Mengapa Manajemen Kualitas Air Jadi Isu Strategis?
Air adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, dari seluruh air di Bumi, hanya sekitar 0,003% yang tersedia dalam bentuk air tawar berkualitas baik dan layak dikonsumsi langsung oleh manusia. Indonesia, meski dikenal sebagai negara dengan sumber daya air melimpah, menghadapi kenyataan pahit: kualitas air permukaan—sungai, danau, dan air tanah—kian menurun drastis akibat pencemaran dan tata kelola yang buruk.
Makalah Hefni Effendi yang disampaikan dalam Indonesia-Japan Business Matching Seminar for Water Issues pada 10 September 2015 di Tangerang, membedah akar persoalan ini dengan pendekatan sistematis. Ia tidak hanya menyoroti pencemaran sungai seperti Citarum, tetapi juga mengkaji kebijakan, kapasitas daya tampung beban pencemar, serta solusi teknis dan sosial yang diperlukan untuk menyelamatkan air Indonesia.
Sungai Citarum: Simbol Krisis Nasional
Salah satu fokus utama dalam makalah ini adalah Sungai Citarum—sering disebut sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Citarum membentang sejauh 300 kilometer dari Gunung Wayang hingga Laut Jawa dan menjadi sumber air bagi 30 juta penduduk, serta memasok 80% air permukaan Jakarta. Namun ironisnya, sungai ini tak pernah memenuhi standar kualitas air nasional sejak tahun 1989.
Fakta Mencengangkan di Citarum:
- Lebih dari 200 pabrik tekstil beroperasi di sepanjang sungai, membuang limbah pewarna, logam berat (seperti timbal, arsenik, dan merkuri), serta senyawa kimia berbahaya lainnya langsung ke air tanpa pengolahan memadai.
- Limbah domestik dari warga dan permukiman padat turut mencemari sungai, termasuk limbah manusia dan sampah rumah tangga.
- Intrusi limbah pertanian, seperti pupuk dan pestisida, memperparah kondisi biologis sungai.
- Citarum menjadi “tempat sampah raksasa”, dengan tumpukan plastik dan sampah organik yang menghambat aliran air dan memicu banjir.
Lebih parah lagi, di daerah Sukamaju, air dari sungai langsung dipompa ke rumah-rumah warga untuk mandi dan mencuci, dengan penyaringan seadanya menggunakan handuk atau kaus kaki. Air ini bahkan digunakan untuk memasak setelah direbus, meski proses perebusan hanya membunuh bakteri, bukan logam berat atau racun kimia.
Krisis Nasional: Masalah Air Tak Hanya di Citarum
Krisis kualitas air terjadi secara luas di Indonesia, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Beberapa akar penyebab utamanya adalah:
1. Sanitasi Buruk
Air limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian bercampur tanpa pengolahan memadai, baik di permukaan maupun air tanah.
2. Intrusi Air Laut
Penurunan muka air tanah menyebabkan air laut meresap ke dalam akuifer, terutama di wilayah pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
3. Deforestasi di Hulu
Pembalakan liar dan perubahan tutupan lahan menyebabkan erosi tinggi dan membawa sedimen berlebihan ke badan air.
4. Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi
Kepadatan penduduk memperberat beban pencemar dan tekanan terhadap infrastruktur air yang sudah usang.
Konsep Kunci: Daya Tampung Beban Pencemar (DTBP)
Makalah ini menekankan pentingnya konsep Water Pollution Load Capacity, yakni kemampuan badan air untuk menerima beban pencemar tanpa melampaui ambang batas kualitas air. DTBP dihitung dengan dua metode utama:
1. Metode Neraca Massa (Mass Balance)
Menggunakan perhitungan kuantitatif dari setiap aliran air yang masuk (debit dan konsentrasi parameter pencemar), untuk menentukan beban total yang diterima sungai.
2. Metode Streeter–Phelps
Model matematis untuk menghitung penurunan kadar oksigen terlarut (DO) sepanjang sungai akibat pencemaran BOD (Biochemical Oxygen Demand).
Contoh Kasus:
Pada satu studi, aliran sungai di empat lokasi menunjukkan:
- DO menurun dari 5,7 mg/L menjadi 3,4 mg/L di lokasi yang menerima limbah industri dan domestik.
- BOD meningkat dari 7,4 menjadi 9,8 mg/L, melewati ambang batas nasional (3 mg/L).
- Di lokasi keempat, sungai tidak lagi memiliki kapasitas untuk menurunkan beban BOD, artinya limbah tambahan akan langsung mencemari air.
Jika ada limbah dari industri baru yang hanya mengandung Cl⁻ (klorida) tanpa BOD, maka masih bisa dibuang—dengan catatan kadar Cl⁻ tidak melebihi 600 mg/L.
Standar Regulasi dan Kategori Kualitas Air
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001:
- Kelas I: Air minum
- Kelas II: Rekreasi air, berenang
- Kelas III: Perikanan, peternakan
- Kelas IV: Irigasi pertanian
Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (untuk air laut):
- Air laut untuk pelabuhan
- Rekreasi dan penyelaman
- Habitat biota laut
Selain itu, KLHK menetapkan standar kualitas air limbah (effluent) yang wajib dipenuhi industri, tergantung jenis usaha (misalnya: pabrik tekstil, makanan, farmasi, hotel, rumah sakit, dll.).
Contohnya:
- BOD maksimal: 125 mg/L
- COD maksimal: 250 mg/L
- TSS maksimal: 100 mg/L
- pH: antara 6 – 9
- Beban polusi dihitung per ton produk industri
Kebijakan Strategis Pemerintah
Hefni Effendi menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis, meskipun belum sepenuhnya berhasil:
1. Penetapan Baku Mutu Air dan Limbah
Melalui regulasi seperti PP No. 82/2001, Kepmen LH No. 51/2004, dan Permen LH No. 5/2014.
2. Panduan Beban Pencemar
Ditentukan berdasarkan Kepmen LH No. 110/2003, untuk menghitung daya tampung sungai dan menentukan apakah pembuangan limbah masih diperbolehkan.
3. Program Aksi Lapangan
- PROKASIH (Program Kali Bersih): Program nasional untuk pembersihan sungai.
- Rehabilitasi DAS: Oleh Kementerian PUPR dan Kehutanan, termasuk reboisasi hulu sungai.
- Kolaborasi dengan ADB (Asian Development Bank): Pendanaan hingga 500 juta USD untuk rehabilitasi Sungai Citarum selama 15 tahun, termasuk peningkatan sanitasi dan pengelolaan limbah.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski regulasi sudah lengkap, penerapan di lapangan masih menghadapi tantangan besar:
1. Pengawasan Lemah
Banyak industri kecil dan menengah membuang limbah langsung tanpa IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) karena pengawasan longgar.
2. Koordinasi Lintas Sektor
Kebijakan air masih tersebar di berbagai kementerian: lingkungan, pekerjaan umum, kesehatan, dan kehutanan—tanpa sinergi kuat.
3. Kurangnya Partisipasi Publik
Kesadaran masyarakat masih rendah. Banyak warga membuang limbah domestik langsung ke sungai karena minimnya fasilitas sanitasi.
Menuju Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?
Makalah ini merekomendasikan strategi manajemen kualitas air yang terintegrasi:
- Pemetaan daya tampung sungai secara nasional, dan penggunaan data tersebut dalam perizinan industri.
- Pembangunan infrastruktur IPAL komunal di kota-kota padat penduduk dan kawasan industri.
- Edukasi publik tentang sanitasi dan pencemaran, khususnya di daerah aliran sungai besar.
- Restorasi kawasan hulu untuk mencegah erosi dan sedimentasi.
- Kolaborasi dengan sektor swasta untuk green investment di sektor air dan lingkungan.
Penutup: Menyembuhkan Sungai-Sungai Indonesia
Makalah Hefni Effendi menyoroti krisis air Indonesia secara menyeluruh—dari data teknis, regulasi, hingga solusi strategis. Ia menyampaikan bahwa krisis air bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kegagalan tata kelola.
Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus melihat air sebagai aset ekologis dan ekonomi. Tanpa air bersih, tidak akan ada industri, pertanian, pariwisata, atau kesehatan yang berkelanjutan.
Kini saatnya untuk bergerak dari reaktif ke preventif. Dari wacana ke aksi. Dan dari retorika ke pemulihan konkret.
Sumber asli:
Hefni Effendi. 2015. Water Quality Management in Indonesia. Dipresentasikan pada Indonesia–Japan Business Matching Seminar for Water Issues, Tangerang, 10 September 2015, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB.