Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: K3 di Konstruksi Indonesia, Antara Retorika dan Realita
Industri konstruksi Indonesia menyumbang lebih dari 30% kecelakaan kerja nasional, menjadikannya sektor paling rentan secara keselamatan kerja. Dengan pertumbuhan pesat dan proyek-proyek berskala nasional yang semakin masif, penting untuk mengembangkan pendekatan sistematis terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian oleh Lestari dan rekan-rekan menjadi pionir dengan menyusun kerangka kerja iklim keselamatan (safety climate) untuk sektor konstruksi Indonesia berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Metodologi: Survei 311 Responden dan Analisis Multilevel
Temuan Utama: Iklim Keselamatan “Sedang”, Tapi Banyak Kontradiksi
Skor Keseluruhan
Dimensi dengan Skor Tertinggi
Dimensi dengan Skor Terendah
Paradox Iklim K3: Bicara K3, Tapi Tak Bertindak
Penelitian ini mengungkap dua paradoks utama:
Studi Kasus: Realita Lapangan yang Kontras
Temuan Spesifik Tiap Dimensi
1. Komitmen Manajemen
2. Komunikasi
3. Pelatihan
4. Akuntabilitas Pribadi
5. Aturan dan Prosedur
6. Lingkungan Pendukung
Analisis Kritis: Iklim Keselamatan Sebagai Refleksi Budaya dan Kebijakan
Penelitian ini menyoroti bahwa masalah keselamatan bukan hanya pada SOP, tapi juga pada struktur kekuasaan, budaya kerja, dan ketidaksesuaian kebijakan formal dan informal. Banyak pekerja merasa "aman" dalam bahasa, tapi tak punya kuasa bertindak saat situasi tidak aman benar-benar terjadi.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Kerangka Iklim K3 sebagai Solusi Sistemik
Penelitian ini bukan hanya mengukur persepsi pekerja, tapi menawarkan solusi konkret berbasis bukti dan realita budaya Indonesia. Kerangka kerja yang dihasilkan bersifat multilevel (proyek, organisasi, nasional) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi serta meningkatkan performa K3 di proyek-proyek konstruksi di Indonesia.
Untuk benar-benar menyelamatkan nyawa pekerja, Indonesia butuh lebih dari sekadar peraturan tertulis—diperlukan komitmen kolektif lintas level, dari pekerja hingga pembuat kebijakan.
Sumber : Lestari, F., Sunindijo, R. Y., Loosemore, M., Kusminanti, Y., & Widanarko, B. (2020). A Safety Climate Framework for Improving Health and Safety in the Indonesian Construction Industry. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7462.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: K3 dalam Industri Kehutanan, Urgensi yang Terlupakan
Industri kehutanan adalah salah satu yang paling berisiko tinggi secara global, dan Swedia tidak terkecuali. Meski negara ini terkenal dengan sistem keselamatan kerja yang maju, nyatanya rata-rata 2–3 kematian kerja akibat aktivitas kehutanan masih terjadi setiap tahun—angka yang tinggi mengingat hanya 0,6% tenaga kerja nasional bekerja di sektor ini, namun menyumbang lebih dari 5% total kecelakaan kerja fatal.
Selain kecelakaan, sekitar 100 insiden serius yang menyebabkan cuti sakit tercatat tiap tahun, dan 34 di antaranya berasal dari aktivitas penebangan. Namun, banyak kasus diduga tidak dilaporkan, sehingga angka riil jauh lebih tinggi.
Artikel ini menginvestigasi bagaimana kontraktor kehutanan di Swedia mengelola Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), serta faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi implementasinya. Studi ini penting karena mencerminkan realita sistem K3 di sektor yang semakin didominasi oleh subkontraktor dan mekanisasi tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Metodologi: Survei Skala Nasional dan Analisis Multivariat
Temuan Utama: Ukuran dan Lokasi Menentukan Kualitas K3
1. Perusahaan Besar Lebih Tertib K3
2. Kesadaran Terhadap K3 Tidak Terkait Langsung dengan Keuntungan
3. Kesenjangan Geografis Signifikan
Studi Kasus: Statistik Fakta Menarik
Kendala Utama Implementasi K3
Analisis & Opini: Sistemik, Bukan Sekadar Individu
Studi ini membuktikan bahwa implementasi K3 lebih dipengaruhi oleh ukuran dan sikap perusahaan dibanding kemampuan finansialnya. Ini menunjukkan bahwa persepsi dan budaya organisasi lebih penting daripada sekadar profitabilitas.
Kesenjangan antara regulasi hukum (AFS 2001:1) dan implementasi lapangan perlu ditangani melalui:
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap bahwa praktik K3 di industri kehutanan Swedia masih jauh dari ideal, terutama pada level kontraktor kecil dan sedang. Ukuran perusahaan dan persepsi terhadap nilai K3 menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi, bukan profitabilitas semata.
Untuk mencapai kondisi kerja yang aman dan sehat, diperlukan pendekatan sistemik, dukungan kebijakan, dan keterlibatan aktif semua pelaku industri. Jika tidak, maka risiko cedera dan kematian akan terus menghantui sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan Swedia.
Sumber : Kronholm, T., Olsson, R., Thyrel, M., & Häggström, C. (2024). Characterization of Swedish Forestry Contractors’ Practices Regarding Occupational Safety and Health Management. Forests, 15(3), 545. https://doi.org/10.3390/f15030545
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat
Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).
Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.
Tujuan dan Fokus Program Pengabdian
Program ini dirancang untuk:
Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif
Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:
Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan
Sebelum Penyuluhan:
Setelah Penyuluhan:
Materi Kunci yang Disampaikan:
Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:
Dampak Sosial dan Budaya
Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.
Analisis dan Refleksi
Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.
Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.
Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa Risiko K3 di Struktur Atas Menjadi Fokus Utama?
Pekerjaan struktur atas dalam proyek konstruksi gedung dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Risiko seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa material berat, hingga kerusakan alat berat dapat berdampak langsung pada keselamatan nyawa pekerja. Artikel karya La Ode Asrul R. dan tim menyoroti urgensi penerapan manajemen risiko K3 secara sistematis dalam tahapan ini, dengan studi kasus pada proyek gedung di Kota Kendari.
Dalam konteks industri konstruksi Indonesia yang terus bertumbuh, aspek keselamatan kerja tak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan kerja pada sektor konstruksi terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan risiko K3. Ini memperkuat pentingnya penelitian ini sebagai referensi implementatif.
Metodologi: Penilaian Risiko Menggunakan Metode Semi-Kuantitatif
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan data diperoleh melalui:
Observasi langsung di lapangan,
Wawancara dengan tenaga kerja proyek,
Kuesioner skala 1–5 terhadap 30 responden yang terdiri dari mandor, pengawas, dan pekerja lapangan.
Data ini kemudian diolah menggunakan metode matriks risiko semi-kuantitatif berdasarkan kombinasi tingkat kemungkinan dan dampak, untuk menentukan tingkat risiko secara objektif.
Temuan Utama: Risiko Kritis yang Mendominasi
Jenis Risiko Tinggi Berdasarkan Hasil Skoring
Berdasarkan perhitungan Risk Assessment Matrix, ditemukan 7 risiko utama dengan nilai risiko tinggi.
Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas risiko di pekerjaan struktur atas berkaitan langsung dengan aktivitas fisik di ketinggian dan interaksi dengan alat berat.
Studi Kasus Tambahan: Tren Umum Kecelakaan di Struktur Atas
Dalam konteks global, laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 1 dari 6 kecelakaan fatal di industri konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Di Indonesia sendiri, kasus seperti insiden runtuhnya scaffolding di proyek tol layang Jakarta–Cikampek (2019) menjadi pengingat akan lemahnya implementasi prosedur keselamatan di pekerjaan struktur atas.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Rencana Penanganan Risiko
Penulis menawarkan beberapa tindakan mitigasi terhadap risiko tinggi tersebut, seperti:
Penggunaan full body harness dan pengaman jatuh standar SNI,
Pelatihan berkala mengenai penggunaan alat berat dan APD,
Pengecekan alat bantu kerja seperti scaffolding secara rutin,
Pemasangan rambu keselamatan dan peringatan zona bahaya.
Rekomendasi ini sejajar dengan standar internasional seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), yang menyarankan sistem proteksi berlapis di area kerja ketinggian.
Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Kelebihan
Pendekatan semi-kuantitatif memudahkan identifikasi prioritas risiko tanpa kehilangan konteks nyata di lapangan.
Penelitian ini bersifat aplikatif dan mudah direplikasi untuk proyek konstruksi lain.
Keterbatasan
Fokus hanya pada struktur atas membatasi generalisasi untuk keseluruhan proyek gedung.
Belum menjangkau aspek psikologis dan perilaku pekerja terhadap kepatuhan terhadap prosedur K3.
Nilai Tambah dan Opini Kritis
Studi ini menyumbangkan pemahaman mendalam terhadap manajemen risiko K3 di sektor konstruksi, terutama pada pekerjaan yang paling berisiko. Namun, untuk implementasi optimal, dibutuhkan:
Keterlibatan manajemen puncak dalam mendukung kebijakan K3,
Digitalisasi sistem K3, seperti penggunaan aplikasi pelaporan risiko secara real-time,
Sanksi tegas terhadap pelanggaran SOP keselamatan,
Penerapan safety leadership agar budaya K3 tidak sekadar formalitas administratif.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Mustaqim & Pane (2021) yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja menurun seiring dengan meningkatnya risiko keselamatan yang tak tertangani. Selain itu, riset Fadli Djafri et al. (2023) juga menekankan pentingnya identifikasi risiko secara awal di tahap perencanaan sebagai langkah preventif.
Kaitkan dengan Tantangan Industri Konstruksi Saat Ini
Dalam era transformasi digital dan revolusi industri 4.0, sektor konstruksi masih menghadapi tantangan klasik: kurangnya tenaga kerja terlatih, lemahnya kontrol lapangan, dan resistensi terhadap prosedur keselamatan.
Penerapan manajemen risiko berbasis data seperti dalam penelitian ini menjadi solusi menjanjikan. Kombinasi pengetahuan teknis dan kepatuhan etis menjadi fondasi masa depan proyek konstruksi yang aman dan berkelanjutan.
Penutup: Jalan Panjang Mewujudkan Zero Accident
Artikel ini menyampaikan pesan penting: bahwa risiko bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan metodologis yang kuat dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kontraktor, pengawas, maupun regulator dalam membangun budaya keselamatan yang kuat di proyek-proyek konstruksi Indonesia.
Sumber Referensi
La Ode Asrul R., Rosdiana Rahim, dan Abdul Rahman. (2023). Analisa Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Proyek Pekerjaan Struktur Atas Gedung. Jurnal Teknik Sipil Universitas Halu Oleo. https://ojs.uho.ac.id/index.php/JTS
ILO. (2023). Construction: A hazardous work. https://www.ilo.org
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda
Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.
Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.
Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara
Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:
Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah
1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja
2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan
3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan
Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka
Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..
Temuan Tambahan dari Wawancara
A. Normalisasi Cedera
Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.
B. Kurangnya Komunikasi Formal
C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis
Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.
Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi
Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:
Implikasi Praktis & Rekomendasi
Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif
Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.
Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa K3L Terpadu Kini Jadi Prioritas Industri?
Industri konstruksi menyumbang lebih dari 10% PDB global, namun tetap menjadi salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Setiap tahun, lebih dari 60.000 kematian kerja terjadi di sektor ini, dan konstruksi juga berkontribusi pada hingga 35% kerusakan lingkungan global. Di banyak negara berkembang seperti Ghana, pelaksanaan sistem Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (K3L atau SHE: Safety, Health, and Environment) secara terpisah masih mahal, birokratis, dan kurang efektif.
Penelitian ini hadir untuk mengidentifikasi atribut organisasi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi sistem manajemen K3L terpadu, dengan fokus pada industri konstruksi Ghana. Studi ini menjadi acuan penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa.
Metodologi: Kombinasi Delphi dan Voting AHP
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap:
Delphi digunakan untuk mencapai konsensus, sementara VAHP digunakan untuk menghitung prioritas global setiap atribut dalam lima kategori utama.
Lima Pilar Atribut Organisasi untuk SHE Terpadu
Penelitian ini mengelompokkan 20 atribut menjadi lima kategori utama, yaitu:
Hasil Utama: Mana yang Paling Penting?
1. Strategi = Pilar Utama
2. Orang = Kekuatan Implementasi
3. Sumber Daya = Dukungan Operasional
4. Proses & Informasi = Pelengkap Sistem
Studi Kasus: Ghana Sebagai Cermin Negara Berkembang
Temuan Tambahan: Angka dan Fakta
Opini & Implikasi Strategis
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: Strategi & SDM adalah Jantung Sistem K3L Terpadu
Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan manajemen SHE tidak hanya soal memiliki sistem, tapi soal kesiapan organisasi untuk mengimplementasikannya. Komitmen manajemen puncak, SDM kompeten, kebijakan yang jelas, dan komunikasi yang kuat adalah kunci transformasi SHE yang efektif dan berkelanjutan. Tanpa pemetaan dan penguatan kemampuan organisasi secara sistematis, penerapan SHE terpadu hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.
Sumber : Asah-Kissiedu, M., Manu, P., Booth, C., Mahamadu, A. M., & Agyekum, K. (2021). Integrated Safety, Health And Environmental Management in The Construction Industry: Key Organisational Capability Attributes. Journal of Engineering, Design and Technology. https://doi.org/10.1108/JEDT-08-2021-0436