Keselamatan Kerja

Evaluasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Industri Manufaktur

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Maret 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi elemen krusial dalam industri manufaktur untuk melindungi pekerja dari risiko kecelakaan kerja. Penelitian ini terdiri dari empat sub-studi yang mencakup:

  1. Analisis tingkat kecelakaan kerja sebelum dan sesudah penerapan OHSAS 18001.
  2. Pengukuran iklim keselamatan kerja melalui survei terhadap 269 pekerja.
  3. Perbandingan praktik K3 antara perusahaan bersertifikasi dan non-sertifikasi.
  4. Identifikasi faktor yang mempengaruhi efektivitas OHSAS 18001 melalui wawancara dengan manajer perusahaan.

Data dikumpulkan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, termasuk analisis statistik regresi binomial negatif dan wawancara semi-terstruktur.

Penelitian ini menemukan bahwa meskipun perusahaan yang telah tersertifikasi OHSAS 18001 memiliki dokumentasi yang lebih baik, implementasi standar ini tidak selalu berkorelasi langsung dengan penurunan kecelakaan kerja.

  • Rata-rata tingkat cedera di perusahaan bersertifikasi adalah 6,22 per 100 karyawan setelah implementasi standar, turun dari 17,1 sebelum sertifikasi.
  • Namun, dua dari tiga perusahaan bersertifikasi masih mengalami peningkatan tingkat kecelakaan setelah sertifikasi (dari 3,85 ke 4,8 dan 2,78 ke 4,88), menunjukkan bahwa sertifikasi saja tidak cukup untuk meningkatkan keselamatan kerja.

Perbedaan Iklim Keselamatan antara Perusahaan Bersertifikasi dan Non-Bersertifikasi

  • 269 pekerja yang disurvei menunjukkan bahwa perusahaan bersertifikasi memiliki kesadaran keselamatan lebih tinggi.
  • Faktor-faktor seperti pelatihan keselamatan, keterlibatan manajemen, dan komunikasi risiko lebih baik di perusahaan yang telah mengadopsi OHSAS 18001.
  • Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi keselamatan antara manajer dan pekerja, di mana pekerja merasa bahwa implementasi standar lebih bersifat administratif daripada praktis.

Melalui wawancara dengan 16 manajer perusahaan, ditemukan beberapa hambatan utama dalam penerapan sistem K3:

  • Kurangnya komitmen manajemen: 75% responden menyebutkan bahwa manajemen hanya berfokus pada kepatuhan formal tanpa upaya nyata dalam peningkatan keselamatan.
  • Pelatihan pekerja yang terbatas: 80% pekerja tidak menerima pelatihan keselamatan secara berkala.
  • Kurangnya integrasi dengan budaya perusahaan: Banyak perusahaan menerapkan sistem ini hanya untuk memenuhi regulasi, bukan sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang.

Studi ini mengungkapkan bahwa sertifikasi OHSAS 18001 bukanlah jaminan langsung untuk peningkatan keselamatan kerja. Beberapa poin penting yang dapat diperhatikan:

  • Kelebihan:
    • Meningkatkan dokumentasi dan kepatuhan terhadap regulasi.
    • Meningkatkan kesadaran pekerja terhadap bahaya kerja.
  • Kekurangan:
    • Tidak selalu mengurangi tingkat kecelakaan secara signifikan.
    • Implementasi sering kali hanya bersifat administratif tanpa dampak nyata.
    • Faktor eksternal seperti regulasi pemerintah dan budaya kerja juga memengaruhi efektivitas sistem.

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan sistem manajemen K3 tidak hanya bergantung pada sertifikasi formal, tetapi juga pada implementasi yang efektif, komitmen manajemen, serta keterlibatan pekerja. Untuk meningkatkan efektivitas OHSAS 18001, perusahaan perlu memperkuat pelatihan, meningkatkan partisipasi pekerja, dan mengintegrasikan sistem K3 dengan strategi bisnis mereka.

Sumber: Ghahramani, A. Assessment of Occupational Health and Safety Management Systems Status and Effectiveness in Manufacturing Industry. University of Helsinki, 2017.

Selengkapnya
Evaluasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Industri Manufaktur

Keselamatan Kerja

Pendekatan Multi - Kriteria dalam Penilaian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Maret 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam dunia industri untuk melindungi pekerja dari berbagai bahaya yang berpotensi mengancam keselamatan mereka. Penelitian ini melakukan tinjauan sistematis terhadap 80 paper yang diterbitkan antara tahun 2003 hingga 2018. Makalah-makalah ini diklasifikasikan berdasarkan:

  • Tren publikasi dan jurnal penerbit
  • Faktor-faktor risiko yang dinilai
  • Alat analisis yang digunakan dalam metode penilaian risiko

Analisis ini bertujuan untuk memahami bagaimana metode berbasis MCDM dan fuzzy MCDM digunakan dalam berbagai sektor industri, termasuk manufaktur, konstruksi, energi, dan transportasi.

Beberapa contoh implementasi metode MCDM dalam penilaian risiko K3 yang dibahas dalam paper ini meliputi:

  1. Analytic Hierarchy Process (AHP) dalam Penilaian Risiko Industri Manufaktur
    • Metode AHP digunakan untuk menentukan tingkat risiko di sektor manufaktur dengan membandingkan berbagai faktor seperti probabilitas kejadian dan tingkat keparahan.
    • Studi menunjukkan bahwa AHP membantu meningkatkan ketepatan dalam mengidentifikasi prioritas bahaya di pabrik.
  2. TOPSIS untuk Evaluasi Risiko di Sektor Konstruksi
    • Teknik Technique for Order of Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) digunakan untuk mengurutkan risiko berdasarkan kedekatannya dengan solusi ideal.
    • Penelitian ini menemukan bahwa TOPSIS efektif dalam mengklasifikasikan berbagai faktor risiko pada proyek konstruksi skala besar.
  3. Fuzzy AHP dalam Penilaian Risiko Ergonomis
    • Kombinasi AHP dengan fuzzy logic digunakan untuk menilai risiko cedera akibat postur kerja yang buruk.
    • Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini lebih akurat dibandingkan dengan metode tradisional dalam menilai risiko yang melibatkan ketidakpastian.
  4. VIKOR untuk Manajemen Risiko di Sektor Transportasi
    • VlseKriterijumska Optimizacija I Kompromisno Resenje (VIKOR) digunakan dalam industri transportasi untuk menilai dan mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas.
    • Metode ini membantu dalam memilih solusi terbaik berdasarkan beberapa faktor risiko sekaligus.

Paper ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis MCDM sangat efektif dalam menangani kompleksitas penilaian risiko K3. Namun, terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan:

  • Ketergantungan pada Keputusan Subjektif: Banyak metode MCDM yang bergantung pada preferensi pengambil keputusan, sehingga dapat menghasilkan bias.
  • Kompleksitas Perhitungan: Beberapa metode, seperti fuzzy MCDM, memerlukan perhitungan yang lebih kompleks dibandingkan metode tradisional.
  • Kurangnya Standarisasi: Tidak semua metode memiliki standar yang seragam, sehingga sulit untuk dibandingkan antar industri.

Penelitian ini memberikan wawasan mendalam mengenai peran metode berbasis MCDM dan fuzzy MCDM dalam penilaian risiko K3. Dengan memahami berbagai metode ini, industri dapat memilih pendekatan yang paling sesuai untuk mengurangi kecelakaan dan meningkatkan keselamatan pekerja.

Sumber: Gül, M. A Review of Occupational Health and Safety Risk Assessment Approaches Based on Multi-Criteria Decision-Making Methods and Their Fuzzy Versions. Human and Ecological Risk Assessment: An International Journal, Vol. 24 No. 7, 2018, Hal. 1723-1760.

Selengkapnya
Pendekatan Multi - Kriteria dalam Penilaian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan Kerja

Sejarah dan Perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Amerika Serikat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Pada akhir abad ke-19, industrialisasi yang pesat membawa peningkatan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan meningkatnya penggunaan mesin berat dan bahan kimia berbahaya, para pekerja menghadapi risiko tinggi terhadap cedera dan penyakit akibat kerja. Data dari artikel menunjukkan bahwa:

  • Pada awal 1900-an, kecelakaan kerja di sektor pertambangan dan pabrik mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
  • Tahun 1905, kasus Lochner v. New York berusaha membatasi jam kerja tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa regulasi tersebut bertentangan dengan kebebasan berkontrak antara pekerja dan pengusaha.
  • Tahun 1911, tragedi Triangle Shirtwaist Factory Fire di New York menewaskan 146 pekerja tekstil, yang menjadi katalis bagi reformasi keselamatan kerja.

Perjuangan panjang buruh dan aktivis kesehatan akhirnya menghasilkan undang-undang yang lebih progresif:

  • 1969: Mine Safety and Health Act disahkan untuk meningkatkan keselamatan pekerja tambang.
  • 1970: Occupational Safety and Health Act (OSH Act) melahirkan OSHA, lembaga federal yang bertugas mengatur dan menegakkan standar keselamatan kerja.
  • 1980-an dan 1990-an: OSHA menghadapi tantangan dari industri yang berusaha mengurangi regulasi dengan alasan ekonomi. Studi dalam artikel ini menyoroti bagaimana kebijakan federal bergeser akibat tekanan politik dan ekonomi.

Dalam penelitian ini, Rosner dan Markowitz menyoroti bagaimana kebijakan OSHA telah mengurangi angka kecelakaan kerja:

  • Tahun 1970, sebelum OSHA, tingkat kematian akibat kecelakaan kerja mencapai 14.000 per tahun.
  • Tahun 2018, angka ini turun drastis menjadi 5.250 per tahun, meskipun jumlah tenaga kerja meningkat.
  • Standar yang diperkenalkan oleh OSHA, seperti regulasi paparan asbes dan bahan kimia berbahaya, secara signifikan mengurangi penyakit akibat kerja.

Namun, artikel ini juga mencatat bahwa perlawanan dari industri terus berlanjut:

  • Pada era 1980-an, pemerintahan Reagan memangkas anggaran OSHA dan melemahkan pengawasan terhadap perusahaan.
  • Tahun 2001, regulasi ergonomi yang diusulkan untuk mengurangi cedera akibat gerakan repetitif dibatalkan oleh Kongres.
  • Pada 2017-2020, administrasi Trump mengurangi jumlah inspeksi OSHA, yang menyebabkan peningkatan kecelakaan di tempat kerja.

Rosner dan Markowitz menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hanya masalah regulasi tetapi juga pertarungan antara kepentingan buruh dan industri. Beberapa poin penting yang dapat diambil dari artikel ini adalah:

  1. Regulasi K3 berdampak nyata pada pengurangan kecelakaan kerja.
  2. Tekanan politik dan ekonomi mempengaruhi efektivitas OSHA dalam melindungi pekerja.
  3. Peran serikat pekerja dan aktivis kesehatan sangat penting dalam memastikan regulasi tetap kuat dan efektif.

Artikel ini memberikan wawasan mendalam mengenai sejarah dan dinamika kebijakan K3 di Amerika Serikat. Meskipun telah banyak kemajuan, tantangan masih tetap ada, terutama dalam menghadapi tekanan dari sektor industri yang ingin melonggarkan regulasi. Keselamatan pekerja harus tetap menjadi prioritas utama, dan penelitian seperti ini membantu menyoroti pentingnya regulasi yang kuat untuk melindungi hak-hak pekerja.

Sumber: Rosner, D., & Markowitz, G. A Short History of Occupational Safety and Health in the United States. American Journal of Public Health, Vol. 110, No. 5, 2020, Hal. 622-628.

Selengkapnya
Sejarah dan Perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Amerika Serikat

Keselamatan Kerja

Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Industri Katering di China

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Industri katering di China berkembang pesat seiring dengan meningkatnya standar hidup masyarakat. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi dengan tingginya angka kecelakaan kerja dan permasalahan kesehatan akibat kondisi kerja yang tidak aman. Dalam makalah "A Discussion of Occupational Health and Safety Management for the Catering Industry in China" oleh Chen Qiang dan Wan Ki Chow, yang diterbitkan dalam International Journal of Occupational Safety and Ergonomics (2007), dibahas pentingnya penerapan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di industri katering China.

Menurut data tahun 2002, terdapat lebih dari 3,5 juta tempat makan di China yang mempekerjakan lebih dari 18 juta orang. Dengan jumlah tenaga kerja yang besar, risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menjadi perhatian utama. Beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya risiko K3 di industri katering meliputi faktor lingkungan kerja seperti suhu tinggi, ventilasi buruk, dan paparan zat karsinogenik dari asap memasak. Selain itu, kurangnya standar keselamatan, seperti tidak adanya tanda darurat, kondisi lantai yang licin, serta prosedur penyimpanan bahan berbahaya yang tidak tepat, turut meningkatkan risiko kecelakaan. Kurangnya pelatihan bagi pekerja terkait keselamatan kerja serta kurangnya inspeksi rutin juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi K3 di sektor ini.

Implementasi Sistem Manajemen K3 (OHSMS)

Penulis mengusulkan penerapan sistem manajemen K3 berbasis OHSAS 18001:1999 (sekarang ISO 45001). Sistem ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya, mengevaluasi risiko, dan menerapkan tindakan pengendalian untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman.

Langkah-langkah utama dalam implementasi sistem ini meliputi identifikasi bahaya dan penilaian risiko menggunakan standar GB/T13861-1992 untuk mengklasifikasikan faktor bahaya, termasuk faktor fisik, kimia, biologis, serta faktor perilaku manusia. Tingkat bahaya ditentukan dengan metode LEC (Likelihood, Exposure, Consequence), yang mengukur probabilitas kecelakaan, tingkat paparan, dan dampak potensialnya.

Pengendalian teknis juga diperlukan untuk meningkatkan keselamatan kerja. Beberapa langkah yang direkomendasikan termasuk peningkatan ventilasi untuk mengurangi paparan asap berbahaya, pemasangan sistem pemurnian asap dapur, serta desain ulang dapur agar lebih ergonomis dan aman. Pencegahan kecelakaan juga harus menjadi prioritas utama, seperti pemasangan pelindung pada mesin pencacah daging dan pengaduk adonan untuk mencegah cedera mekanis, perawatan rutin peralatan listrik untuk menghindari risiko sengatan listrik, serta penggunaan alat bantu ergonomis untuk mengurangi risiko cedera akibat pengangkatan beban berat.

Selain itu, penerapan program keselamatan dan peningkatan kesadaran karyawan sangat penting. Pelatihan keselamatan harus diberikan secara rutin agar pekerja lebih sadar akan risiko kerja dan cara mengatasinya. Penegakan prosedur kerja yang lebih ketat sesuai dengan standar keselamatan nasional serta peningkatan jumlah tanda peringatan dan jalur evakuasi yang lebih jelas juga harus dilakukan.

Dalam penelitian ini, dilakukan analisis risiko di dapur restoran menggunakan metode LEC. Beberapa risiko yang diidentifikasi antara lain lantai licin yang dapat menyebabkan cedera fisik, kebocoran gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan, serta paparan asap berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja. Risiko kebocoran gas merupakan yang paling tinggi dan membutuhkan tindakan pengendalian segera, seperti inspeksi rutin dan pemasangan detektor gas.

Penelitian ini menyoroti pentingnya penerapan sistem manajemen K3 di industri katering China. Dengan meningkatnya jumlah restoran dan pekerja di sektor ini, perhatian terhadap keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi prioritas. Beberapa rekomendasi utama dari penelitian ini meliputi penerapan standar OHSMS berbasis OHSAS 18001 untuk meningkatkan keselamatan kerja, peningkatan pelatihan pekerja agar lebih sadar akan risiko kerja dan cara mengatasinya, serta investasi dalam teknologi keselamatan, seperti sistem ventilasi yang lebih baik dan perangkat pelindung pada mesin dapur.

Dengan menerapkan strategi ini, diharapkan industri katering di China dapat mengurangi tingkat kecelakaan kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Sumber Asli

Chen Q, Chow WK. A Discussion of Occupational Health and Safety Management for the Catering Industry in China. International Journal of Occupational Safety and Ergonomics, 13(3), 333-339.

Selengkapnya
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Industri Katering di China

Keselamatan Kerja

Analisis Faktor Keselamatan Industri

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Keselamatan industri merupakan aspek krusial dalam dunia kerja, terutama di sektor yang melibatkan risiko tinggi seperti manufaktur, pertambangan, dan energi. Artikel "A Factorial Analysis of Industrial Safety" oleh Cordelia Ochuole Omoyi dan Ayodeji Samuel Omotehinse, yang diterbitkan dalam International Journal of Engineering and Innovative Research (2021), membahas berbagai variabel yang mempengaruhi keselamatan industri serta penerapan metode statistik untuk menganalisis faktor-faktor ini.

Studi ini mengadopsi pendekatan statistik yang menggabungkan dua metode utama:

  1. Kendall’s Coefficient of Concordance (KCC) – Digunakan untuk menganalisis konsistensi peringkat faktor bahaya oleh panel juri yang terdiri dari 13 orang.
  2. Principal Component Analysis (PCA) – Digunakan untuk mengurangi jumlah variabel dari 32 menjadi 5 faktor utama yang paling berpengaruh terhadap keselamatan industri.

Para peneliti mengumpulkan data melalui kuesioner berbasis skala Likert 5 poin yang disebarkan kepada 22 responden yang memiliki pengalaman di industri terkait. Dari 22 kuesioner yang disebarkan, 13 di antaranya berhasil dikembalikan dan dianalisis lebih lanjut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi keselamatan industri:

  1. Work World Culture (Budaya Kerja)

    • Faktor ini mencakup aspek seperti lingkungan kerja, desain tempat kerja, volume lalu lintas dalam zona kerja, serta tingkat kesadaran terhadap bahaya.
    • Salah satu temuan menarik adalah bahwa kegagalan sub-sistem dalam proses industri memiliki pengaruh signifikan terhadap kecelakaan kerja.
  2. Ground Rule Matters (Aturan Dasar Keselamatan)

    • Faktor ini menyoroti pentingnya desain ruang kerja yang ergonomis, kejelasan prosedur keselamatan, serta kesiapan dalam menghadapi peringatan dini.
    • Kesalahan manusia dan gangguan konsentrasi menjadi faktor utama dalam peningkatan risiko kecelakaan.
  3. Safety Considerations (Pertimbangan Keselamatan)

    • Faktor ini mencakup aspek seperti penanganan material berbahaya dan risiko akibat kegagalan peralatan.
    • Data menunjukkan bahwa kombinasi beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan kecelakaan secara eksponensial.
  4. Work Condition (Kondisi Kerja)

    • Termasuk dalam faktor ini adalah aspek lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas dan tingkat kecelakaan, seperti suhu, ventilasi, dan kondisi fisik fasilitas.
  5. Perception of Safety (Persepsi Terhadap Keselamatan)

    • Faktor ini menggarisbawahi pentingnya bagaimana pekerja memandang keselamatan dalam lingkungan kerja mereka.
    • Studi ini menemukan bahwa persepsi keselamatan yang rendah sering kali berkorelasi dengan tingkat kecelakaan yang lebih tinggi.

Dalam penelitian ini, salah satu contoh konkret yang dianalisis adalah sektor minyak dan gas. Beberapa temuan utama dari sektor ini antara lain:

  • 41,45% pekerja dalam industri ini memiliki kemungkinan mengalami transisi dari kondisi aman ke kondisi berisiko tinggi.
  • Adanya korelasi antara beban kerja tinggi dan peningkatan tingkat kecelakaan.
  • Kompleksitas lingkungan kerja memainkan peran besar dalam menentukan tingkat kecelakaan di sektor ini.

Penerapan metode PCA dalam studi ini menunjukkan bahwa dengan mengurangi jumlah variabel yang diamati, organisasi dapat lebih mudah menentukan prioritas dalam mengelola risiko keselamatan.

Hasil penelitian ini memiliki implikasi penting bagi industri dalam meningkatkan keselamatan kerja:

  1. Penguatan Budaya Keselamatan – Perusahaan perlu memastikan bahwa keselamatan menjadi bagian integral dari budaya kerja.
  2. Peningkatan Pelatihan dan Kesadaran – Pelatihan berkala harus diberikan kepada pekerja untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap bahaya yang ada.
  3. Penerapan Teknologi Keselamatan – Penggunaan sensor, sistem peringatan dini, dan perangkat keselamatan pintar dapat membantu mengurangi risiko kecelakaan.
  4. Evaluasi Berkelanjutan – Proses audit keselamatan harus dilakukan secara berkala untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan industri.

Artikel "A Factorial Analysis of Industrial Safety" memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor utama yang mempengaruhi keselamatan di lingkungan industri. Dengan menerapkan pendekatan berbasis data seperti KCC dan PCA, organisasi dapat mengidentifikasi faktor-faktor kritis dan mengambil tindakan preventif yang lebih efektif. Studi ini juga menyoroti pentingnya meningkatkan budaya keselamatan di tempat kerja guna mengurangi tingkat kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Sumber Asli

Omoyi, C.O., Omotehinse, S.A. A Factorial Analysis of Industrial Safety. International Journal of Engineering and Innovative Research, 4(1), 33-43.

Selengkapnya
Analisis Faktor Keselamatan Industri

Keselamatan Kerja

Pentingnya Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Kurir Ekspedisi dalam Menghadapi Multi-Hazard

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Dalam industri logistik yang berkembang pesat, para kurir ekspedisi menghadapi berbagai risiko kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan keselamatan mereka. Paper berjudul Occupational Health and Safety (OHS) Training for Expedition Couriers to be Able to Deal with Multi-Hazards oleh Reniasinta dan Evi Widowati dari Universitas Negeri Semarang membahas bagaimana pelatihan K3 dapat membantu kurir dalam menghadapi risiko kerja yang beragam. Studi ini dilakukan pada kurir ID Express Drop Point Kroya di Kabupaten Cilacap, dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja serta mengusulkan solusi berbasis pelatihan K3.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross-sectional. Sampel penelitian terdiri dari 35 kurir ekspedisi ID Express Drop Point Kroya. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang mengukur kelelahan kerja menggunakan instrumen Industrial Fatigue Research Committee (IFRC), serta faktor lain seperti beban kerja, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan usia.

Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji chi-square, Kolmogorov-Smirnov, dan Fisher. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kelelahan kerja dengan beban kerja (p=0.024), lama kerja (p=0.007), dan kebiasaan olahraga (p=0.021).

Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap kelelahan kerja pada kurir ekspedisi:

  1. Beban Kerja Tinggi:
    • 42,9% kurir mengalami beban kerja tinggi
    • 45,7% mengalami beban kerja sangat tinggi
    • Beban kerja yang tinggi meningkatkan kemungkinan kelelahan secara signifikan
  2. Lama Kerja yang Tidak Sesuai:
    • 82,9% kurir bekerja lebih dari 7 jam per hari
    • Pekerja dengan jam kerja lebih panjang memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kelelahan
  3. Kurangnya Aktivitas Fisik:
    • 48,6% kurir tidak pernah berolahraga
    • Hanya 8,6% yang rutin berolahraga lebih dari 3 kali per minggu
    • Kurangnya olahraga berkontribusi terhadap tingkat kelelahan yang lebih tinggi
  4. Kurangnya Pengalaman Kerja:
    • 57,1% kurir memiliki masa kerja ≤7 bulan, yang dikaitkan dengan adaptasi kerja yang belum optimal

Berdasarkan wawancara dengan 7 kurir, ditemukan bahwa 71% mengalami gejala kelelahan seperti:

  • Sakit kepala
  • Nyeri punggung akibat duduk terlalu lama
  • Kekakuan bahu setelah berkendara berjam-jam

Selain itu, peningkatan belanja online selama pandemi COVID-19 menyebabkan lonjakan volume pengiriman, sehingga menambah tekanan kerja bagi kurir ekspedisi.

Solusi: Pentingnya Pelatihan K3

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pelatihan K3 dapat menjadi solusi dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan keselamatan kerja kurir ekspedisi. Beberapa langkah yang direkomendasikan meliputi:

  1. Pelatihan Manajemen Kelelahan: Mengajarkan teknik manajemen waktu dan istirahat yang optimal untuk mengurangi risiko kelelahan.
  2. Pelatihan Keselamatan Berkendara: Mengedukasi kurir tentang teknik berkendara yang aman dan cara menghindari kecelakaan di jalan.
  3. Pelatihan Ergonomi: Memberikan panduan tentang postur tubuh yang benar saat berkendara dan mengangkat barang untuk mencegah cedera otot dan tulang.
  4. Penerapan Sistem K3 di Perusahaan: Mengoptimalkan jadwal kerja agar tidak melebihi batas aman serta memastikan kurir memiliki waktu istirahat yang cukup.

Paper ini menyoroti betapa pentingnya pelatihan K3 dalam industri logistik, khususnya bagi kurir ekspedisi yang menghadapi risiko kerja tinggi. Dengan menerapkan sistem pelatihan yang baik, perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan kurir sekaligus menjaga produktivitas operasional. Studi ini memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan kebijakan keselamatan kerja di sektor logistik, terutama dalam menghadapi tantangan era digital yang semakin menuntut kecepatan dan efisiensi.

Sumber: Reniasinta, R., & Widowati, E. Occupational Health and Safety (OHS) Training for Expedition Couriers to be Able to Deal with Multi-Hazards. International Journal of Active Learning, Vol. 7 No. 2, 2022, Hal. 209-218.

Selengkapnya
Pentingnya Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Kurir Ekspedisi dalam Menghadapi Multi-Hazard
« First Previous page 7 of 11 Next Last »