Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Bangunan runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis multidimensi yang mencerminkan lemahnya tata kelola proyek konstruksi. Kota Lagos, Nigeria, menjadi salah satu lokasi dengan tingkat keruntuhan bangunan tertinggi di Afrika Barat. Penelitian oleh Adenuga, Osuizugbo, dan Imoesi (2022) secara khusus menyelidiki kontribusi para pemangku kepentingan internal (stakeholder internal) dalam insiden-insiden tersebut.
Dengan metode survei persepsi, studi ini mengungkap faktor-faktor signifikan dari pihak-pihak internal seperti klien, arsitek, insinyur struktur, kontraktor, dan quantity surveyor yang berperan dalam runtuhnya bangunan. Selain mengidentifikasi penyebab utama, studi ini juga menawarkan remedi konkrit dan terukur untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Mengapa Stakeholder Internal Penting?
Stakeholder internal adalah pihak yang terlibat langsung dalam proses desain, pembangunan, dan pengawasan proyek, termasuk:
Mereka memiliki kontrol penuh atas keputusan dan sumber daya proyek, dan karena itu, tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan proyek.
Metodologi Penelitian
Temuan Utama: Faktor Kontribusi Stakeholder Internal
Dari 49 faktor yang dianalisis, 12 faktor memiliki skor rata-rata di atas 4 (sangat signifikan). Berikut adalah 5 faktor tertinggi menurut skor rata-rata (MS):
Studi Kasus: Kegagalan Konstruksi dalam Angka
Studi ini tidak membahas bangunan spesifik, tapi menggambarkan pola sistemik dari:
Siapa Bertanggung Jawab?
Penelitian membagi tanggung jawab pada masing-masing pihak:
Klien:
Arsitek:
Insinyur Struktur:
Kontraktor:
Quantity Surveyor:
Analisis: Masalah Sistemik dan Budaya
Masalahnya tidak hanya teknis, tetapi sistemik dan budaya:
Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Penelitian ini juga menyajikan 26 solusi utama. Berikut adalah 5 solusi dengan skor rata-rata tertinggi:
Rekomendasi Tambahan
Kesimpulan
Bangunan tidak runtuh begitu saja. Di balik setiap insiden, ada kelalaian kolektif dari pihak-pihak internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa stakeholder internal—klien, konsultan, kontraktor, hingga quantity surveyor—memiliki kontribusi nyata terhadap maraknya insiden bangunan runtuh di Lagos. Bukan hanya karena keterbatasan teknis, tapi juga karena kurangnya komitmen terhadap etika, standar profesional, dan tanggung jawab jangka panjang.
Namun harapan tetap ada. Dengan kombinasi reformasi struktural, edukasi publik, serta penegakan standar profesional, tragedi bisa dicegah dan kepercayaan masyarakat pada industri konstruksi bisa dipulihkan. Penelitian ini tidak hanya relevan untuk Nigeria, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi persoalan serupa.
Sumber asli:
Adenuga, O. A., Osuizugbo, I. C., & Imoesi, I. B. (2022). Internal Stakeholders’ Contribution to Building Collapse in Lagos State, Nigeria: A Perceptual Survey. Civil and Sustainable Urban Engineering, 2(2), 67–81. https://doi.org/10.53623/csue.v2i2.118
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam dunia konstruksi, terutama sektor usaha kecil-menengah (SME), retensi karyawan menjadi isu krusial. Banyak tenaga kerja, terutama generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial, cenderung berpindah kerja demi keseimbangan hidup, transparansi, dan lingkungan kerja yang adaptif.
Penelitian oleh Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala (2024) berjudul The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon meneliti faktor-faktor yang memengaruhi retensi karyawan di SME konstruksi di Bangkok, dengan pendekatan kuantitatif dan sampel 386 responden.
Konteks dan Permasalahan
Karyawan muda kini tidak seperti generasi sebelumnya—mereka mencari fleksibilitas, pengakuan, dan kemungkinan untuk berkembang secara profesional. Namun, sektor konstruksi kerap masih mempraktikkan budaya kerja hierarkis yang tak cocok dengan karakter pekerja masa kini.
Ditambah lagi, tingginya tingkat korupsi dan birokrasi internal di perusahaan konstruksi Thailand semakin membuat generasi muda skeptis. Ini menjadi penyebab utama tingginya turnover karyawan—bahkan 55% engineer berusia kerja <5 tahun menyatakan siap pindah kerja jika ada tawaran lebih baik (Thos, 2018).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi empat variabel utama:
Keempat variabel ini diuji pengaruhnya terhadap retensi karyawan melalui pendekatan Multiple Linear Regression (MLR).
Metodologi
Profil Responden
Data ini menegaskan bahwa mayoritas pekerja adalah Generasi Z dan Milenial, dengan ekspektasi kerja yang berbeda dari generasi senior.
Temuan Utama
1. Task Interdependence → Agile Working
Makna: Semakin baik kerja sama tim dan ketergantungan antaranggota dalam tugas, semakin fleksibel dan adaptif lingkungan kerja.
2. Reward and Recognition → Agile Working
3. Entrepreneurial Intention → Employee Retention
4. Agile Working → Employee Retention
Analisis Tambahan
Peran Agile Working sebagai Jembatan Retensi
Agile working adalah mediator antara reward, task interdependence, dan retensi. Lingkungan kerja yang adaptif:
Menurut Issa et al. (2019), agile working secara signifikan meningkatkan kepuasan kerja, yang selanjutnya berdampak positif pada loyalitas.
Konteks Entrepreneurial Intention
Sebagian karyawan di sektor ini melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk menjadi pengusaha, bukan tujuan akhir. Maka dari itu:
Rekomendasi Strategis
Kritik dan Batasan Penelitian
Penelitian ini:
Namun, kontribusinya sangat berarti dalam menyusun strategi retensi pada sektor konstruksi SME, terutama di negara-negara berkembang dengan tantangan serupa.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa retensi karyawan tidak semata soal gaji, tetapi tentang lingkungan kerja yang:
Bagi sektor konstruksi yang penuh tekanan, strategi retensi berbasis agile working adalah solusi mutakhir yang relevan dengan tren generasi saat ini. Terutama di tengah dinamika Generasi Z, retensi bukan lagi sekadar mempertahankan, tapi tentang menciptakan alasan untuk tetap tinggal dan berkembang bersama.
Sumber : Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106–124.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Mengurangi angka residivisme atau reoffending menjadi prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Kyoto Congress 2021), Workshop 2 bertema "Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions" menyajikan pendekatan terpadu untuk menghadapi tantangan residivisme melalui rehabilitasi narapidana, alternatif hukuman non-penjara, dan kerja sama multipihak.
Laporan ini disusun oleh UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bekerja sama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ) dan UNODC. Dalam praktiknya, pendekatan ini menekankan pentingnya intervensi berbasis bukti, lingkungan penjara yang mendukung rehabilitasi, serta keterlibatan komunitas.
1. Mengapa Mengurangi Residivisme Itu Penting?
Residivisme, atau mengulangi tindak pidana setelah menjalani hukuman, bukan hanya memperbesar beban sistem peradilan, tetapi juga mengancam keamanan masyarakat dan membebani anggaran negara. Penurunan angka residivisme menjadi salah satu indikator keberhasilan sistem hukum pidana yang manusiawi dan efektif. Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama TPB 16, rehabilitasi pelaku kejahatan berkontribusi pada masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.
2. Membangun Lingkungan Penjara yang Rehabilitatif
Penjara yang penuh kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran HAM justru memperburuk kecenderungan kriminal para narapidana. Oleh karena itu, penjara harus menjadi tempat yang mendukung transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu pendekatan yang dibahas adalah risk-needs-responsivity framework (RNR), yang menilai risiko dan kebutuhan spesifik tiap narapidana.
Misalnya, Namibia Correctional Service menerapkan program berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. Di sisi lain, Norwegia menerapkan prinsip normalization, yaitu memperlakukan kehidupan di dalam penjara semirip mungkin dengan kehidupan di masyarakat. Para petugas penjara bukan hanya penjaga, tetapi juga fasilitator rehabilitasi yang dilatih membangun hubungan prososial dengan warga binaan.
Studi menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasional di penjara mampu menurunkan risiko residivisme dan meningkatkan peluang kerja pasca-bebas. UNODC bahkan meluncurkan program pelatihan daring interaktif berbasis Nelson Mandela Rules untuk memperkuat peran petugas penjara dalam rehabilitasi.
3. Studi Kasus Global: Mengurangi Kepadatan Penjara
Salah satu contoh sukses adalah Kazakhstan, yang berhasil menurunkan rasio penghuni penjara menjadi 194 per 100.000 penduduk dan menutup delapan penjara dalam satu dekade terakhir. Reformasi hukum pidana yang mengedepankan hukuman non-penjara serta pengurangan masa tahanan menjadi kunci keberhasilan ini.
Sementara itu, Argentina membentuk Corruption Prevention Service untuk menangani korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, demi menjamin transparansi dalam pelaksanaan program rehabilitasi.
4. Mengutamakan Alternatif Hukuman: Pendekatan Berbasis Komunitas
Alternatif hukuman seperti probation, parole, mediasi korban-pelaku, serta diversi untuk pengguna narkoba terbukti lebih efektif dalam mendorong reintegrasi sosial. Pendekatan ini juga lebih hemat biaya daripada pemenjaraan.
Sebagai contoh, di Austria, program mediasi korban-pelaku menunjukkan hasil signifikan, di mana 84% peserta tidak mengulangi pelanggaran hukum setelahnya. Di Filipina, pendekatan berbasis komunitas di tingkat barangay berhasil membentuk jaringan dukungan sosial bagi pelaku dan korban.
Namun demikian, penting untuk menghindari fenomena “net-widening”, yakni penggunaan pengawasan berlebihan terhadap pelanggar risiko rendah yang justru bisa meningkatkan peluang residivisme.
5. Peran Teknologi dalam Rehabilitasi
Teknologi juga memainkan peran strategis, terutama dalam menyambungkan narapidana dengan dunia luar. Di Kyrgyzstan, penggunaan aplikasi Skype memungkinkan keluarga melakukan kunjungan virtual, mengurangi tekanan logistik dan biaya.
Sementara di Singapura, pengembangan aplikasi seluler membantu mantan narapidana mencari pekerjaan, mengakses layanan konseling, dan membangun kembali kehidupan sosial secara bertahap.
6. Kolaborasi Multipihak: Kunci Keberlanjutan Reintegrasi
Rehabilitasi tidak bisa dijalankan oleh sistem hukum pidana saja. Pendekatan multipihak melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dunia usaha, dan keluarga. Misalnya, di Jepang, program volunteer probation officers melibatkan masyarakat langsung dalam membina mantan narapidana secara sukarela dan terstruktur.
UNODC juga menyoroti pentingnya pelatihan gender-sensitif dan responsif budaya untuk petugas rehabilitasi, serta program khusus untuk perempuan dan remaja pelaku pelanggaran hukum.
7. Kritik dan Tantangan
Meskipun strategi ini terdengar ideal, ada beberapa tantangan nyata di lapangan:
Di sisi lain, pendekatan ini menyelaraskan antara keadilan sosial, penghematan biaya, dan perlindungan hak asasi manusia.
Kesimpulan
Mengurangi residivisme bukan hanya urusan sistem hukum pidana, tetapi sebuah misi kemanusiaan lintas sektor. Diperlukan kombinasi antara evidence-based practices, inovasi teknologi, kerja sama multipihak, dan keberpihakan terhadap rehabilitasi dibanding penghukuman semata. Jika berhasil diimplementasikan, pendekatan ini dapat mengubah penjara menjadi tempat harapan, bukan ketakutan; dan reintegrasi menjadi proses manusiawi, bukan sanksi berkepanjangan.
Sumber : United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI). (2021). Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions. Report of the Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Kyoto, Japan.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Swiss dikenal sebagai model stabilitas demokrasi dengan sistem pemerintahan langsung dan partisipatif yang dikagumi dunia. Dalam laporan Sustainable Governance Indicators (SGI) 2024, disebutkan bahwa Swiss adalah negara dengan realisasi demokrasi langsung terbaik, memberikan ruang luas bagi warga untuk terlibat dalam keputusan politik. Sistem ini menghasilkan legitimasi politik yang tinggi, baik secara input (partisipasi) maupun output (kebijakan efektif), dan berkontribusi pada kehidupan politik yang stabil dalam masyarakat yang beragam.
Namun, di balik stabilitas dan kemakmuran ekonomi, laporan ini juga mengungkap berbagai tantangan besar: hubungan dengan Uni Eropa yang macet, stagnasi reformasi iklim, ketimpangan sosial, serta reformasi pensiun yang lambat dan kontroversial.
Demokrasi Swiss: Kekuatan dan Struktur Fundamental
Swiss mencatat:
Sistem demokrasi Swiss ditopang oleh:
Namun, pendekatan konsensus ini kini terancam oleh polarisasi politik, terutama antara partai populis kanan seperti SVP dan partai hijau-sosial liberal.
Tantangan Utama Demokrasi Swiss Saat Ini
1. Hubungan yang Buntu dengan Uni Eropa
Swiss sangat bergantung pada UE dari sisi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, dan penelitian. Namun, sejak gagalnya kesepakatan kelembagaan bilateral pada 2021, hubungan kedua pihak stagnan. UE mendesak:
Swiss kesulitan menerima tuntutan ini tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Kompromi perlu disahkan lewat referendum, yang berisiko ditolak publik.
2. Reformasi Iklim yang Lambat
Hal ini mencerminkan kecenderungan reform-averse dalam sistem referendum Swiss, di mana oposisi mudah dimobilisasi.
3. Sistem Pensiun: Antara Keadilan Antar-Generasi dan Ketimpangan
Salah satu proposal baru akan dibawa ke referendum tahun 2024, berisiko kembali gagal karena resistensi dari partai tengah dan sektor keuangan.
4. Ketimpangan Sosial dan Integrasi Warga Asing
Masalah ini diperparah oleh rasisme struktural dan diskriminasi institusional, terutama dalam akses pekerjaan, perumahan, dan proses naturalisasi.
5. Sistem Kesehatan Kurang Berkelanjutan
6. Kemandekan Reformasi karena Polarisasi Politik
7. Demokrasi Langsung: Partisipatif tapi Reform-Averse
Krisis Responsif: Ketika Sistem Lambat Menanggapi Tantangan
Swiss menghadapi tantangan utama: ketidakmampuan merespons cepat terhadap perubahan. Contoh konkret:
Tiga penghambat utama:
Meskipun lambat, solusi yang dihasilkan sering kali berkualitas tinggi. Tapi, dalam konteks perubahan iklim dan globalisasi yang cepat, kelambanan ini menjadi risiko serius.
Imigrasi: Antara Kontribusi Ekonomi dan Ketegangan Identitas
Partai Swiss People's Party (SVP) berhasil memanfaatkan isu ini untuk menggerakkan inisiatif populis yang berbasis identitas, meski tingkat xenophobia relatif rendah.
Solusi dan Refleksi: Menuju Pemerintahan yang Lebih Tangguh
Swiss menghadapi dilema klasik: bagaimana menjaga kedaulatan nasional sambil tetap mendapatkan manfaat dari integrasi internasional?
Laporan menyarankan:
Meskipun begitu, sistem Swiss tetap memiliki keunggulan pragmatisme: banyak kebijakan ekstrem dari hasil referendum dijinakkan dalam tahap implementasi, menghindari dampak buruk langsung.
Kesimpulan
Swiss adalah bukti hidup bahwa demokrasi langsung bisa stabil dan efektif, tetapi hanya jika ditopang oleh partisipasi luas, administrasi efisien, dan budaya kompromi. Namun, di tengah perubahan global yang makin cepat, sistem yang lambat merespons bisa menjadi hambatan.
Tantangan terbesar Swiss ke depan adalah bagaimana menjaga legitimasi partisipatif sambil meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan dalam isu-isu mendesak seperti iklim, kesehatan, dan integrasi internasional.
Sumber asli: Armingeon, K., Sager, F., Mavrot, C., & Zohlnhöfer, R. (Eds.). (2024). Sustainable Governance Indicators: Switzerland Report. SGI – Bertelsmann Stiftung.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.
Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.
Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal
1. Penegakan Kartel
Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:
Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.
2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap
Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.
Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.
3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja
Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.
Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).
4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota
Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:
Contoh paling gamblang adalah:
Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi
1. Regulasi (dan Deregulasi)
Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:
2. Insentif Struktural dan Budaya
Industri konstruksi memiliki struktur unik:
Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.
3. Ekonomi Transisi
Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:
4. Kekuatan Diskresioner
Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:
Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.
Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia
Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.
Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:
Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.
Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Ambruknya bangunan bukan hanya bencana struktural, tapi tragedi kemanusiaan. Di Nigeria, terutama kota Jos, insiden ini merenggut nyawa, meluluhlantakkan properti, dan memperparah kemiskinan. Meskipun kota besar seperti Lagos dan Abuja mendapat sorotan media, kota-kota kecil seperti Jos kerap luput dari perhatian.
Artikel ilmiah oleh Ketkukah et al. (2023) menyoroti lima kasus keruntuhan bangunan di Jos antara 2016–2022, dengan pendekatan studi lapangan langsung dan data sekunder. Artikel ini tidak hanya mengulas sebab teknis, tetapi juga menekankan pentingnya peran profesional, regulasi yang ketat, dan edukasi masyarakat.
Latar Belakang: Mengapa Bangunan di Jos Banyak Ambruk?
Masalah keruntuhan bangunan bukanlah hal baru di Nigeria. Namun, tidak adanya pengawasan ketat, minimnya keterlibatan profesional bersertifikasi, dan penggunaan material substandar menjadi penyebab utama bencana yang terus terulang.
Berdasarkan laporan lapangan, tidak satu pun dari lima bangunan yang runtuh memiliki izin resmi dari Jos Metropolitan Development Board (JMDB). Bahkan dalam beberapa kasus, desain struktur tidak pernah melibatkan insinyur struktur, dan pembangunan dijalankan oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi profesional.
Studi Kasus 1: Sekolah Dasar Abu Ni’ima Islamic School (2015)
Bangunan ini runtuh di Bukuru, Jos South pada 6 September 2015. Korban jiwa: 6 siswa meninggal, 12 luka-luka.
Penyebab teknis utama:
Menurut laporan NBRRI No. 36, tidak ada profesional yang terlibat dalam pembangunan sekolah ini. Pihak yang membangun adalah tukang yang tidak memahami prinsip rekayasa struktur. Runtuhnya struktur terjadi akibat kegagalan penulangan dan pengecoran yang tidak memenuhi standar.
Studi Kasus 2: Kantor Asosiasi Medis Nigeria (NMA) (2018)
Bangunan kantor dan aula ini runtuh pada 6 September 2018. Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian materi sangat besar.
Masalah utama:
Kasus ini menggarisbawahi bahaya ketika proyek besar dikelola oleh pekerja tanpa latar belakang struktural. Anggaran organisasi yang dihimpun bertahun-tahun musnah dalam sekejap.
Studi Kasus 3: Bangunan Tiga Lantai di Butcher Lane, Dilimi (2019)
Bangunan ini runtuh pada 12 Juli 2019 dan menyebabkan 14 korban jiwa, termasuk pemilik bangunan dan keluarganya.
Faktor penyebab utama:
Bangunan ini awalnya hanya satu lantai, lalu diubah menjadi tiga lantai tanpa memperhitungkan fondasi. Akibatnya, beban berlebih membuat struktur gagal total.
Studi Kasus 4: Gymnasium Universitas Jos (2022)
Pada 23 April 2022, angin kencang menerbangkan atap Gym Taekwondo di Universitas Jos.
Temuan utama:
Ini menunjukkan pentingnya pengujian desain terhadap kondisi cuaca lokal, serta pentingnya keterlibatan profesional sejak awal proyek.
Studi Kasus 5: Bangunan Toko di Bukuru Mini Stadium (2022)
Bangunan ini memiliki toko di lantai dasar dan kantor di atasnya. Runtuh tanpa korban jiwa, tapi kerugian materi besar.
Penyebab runtuh:
Ini adalah contoh nyata penyalahgunaan fungsi bangunan tanpa rekalkulasi desain.
Akar Masalah: Ketiadaan Profesional dan Lemahnya Regulasi
Lima studi kasus menunjukkan pola berulang:
Menurut COREN dan CORBON, kegagalan sistem pengawasan lapangan, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat, turut memperparah krisis ini.
Perbandingan dengan Kota Lain
Di kota besar seperti Lagos, penyebab keruntuhan mirip: penggunaan tukang non-berlisensi, desain buruk, serta lemahnya pengawasan (Oseghale et al., 2015). Namun, perbedaannya terletak pada intensitas pelaporan dan penindakan hukum. Jos masih jauh tertinggal dalam hal itu.
Rekomendasi Penulis (dan Tambahan Analisis)
Dari Paper:
Tambahan:
Penutup
Kasus runtuhnya bangunan di Jos seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh stakeholder konstruksi di Nigeria dan negara berkembang lainnya. Keterlibatan profesional tidak bisa ditawar, dan pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar tragedi. Dengan edukasi, regulasi, dan komitmen profesional, kita bisa mencegah korban berikutnya.
Sumber : Ketkukah, T. S., Sule, E., Mije, F. G., & Badamasi, A. (2023). Assessment of Building Collapses in Jos Town, Plateau State Nigeria (2016–2022). OIDA International Journal of Sustainable Development, 16(05).