Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia: Kerangka Iklim Keselamatan yang Terbukti Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: K3 di Konstruksi Indonesia, Antara Retorika dan Realita

Industri konstruksi Indonesia menyumbang lebih dari 30% kecelakaan kerja nasional, menjadikannya sektor paling rentan secara keselamatan kerja. Dengan pertumbuhan pesat dan proyek-proyek berskala nasional yang semakin masif, penting untuk mengembangkan pendekatan sistematis terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian oleh Lestari dan rekan-rekan menjadi pionir dengan menyusun kerangka kerja iklim keselamatan (safety climate) untuk sektor konstruksi Indonesia berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Metodologi: Survei 311 Responden dan Analisis Multilevel

  • Responden: 311 pekerja konstruksi dari tiga proyek besar (tier-1) di Indonesia.
  • Instrumen: Survei berbasis kerangka Zou dan Sunindijo (2015) dengan enam dimensi: komitmen manajemen, komunikasi, aturan dan prosedur, lingkungan pendukung, pelatihan, dan akuntabilitas pribadi.
  • Analisis: Kuantitatif (skor rata-rata dimensi) dan kualitatif (analisis tema dari feedback terbuka).

Temuan Utama: Iklim Keselamatan “Sedang”, Tapi Banyak Kontradiksi

Skor Keseluruhan

  • Skor rata-rata keseluruhan: 4.45 dari 6.
    Sebagai perbandingan, Australia dengan sistem K3 yang jauh lebih baik memiliki skor 4.50.

Dimensi dengan Skor Tertinggi

  • Komitmen manajemen: 4.82
  • Komunikasi keselamatan: 4.74
  • Pelatihan: 4.64

Dimensi dengan Skor Terendah

  • Lingkungan pendukung: 4.20
  • Aturan dan prosedur: 4.22
  • Akuntabilitas pribadi: 4.34

Paradox Iklim K3: Bicara K3, Tapi Tak Bertindak

Penelitian ini mengungkap dua paradoks utama:

  1. Paradoks Manajerial: Komitmen verbal manajemen tidak diikuti tindakan nyata. Banyak responden merasa manajemen mengabaikan prosedur ketika tekanan produksi meningkat.
  2. Paradoks Pekerja: Meski pekerja menyadari pentingnya keselamatan, mereka merasa tidak punya kuasa atau keberanian untuk bertindak jika prosedur diabaikan.

Studi Kasus: Realita Lapangan yang Kontras

  • 97% responden laki-laki, usia rata-rata 32 tahun.
  • 68% baru bekerja < 5 tahun, menandakan keterbatasan pengalaman lapangan.
  • 33% lulusan SD atau tidak sekolah, menunjukkan tantangan dalam edukasi teknis dan pemahaman K3.

Temuan Spesifik Tiap Dimensi

1. Komitmen Manajemen

  • Skor tinggi tapi ada ketidakkonsistenan: manajer disebut “peduli”, tapi mengabaikan pelanggaran keselamatan.
  • Responden menuntut: “Jangan cuma slogan, buktikan komitmen dalam tindakan nyata dan anggaran”.

2. Komunikasi

  • Responden menghargai sosialiasi dan briefing rutin.
  • Namun, metode komunikasi dinilai kurang efektif—perlu media yang lebih interaktif dan visual seperti video atau infografik.

3. Pelatihan

  • Responden ingin pelatihan yang lebih praktis dan sering, bukan hanya formalitas awal proyek.
  • Beberapa menyarankan pelatihan lapangan langsung dengan studi kasus nyata.

4. Akuntabilitas Pribadi

  • Mayoritas responden menyatakan keselamatan penting, tapi takut menegur rekan kerja yang melanggar SOP.
  • Penyebab: budaya kolektif dan hierarki tinggi dalam budaya kerja Indonesia—“tidak enak menegur atasan atau rekan”.

5. Aturan dan Prosedur

  • Banyak aturan K3 tidak praktis dan sulit dipahami.
  • “Sering kali aturan dibuat di kantor pusat tanpa mempertimbangkan realita lapangan”, ujar salah satu responden.

6. Lingkungan Pendukung

  • Keluhan utama: PPE tidak memadai, lingkungan kerja berbahaya, waktu kerja terlalu ketat, dan fasilitas pekerja buruk.
  • Contoh kasus: ada pekerja yang memakai harness tapi tidak tersedia titik anchor, membuat APD tidak efektif.

Analisis Kritis: Iklim Keselamatan Sebagai Refleksi Budaya dan Kebijakan

Penelitian ini menyoroti bahwa masalah keselamatan bukan hanya pada SOP, tapi juga pada struktur kekuasaan, budaya kerja, dan ketidaksesuaian kebijakan formal dan informal. Banyak pekerja merasa "aman" dalam bahasa, tapi tak punya kuasa bertindak saat situasi tidak aman benar-benar terjadi.

  • Budaya kolektivisme: enggan melapor pelanggaran karena takut merusak hubungan sosial.
  • Power distance tinggi: takut menegur atasan meski prosedur dilanggar.
  • Sistem pelaporan lemah: tidak ada jaminan perlindungan bagi pelapor (whistleblower).

Rekomendasi Strategis

  1. Reformasi desain kebijakan K3: Buat kebijakan yang fleksibel, mudah direvisi, dan sesuai kondisi lapangan.
  2. Pendidikan dan pelatihan berbasis praktik nyata: Gunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dan berbasis video.
  3. Perkuat peran pengawas lapangan: Pengawas harus jadi contoh dan pelatih, bukan hanya pemantau.
  4. Budaya keterbukaan dan tanpa menyalahkan: Dorong pelaporan tanpa takut dihukum atau dimusuhi.
  5. Peningkatan kesejahteraan dasar pekerja: Sediakan akomodasi layak, air bersih, makanan sehat, dan PPE berkualitas.

Kesimpulan: Kerangka Iklim K3 sebagai Solusi Sistemik

Penelitian ini bukan hanya mengukur persepsi pekerja, tapi menawarkan solusi konkret berbasis bukti dan realita budaya Indonesia. Kerangka kerja yang dihasilkan bersifat multilevel (proyek, organisasi, nasional) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi serta meningkatkan performa K3 di proyek-proyek konstruksi di Indonesia.

Untuk benar-benar menyelamatkan nyawa pekerja, Indonesia butuh lebih dari sekadar peraturan tertulis—diperlukan komitmen kolektif lintas level, dari pekerja hingga pembuat kebijakan.

Sumber : Lestari, F., Sunindijo, R. Y., Loosemore, M., Kusminanti, Y., & Widanarko, B. (2020). A Safety Climate Framework for Improving Health and Safety in the Indonesian Construction Industry. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7462.

Selengkapnya
Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia: Kerangka Iklim Keselamatan yang Terbukti Efektif

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: K3 dalam Industri Kehutanan, Urgensi yang Terlupakan

Industri kehutanan adalah salah satu yang paling berisiko tinggi secara global, dan Swedia tidak terkecuali. Meski negara ini terkenal dengan sistem keselamatan kerja yang maju, nyatanya rata-rata 2–3 kematian kerja akibat aktivitas kehutanan masih terjadi setiap tahun—angka yang tinggi mengingat hanya 0,6% tenaga kerja nasional bekerja di sektor ini, namun menyumbang lebih dari 5% total kecelakaan kerja fatal.

Selain kecelakaan, sekitar 100 insiden serius yang menyebabkan cuti sakit tercatat tiap tahun, dan 34 di antaranya berasal dari aktivitas penebangan. Namun, banyak kasus diduga tidak dilaporkan, sehingga angka riil jauh lebih tinggi.

Artikel ini menginvestigasi bagaimana kontraktor kehutanan di Swedia mengelola Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), serta faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi implementasinya. Studi ini penting karena mencerminkan realita sistem K3 di sektor yang semakin didominasi oleh subkontraktor dan mekanisasi tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengkarakterisasi praktik manajemen K3 kontraktor kehutanan Swedia.
  • Mengidentifikasi perbedaan berdasarkan ukuran perusahaan, jenis layanan, lokasi geografis, dan margin keuntungan.
  • Menyoroti area praktik K3 yang masih jauh dari standar hukum dan sertifikasi.

Metodologi: Survei Skala Nasional dan Analisis Multivariat

  • Sampel: 1200 perusahaan dengan berbagai tingkat profitabilitas.
  • Responden aktif: 267 perusahaan (22%).
  • Analisis: Statistik deskriptif, ANOVA, OPLS-DA, serta korelasi persepsi ekonomi dan implementasi K3.

Temuan Utama: Ukuran dan Lokasi Menentukan Kualitas K3

1. Perusahaan Besar Lebih Tertib K3

  • Perusahaan dengan omset > EUR 800.000 cenderung:
    • Menyediakan fasilitas staf seperti ruang hangat, air panas, dan tempat berganti pakaian.
    • Mempunyai panduan tertulis untuk pekerjaan berbahaya dan kerja sendiri.
    • Melakukan inspeksi keselamatan secara berkala dan menyediakan koordinat lokasi kerja via GPS.

2. Kesadaran Terhadap K3 Tidak Terkait Langsung dengan Keuntungan

  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat profitabilitas dan kepatuhan K3 formal.
  • Namun, perusahaan yang percaya bahwa K3 berdampak positif terhadap keuangan cenderung:
    • Lebih sering memberi pelatihan.
    • Lebih mendorong penggunaan alat pelindung diri (APD).
    • Lebih memperbarui rencana aksi K3.

3. Kesenjangan Geografis Signifikan

  • Kontraktor di utara Swedia lebih sering menyediakan:
    • Fasilitas staf lengkap.
    • Inspeksi rutin dan pelatihan K3.
  • Faktor seperti musim dingin ekstrem dan jarak lokasi kerja turut berpengaruh.

Studi Kasus: Statistik Fakta Menarik

  • 77% perusahaan memiliki panduan kerja sendirian, tapi 23% tidak sama sekali.
  • 48% tidak pernah melakukan inspeksi lokasi kerja dalam 12 bulan terakhir.
  • Hanya 42% memiliki rencana kerja K3 yang diperbarui.
  • 71% perusahaan tidak punya perwakilan keselamatan kerja, padahal diwajibkan untuk perusahaan >5 pekerja.
  • 45% perusahaan memberikan pelatihan tiap tahun, sementara 28% melakukannya lebih jarang dari dua tahun sekali.

Kendala Utama Implementasi K3

  • Kurangnya sumber daya, terutama pada perusahaan kecil.
  • Persepsi negatif terhadap biaya K3, meski bukti menyebutkan bahwa kecelakaan jauh lebih mahal dalam jangka panjang.
  • Ketergantungan pada pekerja musiman dan asing, terutama pada kontraktor silvikultur.
  • Perbedaan interpretasi standar, misalnya fasilitas staf kadang dianggap sama dengan tempat tinggal musiman, padahal berbeda secara fungsional dan legal.

Analisis & Opini: Sistemik, Bukan Sekadar Individu

Studi ini membuktikan bahwa implementasi K3 lebih dipengaruhi oleh ukuran dan sikap perusahaan dibanding kemampuan finansialnya. Ini menunjukkan bahwa persepsi dan budaya organisasi lebih penting daripada sekadar profitabilitas.

Kesenjangan antara regulasi hukum (AFS 2001:1) dan implementasi lapangan perlu ditangani melalui:

  • Edukasi berbasis risiko.
  • Pendekatan personal dan partisipatif.
  • Insentif fiskal atau pembebasan pajak atas investasi K3.

Rekomendasi Strategis

  1. Kampanye penyadaran ekonomi K3 kepada pelaku industri kecil dan menengah.
  2. Standardisasi fasilitas staf dan pengawasan berbasis wilayah, mengingat kesenjangan utara-selatan.
  3. Pemutakhiran panduan kerja berbahaya dan kerja sendiri sebagai keharusan tahunan.
  4. Peningkatan partisipasi pekerja dalam proses K3, termasuk pelatihan dan pemilihan perwakilan.
  5. Penguatan kerjasama antara kontraktor dan pemilik hutan sebagai pemangku kepentingan utama.

Kesimpulan

Penelitian ini mengungkap bahwa praktik K3 di industri kehutanan Swedia masih jauh dari ideal, terutama pada level kontraktor kecil dan sedang. Ukuran perusahaan dan persepsi terhadap nilai K3 menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi, bukan profitabilitas semata.

Untuk mencapai kondisi kerja yang aman dan sehat, diperlukan pendekatan sistemik, dukungan kebijakan, dan keterlibatan aktif semua pelaku industri. Jika tidak, maka risiko cedera dan kematian akan terus menghantui sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan Swedia.

Sumber : Kronholm, T., Olsson, R., Thyrel, M., & Häggström, C. (2024). Characterization of Swedish Forestry Contractors’ Practices Regarding Occupational Safety and Health Management. Forests, 15(3), 545. https://doi.org/10.3390/f15030545

Selengkapnya
Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat

Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).

Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.

Tujuan dan Fokus Program Pengabdian

Program ini dirancang untuk:

  • Meningkatkan pengetahuan dasar tentang K3 kepada tukang bangunan setempat.
  • Menjawab kebingungan pekerja terkait alat pelindung diri (APD) dan tanggung jawab pemberi kerja.
  • Menumbuhkan kesadaran bahwa K3 bukan formalitas, tetapi kebutuhan dasar untuk melindungi nyawa.

Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif

Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:

  • Ceramah terstruktur dengan bantuan infokus.
  • Diskusi terbuka, di mana peserta dapat bertanya langsung.
  • Evaluasi kualitatif melalui wawancara terhadap 10 dari 27 peserta.

Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan

Sebelum Penyuluhan:

  • 0 dari 10 responden mengetahui apa itu K3.
  • 9 dari 10 tidak pernah menggunakan APD seperti helm atau sarung tangan.
  • Kesadaran risiko sangat rendah, bahkan cedera kerja dianggap bagian dari keseharian.

Setelah Penyuluhan:

  • 10 dari 10 responden menyatakan memahami K3 dan pentingnya APD.
  • 9 dari 10 berkomitmen menggunakan APD saat bekerja.
  • Seluruh responden menunjukkan keinginan menerapkan prinsip K3 dalam pekerjaan mereka.

Materi Kunci yang Disampaikan:

  1. Definisi dan ruang lingkup K3 di bidang konstruksi
  2. Risiko umum yang dihadapi tukang batu dan tukang kayu
  3. Jenis alat pelindung diri dan cara penggunaannya
  4. Tanggung jawab pemberi kerja berdasarkan hukum Ketenagakerjaan
  5. Studi kasus kecelakaan kerja dan upaya pencegahan

Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:

  • Siapa yang bertanggung jawab menyediakan APD? → Pemberi kerja wajib menyediakannya.
  • Apa akibat jika tidak memakai APD? → Cedera serius bahkan kematian bisa terjadi.
  • Siapa bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan? → Pemberi kerja secara hukum bertanggung jawab.

Dampak Sosial dan Budaya

Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.

Analisis dan Refleksi

Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.

Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.

Rekomendasi Strategis

  1. Edukasi K3 harus masuk dalam skema pelatihan Dana Desa, agar pelaksanaan infrastruktur desa tidak hanya cepat, tapi juga aman.
  2. Pendekatan langsung dan interaktif terbukti efektif di daerah yang belum akrab dengan sistem pelatihan formal.
  3. Kepala desa, kontraktor, dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan aktif sebagai motor penggerak budaya K3.

Kesimpulan

Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.

Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.

Selengkapnya
Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Kenapa Risiko K3 di Struktur Atas Menjadi Fokus Utama?

Pekerjaan struktur atas dalam proyek konstruksi gedung dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Risiko seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa material berat, hingga kerusakan alat berat dapat berdampak langsung pada keselamatan nyawa pekerja. Artikel karya La Ode Asrul R. dan tim menyoroti urgensi penerapan manajemen risiko K3 secara sistematis dalam tahapan ini, dengan studi kasus pada proyek gedung di Kota Kendari.

Dalam konteks industri konstruksi Indonesia yang terus bertumbuh, aspek keselamatan kerja tak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan kerja pada sektor konstruksi terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan risiko K3. Ini memperkuat pentingnya penelitian ini sebagai referensi implementatif.

Metodologi: Penilaian Risiko Menggunakan Metode Semi-Kuantitatif

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan data diperoleh melalui:

  • Observasi langsung di lapangan,

  • Wawancara dengan tenaga kerja proyek,

  • Kuesioner skala 1–5 terhadap 30 responden yang terdiri dari mandor, pengawas, dan pekerja lapangan.

Data ini kemudian diolah menggunakan metode matriks risiko semi-kuantitatif berdasarkan kombinasi tingkat kemungkinan dan dampak, untuk menentukan tingkat risiko secara objektif.

Temuan Utama: Risiko Kritis yang Mendominasi

Jenis Risiko Tinggi Berdasarkan Hasil Skoring

Berdasarkan perhitungan Risk Assessment Matrix, ditemukan 7 risiko utama dengan nilai risiko tinggi. 

Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas risiko di pekerjaan struktur atas berkaitan langsung dengan aktivitas fisik di ketinggian dan interaksi dengan alat berat.

Studi Kasus Tambahan: Tren Umum Kecelakaan di Struktur Atas

Dalam konteks global, laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 1 dari 6 kecelakaan fatal di industri konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Di Indonesia sendiri, kasus seperti insiden runtuhnya scaffolding di proyek tol layang Jakarta–Cikampek (2019) menjadi pengingat akan lemahnya implementasi prosedur keselamatan di pekerjaan struktur atas.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Rencana Penanganan Risiko

Penulis menawarkan beberapa tindakan mitigasi terhadap risiko tinggi tersebut, seperti:

  • Penggunaan full body harness dan pengaman jatuh standar SNI,

  • Pelatihan berkala mengenai penggunaan alat berat dan APD,

  • Pengecekan alat bantu kerja seperti scaffolding secara rutin,

  • Pemasangan rambu keselamatan dan peringatan zona bahaya.
     

Rekomendasi ini sejajar dengan standar internasional seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), yang menyarankan sistem proteksi berlapis di area kerja ketinggian.

Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Kelebihan

  • Pendekatan semi-kuantitatif memudahkan identifikasi prioritas risiko tanpa kehilangan konteks nyata di lapangan.

  • Penelitian ini bersifat aplikatif dan mudah direplikasi untuk proyek konstruksi lain.

Keterbatasan

  • Fokus hanya pada struktur atas membatasi generalisasi untuk keseluruhan proyek gedung.

  • Belum menjangkau aspek psikologis dan perilaku pekerja terhadap kepatuhan terhadap prosedur K3.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Studi ini menyumbangkan pemahaman mendalam terhadap manajemen risiko K3 di sektor konstruksi, terutama pada pekerjaan yang paling berisiko. Namun, untuk implementasi optimal, dibutuhkan:

  1. Keterlibatan manajemen puncak dalam mendukung kebijakan K3,

  2. Digitalisasi sistem K3, seperti penggunaan aplikasi pelaporan risiko secara real-time,

  3. Sanksi tegas terhadap pelanggaran SOP keselamatan,

  4. Penerapan safety leadership agar budaya K3 tidak sekadar formalitas administratif.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Mustaqim & Pane (2021) yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja menurun seiring dengan meningkatnya risiko keselamatan yang tak tertangani. Selain itu, riset Fadli Djafri et al. (2023) juga menekankan pentingnya identifikasi risiko secara awal di tahap perencanaan sebagai langkah preventif.

Kaitkan dengan Tantangan Industri Konstruksi Saat Ini

Dalam era transformasi digital dan revolusi industri 4.0, sektor konstruksi masih menghadapi tantangan klasik: kurangnya tenaga kerja terlatih, lemahnya kontrol lapangan, dan resistensi terhadap prosedur keselamatan.

Penerapan manajemen risiko berbasis data seperti dalam penelitian ini menjadi solusi menjanjikan. Kombinasi pengetahuan teknis dan kepatuhan etis menjadi fondasi masa depan proyek konstruksi yang aman dan berkelanjutan.

Penutup: Jalan Panjang Mewujudkan Zero Accident

Artikel ini menyampaikan pesan penting: bahwa risiko bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan metodologis yang kuat dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kontraktor, pengawas, maupun regulator dalam membangun budaya keselamatan yang kuat di proyek-proyek konstruksi Indonesia.

Sumber Referensi

La Ode Asrul R., Rosdiana Rahim, dan Abdul Rahman. (2023). Analisa Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Proyek Pekerjaan Struktur Atas Gedung. Jurnal Teknik Sipil Universitas Halu Oleo. https://ojs.uho.ac.id/index.php/JTS
ILO. (2023). Construction: A hazardous work. https://www.ilo.org

Selengkapnya
Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda

Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.

Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.

Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara

Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:

  • 66 kuesioner NOSACQ-50 (Nordic Safety Climate Questionnaire)
  • 12 kuesioner manajer tentang manajemen lingkungan kerja
  • 47 wawancara mendalam dengan pekerja
  • Analisis dilakukan di 6 sekolah berkuda dan 6 kandang pacuan di Swedia Tengah.

Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah

1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja

  • Dimensi ini mencetak skor terendah (mean 2,93), menunjukkan tingginya penerimaan terhadap risiko dan cedera ringan sebagai bagian pekerjaan.
  • Pernyataan seperti “kecelakaan kecil adalah hal biasa” disetujui oleh banyak pekerja, terutama di kandang pacuan.

2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan

  • Sekolah berkuda mencetak skor lebih tinggi pada hampir semua dimensi.
  • Dimensi 5, 6, dan 7 (penolakan risiko, komunikasi keselamatan, dan kepercayaan terhadap sistem) menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0.05), dengan sekolah berkuda lebih unggul.

3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan

  • Manajer kandang pacuan hanya mencetak nilai 2,4 (dari 6) pada komitmen terhadap penilaian risiko.
  • Kontras dengan sekolah berkuda yang mencetak rata-rata 5,2, mengindikasikan pendekatan lebih sistematis.

Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka

Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..

Temuan Tambahan dari Wawancara

A. Normalisasi Cedera

Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.

B. Kurangnya Komunikasi Formal

  • Sekolah berkuda lebih sering mengadakan rapat staf dan pembahasan keselamatan.
  • Kandang pacuan lebih banyak mengandalkan obrolan informal atau aplikasi pesan.

C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis

Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.

Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi

Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:

  • Cedera ringan dianggap normal.
  • Waktu dan efisiensi kerja lebih diprioritaskan daripada perlindungan diri.
  • Sistem formal hanya digunakan saat terjadi insiden besar, bukan untuk pencegahan.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

  1. Edukasi Ulang tentang Cedera Kecil
    • Harus ada perubahan mindset bahwa “kecelakaan kecil” tetaplah indikator sistem yang gagal.
  2. Perkuat Komitmen Manajemen Kandang Pacuan
    • Perlu pelatihan khusus bagi manajer untuk menerapkan manajemen risiko secara proaktif, bukan hanya reaktif.
  3. Tingkatkan Komunikasi Sistemik
    • Buat sistem pelaporan insiden & near-miss yang mudah, bahkan untuk kejadian ringan.
  4. Formalitas dalam Horsemanship
    • Uji coba pendekatan pelatihan sistematis untuk mengajarkan horsemanship secara terstruktur, tanpa mengandalkan "trial and error".

Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.

Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Kenapa K3L Terpadu Kini Jadi Prioritas Industri?

Industri konstruksi menyumbang lebih dari 10% PDB global, namun tetap menjadi salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Setiap tahun, lebih dari 60.000 kematian kerja terjadi di sektor ini, dan konstruksi juga berkontribusi pada hingga 35% kerusakan lingkungan global. Di banyak negara berkembang seperti Ghana, pelaksanaan sistem Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (K3L atau SHE: Safety, Health, and Environment) secara terpisah masih mahal, birokratis, dan kurang efektif.

Penelitian ini hadir untuk mengidentifikasi atribut organisasi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi sistem manajemen K3L terpadu, dengan fokus pada industri konstruksi Ghana. Studi ini menjadi acuan penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa.

Metodologi: Kombinasi Delphi dan Voting AHP

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap:

  1. Kajian literatur sistematis untuk mengidentifikasi atribut awal.
  2. Verifikasi ahli terhadap 27 atribut, kemudian diringkas menjadi 20 atribut inti.
  3. Delphi Tiga Putaran dengan 30+ pakar konstruksi di Ghana.
  4. Voting Analytical Hierarchy Process (VAHP) untuk mengurutkan bobot kepentingan atribut.

Delphi digunakan untuk mencapai konsensus, sementara VAHP digunakan untuk menghitung prioritas global setiap atribut dalam lima kategori utama.

Lima Pilar Atribut Organisasi untuk SHE Terpadu

Penelitian ini mengelompokkan 20 atribut menjadi lima kategori utama, yaitu:

  1. Strategi: visi organisasi, komitmen manajemen puncak, kebijakan SHE.
  2. Orang: kompetensi, peran, pelatihan, keterlibatan karyawan.
  3. Proses: manajemen risiko, kontrol operasional, pengukuran performa.
  4. Sumber Daya: fasilitas fisik & dana untuk implementasi SHE.
  5. Informasi: komunikasi SHE, dokumentasi, dan manajemen pengetahuan.

Hasil Utama: Mana yang Paling Penting?

1. Strategi = Pilar Utama

  • Atribut terpenting secara global adalah “komitmen manajemen puncak terhadap SHE” (23% dari total bobot).
  • Kebijakan SHE menempati urutan kedua tertinggi.
  • Kombinasi keduanya menyumbang lebih dari 60% bobot kategori strategi.

2. Orang = Kekuatan Implementasi

  • Kompetensi staf menjadi atribut ketiga terpenting secara global.
  • Peran & tanggung jawab yang jelas serta pelatihan SHE juga sangat signifikan.
  • Atribut "keterlibatan karyawan" juga masuk dalam 10 besar prioritas.

3. Sumber Daya = Dukungan Operasional

  • Fasilitas fisik menempati urutan keempat global, diikuti oleh sumber daya keuangan.
  • Atribut ini mencerminkan kebutuhan akan teknologi, alat kerja aman, dan investasi dalam sistem digital SHE.

4. Proses & Informasi = Pelengkap Sistem

  • Dalam proses, manajemen risiko SHE adalah yang paling penting.
  • Pengukuran performa dan pengendalian operasional menyusul.
  • Di kategori informasi, komunikasi internal SHE dianggap paling vital dibanding dokumentasi atau pembelajaran organisasi.

Studi Kasus: Ghana Sebagai Cermin Negara Berkembang

  • Ghana menunjukkan tingkat kecelakaan dan kematian tertinggi di antara sektor industri lokal.
  • Implementasi SHE secara terpisah sangat rendah akibat biaya tinggi, kurangnya staf terlatih, dan resistensi terhadap perubahan.
  • Penelitian ini jadi tonggak awal untuk pengembangan kerangka SHE terpadu nasional di Ghana.

Temuan Tambahan: Angka dan Fakta

  • Tujuh atribut teratas (35% dari 20 atribut) mencakup 57,47% bobot total.
  • Sepuluh atribut teratas menyumbang 72,5% dari total bobot global, menunjukkan distribusi yang sangat terkonsentrasi pada faktor-faktor inti.
  • SHE auditing dan investigasi insiden memiliki bobot terendah, mengindikasikan lemahnya fokus pada umpan balik sistemik di banyak organisasi.

Opini & Implikasi Strategis

  1. Tanpa komitmen manajemen, sistem SHE hanya jadi dokumen formalitas.
    Studi ini menggarisbawahi pentingnya leadership visible dalam budaya keselamatan.
  2. Investasi pada pelatihan dan fasilitas bukan pengeluaran, tapi strategi mitigasi risiko.
    Perusahaan yang gagal melatih staf akan membayar lebih mahal akibat kecelakaan dan sanksi hukum.
  3. Keterlibatan karyawan bukan pelengkap, melainkan mesin penggerak suksesnya sistem SHE.
    Standar seperti ISO 45001 dan OSHA juga menekankan pentingnya keterlibatan pekerja dalam perencanaan dan evaluasi SHE.

Rekomendasi Praktis

  • Bangun sistem SHE terintegrasi berbasis lima pilar utama: strategi, proses, orang, sumber daya, dan informasi.
  • Lakukan audit internal kapasitas organisasi berdasarkan 20 atribut yang diidentifikasi.
  • Fokus investasi awal pada manajemen risiko, pelatihan SHE, dan komunikasi internal.
  • Kembangkan kebijakan SHE berbasis visi jangka panjang dan nilai perusahaan.
  • Gunakan pendekatan VAHP atau metode prioritisasi lainnya untuk menyesuaikan alokasi sumber daya dan pelatihan internal.

Kesimpulan: Strategi & SDM adalah Jantung Sistem K3L Terpadu

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan manajemen SHE tidak hanya soal memiliki sistem, tapi soal kesiapan organisasi untuk mengimplementasikannya. Komitmen manajemen puncak, SDM kompeten, kebijakan yang jelas, dan komunikasi yang kuat adalah kunci transformasi SHE yang efektif dan berkelanjutan. Tanpa pemetaan dan penguatan kemampuan organisasi secara sistematis, penerapan SHE terpadu hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.

Sumber : Asah-Kissiedu, M., Manu, P., Booth, C., Mahamadu, A. M., & Agyekum, K. (2021). Integrated Safety, Health And Environmental Management in The Construction Industry: Key Organisational Capability Attributes. Journal of Engineering, Design and Technology. https://doi.org/10.1108/JEDT-08-2021-0436

 

Selengkapnya
Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi
« First Previous page 6 of 11 Next Last »