KOMPAS.com - Rapat konsultasi Uni Eropa dan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia WTO soal larangan kebijakan ekspor bijih nikel gagal temui kesepakatan. Namun di balik perseteruan itu, berbagai organisasi mempertanyakan penanganan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Ketika Asosiasi baja Eropa EUROFER menyambut keputusan Uni Eropa untuk meminta WTO membentuk panel guna mengupayakan penghapusan larangan ekspor yang diberlakukan oleh Indonesia untuk produksi baja tahan karat, terutama bijih nikel dan bijih besi, EUROFER menyampaikan kekhawatirannya. Juru bicara EUROFER Charles de Lugnisan cemas jalur produksi 'terintegrasi' yang digunakan Indonesia untuk memproduksi baja tahan karat hingga tujuh kali akan menghasilkan CO2 lebih intensif daripada metode tanur busur listrik yang digunakan di Eropa. "Risikonya adalah bahwa baja yang secara artifisial murah dan sangat berpolusi menggantikan baja yang lebih bersih dari produsen domestik UE dan mitra dagang tradisional.”
Dagang vs lingkungan
Sementara Uni Eropa dan pemerintah Indonesia bersitegang dalam sengketa ekspor bijih nikel, lembaga-lembaga pemerhati lingkungan mengingatkan agar 'kedua raksasa' itu jangan hanya bergulat di urusan perdagangan.
Merah Joharsyah dari organisasi Jaringan Advokasi Tambang JATAM menandaskan demi ambisi baterai mobil listrik, Indonesia lebih menitikberatkan industri hilir, namun tutup mata urusan ongkos lingkungan. Sementara itu kepentingan Uni Eropa menurutnya, lebih pada urusan melindungi pasokan nikel untuk komunitas dagang di Eropa,
"Bagaimana persoalan nikel dari aspek daya rusak lingkungan? Ada 29 dari 56 pulau kecil yang ditambang nikelnya dan mengorbankan pulau kecil seperti Pulau Gee, pulau Gebe, Pulau Wawoni‘i hingga Pulau Obi," tutur Merah dan menambahkan, dalam riset JATAM, industri nikel juga dianggap mengorbankan nasib nelayan di Morowali dan wilayah lainnya.
Kerusakan ekosistem
Dari penelitian lapangan yang dilakukan organisasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), disebutkan proyek tambang nikel telah menghancurkan mata air yang menjadi sumber air minum masyarakat di sejumlah kawasan di dataran tinggi Pulau Wawonii, khususnya Wawoni'i Tenggara dan Wawoni‘i Selatan.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan, Parid Ridwanuddin mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sebanyak 76,63 persen masyarakat Pulau Wawonii sangat tergantung dengan sumber mata air. Selain itu secara ekologis, praktik tambang nikel di Pulau Wawoni‘i menurut hasil penelitian di lapangan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang.
"Tak sedikit nelayan di Desa Masolo, Kecamatan Wawoni'i Tenggara, melaporkan bahwa lebih dari dua hektar terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah. Kini masyarakat sudah sulit menemukan ikan-ikan karang." "Meski pertambangan nikel di atas hutan, tetapi limbahnya akan berakhir di pesisir atau laut. Dalam jangka panjang, kerusakan terumbu karang akan terus meluas jika proyek pertambangan tidak dihentikan."
Sumber: www.kompas.com