Membangun Mekanisme Tata Kelola Kompensasi Ekologis Lintas Wilayah di Delta Sungai Yangtze

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

19 Juni 2025, 11.00

pixabay.com

Pentingnya Kolaborasi Ekologis di Era Urbanisasi dan Krisis Lingkungan

Delta Sungai Yangtze (YRD) adalah salah satu kawasan ekonomi paling dinamis di Tiongkok, menyumbang hampir seperempat PDB nasional dan sepertiga volume ekspor-impor negara tersebut. Namun, pesatnya pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi telah memunculkan tantangan serius: polusi air, degradasi ekosistem, dan ketimpangan pengelolaan lingkungan antarwilayah. Dalam konteks inilah, paper karya Zhen Yu dan Qingjian Zhao (2022) menjadi sangat relevan, membedah secara mendalam bagaimana mekanisme kompensasi ekologis lintas wilayah dan lintas DAS (daerah aliran sungai) dapat dikembangkan secara kolaboratif untuk menjawab tantangan lingkungan dan tata kelola modern di YRD1.

Artikel ini tidak hanya penting bagi akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang ingin memahami praktik terbaik, tantangan, dan peluang dalam membangun tata kelola lingkungan yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Mengapa Kompensasi Ekologis Lintas Wilayah Krusial?

Tantangan Utama

  • Konflik kepentingan hulu-hilir: Wilayah hulu sering menanggung beban perlindungan lingkungan, sementara wilayah hilir menikmati manfaat ekonomi dan ekosistem tanpa menanggung biaya setara.
  • Fragmentasi administratif: Batas wilayah administratif seringkali menghambat koordinasi lintas daerah, menyebabkan kebijakan lingkungan berjalan sendiri-sendiri.
  • Kebutuhan tata kelola kolaboratif: Masalah lingkungan seperti polusi air, kehilangan keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas ekosistem tidak mengenal batas administratif.

Tren Global

  • Pendekatan kolaboratif telah diadopsi di banyak negara maju, seperti pengelolaan Tennessee River Basin di AS, Murray–Darling Basin di Australia, dan Thames River Basin di Inggris, yang menekankan pentingnya partisipasi multi-pihak dan tata kelola lintas sektor1.

Metodologi: Analisis Jaringan Sosial dan Kerangka IAD

Penulis menggunakan dua pendekatan utama:

  1. Social Network Analysis (SNA): Untuk memetakan dan menganalisis jaringan kerjasama lintas wilayah berdasarkan 74 perjanjian kompensasi ekologis yang telah ditandatangani di YRD.
  2. Institutional Analysis and Development (IAD) Framework: Untuk mengurai dan mengevaluasi aturan-aturan kelembagaan dalam perjanjian, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan tata kelola yang ada1.

Temuan Utama: Peta Jaringan dan Dinamika Tata Kelola

1. Jaringan Kolaborasi: Siapa Pemain Kunci?

  • Tiga wilayah sentral: Jiashan (Jiaxing, Zhejiang), Wujiang (Suzhou, Jiangsu), dan Qingpu (Shanghai) membentuk “segitiga emas” kolaborasi, menjadi pusat utama dalam jaringan tata kelola ekologis lintas wilayah1.
  • Peran Shanghai: Qingpu District di Shanghai berperan sebagai “intermediary” yang menghubungkan dan mengoordinasikan kerjasama antarwilayah, memfasilitasi aliran informasi, sumber daya, dan teknologi1.
  • Statistik jaringan: Dari 74 perjanjian, 303 unit kelembagaan diidentifikasi, dengan 198 di antaranya berupa “selection rules” (aturan pilihan tindakan), menandakan fokus pada bagaimana berkolaborasi dan memberi insentif/hukuman1.

2. Studi Kasus: Kolaborasi di Sekitar Danau Dianshan dan Sungai Taipu

  • Fokus utama: Kolaborasi lintas provinsi paling intens terjadi di sekitar Danau Dianshan dan Sungai Taipu, dengan berbagai perjanjian yang menekankan sistem “joint river chief”, berbagi data monitoring, dan mekanisme respons darurat1.
  • Contoh nyata: Perjanjian “List of docking matters for the integration of Qing Kun Wu Shan” (2018–2020) mencakup 11 aksi lingkungan, mulai dari sistem pengawasan bersama hingga mekanisme penanggulangan gulma air1.
  • Angka kunci: Qingpu District memiliki degree centrality tertinggi (29), betweenness centrality (84), dan closeness centrality (0,32), menandakan peran sentral dalam jaringan1.

3. Analisis Aturan Kelembagaan: Apa yang Kurang?

  • Dominasi selection rules: 65% aturan dalam perjanjian adalah selection rules, fokus pada “apa yang harus dilakukan” dan “bagaimana memberi insentif/hukuman”1.
  • Kekurangan: Hanya 1% boundary rules (aturan masuk/keluar), 5% scope rules (cakupan hasil), dan 5% information rules (diseminasi informasi). Artinya, masih minim aturan tentang partisipasi publik, transparansi, dan mekanisme pengambilan keputusan kolektif1.
  • Dampak: Kolaborasi cenderung elitis dan top-down, dengan partisipasi masyarakat dan LSM yang sangat terbatas.

Tantangan dan Masalah yang Ditemukan

1. Keterbatasan Skala dan Partisipasi

  • Jaringan kolaborasi masih terbatas: Hanya beberapa wilayah yang benar-benar aktif, sementara banyak kota lain menjadi “node” pasif atau terisolasi.
  • Dominasi pemerintah: Kolaborasi didominasi oleh pemerintah daerah, dengan minimnya pelibatan sektor swasta, LSM, dan masyarakat sipil.

2. Standar dan Insentif yang Belum Jelas

  • Kurangnya standar aksi: Banyak perjanjian tidak memuat indikator kinerja atau standar aksi yang jelas, sehingga sulit mengukur efektivitas dan akuntabilitas1.
  • Insentif dan sanksi: Fokus pada reward/punishment, namun tanpa mekanisme implementasi yang detail dan transparan.

3. Hambatan Struktural

  • Fragmentasi administratif: Batas wilayah dan perbedaan prioritas antar daerah menghambat perluasan jaringan kolaborasi.
  • Kurangnya mekanisme agregasi dan informasi: Minimnya aturan tentang pengambilan keputusan kolektif dan diseminasi informasi menghambat partisipasi dan inovasi.

Perbandingan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?

Studi Banding

  • Tennessee River Basin (AS): Dikelola oleh badan khusus yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, dengan sistem insentif dan akuntabilitas yang jelas.
  • Murray–Darling Basin (Australia): Mengadopsi pendekatan multi-level governance, dengan dewan pengelola, komite komunitas, dan mekanisme negosiasi terbuka.
  • Thames River Basin (Inggris): Memiliki kerangka hukum yang kuat, dengan pengaturan tanggung jawab dan akuntabilitas di setiap level pemerintahan.
  • Guangdong-Hong Kong-Macao Greater Bay Area: Menonjolkan kerjasama horizontal dan vertikal, serta penguatan institusi lintas wilayah1.

Pelajaran untuk YRD

  • Perluasan partisipasi: Melibatkan lebih banyak aktor non-pemerintah, seperti LSM, komunitas lokal, dan sektor swasta, untuk memperkuat legitimasi dan inovasi.
  • Penguatan standar dan transparansi: Menetapkan indikator kinerja, mekanisme monitoring, dan sistem insentif yang jelas dan transparan.
  • Pengembangan mekanisme agregasi: Mendorong pengambilan keputusan kolektif dan diseminasi informasi untuk meningkatkan partisipasi dan akuntabilitas.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

1. Diversifikasi Aktor dan Tata Kelola Multi-Level

  • Libatkan multi-stakeholder: Pemerintah harus membuka ruang bagi partisipasi LSM, komunitas, dan sektor swasta dalam perumusan dan implementasi kebijakan kompensasi ekologis.
  • Delegasi kewenangan: Berikan otonomi lebih besar pada pemerintah lokal dan komunitas untuk mengelola program kompensasi sesuai konteks lokal.

2. Standarisasi dan Monitoring

  • Kembangkan indikator kinerja: Setiap perjanjian harus memuat indikator yang terukur, target waktu, dan mekanisme evaluasi berkala.
  • Transparansi data: Wajibkan pelaporan dan publikasi data monitoring secara terbuka untuk meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas.

3. Inovasi Insentif dan Sanksi

  • Insentif berbasis hasil: Berikan insentif finansial atau non-finansial bagi wilayah yang berhasil mencapai target lingkungan.
  • Sanksi progresif: Terapkan sanksi yang proporsional dan transparan bagi pelanggaran, dengan mekanisme banding yang adil.

4. Penguatan Mekanisme Agregasi dan Informasi

  • Forum konsultasi publik: Bentuk forum konsultasi lintas wilayah yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
  • Sistem informasi bersama: Kembangkan platform digital untuk berbagi data, best practice, dan inovasi lintas daerah.

Analisis Kritis dan Opini

Nilai Tambah Paper

  • Originalitas: Paper ini menonjol dengan menggabungkan analisis jaringan sosial dan kerangka IAD, memberikan gambaran makro dan mikro tata kelola kompensasi ekologis di YRD1.
  • Relevansi industri: Temuan dan rekomendasi sangat relevan untuk sektor industri, energi, dan pertanian yang sangat bergantung pada kejelasan tata kelola lingkungan.
  • Kritik: Paper ini masih kurang membahas peran teknologi digital (misal, IoT, blockchain) dalam monitoring dan tata kelola, serta minim eksplorasi insentif inovatif seperti green bonds atau skema blended finance.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan

  • ESG dan disclosure: Tren global menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lingkungan, termasuk skema kompensasi ekologis.
  • Kebijakan nasional: Temuan paper ini sejalan dengan agenda “ekosivilisasi” Tiongkok dan target pembangunan hijau dalam Rencana Lima Tahun ke-14.

Menuju Tata Kelola Ekologis yang Kolaboratif dan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan kompensasi ekologis lintas wilayah di Delta Sungai Yangtze sangat bergantung pada:

  • Kolaborasi multi-pihak dan tata kelola multi-level
  • Standarisasi indikator dan transparansi data
  • Inovasi insentif dan sanksi
  • Penguatan mekanisme agregasi dan partisipasi publik

Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, YRD dan kawasan lain di dunia dapat memperkuat ketahanan lingkungan, mengurangi konflik hulu-hilir, dan mendorong pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adaptif terhadap tantangan masa depan.

Sumber Artikel 

Yu, Z.; Zhao, Q. Research on the Coordinated Governance Mechanism of Cross-Regional and Cross-Basin Ecological Compensation in the Yangtze River Delta. Int. J. Environ. Res. Public Health 2022, 19, 9881.