Perindustrian

Kinerja Unggul Industri Logam dan Baja Berkat Keberhasilan Program Substitusi Impor

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meskipun tantangan pandemi Covid-19 masih belum berakhir, kinerja industri nasional cukup menggembirakan dibanding tahun 2020 dengan indikasi rata-rata Purchasing Manager's Index (PMI) selama 2021 menunjukkan angka 50 atau ada dalam tahap ekspansif. Hal ini juga ditunjukkan oleh kinerja sektor industri logam dan baja yang turut mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal ketiga 2021, sektor industri logam dengan HS 72-73 mampu tumbuh di atas 9,82%. Kinerja ini juga didukung ekspor produk baja hingga November 2021 mencapai US$ 19,6 miliar dan mengalami surplus sebesar US$ 6,1 miliar.

Direktur Industri Logam, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Budi Susanto mengemukakan, pertumbuhan positif sektor baja disebabkan upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan konsep smart supply demand yang diterapkan dengan berpihak pada industri baja nasional mulai dari sektor hulu, antara, hingga hilir.

“Peningkatan kebutuhan baja ini didukung kebijakan PPnBM otomotif yang juga tumbuh hingga 27% di kuartal ketiga tahun 2021,” ungkap Budi dalam siaran pers di situs Kemenperin, Jumat (21/1).

Dia menyebut, pengaturan ini menjadi penting agar produk-produk baja yang sudah diproduksi di dalam negeri dapat dimaksimalkan dan hampir semua impor yang ada merupakan bahan baku untuk berbagai jenis industri.

Senada dengan Budi, Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) Handjaja Susanto menyampaikan, salah satu keberhasilan perusahaan memperoleh laba bersih hingga Rp 100 miliar karena berkat kontrol pemerintah terhadap impor baja, sehingga pasar impor banyak beralih ke pasar lokal.

“Optimisme industri baja nasional ini terus dijaga dengan upaya hilirisasi dan substitusi impor yang telah dicanangkan oleh pemerintah,” ujarnya.

Iklim usaha dan investasi pun terus meningkat di Indonesia. Hingga kuartal ketiga 2021, investasi di sektor logam menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan dengan mencapai Rp 87,73 triliun serta utilisasi di sektor tersebut di atas 60%. Contohnya di industri baja lapis yang kinerjanya meningkat sangat baik seperti yang ditunjukkan oleh Saranacentral Bajatama.

Sebelumnya, Direktur Komersial Krakatau Steel Melati Sarnita mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor baja sebesar 23% yang semula 3,9 juta ton di tahun 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institute Ahmad Rijal Ilyas mengatakan, untuk melihat perbandingan data baja jangan menggunakan data tahun 2020. “Kalau menggunakan data tersebut pada saat itu semua industri terpuruk. Artinya kalau tidak boleh naik terhadap tahun 2020 sama saja tidak ingin industri baja ini tumbuh karena yang diimpor adalah bahan baku,” terangnya.

Ahmad Rijal Ilyas menambahkan, impor baja tahun 2021 dibanding 2019 mengalami penurunan yang cukup baik, yaitu dari 6,9 juta ton pada tahun 2019 menjadi 4,8 juta ton di 2021 atau menurun 31%.

Menurutnya, beberapa program pemerintah yang dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha antara lain pengendalian impor, program substitusi impor termasuk penurunan nilai impor untuk beberapa produk baja, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), penerapan SNI wajib dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri dari produk baja yang tidak berkualitas, serta pemberian insentif untuk mendorong peningkatan investasi di sektor industri logam.

Sumber:  industri.kontan.co.id

Selengkapnya
Kinerja Unggul Industri Logam dan Baja Berkat Keberhasilan Program Substitusi Impor

Perindustrian

Melawan Gelombang Impor: Kemenperin Mendorong Pemakaian Produk Logam Ber-SNI untuk Stabilisasi Pasar

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian terus memacu kinerja industri logam agar bisa memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Apalagi, kebutuhan baja saat ini semakin meningkat, baik di pasar domestik maupun ekspor. 

“Tercatat industri logam dasar tumbuh 11,46 persen dengan meningkatnya permintaan luar negeri. Oleh karenanya, pemerintah bertekad untuk terus melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, melalui siaran resminya, dikutip Kompas.com, Selasa (20/4/2021). 

Menperin menyatakan, diperlukan instrumen yang mampu memacu daya saing produk nasional sekaligus menjaga kesehatan serta keselamatan konsumen dan lingkungan, termasuk di sektor industri logam.

 “Dengan tetap mengedepankan asas fairness dalam perdagangan internasional, implementasi SNI wajib dapat bertujuan untuk meningkatkan akses pasar luar negeri dan menekan laju impor,” tegasnya.

Penerapan instrumen berupa pemberlakuan wajib SNI, fokus utamanya adalah untuk produk-produk yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (K3L). 

“Dalam rangka mendorong industri logam nasional yang berdaya saing tinggi, perlu diciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif guna mendongkrak utilisasi serta kemampuan inovatif pada sektor tersebut,” paparnya. 

Sementara itu, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Doddy Rahadi mengatakan, nilai impor untuk HS produk SNI wajib tahun 2020 sebesar Rp 102 triliun, menurun dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 133 triliun. 

“Meskipun nilai impornya menurun, saat ini terdapat 147 kode HS yang tersebar pada 28 SNI wajib sektor logam,” sebutnya. 

Untuk itu, lanjut dia, diperlukan perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan terkait dalam mendukung pertumbuhan industri baja nasional. 

“Sehingga tidak ada celah lagi membanjirnya produk-produk impor yang tidak berkualitas ke pasar dalam negeri,” ujar Doddy. 

Dia menambahkan, penerapan SNI wajib pada produk logam juga bertujuan untuk merealisasikan target substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022. “Pembatasan impor terutama untuk produk yang sudah dapat diproduksi oleh industri dalam negeri perlu diperkuat,” imbuhnya. 

Kemenperin menargetkan sektor industri logam dasar dapat tumbuh sebesar 3,54 persen pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan industri baja merupakan sektor high resilience yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan siap untuk kembali meningkatkan kemampuan dan performanya di tahun ini. 

Di sisi lain, Kepala Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri Surabaya, Aan Eddy Antana dalam sela-sela kunjungan ke PT Sunrise Steel beberapa waktu lalu mengemukakan, ketersediaan infrastruktur dan SDM di Baristand Industri Surabaya akan mampu mendukung pemerintah dalam mewujudkan target substitusi impor dan meningkatkan daya saing industri logam dalam negeri. 

Hingga saat ini, Baristand Industri Surabaya terus berupaya untuk terus menambah ruang lingkup pengujian produk logam dan sertifikasi produk logam yang sudah ada untuk mendukung substitusi produk impor. 

“LSPro kami telah mampu mensertifikasi 33 jenis SNI produk logam dan 17 produk logam dasar dan produk logam fabrikasi untuk Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (LSSM),” ungkapnya. 

Sementara laboratorium pengujian Baristand Industri Surabaya mampu menguji 50 produk logam baik pengujian sesuai dengan SNI maupun permintaan pelanggan. 

“Rencananya, dalam waktu dekat, kami akan menambah ruang lingkup sertifikasi dan pengujian produk logam agar memudahkan industri dalam negeri untuk mensertifikasi produknya mengingat permintaannya semakin meningkat dari tahun ke tahun,” jelas Aan.

Sumber: money.kompas.com
 

Selengkapnya
Melawan Gelombang Impor: Kemenperin Mendorong Pemakaian Produk Logam Ber-SNI untuk Stabilisasi Pasar

Perindustrian

Perolehan Gemilang: Pertumbuhan Industri Logam Dasar Mencapai 18 Persen di Semester I 2021

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Produsen Baja Ringan Indonesia (APBRI) mencatat industri logam dasar mengalami pertumbuhan sebesar 18,03 persen pada semester I-2021. Hal itu didukung oleh peningkatan produksi besi, baja, dan bahan baku logam lainnya. 

Ketua APBRI Benny Lau menyebutkan bahwa selama paruh pertama tahun ini menjadi momentum bagi industri baja nasional dalam meningkatkan produksi dan ekspor baja ringan. 

"Peningkatan ini cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tercatat sebesar 2,76 persen," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (13/9/2021). 

Pertumbuhan tersebut juga diiringi peningkatan utilisasi dari 51,2 persen pada awal 2021 menjadi 79,93 persen pada pertengahan tahun ini. 

Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah mendukung pertumbuhan sektor industri logam, di antaranya program relaksasi tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang diberikan untuk sektor otomotif di dalam negeri. 

Sementara itu, Asosiasi Baja Ringan dan Atap Ringan Indonesia (Asbarindo) menilai insentif PPnBM telah mendongkrak pertumbuhan sektor industri alat angkut sebesar 45,7 persen pada semester I 2021. 

"Dalam proses manufakturnya, industri otomotif melibatkan ribuan tenaga kerja dan ratusan perusahaan terkait dari tier I, II, dan III yang juga menyerap produk baja dalam negeri untuk bahan baku produksi," kata Ketua Asbarindo Dwi Sudaryono. Di sisi lain, peningkatan impor besi dan baja juga diiringi peningkatan ekspor yang cukup signifikan, sehingga neraca perdagangan produk intermediate baja yang berada pada Pos HS 7208-7229 mengalami surplus sebesar 1,7 miliar dolar AS. 

Jika ditambahkan oleh neraca perdagangan produk turunan baja yang berada pada HS 73, maka neraca tersebut mengalami surplus sebesar 2,7 miliar dolar AS atau meningkat lebih dari 1.500 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu pada level 117 ribu dolar AS. 

Ketua Perkumpulan Seluruh Industri Baja Ringan Indonesia (Persibri) Liang Wali memandang bahwa kinerja perdagangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kebijakan dan fasilitas yang diberikan pemerintah, di antaranya pengendalian berbasis penawaran dan permintaan, hingga fasilitas harga gas tertentu yang diberikan pada sektor industri baja nasional.

Sumber: money.kompas.com

Selengkapnya
Perolehan Gemilang: Pertumbuhan Industri Logam Dasar Mencapai 18 Persen di Semester I 2021

Perindustrian

Optimalkan Ekspor Bahan Mentah Melalui Peran Vital Industri Smelter dalam Meningkatkan Nilai Tambah Ekonomi

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


Kementerian Perindustrian terus memacu tumbuhnya industri pengolahan dan pemurnian (smelter) karena sejalan dengan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri. Langkah strategis ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, bahwa pemerintah akan menghentikan ekspor bahan mentah minerba secara bertahap.

“Bapak Presiden Jokowi menekankan, kita akan stop ekspor bahan mentah nikel, kemudian tahun depan untuk bauksit, selanjutnya tembaga, emas, dan timah. Artinya, kita harus mendirikan industri smelternya di tanah air dalam rangka meningkatan nilai tambah raw material tersebut,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (28/12).

Kemarin, Senin (27/12), Kepala Negara didampingi sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju, antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menperin Agus meresmikan pabrik smelter bijih nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang berlokasi di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Acara peresmian tersebut digelar di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Menperin menjelaskan, PT GNI merupakan industri smelter yang akan menghasilkan feronikel dengan kapasitas produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Perusahaan ini memberikan nilai tambah yang tidak sedikit, dari bijih nikel yang diolah menjadi feronikel, nilai tambahnya meningkat sebesar 14 kali lipat. Apabila dari bijih nikel diolah menjadi billet stainless steel, nilai tambahnya meningkat 19 kali lipat.

“Oleh karenanya, dengan penambahan investasi oleh PT GNI ini, program hilirisasi mineral berbasis sumber daya alam di tanah air bisa semakin cepat pencapaiannya. Hal ini melengkapi lini produksi yang dilakukan oleh pabrik smelter PT Obsidian Stainless Steel di Konawe, Sulawesi Tenggara,” papar Agus.

PT Obsidian Stainless Steel merupakan industri smelter penghasil feronikel dengan kapasitas sebesar 1,2 juta ton per tahun, dan memproduksi billet stainless steel dengan kapasitas 1 juta ton per tahun. Selain itu, terdapat PT Virtue Dragon Nickel Industry, yang juga merupakan pabrik smelter penghasil feronikel dengan kapasitas mencapai 1 juta ton per tahun.

“PT GNI, PT Obsidian Stainless Steel, PT Virtue Dragon Nickel Industry, merupakan satu group yang telah dan akan menjadi bagian dari rencana besar pemerintah Indonesia untuk mendorong hilirisasi industri dalam peningkatan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri,” jelas Menperin.

Total investasi dari ketiga industri smelter tersebut mencapai USD 8 miliar, dengan target penyerapan tenaga kerja sebanyak 27 ribu orang. Dari perusahaan yang beroperasi, sudah mampu menyumbang kepada penerimaan negara berupa pajak sebesar Rp1,03 triliun sejak tahun 2019 hingga 2021.

Secara keseluruhan, nilai realisasi investasi pabrik smelter nikel yang ada di Indonesia sampai saat ini sudah menembus USD15,7 miliar. Selanjutnya, ekspor produk feronikel setiap tahunnya mengalami peningkatan. Hal ini memberikan dampak positif terhadap penambahan devisa.

“Pada tahun 2020, ekspor feronikel mencapai USD4,7 miliar, dan pada periode Januari hingga Oktober 2021 tercatat sebesar USD 5,6 miliar,” sebutnya. Merujuk data World Top Export, Indonesia menempati peringkat ke-1 di dunia sebagai negara pengekspor produk berbasis nikel (stainless steel slab, stainless billet dan stainless steel coil), dengan total ekspor senilai USD 1,63 miliar pada tahun 2020.

Lanjut Agus, keberhasilan dari kebijakan hilirisasi industri ini juga berkontribusi pada peningkatan serapan jumlah tenaga kerja. Selain itu, berkembangnya industri smelter di dalam negeri, memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional dan wilayah setempat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Sebagai ilustrasi, kalau biasanya Kabupaten Konawe ini pertumbuhan ekonominya sekitar 5-6% sebelum ada investasi datang, selama dua tahun terakhir ini pertumbuhannya sudah di angka belasan persen,” ungkapnya.

Efek positif yang luas dari aktivitas industri tersebut, bahkan mampu mengurangi angka kemiskinan. “Hal ini membuktikan adanya kemitraan yang saling menguntungkan antara industri dengan masyarakat guna membawa kemajuan bersama, termasuk tumbuhnya wirausaha di lingkungan pabrik serta dapat meningkatkan infrastruktur sosial yang dibutuhkan masyarakat,” imbuh Menperin.

Sementara itu, Direktur Utama PT GNI Wisma Bharuna mengatakan, saat ini di Indonesia sudah muncul beragam produk turunan dari stainless steel, yang antara lain digunakan untuk memproduksi panci, sendok, dan sebagainya. Ia berharap, dengan adanya hilirisasi, semua produk bisa didapatkan di dalam negeri, akan ada alih teknologi, dan semuanya bisa menyejahterakan rakyat.

“Segala macam itu harus dari sini semua sehingga sudah tidak lagi ke luar negeri, semuanya dipakai untuk kita, barangnya barang kita, kemudian nanti untuk menyejahterakan semuanya. Nanti ada alih teknologinya, metalurginya, anak-anak lebih pintar, semua lapangan pekerjaan ya semua Indonesia kaya, semua ada disini,” ujar Wisma.

Sumber: kemenperin.go.id
 

 

Selengkapnya
Optimalkan Ekspor Bahan Mentah Melalui Peran Vital Industri Smelter dalam Meningkatkan Nilai Tambah Ekonomi

Perindustrian

Substitusi Impor Berdampak Positif: Pertumbuhan Pesat Industri Logam dan Baja di Tahun 2021

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


Meskipun tantangan Covid-19 masih belum berakhir, kinerja industri nasional cukup menggembirakan dibanding tahun 2020, dengan indikasi rata-rata Purchasing Manager's Index (PMI) selama 2021 menunjukkan angka 50 atau ada dalam tahap ekspansif. Hal ini juga ditunjukkan oleh kinerja sektor industri logam dan baja yang turut mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal III tahun 2021, sektor industri logam dengan HS 72-73 mampu tumbuh di atas 9,82 persen. Kinerja ini juga didukung ekspor produk baja hingga November 2021 mencapai USD19,6 miliar dan mengalami surplus sebesar USD6,1 miliar.

Direktur Industri Logam, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Budi Susanto mengemukakan, pertumbuhan positif sektor baja akibat upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan konsep smart supply demand, yang diterapkan dengan berpihak pada industri baja nasional mulai dari sektor hulu, antara hingga hilir.

“Peningkatan kebutuhan baja ini didukung kebijakan PPnBM otomotif yang juga tumbuh hingga 27% di kuartal III tahun 2021,” ungkapnya di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pengaturan ini menjadi penting agar produk-produk yang sudah diproduksi di dalam negeri dapat dimaksimalkan dan hampir semua impor yang ada merupakan bahan baku untuk berbagai jenis industri.

Senada dengan Budi, Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) Handjaja Susanto menyampaikan, salah satu keberhasilan perusahaan memperoleh laba bersih hingga Rp100 miliar karena berkat kontrol pemerintah terhadap impor baja, sehingga pasar impor banyak beralih ke pasar lokal.

“Optimisme industri baja nasional ini terus dijaga dengan upaya hilirisasi dan substitusi impor yang telah dicanangkan oleh pemerintah,” ujarnya. Dengan demikian, iklim usaha dan investasi akan terus meningkat di Indonesia.

Hingga triwulan III tahun 2021, investasi di sektor logam menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan, dengan mencapai Rp 87,73 triliun serta utilisasi di sektor tersebut di atas 60%. Contohnya di industri baja lapis, yang kinerjanya meningkat sangat baik seperti yang ditunjukkan oleh PT Saranacentral Bajatama.

Sebelumnya Direktur Komersial Krakatau Steel, Melati Sarnita mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor baja sebesar 23% yang semula 3,9 juta ton di tahun 2020 menjadi 4,8 juta ton di tahun 2021.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institute, Ahmad Rijal Ilyas mengatakan untuk melihat perbandingan data baja jangan menggunakan data tahun 2020. “Kalau menggunakan data ini pada saat itu semua industri terpuruk, artinya kalau tidak boleh naik terhadap tahun 2020 sama saja tidak ingin industri baja ini tumbuh karena yang diimpor adalah bahan baku,” terangnya.

Ahmad Rijal Ilyas menyampaikan, impor baja tahun 2021 dibanding 2019 mengalami penurunan yang cukup baik, yaitu dari 6,9 juta ton pada tahun 2019 menjadi 4,8 juta ton di 2021 atau menurun 31%.

Menurutnya, beberapa program pemerintah yang dirasakan manfaatnya oleh pelaku usaha antara lain pengendalian impor, program substitusi impor termasuk penurunan nilai impor untuk beberapa produk baja, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), penerapan SNI wajib dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri dari produk baja yang tidak berkualitas, serta pemberian insentif untuk mendorong peningkatan investasi di sektor industri logam.

“Diharapkan dengan program-program tersebut terus ditingkatkan untuk dapat mendorong kinerja industri baja pada periode selanjutnya,” ujarnya.

Sumber:  kemenperin.go.id

Selengkapnya
Substitusi Impor Berdampak Positif: Pertumbuhan Pesat Industri Logam dan Baja di Tahun 2021

Perindustrian

Perang Hukum Uni Eropa vs Indonesia: Nikel Sebagai Komoditas Strategis Menjadi Pusat Perdebatan

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 24 April 2024


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga mengatakan nikel adalah komoditas strategis Indonesia yang penting bagi ekonomi nasional sekaligus dalam kaitannya sebagai sumber daya yang tak terbarukan. Oleh karena itu, lanjutnya, saat menanggapi gugatan Uni Eropa (UE) terhadap Indonesia perihal kebijakan larangan ekspor bijih nikel, Indonesia berhak membatasi perdagangan demi kepentingan masyarakat dan keberlanjutan (sustainability).

"Indonesia berhak mengatur perdagangan sumber daya-sumber daya strategisnya. Apalagi itu ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kepentingan ekonomi yang berkelanjutan juga," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (20/11).

Dikatakannya, nikel adalah salah satu bahan untuk membuat baterai berbagai peralatan, termasuk mobil listrik yang tengah menjadi tren dunia. Indonesia merupakan penghasil nikel utama di dunia, sehingga tidak heran jika nikel Indonesia banyak dilirik oleh pasar negara-negara lain.

Pemerintah berupaya mengoptimalkan kontribusi nikel bagi perekonomian dan kepentingan nasional, tambahnya, pembatasan ekspor nikel adalah bagian dari hal tersebut."Jadi tujuannya agar kita bisa mengelola dengan lebih baik melalui hilirisasi industri bahan tambang mentah sesuai arahan Presiden Jokowi. Ini sebenarnya juga mencerminkan kepentingan dunia internasional yaitu bahwa agar pemanfaatan sumber daya yang terbatas dan tidak terbarukan bisa memberikan dampak positif dalam jangka panjang," kata Jerry.

Dengan upaya melawan gugatan terhadap pembatasan ekspor nikel, Wamendag berharap industri berbasis nikel juga bisa tumbuh dengan memanfaatkan momentum ini. Dengan demikian perdagangan dan industri nikel memberikan nilai tambah yang tertinggi sesuai amanat Presiden Jokowi.

Terkait gugatan oleh Uni Eropa, Wamendag menyebutkan Kemendag mendapatkan dukungan penuh dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kemenko Perekonomian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian ESDM, BKPM, Kejaksaan Agung dan lain-lain, juga perwakilan Indonesia di WTO dan Uni Eropa.Kerja sama yang baik ini, tambahnya, merupakan indikator dan preseden yang baik bagi kerja sama di sektor yang lain.

Menurut dia, kolaborasi antar kementerian yang makin baik juga bisa dilihat dari program lain seperti dalam penanganan pandemi Covid-19."Saya merasakan makin kuatnya koordinasi, sinergi dan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dari tahun ke tahun. Inia semakin menguatkan teamwork yang solid dalam melawan gugatan dari Uni Eropa," katanya.

Sumber: ekonomi.republika.co.id
 

 

Selengkapnya
Perang Hukum Uni Eropa vs Indonesia: Nikel Sebagai Komoditas Strategis Menjadi Pusat Perdebatan
« First Previous page 15 of 35 Next Last »