Korupsi Konstruksi

Membedah Peran Stakeholder Internal dalam Runtuhnya Bangunan di Lagos: Fakta, Faktor, dan Solusi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Bangunan runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis multidimensi yang mencerminkan lemahnya tata kelola proyek konstruksi. Kota Lagos, Nigeria, menjadi salah satu lokasi dengan tingkat keruntuhan bangunan tertinggi di Afrika Barat. Penelitian oleh Adenuga, Osuizugbo, dan Imoesi (2022) secara khusus menyelidiki kontribusi para pemangku kepentingan internal (stakeholder internal) dalam insiden-insiden tersebut.

Dengan metode survei persepsi, studi ini mengungkap faktor-faktor signifikan dari pihak-pihak internal seperti klien, arsitek, insinyur struktur, kontraktor, dan quantity surveyor yang berperan dalam runtuhnya bangunan. Selain mengidentifikasi penyebab utama, studi ini juga menawarkan remedi konkrit dan terukur untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Mengapa Stakeholder Internal Penting?

Stakeholder internal adalah pihak yang terlibat langsung dalam proses desain, pembangunan, dan pengawasan proyek, termasuk:

  • Klien (pemilik proyek)
  • Konsultan (arsitek, insinyur)
  • Kontraktor utama dan subkontraktor
  • Quantity surveyor
  • Pemasok material

Mereka memiliki kontrol penuh atas keputusan dan sumber daya proyek, dan karena itu, tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan proyek.

Metodologi Penelitian

  • Jenis penelitian: Survei kuantitatif
  • Lokasi: Lagos, Nigeria
  • Jumlah responden: 87 dari total 127 kuesioner yang disebar (respon rate 68,5%)
  • Profesi responden: 62,1% insinyur, 19,5% kontraktor bangunan, 10,3% quantity surveyor, sisanya arsitek
  • Pengalaman kerja: 82,7% responden memiliki pengalaman kerja di atas 11 tahun
  • Analisis data: Statistik deskriptif dan inferensial (uji t satu sampel dengan SPSS v20)

Temuan Utama: Faktor Kontribusi Stakeholder Internal

Dari 49 faktor yang dianalisis, 12 faktor memiliki skor rata-rata di atas 4 (sangat signifikan). Berikut adalah 5 faktor tertinggi menurut skor rata-rata (MS):

  1. Kurangnya perhitungan biaya siklus hidup (life cycle cost) utilitas: MS = 4.18
  2. Kurangnya integrasi dan koordinasi elemen desain: MS = 4.11
  3. Kegagalan mempertimbangkan kemudahan pembangunan dan perawatan: MS = 4.10
  4. Tidak adanya supervisi dan inspeksi kualitas di lapangan: MS = 4.10
  5. Tidak dilakukannya inspeksi penyimpanan material di lokasi proyek: MS = 4.10

Studi Kasus: Kegagalan Konstruksi dalam Angka

Studi ini tidak membahas bangunan spesifik, tapi menggambarkan pola sistemik dari:

  • Kegagalan desain: Banyak bangunan tidak mempertimbangkan kemudahan perawatan jangka panjang
  • Lemahnya dokumentasi: Tidak adanya pelaporan tertulis dari kontraktor pelaksana
  • Intervensi klien yang merugikan: Klien seringkali memaksakan batas waktu atau anggaran tak realistis
  • Penerapan praktik "potong jalan": Akibat tekanan waktu dan minimnya pengawasan

Siapa Bertanggung Jawab?

Penelitian membagi tanggung jawab pada masing-masing pihak:

Klien:

  • Tidak memahami kebutuhan teknis proyek
  • Kurang dana dan suka menunda pembayaran
  • Menunjuk kontraktor/tukang berdasarkan relasi, bukan kompetensi

Arsitek:

  • Gagal mengoordinasikan elemen desain
  • Dokumentasi buruk dan tidak sesuai standar zonasi

Insinyur Struktur:

  • Tidak melakukan uji tanah
  • Mengabaikan uji kekuatan beton
  • Tidak membuat gambar awal dan estimasi peralatan

Kontraktor:

  • Tidak menyusun jadwal kerja
  • Tidak memverifikasi kualitas pekerja
  • Mengabaikan metode konstruksi dan perawatan bangunan

Quantity Surveyor:

  • Tidak mengkaji biaya penggunaan dan pemeliharaan bangunan
  • Gagal membuat anggaran yang akurat
  • Tidak melakukan evaluasi rutin atas pekerjaan

Analisis: Masalah Sistemik dan Budaya

Masalahnya tidak hanya teknis, tetapi sistemik dan budaya:

  • Korupsi: Banyak profesional menerima suap atau ditekan untuk "menyesuaikan" laporan
  • Kurangnya edukasi publik: Masyarakat sering mengandalkan tukang tanpa lisensi karena biaya lebih murah
  • Remunerasi rendah: Profesional konstruksi dipaksa "berhemat" dengan menurunkan kualitas
  • Dokumentasi buruk: Ketidaktahuan akan pentingnya dokumen teknis dan pelaporan proyek

Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penelitian ini juga menyajikan 26 solusi utama. Berikut adalah 5 solusi dengan skor rata-rata tertinggi:

  1. Klien tidak boleh menekan profesional internal: MS = 4.56
  2. Klien harus menyediakan dana yang cukup: MS = 4.54
  3. Semua pihak harus menolak suap dan korupsi: MS = 4.46
  4. Etika profesi harus ditegakkan oleh semua pihak: MS = 4.44
  5. Pemeriksaan material sebelum digunakan wajib dilakukan: MS = 4.44

Rekomendasi Tambahan

  • Sosialisasi ke masyarakat luas soal peran profesional dan bahaya menggunakan "tukang asal"
  • Pembaharuan regulasi dan kode bangunan nasional agar lebih ketat dan terukur
  • Kampanye transparansi proyek dan dokumentasi digital sejak tahap awal
  • Sertifikasi ulang periodik bagi profesional, khususnya yang terlibat dalam proyek-proyek publik
  • Insentif bagi kontraktor dan konsultan dengan rekam jejak baik

Kesimpulan

Bangunan tidak runtuh begitu saja. Di balik setiap insiden, ada kelalaian kolektif dari pihak-pihak internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa stakeholder internal—klien, konsultan, kontraktor, hingga quantity surveyor—memiliki kontribusi nyata terhadap maraknya insiden bangunan runtuh di Lagos. Bukan hanya karena keterbatasan teknis, tapi juga karena kurangnya komitmen terhadap etika, standar profesional, dan tanggung jawab jangka panjang.

Namun harapan tetap ada. Dengan kombinasi reformasi struktural, edukasi publik, serta penegakan standar profesional, tragedi bisa dicegah dan kepercayaan masyarakat pada industri konstruksi bisa dipulihkan. Penelitian ini tidak hanya relevan untuk Nigeria, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi persoalan serupa.

Sumber asli:
Adenuga, O. A., Osuizugbo, I. C., & Imoesi, I. B. (2022). Internal Stakeholders’ Contribution to Building Collapse in Lagos State, Nigeria: A Perceptual Survey. Civil and Sustainable Urban Engineering, 2(2), 67–81. https://doi.org/10.53623/csue.v2i2.118

Selengkapnya
Membedah Peran Stakeholder Internal dalam Runtuhnya Bangunan di Lagos: Fakta, Faktor, dan Solusi

Korupsi Konstruksi

Strategi Retensi Karyawan di Industri Konstruksi: Kunci Agile Working & Tantangan Generasi Z

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam dunia konstruksi, terutama sektor usaha kecil-menengah (SME), retensi karyawan menjadi isu krusial. Banyak tenaga kerja, terutama generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial, cenderung berpindah kerja demi keseimbangan hidup, transparansi, dan lingkungan kerja yang adaptif.

Penelitian oleh Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala (2024) berjudul The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon meneliti faktor-faktor yang memengaruhi retensi karyawan di SME konstruksi di Bangkok, dengan pendekatan kuantitatif dan sampel 386 responden.

Konteks dan Permasalahan

Karyawan muda kini tidak seperti generasi sebelumnya—mereka mencari fleksibilitas, pengakuan, dan kemungkinan untuk berkembang secara profesional. Namun, sektor konstruksi kerap masih mempraktikkan budaya kerja hierarkis yang tak cocok dengan karakter pekerja masa kini.

Ditambah lagi, tingginya tingkat korupsi dan birokrasi internal di perusahaan konstruksi Thailand semakin membuat generasi muda skeptis. Ini menjadi penyebab utama tingginya turnover karyawan—bahkan 55% engineer berusia kerja <5 tahun menyatakan siap pindah kerja jika ada tawaran lebih baik (Thos, 2018).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi empat variabel utama:

  1. Entrepreneurial intention
  2. Task interdependence
  3. Reward and recognition
  4. Agile working

Keempat variabel ini diuji pengaruhnya terhadap retensi karyawan melalui pendekatan Multiple Linear Regression (MLR).

Metodologi

  • Jumlah responden: 386 karyawan SME konstruksi di Bangkok
  • Teknik sampling: Non-probability purposive sampling
  • Instrumen: Kuesioner berbasis skala Likert, terdiri dari 22 pertanyaan
  • Analisis: MLR dan uji validitas reliabilitas (Cronbach’s Alpha >0.7)

Profil Responden

  • Usia: 46.9% berusia 18–28 tahun, 37.6% antara 29–43 tahun
  • Pendidikan: 75.1% lulusan S1, 12.2% S2, sisanya S3 atau di bawah S1
  • Pendapatan: 49.2% berada di kisaran THB 20.001–40.000 per bulan

Data ini menegaskan bahwa mayoritas pekerja adalah Generasi Z dan Milenial, dengan ekspektasi kerja yang berbeda dari generasi senior.

Temuan Utama

1. Task Interdependence → Agile Working

  • Signifikansi: p = 0.000 (<0.05)
  • Koefisien β: 0.385 (tertinggi)
  • Kesimpulan: Task interdependence berperan paling besar dalam membentuk budaya kerja agile.

Makna: Semakin baik kerja sama tim dan ketergantungan antaranggota dalam tugas, semakin fleksibel dan adaptif lingkungan kerja.

2. Reward and Recognition → Agile Working

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.329
  • Makna: Apresiasi kinerja, baik melalui penghargaan formal maupun pengakuan informal, memperkuat budaya agile dalam tim.

3. Entrepreneurial Intention → Employee Retention

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.279
  • Makna: Keinginan untuk berwirausaha memiliki dampak signifikan terhadap loyalitas. Mereka yang merasa potensi kewirausahaannya difasilitasi, cenderung bertahan.

4. Agile Working → Employee Retention

  • Signifikansi: p = 0.000
  • Koefisien β: 0.316
  • Makna: Lingkungan kerja yang fleksibel, kolaboratif, dan tidak terlalu birokratis cenderung membuat karyawan lebih loyal.

Analisis Tambahan

Peran Agile Working sebagai Jembatan Retensi

Agile working adalah mediator antara reward, task interdependence, dan retensi. Lingkungan kerja yang adaptif:

  • Memungkinkan tim mengambil keputusan cepat
  • Meningkatkan otonomi individu
  • Menyesuaikan ekspektasi Generasi Z yang menuntut transparansi dan fleksibilitas

Menurut Issa et al. (2019), agile working secara signifikan meningkatkan kepuasan kerja, yang selanjutnya berdampak positif pada loyalitas.

Konteks Entrepreneurial Intention

Sebagian karyawan di sektor ini melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk menjadi pengusaha, bukan tujuan akhir. Maka dari itu:

  • Organisasi perlu menyediakan ruang pengembangan diri
  • Membangun sistem intrapreneurship agar potensi mereka tetap terakomodasi di dalam perusahaan

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat budaya kerja kolaboratif:
    Terapkan sistem kerja berbasis tim yang memfasilitasi task interdependence.
  2. Bentuk sistem penghargaan yang relevan:
    Fokus pada pengakuan tim dan transparansi, bukan hanya bonus individual.
  3. Dorong corporate entrepreneurship:
    Fasilitasi pelatihan, mentoring, dan kebebasan berekspresi untuk karyawan dengan jiwa wirausaha.
  4. Fleksibilitas kerja dan otonomi:
    Berikan ruang untuk agile working yang memungkinkan adaptasi cepat terhadap situasi proyek.
  5. HR sebagai fasilitator perubahan:
    Tim SDM harus jadi jembatan antar-generasi di tempat kerja dan pelopor perubahan budaya.

Kritik dan Batasan Penelitian

Penelitian ini:

  • Terbatas pada wilayah Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon)
  • Tidak menguji peran manajerial senior dalam pengaruh lintas generasi
  • Tidak mendalami faktor lain seperti lingkungan kerja fisik, keselamatan kerja, atau aspek psikologis

Namun, kontribusinya sangat berarti dalam menyusun strategi retensi pada sektor konstruksi SME, terutama di negara-negara berkembang dengan tantangan serupa.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa retensi karyawan tidak semata soal gaji, tetapi tentang lingkungan kerja yang:

  • Adaptif (agile)
  • Menghargai kontribusi
  • Mendukung kerja tim
  • Mampu memberi ruang untuk berkembang

Bagi sektor konstruksi yang penuh tekanan, strategi retensi berbasis agile working adalah solusi mutakhir yang relevan dengan tren generasi saat ini. Terutama di tengah dinamika Generasi Z, retensi bukan lagi sekadar mempertahankan, tapi tentang menciptakan alasan untuk tetap tinggal dan berkembang bersama.

Sumber : Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106–124.

Selengkapnya
Strategi Retensi Karyawan di Industri Konstruksi: Kunci Agile Working & Tantangan Generasi Z

Korupsi Konstruksi

Strategi Global Mengurangi Residivisme: Pendekatan Rehabilitatif, Komunitas, dan Kolaboratif dalam Sistem Peradilan Pidana

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Mengurangi angka residivisme atau reoffending menjadi prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Kyoto Congress 2021), Workshop 2 bertema "Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions" menyajikan pendekatan terpadu untuk menghadapi tantangan residivisme melalui rehabilitasi narapidana, alternatif hukuman non-penjara, dan kerja sama multipihak.

Laporan ini disusun oleh UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bekerja sama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ) dan UNODC. Dalam praktiknya, pendekatan ini menekankan pentingnya intervensi berbasis bukti, lingkungan penjara yang mendukung rehabilitasi, serta keterlibatan komunitas.

1. Mengapa Mengurangi Residivisme Itu Penting?

Residivisme, atau mengulangi tindak pidana setelah menjalani hukuman, bukan hanya memperbesar beban sistem peradilan, tetapi juga mengancam keamanan masyarakat dan membebani anggaran negara. Penurunan angka residivisme menjadi salah satu indikator keberhasilan sistem hukum pidana yang manusiawi dan efektif. Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama TPB 16, rehabilitasi pelaku kejahatan berkontribusi pada masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.

2. Membangun Lingkungan Penjara yang Rehabilitatif

Penjara yang penuh kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran HAM justru memperburuk kecenderungan kriminal para narapidana. Oleh karena itu, penjara harus menjadi tempat yang mendukung transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu pendekatan yang dibahas adalah risk-needs-responsivity framework (RNR), yang menilai risiko dan kebutuhan spesifik tiap narapidana.

Misalnya, Namibia Correctional Service menerapkan program berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. Di sisi lain, Norwegia menerapkan prinsip normalization, yaitu memperlakukan kehidupan di dalam penjara semirip mungkin dengan kehidupan di masyarakat. Para petugas penjara bukan hanya penjaga, tetapi juga fasilitator rehabilitasi yang dilatih membangun hubungan prososial dengan warga binaan.

Studi menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasional di penjara mampu menurunkan risiko residivisme dan meningkatkan peluang kerja pasca-bebas. UNODC bahkan meluncurkan program pelatihan daring interaktif berbasis Nelson Mandela Rules untuk memperkuat peran petugas penjara dalam rehabilitasi.

3. Studi Kasus Global: Mengurangi Kepadatan Penjara

Salah satu contoh sukses adalah Kazakhstan, yang berhasil menurunkan rasio penghuni penjara menjadi 194 per 100.000 penduduk dan menutup delapan penjara dalam satu dekade terakhir. Reformasi hukum pidana yang mengedepankan hukuman non-penjara serta pengurangan masa tahanan menjadi kunci keberhasilan ini.

Sementara itu, Argentina membentuk Corruption Prevention Service untuk menangani korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, demi menjamin transparansi dalam pelaksanaan program rehabilitasi.

4. Mengutamakan Alternatif Hukuman: Pendekatan Berbasis Komunitas

Alternatif hukuman seperti probation, parole, mediasi korban-pelaku, serta diversi untuk pengguna narkoba terbukti lebih efektif dalam mendorong reintegrasi sosial. Pendekatan ini juga lebih hemat biaya daripada pemenjaraan.

Sebagai contoh, di Austria, program mediasi korban-pelaku menunjukkan hasil signifikan, di mana 84% peserta tidak mengulangi pelanggaran hukum setelahnya. Di Filipina, pendekatan berbasis komunitas di tingkat barangay berhasil membentuk jaringan dukungan sosial bagi pelaku dan korban.

Namun demikian, penting untuk menghindari fenomena “net-widening”, yakni penggunaan pengawasan berlebihan terhadap pelanggar risiko rendah yang justru bisa meningkatkan peluang residivisme.

5. Peran Teknologi dalam Rehabilitasi

Teknologi juga memainkan peran strategis, terutama dalam menyambungkan narapidana dengan dunia luar. Di Kyrgyzstan, penggunaan aplikasi Skype memungkinkan keluarga melakukan kunjungan virtual, mengurangi tekanan logistik dan biaya.

Sementara di Singapura, pengembangan aplikasi seluler membantu mantan narapidana mencari pekerjaan, mengakses layanan konseling, dan membangun kembali kehidupan sosial secara bertahap.

6. Kolaborasi Multipihak: Kunci Keberlanjutan Reintegrasi

Rehabilitasi tidak bisa dijalankan oleh sistem hukum pidana saja. Pendekatan multipihak melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dunia usaha, dan keluarga. Misalnya, di Jepang, program volunteer probation officers melibatkan masyarakat langsung dalam membina mantan narapidana secara sukarela dan terstruktur.

UNODC juga menyoroti pentingnya pelatihan gender-sensitif dan responsif budaya untuk petugas rehabilitasi, serta program khusus untuk perempuan dan remaja pelaku pelanggaran hukum.

7. Kritik dan Tantangan

Meskipun strategi ini terdengar ideal, ada beberapa tantangan nyata di lapangan:

  • Overcrowding masih menjadi isu besar di 121 negara.
  • Pendekatan rehabilitatif bisa gagal jika tidak disertai reformasi manajemen penjara dan pemantauan eksternal.
  • Ketersediaan data yang andal mengenai tingkat residivisme masih minim secara global.
  • Tidak semua negara punya kapasitas atau kemauan politik untuk mendorong pendekatan alternatif.

Di sisi lain, pendekatan ini menyelaraskan antara keadilan sosial, penghematan biaya, dan perlindungan hak asasi manusia.

Kesimpulan

Mengurangi residivisme bukan hanya urusan sistem hukum pidana, tetapi sebuah misi kemanusiaan lintas sektor. Diperlukan kombinasi antara evidence-based practices, inovasi teknologi, kerja sama multipihak, dan keberpihakan terhadap rehabilitasi dibanding penghukuman semata. Jika berhasil diimplementasikan, pendekatan ini dapat mengubah penjara menjadi tempat harapan, bukan ketakutan; dan reintegrasi menjadi proses manusiawi, bukan sanksi berkepanjangan.

Sumber : United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI). (2021). Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions. Report of the Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Kyoto, Japan.

Selengkapnya
Strategi Global Mengurangi Residivisme: Pendekatan Rehabilitatif, Komunitas, dan Kolaboratif dalam Sistem Peradilan Pidana

Korupsi Konstruksi

Demokrasi Langsung dan Stabilitas Politik Swiss: Antara Kemandirian Nasional dan Tantangan Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Swiss dikenal sebagai model stabilitas demokrasi dengan sistem pemerintahan langsung dan partisipatif yang dikagumi dunia. Dalam laporan Sustainable Governance Indicators (SGI) 2024, disebutkan bahwa Swiss adalah negara dengan realisasi demokrasi langsung terbaik, memberikan ruang luas bagi warga untuk terlibat dalam keputusan politik. Sistem ini menghasilkan legitimasi politik yang tinggi, baik secara input (partisipasi) maupun output (kebijakan efektif), dan berkontribusi pada kehidupan politik yang stabil dalam masyarakat yang beragam.

Namun, di balik stabilitas dan kemakmuran ekonomi, laporan ini juga mengungkap berbagai tantangan besar: hubungan dengan Uni Eropa yang macet, stagnasi reformasi iklim, ketimpangan sosial, serta reformasi pensiun yang lambat dan kontroversial.

Demokrasi Swiss: Kekuatan dan Struktur Fundamental

Swiss mencatat:

  • Tingkat PDB per kapita tertinggi di OECD
  • Kualitas hidup dan kepuasan warga sangat tinggi
  • Tingkat pengangguran rendah, termasuk untuk pemuda dan pengangguran jangka panjang
  • Sistem pendidikan dan transportasi publik efisien

Sistem demokrasi Swiss ditopang oleh:

  • Konsensus demokrasi (Konkordanz)
  • Demokrasi langsung melalui referendum dan inisiatif populer
  • Neokorporatisme: integrasi erat antara pemerintah, dunia usaha, dan pekerja

Namun, pendekatan konsensus ini kini terancam oleh polarisasi politik, terutama antara partai populis kanan seperti SVP dan partai hijau-sosial liberal.

Tantangan Utama Demokrasi Swiss Saat Ini

1. Hubungan yang Buntu dengan Uni Eropa

Swiss sangat bergantung pada UE dari sisi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, dan penelitian. Namun, sejak gagalnya kesepakatan kelembagaan bilateral pada 2021, hubungan kedua pihak stagnan. UE mendesak:

  • Pemutakhiran otomatis perjanjian bilateral
  • Mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien

Swiss kesulitan menerima tuntutan ini tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Kompromi perlu disahkan lewat referendum, yang berisiko ditolak publik.

2. Reformasi Iklim yang Lambat

  • Target net-zero CO2 tahun 2050 disetujui rakyat pada 2023.
  • Namun, undang-undang CO2 sebelumnya ditolak pada 2021.
  • Versi revisinya yang lebih lemah akhirnya lolos pada akhir 2023, tanpa pungutan baru terhadap emisi.

Hal ini mencerminkan kecenderungan reform-averse dalam sistem referendum Swiss, di mana oposisi mudah dimobilisasi.

3. Sistem Pensiun: Antara Keadilan Antar-Generasi dan Ketimpangan

  • Reformasi besar ditolak di masa lalu, hanya reformasi terbatas lolos pada 2022.
  • Dua konflik utama:
    • Pilar pertama (redistributif) vs. pilar kedua (berbasis kontribusi)
    • Usia pensiun dan beban kontribusi antar generasi

Salah satu proposal baru akan dibawa ke referendum tahun 2024, berisiko kembali gagal karena resistensi dari partai tengah dan sektor keuangan.

4. Ketimpangan Sosial dan Integrasi Warga Asing

  • 25% penduduk Swiss adalah warga asing, menyumbang seperempat PDB.
  • Namun, partisipasi politik mereka sangat terbatas.
  • Anak dari keluarga miskin sulit naik kelas sosial, dan perempuan menghadapi kurangnya layanan penitipan anak yang terjangkau.

Masalah ini diperparah oleh rasisme struktural dan diskriminasi institusional, terutama dalam akses pekerjaan, perumahan, dan proses naturalisasi.

5. Sistem Kesehatan Kurang Berkelanjutan

  • Biaya perawatan terus meningkat, premi asuransi naik pesat.
  • Kesenjangan akses layanan kesehatan makin melebar antara pendapatan rendah dan tinggi.
  • Sistem asuransi berbasis premi per kapita dinilai tidak adil dan tak efisien.

6. Kemandekan Reformasi karena Polarisasi Politik

  • Polarisasi antara SVP populis kanan dan partai hijau-sosialis membuat banyak kebijakan strategis gagal lolos.
  • Bahkan reformasi mendesak seperti pensiun dan iklim pun tertunda.

7. Demokrasi Langsung: Partisipatif tapi Reform-Averse

  • Sistem ini sukses meningkatkan legitimasi publik.
  • Namun, banyak inisiatif populer disahkan tapi sulit diterapkan, karena bertentangan dengan hukum internasional atau ketentuan ekonomi.
  • Contoh:
    • Larangan pembangunan menara masjid (2009)
    • Inisiatif anti-imigrasi massal (2014)
    • Pelaksanaan deportasi otomatis bagi pelaku kejahatan asing

Krisis Responsif: Ketika Sistem Lambat Menanggapi Tantangan

Swiss menghadapi tantangan utama: ketidakmampuan merespons cepat terhadap perubahan. Contoh konkret:

  • Penundaan reformasi CO2
  • Hubungan yang mandek dengan UE
  • Lambannya reformasi sistem pensiun

Tiga penghambat utama:

  1. Demokrasi langsung yang cenderung menolak perubahan
  2. Federalisme kompleks dengan banyak variasi kantonal
  3. Corporatism yang mulai kehilangan daya koordinasi

Meskipun lambat, solusi yang dihasilkan sering kali berkualitas tinggi. Tapi, dalam konteks perubahan iklim dan globalisasi yang cepat, kelambanan ini menjadi risiko serius.

Imigrasi: Antara Kontribusi Ekonomi dan Ketegangan Identitas

  • Imigran menyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pensiun
  • Namun, ada kekhawatiran publik tentang identitas nasional, harga rumah, dan infrastruktur

Partai Swiss People's Party (SVP) berhasil memanfaatkan isu ini untuk menggerakkan inisiatif populis yang berbasis identitas, meski tingkat xenophobia relatif rendah.

Solusi dan Refleksi: Menuju Pemerintahan yang Lebih Tangguh

Swiss menghadapi dilema klasik: bagaimana menjaga kedaulatan nasional sambil tetap mendapatkan manfaat dari integrasi internasional?

Laporan menyarankan:

  • Pemerintah perlu secara jujur mengkomunikasikan keterbatasan demokrasi langsung, bahwa Swiss sejatinya adalah negara semi-berdaulat seperti banyak negara maju lainnya.
  • Meningkatkan literasi politik masyarakat, termasuk batasan konstitusional dan hukum internasional
  • Mereformasi sistem referendum agar lebih responsif dan realistis

Meskipun begitu, sistem Swiss tetap memiliki keunggulan pragmatisme: banyak kebijakan ekstrem dari hasil referendum dijinakkan dalam tahap implementasi, menghindari dampak buruk langsung.

Kesimpulan

Swiss adalah bukti hidup bahwa demokrasi langsung bisa stabil dan efektif, tetapi hanya jika ditopang oleh partisipasi luas, administrasi efisien, dan budaya kompromi. Namun, di tengah perubahan global yang makin cepat, sistem yang lambat merespons bisa menjadi hambatan.

Tantangan terbesar Swiss ke depan adalah bagaimana menjaga legitimasi partisipatif sambil meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan dalam isu-isu mendesak seperti iklim, kesehatan, dan integrasi internasional.

Sumber asli: Armingeon, K., Sager, F., Mavrot, C., & Zohlnhöfer, R. (Eds.). (2024). Sustainable Governance Indicators: Switzerland Report. SGI – Bertelsmann Stiftung.

Selengkapnya
Demokrasi Langsung dan Stabilitas Politik Swiss: Antara Kemandirian Nasional dan Tantangan Global

Korupsi Konstruksi

Menelusuri Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Kolusi, Suap, dan Politik Uang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.

Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.

Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal

1. Penegakan Kartel

Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:

  • Di Palermo, mafia menjadi mediator tender publik dengan “biaya koordinasi” sebesar 10% dari nilai kontrak (Savona, 1995).
  • Di Naples, Camorra mendapatkan 3–5% dari kontrak sebagai imbalan atas penyediaan tenaga kerja dan logistik (Vine, 2012).
  • Di Montreal, perusahaan yang tidak bergabung dengan kartel diintimidasi atau dipaksa keluar oleh mafia lokal (Jaspers, 2019).
  • Kartel di Belanda bahkan tidak memerlukan kehadiran mafia karena telah menjadi praktik industri yang “dinormalisasi”.

Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.

2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap

Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.

Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.

3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja

Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.

Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).

4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota

Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:

  • Mengatur izin mendirikan bangunan
  • Mempengaruhi alokasi proyek publik
  • Mengatur zona pemukiman dan rencana kota

Contoh paling gamblang adalah:

  • Kota Desio di Italia Utara, di mana ‘Ndrangheta mengendalikan pejabat, pengembang, dan agen real estate untuk merancang rencana tata kota demi keuntungan sendiri (Chiodelli, 2019).
  • Di Mumbai, kelompok kriminal bertransformasi dari penyelundup menjadi pengembang properti kelas atas, bekerja sama dengan politisi dan birokrat (Weinstein, 2008).

Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi

1. Regulasi (dan Deregulasi)

Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:

  • Deregulasi di era pasca-Perang Dunia II di Italia menciptakan celah bagi mafia untuk menguasai pasar kontruksi (Savona, 1995).
  • Regulasi yang rumit dan birokrasi yang lambat membuat proses perizinan menjadi peluang untuk suap dan jual beli keputusan.

2. Insentif Struktural dan Budaya

Industri konstruksi memiliki struktur unik:

  • Proyek bersifat temporer
  • Banyak subkontraktor kecil
  • Keterlibatan langsung pemerintah (sebagai pemberi kerja, regulator, dan pengembang)

Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.

3. Ekonomi Transisi

Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:

  • Di Italia selatan, 1.708 perusahaan milik mafia disita pada 2011, dan sepertiganya adalah perusahaan konstruksi (Scognamiglio, 2018).
  • Di Swedia, pergeseran dari masyarakat egaliter ke arah ketimpangan ekonomi juga memicu pertumbuhan jaringan kriminal dan eksploitasi di sektor konstruksi (Therborn, 2020).

4. Kekuatan Diskresioner

Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:

  • Memberikan izin proyek
  • Menentukan pemenang tender
  • Mengabaikan pelanggaran dengan imbalan suap

Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.

Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia

Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:

  • Jaringan kriminal seperti Hells Angels mulai terlibat dalam proyek konstruksi besar (SVT, 2019).
  • Tidak adanya kerangka hukum untuk mencegah perusahaan milik geng kriminal memenangkan tender publik menjadi celah serius (Savona et al., 2015).
  • Penelitian menunjukkan bahwa “pasar gelap tenaga kerja” di sektor konstruksi menghasilkan lebih dari €10 juta setiap tahun (Heber, 2009).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.

Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:

  • Transparansi tender publik harus diperkuat
  • Sistem blacklist global dan nasional perlu diterapkan
  • Pengawasan independen dan whistleblowing system wajib dibentuk
  • Pemerintah harus mengurangi kewenangan diskresioner tanpa pengawasan

Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.

Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.

Selengkapnya
Menelusuri Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Kolusi, Suap, dan Politik Uang

Korupsi Konstruksi

Tragedi Konstruksi di Jos: Penyebab, Studi Kasus, dan Solusi Cegah Bangunan Ambruk di Nigeria

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Ambruknya bangunan bukan hanya bencana struktural, tapi tragedi kemanusiaan. Di Nigeria, terutama kota Jos, insiden ini merenggut nyawa, meluluhlantakkan properti, dan memperparah kemiskinan. Meskipun kota besar seperti Lagos dan Abuja mendapat sorotan media, kota-kota kecil seperti Jos kerap luput dari perhatian.

Artikel ilmiah oleh Ketkukah et al. (2023) menyoroti lima kasus keruntuhan bangunan di Jos antara 2016–2022, dengan pendekatan studi lapangan langsung dan data sekunder. Artikel ini tidak hanya mengulas sebab teknis, tetapi juga menekankan pentingnya peran profesional, regulasi yang ketat, dan edukasi masyarakat.

Latar Belakang: Mengapa Bangunan di Jos Banyak Ambruk?

Masalah keruntuhan bangunan bukanlah hal baru di Nigeria. Namun, tidak adanya pengawasan ketat, minimnya keterlibatan profesional bersertifikasi, dan penggunaan material substandar menjadi penyebab utama bencana yang terus terulang.

Berdasarkan laporan lapangan, tidak satu pun dari lima bangunan yang runtuh memiliki izin resmi dari Jos Metropolitan Development Board (JMDB). Bahkan dalam beberapa kasus, desain struktur tidak pernah melibatkan insinyur struktur, dan pembangunan dijalankan oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi profesional.

Studi Kasus 1: Sekolah Dasar Abu Ni’ima Islamic School (2015)

Bangunan ini runtuh di Bukuru, Jos South pada 6 September 2015. Korban jiwa: 6 siswa meninggal, 12 luka-luka.

Penyebab teknis utama:

  • Beton berkualitas buruk
  • Jumlah tulangan baja tidak mencukupi
  • Tidak ada bonding efektif antara baja dan beton

Menurut laporan NBRRI No. 36, tidak ada profesional yang terlibat dalam pembangunan sekolah ini. Pihak yang membangun adalah tukang yang tidak memahami prinsip rekayasa struktur. Runtuhnya struktur terjadi akibat kegagalan penulangan dan pengecoran yang tidak memenuhi standar.

Studi Kasus 2: Kantor Asosiasi Medis Nigeria (NMA) (2018)

Bangunan kantor dan aula ini runtuh pada 6 September 2018. Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian materi sangat besar.

Masalah utama:

  • Desain oleh tenaga non-profesional
  • Supervisi konstruksi oleh arsitek tanpa lisensi
  • Balok dan kolom tidak sesuai ukuran pada gambar teknis

Kasus ini menggarisbawahi bahaya ketika proyek besar dikelola oleh pekerja tanpa latar belakang struktural. Anggaran organisasi yang dihimpun bertahun-tahun musnah dalam sekejap.

Studi Kasus 3: Bangunan Tiga Lantai di Butcher Lane, Dilimi (2019)

Bangunan ini runtuh pada 12 Juli 2019 dan menyebabkan 14 korban jiwa, termasuk pemilik bangunan dan keluarganya.

Faktor penyebab utama:

  • Tambahan lantai dilakukan tanpa perhitungan ulang struktur
  • Septic tank dibangun di dalam perimeter bangunan
  • Tanpa gambar teknik & perencanaan profesional

Bangunan ini awalnya hanya satu lantai, lalu diubah menjadi tiga lantai tanpa memperhitungkan fondasi. Akibatnya, beban berlebih membuat struktur gagal total.

Studi Kasus 4: Gymnasium Universitas Jos (2022)

Pada 23 April 2022, angin kencang menerbangkan atap Gym Taekwondo di Universitas Jos.

Temuan utama:

  • Desain struktur atap tidak memperhitungkan uplift oleh angin
  • Kolom tidak tegak lurus, bentuk tidak seragam
  • Bukti minimnya pengawasan saat pembangunan

Ini menunjukkan pentingnya pengujian desain terhadap kondisi cuaca lokal, serta pentingnya keterlibatan profesional sejak awal proyek.

Studi Kasus 5: Bangunan Toko di Bukuru Mini Stadium (2022)

Bangunan ini memiliki toko di lantai dasar dan kantor di atasnya. Runtuh tanpa korban jiwa, tapi kerugian materi besar.

Penyebab runtuh:

  • Bangunan awalnya untuk tempat tinggal, lalu dijadikan multipurpose tanpa desain ulang
  • Kolom tambahan ditambahkan secara ilegal
  • Tidak ada keterlibatan profesional atau izin pembangunan

Ini adalah contoh nyata penyalahgunaan fungsi bangunan tanpa rekalkulasi desain.

Akar Masalah: Ketiadaan Profesional dan Lemahnya Regulasi

Lima studi kasus menunjukkan pola berulang:

  1. Tidak ada izin bangunan resmi
  2. Ketiadaan insinyur struktur dalam desain
  3. Pekerjaan diawasi oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi
  4. Kualitas beton dan baja di bawah standar
  5. Tambahan lantai ilegal tanpa desain ulang fondasi

Menurut COREN dan CORBON, kegagalan sistem pengawasan lapangan, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat, turut memperparah krisis ini.

Perbandingan dengan Kota Lain

Di kota besar seperti Lagos, penyebab keruntuhan mirip: penggunaan tukang non-berlisensi, desain buruk, serta lemahnya pengawasan (Oseghale et al., 2015). Namun, perbedaannya terletak pada intensitas pelaporan dan penindakan hukum. Jos masih jauh tertinggal dalam hal itu.

Rekomendasi Penulis (dan Tambahan Analisis)

Dari Paper:

  • Laporan struktur dan uji tanah wajib sebelum izin bangunan disetujui
  • COREN, ARCON, dan lembaga profesional lainnya harus gencar melakukan edukasi dan inspeksi
  • Pemerintah daerah perlu menerapkan penegakan hukum lebih tegas
  • Tenaga profesional yang melanggar harus disanksi tegas

Tambahan:

  • Penggunaan e-government untuk sistem izin bangunan bisa meminimalkan pemalsuan dokumen
  • Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk riset dan edukasi masyarakat
  • Audit teknis berkala di semua proyek konstruksi >2 lantai

Penutup

Kasus runtuhnya bangunan di Jos seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh stakeholder konstruksi di Nigeria dan negara berkembang lainnya. Keterlibatan profesional tidak bisa ditawar, dan pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar tragedi. Dengan edukasi, regulasi, dan komitmen profesional, kita bisa mencegah korban berikutnya.

Sumber : Ketkukah, T. S., Sule, E., Mije, F. G., & Badamasi, A. (2023). Assessment of Building Collapses in Jos Town, Plateau State Nigeria (2016–2022). OIDA International Journal of Sustainable Development, 16(05).

Selengkapnya
Tragedi Konstruksi di Jos: Penyebab, Studi Kasus, dan Solusi Cegah Bangunan Ambruk di Nigeria
« First Previous page 6 of 8 Next Last »