Sumber Daya Air

Revolusi Pemantauan Danau: Menguak Peran Satelit dalam Menjaga Air Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Satelit dan Danau: Pertemuan Teknologi dan Keberlanjutan

Dengan lebih dari 800 danau besar dan kecil, Indonesia merupakan negara yang sangat bergantung pada sumber daya air permukaan. Namun, tekanan dari urbanisasi, konversi lahan, dan sedimentasi menyebabkan degradasi serius terhadap danau-danau utama. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa 72% kebutuhan air permukaan dan 25% plasma nutfah dunia berada di ekosistem danau di Indonesia.

Untuk menjawab tantangan ini, buku Pemanfaatan Penginderaan Jauh Satelit untuk Pemantauan Daerah Tangkapan Air dan Danau menyajikan pendekatan mutakhir berbasis teknologi satelit dalam memantau kondisi biofisik danau dan daerah tangkapan air (DTA). Disusun oleh para peneliti dari LAPAN (kini BRIN), buku ini merupakan kumpulan studi lapangan, metode ilmiah, dan aplikasi konkret dari data penginderaan jauh, terutama melalui satelit Landsat dan SPOT.

Masalah Klasik Ekosistem Danau Indonesia

Buku ini mengawali pembahasannya dengan pemetaan problematika danau secara nasional. Beberapa kerusakan paling umum yang diidentifikasi meliputi:

  1. Pendangkalan dan penyempitan danau akibat sedimentasi dari erosi DAS.
  2. Pencemaran kualitas air, termasuk limpasan pupuk, limbah domestik, dan logam berat.
  3. Peningkatan vegetasi invasif, terutama eceng gondok yang mempercepat eutrofikasi.
  4. Kehilangan keanekaragaman hayati karena kerusakan habitat perairan.
  5. Pertumbuhan alga berlebihan (alga bloom) sebagai indikator eutrofikasi parah.
  6. Perubahan fluktuasi muka air akibat aktivitas manusia dan pengambilan air berlebihan.

Kondisi ini berdampak langsung pada penurunan produksi perikanan, kapasitas listrik PLTA, hingga potensi wisata air.

Teknologi Penginderaan Jauh: Menjawab Keterbatasan Pemantauan Konvensional

Salah satu solusi paling revolusioner adalah penginderaan jauh melalui satelit. Buku ini menekankan bahwa:

  • Satelit seperti Landsat dan SPOT mampu menyediakan citra resolusi spasial menengah (20–30 meter).
  • Data satelit bersifat multi-temporal, artinya bisa menelusuri perubahan jangka panjang (hingga puluhan tahun).
  • Parameter penting seperti indeks vegetasi (NDVI), kekeruhan air (TSM), erosi, dan perubahan luasan air dapat diturunkan dari data satelit.

Melalui teknik koreksi radiometrik, orthorektifikasi, dan algoritma regresi, para peneliti menghasilkan data yang andal dan siap pakai untuk pemantauan danau secara operasional.

Studi Kasus: Danau Limboto – Potret Krisis dan Harapan

Salah satu studi yang paling menarik dalam buku ini adalah pemantauan Danau Limboto di Gorontalo selama 20 tahun (1990–2010). Menggunakan kombinasi citra Landsat dan SPOT-4, peneliti berhasil memetakan tingkat kekeruhan air dan tren degradasi.

Temuan Kunci:

  • Tingkat kekeruhan meningkat drastis berdasarkan parameter Total Suspended Material (TSM).
  • Data Desember 1990 menunjukkan konsentrasi TSM yang relatif rendah.
  • Pada April 2002 dan Mei 2010, kekeruhan meningkat signifikan, ditunjukkan oleh distribusi warna terang pada model spasial.
  • Proses koreksi citra berhasil menyelaraskan data dari sensor dan waktu perekaman berbeda.

Hasil ini mengkonfirmasi penurunan kualitas Danau Limboto, sejalan dengan laporan pemerintah daerah dan studi akademik lainnya.

Studi Kasus: Danau Kerinci – Memetakan Erosi Melalui NDVI

Penelitian lain berfokus pada DTA Danau Kerinci, yang mengalami konversi lahan besar-besaran. Dengan menggunakan 19 citra Landsat selama periode 2000–2009, para peneliti menghitung indeks vegetasi (NDVI) minimum dan maksimum.

Hasil Penting:

  • Terjadi perubahan NDVI tinggi pada area sawah yang dinamis, menunjukkan fluktuasi vegetasi.
  • Lahan hutan dan perairan cenderung menunjukkan perubahan NDVI rendah, menandakan kestabilan.
  • Dengan algoritma C-correction, pengaruh topografi dan bayangan awan berhasil dikoreksi, menghasilkan peta vegetasi yang lebih akurat.

NDVI minimum menjadi indikator penting untuk mendeteksi area rawan erosi. Dalam konteks Danau Kerinci, area dengan NDVI rendah cenderung menjadi sumber sedimen ke danau.

Inovasi Teknik: Koreksi Data Multi-Sensor dan Normalisasi

Buku ini juga membahas pentingnya standardisasi koreksi data, terutama saat menggunakan citra dari sensor berbeda dan waktu perekaman yang berjauhan. Prosedur yang digunakan meliputi:

  • Koreksi orthorektifikasi untuk memastikan akurasi posisi spasial.
  • Koreksi matahari dan terrain untuk menyamakan kondisi pencahayaan antar waktu.
  • Normalisasi antar citra melalui regresi linear pada objek tak berubah (invariant objects), seperti hutan.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa setelah proses normalisasi, nilai spektral dari citra Landsat 1990, 2000, dan SPOT 2010 menjadi hampir identik. Ini memungkinkan komparasi antar waktu yang valid dan konsisten.

Tantangan Operasional: Dari Kajian ke Implementasi Nasional

Walaupun metode dan hasil yang dihasilkan sangat menjanjikan, penulis juga mengakui adanya tantangan besar:

  • Belum semua data citra tersedia bersih dari awan, terutama di daerah tropis.
  • Kesulitan memperoleh data lapangan (ground truth) untuk validasi model satelit.
  • Masih terbatasnya daerah yang sudah menggunakan data satelit untuk pemantauan rutin (hanya bersifat kajian akademik di banyak tempat).

Untuk itu, buku ini mendorong adanya standardisasi nasional baik dalam pemrosesan data, penyimpanan, maupun pemanfaatan hasil oleh pemerintah daerah.

Relevansi Global: Sejalan dengan SDG 6 dan 13

Upaya pemantauan danau menggunakan teknologi satelit sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khususnya:

  • SDG 6: Clean Water and Sanitation, melalui pemantauan kualitas air permukaan.
  • SDG 13: Climate Action, karena danau berperan penting dalam regulasi iklim lokal dan penyerapan karbon.

Studi serupa juga telah dilakukan di Danau Winnipeg (Kanada), Danau Nasser (Mesir), dan berbagai danau di AS. Dengan implementasi penuh, Indonesia berpotensi menjadi pelopor pemantauan danau tropis berbasis satelit.

Kritik Konstruktif dan Saran Penguatan

Beberapa catatan kritis terhadap buku ini antara lain:

  • Perlu lebih banyak visualisasi dan peta tematik agar pembaca non-teknis bisa memahami hasil penelitian.
  • Kurangnya pembahasan tentang aspek sosial dan ekonomi, misalnya dampak penurunan kualitas danau terhadap nelayan atau petani.
  • Masih terbatas pada danau prioritas, padahal banyak danau kecil yang juga penting bagi masyarakat lokal.

Saran ke depan termasuk integrasi dengan platform digital (GIS interaktif), pelibatan pemerintah daerah dalam validasi data, dan pelatihan pemanfaatan data satelit untuk pengambil kebijakan.

Penutup: Satelit sebagai Penjaga Senyap Danau Indonesia

Buku ini adalah tonggak penting dalam transformasi cara kita memantau dan memahami kondisi danau dan DAS di Indonesia. Melalui teknologi penginderaan jauh, kini kita bisa memetakan kekeruhan, erosi, perubahan vegetasi, dan fluktuasi air dengan presisi tinggi—tanpa menyentuh langsung lokasi.

Namun teknologi hanyalah alat. Keberhasilan perlindungan danau tetap bergantung pada sinergi antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan partisipasi masyarakat. Data satelit harus menjadi bahan bakar bagi perubahan nyata di lapangan.

Sumber asli:
Trisakti, Bambang, dkk. 2014. Pemanfaatan Penginderaan Jauh Satelit untuk Pemantauan Daerah Tangkapan Air dan Danau. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN & Crestpent Press, Bogor.

Selengkapnya
Revolusi Pemantauan Danau: Menguak Peran Satelit dalam Menjaga Air Indonesia

Sumber Daya Air

Panduan Strategis Menjaga Laut Indonesia: Mengupas Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Laut Perlu Dipantau Secara Serius?

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia menyimpan kekayaan hayati laut yang luar biasa—mulai dari terumbu karang, padang lamun, mangrove, hingga berbagai biota laut endemik. Namun, ancaman terhadap laut kian nyata. Limbah industri, sedimentasi dari sungai, tumpahan minyak, dan kegiatan wisata yang tak terkendali semakin menekan kualitas air laut.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan “Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut” pada tahun 2016. Dokumen ini menjadi acuan nasional bagi pemerintah daerah dan laboratorium lingkungan dalam merancang, melaksanakan, dan melaporkan kegiatan pemantauan air laut secara ilmiah dan seragam.

Tujuan Pedoman: Data yang Ilmiah, Konsisten, dan Dapat Dipertanggungjawabkan

Pedoman ini bertujuan menyediakan panduan teknis yang dapat diandalkan dalam seluruh tahapan pemantauan kualitas air laut, dari perencanaan hingga pelaporan. Hal ini penting agar data yang dihasilkan:

  • Representatif terhadap kondisi laut yang dipantau
  • Dapat dibandingkan antar wilayah dan waktu
  • Menjadi dasar kuat dalam penyusunan kebijakan pengendalian pencemaran laut

Empat Pilar Utama Pemantauan Kualitas Air Laut

1. Perencanaan

Tahap ini mencakup:

  • Pembentukan tim teknis yang memiliki kompetensi di bidang kualitas lingkungan laut.
  • Penentuan lokasi berdasarkan program nasional, seperti Teluk Jakarta, Semarang, Benoa, serta kawasan ekosistem pesisir dan muara 15 sungai prioritas nasional (misalnya Citarum, Brantas, Kapuas, Cisadane, dan Musi).
  • Penyusunan desain pemantauan termasuk jadwal, kedalaman sampling, dan parameter yang akan diuji.

Pedoman menyarankan frekuensi ideal minimal empat kali setahun, yaitu:

  • Awal musim kemarau
  • Puncak kemarau
  • Awal musim hujan
  • Puncak musim hujan

2. Pelaksanaan Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan ilmiah berdasarkan salinitas dan kedalaman:

  • Muara (estuari): berdasarkan perbedaan salinitas (0,5–5 PSU disebut oligohaline)
  • Pantai (coastal): mesohaline (5–18 PSU)
  • Laut lepas: polyhaline hingga euhaline (>30 PSU)

Alat yang digunakan harus sesuai standar, misalnya Niskin Sampler, Rosette Sampler, atau alat horizontal khusus untuk air permukaan. Prosedur sampling mengikuti SNI 6964.8:2015, memastikan akurasi dan kebersihan sampel dari kontaminasi.

3. Analisis dan Interpretasi

Sampel dianalisis oleh laboratorium yang:

  • Telah teregistrasi atau terakreditasi
  • Mengikuti uji profisiensi tahunan
  • Menerapkan jaminan mutu dan pengendalian mutu internal

Analisis dilakukan berdasarkan metode mutakhir seperti SNI, US-EPA, atau APHA, lalu hasilnya diverifikasi dan divalidasi sebelum dianalisis lebih lanjut. Data dibandingkan dengan baku mutu sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004, disesuaikan dengan peruntukan:

  • Perairan biota laut
  • Pelabuhan
  • Kawasan wisata bahari

4. Pelaporan

Laporan disusun dalam dua bentuk:

  • Ringkasan eksekutif (maksimal 5 halaman)
  • Laporan lengkap berisi metodologi, hasil uji, pembahasan, dan rekomendasi

Hasil analisis juga dikirim dalam format digital untuk diintegrasikan secara nasional oleh KLHK. Penilaian status mutu menggunakan metode Indeks Pencemar (IP) untuk pemantauan sesaat dan STORET untuk pemantauan lebih dari 3 kali dalam setahun.

Parameter Prioritas: Fokus pada Pencemar Laut yang Signifikan

Pedoman ini membagi parameter kualitas air laut ke dalam tiga prioritas:

Prioritas Tinggi:

  • Fisika: pH, suhu, DO, salinitas, kecerahan, TSS
  • Nutrien: nitrat, amoniak, nitrit, fosfat
  • Biologi: total coliform, fecal coliform, klorofil-a
  • Kimia: fenol, deterjen

Prioritas Sedang:

  • Logam berat: Pb, Cd, Cu, Ni, Zn, As
  • Organik kimia: minyak & lemak, pestisida, PAH, TBT, PCB

Prioritas Rendah:

  • BOD dan merkuri

Semua parameter ini berkaitan erat dengan dampak utama pencemaran laut seperti eutrofikasi, keracunan biota, dan kontaminasi rantai makanan.

Studi Kasus Simulatif: Pemantauan di Teluk Jakarta

Bayangkan pemantauan dilakukan di Teluk Jakarta, wilayah padat aktivitas pelabuhan dan industri. Berdasarkan pedoman:

  • Titik sampling ditetapkan di estuari Ciliwung dan pesisir Pluit
  • Diambil sampel pada tiga kedalaman: permukaan, tengah, dan dasar
  • Diuji parameter seperti TSS, DO, nitrat, minyak, logam berat, dan coliform

Jika ditemukan:

  • DO di bawah 3 mg/L
  • TSS melebihi 80 mg/L
  • Fecal coliform di atas 1.000 MPN/100 mL
  • Zn dan Cu melebihi batas 0,1 dan 0,05 mg/L

Maka status mutu laut tergolong “cemar berat” berdasarkan STORET, dan memerlukan tindakan segera seperti penertiban pembuangan limbah dan pembangunan IPAL kawasan.

Kelebihan Pedoman Ini: Standardisasi dan Konektivitas Nasional

Beberapa keunggulan teknis dari pedoman ini antara lain:

  • Mengacu pada SNI dan metode global seperti US-EPA
  • Mewajibkan verifikasi dan validasi data laboratorium
  • Mendorong pengambilan data spasial dan temporal secara konsisten
  • Membantu provinsi menyusun proposal berbasis kebutuhan lapangan

Hal ini menjadikan data yang dihasilkan tidak hanya bisa digunakan secara lokal, tetapi juga bisa dianalisis lintas provinsi maupun nasional.

Kritik dan Catatan Tambahan

Walaupun petunjuk teknis ini sangat komprehensif, ada beberapa catatan kritis:

  • Belum semua daerah memiliki laboratorium teregistrasi dan terakreditasi, yang bisa jadi kendala teknis.
  • Tidak seluruh provinsi memiliki kemampuan anggaran untuk melakukan sampling empat kali setahun.
  • Belum ada mekanisme sanksi jika daerah tidak melaporkan data secara tepat waktu.

Saran perbaikan ke depan termasuk pelatihan intensif bagi SDM lokal, pemberdayaan laboratorium daerah, serta integrasi data berbasis GIS untuk transparansi publik.

Relevansi Global: Sejalan dengan Agenda Laut Dunia

Pemantauan kualitas air laut bukan hanya isu lokal, melainkan sejalan dengan agenda global seperti:

  • SDG 14 (Life Below Water)
  • Konvensi MARPOL tentang pencemaran laut
  • ASEAN Marine Water Quality Guidelines

Dengan standar pemantauan yang terstruktur seperti dalam pedoman ini, Indonesia bisa menampilkan diri sebagai negara maritim yang bertanggung jawab di kancah internasional.

Penutup: Menjaga Laut Dimulai dari Data yang Andal

Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut Tahun 2016 adalah peta jalan penting untuk menjaga ekosistem laut Indonesia tetap lestari. Dengan pendekatan ilmiah, prosedur yang sistematis, dan orientasi hasil yang terukur, pedoman ini menjadi fondasi dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

Namun pelaksanaannya butuh sinergi: pemerintah pusat, daerah, laboratorium, dunia usaha, hingga komunitas pesisir. Tanpa kolaborasi, data hanya akan menjadi angka tanpa makna.

Maka dari itu, mari mulai dari hal dasar—melakukan pemantauan dengan benar, agar langkah perbaikan bisa diambil dengan tepat.

Sumber asli:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air Laut Tahun 2016. Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Jakarta.

Selengkapnya
Panduan Strategis Menjaga Laut Indonesia: Mengupas Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut

Sumber Daya Air

Kualitas Air Bengkulu di Ujung Tanduk: Menyingkap Fakta Pencemaran Sungai dan Danau Tahun 2022

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Air Bengkulu Jadi Sorotan?

Air merupakan komponen vital dalam kehidupan, dan di Kota Bengkulu, keberadaan badan air seperti Danau Dendam Tak Sudah dan sungai-sungai utama (Sungai Hitam, Jenggalu, Babat, dan Bengkulu) memainkan peran penting dalam ekosistem, sumber air bersih, irigasi, dan bahkan pariwisata. Namun laporan resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bengkulu tahun 2022 menunjukkan bahwa kualitas air di kota ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Pemantauan dilakukan pada 16 titik sampling yang tersebar di lima badan air, dua kali dalam setahun mewakili musim kemarau dan musim hujan. Hasil pengujian dianalisis menggunakan metode STORET dan Indeks Pencemaran (IP), mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri LH No. 115 Tahun 2003.

Studi Kasus: Danau Dendam Tak Sudah – Kawasan Konservasi yang Tak Lagi Aman

Danau Dendam Tak Sudah adalah kawasan cagar alam yang semestinya menjadi lokasi perlindungan lingkungan dan sumber daya air. Namun data pemantauan justru menunjukkan kondisi sebaliknya.

Pada Maret 2022, nilai pH air di danau ini berada di angka 4,68 sampai 5,25—terlalu asam, karena standar minimal pH yang aman untuk kelas II adalah 6,0. Angka ini bahkan mencerminkan kondisi perairan yang bisa membahayakan kehidupan biota air tawar.

Lebih mencengangkan, pada September 2022, nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) melonjak hingga 30 miligram per liter di beberapa titik, padahal batas aman hanya 3 mg/L. Hal ini menandakan beban limbah organik yang sangat tinggi di danau, yang bisa menyebabkan deoksigenasi dan kematian organisme akuatik.

Kadar fosfat juga mengalami lonjakan drastis. Di salah satu titik pengambilan sampel, kandungan total fosfat tercatat sebesar 4,12 miligram per liter—20 kali lipat dari batas yang diperbolehkan. Peningkatan fosfat dapat menyebabkan eutrofikasi, yakni pertumbuhan alga berlebihan yang merusak keseimbangan ekosistem air.

Kadar minyak dan lemak juga sangat tinggi, mencapai 2.300 mikrogram per liter, padahal ambang batasnya hanya 1.000 mikrogram. Selain itu, indikator pencemaran mikrobiologis seperti Total Coliform tercatat sebanyak 18.980 per 100 mililiter—jauh melampaui ambang batas maksimum 5.000.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sekalipun kawasan ini dilindungi secara hukum, tekanan dari pemukiman liar, perambahan kawasan, dan pembangunan infrastruktur telah merusak fungsi ekologis danau.

Sungai Hitam: Ancaman dari Limbah Logam Berat dan Limbah Domestik

Sungai Hitam, yang berada di wilayah padat penduduk, memperlihatkan degradasi kualitas air akibat kombinasi buangan domestik dan kontaminasi logam berat.

Pada titik hilir, kadar tembaga (Cu) tercatat 2,31 miligram per liter—sangat tinggi dibanding batas aman hanya 0,02 miligram. Kadar zinc (Zn) mencapai 1,39 miligram per liter, melebihi ambang yang ditetapkan sebesar 0,05 miligram.

Dari segi beban organik, BOD pada September mencapai 6 miligram per liter, dua kali lipat dari nilai maksimum yang diperbolehkan. COD (Chemical Oxygen Demand) pada Maret juga tercatat sangat tinggi, yakni 61 miligram per liter, jauh di atas batas aman 25 mg/L.

Dari aspek mikrobiologi, sungai ini juga menunjukkan pencemaran yang parah. Total Coliform dan Fecal Coliform mencapai angka 18.980 per 100 mililiter. Ini mencerminkan keberadaan limbah tinja dan risiko tinggi terhadap penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare, hepatitis, dan tifus.

Sungai Jenggalu: Sungai Permukiman dengan Beban Limbah Rumah Tangga

Sungai Jenggalu, yang mengalir melewati wilayah permukiman dan rumah tangga padat, menunjukkan beban pencemaran yang tinggi. Nilai residu terlarut (TDS) di titik hilir mencapai 644 miligram per liter. Daya hantar listrik (DHL) juga tinggi, yaitu 1.026 mikroSiemens per sentimeter—tanda beban ion yang signifikan dalam air.

Kadar fosfat juga sangat tinggi, dengan nilai maksimum sebesar 3,41 miligram per liter. Minyak dan lemak di beberapa titik mencapai 3.400 mikrogram per liter—lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimal. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sungai ini sangat tertekan oleh limbah domestik, baik dari aktivitas mencuci, memasak, maupun pembuangan limbah rumah tangga langsung ke badan air.

BOD dan COD yang tinggi di seluruh titik juga menandakan bahwa aktivitas dekomposisi bahan organik sangat intens, mempercepat penurunan kualitas air dan membuat kondisi ekosistem menjadi tidak ideal bagi ikan maupun tanaman air.

Sungai Babat dan Sungai Bengkulu: Penyangga Irigasi dan Sumber Air Minum yang Mulai Terancam

Sungai Babat dan Sungai Bengkulu selama ini menjadi sumber air untuk pertanian serta air baku PDAM. Namun tren pencemaran menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan.

Sungai Babat menunjukkan peningkatan nilai BOD dan kadar fosfat di atas ambang batas. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan kawasan hunian serta pembuangan limbah dari sektor pertanian intensif.

Sementara itu, Sungai Bengkulu, yang dimanfaatkan sebagai sumber air oleh Instalasi Pengolahan Air Surabaya, tercatat memiliki kadar minyak dan lemak serta fosfat yang melampaui batas baku mutu, terutama pada titik-titik hilir. Beban cemar ini mengindikasikan risiko jangka panjang terhadap ketersediaan air bersih di wilayah kota.

Evaluasi Status Mutu: Dari Sedang ke Berat

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran (IP) dan Indeks Kualitas Air (IKA), sebagian besar titik di sungai dan danau Kota Bengkulu masuk dalam kategori "cemar sedang" hingga "cemar berat". Titik-titik seperti Danau Dendam Tak Sudah dan Sungai Hitam menunjukkan skor pencemaran tertinggi, didorong oleh kombinasi antara limbah domestik, aktivitas ekonomi informal, dan limbah organik yang tidak terolah.

Implikasi dan Rekomendasi Strategis

Kondisi ini mencerminkan bahwa manajemen air di Kota Bengkulu belum terintegrasi dan belum responsif terhadap tekanan populasi dan perubahan tata guna lahan. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

Untuk Pemerintah:

  • Melindungi kawasan tangkapan air dan konservasi melalui regulasi yang lebih ketat dan patroli rutin
  • Membangun sistem pengolahan limbah domestik terpusat di wilayah padat penduduk
  • Menetapkan zona larangan buang limbah di sepanjang sungai dan danau

Untuk Masyarakat:

  • Mendorong kebiasaan sanitasi sehat, seperti membangun septik tank yang benar
  • Kampanye untuk tidak membuang minyak bekas dan deterjen langsung ke saluran air
  • Melakukan aksi bersih sungai secara rutin berbasis komunitas

Untuk Dunia Pendidikan dan Swasta:

  • Libatkan kampus dan pelajar dalam pemantauan partisipatif kualitas air
  • Mewajibkan CSR perusahaan untuk restorasi badan air sekitar area operasional

Menatap Masa Depan: Belajar dari Sungai yang Pulih

Kisah sukses pemulihan Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan atau revitalisasi Kali Code di Yogyakarta membuktikan bahwa badan air yang tercemar bisa dipulihkan—asal ada komitmen dan keterlibatan semua pihak. Kota Bengkulu dapat mengikuti jejak tersebut dengan pendekatan yang tidak hanya teknis, tapi juga sosial dan budaya.

Penutup

Laporan kualitas air tahun 2022 adalah cermin darurat ekologis Kota Bengkulu. Tanpa intervensi serius, degradasi ini akan terus berlanjut dan berdampak pada kesehatan masyarakat, ketahanan air bersih, serta kelangsungan ekonomi lokal. Namun, dengan langkah kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, badan air Bengkulu bisa kembali jernih dan bermanfaat sebagaimana mestinya.

Sumber asli:
Pemerintah Kota Bengkulu – Dinas Lingkungan Hidup. 2022. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai dan Danau, Status Mutu dan Indeks Kualitas Air Kota Bengkulu Tahun 2022.

Selengkapnya
Kualitas Air Bengkulu di Ujung Tanduk: Menyingkap Fakta Pencemaran Sungai dan Danau Tahun 2022

Sumber Daya Air

Krisis Air Citarum: Evaluasi Kualitas dan Ancaman Masa Depan Sungai Strategis Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Sungai Citarum Jadi Sorotan Nasional?

Sungai Citarum, dengan panjang 269 km, bukan hanya tulang punggung kehidupan bagi 28 juta penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, tetapi juga menyuplai air untuk irigasi pertanian seluas 420.000 hektar dan menyokong 20% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melalui kawasan industri di sekitarnya. Ironisnya, sungai yang dulunya jadi kebanggaan nasional ini kini dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.

Penelitian oleh Ratih Pratiwi dan Linda Noviana dari Universitas Sahid Jakarta (2016) memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi kualitas air Sungai Citarum dalam rentang waktu 2011 hingga 2014. Berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologis serta perbandingan dengan peraturan pemerintah, hasilnya menunjukkan status pencemaran berat.

Metodologi dan Lokasi Penelitian: Titik Kritis di Sepanjang Citarum

Penelitian ini dilakukan di tujuh titik strategis:

  1. Wangisagara (hulu, terdampak limbah peternakan),
  2. Jembatan Koyod (industri tekstil),
  3. Setelah IPAL Cisirung (limbah domestik dan industri gabungan),
  4. Nanjung (kawasan industri berat),
  5. Outlet Jatiluhur (sumber air baku),
  6. Bendung Walahar (untuk irigasi),
  7. Tunggak Jati (hilir, pertemuan anak sungai).

Pengambilan sampel dilakukan rutin selama empat tahun dan dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) sesuai Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 serta dibandingkan terhadap baku mutu air kelas II dalam PP No. 82 Tahun 2001.

Parameter Kualitas Air: Data Lapangan yang Mengejutkan

Enam parameter utama digunakan:

  • TSS (Total Suspended Solids)
  • pH
  • DO (Dissolved Oxygen)
  • BOD (Biochemical Oxygen Demand)
  • COD (Chemical Oxygen Demand)
  • Total Coliform (mikrobiologi)

1. pH: Masih Dalam Ambang Normal

Nilai pH di seluruh titik berada dalam rentang 6–9, sesuai baku mutu air kelas II. Ini menunjukkan keasaman atau kebasaan air masih stabil.

2. TSS: Melewati Ambang Batas

Konsentrasi TSS mencapai angka tertinggi 108 mg/L pada 2014 di Nanjung. Padahal, ambang batas PP No. 82/2001 hanya 50 mg/L. TSS tinggi menandakan beban partikel padat tersuspensi berlebih, yang berasal dari lumpur, limbah industri, dan tinja.

3. DO: Oksigen Terlarut Menurun

Nilai DO rata-rata di bawah standar minimal 6 mg/L, bahkan menyentuh titik kritis 1,58 mg/L di Jembatan Koyod (2014), menunjukkan minimnya oksigen untuk kehidupan akuatik.

4. BOD & COD: Indikator Kuat Polusi Organik

  • BOD (beban limbah organik yang dapat terurai): melebihi ambang batas 3 mg/L, rata-rata 10,1 mg/L.
  • COD (bahan kimia terlarut, baik organik maupun anorganik): pada 2014 tercatat rata-rata 20,86 mg/L dari batas 25 mg/L.

Peningkatan signifikan BOD dan COD menandakan beban limbah organik dan industri tinggi—baik dari limbah domestik, industri tekstil, maupun pertanian.

5. Total Coliform: Alarm Kesehatan Masyarakat

Data 2014 menunjukkan angka tertinggi 24.000 MPN/100 mL di titik Jembatan Koyod, jauh melebihi batas 1.000 MPN/100 mL. Ini menandakan pencemaran tinja manusia dan hewan yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, hepatitis, dan tifus.

Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Pencemar (IP)

Tahun 2014 menjadi tahun terburuk, dengan nilai IP mencapai:

  • 13,949 – tergolong cemar berat.
  • Nilai IP tertinggi tercatat di titik Setelah IPAL Cisirung, yang menjadi titik akumulasi dari limbah domestik Bandung Selatan dan IPAL.

Klasifikasi berdasarkan IP (Kepmen LH No.115/2003):

  • 0–1,0: Baik
  • 1,1–5,0: Cemar ringan
  • 5,1–10,0: Cemar sedang
  • 10,0: Cemar berat

Seluruh titik pada tahun 2014 masuk kategori cemar berat. Kondisi ini berbanding lurus dengan laporan lapangan bahwa hanya 20% dari 500-an industri di daerah hulu yang memiliki fasilitas pengolahan limbah.

Studi Kasus: Titik 3 – Setelah IPAL Cisirung

Titik ini menunjukkan fakta mencengangkan:

  • DO hanya 1,7 mg/L
  • BOD mencapai 12,5 mg/L
  • Total Coliform tembus 18.000 MPN/100 mL

Padahal, titik ini merupakan penerima utama limbah yang telah “diolah” oleh IPAL gabungan. Ini menunjukkan dua kemungkinan: kapasitas IPAL tidak mencukupi atau proses pengolahan limbah tidak berjalan optimal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi pengelolaan infrastruktur lingkungan.

Analisis & Kritik: Kegagalan Multiaktor?

Faktor Penyebab Krisis Kualitas Air:

  • Industri Tekstil & Kimia: penyumbang limbah berat logam dan senyawa organik sintetis.
  • Permukiman Padat: membuang tinja dan limbah domestik langsung ke sungai.
  • Kebijakan Lemah: hanya 108 DAS dari 17.088 DAS di Indonesia yang punya rencana pengelolaan terpadu (RPDAST).
  • Penegakan Hukum Lemah: tidak ada sanksi efektif bagi pelanggar pengelolaan limbah.

Kurangnya Kolaborasi Antarsektor

Penanganan Citarum selama ini bersifat sektoral dan tidak terpadu lintas kabupaten/provinsi. Slogan "One River One Plan One Management" belum benar-benar dijalankan.

Tren Global: Rehabilitasi Sungai di Dunia

Kasus Sungai Citarum mirip dengan Sungai Thames (Inggris) atau Sungai Han (Korea Selatan) yang dahulu tercemar berat. Namun, berkat kebijakan tegas, pengolahan limbah modern, dan partisipasi masyarakat, keduanya kini bersih dan dapat dinikmati kembali.

Belajar dari sana, strategi nasional seperti Citarum Harum harus fokus pada:

  • Meningkatkan kapasitas IPAL industri
  • Menerapkan sistem zonasi pencemar
  • Revitalisasi vegetasi DAS hulu

Rekomendasi Penelitian: Arah Perbaikan

Untuk Pemerintah:

  • Perkuat penegakan hukum lingkungan
  • Insentif untuk industri ramah lingkungan
  • Audit IPAL dan laporkan secara transparan

Untuk Masyarakat:

  • Gerakan bersih sungai berbasis komunitas
  • Edukasi sanitasi dan pengelolaan limbah rumah tangga

Untuk Dunia Akademik:

  • Kembangkan model peringatan dini pencemaran berbasis AI
  • Libatkan mahasiswa dan dosen dalam program pemantauan partisipatif

Penutup: Waktu Mendesak untuk Bertindak

Laporan ini mempertegas urgensi penyelamatan Sungai Citarum bukan hanya sebagai isu lokal, tetapi nasional—bahkan global. Jika dibiarkan, degradasi lingkungan akan menjadi bencana sosial dan ekonomi. Namun dengan sinergi pemerintah, industri, dan masyarakat, masih ada harapan untuk menjadikan Citarum kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penyakit.

Sumber asli:
Ratih Pratiwi & Linda Noviana. 2016. Evaluasi Kualitas Air Sungai Citarum. Laporan Penelitian Dosen Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Teknik, Bidang Teknik Lingkungan.

Selengkapnya
Krisis Air Citarum: Evaluasi Kualitas dan Ancaman Masa Depan Sungai Strategis Indonesia

Sumber Daya Air

Darurat Sungai Jakarta: Potret Kualitas Air Ibukota Tahun 2023

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Kita Harus Peduli pada Sungai Jakarta?

Sungai bukan hanya aliran air, tetapi juga urat nadi kehidupan kota. Di tengah riuhnya aktivitas metropolitan Jakarta, sungai-sungai seperti Ciliwung, Angke, dan Krukut memegang peran vital—baik sebagai pengendali banjir, sumber air baku, hingga saluran pembuangan. Namun, hasil pemantauan terbaru tahun 2023 dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan PPLH-IPB menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan: mayoritas sungai di Jakarta berada dalam status cemar berat.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam hasil pemantauan kualitas air sungai Jakarta, menyajikan data, analisis, serta rekomendasi strategis. Ini adalah refleksi penting bagi warga, pemerintah, dan pelaku industri—karena kualitas sungai adalah cerminan kualitas hidup kita bersama.

Pemetaan Pemantauan: 120 Titik, 23 Sungai, dan 5 Wilayah Kota

Pada tahun 2023, pemantauan dilakukan di 120 titik yang tersebar di 23 ruas sungai, termasuk Ciliwung, Cipinang, Sunter, Angke, dan Pesanggrahan. Titik terbanyak berada di Jakarta Timur (37 titik), sedangkan Jakarta Pusat memiliki titik pemantauan paling sedikit (12 titik). Sungai Ciliwung menjadi perhatian khusus karena melintasi lima wilayah kota dan membawa beban pencemaran dari hulu di Jawa Barat.

Pemantauan dilakukan secara berkala sepanjang tahun dalam empat periode, memungkinkan evaluasi tren tahunan dan jangka panjang (2018–2023). Selain air, tahun ini juga diukur kualitas sedimen, terutama kandungan logam berat Zn (seng) dan Cu (tembaga).

Indeks Pencemaran: Mayoritas Sungai Jakarta Masuk Kategori Cemar Berat

Metodologi Penilaian

Status mutu air dievaluasi menggunakan dua pendekatan:

  • Metode STORET dari Keputusan Menteri LH No. 115/2003
  • Indeks Pencemaran (IP) berdasarkan PP No. 22/2021

Kedua metode ini mengklasifikasikan status mutu ke dalam empat kategori: Baik, Cemar Ringan, Cemar Sedang, dan Cemar Berat.

Hasil 2023

  • 63%–78% titik pemantauan masuk kategori cemar berat
  • Nilai IP tertinggi mencapai >18,0, jauh di atas ambang batas cemar berat (>5,0)
  • Titik-titik di bagian tengah sungai (dalam wilayah Jakarta) menunjukkan nilai IP lebih buruk dibanding titik masuk dari luar wilayah

Contoh:

  • Titik masuk Sungai Ciliwung dari Depok memiliki IP 9,89
  • Setelah mengalir melalui Jakarta, IP meningkat menjadi 12,23

Parameter Pencemar Utama: Fecal Coliform, BOD, COD, dan Amoniak

1. Fecal Coliform

Mikroorganisme indikator pencemaran tinja ini paling dominan. Pada tahun 2023:

  • Hampir semua titik menunjukkan nilai >1.000 MPN/100 ml (batas baku mutu)
  • Di beberapa lokasi, angkanya mencapai >24.000 MPN/100 ml

Ini berarti limbah domestik belum diolah dengan baik sebelum masuk ke sungai.

2. BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)

  • Rata-rata BOD = 9,0–15,0 mg/L (batas maksimal = 2 mg/L)
  • COD = hingga 40 mg/L (batas maksimal = 10 mg/L)

Nilai tinggi menunjukkan beban bahan organik terlarut sangat besar, terutama dari limbah rumah tangga dan pasar.

3. Amoniak (NH₃)

  • Konsentrasi di banyak titik melebihi ambang 0,5 mg/L
  • Beberapa titik menunjukkan nilai hingga 3–4 mg/L

Kadar tinggi ini berbahaya bagi ikan dan dapat menimbulkan bau busuk.

Polusi Visual dan Bau: Warna, Minyak, dan Sampah

Selain data kimia, parameter fisik dan visual sungai juga dipantau:

  • 83% titik menunjukkan warna air keruh kecoklatan
  • 54% titik memiliki lapisan minyak di permukaan
  • 45% titik teridentifikasi terdapat timbulan sampah, terutama plastik dan organik

Foto-foto lapangan menunjukkan kenyataan pahit: air sungai berwarna gelap, mengeluarkan bau, dan penuh sampah.

Logam Berat di Sedimen: Ancaman Tak Terlihat

Sedimen sungai Jakarta juga diperiksa dan menunjukkan pencemaran logam berat:

  • Zn (Seng): melebihi nilai referensi di >60% titik
  • Cu (Tembaga): terdeteksi tinggi di 35% titik

Logam ini berasal dari limbah industri, kendaraan bermotor, dan saluran air permukiman. Meskipun tidak langsung tampak, akumulasi logam berat dapat berbahaya bagi biota dan manusia melalui rantai makanan.

Tren Lima Tahun: Tidak Banyak Perubahan

Perbandingan tahun 2018 hingga 2023 menunjukkan kondisi memburuk atau stagnan:

  • Fecal Coliform dan BOD konsisten menjadi parameter paling mencemari
  • Tidak ada peningkatan signifikan dalam angka IP
  • Daerah seperti Sungai Krukut, Cideng, dan Angke tetap berada di kategori cemar berat sejak 2018

Artinya, berbagai program penanganan belum berdampak signifikan.

Mengapa Sungai Jakarta Begitu Tercemar?

Penyebab Utama:

  • Limbah rumah tangga (grey water) yang dibuang tanpa IPAL
  • Sampah domestik yang masuk ke sungai
  • Limbah industri kecil yang tidak terpantau
  • Kondisi DAS (daerah aliran sungai) yang sudah jenuh dengan bangunan

Dengan tingkat urbanisasi tinggi dan sistem sanitasi yang belum merata, pencemaran menjadi konsekuensi tak terelakkan.

Rekomendasi Strategis: Bukan Sekadar Bersih-Bersih

1. Optimalisasi IPAL Komunal

Pemerintah daerah perlu memperluas cakupan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di kawasan padat.

2. Monitoring Real-Time dan Terintegrasi

Disarankan pemasangan stasiun pemantauan kualitas air berbasis otomatis, online, dan real-time. Saat ini pemantauan masih manual dan berkala.

3. Kampanye Publik dan Edukasi Lingkungan

Pemahaman warga tentang dampak pencemaran masih rendah. Perlu program edukasi berbasis komunitas, sekolah, dan media sosial.

4. Sanksi Lebih Tegas untuk Industri dan Perkantoran

Penegakan hukum terhadap pelaku pencemar harus ditingkatkan, termasuk pencabutan izin dan denda progresif.

5. Revitalisasi Bantaran Sungai

Program seperti normalisasi atau naturalisasi perlu disertai penghijauan, pengelolaan sampah terpadu, dan tata ruang yang ketat.

Jakarta Bisa Lebih Baik: Contoh dari Negara Lain

Beberapa kota dunia telah berhasil merevitalisasi sungai kotanya:

  • Seoul berhasil menghidupkan kembali Sungai Cheonggyecheon dengan membongkar jalan tol dan membangun ruang hijau
  • Singapura merekayasa ulang Sungai Kallang menjadi saluran multifungsi yang bersih dan estetik
  • Tokyo menjaga sungai kota dengan IPAL skala kota dan penegakan hukum lingkungan yang ketat

Jakarta sebenarnya tidak kekurangan sumber daya. Yang dibutuhkan adalah komitmen, integrasi antarinstansi, dan keterlibatan masyarakat.

Penutup: Air Sungai Adalah Cermin Wajah Kota

Kualitas air sungai Jakarta tahun 2023 mencerminkan wajah urbanisasi yang belum ramah lingkungan. Data dan temuan dalam laporan ini menjadi alarm keras: saatnya transformasi nyata dalam pengelolaan lingkungan sungai.

Masyarakat perlu didorong menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menyalahkan. Industri dan pemerintah harus lebih transparan, terukur, dan bertanggung jawab. Jika tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal sungai Jakarta sebagai saluran kotor, bukan sumber kehidupan.

Sumber Asli Artikel:
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Laporan Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Bekerja sama dengan PPLH IPB University.

 

Selengkapnya
Darurat Sungai Jakarta: Potret Kualitas Air Ibukota Tahun 2023

Sumber Daya Air

Ketinggian Sungai dan Kualitas Air: Studi Perbandingan Sungai Bladak dan Kedungrawis di Blitar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Ketinggian Sungai Mempengaruhi Kualitas Air?

Air sungai adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Baik untuk kebutuhan domestik, irigasi, hingga perikanan dan rekreasi, kualitas air sangat menentukan fungsionalitas sebuah sungai. Namun, satu aspek yang kerap terlewat dalam analisis kualitas air adalah letak geografis vertikal alias ketinggian sungai dari permukaan laut.

Studi yang dilakukan oleh Tamara Pingki dan Sudarti ini mencoba menjawab pertanyaan menarik: apakah perbedaan ketinggian antara dua sungai di Kabupaten Blitar memengaruhi kualitas airnya? Jawabannya ternyata bukan hanya “ya”, tetapi juga menyimpan insight penting bagi perencanaan pengelolaan sumber daya air di daerah pegunungan dan dataran rendah.

Studi Kasus: Sungai Bladak vs Sungai Kedungrawis

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi:

  • Sungai Bladak di Kecamatan Nglegok (±349 meter di atas permukaan laut / mdpl)
  • Sungai Kedungrawis di Kecamatan Kademangan (±252 mdpl)

Masing-masing sungai diukur pada tiga titik dengan jarak antar titik 200 meter. Pengambilan data dilakukan lima kali dalam sehari selama lima hari berturut-turut. Parameter yang diuji meliputi:

  • Suhu
  • Kecerahan
  • pH
  • TDS (Total Dissolved Solid)

Alat yang digunakan antara lain termometer air, kertas lakmus, TDS meter digital, dan cakram Secchi untuk pengukuran kecerahan.

Temuan Lapangan: Kualitas Air Lebih Baik di Ketinggian

1. Suhu Air: Semakin Tinggi, Semakin Dingin

Suhu merupakan indikator penting karena memengaruhi kelarutan oksigen dan aktivitas mikroorganisme dalam air. Dari data pengukuran, didapat:

  • Sungai Bladak:
    • Rata-rata pagi: 16,18°C
    • Rata-rata siang: 20,22°C
    • Rata-rata sore: 17,74°C
  • Sungai Kedungrawis:
    • Rata-rata pagi: 19,28°C
    • Rata-rata siang: 24,5°C
    • Rata-rata sore: 21,94°C

Dengan suhu tertinggi pada siang hari dan terendah pada pagi hari, jelas bahwa suhu Sungai Bladak lebih rendah pada semua waktu. Ini sesuai dengan karakteristik dataran tinggi yang menerima radiasi matahari lebih sedikit.

Implikasinya: air yang lebih dingin cenderung memiliki kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi dan mendukung kehidupan akuatik yang lebih sehat.

2. Kecerahan Air: Sungai di Dataran Tinggi Lebih Jernih

Kecerahan diukur dengan cakram Secchi:

  • Sungai Bladak: Rata-rata kecerahan 33,9 cm
  • Sungai Kedungrawis: Rata-rata kecerahan 18,7 cm

Nilai kecerahan di bawah 20 cm biasanya menandakan status eutrofik, artinya perairan mulai tercemar oleh zat organik seperti limbah rumah tangga atau pertanian.

Analisis: Sungai Bladak, dengan kecerahan di atas 30 cm, menunjukkan kualitas visual air yang masih baik. Sebaliknya, Sungai Kedungrawis sudah menunjukkan tanda-tanda kekeruhan yang dapat berdampak pada proses fotosintesis dan kehidupan biota air.

3. pH Air: Air Basa vs Air Asam

pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan air:

  • Sungai Bladak: Lakmus berwarna hijau → pH > 7 (basa)
  • Sungai Kedungrawis: Lakmus berwarna merah → pH < 7 (asam)

Air yang terlalu asam bisa berdampak buruk pada ikan dan organisme perairan lainnya. Sementara air yang sedikit basa cenderung lebih stabil dan aman untuk konsumsi maupun budidaya.

Catatan penting: Air Sungai Kedungrawis termasuk dalam kualitas yang buruk karena pH asam dalam lima hari pengamatan.

4. TDS (Total Dissolved Solid): Indikator Langsung dari Pencemaran

TDS mengukur jumlah zat padat terlarut seperti mineral, garam, dan logam:

  • Sungai Bladak: Rata-rata TDS = 442 ppm → masuk kategori “baik”
  • Sungai Kedungrawis: Rata-rata TDS = 1126 ppm → masuk kategori “buruk”

Menurut standar:

  • <300 ppm = sangat baik
  • 300–600 ppm = baik
  • 600–900 ppm = bisa diminum
  • 900–1200 ppm = buruk
  • 1200 ppm = sangat buruk

Kesimpulan: Sungai Kedungrawis nyaris memasuki kategori “tidak layak konsumsi”, sementara Sungai Bladak masih dalam batas aman.

Korelasi Antara Ketinggian dan Kualitas Air

Data menunjukkan bahwa semakin tinggi letak sungai, semakin baik parameter kualitas airnya:

  • Suhu lebih rendah → baik
  • Kecerahan lebih tinggi → baik
  • pH lebih basa → baik
  • TDS lebih rendah → baik

Hal ini memperkuat hipotesis bahwa topografi, suhu udara, dan aktivitas manusia di sekitar sungai sangat memengaruhi kualitas air. Dataran rendah biasanya lebih padat penduduk, lebih banyak kegiatan pertanian dan industri, serta potensi limbah lebih besar.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Irwan dan Afdal (2016) yang menyatakan bahwa konduktivitas dan suhu air berkorelasi positif dengan TDS. Juga relevan dengan studi Pramleonita et al. (2018) yang menyebutkan bahwa kecerahan air memengaruhi efisiensi fotosintesis plankton dan fitoplankton.

Yang menarik dari studi ini adalah pendekatannya yang langsung membandingkan dua sungai di lokasi berbeda dengan faktor utama: ketinggian. Sebagian besar penelitian hanya fokus pada parameter kimia atau aktivitas manusia, tetapi jarang yang menyelidiki pengaruh vertikal geografis secara eksplisit.

Rekomendasi Praktis dan Implikasi Kebijakan

Untuk Pemerintah Daerah:

  • Prioritaskan perlindungan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah dataran tinggi.
  • Terapkan pengawasan ketat terhadap limbah rumah tangga dan pertanian di dataran rendah.
  • Buat sistem peringatan dini pencemaran berbasis TDS yang murah dan bisa digunakan oleh masyarakat.

Untuk Masyarakat:

  • Gunakan filter air TDS sederhana untuk deteksi awal kualitas air sungai.
  • Hindari membuang deterjen atau limbah kimia langsung ke aliran air.
  • Partisipasi dalam pemantauan kualitas air berbasis komunitas.

Untuk Peneliti Selanjutnya:

  • Tambahkan parameter kimia lain seperti BOD, COD, atau logam berat.
  • Lakukan pengamatan musiman untuk melihat pengaruh cuaca dan curah hujan.
  • Integrasi dengan penginderaan jauh atau drone untuk analisis spasial.

Penutup: Sungai yang Lebih Tinggi, Kualitas yang Lebih Baik?

Penelitian ini mengajarkan kita bahwa faktor geografis, khususnya ketinggian, memainkan peran besar dalam menentukan kualitas air sungai. Dengan membandingkan Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis, kita melihat gambaran nyata bagaimana dataran tinggi lebih cenderung menghasilkan air yang jernih, basa, dan minim kandungan zat padat terlarut.

Namun ini bukan berarti kita bisa mengabaikan sungai di dataran rendah. Justru karena potensi pencemaran lebih tinggi, maka sungai di wilayah seperti Kademangan membutuhkan perhatian lebih serius—baik dari sisi pengelolaan limbah, edukasi masyarakat, hingga teknologi pengolahan air sederhana.

Dengan riset semacam ini, kita makin menyadari bahwa menjaga kualitas air sungai bukan hanya soal reaksi terhadap pencemaran, tapi juga soal pencegahan yang dimulai dari pemahaman lingkungan fisik sekitar.

Sumber Asli Artikel:
Tamara Pingki dan Sudarti. Analisis Kualitas Air Sungai Berdasarkan Ketinggian Sungai Bladak dan Sungai Kedungrawis di Kabupaten Blitar. Jurnal Budidaya Perairan, Vol. 9, No. 2, 2021. Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Jember.

 

Selengkapnya
Ketinggian Sungai dan Kualitas Air: Studi Perbandingan Sungai Bladak dan Kedungrawis di Blitar
« First Previous page 12 of 22 Next Last »