Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 29 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini menyoroti risiko keselamatan di laboratorium mekanika tanah, salah satu fasilitas penting dalam pendidikan teknik sipil. Survei melibatkan 72 mahasiswa yang menggunakan laboratorium ini secara rutin. Hasilnya, 27,8% responden pernah mengalami kecelakaan kerja, dengan total 21 kasus dalam tiga tahun terakhir. Jenis kecelakaan bervariasi, mulai dari luka ringan akibat alat, terpapar material, hingga hampir terjadi kecelakaan yang berpotensi serius. Temuan ini menunjukkan bahwa laboratorium pendidikan memiliki risiko nyata yang tidak boleh diabaikan. Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa 95,8% responden menyatakan setuju jika Job Safety Analysis (JSA) diterapkan untuk menurunkan angka kecelakaan. Angka ini memperlihatkan dukungan kuat dari stakeholder langsung, yakni mahasiswa sebagai pengguna utama laboratorium. Dengan demikian, penelitian ini berhasil mengidentifikasi adanya kesenjangan antara tingkat kesadaran akan pentingnya keselamatan dan implementasi praktik K3 di lapangan.
Kontribusi utama penelitian ini adalah mempertegas bahwa risiko keselamatan bukan hanya isu industri, tetapi juga isu akademik. Laboratorium pendidikan, sebagai tempat mahasiswa berlatih, seharusnya menjadi ruang aman sekaligus instrumen pembelajaran budaya keselamatan. Dengan adanya data kuantitatif mengenai kecelakaan dan dukungan terhadap JSA, studi ini memberi arah baru bahwa JSA dapat menjadi standar keselamatan di lingkungan akademik teknik sipil.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meski memberikan data penting, penelitian ini masih memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, data kecelakaan hanya berdasarkan laporan mandiri mahasiswa (self-report), sehingga rawan bias ingatan atau persepsi. Tidak semua kecelakaan tercatat secara administratif, sehingga akurasi angka bisa berbeda dengan kenyataan. Kedua, penelitian ini hanya mencakup satu laboratorium di satu universitas. Hasilnya belum tentu berlaku di laboratorium teknik sipil lain, apalagi laboratorium lintas bidang seperti teknik kimia atau elektro. Ketiga, penelitian ini masih berupa analisis kebutuhan, sehingga belum ada uji coba nyata implementasi JSA. Belum diketahui secara empiris apakah JSA benar-benar menurunkan angka kecelakaan dalam konteks pendidikan. Keempat, faktor-faktor pendukung seperti pelatihan K3, ketersediaan APD, dan budaya keselamatan belum dibahas secara mendalam. Pertanyaan terbuka yang muncul antara lain: bagaimana mekanisme terbaik untuk mengintegrasikan JSA dalam kurikulum laboratorium? Faktor apa yang paling signifikan dalam mengurangi risiko: pelatihan, pengawasan, atau desain ruang laboratorium? Dan sejauh mana hasil penelitian ini dapat dihubungkan dengan regulasi nasional tentang K3 di lingkungan pendidikan?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Implementasi JSA Nyata di Laboratorium.
Langkah logis berikutnya adalah menyusun dokumen JSA spesifik untuk laboratorium mekanika tanah. Peneliti perlu mengidentifikasi setiap aktivitas berisiko, misalnya penggunaan alat uji geser langsung atau penanganan sampel tanah basah. Dokumen JSA tersebut kemudian diujicobakan kepada mahasiswa dan teknisi. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan data kecelakaan sebelum dan sesudah penerapan. Jika terjadi penurunan signifikan, misalnya tingkat kecelakaan turun 40%, maka bukti empiris efektivitas JSA semakin kuat.
2. Eksperimen Lapangan dengan Metode Before-After.
Selain implementasi terbatas, penelitian dapat menggunakan desain eksperimen kuasi. Kelompok mahasiswa yang menggunakan JSA dibandingkan dengan kelompok yang tidak. Variabel yang diukur tidak hanya jumlah kecelakaan, tetapi juga tingkat kepatuhan terhadap prosedur dan pemahaman konsep K3. Data ini akan memberi gambaran lebih menyeluruh mengenai dampak JSA terhadap perilaku dan budaya keselamatan.
3. Studi Multi-Laboratorium dan Multi-Institusi.
Untuk memperluas cakupan, penelitian harus melibatkan laboratorium lain, baik di dalam maupun luar bidang teknik sipil. Studi lintas universitas akan memperlihatkan apakah pola kecelakaan dan persepsi mahasiswa serupa. Selain itu, perbandingan antar-laboratorium dapat mengungkap faktor kontekstual, misalnya laboratorium dengan APD lengkap cenderung memiliki tingkat kecelakaan lebih rendah.
4. Analisis Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Keselamatan.
Riset lanjutan sebaiknya mengidentifikasi variabel lain yang berkontribusi, seperti frekuensi pelatihan, jumlah pengawas, dan desain tata ruang laboratorium. Metode analisis multivariat dapat digunakan untuk melihat faktor mana yang paling signifikan. Misalnya, apakah kepatuhan terhadap penggunaan helm dan sarung tangan memiliki korelasi lebih tinggi dengan penurunan kecelakaan dibandingkan dengan faktor lain.
5. Integrasi JSA dengan Sistem Manajemen K3 Nasional.
Penelitian ini membuka peluang untuk menghubungkan praktik JSA di laboratorium dengan kebijakan K3 skala nasional. Hasil riset bisa digunakan sebagai rekomendasi kepada Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Pendidikan untuk menetapkan JSA sebagai standar wajib di laboratorium pendidikan. Dengan demikian, mahasiswa terbiasa dengan budaya K3 sejak masa studi, yang pada akhirnya akan terbawa ke dunia kerja.
Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan dasar kuat untuk mengembangkan laboratorium sebagai ruang belajar yang aman sekaligus efektif. Hasilnya menegaskan bahwa meskipun laboratorium bersifat pendidikan, risiko nyata tetap ada, dan strategi seperti JSA dapat menjadi solusi strategis. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, universitas teknik sipil, serta asosiasi profesi K3 agar hasilnya valid, aplikatif, dan berkelanjutan.
Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Analisis Kritis dan Jalur Riset Berkelanjutan untuk Manajemen Keselamatan Konstruksi
Pendahuluan: Konteks Ilmiah dan Signifikansi Riset
Di seluruh dunia, industri konstruksi secara konsisten menempati peringkat sebagai salah satu sektor paling berisiko tinggi. Di Malaysia, situasi ini sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan yang disajikan dalam makalah ini, data dari Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DOSH) menunjukkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2013, total 187 pekerja konstruksi meninggal akibat kecelakaan di lokasi kerja.1 Angka yang mengejutkan ini menggarisbawahi urgensi untuk melakukan perombakan menyeluruh terhadap praktik keselamatan yang ada. Laporan Dayang dan Gloria (2011) yang dikutip dalam makalah juga mencatat adanya kecelakaan besar yang terjadi setiap tahun antara 2005 hingga 2008, termasuk insiden tragis di mana kabel lift pekerja putus yang mengakibatkan kematian dua pekerja dan melukai sepuluh lainnya.1 Fakta-fakta ini secara kolektif menempatkan industri konstruksi sebagai sektor kritis yang memerlukan intervensi riset dan praktik yang berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, makalah yang diulas ini memiliki relevansi yang substansial. Tujuan utamanya adalah untuk mengkaji praktik keselamatan yang berlaku di lokasi konstruksi Malaysia, mengidentifikasi masalah-masalah terkait, dan merumuskan strategi untuk mengatasinya.1 Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus kualitatif, yang melibatkan wawancara semi-terstruktur dengan petugas keselamatan di dua proyek pembangunan bertingkat tinggi di Kuala Lumpur.1 Pemilihan proyek-proyek ini dianggap tepat karena risiko keselamatan yang secara inheren tinggi pada bangunan bertingkat, yang juga menuntut implementasi praktik keselamatan yang ketat untuk melindungi pekerja dan publik di sekitarnya.
Alur Temuan Riset: Analisis Praktik, Masalah, dan Strategi
Praktik Keselamatan yang Diterapkan: Standar vs. Realita di Lapangan
Makalah ini mengawali alur logisnya dengan meninjau praktik-praktik keselamatan yang diakui secara luas dalam literatur ilmiah. Tinjauan ini mencakup praktik-praktik fundamental seperti adanya kebijakan keselamatan, program pendidikan dan pelatihan, inspeksi dan audit rutin, pertemuan keselamatan, dan penggunaan alat pelindung diri (APD).1 Secara teoritis, sistem ini merupakan kerangka kerja yang komprehensif untuk memastikan lingkungan kerja yang aman.
Melalui studi kasus kualitatif, makalah ini menemukan bahwa kedua kontraktor proyek yang diteliti telah menerapkan sebagian besar praktik ini dengan baik dan terstruktur.1 Mereka memiliki kebijakan keselamatan yang jelas, menyelenggarakan berbagai jenis pelatihan seperti pelatihan induksi harian dan pelatihan khusus pekerjaan, serta secara teratur melakukan inspeksi dan audit keselamatan. Pelaksanaan praktik ini terperinci; misalnya, audit dilakukan dua kali setahun oleh perwakilan DOSH dan komite keselamatan, dan pelatihan induksi untuk pekerja baru mencakup orientasi penggunaan APD dan prosedur darurat.1 Namun, terlepas dari keberadaan sistem formal yang tampaknya kokoh ini, makalah ini mengidentifikasi adanya paradoks utama: masalah-masalah substansial masih saja terjadi di lapangan. Keberadaan kebijakan dan jadwal pelatihan tidak secara otomatis menghasilkan budaya keselamatan yang kuat atau kepatuhan yang konsisten di kalangan pekerja. Hal ini menunjukkan kesenjangan kritis antara apa yang ada di atas kertas dan bagaimana hal itu benar-benar diimplementasikan.
Masalah Kunci dan Akar Permasalahannya
Makalah ini berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah utama yang menghambat efektivitas praktik keselamatan, yang sebagian besar berpusat pada faktor-faktor non-prosedural. Masalah-masalah yang disorot adalah: ketidakpedulian pekerja terhadap prosedur kerja, kurangnya alokasi dana, kurangnya kesadaran di kalangan pekerja, dan hambatan bahasa antara supervisor dan pekerja.1
Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa masalah-masalah ini bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Contohnya, "ketidakpedulian" dan "kurangnya kesadaran" di kalangan pekerja bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil dari faktor-faktor kausal yang lebih dalam.1 Wawancara dengan petugas keselamatan mengungkapkan bahwa banyak pekerja yang berfokus untuk "menyelesaikan pekerjaan lebih cepat untuk mendapatkan upah".1 Ini menyoroti adanya konflik insentif: insentif finansial untuk kecepatan sering kali berbenturan dengan insentif keselamatan untuk kepatuhan. Hambatan bahasa juga bukan sekadar masalah komunikasi verbal, tetapi merupakan masalah fundamental dalam akses informasi dan efektivitas pelatihan. Ketika pekerja tidak memahami instruksi atau materi pelatihan, mereka tidak dapat mempraktikkan prosedur keselamatan yang benar, terlepas dari niat baik yang ada.1 Masalah lain yang ditekankan adalah kurangnya alokasi anggaran yang memadai untuk manajemen keselamatan, yang menjadi akar masalah yang mendalam.1 Banyak kontraktor yang menganggap uang lebih baik dialokasikan untuk "kebutuhan" daripada untuk pelatihan keselamatan. Meskipun praktik keselamatan seperti pengadaan APD atau papan buletin memerlukan investasi, makalah ini menemukan bahwa banyak pelaku industri hanya memberikan alokasi yang minim, atau bahkan tidak sama sekali, untuk implementasi keselamatan di lapangan.1
Strategi yang Direkomendasikan: Solusi untuk Kesenjangan Implementasi
Sebagai respons terhadap masalah yang diidentifikasi, makalah ini mengusulkan serangkaian strategi yang logis. Strategi-strategi ini mencakup penyediaan pelatihan yang lebih efektif (misalnya, menggunakan video dan animasi), alokasi anggaran yang memadai, komitmen penuh dari manajemen puncak, dan penyediaan materi keselamatan multibahasa seperti buku saku.1 Makalah ini mengklaim bahwa buku saku multibahasa di salah satu studi kasus "terbukti efektif".1
Meskipun usulan ini relevan, makalah ini tidak menyajikan data kuantitatif yang membuktikan efektivitasnya secara empiris. Klaim mengenai "keefektifan" materi multibahasa, misalnya, didasarkan pada laporan kualitatif dari narasumber, bukan pada metrik terukur seperti penurunan insiden atau peningkatan skor pemahaman. Ketergantungan pada data kualitatif tanpa validasi kuantitatif membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang lebih ketat, yang akan menjadi fondasi untuk rekomendasi yang lebih kuat dan berbasis bukti.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Makalah ini memberikan beberapa kontribusi yang signifikan bagi bidang manajemen keselamatan konstruksi. Pertama, ia memberikan validasi empiris di lingkungan Malaysia untuk praktik-praktik keselamatan yang telah lama dikenal di literatur.1 Ini adalah langkah maju yang penting dari sekadar tinjauan teoretis, menyediakan kasus nyata tentang bagaimana kebijakan dan prosedur diterjemahkan (atau tidak diterjemahkan) di lapangan.
Kontribusi terpentingnya adalah identifikasi kesenjangan kritis antara keberadaan kebijakan keselamatan formal dan efektivitas implementasi praktisnya.1 Alih-alih hanya berfokus pada "apa yang harus dilakukan," makalah ini menyoroti "mengapa yang sudah ada tidak berjalan," yang menggeser fokus riset dari masalah kepatuhan prosedural menjadi masalah budaya dan perilaku. Temuan ini mengarahkan peneliti untuk mempertimbangkan bahwa keselamatan bukanlah semata-mata masalah teknis, melainkan masalah interaksi kompleks antara kebijakan, komitmen manajemen, dan insentif perilaku pekerja. Makalah ini secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara faktor-faktor non-teknis ini dengan hasil keselamatan, menggarisbawahi potensi besar untuk objek penelitian baru yang dapat menjembatani kesenjangan tersebut.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya berharga, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang harus diakui.
Pertama, cakupannya sangat sempit, didasarkan pada hanya dua studi kasus di Kuala Lumpur.1 Temuan ini, oleh karena itu, tidak dapat digeneralisasi ke seluruh industri konstruksi Malaysia, yang memiliki keragaman yang jauh lebih besar dalam skala dan jenis proyek.
Kedua, penelitian ini memiliki bias subyektif yang signifikan, karena data dikumpulkan secara eksklusif dari perspektif petugas keselamatan. Sudut pandang pekerja, manajemen senior, atau pihak berwenang seperti DOSH tidak dipertimbangkan. Ini menciptakan pandangan yang kemungkinan besar mencerminkan kebijakan resmi perusahaan dan bukan pengalaman atau persepsi nyata dari semua pemangku kepentingan di lokasi kerja.
Ketiga, sifat kualitatifnya, meskipun ideal untuk eksplorasi dan pembentukan hipotesis, tidak memungkinkan untuk membuktikan hubungan kausal atau korelasi statistik. Klaim seperti "buku saku multibahasa efektif" tetap bersifat anekdotal dan tidak didukung oleh data numerik yang dapat membuktikan hubungan sebab-akibat.
Keterbatasan ini meninggalkan banyak pertanyaan riset yang belum terjawab, yang menjadi lahan subur untuk investigasi di masa depan. Sebagai contoh, apakah ada hubungan kuantitatif yang dapat diukur antara alokasi anggaran keselamatan dan tingkat kecelakaan, produktivitas, dan profitabilitas proyek? Bagaimana budaya organisasi memengaruhi perilaku keselamatan di luar kebijakan formal yang ada? Seberapa besar dampak dari sistem penalti dan penghargaan terhadap kepatuhan jangka panjang, dan apakah ada perbedaan dampak pada pekerja lokal dibandingkan dengan pekerja migran?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam makalah ini, lima jalur riset berkelanjutan berikut ini diusulkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset.
Kesimpulan: Sintesis dan Ajakan Kolaboratif
Secara keseluruhan, makalah ini berhasil memberikan pemahaman empiris yang berharga tentang status praktik keselamatan di lokasi konstruksi Malaysia. Kontribusi utamanya adalah mengidentifikasi secara jelas kesenjangan yang ada antara kerangka kerja keselamatan yang ideal dan tantangan implementasi praktisnya, yang sebagian besar disebabkan oleh masalah perilaku, budaya, dan alokasi sumber daya. Dengan mengakui keterbatasan metodologisnya, seperti ruang lingkup yang sempit dan bias subyektif, makalah ini membuka jalan untuk investigasi ilmiah yang lebih ketat dan dapat digeneralisasi.
Kelima rekomendasi riset yang diusulkan—mulai dari studi kuantitatif hingga riset tindakan—menghadirkan jalur yang terperinci untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang belum terjawab. Eksplorasi jalur ini sangat penting untuk memajukan pemahaman kita dari deskriptif menjadi prediktif dan dari preskriptif menjadi transformatif. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk beralih dari sekadar mendokumentasikan masalah menjadi merancang solusi yang dapat diterapkan secara efektif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi riset terkemuka, departemen pemerintah seperti DOSH, dan asosiasi industri seperti Master Builders Association Malaysia (MBAM) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Hanya melalui kolaborasi multi-pihak, kita dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, dan pada akhirnya, menciptakan lokasi kerja yang benar-benar aman bagi semua pekerja.
Sumber dari Paper: Chin Keng, Tan & Abdul Razak, Nadeera. (2014). Case Studies on the Safety Management at Construction Site. Journal of Sustainability Science and Management. 9. 90-108.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Pendahuluan: Konteks dan Relevansi Kritis
Meskipun laju kemajuan teknologi dan metode konstruksi terus meningkat, industri ini secara historis tetap menjadi salah satu yang paling berbahaya di seluruh dunia. Paparan terhadap lingkungan kerja yang dinamis dan selalu berubah, yang melibatkan pergerakan konstan kru, material, dan peralatan, secara signifikan meningkatkan kerentanan pekerja terhadap cedera yang dapat dicegah.1 Data kuantitatif menegaskan realitas yang suram ini: pekerja konstruksi di Amerika Serikat, yang hanya merupakan persentase kecil dari angkatan kerja, menjadi korban 9% dari semua cedera fatal dan 20% dari semua cedera non-fatal di tempat kerja.1 Secara global, lebih dari 60.000 fatalitas terkait konstruksi dilaporkan setiap tahun.1
Dalam menghadapi tantangan yang terus-menerus ini, makalah tinjauan ini bertujuan untuk mengatasi celah riset yang signifikan. Penelitian sebelumnya tentang keselamatan konstruksi seringkali terfragmentasi, membatasi fokusnya pada satu atau beberapa bahaya saja.1 Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif tentang seluruh spektrum bahaya yang ada di lokasi kerja menjadi sulit bagi para pemangku kepentingan.1 Makalah ini berupaya mengisi celah tersebut dengan menyajikan sintesis yang terorganisir dan menyeluruh dari literatur yang ada. Tinjauan ini mengidentifikasi 18 bahaya keselamatan utama, mengklasifikasikannya berdasarkan dampak fisiologis dan sektor konstruksi, serta merumuskan strategi mitigasi terkait.1
Laporan ini, yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, berfungsi sebagai analisis kritis terhadap makalah tinjauan tersebut. Tujuannya adalah untuk menggali kontribusi substantif dari penelitian yang ada, mengidentifikasi keterbatasan dan pertanyaan terbuka yang tersirat di dalamnya, serta secara eksplisit menyusun arah riset yang eksplisit dan berbasis bukti untuk inisiatif penelitian di masa depan. Analisis ini melampaui ringkasan belaka untuk menyediakan peta jalan bagi pengembangan pengetahuan lebih lanjut di bidang K3 konstruksi.
Jalur Logis Temuan: Sintesis Sistematis dari Literatur
Makalah ini didasarkan pada metodologi tinjauan literatur sistematis yang ketat, yang memberikan fondasi ilmiah yang kuat untuk temuannya. Para peneliti mengumpulkan database ekstensif yang terdiri dari jurnal, tesis, laporan teknis, dan makalah konferensi.1 Proses penyaringan yang cermat, yang mencakup peninjauan 463 artikel awal, menghasilkan total 236 publikasi yang relevan untuk analisis mendalam.1 Analisis ini difokuskan pada literatur yang diterbitkan antara tahun 2002 dan Maret 2023, memastikan bahwa hasil yang disajikan mencerminkan minat dan wacana riset terkini.1
Identifikasi dan Klasifikasi Bahaya
Melalui tinjauan komprehensif ini, penelitian berhasil mengidentifikasi 18 bahaya keselamatan yang lazim di lokasi konstruksi.1 Bahaya-bahaya ini kemudian dikelompokkan ke dalam empat kategori utama berdasarkan dampak fisiologisnya: Bahaya Primer, Bahaya Fisik, Bahaya Kimia, dan Bahaya Ergonomi/Lainnya.1 Kerangka klasifikasi ini adalah alat yang berguna untuk secara sistematis mengidentifikasi bahaya, yang mengurangi kemungkinan mengabaikan risiko potensial di lokasi kerja.
Analisis Kuantitatif Frekuensi Bahaya dan Implikasinya
Salah satu aspek terpenting dari makalah ini adalah analisis peringkat bahaya berdasarkan frekuensi sitasi mereka dalam literatur yang ditinjau. Temuan ini secara efektif memetakan area perhatian utama komunitas riset. Bahaya yang paling sering disitasi adalah jatuh dari ketinggian, penanganan material dan peralatan, serta mesin berat.1 Frekuensi sitasi yang tinggi untuk bahaya-bahaya ini mengindikasikan bahwa para peneliti secara konsisten berfokus pada risiko-risiko ini, yang mungkin disebabkan oleh hubungannya yang kuat dengan cedera dan fatalitas.
Sebuah analisis yang lebih mendalam terhadap data kuantitatif makalah ini mengungkapkan dinamika yang menarik. Makalah ini menunjukkan bahwa distribusi artikel berdasarkan kategori bahaya menunjukkan bahwa bahaya kimia menjadi fokus terbesar, dengan 24% dari total publikasi yang ditinjau, sedangkan bahaya primer mencakup 22%.1 Namun, ketika beralih ke bahaya individu, bahaya primer jatuh dari ketinggian memiliki frekuensi sitasi tertinggi secara signifikan, yaitu 107 sitasi, jauh lebih tinggi dari bahaya lainnya.1 Hal ini menunjukkan bahwa, sementara ada beragam isu yang dieksplorasi dalam kategori bahaya kimia, perhatian riset dalam kategori bahaya primer sangat terkonsentrasi pada bahaya fatalitas tunggal yang paling signifikan—jatuh dari ketinggian. Korelasi yang jelas antara bahaya yang paling sering disitasi dan tingkat fatalitas yang dilaporkan mengindikasikan bahwa para peneliti memberikan perhatian yang tepat pada bahaya yang paling mematikan.
Strategi Mitigasi: Paradigma Baru dari Tradisional ke Digital
Makalah ini mengidentifikasi bahwa sebagian besar bahaya dapat dimitigasi melalui penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang tepat, pelatihan yang efektif, dan pengawasan yang memadai.1 Namun, makalah ini juga melampaui pendekatan tradisional dan secara eksplisit menyoroti peran teknologi mutakhir sebagai strategi mitigasi modern. Misalnya, makalah ini menyinggung bagaimana teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), Virtual Reality (VR), dan sensor yang dapat dipakai (wearable sensors) dapat digunakan untuk mengurangi risiko.1 Makalah ini menguraikan bagaimana simulasi BIM dapat digunakan untuk mendeteksi bahaya jatuh atau bagaimana pemodelan dapat mengoptimalkan tata letak lokasi untuk memitigasi polusi debu.1
Pengidentifikasian strategi mitigasi berbasis teknologi menunjukkan bahwa makalah ini mengakui bahwa industri konstruksi berada pada titik infleksi yang penting. Fakta bahwa fatalitas terus terjadi pada tingkat tinggi—lebih dari 60.000 per tahun secara global—mencerminkan keterbatasan metode tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa metode-metode tersebut, meskipun penting, tidak sepenuhnya efektif dalam mengatasi sifat kompleks dan terus berubah dari lingkungan konstruksi. Pengenalan dan advokasi teknologi ini menyiratkan perlunya pergeseran paradigma dari intervensi reaktif (menanggapi insiden yang terjadi) ke pendekatan proaktif dan prediktif yang didukung oleh data real-time dan simulasi. Ini adalah pengakuan bahwa solusi masa depan terletak pada penggunaan data untuk mencegah bahaya, bukan hanya mengelolanya setelah teridentifikasi.
Faktor Manusia sebagai Variabel Laten
Sepanjang makalah, analisis terhadap bahaya dan strategi mitigasi secara konsisten mengaitkan insiden dengan faktor perilaku manusia. Makalah ini berulang kali menyebut "kecenderungan mengambil risiko individu," "kurangnya pengalaman," dan "kurangnya kesadaran akan bahaya" sebagai faktor utama yang memperburuk semua jenis bahaya, dari jatuh hingga tertabrak.1 Misalnya, makalah ini mencatat bahwa lebih dari 80% pekerja yang terluka akibat jatuh dari perancah melaporkan tidak adanya atau penggunaan APD yang salah.1 Demikian pula, kecelakaan struck-by dikaitkan dengan kurangnya pelatihan keselamatan, pengawasan yang tidak memadai, dan kurangnya kesadaran situasional.1 Hal ini mengungkapkan bahwa di bawah lapisan bahaya fisik, kimia, dan ergonomis, terdapat variabel yang lebih dalam yang memengaruhi bagaimana bahaya tersebut bermanifestasi. Variabel laten ini adalah psikologi dan perilaku pekerja, yang dapat menyebabkan mereka mengabaikan protokol keamanan yang sudah ada. Hal ini menunjukkan bahwa riset masa depan tidak boleh hanya berfokus pada identifikasi bahaya atau penerapan teknologi, tetapi juga pada pemahaman dan modifikasi perilaku manusia, yang seringkali menjadi akar dari banyak insiden.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Makalah ini memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang keselamatan konstruksi dalam beberapa cara:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun makalah ini merupakan tinjauan yang komprehensif, ada beberapa keterbatasan yang perlu diakui, yang juga membuka jalan untuk penelitian di masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat menyusun arah penelitian di masa depan, yang semuanya didukung oleh justifikasi ilmiah.
Kesimpulan
Makalah tinjauan ini tidak hanya berfungsi sebagai ringkasan literatur yang komprehensif, tetapi juga sebagai peta jalan yang sangat berharga untuk riset masa depan. Dengan mengidentifikasi 18 bahaya, mengklasifikasikannya, dan merankingnya berdasarkan sitasi, makalah ini telah menyediakan fondasi yang kokoh bagi pemahaman di bidang K3 konstruksi. Namun, seperti yang terungkap dalam analisis ini, makalah tersebut juga secara implisit menyoroti celah yang signifikan—kurangnya data kuantitatif tentang efektivitas mitigasi, kebutuhan untuk memahami faktor manusia, dan potensi yang belum dimanfaatkan dari teknologi baru. Laporan ini mendorong komunitas riset untuk tidak hanya membangun di atas temuan makalah ini, tetapi juga secara kritis menantang paradigma yang ada dan berinvestasi dalam penelitian yang berfokus pada prediksi, intervensi berbasis data, dan akar perilaku dari bahaya keselamatan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai disiplin ilmu, seperti teknik sipil, ilmu data, dan psikologi industri untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.
Baca Selengkapnya disini: https://doi.org/10.3390/buildings14020526
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
Pendahuluan dan Konteks Penelitian
Tingkat keparahan kecelakaan kerja merupakan salah satu indikator utama dari efektivitas manajemen keselamatan di sebuah perusahaan. Upaya untuk meminimalisir dampak dari insiden ini secara fundamental bergantung pada implementasi Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) yang cepat dan tepat.1 Perawatan yang diberikan segera setelah cedera dapat menjadi penentu kritis antara pemulihan yang cepat atau konsekuensi yang lebih serius, bahkan antara hidup dan mati.1 Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap penerapan P3K di lingkungan kerja berisiko tinggi adalah sebuah keharusan.
Secara global, data dari International Labour Organization (ILO) tahun 2018 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: lebih dari 2,78 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan, dengan tambahan 374 juta cedera non-fatal.1 Kawasan Asia dan Pasifik menyumbang dua pertiga dari total kematian ini. Konteks nasional di Indonesia juga tidak kalah genting. Data BPJS Ketenagakerjaan dari tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan fluktuasi angka kecelakaan yang tinggi, mencapai 123.000 kasus pada tahun 2017.1 Data regional bahkan menyoroti situasi yang lebih parah, dengan Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Selatan mencatat lonjakan dramatis hingga 24.910 kasus pada tahun 2014, menjadikannya provinsi dengan angka kecelakaan tertinggi pada tahun tersebut.1
Mengingat urgensi tersebut, penelitian ini memfokuskan analisis pada sebuah perusahaan konstruksi kapal di Makassar, PT. Industri Kapal Indonesia. Latar belakang penelitian ini diperkuat oleh data internal perusahaan yang menunjukkan tren peningkatan kasus kecelakaan kerja dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari 2 kasus pada tahun 2012 menjadi 7 kasus pada tahun 2015.1 Peningkatan signifikan ini secara empiris menjustifikasi kebutuhan untuk mengkaji secara spesifik bagaimana sistem P3K di perusahaan tersebut diimplementasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan P3K di industri yang memiliki kompleksitas dan risiko bahaya kerja yang tinggi, serta mengidentifikasi kesenjangan antara regulasi yang ada dengan praktik di lapangan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian kualitatif-deskriptif ini memberikan kontribusi yang substansial dengan secara rinci memetakan ketidaksesuaian yang signifikan antara kepatuhan terhadap peraturan formal dan implementasi praktis di lapangan dalam industri konstruksi kapal di Makassar.1 Analisis ini melampaui sekadar mengonfirmasi adanya masalah, tetapi juga mengidentifikasi akar permasalahan yang bersifat manajerial, prosedural, dan kultural yang menciptakan jurang antara kebijakan dan praktik.
Temuan kunci pertama berpusat pada peran petugas P3K. Meskipun jumlah petugas P3K di perusahaan, yaitu 5 orang untuk 177 pekerja, telah memenuhi persyaratan kuantitatif yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, efektivitas operasional mereka terhambat oleh kegagalan sistemik.1 Penelitian ini secara kontradiktif menemukan adanya kurangnya pemantauan yang memadai dari penanggung jawab, tidak adanya tanda pengenal khusus bagi petugas di lapangan, dan ketiadaan buku laporan kegiatan P3K yang seharusnya menjadi alat dokumentasi esensial.1 Situasi ini mengindikasikan adanya "kesenjangan kepatuhan-implementasi" yang krusial. Perusahaan memenuhi persyaratan statis dengan merekrut jumlah petugas yang memadai, namun gagal dalam aspek kualitatif yang dinamis, seperti pengawasan, identifikasi, dan dokumentasi yang terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa audit kepatuhan yang hanya berbasis daftar periksa (checklist) tidak cukup untuk memastikan keselamatan kerja yang berkelanjutan; diperlukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap proses dan perilaku.
Aspek kedua yang menjadi sorotan adalah pelatihan dan sertifikasi petugas P3K. Penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar petugas (3 dari 5 orang) belum pernah mengikuti pelatihan khusus P3K, dan tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki lisensi atau sertifikat resmi.1 Temuan ini tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tetapi juga menciptakan risiko langsung terhadap respons kecelakaan. Penanganan yang tidak didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan yang terstandardisasi berpotensi memperparah cedera, bukan menyembuhkannya.1 Penegasan akan urgensi pelatihan ini didukung oleh temuan dari penelitian lain yang dikutip dalam paper, di mana pelatihan P3K terbukti meningkatkan pengetahuan peserta secara signifikan, dari rata-rata 65,75% sebelum pelatihan menjadi 89,75% sesudahnya, dengan nilai p-value 0.000, yang menunjukkan perbedaan rerata yang sangat signifikan.1 Data kuantitatif dari studi eksternal ini secara kuat mendukung justifikasi ilmiah akan perlunya pendidikan dan sertifikasi P3K yang wajib dan berkelanjutan.
Selanjutnya, penelitian ini secara rinci menguraikan kekurangan pada sarana dan prasarana P3K yang disediakan perusahaan.1
Secara keseluruhan, temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa pemenuhan standar P3K tidak hanya sebatas menyediakan kuantitas personel yang sesuai, melainkan juga menuntut sistem manajemen yang terstruktur dan budaya organisasi yang mendukung keselamatan kerja secara holistik.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi P3K di satu perusahaan, terdapat beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui.1 Pertama, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, yang memungkinkan pemetaan rinci kondisi lapangan tetapi tidak dapat membangun hubungan kausalitas yang kuat. Artinya, kita tidak dapat secara definitif mengklaim bahwa kekurangan dalam P3K
menyebabkan peningkatan kecelakaan kerja, meskipun korelasi logisnya sangat kuat.
Kedua, lingkup penelitian yang terbatas pada satu perusahaan di Makassar membatasi generalisasi temuan. Meskipun kondisi yang ditemukan mungkin serupa dengan perusahaan lain di industri yang sama, validitasnya tidak dapat digeneralisasi tanpa penelitian dengan sampel yang lebih besar dan beragam.1 Selain itu, paper ini juga menyebutkan keterbatasan akses akibat pandemi COVID-19 yang membatasi kedalaman observasi lapangan, terutama pada bagian kotak P3K dan area kerja lainnya.1
Berdasarkan keterbatasan dan temuan yang ada, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk riset di masa mendatang:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Kelima rekomendasi berikut disusun untuk menanggapi temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi dalam penelitian ini, bertujuan untuk memajukan pemahaman dan praktik K3 di industri konstruksi kapal dan sektor lainnya.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai tantangan dalam penerapan P3K di industri konstruksi kapal Makassar. Temuan menunjukkan bahwa meskipun kepatuhan formal ada dalam beberapa aspek, implementasi praktisnya masih jauh dari standar yang ditetapkan, terutama dalam hal pengawasan, pelatihan petugas, dan ketersediaan serta kualitas fasilitas P3K. Kesenjangan antara kebijakan dan praktik ini berpotensi meningkatkan risiko dan tingkat keparahan kecelakaan di lingkungan kerja.
Berdasarkan temuan ini, penelitian lebih lanjut sangat krusial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih terbuka dan untuk mengembangkan intervensi yang efektif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Universitas Muslim Indonesia (sebagai asal penelitian ini) untuk melanjutkan inisiatif akademik ini, Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan, dan PT. Industri Kapal Indonesia serta asosiasi industri terkait untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta memfasilitasi adopsi temuan riset menjadi praktik industri yang lebih baik.
Baca Selengkapnya disini: https://pasca-umi.ac.id/index.php/jmch/article/view/247/259
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025
Ringkasan Analitis: Narasi Logis Perjalanan Temuan
Riset ini memulai perjalanan evaluasinya dengan menempatkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 (UU No. 1/1970) sebagai landasan hukum utama bagi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Meskipun undang-undang ini telah berfungsi sebagai fondasi selama lebih dari lima dekade, penelitian ini berargumen bahwa kerangka hukum yang dirancang untuk konteks industri tahun 1960-an dan 1970-an kini dianggap tidak memadai untuk mengatasi risiko yang muncul di era modern, terutama dari Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan otomatisasi dan tren kerja virtual. Permasalahan ini diperkuat oleh laporan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020 yang mencatat lebih dari 200.000 kecelakaan kerja di seluruh Indonesia, khususnya di sektor konstruksi dan manufaktur, yang secara deskriptif menunjukkan adanya kegagalan sistematis dalam implementasi undang-undang yang ada.
Untuk mendiagnosis kesenjangan antara ketentuan hukum dan realitas di lapangan, penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dan analisis kebijakan. Melalui studi dokumen, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus (FGDs) dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pengusaha, pekerja, dan inspektur K3, para peneliti berhasil mengidentifikasi alur logis dari permasalahan utama.
Pertama, analisis normatif terhadap substansi hukum menunjukkan adanya celah regulasi yang signifikan. UU No. 1/1970 tidak memiliki ketentuan spesifik untuk melindungi pekerja jarak jauh atau pekerja di lingkungan virtual, yang kian lazim di era digital.1 Lebih lanjut, riset ini menyoroti tumpang tindih regulasi yang membingungkan antara Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5/2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 48/2016. Ketidakselarasan ini menciptakan kebingungan di lapangan, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang kerap kekurangan kapasitas untuk menavigasi kerangka hukum yang rumit.
Kedua, temuan empiris menegaskan bahwa implementasi undang-undang ini jauh dari optimal. Sistem pengawasan di lapangan terbukti sangat lemah karena keterbatasan jumlah dan kualitas inspektur K3. Isu ini diperparah oleh desentralisasi inspeksi ke tingkat provinsi yang seringkali kekurangan sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas yang memadai. Akibatnya, banyak perusahaan—terutama di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan dan konstruksi—beroperasi dengan pengawasan yang minimal.
Ketiga, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi ketidakmampuan sanksi untuk memberikan efek jera. Data kuantitatif menyoroti bahwa denda maksimum yang tercantum dalam Pasal 15 UU No. 1/1970 hanya sebesar IDR 100.000, sebuah angka yang dianggap tidak relevan dan ketinggalan zaman di tengah konteks ekonomi saat ini.1 Dengan denda yang begitu sepele, perusahaan tidak memiliki disinsentif yang kuat untuk mematuhi standar keselamatan, dan banyak di antaranya memilih untuk menyelesaikan kecelakaan kerja secara internal tanpa pelaporan resmi. Kondisi ini mencerminkan sebuah rantai kausal: substansi hukum yang usang menjadi tidak efektif di lapangan karena dua "mata rantai lemah" utama, yaitu sanksi yang tidak kredibel dan sistem pengawasan yang gagal untuk menegakkan ketentuan hukum secara konsisten.
Hal ini memunculkan sebuah paradoks kepatuhan. Penelitian menemukan bahwa perusahaan besar yang terikat oleh standar internasional, seperti ISO 45001, cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Kepatuhan ini tidak didorong oleh ketentuan UU No. 1/1970 semata, melainkan oleh ancaman sanksi administratif yang lebih berat terkait dengan sertifikasi global, seperti risiko kehilangan reputasi atau penarikan sertifikasi. Hal ini menyiratkan bahwa masalah utama bukanlah desain regulasi itu sendiri, melainkan kegagalan sistem penegakannya untuk menciptakan insentif yang cukup kuat untuk mendorong kepatuhan sukarela dari sektor swasta.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Riset ini memberikan beberapa kontribusi penting yang melampaui evaluasi kebijakan konvensional dan menjadi landasan kokoh bagi studi K3 di masa depan.
Pertama, penelitian ini secara eksplisit mengkaji dan memetakan tantangan K3 yang muncul dari era digital dan Industri 4.0, termasuk kerja virtual dan otomatisasi, yang sering terabaikan dalam literatur hukum ketenagakerjaan tradisional di Indonesia. Dengan mengidentifikasi celah regulasi yang tidak mencakup risiko-risiko baru ini, riset ini mengisi kekosongan penting dan menunjukkan bahwa kerangka hukum harus diperbarui untuk mengakomodasi dinamika ketenagakerjaan yang terus berubah.
Kedua, paper ini menawarkan analisis holistik tentang kegagalan sistemik dalam ekosistem penegakan hukum K3 di Indonesia. Alih-alih hanya mengkritik substansi undang-undang, penelitian ini memberikan diagnosis komprehensif yang menghubungkan berbagai aspek yang saling tumpang tindih: mulai dari regulasi yang tidak selaras antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kesehatan, kelemahan sistem inspeksi yang terdesentralisasi, hingga sanksi yang tidak proporsional. Pendekatan ini menunjukkan bahwa reformasi kebijakan harus bersifat menyeluruh, tidak hanya terfokus pada revisi teks undang-undang.
Ketiga, temuan-temuan penelitian ini, didukung oleh perbandingan dengan praktik internasional (misalnya di Jerman dan Jepang), berfungsi sebagai cetak biru yang solid untuk reformasi kebijakan. Laporan ini tidak hanya mendeskripsikan masalah, tetapi juga menyediakan peta jalan yang jelas untuk perbaikan di masa depan, yang menjadikannya referensi yang berharga bagi pembuat kebijakan dan komunitas akademis yang berupaya merancang intervensi yang lebih efektif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun riset ini menawarkan wawasan yang komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan yang membuka jalan bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
Pertama, penelitian ini didominasi oleh pendekatan kualitatif dan analisis normatif. Meskipun berhasil mengidentifikasi kesenjangan dan tantangan secara deskriptif, paper ini tidak mengukur dampak ekonomi riil dari kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan atau memodelkan hubungan kuantitatif antara tingkat sanksi dan tingkat kepatuhan. Hal ini menyisakan pertanyaan terbuka mengenai skala dan biaya ekonomi yang sesungguhnya dari kecelakaan kerja yang tidak tercatat, baik bagi perusahaan maupun perekonomian secara keseluruhan.
Kedua, meskipun data BPJS Ketenagakerjaan yang menunjukkan "lebih dari 200.000 kecelakaan" di tahun 2020 disorot , paper ini tidak menyediakan analisis statistik yang lebih dalam mengenai pola-pola kecelakaan tersebut. Tidak ada rincian mengenai faktor kausal, distribusi sektoral yang lebih spesifik, atau demografi pekerja yang paling rentan. Keterbatasan ini menghambat pemahaman yang lebih nuansial tentang siapa yang paling terdampak dan mengapa.
Terakhir, penelitian ini mengidentifikasi UMKM sebagai kelompok dengan tingkat kepatuhan terendah akibat "kendala biaya" dan "kurangnya kesadaran". Namun, penjelasan ini cenderung umum dan tidak menganalisis secara mendalam hambatan-hambatan non-finansial. Hal ini menyisakan pertanyaan tentang apakah ada faktor lain yang lebih dalam, seperti budaya kerja yang mengabaikan risiko, rendahnya literasi pendidikan, atau hambatan birokrasi yang dihadapi UMKM dalam mengimplementasikan K3. Pertanyaan ini krusial untuk merancang intervensi kebijakan yang lebih terfokus di masa depan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan paper dan analisis keterbatasan yang ada, berikut adalah lima rekomendasi penelitian lanjutan yang dapat menjadi fokus bagi komunitas akademis, peneliti, dan penerima hibah riset.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Secara keseluruhan, penelitian ini telah berhasil mendiagnosis kesenjangan sistemik dalam implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1970. Temuannya menunjukkan bahwa masalah bukan hanya pada regulasi yang usang, tetapi juga pada ekosistem penegakan hukum yang gagal memberikan efek jera, didukung oleh pengawasan yang lemah dan sanksi yang tidak efektif. Untuk mengatasi tantangan ini secara komprehensif, diperlukan penelitian lanjutan yang holistik, multidisiplin, dan kolaboratif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi utama yang berperan dalam ekosistem K3 Indonesia, termasuk Center for Policy Development, Ministry of Manpower sebagai perumus kebijakan; Sarbumusi Confederation sebagai perwakilan pekerja; dan lembaga pendidikan seperti University of Brawijaya dan universitas-universitas lain yang disebutkan dalam referensi sebagai mitra akademis. Kolaborasi ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.
Baca Selengkapnya disini https://doi.org/10.47198/jnaker.v19i3.417
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Penelitian ini, berjudul "A roadmap to improve usage items to enhance the operational effectiveness of occupational safety and health management expense in Korean construction," menawarkan analisis yang mendalam dan berharga mengenai masalah kritis dalam industri konstruksi Korea Selatan: tingginya tingkat kecelakaan kerja meskipun ada regulasi biaya keselamatan dan kesehatan kerja (OSHE) yang ketat. Melalui metodologi yang cermat, para peneliti tidak hanya mengidentifikasi kelemahan dalam sistem saat ini, tetapi juga menyusun sebuah peta jalan praktis yang berpotensi merevolusi cara biaya OSHE dialokasikan dan dimanfaatkan.
Paper ini secara eksplisit berargumen bahwa meskipun Korea telah menetapkan OSHE sebagai biaya hukum independen yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan (MOEL), tingkat kecelakaan kerja dan fatalitas di sektor konstruksi tetap tinggi dan bahkan menunjukkan tren meningkat. Sebagai contoh, tingkat fatalitas per 10.000 orang meningkat dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020. Perbedaan yang signifikan ini (sekitar dua kali lipat dari rata-rata semua industri, yang pada tahun 2020 adalah 0,49 untuk tingkat kecelakaan kerja dan 0,50 untuk tingkat fatalitas) menunjukkan adanya disonansi antara regulasi dan efektivitas aktualnya.
Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini berfokus pada perbaikan item penggunaan OSHE, yang secara unik diatur dalam hukum Korea. Paper ini menyoroti bahwa studi-studi sebelumnya lebih banyak berfokus pada perbaikan tarif akuntansi dan transparansi penggunaan, namun kurang memperhatikan item-item itu sendiri. Padahal, industri kini menuntut perbaikan regulasi untuk mencakup item-item yang "tidak dapat digunakan" tetapi sangat efektif dalam pencegahan kecelakaan, serta integrasi produk keselamatan cerdas yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri Keempat.
Metodologi penelitian ini sangat sistematis. Pertama, peneliti mengumpulkan 57 item potensial yang membutuhkan perbaikan melalui tinjauan buku kuesioner MOEL dan wawancara pemangku kepentingan, dengan 79% item terkait fasilitas keselamatan dan alat pelindung diri. Kemudian, melalui konsultasi dengan delapan pakar industri yang memiliki rata-rata pengalaman 14 tahun, daftar ini disaring menjadi 34 item final. Data dikumpulkan melalui survei dari 536 pemangku kepentingan (84,89% adalah manajer keselamatan dari perusahaan konstruksi) menggunakan skala Likert 4 poin untuk mengevaluasi tingkat kepentingan (urgensi pengakuan) dan kinerja (efektivitas pencegahan kecelakaan) dari setiap item.
Temuan utama didasarkan pada Analisis Kepentingan-Kinerja (IPA), sebuah metodologi yang memetakan item-item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata kepentingan dan kinerja. Rata-rata kepentingan untuk item konvensional adalah 3,15 dan kinerja 3,31, sementara untuk produk keselamatan cerdas, kepentingannya 2,97 dan kinerjanya 3,12. Item yang jatuh di kuadran pertama (penting dan efektif) menjadi fokus utama. Secara keseluruhan, 16 item (7 konvensional, 9 produk cerdas) diidentifikasi sebagai prioritas utama untuk segera diperkenalkan. Temuan ini secara kuat menunjukkan adanya konsensus di antara para pemangku kepentingan bahwa jenis investasi ini sangat dibutuhkan dan berpotensi besar dalam mencegah kecelakaan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi signifikan. Pertama, ini adalah salah satu studi pertama yang secara komprehensif berfokus pada peningkatan item penggunaan OSHE, bukan hanya pada tarif atau transparansi akuntansi, mengisi kekosongan yang diidentifikasi dari studi-studi sebelumnya. Kedua, dengan menggunakan metodologi IPA, penelitian ini memberikan kerangka kerja yang solid dan berbasis data untuk pengambilan keputusan kebijakan. Pendekatan ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk secara visual mengidentifikasi prioritas investasi dalam sumber daya yang terbatas, membedakan antara item yang perlu segera diimplementasikan dengan item yang memerlukan tinjauan jangka panjang.
Ketiga, studi ini secara eksplisit mengintegrasikan perspektif teknologi Revolusi Industri Keempat ke dalam manajemen keselamatan kerja, sebuah tren yang semakin relevan di seluruh dunia. Dengan memasukkan produk keselamatan cerdas seperti sistem deteksi area berbahaya dan rompi keselamatan dengan kantung udara ke dalam analisis, penelitian ini memvalidasi permintaan industri untuk mengadopsi inovasi. Terakhir, dengan menyajikan sebuah peta jalan yang terstruktur (jangka pendek, menengah, dan panjang), penelitian ini tidak hanya menyajikan temuan akademis tetapi juga instrumen kebijakan yang siap digunakan oleh pembuat kebijakan di Korea dan negara-negara lain dengan sistem manajemen keselamatan serupa. Peta jalan ini berfungsi sebagai model yang dapat direplikasi untuk memastikan alokasi dana yang efektif dan efisien untuk keselamatan pekerja.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya berharga, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan dan meninggalkan pertanyaan terbuka untuk penelitian lanjutan. Salah satu keterbatasan yang diakui oleh penulis adalah sifat subjektif dari data yang dikumpulkan melalui IPA. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengumpulkan data dari sampel besar dari berbagai pemangku kepentingan, persepsi terhadap "kepentingan" dan "kinerja" bisa bervariasi dan tidak selalu mencerminkan efektivitas nyata di lapangan.
Ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagaimana efektivitas item-item yang direkomendasikan ini dapat diverifikasi secara empiris di lingkungan nyata? Paper ini menyarankan perlunya pemantauan berkelanjutan setelah implementasi untuk memverifikasi tingkat kontribusi item-item tersebut dalam mencegah kecelakaan. Selain itu, pertanyaan mengenai dampak finansial masih menggantung. Penelitian ini mengakui bahwa memperluas item penggunaan tanpa meninjau ulang tarif akuntansi OSHE dapat menyebabkan kekurangan dana untuk fasilitas keselamatan esensial. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana model biaya yang diusulkan oleh studi ini dapat diterapkan dalam skala besar tanpa mengorbankan aspek keselamatan dasar.
Keterbatasan lainnya adalah fokus pada konteks Korea Selatan yang unik, di mana OSHE merupakan biaya hukum independen. Meskipun metodologi IPA dapat direplikasi, item-item spesifik dan regulasi yang melingkupinya mungkin tidak secara langsung berlaku di negara lain. Pertanyaannya adalah, bagaimana model ini dapat diadaptasi untuk pasar atau negara dengan sistem manajemen keselamatan yang berbeda, seperti yang mengintegrasikan OSHE ke dalam biaya proyek secara umum (seperti di AS atau Jepang)?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang dapat memajukan bidang ini:
Secara keseluruhan, penelitian ini tidak hanya berfungsi sebagai analisis kritis terhadap sistem manajemen keselamatan di industri konstruksi Korea, tetapi juga sebagai peta jalan yang berani dan visioner untuk masa depan. Dengan mengidentifikasi item-item penggunaan OSHE yang perlu segera ditingkatkan dan mengintegrasikan teknologi modern ke dalam kerangka regulasi, paper ini telah meletakkan fondasi yang kuat untuk kebijakan yang lebih efektif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian, kementerian pemerintah (seperti MOEL), perusahaan konstruksi, dan asosiasi industri. Kerja sama ini akan memastikan bahwa rekomendasi yang ada tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga praktis dan berkelanjutan di lapangan. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang tidak bisa dilebih-lebihkan; setiap langkah kecil dalam meningkatkan item OSHE dapat berkontribusi besar pada penurunan tingkat kecelakaan dan menyelamatkan nyawa pekerja.
Baca paper aslinya di sini https://doi.org/10.2486/indhealth.2022-0008