekistan, dan Sri Lanka, serta Armenia sebagai pembanding Eropa Timur.

Empat Pilar Penilaian: Kerangka Scorecard OECD

1. Kerangka Kebijakan Investasi Umum (Dimension 1)

Menilai daya tarik investasi secara makro: stabilitas ekonomi, tata kelola, sistem keuangan, infrastruktur, hingga desentralisasi.

2. Kerangka Kebijakan Sektor Air (Dimension 2)

Fokus pada regulasi, insentif, dan tata kelola sektor air: ketersediaan data, mekanisme alokasi, instrumen ekonomi (tarif, pajak), dan kapasitas institusi.

3. Keberlanjutan dan Bankabilitas Proyek (Dimension 3)

Mengukur seberapa siap proyek air untuk menarik investasi: keterlibatan pemangku kepentingan, analisis dampak sosial-lingkungan, dan model bisnis.

4. Kontribusi Sektor Ekonomi Lain (Dimension 4)

Menilai apakah sektor lain—pertanian, energi, industri—mendukung atau justru menghambat ketahanan air.

Studi Kasus & Fakta Kunci dari Tujuh Negara Asia

1. Bangladesh: Ketergantungan pada ODA, Tantangan Tata Kelola

  • Investasi air dan sanitasi didominasi ODA (Official Development Assistance), mencapai USD 1,85 miliar (2015–2021), sementara partisipasi swasta kurang dari 20%.
  • Skor “enabling environment” masih di tahap nascent (awal), menandakan banyak celah di tata kelola, transparansi, dan kapasitas institusi.
  • Masalah utama: minimnya regulasi independen, rendahnya tarif air (tidak menutupi biaya operasional), dan lemahnya insentif bagi swasta.

2. Mongolia: Fokus Urban, Kemajuan di Investasi Air Kota

  • Skor tertinggi di kerangka kebijakan investasi umum (D1) dan cukup baik di kebijakan sektor air (D2), khususnya untuk air kota.
  • Inisiatif: Sustainable Development Vision 2030 dan program investasi air perkotaan.
  • Tantangan: akses data air terbatas, monitoring air tanah masih minim, dan regulasi tarif belum sepenuhnya mendorong efisiensi atau investasi swasta.

3. Nepal: Kuat di Investasi Umum, Lemah di Sektor Air

  • Skor D1 tinggi, tapi D2 dan D3 masih rendah.
  • Kebijakan air nasional ada, namun implementasi lemah, terutama di luar sektor pembangkit listrik tenaga air (hydropower).
  • Tarif air irigasi sangat rendah, tidak menutupi biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga investasi swasta minim.

4. Pakistan: Eksperimen Model Pembiayaan, Tantangan Tata Kelola

  • Investasi air didukung berbagai mekanisme pembiayaan, termasuk public-private partnership (PPP).
  • Kebijakan nasional mengakui pentingnya ketahanan air, namun belum ada rencana investasi sektoral spesifik.
  • Tarif air domestik tetap, tidak berbasis konsumsi, dan belum ada regulator independen.

5. Filipina: Model Regional Investasi Swasta Air

  • Filipina masuk 10 besar dunia dalam investasi swasta air dan sanitasi (USD 568 juta, 2015–2021), 88% berasal dari swasta.
  • Kunci sukses: Water Supply and Sanitation Master Plan, regulasi jelas, dan mekanisme pooling proyek (Unified Resources Allocation Framework).
  • Tantangan: ketimpangan antara utilitas besar (regulasi ketat) dan kecil (banyak yang tidak terawasi), serta hambatan data dan monitoring di luar Metro Manila.

6. Uzbekistan: Reformasi Tarif dan Insentif Swasta

  • Adopsi metodologi tarif cost recovery dan reformasi perizinan untuk menarik pinjaman luar negeri bagi BUMN air.
  • Investasi swasta meningkat, namun masih banyak tantangan di sektor air pedesaan dan irigasi.
  • Kendala: rendahnya tingkat penagihan tarif, banyaknya sengketa kontrak, dan kapasitas institusi belum merata.

7. Sri Lanka: Ketergantungan pada ODA, Kelemahan di Tata Kelola

  • Lebih dari 90% investasi air dan sanitasi berasal dari ODA, total lebih dari USD 1 miliar (2015–2021).
  • Skor tata kelola publik dan kapasitas institusi masih rendah, terutama dalam desentralisasi dan pengawasan.

8. Armenia (Pembanding Eropa Timur): Kontrak Operator Swasta

  • Model kontrak pengelolaan air oleh swasta (Veolia) mencakup 80% populasi, menarik investasi USD 200 juta (2015–2021).
  • Kunci sukses: kejelasan kontrak, regulasi, dan monitoring performa.

Analisis Dimensi Scorecard: Temuan Utama

Dimensi 1: Kerangka Investasi Umum

  • Filipina dan Mongolia unggul dalam pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan akses infrastruktur.
  • Bangladesh dan Pakistan tertinggal di tata kelola publik, desentralisasi, dan akses infrastruktur digital.
  • Rata-rata skor makroekonomi negara Asia sekitar 3 (capable), kecuali Filipina yang mendekati 4 (effective).

Dimensi 2: Kebijakan Sektor Air

  • Mongolia, Filipina, dan Uzbekistan masuk tahap engaged untuk kebijakan air kota, namun lemah di air pedesaan dan irigasi.
  • Ketiadaan tarif berbasis cost recovery dan insentif investasi menjadi penghambat utama.
  • Kebijakan lintas sektor (water–energy–food nexus) masih lemah, sehingga investasi air sering kalah prioritas dibanding energi atau transportasi.

Dimensi 3: Bankabilitas Proyek

  • Hampir semua negara (kecuali Armenia) masih di tahap awal (nascent) dalam menyiapkan proyek air yang layak investasi.
  • Kendala utama: minimnya analisis dampak sosial-lingkungan, data proyek tidak terpusat, dan lemahnya model bisnis.
  • Filipina jadi pengecualian dengan mekanisme pooling proyek dan kriteria prioritas berbasis kinerja serta risiko kesehatan masyarakat.

Dimensi 4: Kontribusi Sektor Lain

  • Mayoritas negara belum punya strategi lintas sektor yang mengintegrasikan air dalam kebijakan pertanian, energi, dan industri.
  • Kebijakan mitigasi risiko air (asuransi banjir, kekeringan, polusi) masih sangat terbatas.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Tantangan Nyata

Filipina: Unified Resources Allocation Framework

  • Framework ini mengelompokkan penyedia layanan air berdasarkan kinerja dan kapasitas kredit, sehingga subsidi dan pinjaman publik lebih tepat sasaran.
  • Hasilnya: utilitas yang kuat bisa langsung akses pasar, sementara yang lemah mendapat subsidi atau hibah untuk perbaikan efisiensi sebelum mengambil utang baru.

Uzbekistan: Reformasi Tarif dan PPP

  • Pemerintah mengadopsi tarif berbasis cost recovery dan mewajibkan bank nasional membiayai proyek PPP air.
  • Namun, rendahnya tingkat penagihan dan banyaknya sengketa kontrak masih membatasi minat swasta.

Armenia: Kontrak Operator Swasta

  • Kontrak pengelolaan air dan sanitasi oleh Veolia sukses menarik investasi USD 200 juta dan meningkatkan cakupan layanan hingga 80% populasi.
  • Kunci keberhasilan: kejelasan kontrak, insentif performa, dan monitoring independen.

Tantangan Umum: Mengapa Investasi Air Masih Mandek?

  • Tarif air rendah dan tidak berbasis cost recovery, sering dipakai sebagai subsidi sosial, padahal justru menurunkan daya tarik investasi dan memperburuk kualitas layanan.
  • Ketiadaan regulasi independen dan insentif swasta, terutama di negara yang masih menganggap air sebagai domain publik murni.
  • Kapasitas institusi lemah, baik di tingkat pusat maupun daerah, terutama dalam monitoring, pengelolaan data, dan penegakan kontrak.
  • Minimnya integrasi air dalam kebijakan lintas sektor (pertanian, energi, industri), sehingga banyak investasi di sektor lain justru memperburuk risiko air.
  • Data terkait air (ketersediaan, risiko, konsumsi) sering tidak tersedia atau tidak mudah diakses oleh investor dan pengambil keputusan.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Keunggulan Paper OECD

  • Scorecard OECD menawarkan pendekatan sistemik dan berbasis data untuk menilai kesiapan negara dalam menarik investasi air.
  • Berbeda dengan studi World Bank atau UNDP yang lebih menekankan aspek makro atau proyek, Scorecard ini menyoroti pentingnya integrasi lintas sektor dan reformasi kebijakan.
  • Studi kasus nyata dan angka-angka investasi memberikan gambaran konkret, bukan sekadar teori.

Kritik dan Tantangan Implementasi

  • Scorecard masih bergantung pada data sekunder dan survei, sehingga hasilnya bisa bias jika data nasional kurang lengkap.
  • Tidak semua indikator bisa dibandingkan antarnegara karena perbedaan sistem hukum, institusi, dan budaya politik.
  • Ketiadaan rekomendasi kebijakan spesifik di paper ini (karena fokusnya pada uji coba Scorecard), padahal negara membutuhkan panduan aksi konkret.

Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global

  • Tren ESG (Environmental, Social, Governance) di industri global mendorong perusahaan multinasional untuk memperhitungkan risiko air dalam rantai pasok.
  • SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan SDG 13 (Climate Action) sangat relevan, namun pencapaiannya sangat tergantung pada reformasi enabling environment di tingkat nasional.
  • Inovasi seperti green bonds, blended finance, dan asuransi risiko air mulai berkembang, namun baru efektif jika didukung kebijakan dan tata kelola yang kuat.

Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

  1. Reformasi Tarif dan Insentif: Negara harus berani menerapkan tarif air berbasis cost recovery, disertai subsidi terarah untuk kelompok rentan.
  2. Penguatan Regulasi dan Monitoring: Bentuk regulator independen, perkuat monitoring performa utilitas, dan pastikan transparansi data.
  3. Integrasi Kebijakan Lintas Sektor: Pastikan setiap investasi di pertanian, energi, dan industri mempertimbangkan dampak pada ketahanan air.
  4. Peningkatan Kapasitas Institusi: Investasi pada pelatihan, digitalisasi data, dan penguatan tata kelola di tingkat lokal dan nasional.
  5. Inovasi Pembiayaan: Kembangkan mekanisme pooling proyek, blended finance, dan asuransi risiko air untuk memperluas sumber investasi.

Menata Masa Depan Investasi Air di Asia

Paper OECD ENV/WKP(2024)5 menegaskan bahwa investasi di sektor air bukan sekadar soal dana, tapi soal reformasi sistemik enabling environment: kebijakan, regulasi, insentif, dan tata kelola lintas sektor. Studi kasus di Asia menunjukkan bahwa negara dengan kerangka kebijakan yang jelas, insentif swasta, dan monitoring performa yang kuat mampu menarik investasi lebih besar—baik dari ODA, swasta, maupun PPP. Namun, tanpa reformasi tarif, regulasi, dan integrasi kebijakan, investasi air akan terus tertinggal, mengancam pencapaian SDGs dan ketahanan ekonomi di masa depan.

Sumber Asli Artikel

Delia Sanchez Trancon, Allison Woodruff, Xavier Leflaive, Lylah Davies, Sigurjon Agustsson. Assessing the enabling conditions for investment in water security: Scorecard pilot test in Asian countries. OECD Environment Working Paper No. 235, 2024.

Selengkapnya
Menilai Kondisi Pendukung Investasi Ketahanan Air

Sumber Daya Air

Politik Partisipasi dalam Pembangunan PLTA Lintas Batas: Resensi Kritis Kasus Pak Beng di Laos

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


PLTA Mekong dan Dilema Tata Kelola Lintas Negara

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah Sungai Mekong, khususnya di Laos, menjadi sorotan utama dalam diskursus tata kelola lingkungan lintas batas Asia Tenggara. Paper “Participation and politics in transboundary hydropower development: The case of the Pak Beng dam in Laos” karya Suhardiman dan Geheb (2022) mengupas secara mendalam bagaimana partisipasi masyarakat, politik kekuasaan, dan disjungsi institusional membentuk proses pengambilan keputusan dalam proyek PLTA Pak Beng. Artikel ini akan membedah temuan utama, data, serta studi kasus dari paper tersebut, lalu mengaitkannya dengan tren global, opini kritis, dan relevansi industri saat ini.

Latar Belakang: Sungai Mekong, Laos, dan Ambisi PLTA

Sungai Mekong menopang salah satu ekosistem paling produktif dan beragam di dunia, menyediakan air, sedimen, dan nutrisi bagi jutaan penduduk serta menjadi tulang punggung perikanan darat terbesar di dunia. Namun, dorongan industrialisasi dan integrasi ekonomi regional membuat Laos menjadikan pembangunan PLTA sebagai strategi utama keluar dari status “Least Developed Country” (LDC). Pada 2019, ekspor listrik Laos mencapai lebih dari US$1,3 miliar, setara hampir seperempat nilai ekspor nasional, dengan kontribusi sektor listrik terhadap pertumbuhan PDB naik dari 6,5% (2014) menjadi 10,9% (2018). Investasi asing di sektor ini sangat besar, mencapai 52% dari total investasi asing pada 2019.

Studi Kasus: Proyek PLTA Pak Beng

Gambaran Proyek

Pak Beng adalah salah satu dari tujuh PLTA utama yang direncanakan di aliran utama Mekong di Laos, dengan kapasitas 912 MW. Proyek ini akan berdampak pada 26 desa di tiga provinsi (Oudomxay, Bokeo, Xayabury), melibatkan 923 rumah tangga atau sekitar 4.726 jiwa. Nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Laos dan China Datang International Power Generation Company ditandatangani pada 2007, dengan 90% listrik direncanakan diekspor ke Thailand dan sisanya untuk jaringan nasional Laos. Namun, hingga kini, belum ada Power Purchase Agreement (PPA) dari Thailand, sehingga konstruksi tertunda.

Proses Konsultasi dan Partisipasi

Proses konsultasi proyek PLTA Pak Beng dilakukan melalui dua jalur utama:

  • PNPCA (Procedures for Notification, Prior Consultation and Agreement) di bawah Mekong River Commission (MRC).
  • RAP (Resettlement Action Plan) yang dikelola perusahaan dan pemerintah Laos.

Namun, kedua proses ini berjalan paralel tanpa keterkaitan substansial. Konsultasi PNPCA lebih menekankan aspek teknis dan formalitas, sementara RAP seringkali hanya menjadi instrumen untuk menginformasikan, bukan benar-benar melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.

Temuan Lapangan

  • Konsultasi di tingkat desa hanya dilakukan di satu desa, tanpa kriteria seleksi yang jelas.
  • Banyak warga desa, seperti di Thongngam dan Khamkong, tidak mengetahui adanya RAP atau detail kompensasi.
  • Dalam konsultasi, pemerintah menekankan pentingnya proyek untuk pembangunan nasional, sehingga warga enggan mengkritik atau bertanya.
  • Kompensasi dan dukungan transisi mata pencaharian (misal, dari pertanian ke buruh konstruksi) tidak dijelaskan secara rinci, dan peluang negosiasi sangat terbatas.

Angka-Angka Kunci dan Dampak Ekonomi

  • Kapasitas terpasang PLTA di Laos melonjak dari 640 MW (2000) menjadi 5.227 MW (2018).
  • Ekspor listrik menghasilkan lebih dari US$1,3 miliar pada 2019.
  • 46% investasi asing di Laos pada 2018 dan 52% pada 2019 masuk ke sektor listrik.
  • PLTA Pak Beng akan berdampak pada 26 desa dan hampir 5.000 jiwa.

Analisis Politik dan Disjungsi Institusional

Dualisme Narasi: Nasional vs Lintas Batas

  • Narasi Nasional (Laos): PLTA diposisikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, dengan fokus pada pembangunan nasional dan pengentasan kemiskinan.
  • Narasi Transboundary (MRC): Menekankan pentingnya keberlanjutan lingkungan, mitigasi dampak lintas batas, dan partisipasi pemangku kepentingan.

Kedua narasi ini berjalan paralel, menghasilkan disjungsi institusional di mana kebijakan, aturan, dan prosedur di tingkat nasional dan regional tidak saling terhubung. Hal ini memungkinkan pemerintah Laos mempertahankan kontrol penuh atas proses pengambilan keputusan, sementara partisipasi masyarakat hanya menjadi formalitas.

Keterbatasan Partisipasi Masyarakat

  • Konsultasi publik seringkali hanya bersifat informatif, bukan deliberatif.
  • Tidak ada mekanisme pengaduan atau umpan balik yang efektif bagi masyarakat terdampak.
  • Proses RAP dan PNPCA tidak saling terhubung, sehingga masukan masyarakat di satu proses tidak memengaruhi proses lain.
  • Warga desa cenderung pasif karena tekanan sosial dan minimnya informasi.

Studi Komparatif: Mekong vs Praktik Global

Jika dibandingkan dengan praktik tata kelola PLTA lintas batas di wilayah lain (misal, Eropa atau Amerika Selatan), Mekong menunjukkan lemahnya integrasi antara kepentingan nasional dan regional. Di banyak negara, konsultasi publik dan mekanisme kompensasi telah berkembang menjadi instrumen negosiasi nyata, sementara di Mekong, dominasi narasi pembangunan nasional sering menyingkirkan kepentingan lokal dan lintas batas.

Implikasi Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi

Lingkungan

  • PLTA di aliran utama Mekong berpotensi mengganggu aliran sedimen, migrasi ikan, dan ekosistem perairan.
  • Studi MRC menunjukkan dampak signifikan pada pasokan sedimen ke hilir dan produktivitas perikanan.

Sosial

  • Resettlement dan kompensasi seringkali tidak memadai, dengan banyak warga kehilangan lahan pertanian tanpa jaminan pekerjaan baru.
  • Proses konsultasi yang tidak inklusif memperbesar risiko konflik sosial dan marginalisasi kelompok rentan.

Ekonomi

  • PLTA memang mendorong pertumbuhan PDB dan ekspor, namun distribusi manfaat ekonomi cenderung timpang, lebih banyak dinikmati elite politik dan korporasi.
  • Ketergantungan pada ekspor listrik membuat Laos rentan terhadap fluktuasi permintaan dan harga regional.

Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Perbaikan

  1. Integrasi Proses Konsultasi: Satukan mekanisme konsultasi nasional dan regional agar suara masyarakat lokal benar-benar memengaruhi keputusan lintas batas.
  2. Penguatan Hak Komunitas: Perjelas hak masyarakat terdampak dalam negosiasi kompensasi dan resettlement, serta sediakan mekanisme pengaduan yang efektif.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas: Wajibkan keterbukaan data terkait dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta proses pengambilan keputusan.
  4. Pendekatan Partisipatif Berbasis Hak: Jadikan partisipasi sebagai hak politik, bukan sekadar prosedur administratif, dengan memberdayakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan negosiasi.
  5. Kolaborasi Regional: Dorong kerja sama antarnegara di Mekong untuk memastikan pembangunan PLTA tidak merugikan kepentingan lintas batas dan ekosistem bersama.

Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global

ESG dan Standar Internasional

Di era ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan dan negara didorong untuk mengadopsi praktik tata kelola yang inklusif, transparan, dan berkelanjutan. Kasus Pak Beng menunjukkan pentingnya mengintegrasikan standar ESG dalam proyek infrastruktur besar, terutama di kawasan dengan kompleksitas politik dan sosial tinggi.

SDGs dan Agenda Hijau

Proyek PLTA di Mekong sangat terkait dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation), SDG 7 (Affordable and Clean Energy), dan SDG 16 (Peace, Justice and Strong Institutions). Kegagalan mengintegrasikan partisipasi bermakna dan tata kelola lintas batas akan menghambat pencapaian target SDGs di kawasan tersebut.

Opini dan Kritik: Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Inklusif

Paper ini secara tajam menyoroti bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTA lintas batas di Mekong masih sangat terbatas dan didominasi oleh narasi pembangunan nasional. Disjungsi institusional antara proses nasional dan regional menciptakan ruang abu-abu yang merugikan masyarakat terdampak dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Jika dibandingkan dengan studi lain, seperti kajian World Bank atau UNDP tentang tata kelola air lintas negara, Mekong masih tertinggal dalam hal integrasi kebijakan, transparansi, dan perlindungan hak masyarakat lokal.

Namun, paper ini juga membuka peluang reformasi: dengan memperkuat integrasi proses konsultasi, meningkatkan transparansi, dan mengadopsi pendekatan berbasis hak, Mekong dapat menjadi laboratorium tata kelola PLTA lintas batas yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dari Formalitas Menuju Demokratisasi Tata Kelola PLTA

Pembangunan PLTA Pak Beng di Laos menjadi cermin kompleksitas politik, institusi, dan partisipasi dalam tata kelola lingkungan lintas batas di Asia Tenggara. Dominasi narasi pembangunan nasional, disjungsi institusional, dan lemahnya partisipasi masyarakat menjadi tantangan utama yang harus diatasi. Reformasi tata kelola, integrasi proses konsultasi, dan penguatan hak komunitas adalah kunci menuju pembangunan PLTA yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengalaman Mekong dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa di era pembangunan infrastruktur hijau dan globalisasi.

Sumber Asli Artikel

Suhardiman, D., & Geheb, K. (2022). Participation and politics in transboundary hydropower development: The case of the Pak Beng dam in Laos. Environmental Policy and Governance, 32(4), 320–330.

Selengkapnya
Politik Partisipasi dalam Pembangunan PLTA Lintas Batas: Resensi Kritis Kasus Pak Beng di Laos

Sumber Daya Air

Menjadikan Air Bagian dari Pembangunan Ekonomi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ekonomi Masa Depan

Air bukan lagi sekadar kebutuhan dasar manusia, melainkan telah menjadi fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan pembangunan di abad ke-21. Paper “Making Water a Part of Economic Development” yang disusun oleh Stockholm International Water Institute (SIWI) bersama WHO dan didukung pemerintah Norwegia serta Swedia, menghadirkan argumen kuat: investasi pada pengelolaan air dan sanitasi bukan hanya urusan sosial atau lingkungan, melainkan strategi bisnis yang cerdas dan sangat menguntungkan untuk negara-negara berkembang maupun maju.

Artikel ini meresensi dan menganalisis temuan utama paper tersebut, mengangkat studi kasus, data penting, serta membandingkan relevansinya dengan tren global saat ini. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan struktur SEO-friendly, artikel ini bertujuan memberikan wawasan baru bagi pembaca umum, pebisnis, maupun pembuat kebijakan.

Mengapa Air Penting untuk Ekonomi?

Air, Sanitasi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Studi SIWI menegaskan adanya hubungan kausal antara akses air bersih dan sanitasi dengan pertumbuhan ekonomi. Negara miskin yang berhasil meningkatkan akses air dan sanitasi mengalami pertumbuhan PDB rata-rata 3,7% per tahun. Sebaliknya, negara dengan tingkat pendapatan serupa namun akses air buruk hanya tumbuh 0,1% per tahun. Artinya, air bukan sekadar kebutuhan, tapi akselerator ekonomi yang nyata.

Wajah Nyata Masalah Air Global

  • 2 dari 10 orang di dunia masih kekurangan akses air bersih.
  • 4 dari 10 orang belum memiliki sanitasi layak.
  • 90% korban diare yang meninggal setiap hari adalah anak-anak di bawah 5 tahun.
  • Perempuan di pedesaan Afrika bisa menghabiskan 4–6 jam/hari hanya untuk mengambil air.

Lima Pesan Penting: Investasi Air adalah Bisnis Cerdas

1. Air dan Sanitasi Mengentaskan Kemiskinan

Akses air dan sanitasi yang lebih baik terbukti mempercepat pengentasan kemiskinan. Studi kasus di Uganda, misalnya, menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya air darat bernilai hampir USD 300 juta per tahun melalui perlindungan hutan, pengendalian erosi, dan jasa pemurnian air.

2. Keuntungan Ekonomi Jauh Melebihi Biaya Investasi

  • Setiap USD 1 investasi di air dan sanitasi berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi USD 3–34, tergantung wilayah dan teknologi yang digunakan.
  • Total manfaat ekonomi tahunan dari pencapaian target MDG air dan sanitasi mencapai USD 84 miliar.
  • Investasi sanitasi seringkali memberikan dampak ekonomi lebih besar dibanding air saja.

3. Ketahanan Ekonomi melalui Infrastruktur Air

Kasus Kenya menjadi contoh nyata: banjir tahun 1997–98 menyebabkan kerugian USD 870 juta (11% PDB), sementara kekeringan 1999–2000 menimbulkan kerugian USD 1,4 miliar per tahun (16% PDB). Rata-rata, Kenya mengalami kerugian 2,4% PDB per tahun akibat variabilitas curah hujan. Dengan investasi pada infrastruktur air dan penyimpanan, ekonomi menjadi lebih tahan guncangan iklim.

4. Air sebagai Daya Saing Bisnis

  • 322 juta hari kerja per tahun dapat diperoleh secara global jika target MDG air dan sanitasi tercapai.
  • Waktu produktif yang dihemat dari pengumpulan air dan akses sanitasi bernilai USD 64 miliar per tahun.
  • Studi di Tiongkok: kerugian pendapatan industri akibat polusi air mencapai USD 1,7 miliar pada 1992.

5. Tantangan Investasi: Besar, Tapi Realistis

  • Dibutuhkan tambahan investasi global USD 11,3 miliar per tahun untuk mencapai target MDG air dan sanitasi.
  • Namun, manfaat ekonomi yang didapat mencapai USD 84 miliar per tahun, atau 7 kali lipat dari biaya.
  • Di negara-negara seperti Bangladesh, Ghana, Tanzania, dan Uganda, biaya per kapita tahunan untuk mencapai target hanya USD 4–7.

Studi Kasus dan Data Penting

Studi Kasus 1: Kenya – Ekonomi yang Bergantung pada Hujan

Kenya adalah contoh klasik negara yang sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Banjir dan kekeringan berulang kali menyebabkan kerugian ekonomi besar, menurunkan pertumbuhan PDB, serta meningkatkan kemiskinan. Investasi pada infrastruktur air, seperti bendungan dan irigasi, terbukti mampu mengurangi dampak negatif ini.

Studi Kasus 2: India – Dampak Proyek Air Terhadap Kesejahteraan Perempuan

Di Karnataka, India, proyek air dan sanitasi senilai USD 200 juta memberikan manfaat langsung kepada 5,5 juta orang. Net Present Value (NPV) proyek ini mencapai USD 85 juta dengan tingkat pengembalian internal lebih dari 20%. Perempuan, yang mayoritas bertanggung jawab atas air rumah tangga, menjadi penerima manfaat utama.

Studi Kasus 3: Bangladesh – Teknologi Sederhana, Dampak Besar

Penggunaan teknologi irigasi sederhana seperti “treadle pump” (pompa injak) seharga USD 12–30 per unit mampu meningkatkan pendapatan petani hingga USD 210 per 1.000 m² lahan, dengan NPV USD 900–1.900 per petani. Jika diadopsi oleh 1,5 juta petani, potensi manfaat ekonomi mencapai USD 1,4–2,8 miliar.

Studi Kasus 4: China – Kerugian Industri Akibat Polusi Air

Pada 1992, industri Tiongkok kehilangan pendapatan sebesar USD 1,7 miliar akibat polusi air. Ini menegaskan bahwa kualitas air menjadi faktor risiko bisnis yang sangat nyata, dan perbaikan pengelolaan air dapat menjadi daya saing nasional.

Manfaat Langsung & Tidak Langsung Investasi Air

Manfaat Kesehatan

  • Pengurangan penyakit diare hingga 25% dengan air bersih, 32% dengan sanitasi, dan 45% dengan edukasi kebersihan.
  • Setiap DALY (Disability Adjusted Life Year) yang diselamatkan melalui intervensi air dan sanitasi hanya membutuhkan USD 20–35, jauh lebih murah dibanding intervensi kesehatan lainnya.

Manfaat Ekonomi

  • Penghematan biaya kesehatan global USD 7 miliar/tahun.
  • Produktivitas meningkat karena waktu sakit berkurang, kehadiran sekolah meningkat, dan waktu pengumpulan air berkurang.
  • Nilai tambah pada properti dan peningkatan nilai lahan.

Manfaat Sosial

  • Peningkatan partisipasi perempuan dan anak perempuan di sekolah serta kegiatan ekonomi.
  • Pengurangan beban kerja domestik perempuan.

Tantangan dan Kritik: Mengapa Investasi Air Sering Terabaikan?

Persepsi “Biaya” vs “Investasi”

Banyak pembuat kebijakan masih menganggap investasi air dan sanitasi sebagai beban biaya, bukan investasi dengan pengembalian tinggi. Padahal, data menunjukkan bahwa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan jauh melebihi biaya awal.

Korupsi dan Tata Kelola

Studi di India menunjukkan bahwa korupsi di sektor air dan sanitasi cukup tinggi, dengan 41% responden pernah melakukan pembayaran informal untuk mempercepat layanan. Korupsi mengurangi efektivitas investasi dan memperlambat pencapaian manfaat ekonomi.

Ketimpangan Akses

Meskipun investasi air dan sanitasi sangat menguntungkan, distribusinya masih timpang. Daerah pedesaan dan masyarakat miskin seringkali menjadi kelompok yang paling tertinggal.

Relevansi dengan Tren Global & Industri

SDGs dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan

Temuan paper ini sangat relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan SDG 1 (No Poverty). Investasi pada air dan sanitasi terbukti menjadi fondasi bagi pencapaian target-target SDGs lainnya.

Adaptasi Perubahan Iklim

Dengan meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim, investasi pada infrastruktur air dan pengelolaan sumber daya air menjadi semakin penting untuk ketahanan ekonomi dan sosial.

Industri dan Bisnis

Banyak perusahaan multinasional kini memasukkan risiko air dalam strategi bisnis mereka. Akses air yang andal menjadi daya tarik investasi, sementara polusi air dapat menjadi hambatan besar bagi pertumbuhan industri.

Opini & Perbandingan dengan Studi Lain

Paper ini menegaskan bahwa air adalah katalisator ekonomi yang sering diabaikan. Dibandingkan dengan studi lain seperti laporan World Bank dan UNDP, hasil SIWI bahkan lebih menekankan pada pengembalian investasi yang sangat tinggi dan efek berantai pada sektor lain, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga produktivitas tenaga kerja.

Namun, tantangan implementasi tetap besar: tata kelola, pendanaan, dan perubahan perilaku masyarakat. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk memastikan manfaat ekonomi air dapat dirasakan secara merata.

Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

  1. Peningkatan Investasi: Baik pemerintah maupun swasta perlu mengalokasikan dana lebih besar untuk infrastruktur air dan sanitasi.
  2. Pemberdayaan Komunitas: Keterlibatan masyarakat, khususnya perempuan, dalam perencanaan dan pengelolaan air sangat penting untuk keberlanjutan.
  3. Transparansi dan Tata Kelola: Upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan tata kelola sektor air harus menjadi prioritas.
  4. Inovasi Teknologi: Adopsi teknologi sederhana dan murah seperti pompa injak dan irigasi tetes dapat mempercepat manfaat ekonomi.
  5. Integrasi dalam Strategi Ekonomi Nasional: Air harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional dan kebijakan makroekonomi.

Air, Investasi yang Tak Ternilai

Paper “Making Water a Part of Economic Development” membuktikan bahwa air bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan investasi strategis dengan pengembalian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sangat besar. Negara-negara yang berani berinvestasi pada air dan sanitasi akan menuai manfaat berlipat, mulai dari pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, hingga ketahanan menghadapi perubahan iklim.

Saatnya para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan masyarakat luas memandang air sebagai aset ekonomi utama, bukan sekadar komoditas murah. Investasi pada air adalah investasi pada masa depan bangsa.

Sumber Asli Artikel

MAKING WATER A PART OF ECONOMIC DEVELOPMENT: The Economic Benefits of Improved Water Management and Services. A report commissioned by the Governments of Norway and Sweden as input to the Commission on Sustainable Development (CSD) and its 2004–2005 focus on water, sanitation and related issues. Stockholm International Water Institute, 2005.

Selengkapnya
Menjadikan Air Bagian dari Pembangunan Ekonomi

Sumber Daya Air

Tindakan Bisnis Penting untuk Mencapai Keamanan Air di Dunia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Krisis Air Global dan Peran Dunia Usaha

Air adalah fondasi kehidupan dan pilar utama ekonomi global. Namun, dunia kini menghadapi krisis air yang kian parah akibat perubahan iklim, urbanisasi, dan persaingan antarsektor. Laporan “Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World” menyoroti peran strategis sektor bisnis dalam mendorong ketahanan air, mengupas tantangan, peluang, serta aksi nyata yang dapat diambil perusahaan demi masa depan yang berkelanjutan. Artikel ini akan membedah temuan utama, studi kasus, data kunci, serta analisis kritis dan relevansi tren global, dengan gaya populer dan SEO-friendly agar mudah dipahami dan ditemukan pembaca luas1.

Gambaran Umum: Mengapa Bisnis Harus Peduli Ketahanan Air?

Fakta dan Angka Kunci

  • 2,2 miliar orang di dunia masih belum memiliki akses ke air minum aman1.
  • 1,42 miliar orang—termasuk 450 juta anak—hidup di wilayah dengan kerentanan air tinggi1.
  • Jika tren saat ini berlanjut, kesenjangan antara pasokan dan permintaan air global diproyeksikan mencapai 40% pada 20301.
  • Pada 2050, satu dari empat orang diperkirakan tinggal di negara dengan kekurangan air kronis1.
  • 97% air di bumi adalah air asin, dan sebagian besar air tawar tersimpan di gletser—kurang dari 1% yang bisa diakses manusia1.
  • 70% air tawar global digunakan untuk pertanian, 19% untuk industri, dan 11% untuk rumah tangga1.
  • Kerugian ekonomi akibat krisis air: $260 miliar per tahun dari pasokan air dan sanitasi yang tidak memadai, $120 miliar per tahun dari kerusakan banjir perkotaan, dan hampir $700 miliar kerugian akibat banjir dan kekeringan dalam 20 tahun terakhir1.
  • World Bank memperkirakan krisis air dapat memperlambat pertumbuhan PDB hingga 6% di beberapa negara pada 20501.

Studi Kasus Global: Dampak Nyata Krisis Air

1. Madagascar: Bertahan di Tengah Kekeringan

Di kawasan kering Madagascar, perempuan terpaksa menggali lubang di dasar sungai yang mengering demi mendapatkan air. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan kelangkaan air, tetapi juga memperlihatkan beban gender dan risiko kesehatan yang dihadapi masyarakat rentan1.

2. Pakistan: Banjir dan Disrupsi Kehidupan

Pakistan dilanda banjir parah yang memaksa ribuan keluarga kehilangan rumah dan harus mencari sumber air baru. Bencana ini memperlihatkan bagaimana perubahan iklim memperparah ketidakpastian pasokan air dan memicu migrasi serta konflik sosial1.

3. South Sudan: Banjir dan Ketahanan Pangan

Di South Sudan, banjir ekstrem mengakibatkan panen gagal dan seluruh komunitas terendam air. Hal ini berdampak langsung pada ketahanan pangan, kesehatan, dan stabilitas sosial, memperkuat argumen bahwa air adalah kunci pembangunan berkelanjutan1.

4. Indonesia: Tantangan Air dan Ketahanan Pangan

Indonesia menghadapi tantangan air akibat perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, dan serangan hama yang mengganggu produksi pangan. Krisis air di Indonesia juga memperlihatkan kerentanan sistem pangan nasional terhadap perubahan iklim dan tata kelola air yang belum efektif1.

5. Cameroon: Air dan Pendidikan

Di Cameroon, akses air bersih di sekolah menjadi faktor penting dalam mendukung pendidikan dan masa depan ekonomi generasi muda. Kurangnya air bersih menghambat proses belajar, kesehatan, dan kesejahteraan anak-anak1.

Analisis Bisnis: Mengapa Dunia Usaha Harus Bertindak?

Dampak Krisis Air pada Bisnis

  • Gangguan Operasional: Kekeringan, banjir, dan polusi air dapat menghentikan produksi, menaikkan biaya bahan baku, dan memutus rantai pasok global1.
  • Risiko Finansial: Kerugian ekonomi akibat air yang tidak aman dan sanitasi buruk mencapai $260 miliar per tahun, sementara kerusakan banjir menambah $120 miliar per tahun1.
  • Persaingan Sumber Daya: Dua pertiga air tawar dunia digunakan dalam rantai pasok korporasi—dari pangan hingga kimia. Persaingan air antar industri, pertanian, dan masyarakat kian tajam, terutama di masa krisis1.
  • Reputasi dan Izin Sosial: Perusahaan yang gagal mengelola air secara bertanggung jawab menghadapi risiko hukum, reputasi, dan kehilangan “social license to operate” dari masyarakat dan pemerintah1.

Peluang Bisnis dalam Ketahanan Air

  • Efisiensi Biaya: Setiap $1 yang diinvestasikan untuk mengatasi risiko air dapat menghemat lebih dari $5 biaya masa depan jika dibiarkan1.
  • Inovasi Produk dan Pasar Baru: Permintaan akan teknologi hemat air, produk ramah lingkungan, dan solusi pengelolaan air menciptakan peluang bisnis baru di pasar global1.
  • Keunggulan Kompetitif: Perusahaan dengan tata kelola air yang baik cenderung lebih siap menghadapi perubahan iklim dan tuntutan pasar, serta menarik minat investor yang peduli ESG (Environmental, Social, Governance)1.
  • Penguatan Rantai Pasok: Investasi pada ketahanan air di seluruh rantai pasok meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya kesehatan, dan memperkuat keamanan pasokan bahan baku1.

Tujuh Alasan Bisnis Harus Beraksi untuk Ketahanan Air

  1. Leverage untuk Net Zero: Sistem air adalah sumber emisi gas rumah kaca signifikan. Dekarbonisasi sektor air mendukung strategi net zero perusahaan1.
  2. Pengurangan Biaya Operasional: Efisiensi air menurunkan biaya produksi, perawatan, dan risiko gangguan bisnis1.
  3. Peluang Pasar Baru: Inovasi produk dan layanan hemat air membuka pasar baru dan memperkuat daya saing1.
  4. Ketahanan Rantai Pasok: Investasi air memperkuat rantai pasok dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja1.
  5. Lisensi Sosial untuk Beroperasi: Keterlibatan aktif dalam pengelolaan air memperkuat hubungan dengan masyarakat dan pemerintah, serta mengurangi risiko reputasi1.
  6. Stabilitas Pasar dan Sosial: Akses air yang lebih luas meningkatkan pendapatan rumah tangga, mendorong konsumsi, dan menciptakan masyarakat yang lebih stabil1.
  7. Nilai Tambah bagi Pemegang Saham: Investor semakin menuntut transparansi dan aksi nyata terkait risiko air. Resolusi pemegang saham terkait air meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir1.

Strategi dan Aksi Nyata: Lima Pilar Bisnis untuk Dunia yang Aman Air

1. Integrasi Komitmen Tata Kelola Air dalam Kebijakan Korporasi

  • Menetapkan strategi pengelolaan air jangka panjang, termasuk target konservasi, perlindungan sumber air, pengolahan limbah, dan daur ulang air di seluruh rantai pasok1.
  • Melakukan penilaian penggunaan air secara berkala, memahami dampak sosial dan lingkungan, serta kebutuhan komunitas sekitar operasi bisnis1.

2. Dukungan untuk Komunitas dan Kelompok Rentan

  • Menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas akses air dan edukasi di komunitas lokal1.
  • Berpartisipasi dalam konservasi daerah aliran sungai dan inisiatif kolektif lintas sektor, seperti kolaborasi dengan UNICEF melalui program Water Security for All1.

3. Inovasi Teknologi dan Efisiensi

  • Mengembangkan dan menerapkan teknologi digital seperti IoT, smart meter, dan big data untuk memonitor penggunaan air, kualitas, serta prediksi risiko banjir dan kekeringan1.
  • Mendorong penggunaan energi terbarukan untuk layanan air, seperti pompa air tenaga surya di kawasan terpencil1.
  • Mengadopsi model bisnis baru seperti pembayaran jasa lingkungan (PES) dan blended finance untuk memperluas pembiayaan proyek air berkelanjutan1.

4. Advokasi Kebijakan dan Kolaborasi Pemerintah

  • Mendukung kebijakan publik yang mengedepankan pengelolaan air berkelanjutan, termasuk integrasi WASH (water, sanitation, hygiene) dalam rencana aksi iklim nasional1.
  • Berkontribusi dalam penyusunan regulasi, mekanisme pasar, dan pendanaan iklim yang mendukung konservasi air dan efisiensi penggunaan1.

5. Akselerasi Pembiayaan dan Peningkatan Kapasitas

  • Menyediakan hibah, pinjaman, dan investasi bersama untuk memperluas layanan air dan membangun infrastruktur tahan iklim1.
  • Mendukung pelatihan dan pengembangan kapasitas lokal untuk pengelolaan air yang profesional dan adaptif terhadap perubahan iklim1.

Studi Kasus Bisnis: Praktik Baik dan Pembelajaran

1. Kolaborasi di Afrika: Water Fund Nairobi

Perusahaan air di Nairobi, Kenya, membayar petani di hulu Sungai Tana untuk menerapkan praktik pertanian ramah lingkungan. Skema ini meningkatkan ketahanan air kota, memperbaiki ekosistem, dan meningkatkan pendapatan petani—menjadi model replikasi di Afrika dan Amerika Latin1.

2. Inovasi Energi Terbarukan di Asia

Di berbagai negara Asia, perusahaan mulai mengadopsi irigasi dan pengolahan air bertenaga surya untuk menekan biaya operasional dan mengurangi jejak karbon. Model ini memperluas akses air di daerah terpencil dan memperkuat ketahanan iklim1.

3. Industri Makanan dan Minuman: Efisiensi Rantai Pasok

Perusahaan makanan dan minuman multinasional menerapkan audit air di seluruh rantai pasok, mengurangi konsumsi air, dan mendaur ulang limbah cair. Hasilnya, biaya produksi turun, kualitas produk meningkat, dan risiko gangguan pasokan berkurang1.

Tantangan dan Kritik: Apa yang Masih Kurang?

1. Individualisme vs. Aksi Kolektif

Banyak perusahaan telah memulai inisiatif hemat air secara individual, namun laporan ini menegaskan bahwa solusi sistemik hanya bisa dicapai melalui aksi kolektif lintas sektor dan lintas negara. Kolaborasi menjadi kunci untuk mengatasi kompleksitas dan skala krisis air global1.

2. Kesenjangan Implementasi

Meskipun banyak rekomendasi dan komitmen, implementasi di lapangan masih sering terhambat oleh birokrasi, kurangnya insentif, dan minimnya data monitoring. Banyak program gagal memberikan dampak nyata karena lemahnya evaluasi dan pengawasan jangka panjang1.

3. Ketimpangan Akses dan Keadilan Sosial

Kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak, masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses air bersih. Perusahaan perlu lebih proaktif dalam memastikan keadilan sosial dan inklusi dalam setiap aksi ketahanan air1.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Global

1. ESG dan Green Finance

Investor global kini menilai perusahaan tidak hanya dari profit, tetapi juga dari kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Perusahaan yang gagal mengelola risiko air berisiko kehilangan akses ke pembiayaan hijau dan pasar internasional1.

2. Digitalisasi dan Industri 4.0

Transformasi digital di sektor air—mulai dari sensor, big data, hingga AI—membuka peluang efisiensi, transparansi, dan pemberdayaan komunitas lokal. Namun, adopsi teknologi masih menghadapi tantangan biaya dan kapasitas SDM1.

3. SDGs dan Paris Agreement

Aksi bisnis di sektor air sangat relevan untuk pencapaian SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 17 (kemitraan untuk tujuan). Kolaborasi lintas sektor menjadi syarat utama keberhasilan agenda global ini1.

Rekomendasi Strategis untuk Bisnis dan Pemerintah

  1. Bangun Koalisi Multi-Pihak: Libatkan pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan komunitas lokal dalam aksi kolektif ketahanan air.
  2. Perkuat Monitoring dan Transparansi: Publikasikan data penggunaan air, kualitas, dan dampak sosial-lingkungan secara terbuka.
  3. Dorong Inovasi dan Pembiayaan Adaptif: Kembangkan instrumen blended finance, green bonds, dan insentif fiskal untuk memperluas investasi air berkelanjutan.
  4. Integrasi Solusi Berbasis Alam: Kombinasikan infrastruktur konvensional dengan solusi berbasis alam untuk meningkatkan ketahanan ekosistem.
  5. Pemberdayaan Kelompok Rentan: Pastikan perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin terlibat aktif dalam perencanaan dan implementasi program air.
  6. Advokasi dan Edukasi Publik: Tingkatkan kesadaran dan advokasi tentang pentingnya air sebagai sumber daya terbatas dan hak asasi manusia.

Bisnis sebagai Motor Ketahanan Air Masa Depan

Laporan “Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World” menegaskan bahwa krisis air adalah tantangan sistemik yang hanya bisa diatasi melalui aksi kolektif dan inovatif, dengan bisnis sebagai aktor kunci. Studi kasus dari berbagai negara membuktikan bahwa investasi pada ketahanan air tidak hanya menyelamatkan lingkungan dan masyarakat, tetapi juga menciptakan peluang bisnis, efisiensi biaya, dan keunggulan kompetitif. Dengan mengadopsi rekomendasi laporan ini, perusahaan dan pemerintah dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan—menuju dunia yang benar-benar aman air pada 20301.

Sumber Asli

Critical Business Actions for Achieving a Water Secure World. UNICEF, 2022.

Selengkapnya
Tindakan Bisnis Penting untuk Mencapai Keamanan Air di Dunia
« First Previous page 5 of 23 Next Last »