Navigasi Konflik dan Ambiguitas Tata Kelola Air di Cekungan Sungai Katari, Bolivia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

19 Juni 2025, 05.38

pixabay.com

Air, Konflik, dan Kompleksitas Sosial di Andes

Cekungan Sungai Katari (Katari River Basin/KRB) di Bolivia adalah salah satu kawasan paling padat penduduk di negara tersebut, bermuara ke Danau Titicaca—danau tertinggi di dunia yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang di Andes. Namun, kawasan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana polusi air, perubahan iklim, dan pertarungan kepentingan antara aktor lokal, nasional, dan internasional memunculkan konflik lingkungan yang kompleks dan berlapis. Paper “Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia” (Agramont et al., 2025)1 membedah secara mendalam bagaimana ambiguitas, praktik relasional, dan asimetri kekuasaan membentuk dinamika konflik air di KRB. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengaitkan dengan tren global, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi bagi tata kelola air masa kini.

Latar Belakang: Polusi, Kerentanan, dan Upaya Multi-Stakeholder

Krisis Polusi dan Dampak Sosial-Lingkungan

KRB, yang menjadi sumber air utama Danau Titicaca, menghadapi polusi berat akibat aktivitas manusia: pertambangan, urbanisasi, industri, dan pertanian. Polusi ini menurunkan kualitas, distribusi, dan ketersediaan air, memperburuk kerentanan masyarakat lokal terhadap perubahan iklim. Pada 2015, misalnya, polusi menyebabkan kematian dua ton ikan, katak, dan burung di pesisir Danau Titicaca, menandai kerusakan ekosistem dan ancaman bagi penghidupan komunitas adat yang bergantung pada danau.

Upaya Pemerintah dan Platform Multi-Stakeholder

Sejak 2002, pemerintah Bolivia dan mitra internasional berupaya mengatasi polusi KRB. Namun, hingga 2019, polusi justru makin parah, memengaruhi 83 km² area Danau Titicaca. Pada 2018, pemerintah membentuk platform multi-stakeholder lintas sektor—melibatkan pemerintah pusat, daerah, universitas, LSM, komunitas adat, dan lembaga internasional—untuk mencari solusi kolaboratif atas masalah air.

Kerangka Analisis: Ambiguitas, Konflik Berlapis, dan Praktik Relasional

Ambiguitas dalam Tata Kelola Air

Ambiguitas adalah perbedaan dalam cara aktor memahami masalah air, penyebab, dan solusi yang dianggap tepat. Dalam konteks multi-stakeholder, ambiguitas muncul dari perbedaan pengalaman, nilai, pengetahuan, dan tujuan, diperparah oleh kerangka hukum dan institusi yang tidak jelas serta ketidakpastian akibat perubahan iklim.

Nested Conflicts: Konflik Berlapis

Konflik air di KRB tidak tunggal, melainkan berlapis (nested):

  • Issue-specific conflicts: Perselisihan atas polusi, distribusi air, atau prioritas penggunaan.
  • Relational conflicts: Ketegangan akibat pola interaksi, mistrust, atau dinamika emosional antaraktor.
  • Structural conflicts: Ketidakadilan sistemik dalam alokasi air, kebijakan, atau akses terhadap pengambilan keputusan.

Ketidakmampuan mengenali dan mengelola konflik berlapis ini memperparah masalah air, memicu protes, dan memperdalam ketidakpercayaan.

Praktik Relasional: Kunci Kolaborasi atau Sumber Masalah

Praktik relasional adalah pola komunikasi dan interaksi yang membentuk hubungan antaraktor. Praktik ini dapat memfasilitasi dialog, membangun kepercayaan, dan menciptakan makna bersama—atau sebaliknya, memperkuat kekuasaan sepihak dan menutup ruang partisipasi.

Studi Kasus: Konflik Air di KRB

Polusi Tambang dan Konflik Hulu-Hilir

Sejak abad ke-16, aktivitas pertambangan di hulu KRB (misal, tambang “La Fabulosa Mine Consolidated”) meninggalkan jejak limbah asam tambang (AMD) yang mencemari air dengan logam berat (timbal, arsenik, seng, tembaga, kadmium).

  • Dampak langsung: Waduk Milluni, sumber air minum kedua terbesar di kawasan, tercemar berat sehingga operator air harus menambah proses pengolahan, menaikkan biaya operasional, dan membangun infrastruktur tambahan. Ironisnya, sisa logam berat dari proses pengolahan justru dibuang kembali ke sungai tanpa pengolahan, memindahkan risiko ke komunitas hilir.
  • Dampak hilir: Studi menunjukkan logam berat masuk rantai makanan lokal, mengancam ekosistem dan kesehatan komunitas adat di Danau Titicaca.

Urbanisasi, Limbah Kota, dan Protes Komunitas Adat

Pertumbuhan pesat kota El Alto (kini kota terbesar kedua di Bolivia) tidak diimbangi pengelolaan limbah cair dan padat. Setiap tahun, El Alto membuang sekitar 20 juta m³ limbah cair dan 800 juta ton sampah padat ke sungai, memperparah eutrofikasi di wilayah hilir. Komunitas adat di sekitar Danau Titicaca sudah sejak awal 2000-an mengorganisir protes menuntut pemerintah menghentikan polusi. Tragedi matinya dua juta ton biota di Titicaca pada 2015 memicu gelombang aksi kolektif, termasuk ancaman memutus suplai air ke El Alto jika tuntutan diabaikan.

Proyek Transfer Air dan Konflik Baru

Sejak 2017, pemerintah Bolivia meluncurkan proyek transfer air senilai USD 133 juta untuk menggandakan suplai air minum El Alto dengan mengambil air dari cekungan tetangga.

  • Dampak: Komunitas di daerah sumber air menolak, khawatir akan kekurangan air dan kerusakan ekosistem. Proyek ini memecah solidaritas antar komunitas adat dan menciptakan konflik baru antarwilayah.

Dinamika Platform Multi-Stakeholder: Fragmentasi dan Asimetri Kekuasaan

Struktur dan Fungsi Platform

Platform KRB terdiri dari tiga klaster:

  • Forum Sosial Partisipatif: Organisasi akar rumput, serikat irigasi, komunitas adat.
  • Dewan Teknis: Universitas, lembaga riset, mitra internasional.
  • Dewan Direksi: Pemerintah pusat, daerah, dan kota.

Setiap klaster bertugas mengumpulkan informasi, memberi rekomendasi teknis, dan merumuskan kebijakan. Namun, dalam praktiknya, proses ini justru memperkuat fragmentasi pengetahuan dan memperlemah koordinasi.

Praktik Relasional yang Membatasi Kolaborasi

Observasi dan wawancara mengungkap pola interaksi yang didominasi pemerintah:

  • Pertemuan dimulai dengan presentasi panjang dari kementerian, menyisakan sedikit waktu untuk diskusi.
  • Topik diskusi dan komposisi kelompok kerja ditentukan sepihak oleh pemerintah.
  • Partisipasi komunitas adat dan organisasi lokal hanya simbolis, tanpa ruang nyata untuk menyampaikan aspirasi atau mengelola proyek.
  • Universitas dan mitra internasional hanya diminta memberi masukan pada topik terbatas.

Keluhan peserta menyoroti minimnya ruang dialog dan dominasi narasi pemerintah. “Kami butuh diskusi dua arah, bukan sekadar daftar poin atau presentasi sepihak,” ujar perwakilan universitas. “Kami ingin berbagi pengalaman, bukan hanya mendengar pencapaian pemerintah,” tambah perwakilan LSM.

Analisis Kritis: Mengapa Konflik Tak Kunjung Usai?

Asimetri Kekuasaan dan Pengelolaan Ambiguitas

Pemerintah mengelola ambiguitas dengan memaksakan satu kerangka solusi, menutup ruang bagi narasi alternatif. Praktik ini memperkuat asimetri kekuasaan, menyingkirkan pengetahuan lokal, dan memperdalam ketidakpercayaan.

  • Contoh: Bahasa teknis dan kurang sensitif budaya memperlebar jarak antara aktor teknokrat dan komunitas adat (yang mayoritas berbahasa Aymara), sehingga suara mereka tidak terwakili.

Fragmentasi Pengetahuan dan Kegagalan Kolaborasi

Struktur platform yang memisahkan klaster sosial, teknis, dan administratif justru memperkuat fragmentasi pengetahuan.

  • Teknokrat fokus pada solusi teknis, mengabaikan realitas sosial.
  • Komunitas adat menyoroti dampak sosial-lingkungan, namun minim pengaruh pada kebijakan.
  • Koordinasi lemah antara aktor nasional, daerah, dan lokal.

Konflik Berlapis: Dari Polusi ke Ketidakadilan Struktural

Konflik air di KRB mencakup:

  • Issue-specific: Perselisihan distribusi air, polusi limbah tambang dan kota.
  • Relasional: Mistrust antara komunitas adat dan pemerintah, serta antarwilayah.
  • Struktural: Ketidakadilan dalam akses air, kurangnya perlindungan hukum, dan eksklusi komunitas lokal dari pengambilan keputusan.

Studi Perbandingan dan Tren Global

Relevansi dengan Tata Kelola Air Dunia

Kasus KRB mencerminkan tantangan umum di banyak negara berkembang:

  • Fragmentasi tata kelola dan asimetri kekuasaan memperparah konflik air.
  • Partisipasi multi-stakeholder sering hanya formalitas, tanpa mekanisme nyata untuk dialog dan ko-kreasi solusi.
  • Bahasa dan budaya menjadi penghalang, bukan jembatan, jika tidak dikelola dengan inklusif.

Studi serupa di Andes dan Asia menunjukkan bahwa keberhasilan tata kelola air sangat bergantung pada kualitas praktik relasional: dialog sejajar, pengakuan pengetahuan lokal, dan mekanisme berbagi kekuasaan.

Koneksi dengan Industri dan ESG

Di era ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan dan pemerintah didorong untuk mengadopsi tata kelola inklusif dan transparan. Kasus KRB menegaskan pentingnya integrasi prinsip ESG dalam proyek air, terutama di kawasan dengan keragaman budaya dan sejarah konflik panjang.

Rekomendasi dan Peluang Perbaikan

  1. Reformasi Praktik Relasional: Bangun ruang dialog sejajar, beri waktu dan ruang bagi komunitas lokal untuk menyampaikan aspirasi, dan libatkan mereka dalam perumusan solusi.
  2. Bahasa Inklusif: Gunakan bahasa yang sensitif budaya dan mudah dipahami semua pihak, serta fasilitasi penerjemahan untuk mengurangi eksklusi.
  3. Integrasi Pengetahuan: Gabungkan pengetahuan teknis, lokal, dan adat dalam setiap tahap pengambilan keputusan.
  4. Penguatan Mekanisme Kolaborasi: Bentuk tim lintas klaster untuk mengelola konflik, bukan hanya membagi tugas secara sektoral.
  5. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif: Libatkan semua aktor dalam pemantauan dan evaluasi proyek, bukan hanya sebagai “penerima manfaat”.

Menuju Tata Kelola Air yang Inklusif dan Adaptif

Paper ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif di kawasan kompleks seperti KRB harus berangkat dari praktik relasional yang berkualitas tinggi: dialog sejajar, pengakuan keragaman pengetahuan, dan distribusi kekuasaan yang adil. Tanpa itu, platform multi-stakeholder hanya akan menjadi formalitas, konflik tetap berlarut, dan tujuan keberlanjutan sulit tercapai. Namun, perubahan mulai terlihat: pada 2024, platform KRB mulai membuka ruang diskusi lebih luas, memberi harapan bagi tata kelola air yang lebih inklusif dan adaptif. Kasus KRB menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa dalam mengelola sumber daya alam di tengah kompleksitas sosial dan perubahan iklim.

Sumber Asli Artikel

Agramont, A., L. D. Villafuerte Philippsborn, G. Peres-Cajias, A. Baltodano Martinez, A. van Griensven, M. Craps, and M. F. Brugnach. 2025. Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia. Ecology and Society 30(2):15.