Hambatan Perdagangan Indonesia 2025: Tarif Tinggi, Lisensi Impor Berlapis, Regulasi Halal, dan Kontrol Digital di Ekonomi Terbesar Asia Tenggara

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

02 Desember 2025, 22.45

Indonesia memasuki 2025 sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan aktor penting dalam rantai pasok global. Namun, akses pasar tetap menghadapi berbagai hambatan—mulai dari tarif tinggi, lisensi impor multi-level, persyaratan halal menyeluruh, hingga regulasi digital yang sangat intervensif. Struktur regulasi Indonesia mencerminkan kombinasi proteksionisme industri, keamanan pangan yang ketat, dan kebijakan digital yang menuntut lokalisasi proses bisnis.

Tarif dan Pajak: Struktur Tinggi dan Berubah Cepat

Indonesia mempertahankan tarif rata-rata 8%, namun banyak sektor dijaga melalui tarif yang meningkat bertahap dalam satu dekade terakhir—mulai dari elektronik, kimia, kosmetik, hingga hasil pertanian.

Tarif bound di WTO relatif tinggi (rata-rata 37%), memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif sewaktu-waktu. Tarif untuk sektor tertentu bahkan mencapai:

  • Besi dan baja: hingga 20%

  • Tekstil: 5–25%

  • Sepeda: 25–40%

  • Kosmetik: 10–15%

  • Jam tangan: 10%

  • Sepatu: 5–30%

Kekhawatiran khusus muncul pada produk ICT berkode HS 8517, di mana tarif seharusnya 0% menurut bound rate WTO, tetapi Indonesia menerapkan 10%.

Selain itu, kebijakan tarif digabungkan dengan pajak impor tambahan:

  • Income Tax Article 22 untuk 1.188 HS code (7,5%),

  • 716 HS code (10%),

  • prepayment pajak restitusi yang sering memakan waktu bertahun-tahun.

Lisensi Impor: Struktur Paling Rumit di Asia Tenggara

Indonesia menerapkan salah satu rezim lisensi impor paling kompleks di kawasan. Sistem ini mencakup:

a. API-U dan API-P

  • Perusahaan tidak boleh memiliki keduanya sekaligus.

  • API-P dibatasi hanya untuk barang baru dan sesuai izin usaha.

b. OSS (Online Single Submission)

Sistem tunggal yang seharusnya menyederhanakan proses, justru sering menimbulkan:

  • gangguan teknis,

  • tidak sinkron antara pusat dan daerah,

  • memerlukan NIB untuk hampir semua aplikasi.

c. Commodity Balance System (Perpres 61/2024)

Sistem yang mengontrol impor berdasarkan neraca permintaan–penawaran nasional mencakup:

  • gula, beras, daging, garam, ikan,

  • 19 produk tambahan sejak 2023,

  • ekspansi ke bawang putih (2025), dan apel–anggur–jeruk (2026).

Kebijakan sering berubah di awal tahun, menciptakan ketidakpastian dan backlog perizinan.

d. MOT Regulation 36/2023

Mengatur hampir 4.000 HS code, mewajibkan impor disertai:

  • pengungkapan data komersial rinci,

  • rekomendasi teknis,

  • persetujuan tambahan untuk komoditas tertentu.

Regulasi ini menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan pada Mei 2024.

Meskipun sebagian dilonggarkan oleh MOT 8/2024, aturan ini tetap berlaku penuh untuk besi–baja, ban, bahan kimia hulu, dan beberapa tekstil.

SPS dan Pertanian: Lisensi Berlapis serta Kendali Kuantitatif

Indonesia memiliki pendekatan yang sangat administratif terhadap produk pertanian dan hewan.

a. Horticulture Import Regime

  • RIPH masih diwajibkan (MOA 5/2022).

  • Lisensi impor juga bergantung pada cold storage dan rencana distribusi.

Menjadi hambatan struktural karena perizinan dapat tertunda jika neraca komoditas belum ditetapkan.

b. Quantitative Restrictions

  • Gula, beras, garam, daging, dan jagung impor dibatasi kuota tahunan.

  • Harga referensi untuk cabai, bawang, kedelai, jagung, telur, dan minyak goreng memicu intervensi BULOG.

c. BAPANAS & BULOG

  • BULOG memiliki monopoli impor untuk beras medium, jagung pakan, dan kedelai cadangan pangan.

  • Industri pakan sering kekurangan jagung karena harus membeli dari BULOG dengan prioritas peternak kecil.

4. Prosedur Fasilitas Hewan & Produk Ternak: Biaya Tinggi dan Inspeksi Wajib

Indonesia mensyaratkan pre-registration semua fasilitas yang mengekspor:

  • daging,

  • susu,

  • telur,

  • rendering products.

MOA 15/2021 mewajibkan:

  • desk audit,

  • inspeksi on-site,

  • post-audit review,

  • biaya perjalanan dan penginapan auditor ditanggung eksportir.

Biaya dapat mencapai lebih dari USD 10.000 per fasilitas.

TBT: Kewajiban Uji & Sertifikasi Domestik

Indonesia memberlakukan standardisasi ketat melalui:

a. Mandatory Domestic Testing

  • Untuk mainan, elektronik, peralatan rumah tangga, dan telekomunikasi.

  • Per shipment testing untuk barang impor, tetapi hanya 6 bulan sekali untuk produksi domestik.

b. GR 28/2021 & MOI 45/2022

  • Semua pengujian harus dilakukan oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia.

  • Menambah hambatan teknis bagi produk dengan sertifikasi internasional.

Halal Certification: Cakupan Paling Luas di Dunia

Law 33/2014 dan peraturan turunannya mewajibkan halal untuk:

  • pangan, minuman,

  • kosmetik,

  • obat,

  • produk biologi,

  • kimia,

  • GMO,

  • konsumer & household products.

Deadline phased-in:

  • makanan minuman: 2024 → diperpanjang hingga 2026,

  • kosmetik & OTC meds: 2026,

  • medical devices A–C: 2026–2034,

  • medical devices D: 2039.

Persoalan:

  • notifikasi ke WTO dilakukan setelah aturan berlaku,

  • persyaratan redundant untuk akreditasi HCB,

  • rasio auditor yang tidak logis,

  • banyak dokumen diminta berulang.

Perdagangan Digital: Regulasi Ketat dan Pengawasan Sistem Elektronik

a. GR 71/2019 & Permenkominfo 5/2020 dan 10/2021

Mengharuskan ESOs (termasuk platform asing) untuk:

  • mendaftar ke Kominfo,

  • mematuhi perintah takedown dalam waktu singkat,

  • memberikan akses sistem & data untuk penegakan hukum.

Khawatiran industri:

  • definisi konten terlarang terlalu luas,

  • mekanisme banding hampir tidak ada.

b. NPG (National Payment Gateway)

  • Data transaksi debit & kredit domestik harus diproses di Indonesia.

  • Kepemilikan asing dibatasi 20% untuk switching companies.

c. QRIS

Standar QR nasional diberlakukan tanpa konsultasi memadai dengan penyedia global.

Local Content (TKDN): Persyaratan Tinggi pada ICT dan Elektronik

Indonesia mewajibkan persentase TKDN pada:

  • ponsel 4G-LTE: 35%,

  • base station 4G-LTE: 40%,

  • wireless broadband equipment: 30–40%,

  • set-top box & TV: 20%+,

  • perangkat IP network tertentu.

Persyaratan ini menjadi hambatan bagi produk global teknologi tinggi yang memiliki supply chain multinasional.

Pemerintah sebagai Pembeli: Preferensi Domestik Mendalam

Pengadaan pemerintah diwajibkan memprioritaskan produk lokal minimal 40%. Dalam sektor medis, 79 kategori alat kesehatan impor dihapus dari e-Katalog secara tiba-tiba pada 2021.

Sektor Jasa: Pembatasan Kepemilikan & Operasi

Film

  • kuota 60% film lokal,

  • pelarangan dubbing film asing (aturan belum semuanya ditegakkan).

Logistik & Kurir

  • kepemilikan asing wajib minoritas,

  • operasi dibatasi pada kota tertentu.

Perbankan & Fintech

  • batas kepemilikan asing 40%–49%, dengan pengecualian berbasis penilaian OJK.

  • operator sistem pembayaran dibatasi maksimal 49% voting share (front-end) dan 20% (back-end).

IP Protection: Enforcement Lemah dan Pasar Pemalsuan Besar

Indonesia masih masuk Priority Watch List dengan:

  • maraknya pembajakan & penjualan produk palsu,

  • penegakan lemah,

  • pasar Mangga Dua & marketplace online terdaftar dalam Notorious Markets.

Ekspor dan Energi: Larangan Mineral dan DMO Migas

Larangan ekspor nikel, bauksit, timah, dan mineral lain—dibatalkan oleh WTO panel pada 2022 namun tetap diberlakukan melalui banding.

Dalam migas, kontrak PSC dapat direvisi pemerintah; DMO mewajibkan 25% produksi dijual domestik dengan harga diskon.

Penutup

Hambatan perdagangan Indonesia tahun 2025 memperlihatkan pola konsisten: kombinasi proteksionisme tarif, lisensi impor yang berlapis, standardisasi nasional (QCO & halal), serta kebijakan digital dan local content yang semakin memperkuat preferensi domestik. Kompleksitas perizinan, perubahan mendadak, dan koordinasi regulatif yang tidak sinkron menciptakan ketidakpastian yang mengharuskan pelaku usaha global menyiapkan strategi kepatuhan yang adaptif dan terus-menerus dipantau.