Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Sungai sebagai Urat Nadi Kehidupan yang Terancam
Sungai Martapura, yang membelah kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan, bukan hanya sekadar aliran air. Sungai ini adalah bagian vital dari kehidupan warga Banjar, menjadi sumber air untuk mandi, mencuci, irigasi, hingga transportasi. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ishak dan rekan-rekannya tahun 2022 menunjukkan fakta yang memprihatinkan: air Sungai Martapura mengandung logam berat dalam kadar yang melampaui ambang batas baku mutu nasional.
Penelitian ini penting, karena memberikan bukti ilmiah tentang pencemaran logam berat dan sekaligus mengusulkan urgensi intervensi dari semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat.
Studi Kasus: Sungai Martapura dan Potensi Pencemaran Terhadap Warga
Sungai Martapura memiliki panjang sekitar 36,5 km dan merupakan anak Sungai Barito. Daerah sekitarnya padat aktivitas, mulai dari pemukiman, pertanian, hingga industri skala kecil dan besar. Ini menyebabkan potensi masuknya limbah cair maupun padat ke dalam badan air sangat tinggi.
Untuk menguji kualitas air, tim peneliti mengambil sampel dari empat stasiun strategis:
Pengujian dilakukan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dan standar SNI ISO/IEC 17025:2017.
Temuan Penting: Tiga Logam Berat Melebihi Baku Mutu
1. Besi (Fe)
Besi terlarut ditemukan melebihi ambang batas (0,3 mg/L) di semua lokasi:
Ini artinya, kadar Fe di air Sungai Martapura mencapai 7 kali lipat dari batas aman. Logam ini dapat berasal dari limbah industri logam, pipa besi berkarat, serta limbah domestik seperti kaleng bekas.
2. Mangan (Mn)
Tercatat melebihi baku mutu (0,1 mg/L) hanya di Stasiun II:
Meskipun hanya satu titik yang melampaui ambang batas, hal ini tetap menjadi alarm karena Stasiun II berada di dekat permukiman dan lahan pertanian—dua aktivitas yang sering membuang limbah langsung ke sungai.
3. Tembaga (Cu)
Ditemukan melebihi ambang batas (0,02 mg/L) di semua titik:
Tembaga berasal dari limbah rumah tangga, bahan bangunan, kendaraan, hingga pestisida dari pertanian.
Parameter Fisik: Suhu dan pH Masih Normal
Selain logam berat, penelitian juga mencatat data suhu dan pH sebagai parameter fisik dasar:
Nilai ini masih dalam batas wajar (6–9 untuk pH dan ±29°C untuk suhu tropis), sehingga tidak langsung berdampak pada kesehatan. Namun, suhu tinggi dapat mempercepat reaksi kimia dan meningkatkan kelarutan logam dalam air.
Dampak Pencemaran: Dari Endapan Logam hingga Ancaman Kesehatan
Efek Biologis
Logam berat seperti Fe, Mn, dan Cu bila terakumulasi dalam tubuh manusia bisa menimbulkan berbagai masalah:
Bagi ekosistem air, logam berat bisa mengganggu sistem reproduksi ikan, menurunkan kadar oksigen, dan menyebabkan kematian biota.
Endapan di Dasar Sungai
Konsentrasi logam berat tidak hanya mengendap di air, tetapi juga di sedimen sungai. Penelitian sebelumnya di Sungai Martapura juga mencatat adanya logam berat di sedimen—yang artinya bahaya tidak hanya mengintai di permukaan, tetapi bisa bertahan lama di dasar sungai.
Apa Penyebab Utama Masuknya Logam Berat?
Berdasarkan observasi lapangan dan kajian literatur, ada beberapa penyebab utama:
Bagaimana Solusi Jangka Panjangnya?
1. Penegakan Regulasi
PP RI No. 22 Tahun 2021 sudah jelas mengatur baku mutu air, tetapi implementasinya masih lemah. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap industri dan rumah tangga di sepanjang sungai.
2. Instalasi Pengolahan Limbah
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) wajib dimiliki industri dan kelompok warga di pinggir sungai. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan, baik secara teknis maupun finansial.
3. Edukasi dan Partisipasi Masyarakat
Masyarakat harus diedukasi bahwa membuang limbah ke sungai tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga kembali ke tubuh mereka melalui air dan ikan.
4. Monitoring Berbasis Komunitas
Sistem pemantauan partisipatif bisa menjadi alternatif murah namun efektif. Misalnya, melibatkan pelajar, mahasiswa, atau karang taruna untuk melakukan uji kualitas air secara berkala.
Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Ini Masalah Nasional?
Ya. Kasus Sungai Martapura bukan satu-satunya di Indonesia:
Artinya, banyak sungai di Indonesia kini mengalami nasib serupa. Studi ini memberi cermin penting bagi daerah lain yang memiliki karakteristik geografis dan aktivitas masyarakat yang serupa.
Kesimpulan: Air Sungai Bukan Tempat Sampah
Studi oleh Ishak dkk. menjadi bukti kuat bahwa Sungai Martapura berada dalam tekanan ekologis akibat logam berat, khususnya Fe, Mn, dan Cu. Meskipun suhu dan pH masih dalam ambang wajar, keberadaan logam berat yang melampaui baku mutu menandakan bahwa sungai ini sedang dalam kondisi darurat lingkungan.
Jika tidak ada tindakan nyata dalam beberapa tahun ke depan, Sungai Martapura bisa kehilangan fungsinya sebagai sumber kehidupan dan berubah menjadi sumber penyakit.
Solusi yang dibutuhkan bukan hanya teknologi dan regulasi, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat, dukungan pemerintah daerah, dan peran aktif dari akademisi serta komunitas lingkungan. Kita perlu bertindak sekarang, sebelum terlalu terlambat.
Sumber Asli Artikel:
Nuning Irnawulan Ishak, Mahmudah, Kasman, Ermayanti Ishak, Irwan Junaidi Effendy, dan Latifa Fekri. Analisis Kandungan Logam Berat Pada Air Sungai Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2022. Jurnal Sains dan Inovasi Perikanan, Vol. 7, No. 1, Januari 2023.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Diuji dengan Cara yang Terpadu?
Sungai adalah sistem kehidupan yang kompleks. Ia menjadi sumber air, jalur drainase, ekosistem perairan, bahkan tempat rekreasi. Namun, di tengah urbanisasi cepat seperti yang terjadi di Surakarta, sungai juga menanggung beban berat dari limbah domestik, industri, dan pertanian. Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan monitoring kualitas air yang hanya mengandalkan parameter fisikokimia saja tidak cukup. Maka, tesis ini mengusulkan pendekatan integratif dengan melibatkan indikator biologis: bakteri dan makroinvertebrata.
Abdallah A. Salum dalam tesisnya tahun 2015 di Universitas Sebelas Maret mengambil Sungai Pepe di Surakarta sebagai studi kasus. Penelitiannya mencoba menjawab tiga pertanyaan utama: seberapa besar pencemaran yang terjadi, bagaimana respons biologis dari makroinvertebrata terhadap kondisi tersebut, dan apakah terdapat korelasi signifikan antara parameter fisika, kimia, dan biologi?
Lokasi dan Metodologi: Dari Hulu hingga Hilir
Penelitian dilakukan di enam titik di sepanjang Sungai Pepe, yang melintasi daerah urban dan semi-urban di Surakarta. Proses pengambilan data dilakukan selama dua bulan (Januari–Februari 2015), melibatkan:
Analisis dilakukan menggunakan SPSS 18 dan Excel, dengan pendekatan statistik deskriptif, korelasi Pearson, serta indeks kualitas air seperti WPI (Water Pollution Index), STORET, dan NSF-WQI (National Sanitation Foundation – Water Quality Index).
Hasil Fisik dan Kimia: Angka-angka yang Tak Bisa Diabaikan
1. Suhu dan pH
Suhu air berkisar antara 25,1 hingga 30,5°C, relatif tinggi dan berpotensi mengurangi kelarutan oksigen. Nilai pH berada dalam rentang 6,3–8,5, dengan sebagian lokasi mencatatkan angka mendekati batas atas. Ini menandakan adanya potensi basa akibat limbah domestik atau deterjen.
2. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen
DO di beberapa titik hanya 2,6 mg/L—jauh di bawah ambang batas ideal 5–6 mg/L untuk kehidupan akuatik. BOD dan COD juga mencatatkan angka tinggi: BOD mencapai 7,3 mg/L dan COD lebih dari 45 mg/L di lokasi-lokasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa air memiliki kandungan bahan organik tinggi yang mengonsumsi banyak oksigen saat terurai.
3. Nutrien: Nitrat dan Fosfat
Kadar nitrat mencapai 11,5 mg/L, melampaui ambang batas air minum (10 mg/L), sedangkan fosfat hingga 0,7 mg/L, menandakan eutrofikasi yang berpotensi memicu ledakan populasi alga (algal bloom).
4. TDS, TSS, dan Turbiditas
TSS melebihi 70 mg/L di titik-titik padat aktivitas manusia. TDS pun berada di atas 500 mg/L di beberapa lokasi. Ini mencerminkan partikel terlarut dan tersuspensi yang tinggi akibat erosi dan limbah.
Indikator Biologis: Makroinvertebrata Bicara Lebih Jujur
Total Coliform
Konsentrasi total coliform mencapai lebih dari 1100 MPN/100 mL di beberapa titik—angka yang menunjukkan pencemaran fekal yang signifikan. Ini bisa berasal dari limbah rumah tangga yang tidak diolah dan buangan dari toilet ke sungai.
Komposisi Makroinvertebrata
Sebanyak 42 takson makroinvertebrata berhasil diidentifikasi, termasuk kelompok peka seperti Ephemeroptera (mayfly) dan kelompok toleran seperti Chironomidae (lalat darah). Oligochaeta menjadi takson dominan dengan persebaran luas di seluruh titik pengambilan sampel.
Makroinvertebrata sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Komunitas yang didominasi oleh spesies toleran menandakan bahwa sungai telah mengalami tekanan ekologis berat.
Indeks Biotik dan Indeks Kualitas Air
Hilsenhoff Family Biotic Index (HFBI)
HFBI menunjukkan bahwa sebagian besar titik sampling berada dalam kategori kualitas “buruk” hingga “sangat buruk” (HFBI > 7), menandakan dominasi spesies toleran terhadap pencemaran organik.
%EPT dan %CHIR
Water Pollution Index (WPI)
Nilai WPI berkisar antara 6,85–7,5, masuk kategori tercemar sedang hingga berat.
NSF-WQI
Skor bervariasi antara 40–68, dikategorikan sebagai “marginal” hingga “poor” menurut standar NSF.
STORET
Menghasilkan nilai antara –25 hingga –48, yang mengindikasikan status “tercemar berat”.
Korelasi Antara Parameter: Apa Kata Statistik?
Korelasi Pearson antara parameter fisikokimia dan biologis menunjukkan hubungan yang signifikan:
Hasil ini menegaskan bahwa degradasi kualitas air dapat dideteksi lebih dini dan akurat jika menggabungkan metode biologis dan fisikokimia secara simultan.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Studi Ini Penting?
Kelebihan:
Kelemahan:
Rekomendasi Praktis untuk Surakarta dan Daerah Lain
Menutup Resensi: Air Bersih Dimulai dari Integrasi Data
Penelitian Abdallah A. Salum bukan sekadar riset akademik. Ini adalah peringatan berbasis data bagi kita semua—bahwa sungai seperti Pepe bukan hanya jalur air, tetapi indikator utama kesehatan kota. Dengan menggabungkan analisis fisik, kimia, dan biologi, studi ini memberi peta jalan untuk pemantauan yang lebih adil, akurat, dan murah.
Surakarta dan kota-kota lain di Indonesia seharusnya mulai mengadopsi pendekatan ini, bukan hanya untuk memenuhi regulasi, tetapi untuk menjamin hak dasar manusia akan air bersih.
Sumber Asli Artikel:
Abdallah A. Salum. Integrating Physicochemical and Biological Parameters for Water Quality Assessment in Pepe River in Surakarta, Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, 2015. Pembimbing: Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc (Hons), Ph.D. dan Dr. Sunarto, M.S.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Dipantau Secara Rutin?
Air adalah kebutuhan dasar yang tak tergantikan. Namun ironisnya, sumber-sumber air seperti sungai kini berada di bawah tekanan besar akibat pertumbuhan industri, limbah domestik, serta minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. Salah satu sungai yang mulai menunjukkan gejala degradasi kualitas adalah Sungai Metro, yang mengalir melewati kawasan industri dan permukiman padat di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
Penelitian yang dilakukan oleh Ika Meviana dan tim dari Universitas PGRI Kanjuruhan Malang memfokuskan perhatian pada analisis kualitas air sungai ini, dengan pendekatan yang sederhana namun berdampak besar: parameter fisik dan pH. Studi ini menggambarkan kondisi riil sungai dari tiga titik aliran—hulu, tengah, dan hilir—dan memberikan cerminan penting bagi kebijakan lingkungan serta masyarakat sekitar.
Studi Kasus: Sungai Metro dan Pengaruh Pabrik Gula Kebon Agung
Pabrik Gula Kebon Agung adalah salah satu landmark industri tertua di Kabupaten Malang. Didirikan pada 1905, pabrik ini memainkan peran besar dalam ekonomi lokal, tetapi juga berkontribusi pada pencemaran lingkungan jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara benar. Letaknya yang hanya berjarak sekitar 5 km dari Jalan Raya Malang–Blitar menjadikannya salah satu titik strategis di sepanjang Sungai Metro.
Studi ini mengambil sampel dari tiga lokasi:
Parameter yang Dianalisis: Bau, Suhu, Kekeruhan, Warna, dan pH
1. Bau Air: Tanda Awal Pencemaran
Di ketiga titik pengambilan sampel, air sungai menunjukkan bau tidak sedap. Titik kedua (di belakang pabrik) mencatat bau menyengat khas limbah rumah tangga dan industri, sementara titik ketiga (hulu) menunjukkan bau detergen dan sabun cuci. Bau yang muncul setelah enam hari penyimpanan dalam wadah tertutup menunjukkan adanya proses pembusukan limbah organik dan anorganik di dalam air.
2. Suhu: Relatif Stabil namun Perlu Diwaspadai
Suhu air berkisar antara 22,4°C hingga 22,8°C, yang masih berada dalam kisaran normal untuk daerah tropis (22–26°C). Meskipun terlihat aman, suhu ini perlu diperhatikan karena fluktuasi suhu memengaruhi kelarutan oksigen dan reaksi kimia dalam air.
3. Kekeruhan dan Warna: Sampah dan Sedimen Masih Jadi Masalah
Secara visual, air di ketiga titik tampak keruh dan berwarna. Di titik kedua, pengamatan menunjukkan partikel berwarna hijau kecoklatan mengendap di dasar wadah setelah didiamkan selama enam hari. Ini merupakan bukti adanya polutan tersuspensi seperti lumpur, sisa makanan, atau limbah organik dari rumah tangga dan industri.
4. pH (Derajat Keasaman): Masih dalam Baku Mutu, Tapi Menuju Ambang Atas
Nilai pH yang diukur menggunakan pH meter berada dalam rentang:
Nilai-nilai tersebut masih dalam batas aman menurut PP No. 22 Tahun 2021 (6,5–8,5), namun menunjukkan kecenderungan meningkat ke arah basa, terutama di hilir. Hal ini sejalan dengan hipotesis bahwa penambahan limbah organik dan bahan kimia dari aktivitas manusia menyebabkan kenaikan pH.
Korelasi antara Aktivitas Manusia dan Kualitas Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi air memburuk dari hulu ke hilir. Di hulu, pH masih tergolong netral dan kekeruhan relatif rendah meski sudah ada bau khas sabun rumah tangga. Di bagian tengah, yang dekat dengan pabrik gula, kualitas air memburuk secara signifikan—bau menyengat, partikel endapan berlimpah, dan warna lebih pekat.
Fenomena ini memperkuat temuan dari Kristanto (2002) dan Yuliastuti (2011) bahwa limbah rumah tangga dan industri memiliki dampak besar terhadap nilai pH dan tingkat kesadahan air. Saat bahan organik larut dan membusuk, mereka membentuk metabolit beracun dan menurunkan kandungan oksigen terlarut.
Bandingkan dengan Studi Sebelumnya: Tren yang Konsisten?
Penelitian ini sejalan dengan studi Lantapon et al. (2019) tentang sumur di wilayah pedesaan yang menunjukkan bahwa nilai pH dan kekeruhan meningkat seiring dengan kedekatan terhadap pusat aktivitas manusia. Studi dari Asrini dkk. (2017) di Bali juga menunjukkan bahwa pembuangan limbah organik meningkatkan pH dan memperburuk kualitas air.
Namun, berbeda dari studi yang mengkaji parameter kimia seperti BOD, COD, atau logam berat, penelitian ini lebih menyoroti aspek fisik yang dapat diobservasi langsung oleh masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang lebih aplikatif dan sesuai untuk pendidikan lingkungan dasar.
Kritik Konstruktif dan Peluang Perbaikan
Kelebihan Penelitian:
Keterbatasan:
Rekomendasi:
Kesimpulan: Membangun Kesadaran Lingkungan dari Hulu Sungai
Penelitian ini menyajikan bukti penting bahwa pencemaran air Sungai Metro di Malang sudah nyata dan berkembang dari hulu ke hilir. Nilai pH yang cenderung meningkat dan adanya kekeruhan serta bau menyengat menunjukkan dampak nyata dari pembuangan limbah rumah tangga dan aktivitas industri.
Meskipun hasilnya masih dalam kategori “cemar ringan”, tren ini harus menjadi perhatian serius. Jika tidak dikendalikan, pencemaran ini akan berkembang menjadi cemar berat yang sulit dipulihkan. Pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat harus mulai bertindak melalui pendekatan kolaboratif dan teknologi sederhana.
Pemantauan kualitas air seperti ini penting bukan hanya untuk melindungi lingkungan, tetapi juga untuk memastikan bahwa air tetap menjadi sumber kehidupan—bukan sumber penyakit atau konflik.
Sumber Asli Artikel:
Ika Meviana, Dwi Kurniawati, dan Agustina Tri Murni Darmon. Analisis Kualitas Air Sungai Metro Berdasarkan Parameter Fisik dan Derajat Keasaman (pH). Jurnal Swarnabhumi, Vol. 9, No. 1, Agustus 2024. Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Danau Toba: Destinasi Wisata atau Perairan yang Terancam?
Sebagai danau vulkanik terbesar di dunia yang terletak di ketinggian 995 meter di atas permukaan laut, Danau Toba merupakan pusat ekonomi, budaya, dan pariwisata di Sumatera Utara. Selain menjadi objek wisata unggulan, danau ini juga menjadi sumber air bersih, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), perikanan budidaya, dan transportasi lokal. Namun, di balik keindahan panoramanya, Danau Toba menyimpan potensi masalah serius: penurunan kualitas air akibat pencemaran limbah domestik dan aktivitas keramba jaring apung (KJA) yang tak terkendali.
Penelitian terbaru oleh Gokma Arinda Lumban Raja dan tim dari Universitas HKBP Nommensen meneliti kondisi air Danau Toba di wilayah pelabuhan ferry Ajibata—sebuah kawasan strategis yang padat aktivitas wisata dan budidaya perairan. Studi ini menyajikan gambaran komprehensif tentang status kualitas air dan mencocokkannya dengan ambang batas baku mutu air menurut PP RI No. 22 Tahun 2021, serta metode Indeks Kualitas Air (NSF-WQI).
Parameter yang Diuji: Fisik, Kimia, Biologis
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan pengambilan sampel air dari tiga stasiun: aliran sungai ke danau (Stasiun I), pelabuhan ferry (Stasiun II), dan kawasan budidaya KJA (Stasiun III). Parameter yang dianalisis meliputi suhu, kekeruhan, pH, DO (oksigen terlarut), BOD, nitrat, fosfat, dan fecal coli.
Berikut ini adalah beberapa temuan kunci yang diangkat dalam penelitian:
1. Suhu
Suhu di ketiga stasiun masih berada dalam batas wajar (sekitar 24–27°C), artinya tidak berisiko secara langsung terhadap biota air atau degradasi kualitas. Namun, suhu yang terlalu tinggi dalam jangka panjang tetap dapat mengganggu kandungan DO.
2. Kekeruhan
Stasiun II yang berada di pelabuhan ferry mencatat tingkat kekeruhan tertinggi, yaitu sekitar 12 NTU. Sementara, stasiun I dan III mencatat angka 7,8 dan 3 NTU. Tingginya kekeruhan di pelabuhan ferry bisa dikaitkan dengan lalu lintas kapal dan sedimentasi akibat aktivitas manusia.
3. pH
Seluruh stasiun mencatat pH antara 6,7 hingga 7,7, yang masih dalam batas aman untuk air kelas dua menurut PP No. 22 Tahun 2021. Ini menunjukkan air relatif netral dan tidak mengandung zat asam atau basa berlebihan.
Parameter Kimia: Batasan yang Dilanggar
4. Oksigen Terlarut (DO)
Nilai DO pada ketiga lokasi berkisar antara 5,1–5,5 mg/L. Meski tampak memadai secara absolut, nilai ini tidak mencapai batas optimal untuk perairan yang digunakan sebagai habitat biota air dan wisata, yaitu ≥6 mg/L. Kekurangan oksigen ini bisa berimplikasi buruk pada kehidupan ikan dan mikroorganisme aerobik.
5. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Semua stasiun menunjukkan nilai BOD di atas ambang batas 3 mg/L untuk air kelas dua. Angka tertinggi dicatat di Stasiun III dengan nilai sekitar 6,5 mg/L, menandakan bahwa perairan di dekat KJA memiliki beban organik tinggi yang memicu konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk dekomposisi.
6. Nitrat dan Fosfat
Di Stasiun III, kandungan nitrat melonjak drastis hingga 12,5 mg/L—jauh melebihi ambang batas 10 mg/L. Fosfat pun mencatat angka tertinggi di lokasi ini, yaitu 0,3 mg/L, sepuluh kali lipat dari ambang yang diperbolehkan (0,03 mg/L). Ini adalah sinyal kuat terjadinya eutrofikasi, yaitu kondisi kaya nutrisi yang mendorong pertumbuhan alga berlebih dan menurunkan kadar oksigen.
Parameter Biologi: Pencemaran Fecal Coli
Kadar fecal coli di stasiun I dan III masing-masing mencapai 1.050 dan 1.100 MPN/100 mL, sementara Stasiun II lebih rendah yaitu 800 MPN/100 mL. Ini menunjukkan adanya kontaminasi limbah feses, yang diduga berasal dari pemukiman, toilet terapung, atau limbah ternak. Angka-angka ini melebihi standar kualitas air untuk wisata air (1.000 MPN/100 mL), dan sangat mengkhawatirkan dari sisi kesehatan.
Hasil Indeks NSF-WQI: Status “Sedang” hingga “Buruk”
Peneliti menggunakan metode National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI) yang menggabungkan delapan parameter kunci menjadi satu nilai numerik yang menunjukkan kualitas air secara keseluruhan:
Skor di bawah 50 menandakan bahwa air berada pada level kritis, sangat mungkin tidak layak untuk keperluan rekreasi atau penggunaan langsung, dan memerlukan tindakan restorasi segera.
Studi Kasus: Keramba Jaring Apung (KJA), Antara Ekonomi dan Ekologi
Salah satu temuan paling mencolok dalam studi ini adalah dampak signifikan dari KJA terhadap pencemaran perairan. Di lokasi budidaya (Stasiun III), hampir semua parameter pencemar mencatat angka tertinggi—nitrat, fosfat, BOD, dan fecal coli.
Keramba memang memberikan kontribusi ekonomi lokal, namun sistem budidaya ini menghasilkan limbah pakan dan kotoran ikan yang sulit terurai. Dalam jumlah besar, limbah ini mengendap dan meningkatkan bahan organik di dasar danau, mempercepat proses eutrofikasi dan membahayakan kualitas air jangka panjang.
Kritik dan Saran untuk Pengelolaan Danau Toba
Kelebihan Penelitian:
Keterbatasan:
Rekomendasi:
Kesimpulan: Masa Depan Danau Toba Ada di Tangan Kita
Penelitian ini membuka mata bahwa meskipun Danau Toba masih tampak jernih di permukaan, kandungan kimia dan biologinya telah melewati batas-batas aman yang ditetapkan untuk wisata dan konsumsi manusia. Ketidakseimbangan antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian lingkungan mulai menunjukkan dampaknya secara nyata.
Jika Danau Toba ingin terus menjadi ikon wisata dan sumber air bersih yang aman, maka perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan harus dimulai sekarang. Penelitian semacam ini perlu dijadikan dasar pengambilan kebijakan, bukan hanya laporan ilmiah di rak perpustakaan.
Sumber Asli Artikel:
Gokma Arinda Lumban Raja, Ria Retno, Sahat Sitompul. Studi Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba. ARMADA: Jurnal Penelitian Multidisiplin, Vol. 1, No. 7, Juli 2023. DOI: 10.55681/armada.v1i7.657.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Tantangan Abadi di Negeri Tropis
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan tropis dengan kekayaan sumber daya air yang luar biasa. Namun, keberlimpahan air tidak otomatis menjamin kualitasnya. Pencemaran air kini menjadi isu krusial, terutama di musim penghujan saat air hujan membawa serta polutan dari hulu ke hilir. Fenomena ini menyebabkan peningkatan tingkat Total Dissolved Solids (TDS) dan kekeruhan (turbidity)—dua parameter penting dalam menentukan kualitas air.
Dalam situasi ini, artikel dari Grimsa Journal of Science Engineering and Technology (2023) mengusulkan pendekatan baru yang inovatif: menggunakan digital image processing dan algoritma machine learning untuk menilai kualitas air. Penelitian ini bukan sekadar eksperimen teknis, melainkan solusi potensial untuk masyarakat luas dalam memantau air secara cepat dan murah.
Sungai Krueng Aceh sebagai Laboratorium Alam
Para peneliti memilih Sungai Krueng Aceh sebagai lokasi simulasi untuk mengambil sampel air. Lumpur sungai dicampurkan ke dalam air jernih dengan variasi kekeruhan sebesar 0%, 10%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Setiap sampel dikemas dalam wadah kaca dan difoto dalam kondisi standar untuk membentuk dataset visual beresolusi 512x512 piksel.
Dari 80 gambar yang dihasilkan, 60 digunakan untuk pelatihan model dan 20 untuk pengujian. Gambar-gambar ini kemudian diproses menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM), dengan tujuan untuk mengklasifikasikan tingkat kekeruhan serta memperkirakan nilai TDS dan pH masing-masing sampel.
Korelasi Kekeruhan, TDS, dan pH
Salah satu hasil utama dari penelitian ini adalah ditemukannya korelasi linier antara tingkat kekeruhan dengan TDS dan pH.
Misalnya, pada air yang sangat jernih (0% kekeruhan), TDS hanya sebesar 9,1 mg/L dan pH berada di angka 6,9. Namun, ketika kekeruhan meningkat hingga 100%, TDS melonjak menjadi 1.490,3 mg/L dan pH menjadi 8,85. Ini menunjukkan bahwa semakin keruh air, semakin besar kemungkinan air tersebut terkontaminasi oleh senyawa terlarut dan bersifat lebih basa—dua indikator penting dari pencemaran air.
Pengelompokan Kualitas Air Berdasarkan Model AI
Penelitian ini menyusun klasifikasi kualitas air sebagai berikut:
Dari hasil pengujian gambar, air mineral diklasifikasikan dalam kelompok “sangat baik”, dengan nilai TDS 9,1 mg/L dan pH 6,9. Sebaliknya, air sungai yang diambil dari Banda Aceh tergolong sebagai “baik”, dengan TDS 371,6 mg/L dan pH 7,37. Artinya, sistem berbasis gambar ini mampu memprediksi kualitas air dengan akurasi mendekati uji laboratorium.
Teknologi yang Digunakan: Proses 4 Tahap
Langkah-langkah ini menyederhanakan proses deteksi kualitas air hanya melalui kamera dan algoritma komputer, tanpa perlu alat ukur fisik yang mahal.
Manfaat Langsung bagi Masyarakat
Pendekatan ini sangat cocok untuk diterapkan di wilayah terpencil, sekolah, atau komunitas yang tidak memiliki akses laboratorium. Cukup dengan kamera dan perangkat lunak berbasis AI, masyarakat bisa mengukur apakah air sungai, sumur, atau waduk layak digunakan untuk konsumsi atau irigasi.
Beberapa manfaat praktisnya meliputi:
Kelemahan dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Meski hasilnya menjanjikan, ada beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan:
Penulis merekomendasikan perluasan studi ke wilayah lain dan integrasi dengan parameter fisika-kimia lain agar sistem lebih komprehensif.
Hubungan dengan Tren Global dan Teknologi
Pendekatan ini sangat selaras dengan tren global menuju smart environment monitoring. Banyak negara kini mengintegrasikan Internet of Things (IoT) dan AI untuk pemantauan kualitas air secara real-time. Studi ini menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu masuk ke arena tersebut dengan solusi yang murah dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Dari sisi teknologi, penggunaan SVM tergolong cerdas. Meski sederhana, SVM terbukti unggul dalam klasifikasi data terbatas. Namun, untuk tahap selanjutnya, penggunaan deep learning seperti CNN (Convolutional Neural Network) dapat dipertimbangkan untuk akurasi lebih tinggi—terutama jika dataset ditingkatkan.
Inovasi Ini Harus Dijadikan Kebijakan Nasional
Banyak kebijakan lingkungan di Indonesia fokus pada pembangunan infrastruktur besar, seperti bendungan dan normalisasi sungai. Padahal, investasi dalam teknologi cerdas berbasis masyarakat seperti ini justru bisa memberi dampak luas dengan anggaran rendah. Pemerintah daerah bisa mengembangkan aplikasi berbasis hasil studi ini untuk sekolah, RT/RW, atau kelompok tani.
Dengan pendekatan citizen science, masyarakat bisa memantau air di lingkungan mereka sendiri. Data dari berbagai daerah bisa dikumpulkan dalam satu sistem nasional yang memberi peringatan dini terhadap pencemaran—mirip sistem BMKG untuk cuaca, tapi khusus untuk kualitas air.
Air Bersih di Ujung Kamera dan AI
Studi ini bukan sekadar eksperimen akademik. Ini adalah cetak biru untuk masa depan pemantauan kualitas air di Indonesia—masa depan yang lebih inklusif, murah, cepat, dan adaptif. Dengan hanya kamera dan kecerdasan buatan, masyarakat bisa memiliki alat deteksi air yang sebelumnya hanya tersedia di laboratorium mahal.
Langkah selanjutnya adalah menjadikan teknologi ini sebagai bagian dari kebijakan lingkungan nasional. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga melindungi generasi masa depan dari ancaman air tercemar.
Sumber Asli Artikel:
Athiya Iffaty, Adinda Salsabila, Adis Aufa Rafiqhi, Rivansyah Suhendra, Muhammad Yusuf, dan Novi Reandy Sasmita. Enhancing Water Quality Assessment in Indonesia Through Digital Image Processing and Machine Learning. Grimsa Journal of Science Engineering and Technology, Vol. 1, No. 1, 2023. DOI: 10.61975/gjset.v1i1.3.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Sungai Surabaya Penting?
Sungai Surabaya adalah salah satu urat nadi kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia. Sungai ini bukan hanya berfungsi sebagai saluran air biasa, tetapi menjadi sumber air baku utama bagi sekitar 2,7 juta warga Surabaya. Berdasarkan catatan Indriani et al. (2016), setiap tahunnya sekitar 256 juta meter kubik air diambil dari Sungai Surabaya untuk keperluan air minum, ditambah lagi 38 juta meter kubik untuk kebutuhan industri. Namun, tekanan akibat pertumbuhan penduduk dan industrialisasi kini menempatkan sungai ini dalam posisi yang sangat rentan terhadap pencemaran.
Pencemaran Air Sungai: Ancaman Nyata di Tengah Kota
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 1 Tahun 2010, pencemaran air terjadi saat ada masuknya zat asing yang menyebabkan penurunan mutu air. Sungai Surabaya menerima tekanan besar dari dua jenis limbah utama: domestik dan industri. Aktivitas pertanian, pemukiman padat, dan buangan industri secara langsung menjadi kontributor utama pencemaran di sungai ini.
Bahkan Kominfo Jawa Timur pada 2017 sempat mengungkap bahwa terdapat indikasi kuat pembuangan limbah industri secara sengaja ke badan sungai. Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar warga belum memiliki sistem pengolahan air limbah domestik yang memadai.
Studi Kasus: Bagaimana Kualitas Air Sungai Surabaya Diukur?
Penelitian ini mengkaji sejumlah parameter penting yang menjadi indikator kualitas air, antara lain:
1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai bahan organik. Nilai BOD yang tinggi berarti air sangat tercemar. Penelitian Yudo dan Said (2019) mencatat bahwa kadar BOD Sungai Surabaya berada di rentang 2,56 hingga 11,94 mg/L, dengan rata-rata 4,186 mg/L. Angka ini sudah melampaui batas aman untuk air kelas I (maksimum 2 mg/L) dan bahkan sebagian besar melampaui batas untuk kelas II (3 mg/L).
Artinya, air Sungai Surabaya sudah tidak layak lagi dijadikan bahan baku air minum tanpa pengolahan intensif.
2. COD (Chemical Oxygen Demand)
Mengukur kebutuhan oksigen secara kimia untuk mengoksidasi bahan organik. Berdasarkan data 2010–2013, kadar COD di sungai ini berkisar antara 8,19 hingga 46,499 mg/L dengan rata-rata 17,05 mg/L. Padahal, ambang batas COD untuk air kelas I adalah 10 mg/L. Nilai COD yang tinggi menunjukkan pencemaran berat oleh zat-zat organik yang sulit terurai secara alami.
3. TSS (Total Suspended Solid)
Ini adalah jumlah partikel padat tersuspensi dalam air yang bisa menghambat penetrasi cahaya dan fotosintesis organisme air. Nilai TSS di Sungai Surabaya mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan 2.116 mg/L. Sementara rata-rata dari tahun 2010–2013 berkisar antara 14,7–1.000 mg/L. Padahal, ambang batas TSS dalam air kelas I adalah 50 mg/L. Ini menunjukkan kondisi kekeruhan yang sangat tinggi, yang membahayakan ekosistem dan proses biologis perairan.
4. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut penting bagi kehidupan akuatik. Idealnya, DO untuk air kelas I harus ≥6 mg/L. Penelitian terbaru menunjukkan kadar DO Sungai Surabaya hanya sekitar 2,1–5,9 mg/L dengan rata-rata 3,5 mg/L, yang artinya banyak wilayah sungai ini berada di bawah ambang batas aman untuk kehidupan biota air.
5. pH (Tingkat Keasaman)
pH normal air sungai seharusnya berada antara 6–9. Berdasarkan penelitian Pavita et al. (2014), nilai pH di Sungai Surabaya cukup netral, yakni rata-rata 7,8. Ini masih dalam rentang aman untuk air kelas I dan II.
6. Nitrat dan Fosfat
Nitrat dan fosfat berasal dari pupuk pertanian dan limbah rumah tangga. Kandungan nitrat di Sungai Surabaya berkisar antara 1,05 hingga 2,37 mg/L—masih di bawah batas maksimal 10 mg/L. Namun, kadar fosfat yang seharusnya tidak lebih dari 0,2 mg/L justru mencapai 0,95 mg/L di beberapa titik. Kandungan fosfat yang tinggi menyebabkan eutrofikasi, yaitu meledaknya populasi alga yang menurunkan oksigen air dan membunuh ekosistem.
7. Suhu
Suhu perairan juga masuk dalam pantauan. Data penelitian menunjukkan suhu berkisar antara 26,6°C–28,8°C, masih dalam rentang baku mutu kelas I dan II (25–28°C). Namun, suhu tinggi mempercepat metabolisme mikroorganisme dan menurunkan DO, sehingga tetap perlu diwaspadai.
Apa Artinya Data Ini Bagi Warga Surabaya?
Kondisi kualitas air Sungai Surabaya menunjukkan bahwa sebagian besar parameter pencemaran telah melampaui ambang batas untuk air kelas I (air baku minum) dan bahkan untuk kelas II (rekreasi dan budidaya ikan). Dampaknya langsung pada masyarakat adalah meningkatnya kebutuhan bahan kimia dalam proses pengolahan air oleh PDAM, meningkatnya biaya kesehatan akibat paparan air yang tercemar, serta rusaknya ekosistem lokal yang bergantung pada sungai.
Kritik dan Rekomendasi: Saatnya Bertindak Nyata
Kelebihan Penelitian:
Kekurangan:
Rekomendasi Aksi:
Penutup: Sungai yang Terawat adalah Aset Masa Depan
Surabaya tidak bisa menunggu lebih lama untuk menyelamatkan sungainya. Sungai Surabaya telah memberi kehidupan, air, dan produksi bagi kota ini selama puluhan tahun. Kini, tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa warisan ekologis ini tidak berubah menjadi bencana kesehatan publik.
Dengan data, kesadaran, dan aksi nyata, sungai kita bisa diselamatkan. Pemulihan sungai adalah investasi jangka panjang bagi kesehatan, ekonomi, dan masa depan kota.
Sumber Asli Artikel:
M. Khadik Asrori. Pemetaan Kualitas Air Sungai di Surabaya. Jurnal Envirotek, Volume 13, Nomor 2, 2021. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.