Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Israel 2025: Reformasi Standar Berbasis UE, TRQ Agrikultur, Offset Pemerintah, dan Pembatasan Transfer Data

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 Desember 2025


Israel merupakan salah satu mitra dagang paling maju di Timur Tengah dan memiliki hubungan ekonomi yang sudah lama terjalin dengan Amerika Serikat melalui U.S.–Israel Free Trade Agreement (FTA) sejak 1985. Walau tarif produk non-pertanian telah dihapus sepenuhnya pada 1995, beragam hambatan perdagangan tetap signifikan—terutama di sektor agrikultur, standardisasi teknis, serta pengadaan pemerintah. Tahun 2025 memperlihatkan bahwa reformasi regulasi terbaru justru menciptakan pola preferensi teknis baru yang berpotensi meminggirkan produk non-Eropa dan memperluas ketidakpastian bagi eksportir global.

Struktur Tarif: Rendah untuk Non-Agrikultur, Tinggi untuk Pertanian Sensitif

Israel mempertahankan salah satu struktur tarif non-agrikultur terendah di dunia (rata-rata 2,4%). Namun tarif pertanian masih tinggi:

  • tarif rata-rata agrikultur: 13,7%,

  • 75,6% pos tarif terikat di WTO (cukup rendah tingkat bound coverage-nya),

  • variasi besar untuk produk sensitif: dairy, buah segar, almond, wine, ikan segar, dan beberapa processed foods.

Sistem tariff-rate quotas (TRQ) di bawah ATAP (Agricultural Trade Agreement) terus diperpanjang hingga 2025 dan menjadi salah satu hambatan paling substansial. TRQ mencakup:

  • skema tarif preferensial minimal 10% lebih rendah dari MFN,

  • alokasi kuota yang rumit per komoditas,

  • keterbatasan akses untuk produk bernilai tinggi.

Reformasi pertanian 2022 mulai menurunkan tarif untuk dairy, meat, dan fresh produce, tetapi realisasi akses pasar tetap terbatas.

Regulasi Teknis: Reformasi 2024 Memihak Standar Uni Eropa

Pada 4 Agustus 2024, Israel mengadopsi empat amandemen hukum standardisasi yang memungkinkan produk impor bersertifikasi mandiri berdasarkan standar EU untuk langsung memasuki pasar. Sebaliknya:

  • produk yang mengikuti standar AS atau standar lain harus melalui approval tambahan oleh Standards Institution of Israel (SII),

  • cakupan mencakup “dozens of consumer products,” termasuk produk agrikultur tertentu.

Implikasinya:

  • produk yang mengikuti standar UE mendapatkan keuntungan kompetitif,

  • produsen non-EU menghadapi proses sertifikasi ganda,

  • biaya dan durasi compliance meningkat secara signifikan.

Stakeholder AS mencemaskan bahwa kebijakan baru ini menciptakan semacam technical alignment bias, yang dapat memicu EU-centric market preference—bukan memperluas akses, tetapi mempersempitnya.

SPS dan Food Law Baru: Ketidakpastian Tinggi karena Akses Informasi Terbatas

Mulai 1 Januari 2025, Israel menerapkan 40 regulasi baru di bawah Protection of Public Health (Food Law). Tantangan utama:

  • perubahan dan tanggal implementasi sering direvisi,

  • draft regulasi hanya tersedia melalui database berbayar Nevo Legal Database,

  • importir Israel sangat bergantung pada firma hukum untuk update,

  • eksportir luar negeri kesulitan memprediksi persyaratan baru pada tahap awal produksi.

Bagi eksportir agrikultur AS, hal ini menciptakan:

  • risiko labeling atau formula non-compliance,

  • potensi penolakan impor akibat perubahan mendadak,

  • biaya penyesuaian yang harus dilakukan tanpa visibilitas regulatif lengkap

Pengadaan Pemerintah: Offset Tinggi hingga 50% dan Unlimited Liability

Meskipun Israel adalah anggota WTO Government Procurement Agreement (GPA), implementasi domestiknya tetap memunculkan hambatan besar:

a. Offset Requirements

Diatur melalui International Cooperation (IC) Agreements.
Kewajiban offset saat ini:

  • 20% untuk tender yang covered oleh GPA,

  • 35% untuk tender non-covered,

  • 50% untuk pengadaan militer.

Offset dapat berupa:

  1. investasi di industri lokal,

  2. co-development atau co-production,

  3. subcontracting ke perusahaan Israel,

  4. pembelian langsung dari industri domestik.

Offset tinggi membuat perusahaan asing—terutama UKM—enggan mengikuti tender, sehingga kompetisi pasar berkurang.

b. Unlimited Liability Clause

Banyak tender pemerintah mencantumkan klausul unlimited liability, yang:

  • menciptakan risiko hukum dan finansial tidak terhingga,

  • meningkatkan premi asuransi secara signifikan,

  • membuat penawaran AS menjadi kurang kompetitif dibanding perusahaan lokal.

c. Defense Procurement MOU

Walau AS telah membuka pasarnya bagi produk pertahanan Israel, Israel belum sepenuhnya memberikan akses sepadan:

  • perusahaan AS wajib memiliki agen lokal,

  • harus memiliki rekening bank Israel untuk transaksi,

  • peraturan transaksi menggunakan Shekel menambah hambatan.

Digital Trade dan Data Localization: Pembatasan Transfer Data Mirip GDPR

Israel tidak menerapkan lokalisasi data penuh, tetapi membatasi transfer data lintas-batas dengan pola yang semakin serupa dengan UE:

  • transfer data hanya boleh dilakukan jika negara tujuan dianggap “adequate,” atau

  • menggunakan standard contract clauses sesuai aturan Privacy Protection Authority.

Sejak Juli 2023, Israel menerima EU–U.S. Data Privacy Framework sebagai mekanisme pemenuhan syarat, tetapi:

  • aturan sektoral tetap dapat membatasi jenis data tertentu,

  • perusahaan multinasional harus melakukan segmentasi data antara server UE, Israel, dan negara ketiga,

  • compliance cost meningkat bagi layanan cloud global dan platform digital.

Kombinasi GDPR-like rules dan kurangnya transparansi dalam draft regulasi baru menciptakan ketidakpastian bagi penyedia layanan digital asing.

Penutup

Hambatan perdagangan Israel tahun 2025 mencerminkan pergeseran dari sekadar tarif menuju hambatan regulatif, teknis, dan administratif yang kompleks. Reformasi standardisasi 2024 yang memihak standar UE, ketidakpastian Food Law, struktur offset tinggi, dan pembatasan transfer data menunjukkan bahwa akses pasar Israel mengharuskan perusahaan global untuk:

  • memahami dinamika regulasi berbasis Eropa,

  • menyiapkan strategi berbasis compliance jangka panjang,

  • mengantisipasi biaya offset dan risiko kontraktual,

  • serta menyesuaikan arsitektur data dengan aturan privasi Israel.

Dalam konteks pasar maju, Israel menawarkan nilai komersial besar namun dengan persyaratan kepatuhan yang menuntut ketelitian dan kesiapan regulatif yang konsisten.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Israel Section.

 

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Israel 2025: Reformasi Standar Berbasis UE, TRQ Agrikultur, Offset Pemerintah, dan Pembatasan Transfer Data

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Indonesia 2025: Tarif Tinggi, Lisensi Impor Berlapis, Regulasi Halal, dan Kontrol Digital di Ekonomi Terbesar Asia Tenggara

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Indonesia memasuki 2025 sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan aktor penting dalam rantai pasok global. Namun, akses pasar tetap menghadapi berbagai hambatan—mulai dari tarif tinggi, lisensi impor multi-level, persyaratan halal menyeluruh, hingga regulasi digital yang sangat intervensif. Struktur regulasi Indonesia mencerminkan kombinasi proteksionisme industri, keamanan pangan yang ketat, dan kebijakan digital yang menuntut lokalisasi proses bisnis.

Tarif dan Pajak: Struktur Tinggi dan Berubah Cepat

Indonesia mempertahankan tarif rata-rata 8%, namun banyak sektor dijaga melalui tarif yang meningkat bertahap dalam satu dekade terakhir—mulai dari elektronik, kimia, kosmetik, hingga hasil pertanian.

Tarif bound di WTO relatif tinggi (rata-rata 37%), memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif sewaktu-waktu. Tarif untuk sektor tertentu bahkan mencapai:

  • Besi dan baja: hingga 20%

  • Tekstil: 5–25%

  • Sepeda: 25–40%

  • Kosmetik: 10–15%

  • Jam tangan: 10%

  • Sepatu: 5–30%

Kekhawatiran khusus muncul pada produk ICT berkode HS 8517, di mana tarif seharusnya 0% menurut bound rate WTO, tetapi Indonesia menerapkan 10%.

Selain itu, kebijakan tarif digabungkan dengan pajak impor tambahan:

  • Income Tax Article 22 untuk 1.188 HS code (7,5%),

  • 716 HS code (10%),

  • prepayment pajak restitusi yang sering memakan waktu bertahun-tahun.

Lisensi Impor: Struktur Paling Rumit di Asia Tenggara

Indonesia menerapkan salah satu rezim lisensi impor paling kompleks di kawasan. Sistem ini mencakup:

a. API-U dan API-P

  • Perusahaan tidak boleh memiliki keduanya sekaligus.

  • API-P dibatasi hanya untuk barang baru dan sesuai izin usaha.

b. OSS (Online Single Submission)

Sistem tunggal yang seharusnya menyederhanakan proses, justru sering menimbulkan:

  • gangguan teknis,

  • tidak sinkron antara pusat dan daerah,

  • memerlukan NIB untuk hampir semua aplikasi.

c. Commodity Balance System (Perpres 61/2024)

Sistem yang mengontrol impor berdasarkan neraca permintaan–penawaran nasional mencakup:

  • gula, beras, daging, garam, ikan,

  • 19 produk tambahan sejak 2023,

  • ekspansi ke bawang putih (2025), dan apel–anggur–jeruk (2026).

Kebijakan sering berubah di awal tahun, menciptakan ketidakpastian dan backlog perizinan.

d. MOT Regulation 36/2023

Mengatur hampir 4.000 HS code, mewajibkan impor disertai:

  • pengungkapan data komersial rinci,

  • rekomendasi teknis,

  • persetujuan tambahan untuk komoditas tertentu.

Regulasi ini menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan pada Mei 2024.

Meskipun sebagian dilonggarkan oleh MOT 8/2024, aturan ini tetap berlaku penuh untuk besi–baja, ban, bahan kimia hulu, dan beberapa tekstil.

SPS dan Pertanian: Lisensi Berlapis serta Kendali Kuantitatif

Indonesia memiliki pendekatan yang sangat administratif terhadap produk pertanian dan hewan.

a. Horticulture Import Regime

  • RIPH masih diwajibkan (MOA 5/2022).

  • Lisensi impor juga bergantung pada cold storage dan rencana distribusi.

Menjadi hambatan struktural karena perizinan dapat tertunda jika neraca komoditas belum ditetapkan.

b. Quantitative Restrictions

  • Gula, beras, garam, daging, dan jagung impor dibatasi kuota tahunan.

  • Harga referensi untuk cabai, bawang, kedelai, jagung, telur, dan minyak goreng memicu intervensi BULOG.

c. BAPANAS & BULOG

  • BULOG memiliki monopoli impor untuk beras medium, jagung pakan, dan kedelai cadangan pangan.

  • Industri pakan sering kekurangan jagung karena harus membeli dari BULOG dengan prioritas peternak kecil.

4. Prosedur Fasilitas Hewan & Produk Ternak: Biaya Tinggi dan Inspeksi Wajib

Indonesia mensyaratkan pre-registration semua fasilitas yang mengekspor:

  • daging,

  • susu,

  • telur,

  • rendering products.

MOA 15/2021 mewajibkan:

  • desk audit,

  • inspeksi on-site,

  • post-audit review,

  • biaya perjalanan dan penginapan auditor ditanggung eksportir.

Biaya dapat mencapai lebih dari USD 10.000 per fasilitas.

TBT: Kewajiban Uji & Sertifikasi Domestik

Indonesia memberlakukan standardisasi ketat melalui:

a. Mandatory Domestic Testing

  • Untuk mainan, elektronik, peralatan rumah tangga, dan telekomunikasi.

  • Per shipment testing untuk barang impor, tetapi hanya 6 bulan sekali untuk produksi domestik.

b. GR 28/2021 & MOI 45/2022

  • Semua pengujian harus dilakukan oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia.

  • Menambah hambatan teknis bagi produk dengan sertifikasi internasional.

Halal Certification: Cakupan Paling Luas di Dunia

Law 33/2014 dan peraturan turunannya mewajibkan halal untuk:

  • pangan, minuman,

  • kosmetik,

  • obat,

  • produk biologi,

  • kimia,

  • GMO,

  • konsumer & household products.

Deadline phased-in:

  • makanan minuman: 2024 → diperpanjang hingga 2026,

  • kosmetik & OTC meds: 2026,

  • medical devices A–C: 2026–2034,

  • medical devices D: 2039.

Persoalan:

  • notifikasi ke WTO dilakukan setelah aturan berlaku,

  • persyaratan redundant untuk akreditasi HCB,

  • rasio auditor yang tidak logis,

  • banyak dokumen diminta berulang.

Perdagangan Digital: Regulasi Ketat dan Pengawasan Sistem Elektronik

a. GR 71/2019 & Permenkominfo 5/2020 dan 10/2021

Mengharuskan ESOs (termasuk platform asing) untuk:

  • mendaftar ke Kominfo,

  • mematuhi perintah takedown dalam waktu singkat,

  • memberikan akses sistem & data untuk penegakan hukum.

Khawatiran industri:

  • definisi konten terlarang terlalu luas,

  • mekanisme banding hampir tidak ada.

b. NPG (National Payment Gateway)

  • Data transaksi debit & kredit domestik harus diproses di Indonesia.

  • Kepemilikan asing dibatasi 20% untuk switching companies.

c. QRIS

Standar QR nasional diberlakukan tanpa konsultasi memadai dengan penyedia global.

Local Content (TKDN): Persyaratan Tinggi pada ICT dan Elektronik

Indonesia mewajibkan persentase TKDN pada:

  • ponsel 4G-LTE: 35%,

  • base station 4G-LTE: 40%,

  • wireless broadband equipment: 30–40%,

  • set-top box & TV: 20%+,

  • perangkat IP network tertentu.

Persyaratan ini menjadi hambatan bagi produk global teknologi tinggi yang memiliki supply chain multinasional.

Pemerintah sebagai Pembeli: Preferensi Domestik Mendalam

Pengadaan pemerintah diwajibkan memprioritaskan produk lokal minimal 40%. Dalam sektor medis, 79 kategori alat kesehatan impor dihapus dari e-Katalog secara tiba-tiba pada 2021.

Sektor Jasa: Pembatasan Kepemilikan & Operasi

Film

  • kuota 60% film lokal,

  • pelarangan dubbing film asing (aturan belum semuanya ditegakkan).

Logistik & Kurir

  • kepemilikan asing wajib minoritas,

  • operasi dibatasi pada kota tertentu.

Perbankan & Fintech

  • batas kepemilikan asing 40%–49%, dengan pengecualian berbasis penilaian OJK.

  • operator sistem pembayaran dibatasi maksimal 49% voting share (front-end) dan 20% (back-end).

IP Protection: Enforcement Lemah dan Pasar Pemalsuan Besar

Indonesia masih masuk Priority Watch List dengan:

  • maraknya pembajakan & penjualan produk palsu,

  • penegakan lemah,

  • pasar Mangga Dua & marketplace online terdaftar dalam Notorious Markets.

Ekspor dan Energi: Larangan Mineral dan DMO Migas

Larangan ekspor nikel, bauksit, timah, dan mineral lain—dibatalkan oleh WTO panel pada 2022 namun tetap diberlakukan melalui banding.

Dalam migas, kontrak PSC dapat direvisi pemerintah; DMO mewajibkan 25% produksi dijual domestik dengan harga diskon.

Penutup

Hambatan perdagangan Indonesia tahun 2025 memperlihatkan pola konsisten: kombinasi proteksionisme tarif, lisensi impor yang berlapis, standardisasi nasional (QCO & halal), serta kebijakan digital dan local content yang semakin memperkuat preferensi domestik. Kompleksitas perizinan, perubahan mendadak, dan koordinasi regulatif yang tidak sinkron menciptakan ketidakpastian yang mengharuskan pelaku usaha global menyiapkan strategi kepatuhan yang adaptif dan terus-menerus dipantau.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Indonesia 2025: Tarif Tinggi, Lisensi Impor Berlapis, Regulasi Halal, dan Kontrol Digital di Ekonomi Terbesar Asia Tenggara

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan India 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Ekspansi Kontrol Digital dalam Ekonomi Berkembang Terbesar Dunia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


India adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia sekaligus mitra strategis bagi banyak negara besar. Namun, struktur kebijakan perdagangannya menunjukkan kombinasi antara proteksionisme tarif, regulasi teknis yang cepat berubah, serta kebijakan digital yang semakin intervensif. Bersumber dari 2025 National Trade Estimate – India Section, artikel ini menguraikan hambatan perdagangan India dalam klaster kebijakan inti: tarif dan pajak, lisensi impor, TBT, SPS, regulasi bioteknologi, data & digital trade, layanan, serta subsidi pertanian.

Tarif India: Tertinggi di Dunia untuk Ekonomi Besar

India mempertahankan struktur tarif yang sangat tinggi:

  • Tarif MFN rata-rata: 17% (tertinggi di antara ekonomi besar dunia)

  • Non-pertanian: 13,5%

  • Pertanian: 39%

  • Tarif ekstrem: buah & kacang (100%), alkohol (150%), karet alam (70%), obat tertentu (20%+), bunga & otomotif (60%), serta ayam beku & produk pangan lain.

Perbedaan besar antara tarif bound (komitmen WTO) dan applied membuat India dapat mengubah tarif sewaktu-waktu tanpa konsultasi publik, menciptakan ketidakpastian tinggi bagi eksportir.

India juga menerapkan tarif retaliasi (2019–2023) terhadap 28 produk AS sebelum akhirnya dicabut pada 2023.

Pajak Impor Tambahan dan Sistem Kepabeanan yang Rumit

Sejak 2018, India menambahkan 10% surcharge untuk banyak impor. Tarif dan pajak bisa berubah sewaktu-waktu melalui notifikasi tanpa proses komentar.

Sistem kepabeanan India:

  • sering menolak transaction value dan memakai benchmark price;

  • membutuhkan dokumentasi ganda (digital & fisik);

  • menerapkan inspeksi yang tidak berbasis risiko;

  • memiliki variasi antarwilayah sehingga keputusan di satu kantor bea cukai tidak berlaku di wilayah lain.

Hal ini mengakibatkan biaya transaksi lebih tinggi dan ketidakpastian administratif bagi eksportir.

Non-Tariff Barriers: Larangan, Pembatasan, dan Kuota Impor yang Tak Stabil

India masih melarang beberapa produk (misal tallow hewan), membatasi impor melalui lisensi non-otomatis, dan mengatur beberapa barang hanya lewat monopoli impor pemerintah (misalnya jagung melalui TRQ).

Selain itu:

  • kuota untuk pulses sering berubah tanpa pola jelas,

  • pembatasan boric acid bersifat diskriminatif dan sulit dipenuhi eksportir,

  • persyaratan importasi barang refurbished/used sangat ketat.

Lisensi Impor untuk ICT, Medis, dan Barang Remanufaktur

India membedakan barang baru, secondhand, remanufactured, dan refurbished:

  • barang remanufaktur wajib lisensi,

  • refurbished harus berusia <7 tahun,

  • banyak produk ICT (laptop, tablet, server) kini memerlukan lisensi impor,

  • proses aplikasi panjang, detail teknis berlebihan, dan dapat ditunda tanpa batas waktu.

Pada 2024, India bahkan menghentikan sementara penerbitan izin untuk perangkat medis impor, mengganggu pasokan alat kesehatan.

Quality Control Orders (QCO): Standardisasi Nasional sebagai Hambatan Teknis

Sejak 2019, India mewajibkan BIS (Bureau of Indian Standards) untuk puluhan kategori produk:

  • kimia, elektronik, baterai, tekstil, pangan, medis

  • banyak QCO hanya mengakui uji laboratorium dalam negeri,

  • inspeksi pabrik oleh pejabat India menjadi syarat wajib untuk beberapa komoditas,

  • transisi tidak jelas dan sering diumumkan mendadak.

QCO ini menimbulkan hambatan signifikan karena tidak selalu selaras dengan standar internasional.

Mandatory Domestic Testing untuk Perangkat Telekomunikasi

India mewajibkan pengujian dan sertifikasi domestik untuk 175+ produk telekomunikasi:

  • uji keamanan dan siber harus di India,

  • tidak mengakui hasil uji dari laboratorium internasional,

  • beberapa skema meminta pengungkapan source code dan data internal—isu sensitif bagi industri.

Regulasi CRO (2014, diperluas 2021) serta ComSec 2023 meningkatkan biaya kepatuhan jutaan dolar dan menyebabkan duplikasi pengujian.

SPS: Persyaratan Ketat untuk Pangan, Produk Hewan, dan Pertanian

India menerapkan persyaratan SPS yang sering tidak berbasis risiko, termasuk:

  • standar nol-toleransi untuk beberapa hama tumbuhan,

  • persyaratan fumigasi metil bromida hanya di negara asal (meski suhu tidak memungkinkan),

  • penolakan terhadap cold treatment/hot water treatment untuk kacang dan buah tertentu,

  • pembatasan terhadap produk daging & unggas, termasuk sejarah sengketa WTO terkait AI (avian influenza).

Bioteknologi & GE Products: Proses Sangat Lambat dan Kurang Transparan

Persetujuan bioteknologi oleh GEAC:

  • lambat, politis, dan tidak konsisten,

  • tidak selaras dengan proses berbasis sains negara lain,

  • belum memiliki kerangka jelas untuk produk NGT.

India juga mewajibkan GM-free certificate untuk 24 produk meski banyak produk tersebut tidak memiliki varian GE yang diperdagangkan secara global—hambatan yang tidak berbasis risiko.

Regulasi Produk Pertanian: Sertifikat Baru, Pendaftaran Fasilitas, dan Aturan Khusus Per Komoditas

India meningkatkan persyaratan sertifikasi untuk:

  • susu & produk susu,

  • daging & ikan,

  • produk telur,

  • nutraceutical.

Banyak sertifikat baru memiliki pernyataan ganda dan persyaratan yang tidak terkait keamanan pangan. Selain itu, FSSAI kini mewajibkan registrasi fasilitas asing, menambah lapisan administrasi baru.

Kebijakan Layanan: FDI Terbatas, Dominasi BUMN, dan Pembatasan Distribusi

India membatasi kepemilikan asing dalam:

  • media: radio (49%), surat kabar (26%), media digital berita (26%),

  • retail: multi-brand retail hanya sampai 51% dan tergantung persetujuan tiap negara bagian,

  • insurance: meskipun batas FDI naik ke 100%, banyak safeguard tetap berlaku,

  • perbankan: kepemilikan asing dibatasi dan ekspansi cabang harus disetujui tahunan.

FDI dalam e-commerce model inventory-based tetap dilarang, membuat pemain asing harus beroperasi dalam model marketplace yang dibatasi.

Telekomunikasi, Satelit, dan Digital Trade: Intervensi Tinggi

Beberapa hambatan utama:

Preferensi Satelit Domestik

  • operator DTH wajib membeli kapasitas satelit melalui ISRO (Antrix),

  • penggunaan satelit asing dikenakan biaya tambahan.

Regulasi eSIM

TRAI merekomendasikan agar seluruh perangkat M2M dengan eSIM internasional dipaksa beralih ke operator domestik—berpotensi mengganggu perangkat IoT global.

30% Market Cap untuk Pembayaran Digital

NPCI menetapkan batas pangsa pasar untuk penyedia pembayaran asing di UPI.

Negara Sering Melakukan Internet Shutdown

Penutupan akses internet lokal berdampak pada bisnis digital, keamanan data, dan transaksi.

Data Localization & Data Privacy: Kerangka Baru yang Ketat

Digital Personal Data Protection Act (DPDPA) 2023 dan draft aturan 2025:

  • memungkinkan pembatasan transfer lintas negara,

  • mewajibkan penyimpanan data domestik untuk beberapa kategori,

  • mewajibkan pemberian akses data ke pemerintah,

  • berpotensi menciptakan regulasi sektoral tambahan.

Ini menambah biaya kepatuhan bagi perusahaan global yang menggunakan arsitektur cloud internasional.

Subsidi Pertanian: MSP dan Dukungan Besar-Besaran

India menawarkan subsidi luas:

  • kredit, asuransi, benih, listrik, bahan bakar, dan input lain,

  • Minimum Support Price (MSP) untuk 25 komoditas,

  • stok publik besar yang memengaruhi keputusan tanam dan perdagangan.

India telah melampaui batas subsidi WTO untuk beras selama empat tahun berturut-turut, namun mengklaim perlindungan melalui Public Stockholding exemption.

Subsidi besar ini menciptakan distorsi harga domestik dan mengurangi permintaan impor, sekaligus meningkatkan daya saing ekspor produk tertentu.

Transparansi Regulasi: Salah Satu Tantangan Terbesar

Dokumen menyimpulkan bahwa salah satu hambatan utama India adalah minimnya transparansi:

  • rancangan regulasi sering diumumkan tanpa masa komentar,

  • notifikasi ke WTO tidak konsisten,

  • aturan baru diberlakukan mendadak,

  • konsultasi publik terbatas atau tidak ada.

Hal ini membuat kepatuhan menjadi tantangan besar bagi eksportir dan investor asing.

Penutup

Struktur kebijakan India menunjukkan pendekatan proteksionis yang berlapis: tarif tinggi, lisensi impor yang ketat, standardisasi nasional, persyaratan SPS dan bioteknologi yang tidak selaras dengan standar global, serta regulasi digital yang semakin mengarah pada isolasi data dan preferensi domestik. Dengan dinamika ini, akses pasar India memerlukan strategi kepatuhan yang disiplin, adaptasi cepat terhadap perubahan regulasi, dan pemantauan berkelanjutan terhadap kebijakan pemerintah pusat maupun negara bagian.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – India Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan India 2025: Tarif Tinggi, Regulasi Impor Ketat, dan Ekspansi Kontrol Digital dalam Ekonomi Berkembang Terbesar Dunia

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 2): SPS, Bioteknologi, Produk Hewan, Regulasi Digital, dan Sektor Layanan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Sebagai pasar tunggal terbesar di dunia, Uni Eropa (UE) memegang pengaruh besar terhadap arsitektur regulasi global. Namun, integrasi internalnya sering menciptakan hambatan baru bagi eksportir dari luar kawasan—terutama melalui kebijakan SPS, regulasi pestisida, standar keamanan pangan, dan aturan digital. Bagian kedua ini menguraikan kelompok hambatan yang secara langsung memengaruhi agrikultur, pangan, teknologi, dan sektor layanan berdasarkan 2025 National Trade Estimate Report – EU Section.

Kebijakan SPS UE: Pendekatan Precautionary yang Menjadi Hambatan Sistemik

Kebijakan SPS UE sering mengadopsi prinsip precautionary yang lebih ketat daripada standar Codex atau WOAH. Tantangannya meliputi:

Beberapa keputusan SPS diambil tanpa konsultasi publik memadai atau notifikasi tepat waktu ke WTO, mengurangi peluang masukan dari pelaku usaha non-UE.

Maximum Residue Limits (MRL) dan Regulasi Pestisida: Divergensi Besar dengan Standar Global

UE terus menurunkan MRL sejumlah zat aktif, seringkali melampaui standar Codex dan praktik negara maju lainnya.

Tantangan utama:

  • MRL dijaga sangat rendah (termasuk default 0,01 mg/kg) bahkan untuk zat yang legal digunakan secara global.

  • Import tolerances sulit diperoleh karena prosesnya lambat, kurang transparan, dan sering ditolak tanpa analisis risiko lengkap.

  • Banyak eksportir menghadapi non-tariff barrier de facto, terutama untuk buah, sayuran, rempah, dan biji-bijian.

Penetapan MRL juga tidak selalu mempertimbangkan pola penggunaan pestisida di negara pengekspor, yang membuat ketidaksesuaian regulasi semakin besar.

Bioteknologi Pertanian: Persetujuan Lambat, Notifikasi Minim, dan Ketergantungan Impor yang Ironis

Uni Eropa sangat bergantung pada impor kedelai, jagung, dan produk pakan berbasis bioteknologi, namun:

  • Proses persetujuan GMO sangat lambat dan politis.

  • Komite tetap negara anggota sering gagal mencapai mayoritas, menyebabkan keputusan kembali ke Komisi yang juga bergerak lambat.

  • UE tidak memproses pemberitahuan WTO untuk perubahan besar dalam penilaian risiko.

  • Regulasi terkait NGT (New Genomic Techniques) masih tertunda dan menambah ketidakpastian.

Akibatnya, ketidakpastian regulasi dapat mengancam stabilitas pasokan pakan Eropa sendiri.

Produk Hewan, Unggas, Seafood, dan Shellfish: Aturan Ketat yang Memperlambat Akses Pasar

a. Daging & Unggas

UE menetapkan berbagai pembatasan:

  • larangan penggunaan antimikroba tertentu meskipun digunakan secara global,

  • persyaratan kesejahteraan hewan yang berbeda antarnegara anggota,

  • aturan pemrosesan daging yang lebih ketat dibanding Codex.

Hal ini mempersulit eksportir yang harus memodifikasi fasilitas hanya untuk memenuhi permintaan pasar UE.

b. Produk Perikanan: Shellfish

Larangan UE terhadap shellfish dari perairan tertentu sering tidak selaras dengan standar WOAH. Sistem klasifikasi air, sampling, dan sanitary measures berbeda dari norma internasional, sehingga akses pasar menjadi terbatas.

Tallow, Animal By-Products, dan Gelatin: Regulasi Sangat Ketat Pasca-BSE

Meski risiko BSE telah menurun global, regulasi UE tetap ekstrem:

  • pembatasan penggunaan tallow & gelatin,

  • persyaratan inspeksi dan sertifikasi yang berbeda-beda antarnegara anggota,

  • persyaratan fasilitas pemrosesan khusus untuk ekspor.

Aturan ini tetap berlaku meskipun lembaga internasional sudah memperbarui standar keamanan.

Food Labeling: Fragmentasi Negara Anggota dan Kasus Alkohol Irlandia

Selain standar label pangan EU-wide, negara anggota masih menambahkan aturan mereka sendiri.

Contoh paling jelas: Irlandia

  • mewajibkan labeling kesehatan untuk alkohol,

  • notifikasi ke WTO dilakukan terlambat,

  • berpotensi menciptakan preseden fragmentasi label di seluruh Eropa.

Hal ini dapat membuat produsen global harus mencetak label khusus per negara.

Wine & Spirits: Pengetatan Aturan Additives dan Viticulture

UE telah memperketat:

  • daftar aditif anggur,

  • aturan enological practices,

  • persyaratan indikasi geografis.

Perubahan sering diumumkan dalam waktu relatif singkat, menyulitkan eksportir yang memerlukan waktu adaptasi proses produksi.

Medical Devices & Pharmaceuticals: Regulasi Baru yang Berat dan Tidak Sinkron

a. Medical Devices Regulation (MDR)

Masalah utama:

  • kapasitas notified bodies tidak cukup,

  • waktu sertifikasi mundur berbulan-bulan,

  • produk berisiko rendah ikut terkena dampak backlog,

  • biaya sertifikasi meningkat signifikan.

b. Pharmaceuticals

  • UE mempertimbangkan revisi besar pharmaceutical legislation, termasuk eksklusivitas data dan akses pasien.

  • Kekhawatiran terbesar pelaku usaha global adalah ketidakpastian atas model regulatory data protection (RDP) yang dapat berubah.

Digital Regulation: GDPR, Data Act, AI Act, dan Hambatan Akses Pasar Teknologi

Uni Eropa memimpin dalam regulasi digital—namun hal ini juga menciptakan hambatan signifikan.

GDPR

  • Transfer data lintas negara memerlukan mekanisme yang rumit (SCC, BCR).

  • Banyak negara non-UE, termasuk AS, tidak dianggap “adequate”.

Data Act

  • Mengatur akses dan penggunaan data industri & IoT.

  • Kekhawatiran: kewajiban membuka data dapat mengurangi insentif investasi dan melanggar IP.

AI Act

  • Persyaratan baru bagi high-risk AI systems.

  • Standar teknis masih belum final, meningkatkan ketidakpastian biaya kepatuhan.

Digital Markets Act (DMA) & Digital Services Act (DSA)

  • Platform besar menghadapi kewajiban kepatuhan berat.

  • Potensi bias terhadap perusahaan non-UE.

Transportasi, Aviation, Maritime, dan Carbon Pricing

Aturan iklim UE juga menciptakan hambatan baru:

  • EU ETS kini mencakup penerbangan internasional, menaikkan biaya maskapai asing,

  • FuelEU Maritime menetapkan persyaratan intensitas karbon yang ketat bagi kapal non-UE,

  • CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) menambah beban dokumentasi dan verifikasi bagi eksportir baja, aluminium, dan pupuk.

Government Procurement: Akses Terbatas bagi Non-EU

UE memiliki rezim modern untuk tender pemerintah, namun:

  • beberapa sektor kunci tertutup bagi perusahaan non-EU,

  • inisiatif International Procurement Instrument (IPI) dapat membatasi akses negara non-reciprocal,

  • negara anggota tidak selalu konsisten mengikuti prinsip keterbukaan.

 

Hambatan perdagangan Uni Eropa pada 2025 memperlihatkan bagaimana dimensi SPS, MRL pestisida, bioteknologi, produk hewan, pangan, farmasi, perangkat medis, serta regulasi digital menjadi sumber tantangan terbesar bagi pelaku usaha global. Berbeda dari hambatan tarif yang relatif rendah, hambatan non-tarif UE justru semakin intensif dan tersebar dalam berbagai regulasi teknis serta kebijakan keamanan pangan.

Pendekatan UE yang sangat berhati-hati—mulai dari penetapan MRL yang sangat rendah, proses GMO yang lambat, hingga aturan SPS yang tidak selalu selaras dengan standar internasional—memaksa eksportir untuk menyiapkan strategi kepatuhan yang jauh lebih kompleks. Sementara itu, kebijakan digital seperti GDPR, Data Act, dan AI Act membentuk lanskap baru yang menuntut investasi besar untuk pemenuhan data, privasi, dan keamanan.

Bagi pelaku usaha internasional, tantangan utama bukan hanya memahami setiap regulasi tersebut, tetapi juga menyesuaikan rantai pasok dan proses internal agar mampu memenuhi persyaratan UE yang berubah cepat, sering tidak seragam antarnegara anggota, dan cenderung semakin ketat. Dalam konteks 2025, keberhasilan mengakses pasar Uni Eropa sangat bergantung pada kesiapan teknis, kemampuan mengelola risiko regulatif, serta adaptasi berkelanjutan terhadap standar yang terus berkembang.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – European Union Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 2): SPS, Bioteknologi, Produk Hewan, Regulasi Digital, dan Sektor Layanan

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 1): Tarif, Customs, Regulasi Teknis, dan Arsitektur Standardisasi yang Semakin Kompleks

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Uni Eropa (UE) merupakan mitra dagang terbesar Amerika Serikat sekaligus salah satu pasar paling terintegrasi di dunia. Namun, kedalaman integrasi internal ini sering kali tidak sejalan dengan akses pasar eksternal, terutama bagi pelaku usaha global yang menghadapi kerangka regulasi kompleks, standar teknis regional, serta proses notifikasi yang tidak selalu transparan. Tahun 2025 memperlihatkan dinamika baru: UE memperluas kebijakan lingkungan, memperketat regulasi kimia, dan menata ulang standardisasi, sehingga hambatan perdagangan semakin berlapis.

Artikel pertama ini mengulas kluster hambatan paling mendasar: kebijakan tarif, prosedur kepabeanan, TBT, standardisasi regional, dan regulasi lingkungan teknis, berdasarkan 2025 National Trade Estimate Report – European Union Section.

Kebijakan Tarif: Tarif Rendah tetapi Struktur Kompleks

Tarif rata-rata MFN UE berada pada level rendah (5%), namun beberapa komoditas masih dikenakan tarif tinggi:

  • hingga 26% untuk ikan dan seafood,

  • 22% untuk truk,

  • 14% untuk sepeda,

  • 10% untuk kendaraan penumpang,

  • 6,5% untuk pupuk dan plastik.

Sistem Meursing

Produk makanan olahan—misalnya cokelat, roti, atau permen—dikenakan tarif berdasarkan kandungan susu, gula, dan pati.

Dampaknya:

  • produk yang secara komersial setara dapat memiliki tarif berbeda,

  • perhitungan tarif kompleks dan menyulitkan eksportir,

  • ketidakpastian tinggi untuk produk inovatif

Walau secara keseluruhan tarif UE tidak agresif, struktur seperti Meursing membuat operasional ekspor lebih rumit dibandingkan banyak pasar maju lain.

Hambatan Impor Non-Tarif: Lisensi, Interpretasi Administratif, dan Ketidakpastian

Beberapa hambatan yang masih terjadi:

Import Licensing – Contoh Kasus Pisang

Italia secara sepihak menafsirkan ulang validitas lisensi pisang pra-2006, memungut tarif retroaktif, dan baru membayar kembali setelah putusan Mahkamah Agung Italia.

Walaupun kasus spesifik, isu ini mencerminkan pola interpretasi negara anggota yang tidak seragam.

Hambatan Kepabeanan: Fragmentasi Administrasi dalam Uni Pabean

Meskipun UE memiliki Union Customs Code (UCC) sebagai aturan tunggal, implementasi di lapangan bersifat terfragmentasi:

  • Setiap negara anggota memiliki otoritas bea cukai dan prosedur administratif sendiri.

  • Perbedaan penafsiran terkait klasifikasi, penilaian nilai, dan asal barang sering terjadi.

  • Mekanisme Binding Tariff Information (BTI) tidak mengikat negara anggota lain.

  • Penyelesaian sengketa memerlukan proses banding di masing-masing negara.

Akibatnya, konsistensi penerapan hukum bea cukai UE masih jauh dari seragam. Proses harmonisasi data UCC bahkan baru diproyeksikan selesai akhir 2025, dengan reformasi besar baru dimulai 2028.

Technical Barriers to Trade (TBT): Proses Regulasi yang Kurang Transparan

Produsen global menghadapi peningkatan jumlah regulasi teknis UE dengan pola masalah sebagai berikut:

Kurangnya Transparansi Notifikasi

  • Banyak draft regulasi diberitahukan ke WTO terlalu terlambat untuk menerima masukan bermakna.

  • Notifikasi sering tidak spesifik atau mengacu pada standar regional yang “belum ada”.

  • Perubahan besar saat negosiasi trilog (Komisi–Parlemen–Dewan) tidak selalu diberi notifikasi ulang.

Konsultasi Publik Tidak Konsisten

Dalam regulasi kimia (REACH dan CLP), proposal sering dipublikasikan setelah diskusi internal selesai—membatasi ruang komentar non-EU.

Dampaknya adalah ketidakpastian regulatif bagi pelaku usaha global, terutama yang mengandalkan waktu penyesuaian produk dan supply chain.

Standardisasi dan Conformity Assessment: Dominasi Standar Regional Eropa

UE menggunakan standar regional EN standards, yang dikembangkan oleh:

  • CEN

  • CENELEC

  • ETSI

Kendala utama:

  • Non-EU hampir tidak dapat berpartisipasi dalam perumusan standar, dan tidak memiliki hak suara.

  • Produk yang mematuhi standar internasional (misalnya ISO/IEC) tidak mendapat presumption of conformity jika tidak sesuai EN.

  • Strategi Standardisasi UE 2022 semakin membatasi partisipasi asing dan mendorong adopsi global terhadap standar UE.

Efeknya adalah technical regionalism—de facto hambatan pasar bagi produk yang diproduksi di luar UE.

Regulasi Kimia: REACH, CLP, dan Ekspansi Prinsip Hazard-Based

REACH dan CLP

Masalah yang dihadapi eksportir:

  • notifikasi ke WTO dilakukan terlambat,

  • basis hazard, bukan risk, mendorong larangan sebelum analisis penggunaan aktual,

  • data requirements berat sehingga sering dianggap “tidak dapat mengukur risiko”.

PFAS Restriction Proposal

Usulan larangan besar-besaran PFAS (2023) berpotensi menghapus penggunaan seluruh kelompok kimia, termasuk:

  • komponen energi terbarukan,

  • semikonduktor,

  • perangkat medis,

  • substitusi untuk zat perusak ozon.

Kekhawatiran utama pelaku usaha global adalah ketiadaan analisis diferensiasi antar-substansi.

F-Gas Regulation (2024)

Pembatasan percepatan phase-out F-gas termasuk HFO (low-GWP), meskipun zat tersebut tidak dibatasi dalam Protokol Montreal.

Peraturan ini berisiko menciptakan ketidaksesuaian antara kebijakan global dan kebijakan UE.

Packaging & Packaging Waste Regulation (2025/40): Ambisius tetapi Berisiko Fragmentasi

Regulasi 2025/40 memperkenalkan persyaratan:

  • minimum recycled content,

  • sertifikasi keberlanjutan bagi daur ulang—termasuk fasilitas di luar UE yang harus memenuhi kriteria UE,

  • harmonisasi lintas negara anggota (berlaku 2026).

UE akan menentukan metodologi verifikasi daur ulang di negara ketiga pada 2026.
Hingga itu terjadi, eksportir menghadapi:

  • ketidakpastian sertifikasi,

  • potensi duplikasi audit,

  • tingginya biaya penyesuaian

Emerging Barriers: Labeling Alkohol dan Perubahan Regulasi di Level Negara Anggota

Contoh terbaru adalah regulasi labeling alkohol Irlandia, yang:

  • diberitahukan terlambat,

  • tidak memberi waktu komentar yang cukup,

  • berpotensi menciptakan preseden fragmentasi standar pangan di dalam UE.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa ketidakpastian regulatif tidak hanya berasal dari Brussels, tetapi juga dari kebijakan domestik negara anggota.

Hambatan perdagangan UE pada 2025 menunjukkan pola yang jelas: regulasi teknis dan standardisasi menjadi arena utama hambatan baru, menggantikan tarif yang relatif rendah. Pelaku usaha global menghadapi:

  • prosedur bea cukai yang tidak seragam,

  • standardisasi regional yang menutup partisipasi asing,

  • kebijakan lingkungan yang cepat berubah,

  • dan notifikasi TBT yang kurang transparan.

Artikel 2 akan membahas SPS, MRL pestisida, bioteknologi pangan, produk hewan, shellfish, tallow, regulasi farmasi, medical devices, serta aturan digital dan data seperti GDPR dan Data Act—separuh kedua dari hambatan UE yang sama kompleksnya.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – European Union Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan Uni Eropa 2025 (Bagian 1): Tarif, Customs, Regulasi Teknis, dan Arsitektur Standardisasi yang Semakin Kompleks

Perekonomian Global

Hambatan Perdagangan di Honduras 2025: Distorsi Lisensi Impor, Ketidakpastian Regulasi, dan Tantangan Sektor Distribusi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025


Sebagai bagian dari Central American Common Market (CACM) dan anggota CAFTA–DR, Honduras memiliki kerangka liberalisasi perdagangan yang relatif maju dibandingkan beberapa negara Amerika Tengah lainnya. Namun, praktik administratif, mekanisme lisensi impor yang semakin kompleks, serta hambatan struktural dalam sektor distribusi membuat kondisi akses pasar tidak selalu sesuai dengan komitmen integrasi tersebut. Tahun 2025 menunjukkan bahwa Honduras berada pada persimpangan antara liberalisasi formal dan kendala implementasi di lapangan.

Kebijakan Tarif: CACM yang Terharmonisasi dan CAFTA–DR sebagai Pendorong Liberalitas

Honduras menetapkan tarif eksternal CACM dengan tarif maksimum 15% untuk sebagian besar barang. Namun, di bawah CAFTA–DR:

  • seluruh barang non-pertanian dari AS sudah bebas bea sejak 2015,

  • hampir semua produk pertanian dari AS juga bebas bea,

  • tarif beras dan chicken leg quarters dihapus pada 2023,

  • tarif produk susu dihapus pada 2025,

  • liberalisasi jagung putih dilakukan melalui perluasan TRQ secara bertahap.

Meskipun struktur tarif relatif ramah pasar, akses riil sering tertahan pada hambatan non-tarif yang semakin kompleks.

Hambatan Non-Tarif: Sistem Lisensi Impor yang Berlapis dan Lambat

Mulai 2023–2024, Honduras mengadopsi beberapa sistem lisensi impor baru untuk produk-produk sensitif:

a. Lisensi Impor untuk Unggas dan Beras (2023)

Karakteristik hambatan:

  • kewajiban berinteraksi dengan banyak lembaga pemerintah,

  • dokumen harus melalui SENASA, Kementerian Pertanian, Kementerian Pembangunan Ekonomi, dan Bea Cukai,

  • terdapat sekitar delapan langkah tambahan di setiap institusi,

  • beberapa dokumen awalnya harus diserahkan secara fisik.

Setelah tekanan diplomatik, Honduras memperbolehkan pengunggahan dokumen secara elektronik, namun proses birokrasi tetap lambat dan tidak terkoordinasi.

b. Lisensi Impor Bawang (2024)

Aturan dalam Ministerial Agreement 071-2024 memperpanjang kompleksitas serupa ke komoditas bawang.
Akibatnya, importir menghadapi:

  • waktu proses yang tidak menentu,

  • kesulitan memenuhi persyaratan multi-agency,

  • potensi penundaan ketika perizinan tidak disinkronkan antar lembaga.

Walaupun Honduras berjanji untuk memberi notifikasi terhadap WTO sesuai kewajiban CAFTA–DR, hingga akhir 2024 belum ada notifikasi yang disampaikan. Situasi ini menciptakan risiko ketidakpatuhan pada aturan perdagangan internasional.

Pajak Diferensial Berdasarkan Bahasa Label: Inkonsistensi Regulasi Pangan

Honduras menerapkan 15% sales tax terhadap produk iga babi jika label menggunakan bahasa Inggris, tetapi menganggap produk yang sama sebagai “kebutuhan pokok” dan bebas pajak apabila diberi label dalam bahasa Spanyol.

Ketidakkonsistenan ini menimbulkan:

  • beban biaya tambahan bagi eksportir yang menggunakan labeling standar internasional,

  • risiko perlakuan diskriminatif,

  • ketidakpastian tarif yang tidak sesuai prinsip CAFTA–DR.

AS telah meminta revisi regulasi ini agar tidak terjadi pembedaan berdasarkan bahasa label.

Perlindungan Kekayaan Intelektual: Penegakan Lemah dalam Lingkungan Risiko Tinggi

Honduras menghadapi tantangan besar dalam penegakan IP:

  • pembajakan perangkat lunak,

  • cable signal piracy,

  • penjualan barang bajakan secara komersial,

  • rendahnya tingkat penuntutan dan tindakan hukum.

Meskipun kerangka hukum dipengaruhi oleh CAFTA–DR, kapasitas penegakan terbatas dan infrastruktur hukum belum mampu mengatasi tingginya tingkat pelanggaran digital.

Hambatan Layanan Distribusi: Keberlanjutan Decree Law No. 549

Honduras masih memberlakukan beberapa aspek dari Decree Law No. 549 (1977) mengenai agen dan distributor, meskipun sebagian ketentuannya seharusnya tidak berlaku untuk produk AS di bawah CAFTA–DR.

Akibatnya:

  • perusahaan asing dapat dipaksa bekerja dengan distributor lokal,

  • distributor lokal dapat mendaftarkan diri sebagai satu-satunya distributor resmi,

  • eksportir AS melaporkan kasus produk mereka ditolak masuk karena sengketa distribusi.

Hambatan ini menciptakan risiko komersial dan menghambat kompetisi.

Isu Ketenagakerjaan: Standar Tenaga Kerja dan Pemantauan CAFTA–DR

Walaupun laporan DOL 2015 menjadi acuan penting dan pemantauan masih berlangsung, Honduras tetap menghadapi masalah struktural:

  • hak kebebasan berserikat,

  • negosiasi kolektif,

  • perlindungan usia kerja,

  • kondisi kerja sektor pertanian, pengolahan, dan tekstil.

Isu ini memengaruhi persepsi risiko investasi dan berpotensi membawa implikasi perdagangan dalam kerangka CAFTA–DR.

Penutup: Hambatan Baru dalam Sistem yang Semestinya Liberal

Secara formal, Honduras memiliki komitmen liberalisasi yang kuat di bawah CAFTA–DR dan CACM. Namun implementasi di lapangan menunjukkan tren baru:

  • birokrasi lisensi impor yang semakin rumit,

  • pengenaan pajak yang tidak konsisten,

  • hambatan distribusi yang mengakar,

  • dan lemahnya penegakan IP.

Pelaku usaha global yang beroperasi di Honduras pada 2025 perlu mempertimbangkan risiko administratif yang tinggi sekaligus memantau perubahan regulasi yang sering tidak diberitahukan. Dalam konteks seri hambatan perdagangan internasional, Honduras menjadi ilustrasi negara dengan liberalisasi formal tetapi realitas operasional yang penuh friksi.

 

Daftar Pustaka

Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Honduras Section.

Selengkapnya
Hambatan Perdagangan di Honduras 2025: Distorsi Lisensi Impor, Ketidakpastian Regulasi, dan Tantangan Sektor Distribusi
« First Previous page 2 of 7 Next Last »