JAKARTA, KOMPAS - Kelompok Usaha Besi dan Baja Wuhan atau Wuhan Iron and Steel Group, Wisco, menjajaki peluang berinvestasi di sektor besi baja di Indonesia. Ini menindaklanjuti perintah Pemerintah China untuk mengimplementasikan perjanjian Presiden China dengan Presiden Indonesia yang ditandatangani pada Oktober 2013.
"Wuhan mau berinvestasi, nilainya lebih dari 5 miliar dollar AS, secara bertahap. Mereka sedang mencari lokasi dengan pelabuhan berkedalaman laut tertentu," kata Menteri Perindustrian MS Hidayat, di Jakarta, Rabu (19/3). Hidayat menyampaikan hal itu seusai menerima kunjungan jajaran pemimpin Kelompok Usaha Besi dan Baja Wuhan beserta delegasi di Kantor Kemenperin.
Menurut Hidayat, masuknya investasi di sektor besi baja akan berdampak bagus dalam menghasilkan produk substitusi impor. "Mereka meminta kami memberi panduan lokasi. Saya tawarkan di Jawa Timur sebab, kalau membutuhkan infrastruktur lengkap, di luar Jawa belum ada," tutur Hidayat.
Terkecuali, kata Hidayat, kalau investor mau membangun infrastruktur sendiri, seperti yang dilakukan PT Sulawesi Mining Investment (SMI). SMI membangun instalasi pemurnian dan pengolahan feronikel di Morowali, Sulawesi Selatan.
Perusahaan tersebut membuat sendiri pembangkit listrik, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara. "Kami mengapresiasi adanya perusahaan yang serius mau membangun smelter (instalasi pemurnian dan pengolahan) di negeri ini," kata Hidayat.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT SMI Alexander Barus, di Jakarta, Selasa (18/3), menuturkan, pembangunan instalasi pengolahan feronikel ini merupakan antisipasi sejak awal terkait larangan ekspor bijih nikel.
"Ini karena, pada intinya, UU No 4/2009 telah berlaku sehingga ekspor bijih nikel sudah dilarang. Kami dari awal mengantisipasi dengan membangun instalasi pengolahan feronikel," papar Alexander.
Pada saat bersamaan, mereka juga mengembangkan kawasan industri seluas 1.200 hektar. "Kami harapkan nantinya industri industri hilir pengolahan nikel dan baja tahan karat akan masuk ke sana," ujar Alexander.
Menurut Alexander, sebelum industri hilir baja tahan karat itu terbangun di Morowali, untuk sementara produk feronikel akan dijual ke China.
”Nantinya industri aluminium yang terbangun di Morowali akan menggunakan feronikel dari Morowali dan ferrochrome dari Zimbabwe,” kata Alexander.
Hidayat mengatakan, Indonesia sudah puluhan tahun mengekspor bahan mentah berupa nikel. Di sisi lain, industri pengolahan tak tumbuh di Indonesia.
Undang-undang mineral terbaru yang berlaku sejak tahun 2009 mewajibkan perusahaan membuat instalasi pengolahan dalam kurun lima tahun.
Setelah lima tahun, pemerintah menetapkan stop ekspor bahan mentah. Berdasarkan UU mineral itu, nikel sama sekali tidak boleh diekspor.
Terkait larangan ekspor nikel, Jepang disebutkan mengalami masalah karena selama ini 44 persen impor nikelnya berasal dari Indonesia. Produksi pun menjadi berkurang karena pasokan nikel ke Jepang tidak serta-merta bisa digantikan eksportir nikel dari negara lain.
Menurut Hidayat, sekarang adalah waktunya kerja sama karena kedua pihak sama-sama membutuhkan. Indonesia yang memiliki nikel, di satu sisi, telah melarang ekspor bahan mentah itu, tetapi di sisi lain membutuhkan teknologi dan investasi.
Sementara itu Jepang memiliki teknologi pengolahan nikel dan modal untuk investasi, tetapi di sisi lain mereka tidak memiliki bahan baku nikel.
Hidayat menuturkan, kewajiban membangun instalasi pengolahan di Indonesia adalah perintah UU. (CAS)
Sumber: kemenperin.go.id