Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi dan upaya perdamaian sering menjadi dua hal yang bertolak belakang, tetapi dalam praktiknya, keduanya kerap bersinggungan. Dalam konteks negara pasca-konflik seperti Sierra Leone, praktik korupsi justru menyusupi proyek-proyek yang bertujuan membangun perdamaian berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Hajaratu Sama (2021) ini memfokuskan pada United Nations Peacebuilding Fund (UNPBF), yang sejak 2007 telah menggelontorkan lebih dari $57 juta untuk berbagai proyek rekonstruksi dan penguatan kapasitas institusional di negara tersebut.
Dengan menganalisis dua proyek utama UNPBF, penelitian ini membongkar bagaimana korupsi terjadi di tingkat formal dan informal, melibatkan aparat hukum, pejabat lokal, dan bahkan tokoh masyarakat seperti chiefs dan mammy queens. Penelitian ini tidak hanya menjadi cermin realitas Sierra Leone, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang rapuhnya pendekatan liberal peacebuilding jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat.
Latar Belakang dan Konteks Penelitian
Sierra Leone mengalami konflik sipil selama lebih dari satu dekade (1991–2002) yang mengakibatkan lebih dari 200.000 kematian dan kehancuran masif. Salah satu penyebab utamanya adalah korupsi sistemik, kolusi politik, dan ketimpangan distribusi sumber daya (Lucey & Kumalo, 2018). Pasca-konflik, negara ini menjadi salah satu penerima dana UNPBF terbesar di Afrika.
Proyek yang dianalisis dalam studi ini:
Kerangka Teoritis: Korupsi dalam Perspektif Pasca-Konflik
Korupsi dalam situasi pasca-konflik didefinisikan sebagai kombinasi antara:
Dalam konteks liberal peacebuilding, proyek seperti UNPBF yang menitikberatkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan pasar bebas sering kali gagal menangkal praktik korupsi karena:
Temuan Utama: Pola dan Mekanisme Korupsi dalam Proyek UNPBF
1. Korupsi dalam Rekrutmen dan Registrasi Penerima Manfaat
2. Bribery dan Perlindungan dari Hukum
3. Korupsi dalam Lembaga Yudisial
4. Nepotisme dan Favouritism
5. Duplikasi Penerima Bantuan
Normalisasi dan Denial: Hambatan Utama Penanganan Korupsi
Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi dalam proyek UNPBF bukan sekadar deviasi personal, melainkan telah terinstitusionalisasi dan dinormalisasi dalam masyarakat. Ironisnya, banyak pejabat lokal dan pelaksana proyek justru menyangkal keberadaan korupsi atau menganggapnya tidak signifikan.
Salah satu mammy queen bahkan mengatakan, "Saya tidak melihat adanya penyimpangan. Semua sesuai prosedur" (R13, 2021). Sikap denial ini memperlihatkan pentingnya intervensi yang tidak hanya struktural, tetapi juga kultural.
Studi Banding dan Konteks Global
Temuan dari Sierra Leone sejalan dengan kondisi di negara pasca-konflik lainnya:
Rekomendasi Strategis: Reformasi di Semua Tingkat
1. Penguatan Penegakan Hukum
2. Reformasi Tata Kelola Proyek
3. Perubahan Budaya Sosial
4. Reformasi Struktural dalam UNPBF
Kesimpulan
Korupsi dalam proyek perdamaian bukan hanya merusak proses pembangunan, tetapi juga memperpanjang potensi konflik dan ketidakstabilan sosial. Studi kasus UNPBF di Sierra Leone memperlihatkan bahwa alokasi dana yang besar tanpa sistem pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan bentuk baru dari penindasan dan ketidakadilan.
Jika tidak ada transformasi mendasar dalam pendekatan liberal peacebuilding, proyek-proyek serupa akan terus melestarikan korupsi atas nama pembangunan. Oleh karena itu, solusi bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga politis dan kultural: mendorong akuntabilitas, menumbuhkan partisipasi lokal yang kritis, dan memutus mata rantai patronase.
Sumber asli:
Sama, H. (2021). Post-Conflict Corruption and Peacebuilding: The Case of the UN Peacebuilding Fund in Sierra Leone. International Institute of Social Studies, The Hague.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi adalah momok serius dalam administrasi publik, bukan hanya karena dampaknya terhadap ekonomi, tapi juga karena menurunkan legitimasi pemerintah di mata publik. Studi terbaru oleh Nguyen Thi Thu Hoa dan Nguyen Nghi Thanh (2023) dari Vietnam menyajikan pendekatan kuantitatif untuk mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap efektivitas pengendalian korupsi di administrasi publik negara tersebut.
Penelitian ini menggunakan model regresi linier multivariat terhadap 200 responden di Hanoi untuk menguji pengaruh lima dimensi utama: institusional, budaya, politik, ekonomi, dan individu. Temuan studi ini memperkuat pentingnya membangun kerangka kerja tata kelola yang kuat, khususnya dalam konteks negara berkembang yang menghadapi tantangan sistemik dalam pemberantasan korupsi.
Latar Belakang: Kenapa Vietnam?
Meskipun Vietnam mencatat pertumbuhan ekonomi pesat, korupsi tetap menjadi penghambat utama. Fenomena ini:
Pemerintah Vietnam telah mengambil berbagai langkah seperti UU Antikorupsi (2005) dan Strategi Nasional Antikorupsi (2020), namun hasilnya belum maksimal. Oleh karena itu, studi berbasis persepsi publik menjadi penting untuk merancang strategi berbasis bukti.
Metodologi: Analisis Statistik untuk Memahami Persepsi
Studi ini menggunakan:
Semua variabel—institusional (β=0.114), budaya (β=0.122), politik (β=0.229), ekonomi (β=0.177), dan individu (β=0.216)—berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi.
Hasil dan Analisis Faktor
1. Faktor Institusional
Institusi yang efektif berperan sebagai benteng utama pengendalian korupsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa:
Implikasi: Pemerintah perlu membangun kerangka hukum yang lebih transparan dan memperkuat fungsi pengawasan lintas sektor.
2. Faktor Budaya
Nilai-nilai sosial, norma etika, dan tingkat toleransi terhadap korupsi sangat berpengaruh. Di Vietnam:
Solusi: Edukasi publik, kampanye etika, dan promosi nilai-nilai integritas perlu digalakkan dari level pendidikan dasar.
3. Faktor Politik
Faktor ini memiliki pengaruh paling signifikan (β=0.229) terhadap persepsi publik. Stabilitas politik, integritas pemimpin, dan komitmen pemerintah terhadap antikorupsi terbukti sangat memengaruhi kepercayaan.
Contoh konkret: Konsistensi kampanye antikorupsi oleh Partai Komunis Vietnam meningkatkan persepsi, tetapi disertai kekhawatiran akan efek “pembungkaman” terhadap oposisi.
Rekomendasi: Upaya antikorupsi harus dibebaskan dari politisasi, dengan memastikan independensi lembaga pengawas.
4. Faktor Ekonomi
Ketimpangan ekonomi dan lemahnya sistem manajemen keuangan negara dapat menciptakan insentif tinggi untuk korupsi. Studi ini mencatat:
Kebijakan strategis: Penguatan sistem pengadaan barang/jasa, pelaporan belanja negara berbasis digital, dan penguatan peran auditor negara.
5. Faktor Individu
Nilai-nilai pribadi seperti integritas, tingkat pendidikan, dan kesadaran moral berperan penting. Studi ini menunjukkan:
Kritik penting: Regulasi tidak cukup tanpa budaya antikorupsi yang ditanamkan dalam individu sejak dini melalui pendidikan formal dan informal.
Kritik & Batasan Studi
Namun demikian, studi ini berhasil memberikan gambaran empiris awal yang relevan, mengisi celah dalam literatur yang selama ini terlalu kualitatif.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan hasil penelitian, berikut langkah-langkah konkret yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kepercayaan publik:
Kesimpulan
Kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi adalah fondasi utama bagi tata kelola yang sehat. Studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengendalian korupsi tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup aspek institusi, budaya, politik, ekonomi, dan individu.
Dengan memperkuat seluruh pilar tersebut secara simultan, negara-negara seperti Vietnam dapat memperkuat integritas sistem administrasi publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sumber asli:
Hoa, N. T. T., & Thanh, N. N. (2023). Factors Affecting Corruption Control in Public Administration: Evidence from Vietnam. Journal of Law and Sustainable Development, 11(12), 1–32.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.
Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.
Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal
1. Penegakan Kartel
Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:
Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.
2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap
Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.
Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.
3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja
Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.
Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).
4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota
Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:
Contoh paling gamblang adalah:
Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi
1. Regulasi (dan Deregulasi)
Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:
2. Insentif Struktural dan Budaya
Industri konstruksi memiliki struktur unik:
Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.
3. Ekonomi Transisi
Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:
4. Kekuatan Diskresioner
Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:
Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.
Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia
Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.
Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:
Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.
Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Sektor konstruksi global mengalami kerugian hingga $340 miliar per tahun akibat korupsi, menurut American Society of Civil Engineers (2004). Praktik-praktik tidak etis seperti suap, penggelapan, dan pemalsuan dokumen membebani anggaran publik, menurunkan kualitas infrastruktur, serta memperparah ketimpangan sosial.
Artikel berjudul “Accountability to Prevent Corruption in Construction Projects” karya M. Sohail dan S. Cavill menyajikan kerangka konseptual yang menghubungkan korupsi, norma budaya, etika, dan akuntabilitas. Penulis menyusun pendekatan multidimensi berbasis praktik nyata di berbagai negara untuk mengatasi korupsi di sektor konstruksi, baik di negara maju maupun berkembang.
Kerangka Konseptual: Empat Pilar Utama
Penulis mengembangkan model konseptual berbasis empat komponen:
Setiap elemen saling terkait melalui empat fungsi:
Kerangka ini tidak hanya teoritis, melainkan juga dilengkapi dengan studi kasus dan inisiatif nyata dari berbagai belahan dunia, membuatnya relevan untuk implementasi kebijakan antikorupsi di sektor konstruksi.
Korupsi dalam Proyek Infrastruktur: Pola, Dampak, dan Contoh
Korupsi dalam konstruksi terjadi di seluruh tahapan:
Contoh nyata:
Kasus Lesotho Highlands Water Project, di mana CEO proyek menerima suap dari lebih dari 12 perusahaan, berujung pada hukuman 12 tahun penjara dan pencoretan beberapa perusahaan dari daftar kontraktor Bank Dunia.
Norma Budaya dan Perilaku Koruptif: Antara Tradisi dan Pelanggaran
Dalam beberapa budaya, praktik seperti pemberian hadiah, guanxi (Tiongkok), atau blat (Rusia) dianggap wajar dalam membina relasi bisnis. Namun, toleransi terhadap perilaku tersebut dapat membuka celah korupsi sistemik.
Penulis menyarankan agar upaya antikorupsi bersifat kontekstual, memperhatikan dinamika sosial dan budaya lokal. Misalnya, pendekatan yang berhasil di Brasil belum tentu efektif di Afrika Sub-Sahara.
Etika dan Nilai Profesional: Lebih dari Sekadar Aturan
Etika dalam sektor konstruksi meliputi:
Penekanan pada pelatihan etika bagi pekerja konstruksi dianggap lebih efektif daripada sekadar menegakkan aturan tertulis. Organisasi seperti Royal Academy of Engineering dan Society of Construction Law telah mengembangkan kode etik sektoral.
Inisiatif global:
Sebanyak 19 perusahaan konstruksi internasional dengan total pendapatan lebih dari $70 miliar menandatangani Business Principles for the Construction Sector untuk menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap suap dan kolusi.
Akuntabilitas: Mekanisme Formal untuk Mengendalikan Korupsi
Akuntabilitas didefinisikan sebagai kewajiban pihak A untuk menjelaskan tindakannya kepada pihak B dan menerima sanksi bila terjadi penyimpangan (Schedler et al., 1999). Penerapannya meliputi:
Studi kasus:
Di Filipina, CCAGG (Concerned Citizens of Abra for Good Government) melatih warga untuk mengaudit proyek-proyek konstruksi. Hasilnya, kualitas pekerjaan meningkat dan pengeluaran fiktif menurun drastis.
Praktik Internasional: Studi Kasus dan Hasil
1. Integrity Pact
Digunakan di berbagai negara, termasuk Pakistan, Indonesia, dan Jerman (Bandara Internasional Berlin). Pihak pemerintah dan kontraktor menandatangani komitmen untuk tidak menyuap atau menerima suap.
2. Penggunaan Teknologi
Situs seperti www.licitenet.com di Ekuador memberikan akses publik terhadap proses tender dan kontrak.
Korea Selatan menerapkan e-procurement sejak 1998. Proses pengadaan daring ini berhasil:
Tantangan dan Penegakan
Korupsi sering tidak terdeteksi karena:
Data penting:
Survei oleh PricewaterhouseCoopers (2003) atas 184 perusahaan konstruksi di 44 negara menunjukkan bahwa sepertiga pernah mengalami kejahatan ekonomi terkait korupsi.
Solusi:
Rekomendasi Strategis: Operasionalisasi Kerangka Kerja
Contoh sukses:
Penggunaan Right to Information Act oleh LSM Parivartan di India berhasil membongkar korupsi dalam proyek pembangunan fasilitas publik di Delhi.
Kesimpulan
Korupsi dalam konstruksi bukan hanya soal uang, tetapi menyangkut kualitas hidup masyarakat. Tanpa akuntabilitas, etika, dan pemahaman budaya, strategi antikorupsi hanya akan jadi formalitas. Makalah ini menekankan bahwa upaya pencegahan harus:
Dengan kerangka kerja yang kuat dan kemauan politik yang konsisten, industri konstruksi dapat dibersihkan dari praktik korupsi dan menjadi tulang punggung pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Sohail, M., & Cavill, S. (2008). Accountability to Prevent Corruption in Construction Projects. Journal of Construction Engineering and Management, ASCE.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Fraud telah lama menjadi masalah kronis dalam industri konstruksi global. Di Indonesia, fenomena ini merambah ke berbagai level proyek, mulai dari penggelembungan harga material, manipulasi kontrak, hingga gratifikasi pada pihak pemberi proyek. Makalah berjudul "Fraud Risk Management in Construction Company: A Case Study in Indonesia" oleh Wininda N. Apriyanti dan Kurnia Irwansyah Rais (2020) mengangkat studi kasus PT XYZ—sebuah perusahaan konstruksi nasional—sebagai representasi nyata dari tantangan dan solusi sistemik dalam mengelola risiko fraud.
Melalui pendekatan kualitatif dan teori fraud triangle serta model Fraud Risk Management Maturity dari Ernst & Young dan kerangka KPMG, penelitian ini menyajikan analisis mendalam tentang sebab, jenis, serta upaya mitigasi fraud di sektor konstruksi.
Tingginya Risiko Fraud dalam Industri Konstruksi
Berdasarkan studi dari American Society of Civil Engineers, korupsi dan fraud menyebabkan kerugian hingga USD 340 miliar per tahun secara global dalam proyek konstruksi. Di Indonesia sendiri, riset ini mengungkap bahwa perusahaan seperti PT XYZ sangat rentan terhadap fraud karena:
Menurut laporan ACFE (2018), rata-rata 7% pendapatan tahunan perusahaan hilang karena fraud, yang selain merugikan secara finansial juga berdampak pada reputasi dan kelangsungan bisnis.
Delapan Skema Fraud yang Terjadi di PT XYZ
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 8 skema fraud utama berdasarkan wawancara dan observasi langsung di proyek PT XYZ:
1. Pengalihan Pembelian (Diverted Purchases)
Material yang dipesan atas nama perusahaan justru dialihkan ke proyek lain yang bukan milik perusahaan. Hal ini terjadi karena tidak ada pemisahan fungsi antara pengguna material dan divisi pembelian.
Kategori fraud triangle: Opportunity.
2. Penggelembungan Harga Material (Inflated Prices)
Proyek mengalami pembengkakan biaya karena harga material yang dinaikkan melalui kerja sama fiktif antara pemasok dan manajer proyek.
Kategori: Opportunity.
3. Ketidaksesuaian Volume/Kualitas Material
Invoice menunjukkan volume/kualitas lebih tinggi dari kenyataan, tapi tak ada saluran pelaporan (whistleblowing). Kadang penerima barang justru ikut menerima bagian dari fraud.
Kategori: Opportunity dan Rationalization.
4. Penagihan Tambahan dari Subkontraktor
Meski kontraknya berbentuk lump sum, subkontraktor menagih berdasarkan waktu dan material. Hal ini disetujui tanpa verifikasi kontrak yang tepat oleh staf keuangan.
Kategori: Opportunity.
5. Biaya Sosial yang Digelembungkan
Proyek membayar “biaya sosial” ke masyarakat sekitar melebihi kebutuhan aktual, sering kali dengan kolusi antara manajer proyek dan staf lapangan.
Kategori: Opportunity.
6. Penyalahgunaan Alat Berat
Saat tidak digunakan, alat berat milik perusahaan disewakan ke pihak luar untuk keuntungan pribadi staf proyek.
Kategori: Rationalization.
7. Penyalahgunaan Sisa Material
Sisa material proyek dijual pribadi oleh staf proyek tanpa pelaporan resmi. Bahkan, pada tahap perencanaan material sudah dilebihkan.
Kategori: Opportunity dan Rationalization.
8. Gratifikasi kepada Pemilik Proyek
Praktik gratifikasi untuk memenangkan tender menyebabkan kerugian bagi perusahaan secara etis dan finansial. Ini juga merusak budaya perusahaan.
Kategori: Rationalization.
Akar Masalah: Financial Pressure dan Budaya Organisasi
Penelitian ini menyoroti bahwa akar utama fraud di PT XYZ adalah tekanan finansial yang tidak bisa dibagikan secara sosial (non-shareable). Salah satu contoh: manajer proyek yang menikah diam-diam dan memiliki beban biaya tambahan, kemudian melakukan fraud untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, faktor opportunity dan rationalization juga memperparah situasi. Kurangnya sistem whistleblowing, lemahnya segregasi tugas, dan tidak adanya sanksi yang konsisten menciptakan ruang yang nyaman untuk pelaku fraud.
Tingkat Kematangan Manajemen Risiko Fraud di PT XYZ
Dengan menggunakan model Fraud Risk Management Maturity dari Ernst & Young, PT XYZ dinilai masih berada di tingkat dasar (basic) pada mayoritas komponennya:
Kondisi ini menunjukkan bahwa meski sudah ada struktur formal, praktik manajemen risiko fraud masih sangat terbatas dalam pelaksanaan nyata di lapangan.
Framework Solusi: Fraud Risk Management KPMG
Penulis mengadaptasi kerangka dari KPMG (2014) dan menyesuaikannya dengan kondisi PT XYZ, yang bersifat perusahaan privat keluarga. Framework ini terdiri atas:
A. Fraud Risk Prevention
B. Fraud Detection
C. Fraud Response
Kesimpulan dan Implikasi Praktis
Penelitian ini menunjukkan bahwa fraud dalam proyek konstruksi bukan hanya persoalan individu, tetapi hasil dari sistem yang lemah dan budaya organisasi yang permisif. Dengan pendekatan berbasis kerangka seperti dari EY dan KPMG, perusahaan seperti PT XYZ dapat menyusun strategi manajemen risiko fraud yang komprehensif dan kontekstual.
Rekomendasi kunci:
Jika diterapkan secara konsisten, framework ini tidak hanya melindungi perusahaan dari kerugian tetapi juga meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik terhadap sektor konstruksi di Indonesia.
Sumber :
Apriyanti, W. N., & Rais, K. I. (2020). Fraud Risk Management in Construction Company: A Case Study in Indonesia. Journal of Southeast Asian Research, Article ID 706737.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi Malaysia menempati posisi penting dalam pengembangan ekonomi nasional. Namun di balik kontribusinya terhadap infrastruktur dan pertumbuhan, sektor ini juga menjadi sarang rawan bagi praktik kecurangan (fraud). Kompleksitas proyek, keterlibatan banyak pihak, aliran dana besar, dan lemahnya pengawasan membuat industri ini rentan terhadap penyimpangan, baik secara finansial maupun etis.
Artikel ilmiah karya Wan Noor Asmuni Wan Fauzi, Siti Haliza Asat, dan Junaidah Hanim Ahmad (2019) mengulas secara mendalam hubungan antara lemahnya pengendalian internal dan tingginya insiden fraud dalam sektor konstruksi Malaysia. Artikel ini bukan hanya menyoroti permasalahan, tetapi juga menawarkan kerangka kerja pencegahan berbasis prinsip COSO dan teori fraud triangle.
Fakta Mencengangkan: Kerugian Akibat Fraud dalam Konstruksi
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2014), median kerugian per skema fraud di industri konstruksi adalah sekitar USD 245.000, angka yang sangat mengkhawatirkan terutama bagi perusahaan kecil dan menengah. ACFE juga menyebut bahwa industri ini berada di posisi ketiga tertinggi dalam hal kerugian median akibat fraud di antara seluruh sektor industri.
Jenis-jenis fraud yang umum ditemukan meliputi:
Penyebab Utama Fraud: Tekanan Finansial, Rasionalisasi, dan Peluang
Dalam analisisnya, penulis menggunakan kerangka fraud triangle yang dikenalkan oleh Donald Cressey dan digunakan secara luas oleh badan audit internasional. Tiga penyebab utama seseorang melakukan fraud adalah:
Di industri konstruksi, peluang ini muncul akibat:
Internal Control: Garis Pertahanan Pertama Melawan Fraud
Pengendalian internal didefinisikan oleh COSO sebagai proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan staf untuk memberikan jaminan wajar atas pencapaian tujuan operasional, pelaporan, dan kepatuhan.
Komponen utama sistem pengendalian internal COSO:
Penelitian Iskandar et al. (2018) terhadap 46 perusahaan konstruksi di Gaza Strip menunjukkan bahwa implementasi elemen COSO secara signifikan berdampak positif pada kinerja operasional perusahaan. Ini membuktikan bahwa sistem pengendalian internal bukan hanya formalitas, melainkan instrumen strategis.
Studi Kasus: Kelemahan Internal dan Kolusi di Lapangan
Ahmad Saiful et al. (2018) melakukan studi pada sebuah perusahaan konstruksi yang menunjukkan bahwa:
Data dari Kementerian Pekerjaan Malaysia (2005) mencatat bahwa 17,3% dari 417 proyek pemerintah tergolong sebagai proyek "sakit", yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku tidak etis dalam pelaksanaan proyek.
Dampak Ekonomi dan Sosial Fraud di Konstruksi
Fraud tidak hanya menyebabkan kerugian finansial tetapi juga:
Transparency International (2005) memperkirakan bahwa korupsi dapat menambah hingga 25% dari total biaya proyek publik, yang berarti pemborosan miliaran ringgit dana negara.
Solusi dan Strategi Pencegahan Fraud
Beberapa langkah yang direkomendasikan oleh penulis dan didukung studi-studi terkait:
Ghaleb (2018) dalam studinya di Qatar menyarankan pendekatan sistematis terhadap pengendalian kontrak dan estimasi pendapatan agar tidak dimanipulasi.
Tantangan dalam Implementasi Pengendalian Internal
Walau ideal di atas kertas, implementasi pengendalian internal masih menghadapi banyak kendala:
Seperti disebutkan oleh Cheng (2010), perusahaan konstruksi jalan raya mengalami kendala pengawasan internal karena lemahnya kontrol terhadap aktivitas operasional, komunikasi informasi yang tidak efektif, dan kurangnya audit internal yang sistematis.
Rekomendasi Kebijakan untuk Dunia Konstruksi Malaysia
Sebagai bentuk perbaikan struktural, penulis merekomendasikan:
Dengan melakukan hal ini, industri konstruksi akan lebih mampu mempertahankan keberlanjutan, meningkatkan kualitas proyek, serta menekan angka korupsi dan fraud yang selama ini menjadi momok.
Kesimpulan
Artikel ini menegaskan bahwa pengendalian internal adalah instrumen utama dalam menanggulangi fraud di industri konstruksi. Tidak cukup hanya menunggu audit eksternal atau laporan kecurangan dari pihak ketiga. Perusahaan harus secara proaktif membangun sistem kontrol yang kuat, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Bagi industri yang sedang tumbuh seperti konstruksi di Malaysia, menjaga integritas dan efisiensi operasional melalui sistem pengendalian internal adalah langkah strategis demi pembangunan yang berkelanjutan dan transparan.
Sumber asli:
Wan Noor Asmuni Wan Fauzi, Siti Haliza Asat, dan Junaidah Hanim Ahmad. (2019). Internal Control and Fraud in Construction Industry of Malaysia. Journal of Contemporary Social Science Research, Vol. 3, Issue 1.