Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Membedah Mitos "Zero Harm": Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


Filosofi keselamatan "Nol" (seperti Zero Harm atau Vision Zero) telah menjadi pendekatan dominan dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri konstruksi global. Didukung oleh argumen etis yang tampaknya tak terbantahkan—bahwa menerima target selain nol berarti menerima adanya cedera—konsep ini diadopsi secara luas di tingkat C-Suite. Namun, di balik popularitasnya, terdapat kelangkaan bukti empiris yang mendukung efektivitasnya dalam mengurangi insiden paling parah. Paper "Making zero work for construction safety in a post-zero world" oleh Sherratt, Harch, dan Perez (2024) secara sistematis mendekonstruksi validitas "Nol", menyajikan argumen teoretis yang kuat dan analisis kuantitatif yang menantang status quo ini.  

Paper tersebut berargumen bahwa "Nol" secara konseptual cacat karena beberapa alasan fundamental. Pertama, ia bersifat ahistoris. Asumsi bahwa "semua kecelakaan dapat dicegah" mengabaikan fakta bahwa banyak tugas konstruksi dirancang selama Revolusi Industri Pertama, sebuah era di mana pekerja dianggap dapat dikorbankan dan keselamatan bukanlah pertimbangan desain utama. Akibatnya, menerapkan slogan keselamatan modern pada sistem kerja yang secara inheren tidak aman tanpa merekayasa ulang tugas itu sendiri adalah tindakan yang tidak logis. Kedua, "Nol" bertentangan dengan kerangka hukum yang mendasari regulasi K3 di banyak negara, termasuk AS, Inggris, dan Australia. Legislasi ini dibangun di atas prinsip "sejauh dapat dipraktikkan secara wajar" (so far as is reasonably practicable), yang menuntut keseimbangan antara risiko, biaya, dan upaya. Sebaliknya, "Nol" adalah sebuah absolutisme yang tidak memungkinkan adanya keseimbangan, menciptakan disonansi operasional bagi manajer. Ketiga, dari perspektif  sosial, "Nol" dipandang sebagai produk dari "hiperbola linguistik" abad ke-21. Dalam budaya korporat yang terobsesi dengan slogan-slogan ekstrem seperti "terdepan di dunia", "Nol" menjadi norma yang diharapkan. Namun, penggunaan yang berlebihan ini menyebabkan "kelelahan linguistik", di mana pekerja di lapangan menganggapnya sebagai propaganda yang tidak memiliki substansi nyata, yang berpotensi menyebabkan sinisme dan keterasingan.  

Untuk menguji klaim "Nol" secara empiris, penelitian ini menganalisis data Cedera Serius dan Kematian (Serious Injuries and Fatalities - SIF) dari industri konstruksi AS selama periode 2018–2022. Sampel terdiri dari 15 perusahaan konstruksi terbesar, yang diklasifikasikan menjadi kelompok "Nol" (n=6) yang secara publik mengadopsi kebijakan keselamatan berbasis nol, dan kelompok "non-Nol" (n=9).  

Analisis data mentah pada awalnya tampak mendukung kebijakan "Nol". Perusahaan dalam kelompok "Nol" secara kolektif mencatat lebih sedikit insiden SIF (10 kematian dan 7 cedera serius) dibandingkan dengan kelompok "non-Nol" (16 kematian dan 23 cedera serius). Namun, temuan deskriptif ini bisa menyesatkan. Untuk mengevaluasi signifikansi statistik dari perbedaan ini, peneliti menggunakan Welch's t-test, sebuah uji statistik yang sesuai untuk sampel dengan varians yang tidak sama. Hasilnya sangat mencerahkan: perbedaan dalam hasil SIF antara kedua kelompok ditemukan tidak signifikan secara statistik, dengan nilai p=0.41. Dalam terminologi statistik, ini berarti tidak ada cukup bukti untuk menolak hipotesis nol—yaitu, tidak ada perbedaan nyata dalam kinerja SIF antara perusahaan yang mengadopsi "Nol" dan yang tidak. Data tersebut bersifat ekuivokal: tidak membuktikan bahwa "Nol" gagal, tetapi juga sama sekali tidak memberikan bukti bahwa ia berhasil.  

Perbandingan Statistik Insiden SIF antara Perusahaan 'Zero' dan 'Non-Zero' (2018-2022)

Metrik untuk Perusahaan 'Zero':

  • Jumlah Perusahaan (n): 6
  • Total Kematian: 10
  • Total Cedera Serius: 7
  • Total Insiden SIF: 17
  • Rata-rata SIF per Perusahaan: 2.83
  • Standar Deviasi: 0.75

Metrik untuk Perusahaan 'Non-Zero':

  • Jumlah Perusahaan (n): 9
  • Total Kematian: 16
  • Total Cedera Serius: 23
  • Total Insiden SIF: 39
  • Rata-rata SIF per Perusahaan: 4.33
  • Standar Deviasi: 5.10

Hasil Welch's t-test (p−value) untuk kedua kelompok: 0.41 (Tidak Signifikan)

Sumber: Diadaptasi dari Sherratt et al. (2024)

Temuan kuantitatif ini, yang menggemakan hasil studi serupa sebelumnya di Inggris, menunjukkan hubungan yang lemah antara retorika keselamatan "Nol" dan hasil keselamatan yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi "Nol" mungkin lebih merupakan cerminan dari kematangan organisasi atau tekanan eksternal daripada strategi intervensi yang efektif secara inheren.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian oleh Sherratt et al. (2024) memberikan tiga kontribusi signifikan bagi bidang K3. Pertama, ia menyediakan data empiris penyeimbang yang sangat dibutuhkan dalam wacana yang didominasi oleh argumen teoretis dan etis. Dengan mereplikasi temuan dari konteks Inggris di pasar konstruksi AS yang besar, paper ini memperkuat argumen bahwa tidak ada bukti kuantitatif yang jelas yang mendukung klaim keberhasilan "Nol". Kedua, paper ini membangun kerangka kritik teoretis yang komprehensif. Dengan mengintegrasikan perspektif historis, hukum, dan sosiolinguistik, ia menawarkan pemahaman yang lebih kaya dan bernuansa tentang mengapa "Nol" mungkin gagal dalam praktik, melampaui kritik operasional yang umum seperti potensi kurangnya pelaporan (under-reporting). Ketiga, penelitian ini secara proaktif menggeser wacana ke arah alternatif yang dapat diukur. Dengan menyoroti pendekatan-pendekatan baru seperti "triase SIF" (memfokuskan upaya pada risiko paling parah) dan metrik yang mengukur "kehadiran kontrol" seperti High-Energy Control Assessment (HECA), paper ini mendorong komunitas K3 untuk bergerak melampaui perdebatan pro/kontra "Nol" dan menuju paradigma keselamatan generasi berikutnya yang berbasis bukti.  

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitian mereka. Ukuran sampel yang relatif kecil (n=15) membatasi kekuatan statistik analisis. Sifat data yang korelasional berarti tidak ada klaim kausalitas yang dapat dibuat—penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa "Nol" menyebabkan hasil tertentu, hanya saja ia tidak berkorelasi dengan peningkatan kinerja SIF. Selain itu, penggunaan data SIF sebagai metrik kinerja itu sendiri bermasalah, karena insiden ini adalah peristiwa langka (black swan) yang tidak selalu mencerminkan kesehatan sistem keselamatan secara keseluruhan.  

Keterbatasan ini justru membuka beberapa pertanyaan penelitian yang mendesak. Jika "Nol" tidak terbukti berhasil, mengapa ia terus menyebar dengan begitu pesat? Apakah ini didorong oleh tekanan dari investor dan kebutuhan pelaporan Environmental, Social, and Governance (ESG), seperti yang diisyaratkan oleh argumen "minyak ular untuk keselamatan"? Apa mekanisme kausal spesifik di balik "paradoks nol"—fenomena yang diamati dalam studi sebelumnya di mana lokasi "Nol" justru memiliki lebih banyak SIF? Apakah ini karena fokus yang salah pada cedera ringan mengorbankan perhatian pada bahaya fatal? Terakhir, bagaimana pekerja di lapangan menafsirkan dan merespons berbagai implementasi "Nol" (misalnya, 'Visi' vs. 'Target'), dan apakah ada perbedaan dalam tingkat keterasingan yang dihasilkannya?  

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka ini, lima arah penelitian masa depan yang spesifik dapat dirumuskan untuk membangun agenda riset yang koheren dan berdampak.

  1. Mengukur Dampak 'Nol' pada Budaya Pelaporan dan Keterlibatan Pekerja
    • Justifikasi: Paper ini menyoroti kekhawatiran teoretis bahwa "Nol" dapat menyebabkan "keterasingan tenaga kerja" dan mendorong under-reporting untuk menghindari "merusak angka". Kesenjangan kritis saat ini adalah kurangnya data empiris untuk memvalidasi kekhawatiran ini.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi longitudinal dengan metode campuran selama tiga tahun pada perusahaan yang baru menerapkan program "Nol". Penelitian ini akan menggabungkan analisis data pelaporan insiden (termasuk near-misses dan kasus P3K) dengan survei psikometrik tahunan yang mengukur keamanan psikologis, kepercayaan pada manajemen, dan persepsi keadilan, serta wawancara kualitatif mendalam.
    • Kebutuhan Lanjutan: Penelitian ini akan memberikan bukti kuantitatif dan kualitatif yang sangat dibutuhkan untuk menguji secara empiris salah satu kritik paling signifikan terhadap filosofi "Nol".
  2. Investigasi Kausalitas "Paradoks Nol" melalui Analisis Alokasi Sumber Daya
    • Justifikasi: Berdasarkan temuan "paradoks nol" dari studi Sherratt & Dainty (2017) yang dirujuk dalam paper, terdapat hipotesis bahwa program "Nol" dapat secara tidak sengaja mengalihkan sumber daya dan perhatian manajemen dari bahaya berenergi tinggi ke metrik frekuensi cedera ringan.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi kasus komparatif mendalam pada beberapa perusahaan. Penelitian akan membandingkan perusahaan "Nol" dengan kinerja SIF yang buruk dengan perusahaan berbasis risiko (misalnya, Human and Organizational Performance - HOP) dengan kinerja SIF yang baik. Metode akan mencakup analisis dokumen (anggaran K3, agenda rapat, laporan investigasi) dan observasi etnografis untuk memetakan bagaimana waktu dan sumber daya dialokasikan.
    • Kebutuhan Lanjutan: Penelitian ini akan bergerak melampaui korelasi untuk mengeksplorasi mekanisme kausal potensial di balik paradoks tersebut, memberikan wawasan praktis tentang bagaimana fokus program keselamatan dapat salah arah.
  3. Analisis Komparatif Lintas Industri Berisiko Tinggi
    • Justifikasi: Temuan paper ini spesifik untuk industri konstruksi. Menguji generalisasi temuan ini di industri berisiko tinggi lainnya sangat penting untuk memahami apakah kegagalan "Nol" bersifat kontekstual atau universal.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi kasus jamak yang membandingkan implementasi dan hasil "Nol" di sektor konstruksi, pertambangan, dan minyak & gas. Penelitian akan fokus pada bagaimana konteks industri (misalnya, sifat pekerjaan, budaya serikat pekerja, struktur peraturan) memoderasi hubungan antara program "Nol" dan hasil K3.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menentukan apakah masalah dengan "Nol" merupakan fenomena yang lebih luas, sehingga memperkuat argumen untuk perubahan paradigma di berbagai sektor.
  4. Mengevaluasi 'Nol' sebagai Alat Komunikasi Eksternal (ESG dan CSR)
    • Justifikasi: Paper ini mengajukan hipotesis provokatif bahwa "Nol" mungkin lebih dihargai karena penampilannya bagi investor ("minyak ular untuk keselamatan") daripada dampaknya bagi pekerja.  
    • Metode yang Diusulkan: Analisis konten kuantitatif terhadap laporan tahunan dan keberlanjutan dari 100 perusahaan konstruksi teratas. Penelitian akan mengkode frekuensi retorika "Nol" dan mengkorelasikannya dengan kinerja SIF yang dilaporkan (bukan hanya metrik frekuensi seperti TRIR). Ini dapat dilengkapi dengan wawancara dengan analis investasi ESG.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menguji secara empiris apakah "Nol" berfungsi terutama sebagai strategi branding dan manajemen reputasi, yang berpotensi terlepas dari kinerja keselamatan operasional yang sebenarnya.
  5. Studi Percontohan tentang Efektivitas Metrik Alternatif (misalnya, HECA)
    • Justifikasi: Paper ini diakhiri dengan menyarankan bahwa alternatif seperti HECA dapat membuat "Nol" menjadi usang dengan menggeser fokus dari ketiadaan cedera ke kehadiran kontrol. Klaim ini memerlukan validasi empiris.  
    • Metode yang Diusulkan: Studi intervensi kuasi-eksperimental. Bekerja sama dengan perusahaan untuk menerapkan metrik HECA di beberapa proyek (kelompok intervensi) sambil mempertahankan metrik tradisional di proyek lain (kelompok kontrol). Penelitian akan mengukur tidak hanya hasil SIF tetapi juga indikator utama seperti persentase verifikasi kontrol kritis yang berhasil dan kualitas percakapan keselamatan.
    • Kebutuhan Lanjutan: Akan menjadi salah satu studi pertama yang secara kuantitatif membandingkan paradigma keselamatan "berbasis ketiadaan" dengan paradigma "berbasis kehadiran", memberikan bukti penting untuk pergeseran paradigma di seluruh industri.

Secara keseluruhan, penelitian Sherratt et al. (2024) secara meyakinkan menunjukkan bahwa fondasi empiris untuk filosofi "Nol" sangat lemah. Implikasi jangka panjangnya adalah bahwa perdebatan dalam komunitas K3 tidak lagi seharusnya tentang apakah "Nol" berhasil, tetapi tentang bagaimana membangun dan memvalidasi alternatif yang berakar pada ilmu keselamatan, desain sistem, dan psikologi organisasi.

Agenda riset yang diuraikan di atas bersifat ambisius dan interdisipliner. Untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan ini secara efektif, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara pusat penelitian keselamatan konstruksi seperti Construction Safety Research Alliance (CSRA), departemen psikologi industri-organisasi di universitas riset terkemuka, dan lembaga pendanaan seperti National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Kemitraan dengan asosiasi industri dan serikat pekerja juga penting untuk memastikan bahwa penelitian ini relevan secara praktis dan temuannya dapat diterjemahkan ke dalam praktik di lapangan untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

(https://doi.org/10.1016/j.jsr.2024.08.016)

Selengkapnya
Membedah Mitos "Zero Harm": Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi?

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Keselamatan Konstruksi di Nepal: Antara Praktik Moderat dan Tantangan Tata Kelola

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025


Mengungkap Realitas Keselamatan Konstruksi di Nepal: Sebuah Tinjauan Mendalam

Industri konstruksi secara global dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi, dan Nepal tidak terkecuali. Setiap tahun, diperkirakan 20.000 pekerja di Nepal mengalami kecelakaan di tempat kerja, dengan 200 di antaranya berakibat fatal. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak insiden yang tidak dilaporkan, menunjukkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi. Meskipun pemerintah Nepal telah menunjukkan komitmen melalui regulasi seperti UU Ketenagakerjaan 2017 dan Kebijakan Nasional K3 2019, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Saudi Journal of Civil Engineering oleh Mahendra Acharya dkk. menyelami lebih dalam untuk menilai status praktik keselamatan di proyek gedung komersial Nepal dan mengidentifikasi tantangan utamanya.

Metodologi dan Temuan Kunci

Penelitian ini mengumpulkan data primer dari 487 responden yang tersebar di berbagai proyek konstruksi gedung komersial di Nepal. Responden berasal dari berbagai tingkatan, termasuk Manajer Proyek (11,09%), Insinyur Senior (26,90%), Insinyur Lapangan (18,89%), Sub-Insinyur (13,14%), dan lainnya (29,98%). Data yang dikumpulkan melalui kuesioner dengan skala Likert lima poin kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan MS Excel dan SPSS. Tiga metode analisis utama digunakan: Bloom Cutoff untuk mengkategorikan level implementasi, Relative Importance Index (RII) untuk merangking praktik keselamatan, dan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengekstrak tantangan utama.

Status Implementasi: Berada di Level "Moderat"

Temuan utama menunjukkan bahwa status implementasi keselamatan secara keseluruhan berada pada level moderat, di mana 70,64% responden jatuh dalam kategori ini. Hanya 16,22% yang menganggap implementasi berada pada level tinggi, sementara 13,14% lainnya menilainya rendah.

Analisis RII memberikan gambaran yang lebih detail mengenai praktik mana yang paling sering dan paling jarang diterapkan:

  • Praktik yang Paling Banyak Diterapkan:
    • Penggunaan barikade pengaman (RII = 0.862).
    • Kepatuhan pekerja terhadap aturan keselamatan (RII = 0.827).
    • Pemeliharaan peralatan secara tepat waktu (RII = 0.826).
    • Implementasi kode bangunan (NBC 114:1994) (RII = 0.819).
    • Ketersediaan fasilitas pertolongan pertama (RII = 0.794).
  • Praktik yang Paling Lemah dan Jarang Diterapkan:
    • Rencana keselamatan kerja (Job safety plan) (RII = 0.596).
    • Pelatihan keselamatan (Safety training) (RII = 0.534).
    • Tinjauan desain untuk aspek keselamatan (Design review for safety) (RII = 0.509).

Studi ini juga menemukan bahwa keberadaan

safety officer dan pelaksanaan audit keselamatan secara rutin hampir tidak ada di mayoritas proyek yang diteliti, menandakan celah pengawasan yang signifikan.

Lima Tantangan Utama Penghambat Keselamatan

Analisis PCA berhasil mengelompokkan berbagai tantangan menjadi lima faktor utama yang secara kolektif menjelaskan 68,12% dari total varians.

  1. Budaya Keselamatan yang Lemah (Poor Safety Culture): Ini adalah tantangan paling dominan, menjelaskan 40,217% varians. Faktor ini mencakup persepsi bahwa keselamatan adalah biaya tambahan (

aided cost), kecenderungan untuk hanya memenuhi persyaratan kontrak minimum, serta kurangnya inspeksi dan pemantauan keselamatan yang proaktif.

  1. Manajemen Keselamatan yang Buruk (Poor Safety Management): Faktor kedua (8,97% varians) menyoroti kurangnya komitmen dari pihak manajemen serta adanya manajer dan pekerja yang tidak kompeten dalam hal keselamatan.
  2. Kurangnya Pengetahuan dan Sumber Daya (Lack of Safety Knowledge and Resources): Menjelaskan 8,11% varians, tantangan ini berakar pada pelatihan yang tidak memadai dan tidak adanya ahli atau petugas keselamatan (safety officer) di lokasi proyek.
  3. Lemahnya Infrastruktur & Komunikasi Keselamatan (Lack of Safety Infrastructures and Communication): Faktor ini (5,72% varians) mencakup pencatatan kecelakaan yang buruk, kurangnya rambu-rambu keselamatan, serta minimnya penggunaan barikade dan jaring pengaman.
  4. Masalah Tata Kelola dan Implementasi (Problem in Governance and Implementation): Faktor terakhir (5,26% varians) menyoroti bahwa hukum dan peraturan yang ada dianggap tidak cukup dan penegakannya di lapangan sangat lemah.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para peneliti mengakui adanya keterbatasan, termasuk potensi bias persepsi karena data sangat bergantung pada kuesioner dan observasi lapangan yang terbatas. Namun, penelitian ini membuka beberapa pertanyaan penting untuk dieksplorasi lebih lanjut: sejauh mana kebijakan pemerintah pasca 2019 benar-benar telah diimplementasikan? Apakah budaya keselamatan dapat diperbaiki secara efektif melalui sistem insentif? Dan bagaimana perbedaan tingkat kepatuhan antara proyek yang didanai publik dan swasta? Hubungan langsung antara faktor-faktor PCA (seperti budaya keselamatan) dengan angka kecelakaan aktual di lapangan juga perlu diteliti lebih lanjut.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan ini, lima arah penelitian di masa depan direkomendasikan untuk membangun fondasi keselamatan yang lebih kuat di Nepal:

  1. Evaluasi Intervensi Budaya Keselamatan melalui Studi Longitudinal.
  2. Pengaruh Keberadaan Safety Officer dan Pelatihan Keselamatan terhadap Kinerja Proyek.
  3. Analisis Biaya-Manfaat dari Implementasi Keselamatan secara Komprehensif.
  4. Studi Perbandingan Proyek Publik vs. Swasta dalam Implementasi Praktik Keselamatan.
  5. Pengembangan Model Tata Kelola Keselamatan Multi-Stakeholder di Nepal.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan di proyek konstruksi komersial Nepal masih berada pada level moderat dengan tantangan dominan berupa budaya keselamatan yang lemah dan tata kelola yang kurang efektif. Untuk mendorong perubahan yang nyata, diperlukan upaya kolaboratif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah seperti Ministry of Labour, Employment and Social Security (MoLESS), lembaga akademik teknik sipil di Nepal, serta asosiasi kontraktor dan serikat pekerja. Keterlibatan multi-pihak ini krusial untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil riset, sekaligus mendorong perubahan budaya keselamatan yang nyata dari tingkat kebijakan hingga ke implementasi di setiap proyek.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.36348/sjce.2024.v08i09.003

Selengkapnya
Keselamatan Konstruksi di Nepal: Antara Praktik Moderat dan Tantangan Tata Kelola

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Melampaui Statistik: Mengurai Akar Masalah Kecelakaan Kerja di Sektor Konstruksi dan Merumuskan Agenda Riset K3 Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025


Konteks dan Ruang Lingkup Masalah

Paper yang berjudul Analysis of SMK3 Implementation and Causes of Work Accidents at PT. Bumi Duta Persada (BDP) in Tangerang Regency mengkaji isu kritis kecelakaan kerja di Indonesia, dengan mengambil studi kasus spesifik pada PT. Bumi Duta Persada. Latar belakang riset ini sangat relevan, mengingat data dari periode 2019 hingga 2021 menunjukkan mayoritas kecelakaan kerja (64.4%) terjadi di tempat kerja, dengan sektor industri dan konstruksi menjadi penyumbang utama.1 Hal ini menegaskan urgensi untuk memahami mekanisme di balik insiden-insiden tersebut dan menemukan cara untuk memitigasinya. Penelitian ini secara spesifik berfokus pada analisis kegagalan sistem manajemen K3 di perusahaan tersebut, yang digambarkan sebagai salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah kecelakaan.1

 

Pendekatan Metodologis dan Kerangka Analisis

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, sebuah metode yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dalam bentuk narasi dan tindakan, alih-alih angka atau statistik yang dapat dihitung.1 Pengumpulan data dilakukan melalui tiga teknik utama: observasi langsung di lokasi kerja, wawancara mendalam dengan empat informan kunci, serta dokumentasi.1 Untuk menganalisis data yang terkumpul, peneliti menerapkan dua metode:

Preliminary Hazard Analysis (PHA) untuk mengidentifikasi bahaya awal, dan metode 5W1H (What, Why, Where, When, Who, How) untuk memetakan insiden secara terperinci.1 Penggunaan PHA pada tahap awal memang membantu dalam memberikan informasi bahaya secara ringkas, namun sebagaimana yang diakui dalam paper, metode ini hanya memberikan informasi awal dan kurang detail tentang risiko serta cara pencegahannya secara spesifik.

 

Temuan Kunci dan Data Kuantitatif Deskriptif

Temuan utama dari penelitian ini mengonfirmasi bahwa faktor penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi menjadi dua kondisi, yaitu lokasi proyek yang tidak aman dan perilaku pekerja yang tidak aman, dengan perilaku pekerja yang tidak aman memiliki pengaruh yang lebih signifikan.1 Perilaku ini mencakup kurangnya kesadaran dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), kesalahan prosedur, serta kelelahan.1

Data kuantitatif yang disajikan dalam paper memperkuat argumen ini. Pada periode 2020-2022, tercatat total 85 kecelakaan kerja di PT. Bumi Duta Persada, dengan rincian 73 kecelakaan kategori kecil dan 12 kecelakaan kategori sedang.1 Meskipun terdapat sedikit penurunan jumlah kecelakaan di tahun 2021 (26 kecelakaan) dibandingkan tahun 2020 (30 kecelakaan), tren ini kembali meningkat di tahun 2022 menjadi 29 kecelakaan, menunjukkan tantangan yang persisten dalam mengendalikan risiko kerja.1

Lebih lanjut, analisis data kecelakaan yang terjadi pada periode Mei-Juni 2023 menunjukkan total 16 kecelakaan, terdiri dari 13 kecelakaan kecil dan 3 kecelakaan sedang.1 Secara kuantitatif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara perilaku tidak aman, seperti kurangnya penggunaan APD dan kurangnya fokus, dengan tingginya frekuensi kecelakaan kecil dan sedang. Secara spesifik, dari total 16 kecelakaan yang tercatat,81.25% dikategorikan sebagai kecelakaan kecil.1

Sebuah temuan yang sangat penting adalah identifikasi kelelahan sebagai salah satu penyebab kecelakaan.1 Sebagai contoh, insiden terpeleset yang menyebabkan kecelakaan sedang terjadi pada malam hari, dan temuan ini secara eksplisit menghubungkan insiden tersebut dengan faktor kelelahan akibat pekerja yang melakukan dua shift kerja, yaitu siang dan malam.1 Hal ini menunjukkan bahwa isu perilaku tidak hanya sebatas kurangnya kesadaran, tetapi juga terkait dengan kebijakan internal perusahaan yang secara tidak langsung menciptakan kondisi risiko.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bidang keselamatan dan kesehatan kerja, terutama dalam konteks studi kasus. Pertama, paper ini memberikan bukti empiris yang memvalidasi bahwa faktor perilaku pekerja (unsafe labor behavior) memiliki peran dominan dalam insiden kecelakaan kerja, sebuah hipotesis yang telah banyak dibahas dalam literatur.1 Kedua, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini berhasil mengidentifikasi akar masalah spesifik dan nuansanya, seperti keterbatasan anggaran dan kelelahan, yang sering kali sulit ditangkap dalam analisis kuantitatif berskala besar.1 Terakhir, penggunaan metode PHA dan 5W1H, meskipun sederhana, berhasil menyediakan kerangka dasar yang efektif untuk mengidentifikasi bahaya dan memetakan insiden, yang dapat menjadi pijakan untuk analisis risiko yang lebih kompleks di masa depan.1

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan temuan yang berharga, penelitian ini juga memiliki keterbatasan dan meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang perlu dijawab oleh riset selanjutnya. Pertama, sebagai penelitian kualitatif deskriptif, hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke perusahaan atau industri lain secara statistik. Kedua, terdapat paradoks dalam klasifikasi risiko. Paper menyimpulkan bahwa tingkat risiko kerja berada pada kategori "kecil" dengan nilai rentang (1-4), karena kecelakaan yang terjadi didominasi oleh kategori kecil dan sedang.1 Namun, frekuensi kecelakaan yang tinggi (85 kecelakaan dalam tiga tahun) menunjukkan tingkat kemungkinan (

likelihood) yang sangat tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah model penilaian risiko yang digunakan (PHA), yang hanya memberikan informasi pendahuluan dan tidak detail, gagal menangkap risiko kumulatif yang sesungguhnya dari frekuensi insiden yang tinggi ini? Ada kemungkinan model penilaian yang lebih canggih akan mengklasifikasikan risiko ini sebagai sedang atau bahkan tinggi.

Ketiga, penelitian ini mengakui adanya faktor eksternal seperti kemacetan lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan namun menyatakan hal tersebut "di luar proses manajemen risiko yang ditangani".1 Ini meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana interaksi antara faktor internal dan eksternal memengaruhi tingkat kecelakaan. Keempat, analisis paper ini tidak mengeksplorasi secara mendalam faktor psikologis yang melandasi perilaku tidak aman, seperti motivasi keselamatan, persepsi risiko, atau budaya keselamatan. Pertanyaan terbuka yang relevan adalah: sejauh mana faktor-faktor psikologis ini memengaruhi kesadaran pekerja dan kepatuhan terhadap prosedur?

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi strategis untuk penelitian lanjutan yang dapat memperdalam pemahaman dan memberikan solusi yang lebih efektif:

  1. Analisis Hubungan Sebab-Akibat Secara Kuantitatif. Penelitian lanjutan harus beralih dari deskriptif ke kuantitatif untuk mengukur kekuatan hubungan antara variabel secara statistik. Desain penelitian kuantitatif dapat menguji hipotesis bahwa kurangnya alokasi anggaran K3 secara signifikan memengaruhi ketersediaan APD dan, pada gilirannya, meningkatkan frekuensi kecelakaan. Variabel independen yang dapat diukur meliputi anggaran K3, frekuensi pelatihan keselamatan, dan tingkat penggunaan APD, sementara variabel dependen adalah tingkat kecelakaan kerja.
  2. Studi Intervensi untuk Mengukur Dampak Program Pelatihan. Untuk memvalidasi pernyataan bahwa kurangnya kesadaran adalah penyebab kecelakaan, diperlukan studi intervensi. Riset lanjutan dapat menerapkan desain eksperimental atau kuasi-eksperimental di mana kelompok intervensi menerima program pelatihan kesadaran K3 yang terstruktur, sementara kelompok kontrol tidak. Variabel yang diukur adalah tingkat penggunaan APD dan kepatuhan terhadap SOP sebelum dan sesudah intervensi, yang kemudian dihubungkan dengan perubahan frekuensi kecelakaan.
  3. Analisis Ekonomi: Anggaran K3 sebagai Investasi. Keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Penelitian di masa depan harus menggunakan analisis ekonomi, seperti Cost-Benefit Analysis atau Return on Investment (ROI), untuk menunjukkan bahwa pengeluaran K3 bukanlah biaya yang hilang, melainkan investasi strategis. Variabel baru akan mencakup biaya langsung K3 (pengadaan APD, pelatihan) dan biaya tidak langsung (kerugian produksi, klaim asuransi) untuk menguantifikasi hubungan antara investasi K3 dan potensi penghematan jangka panjang.
  4. Ekstensi Model Risiko dengan Mengintegrasikan Faktor Eksternal. Model penilaian risiko yang komprehensif harus mempertimbangkan seluruh ekosistem. Penelitian lanjutan harus mengembangkan model prediktif yang tidak hanya berdasarkan kondisi internal perusahaan tetapi juga mengintegrasikan variabel eksternal yang dinamis seperti data lalu lintas atau kondisi cuaca untuk memetakan zona risiko tinggi secara lebih akurat.
  5. Studi Komparatif Lintas Industri. Untuk menguji generalisasi temuan, diperlukan studi kasus komparatif. Penelitian dapat membandingkan data dari PT. BDP dengan dua atau tiga perusahaan lain di sektor berbeda (misalnya, manufaktur atau pertambangan) untuk mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan dalam faktor-faktor yang memengaruhi keselamatan kerja. Tujuannya adalah untuk membangun kerangka teoretis yang lebih kuat dan dapat diterapkan secara luas.

 

Kesimpulan

Penelitian ini secara efektif mengidentifikasi kurangnya kesadaran pekerja dan keterbatasan anggaran sebagai penyebab utama kecelakaan kerja di PT. Bumi Duta Persada, yang secara dominan dipicu oleh faktor perilaku. Temuan ini memvalidasi literatur yang ada dan menawarkan wawasan penting melalui analisis kualitatif. Meskipun paper mengklasifikasikan tingkat risiko sebagai "kecil," tingginya frekuensi insiden menuntut perhatian lebih mendalam dan validasi melalui metode yang lebih canggih. Untuk itu, penelitian lanjutan diperlukan untuk mengukur hubungan sebab-akibat secara statistik, menguji efektivitas intervensi, mengkaji K3 dari perspektif ekonomi, memperluas model risiko, dan memvalidasi temuan di konteks industri yang lebih luas.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik (misalnya, Universitas Bina Bangsa, tempat para penulis berafiliasi) untuk memperdalam analisis teoritis dan metodologis, lembaga pemerintah (misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan) untuk memastikan temuan relevan dengan regulasi dan kebijakan nasional, serta perusahaan lain di sektor terkait untuk memvalidasi temuan di berbagai konteks. Kolaborasi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan dampak praktis dari hasil riset di masa depan.

Baca selengkapnya di https://ejournal.seaninstitute.or.id/index.php/Ekonomi/article/view/3606

Selengkapnya
Melampaui Statistik: Mengurai Akar Masalah Kecelakaan Kerja di Sektor Konstruksi dan Merumuskan Agenda Riset K3 Berkelanjutan

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) di kawasan PT Gunbuster Nickel industry

Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi kasus K3 di kawasan PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) menunjukkan bahwa tata kelola keselamatan di industri berisiko tinggi tidak bisa berhenti pada “kepatuhan dokumen,” melainkan harus menyeberang ke disiplin operasional harian lewat pelatihan, pemantauan lingkungan kerja, komunikasi risiko, serta pelibatan pekerja. Peneliti menemukan praktik yang relatif komprehensif: pelatihan K3 rutin, monitoring lingkungan kerja, kampanye keselamatan, dan penguatan peran Panitia Pembina K3 (P2K3). Di saat yang sama, hambatan faktual tetap ada—mulai dari resistensi sebagian pekerja hingga kompleksitas proses smelting—sehingga dibutuhkan strategi proaktif untuk menjaga konsistensi implementasi di lapangan.

Secara sosial, pelibatan aktif pekerja dalam P2K3, dialog rutin, dan diklat tanggap darurat membangun budaya keterbukaan dan saling menghargai—prasyarat penting untuk menekan underreporting insiden dan meningkatkan kedisiplinan penggunaan APD.

Secara ekonomi, praktik K3 yang efektif dikaitkan dengan penurunan angka kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas—efek berantai yang juga memperkuat citra perusahaan di mata investor.

Secara lingkungan, pemeriksaan dan pengujian aspek lingkungan kerja, kesehatan kerja, alat berat, dan proses operasi ditempatkan sebagai prioritas—mencegah paparan berbahaya, kebocoran risiko, dan dampak eksternalitas lokasi industri.

Secara administratif, keberadaan P2K3—yang diwajibkan pada unit berisiko tinggi—memungkinkan tata kelola berbasis data (pengumpulan–analisis data K3, evaluasi rutin, dan pengendalian risiko) serta koordinasi berkelanjutan dengan pengawas ketenagakerjaan.

Intinya, temuan studi ini memberi landasan kebijakan: kewajiban, kapasitas, dan budaya harus dirajut menjadi satu kesatuan operasional—bukan hanya untuk menjaga keselamatan pekerja, tetapi juga untuk keberlanjutan operasi industri strategis.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang

Dampak yang dicatat riset. Penerapan pelatihan, monitoring, kampanye, dan pelibatan pekerja berkontribusi pada penurunan kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas, sekaligus memperbaiki reputasi perusahaan. Ini mengindikasikan bahwa paket intervensi yang konsisten memberikan nilai sosial-ekonomi ganda: keselamatan meningkat, biaya tak langsung menurun, kepercayaan pemangku kepentingan naik.

Hambatan yang muncul. Dua kelompok hambatan menonjol:

  1. Perilaku & Organisasi. Resistensi ketidakpatuhan sebagian karyawan terhadap prosedur K3; kebutuhan penguatan pemahaman dan disiplin kolektif; tantangan mempertahankan ritme pelatihan—terutama pada organisasi besar dan operasi multijalur.
  2. Teknis & Kontekstual. Kompleksitas fisik dan proses—suhu tinggi, alat berat, bahan kimia—serta dinamika eksternal yang memengaruhi stabilitas penerapan aturan. Kondisi ini menuntut pemeriksaan dan pengujian berkala pada lingkungan, kesehatan kerja, dan proses operasi.

Peluang penguatan. Studi menyoroti tiga tuas peningkatan yang sudah dicoba dan dapat ditingkatkan skalanya:

  • P2K3 sebagai “tulang punggung” tata kelola. Fungsinya mencakup pengumpulan–analisis data K3, evaluasi lingkungan kerja, dan pengendalian risiko—basis untuk kebijakan berbasis bukti.
  • Diklat tanggap darurat. Kurikulum mencakup APAR, evakuasi kebakaran, penyelamatan kendaraan, hingga latihan air—relevan untuk meningkatkan kesiapsiagaan insiden multi-skenario.
  • Koordinasi regulator. Bimbingan, timeline kepatuhan, dan pengawasan berkelanjutan dari otoritas ketenagakerjaan membuat standar lebih jelas dan disiplin penegakan lebih konsisten.

4 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1) Standardisasi Minimum Fungsi P2K3 + Kewajiban Pelaporan Data K3 Triwulanan

Alasan (berbasis temuan). P2K3 memiliki mandat strategis: mengumpulkan–menganalisis data K3, mengevaluasi lingkungan kerja, mengembangkan pengendalian risiko, dan menjadi forum kerja sama pengusaha–pekerja. Studi menunjukkan P2K3 efektif sebagai simpul tata kelola jika didukung proses dan data yang berjalan.

Kebijakan. Tetapkan standar minimum fungsi P2K3 di sektor berisiko tinggi: (a) indikator pelaporan (insiden, penyakit akibat kerja, near miss, kepatuhan APD); (b) siklus evaluasi risiko; (c) rencana tindak korektif; (d) bukti sosialisasi ke pekerja.

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator (Kemenaker & Pengawas): mewajibkan pelaporan triwulanan P2K3 melalui kanal digital sederhana, disertai bukti rapat dan tindak lanjut.
  • Perusahaan: menunjuk sekretariat P2K3 dan petugas data K3; mengintegrasikan laporan dengan jadwal audit internal.
  • Umpan balik: pengawas memberi notulensi korektif dan tenggat perbaikan.
    Basis ini mengekstrak praktik P2K3 yang sudah berjalan di PT GNI ke standar nasional operasional.

2) Program Pemeriksaan & Pengujian Berkala atas Lingkungan Kerja, Kesehatan Kerja, Alat Berat, dan Proses Operasi

Alasan (berbasis temuan). Studi menekankan pemeriksaan–pengujian sebagai prioritas utama demi perlindungan optimal; ini mencakup aspek lingkungan, kesehatan kerja, alat berat, serta proses operasional.

Kebijakan. Tetapkan frekuensi minimum (mis. triwulanan) uji/pemeriksaan untuk keempat domain tersebut, plus tindak korektif terdokumentasi.

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator: menerbitkan daftar periksa nasional sederhana yang wajib dilampirkan pada laporan P2K3 triwulanan.
  • Perusahaan: menunjuk penanggung jawab setiap domain (lingkungan, kesehatan kerja, alat, proses) yang menyatu dalam rapat P2K3.
  • Pengawas: melakukan verifikasi acak terhadap bukti uji dan tindak korektif di lapangan.
    Pendekatan ini menjaga dampak lingkungan tetap terkendali dan menutup celah risiko proses secara sistematis.

3) Penguatan Budaya Keselamatan melalui Dialog Pekerja, Kampanye APD, dan Umpan Balik Terbuka

Alasan (berbasis temuan). Hambatan utama adalah resistensi/ketidakpatuhan sebagian pekerja; di sisi lain, dialog rutin dan kampanye keselamatan terbukti menjadi kanal efektif meningkatkan keterlibatan, pemahaman risiko, dan kenyamanan budaya kerja.

Kebijakan. Wajibkan forum dialog keselamatan bulanan (antara manajemen, P2K3, perwakilan pekerja) dan kampanye APD berkelanjutan dengan materi sederhana (poster, briefing pra-shift, papan skor kepatuhan).

Mekanisme pelaksanaan.

  • Perusahaan: menetapkan “safety moment” pra-shift 5–10 menit; memublikasikan papan skor kepatuhan APD per area; mengarsipkan masukan pekerja dan tindak lanjut.
  • P2K3: menyiapkan umpan balik tertulis untuk setiap isu yang diangkat pekerja.
  • Regulator: meminta dokumentasi forum dan papan skor saat inspeksi berkala.
    Desain ini langsung menyasar akar masalah perilaku yang terekam pada studi.

4) Koordinasi Kepatuhan Berbasis Timeline antara Perusahaan dan Pengawas Ketenagakerjaan

Alasan (berbasis temuan). Studi mendokumentasikan bimbingan dan koordinasi aktif dengan otoritas, disertai penyiapan timeline kepatuhan dan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan standar dijalankan.

Kebijakan. Terapkan rencana kepatuhan bertenggat (compliance timeline) tahunan untuk setiap perusahaan berisiko tinggi, berisi daftar aksi (penutupan temuan audit, upgrade sarana, pembaruan SOP, jadwal diklat).

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator: mengesahkan template timeline; melakukan review tengah tahun dan akhir tahun.
  • Perusahaan: mengintegrasikan timeline ke anggaran dan rencana kerja; melapor progres pada rapat triwulanan P2K3.
  • Pengawas: mengeluarkan catatan korektif wajib tindak lanjut dengan batas waktu jelas.
    Skema ini menutup jurang antara “rencana di atas kertas” dan realisasi lapangan yang konsisten.

Kritik: Risiko Jika Kebijakan Tidak Dilengkapi Input dari Studi Ini

Tanpa menyerap pembelajaran kunci studi—penguatan peran P2K3 berbasis data, diklat multi-skenario, pemeriksaan berkala domain kritis, dialog pekerja, dan timeline kepatuhan—kebijakan K3 berpotensi kembali ke kepatuhan formalitas:

  1. Risiko sosial tetap tinggi: pekerja enggan melapor, kepatuhan APD turun, budaya “asal jalan” kembali dominan.
  2. Biaya ekonomi meningkat: kecelakaan dan absensi tidak terkendali, produktivitas tergerus, reputasi melemah.
  3. Dampak lingkungan tidak terpantau tepat waktu: paparan dan insiden proses lebih mungkin luput hingga menjadi kejadian besar.
  4. Kelemahan administratif menetap: data parsial, evaluasi tidak berulang, tindak korektif tanpa tenggat—membuat pengawasan sulit menilai progres.

Temuan inti studi di PT GNI menyiratkan bahwa keberhasilan K3 lahir dari kombinasi kewajiban–kapasitas–budaya: ada perangkat organisasi (P2K3), kemampuan teknis (diklat dan pemeriksaan), serta ekosistem sosial (dialog pekerja dan kampanye keselamatan) yang bergerak serempak—diikat oleh timeline kepatuhan dan umpan balik pengawasan. Dengan mengadopsi lima rekomendasi praktis di atas, pembuat kebijakan dapat menyalin praktik yang terbukti di lapangan ke skema nasional yang realistis, berbiaya terkendali, dan berorientasi hasil. Dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan administratif yang lebih solid bukan hanya dimungkinkan, melainkan dapat diukur dan diaudit dari waktu ke waktu.

Sumber Paper: Walidah, Ziana & Fudin, Nur & Amelia, Desi & Fadila, Sur. (2024). Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di Kawasan PT Gunbuster Nickel Industry. https://doi.org/10.62383/aliansi.v1i3.186

Selengkapnya
Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) di kawasan PT Gunbuster Nickel industry

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Kecelakaan kerja didefinisikan dalam literatur sebagai peristiwa tak terduga yang menimbulkan kerugian fisik atau materiil akibat interaksi kompleks berbagai faktor manusia, peralatan, metode, dan lingkungan kerja. H.W. Heinrich dalam Teori Domino (1931) mengemukakan lima faktor berantai (kondisi kerja tidak aman, kelalaian manusia, tindakan tidak aman, kejadian kecelakaan, dan cedera), menegaskan bahwa kecelakaan jarang terjadi tiba-tiba tanpa pancingan faktor-faktor sebelumnya. Bird & Loftus (1969) menambah kerangka ini dengan membagi penyebab menjadi tiga kategori (manajemen kurang terkendali, penyebab dasar, dan penyebab langsung). Pada konteks praktikum perguruan tinggi, teori ini menyiratkan bahwa pengabaian prosedur K3 dan lemahnya pengendalian keselamatan (unsafe action dan unsafe condition) merupakan tanda peringatan sebelum kecelakaan serius terjadi. Pendekatan Swiss Cheese juga menekankan pentingnya mengidentifikasi penyebab laten dan langsung kecelakaan.

Dalam konteks pendidikan tinggi, laboratorium dan bengkel kampus juga memuat potensi bahaya signifikan. Meski sering dianggap berisiko rendah dibanding industri besar, data menunjukkan tren kecelakaan kerja yang tinggi di Indonesia: misalnya, BPJS Ketenagakerjaan melaporkan lebih dari 100 ribu kasus setiap tahun antara 2015–2019. Di dunia pendidikan, survei awal di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menemukan 48% mahasiswa pernah mengalami kecelakaan saat praktikum laboratorium. Distribusi kejadian tertinggi terjadi di workshop plumbing (54,1%), kemudian bengkel kayu (46,8%), laboratorium batu 33%, laboratorium uji bahan 22%, dan laboratorium mekanika tanah 28,4%. Klasifikasi kecelakaan ringan (tergores, terpeleset) hingga sedang (terjepit, luka bakar) juga tercatat. Temuan empiris ini menegaskan bahwa lingkungan lab kampus tidak lepas dari risiko keselamatan kerja. Secara teoritis, faktor utama penyebab kecelakaan dinyatakan terdiri dari faktor tindakan tidak aman (unsafe action) dan faktor kondisi tidak aman (unsafe condition), selaras dengan temuan Bird yang menempatkan setiap satu kejadian fatal didahului banyak insiden ringan dan sumber bahaya. Dengan demikian, artikel ini menempatkan teori-teori keselamatan kerja (Heinrich, Bird, Swiss Cheese) sebagai landasan konseptual, lalu memfokuskan pada konteks praktikum di perguruan tinggi.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur untuk menganalisis penyebab kecelakaan kerja pada praktikum perguruan tinggi. Penulis mengumpulkan dan menganalisis dokumen, artikel, dan publikasi yang relevan dengan topik. Pendekatan ini memungkinkan kompilasi komprehensif atas faktor-faktor risiko, namun tidak diuraikan kriteria pemilihan sumber secara sistematis. Dengan demikian, analisis bersifat naratif dan deskriptif, tanpa uji hipotesis statistik. Keunggulan metodologisnya adalah integrasi temuan dari berbagai riset terkini ke dalam satu kerangka yang ditargetkan untuk lingkungan laboratorium pendidikan. Kebaruan kajian ini terletak pada fokusnya yang spesifik pada praktikum pendidikan tinggi, berbeda dari sebagian besar literatur K3 yang dominan pada industri manufaktur atau konstruksi. Article ini mencoba menjembatani kesenjangan literatur dengan memetakan risiko di laboratorium akademis, yang sering diabaikan dalam diskursus keselamatan kerja umum. Dengan mengkontekstualkan teori keselamatan umum ke ranah pendidikan vokasional, studi ini memberi kontribusi baru dalam menyoroti perlunya adaptasi prinsip K3 dalam desain kurikulum dan fasilitas kampus.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Studi literatur ini menyimpulkan bahwa tindakan tidak aman (unsafe action) oleh mahasiswa merupakan faktor penyebab kecelakaan praktikum yang paling dominan. Jenis perilaku tak aman ini termasuk penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak tepat dan kelalaian saat bekerja. Cahyaningrum dkk. (2019) mencatat penggunaan APD yang tidak benar sebagai penyumbang utama insiden praktikum. Demikian pula, Priadi dkk. (2018) menemukan bahwa di bengkel kayu mahasiswa kerap kurang fokus dan ceroboh mengoperasikan mesin (unsafe action), yang berakibat luka berat pada jari. Hasil analisis menyatakan bahwa perilaku semacam ini berasal dari kurangnya kesadaran risiko dan ketidakpatuhan terhadap prosedur keselamatan. Kajian ini menekankan bahwa teori Bird & Loftus dan Heinrich sejalan dengan temuan ini; Bird & Loftus menyatakan bahwa kondisi kerja dibawah standar K3 dan tindakan kerja yang melanggar SOP adalah pemicu kecelakaan. Dengan kata lain, peningkatan pelatihan K3 dan penegakan disiplin prosedural pada level mahasiswa sangat krusial untuk mitigasi faktor ini.

Selain itu, kondisi kerja tidak aman (unsafe condition) di laboratorium juga menjadi faktor penting kedua. Faktor lingkungan yang tak memenuhi standar K3 meliputi: peralatan laboratorium rusak atau tidak terpelihara, instalasi listrik yang sembarangan, ventilasi tidak memadai, hingga sarana keselamatan seperti pengeras sinar atau pemadam api yang kurang tersedia. Nayiroh dan Kusairi (2019) mengidentifikasi hambatan K3 di lab fisika, seperti alat rusak berkepanjangan, kelistrikan tidak standar, dan ventilasi buruk. Hal ini mendukung pandangan bahwa faktor lingkungan sekitar kerja berkontribusi meningkatkan risiko kecelakaan. Penelitian Sumangingrum (2017) juga menemukan hubungan yang kuat antara tingkat pengetahuan mahasiswa dan kecenderungan melakukan tindakan tidak aman; artinya, lingkungan pendidikan yang kekurangan pendidikan keselamatan akan memperparah efek faktor tak aman. Keseluruhan temuan ini menggambarkan bahwa gabungan faktor individu (unsafe action) dan faktor sistem (unsafe condition) menjadi kunci dalam kejadian kecelakaan praktikum.

Data kuantitatif pendukung yang disajikan juga memberikan konfirmasi penting. Misalnya, survei Permana et al. (2020) menyebutkan 48% mahasiswa pernah mengalami kecelakaan praktikum. Insiden terbanyak terjadi di kegiatan praktikum plumbing (54,1%), diikuti workshop kayu (46,8%) dan laboratorium lainnya. Temuan kuantitatif ini menguatkan urgensi literatur: tingkat kecelakaan yang tinggi mengindikasikan banyak near-miss yang belum tertangani, sebagaimana piramida Bird (1 fatal : 10 serius : 30 ringan : 600 nyaris celaka : 10.000 potensi bahaya). Dengan menganalisis data ini, artikel menempatkan perilaku tak aman sebagai kontributor utama, dan kondisi kerja berbahaya sebagai faktor sekunder. Kontribusi baru terhadap pengetahuan adalah penekanan bahwa, dalam ranah pendidikan teknik, belum banyak kajian sistematis mengungkap hubungan antara budaya K3 kampus dengan tingkat kecelakaan praktikum. Dengan merangkum berbagai studi sebelumnya dalam satu sintesis, kajian ini memperkaya literatur dengan konteks yang lebih relevan bagi pengelola praktikum di kampus, sekaligus menegaskan bahwa pencegahan K3 perlu diintegrasikan sejak tahap perencanaan laboratorium pendidikan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

  • Keterbatasan data primer: Penelitian ini murni berbasis telaah pustaka tanpa pengumpulan data lapangan baru. Hal ini membatasi validitas ekstensifnya, karena tidak ada verifikasi empiris jumlah atau jenis kecelakaan yang terjadi di lapangan. Tanpa survei atau wawancara, afirmasi tentang faktor dominan bersifat inferensial dari studi lain.
  • Seleksi sumber tidak dijabarkan: Tidak terdapat metode sistematis (misalnya protokol PRISMA) untuk pemilihan dan evaluasi artikel. Risiko bias literatur cukup besar jika kriteria inklusi-eksklusi tidak disebutkan. Sebagai contoh, tidak jelas apakah sumber telah diperbarui setelah 2019 atau mencakup studi internasional terbaru.
  • Analisis kualitatif tanpa signifikansi statistik: Kajian ini tidak melibatkan analisis statistik atau model kuantitatif untuk mengukur kekuatan korelasi antar variabel. Oleh karena itu, klaim tentang seberapa besar masing-masing faktor berkontribusi pada kecelakaan bersifat deskriptif. Tidak dilakukan pengujian hipotesis seperti uji regresi atau uji-t sehingga signifikansi perbedaan faktor tidak diverifikasi.
  • Kerangka teori kurang diintegrasikan: Meskipun teori Domino, Bird, dan Swiss Cheese disebutkan, studi ini tidak menguji teori mana yang paling cocok untuk konteks praktikum pendidikan. Pilihan menggunakan teori-teori klasik ditampilkan sekadar sebagai latar, tanpa analisis kritis apakah skema tersebut valid di laboratorium akademis modern. Misalnya, peran manajemen dalam teori Bird tidak diulas mendalam mengenai bagaimana kebijakan kampus mempengaruhi insiden praktikum.
  • Keterbatasan cakupan konteks: Hasil kajian ini terutama berbasis literatur lokal (Indonesia) dan fokus pada lingkungan Universitas Negeri Jakarta. Hasilnya mungkin tidak mudah digeneralisasi ke institusi lain dengan perbedaan kurikulum atau budaya keselamatan yang berbeda. Di samping itu, dinamika teknologi laboratorium mutakhir (misalnya penggunaan otomasi atau laboratorium virtual) tidak dipertimbangkan.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Temuan kajian ini menunjukkan bahwa integrasi K3 dalam pendidikan teknik merupakan kebutuhan mendesak. Secara ilmiah, riset selanjutnya sebaiknya melengkapi kajian ini dengan data kuantitatif empiris: misalnya, survei kohort mahasiswa, audit keamanan laboratorium, atau studi kasus kecelakaan riil di perguruan tinggi. Pengembangan instrumen evaluasi risiko praktikum yang berbasis data lapangan juga dapat memvalidasi faktor dominan yang diidentifikasi. Secara kurikuler, implikasinya adalah perluasan materi keselamatan kerja dalam silabus mata kuliah praktikum, serta pelatihan rutin bagi dosen dan asisten lab.

Dalam perkembangan terkini, bidang keselamatan kerja mengarah pada pendekatan Safety-II yang fokus pada peningkatan kemampuan adaptasi pekerja terhadap situasi berisiko. Dalam konteks pendidikan teknik, ini berarti mahasiswa tidak hanya diberi peringatan tentang bahaya, tetapi juga dilibatkan aktif dalam identifikasi dan mitigasi risiko praktikum. Paradigma baru lain, seperti penggunaan virtual reality (VR) untuk pelatihan K3, patut dikaji sebagai inovasi pengurangan risiko tanpa ekspos langsung kepada bahaya nyata. Selanjutnya, kolaborasi lintas disiplin (misalnya antara pendidik teknik dan ahli keselamatan industri) perlu diperkuat untuk merumuskan kebijakan K3 kampus.

Secara global, temuan penting kajian ini relevan dengan tren peningkatan budaya keselamatan kerja serta tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) tentang pekerjaan layak (SDG 8). Dengan menumbuhkan budaya K3 di lingkungan akademis sejak dini, institusi pendidikan teknik dapat berkontribusi menghasilkan lulusan yang sadar risiko dan memiliki kecakapan menerapkan protokol keselamatan di tempat kerja profesional nanti. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi bahwa peningkatan keselamatan praktikum tidak hanya perlu sebagai kebijakan administratif, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan teknik modern.

Referensi:
Febriyani, Tuti Iriani, M. Agphin Ramadhan. (2020). Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Selengkapnya
Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis.

Tulisan Harish, Daryati, dan Murtinugraha (2020) mengawali dengan menyoroti tingginya angka kecelakaan kerja baik di sektor industri maupun lingkungan pendidikan, serta kebutuhan sistem K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) yang memadai. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecelakaan nasional (misalnya dari 123.041 kasus tahun 2017 menjadi 173.105 kasus tahun 2018). Konsep K3 ini diikat dalam kerangka Regulasi (PP RI No.50/2012) sebagai upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Penulis menggarisbawahi bahwa manajemen risiko merupakan bagian integral dari sistem K3, di mana Job Safety Analysis (JSA) diidentifikasi sebagai metode kunci untuk menilai dan mengendalikan bahaya sebelum kecelakaan terjadi. Lebih lanjut, JSA didefinisikan sebagai teknik yang memfokuskan analisis pada tiap langkah tugas kerja, menghubungkan pekerja, alat, dan lingkungan kerja, untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian. Konsep analisis kebutuhan (need analysis) juga dibahas sebagai metodologi yang digunakan untuk menutup jurang antara kondisi saat ini dan kebutuhan ideal.

Penulis merujuk pula pada literatur terkait K3 dan JSA: misalnya Rijanto (2010) yang mendeskripsikan JSA sebagai alat analisis risiko yang mengidentifikasi kontrol bahaya, serta standar OSHA yang menekankan pencegahan insiden dengan memeriksa langkah kerja secara mendetail. Dalam konteks pendidikan tinggi, laboratorium dianggap sebagai lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya. Sebagai studi kasus, laboratorium mekanika tanah Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ dipandang rawan: kegiatan praktikum seperti uji kadar air, uji berat jenis, batas Atterberg, uji CBR, hingga uji triaxial, menghasilkan partikel-partikel tanah halus di udara yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan iritasi mata. Wawancara dengan dosen praktik mengungkap kecelakaan yang pernah terjadi: mahasiswa mengalami sesak napas, iritasi mata, dan kerusakan alat karena kelalaian prosedur keselamatan. Studi pendahulu (Permana, 2020) menunjukkan hampir setengah mahasiswa di lingkungan FT UNJ pernah mengalami cedera ringan atau sedang saat praktik, dan 12,5% dari insiden tersebut terjadi di laboratorium mekanika tanah.

Kerangka teori ini menegaskan bahwa terdapat kesenjangan antara praktik K3 yang seharusnya dan kondisi aktual di laboratorium. Oleh karena itu, penulis mengajukan perlunya mengembangkan JSA khusus untuk laboratorium mekanika tanah. Tahap awal dalam model pengembangan yang digunakan adalah analisis kebutuhan, bertujuan mengidentifikasi risiko dan kebutuhan spesifik pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, studi ini ditempatkan dalam landasan teoretis manajemen risiko K3 yang kuat, menggabungkan definisi analisis kebutuhan, prinsip K3 berdasarkan regulasi, dan metode JSA sebagai strategi mitigasi utama. Hipotesis implisit yang muncul adalah bahwa pengembangan JSA dapat mengurangi kecelakaan kerja di laboratorium tersebut, sejalan dengan peran JSA yang diakui dalam literatur K3.

Metodologi dan Kebaruan.

Pendekatan penelitian adalah metode pengembangan (research and development) dengan acuan model Borg dan Gall (level 1), namun laporan ini fokus pada fase awal (analisis kebutuhan). Teknik pengumpulan data utama adalah survei kuantitatif berbasis kuesioner dan observasi. Dengan desain cross-sectional, peneliti menyasar populasi mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Bangunan UNJ angkatan 2015–2017 yang telah mengikuti Praktik Mekanika Tanah. Sebanyak 72 responden berhasil diambil (termasuk praktikan tahun 2015, 2016, 2017). Instrumen kuesioner disebar secara online melalui Google Form pada periode 12–15 Februari 2020, dan peneliti juga melakukan observasi langsung di laboratorium untuk melengkapi data.

Teknik pengumpulan data secara terstruktur ini menghasilkan informasi tentang tiga variabel utama: persepsi penerapan K3 di laboratorium, pengalaman kecelakaan kerja mahasiswa, dan sikap terhadap pengembangan JSA. Data primer diolah secara deskriptif; persentase dan rata-rata nilai digunakan untuk meringkas temuan. Tidak dijumpai analisis inferensial atau uji hipotesis; metodologi hanya mengandalkan statistik dasar (tabel distribusi, persentase).

Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik: fokus pada pengembangan JSA di lingkungan laboratorium pendidikan vokasi, khususnya laboratorium mekanika tanah. Beberapa penelitian terdahulu mengkaji JSA dalam praktik industri atau workshop (misalnya Saraswati et al. 2019 pada workshop plumbing) tetapi sangat sedikit yang membahas laboratorium perguruan tinggi. Dengan menggabungkan perspektif mahasiswa (melalui kuesioner) dan data kecelakaan di lab, studi ini memberikan tinjauan empiris yang relatif baru di bidang pendidikan teknik. Penelitian ini juga menegaskan pentingnya analisis kebutuhan sebagai langkah awal dalam desain instrumen manajemen risiko, suatu pendekatan yang masih jarang diterapkan untuk konteks laboratorium pendidikan. Secara keseluruhan, metodologi yang sistematis sekaligus kontekstual di laboratorium teknik ini menjadi kontribusi yang membedakan karya ini dari literatur K3 edukasi lainnya.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi.

Hasil analisis kebutuhan menyajikan gambaran kuantitatif sebagai berikut:

  • Kepuasan terhadap K3. Rata-rata skor kepuasan responden terhadap penerapan SMK3 di laboratorium mekanika tanah tercatat 61,1% (sekitar 3,66 dari skala 6). Sebagian besar mahasiswa menilai penerapan K3 cukup hingga baik, meski terdapat 28 mahasiswa yang menganggapnya “kurang baik” (observasi terhadap keberadaan rambu bahaya dan APD dinilai belum optimal). Nilai 61,1% ini menggambarkan situasi moderat: implementasi K3 dinilai ada, namun tidak memuaskan penuh. Konteksnya, hasil ini sejalan dengan temuan Permana (2020) bahwa tingkat kepuasan K3 mahasiswa FT UNJ juga relatif sedang, sehingga problem awareness di lingkungan akademik perlu ditingkatkan.
  • Data kecelakaan kerja. Sebanyak 21 dari 72 mahasiswa (27,8%) melaporkan pernah mengalami kecelakaan kerja selama tiga tahun terakhir di laboratorium mekanika tanah. Mayoritas kecelakaan tersebut bersifat ringan (19 orang, 90,5%) seperti tergores, terpeleset, atau terkena serpihan, sementara hanya 2 mahasiswa (9,5%) yang mengalami cedera sedang. Tidak ada kecelakaan berat yang tercatat. Angka insiden ~28% ini mencerminkan kejadian nyata yang tidak rendah: hampir satu perempat mahasiswa pernah mengalami insiden saat praktikum. Sebagai perbandingan, penelitian Permana (2020) di lingkungan Fakultas Teknik UNJ juga menemukan insiden kecelakaan hampir separuh responden (48%), dengan 12,5% insiden terjadi di lab mekanika tanah. Data kami menegaskan bahwa kategori kecelakaan ringan mendominasi namun risikonya masih tersendiri jika dibiarkan berulang.
  • Sikap terhadap JSA. Mayoritas besar mahasiswa (69 orang; 95,8% dari total) menyatakan menyetujui bahwa pengembangan Job Safety Analysis akan mengurangi risiko kecelakaan kerja di laboratorium tersebut. Persetujuan hampir bulat ini menunjukkan kepercayaan kuat mahasiswa terhadap efektivitas JSA sebagai alat mitigasi. Artinya, hampir seluruh praktikan melihat JSA sebagai intervensi yang logis dan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan praktik. Temuan ini sejalan dengan literatur (misalnya Saraswati et al. 2019) yang menyarankan JSA sebagai instrumen praktis untuk mengatasi bahaya di lingkungan kerja vokasi.

Secara interpretatif, kombinasi temuan di atas mengindikasikan adanya kesenjangan pelaksanaan K3 yang ada dengan realitas lapangan. Meski mahasiswa umumnya telah mengikuti mata kuliah K3 (95,8% mengetahui risiko kerja dan pengendaliannya[4]), tingkat kecelakaan tetap signifikan. Rata-rata kepuasan 61,1% mengindikasikan bahwa fasilitas dan prosedur K3 yang tersedia belum memadai sepenuhnya, sehingga terjadi unsafe action dan unsafe condition seperti yang juga disebutkan oleh peneliti. Konteksnya, sebelum penerapan JSA, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan konsistensi K3 di lab. Temuan dukungan luas terhadap JSA menyumbangkan pemahaman baru bahwa solusi yang diharapkan mahasiswa bukan sekadar reaktif, melainkan proaktif: mereka menganggap JSA penting untuk menutup kesenjangan tersebut. Dengan demikian, studi ini menambah wawasan: menunjukkan bahwa pengembangan JSA dalam pendidikan teknik bukan hanya memenuhi kebutuhan teoretis, tetapi juga diinginkan secara nyata oleh pihak yang terlibat, memberikan kontribusi empiris baru dalam literatur K3 pendidikan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis.

Sejumlah keterbatasan metodologis dapat memengaruhi interpretasi hasil:
- Sampel Terbatas. Penelitian hanya melibatkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ (angkatan 2015–2017). Karakteristik demografis, metode pengajaran, dan fasilitas laboratorium institusi ini mungkin berbeda dengan institusi lain. Oleh karena itu, kesimpulan yang dihasilkan bersifat konteks-spesifik dan sulit digeneralisasi. Studi selanjutnya perlu melibatkan sampel yang lebih luas, misalnya program studi teknik lain atau perguruan tinggi berbeda.
- Data Berbasis Survei. Informasi tentang kecelakaan didapat dari kuesioner yang bergantung pada ingatan dan persepsi mahasiswa. Tanpa verifikasi independen (catatan insiden resmi atau pengamatan jangka panjang), terdapat risiko bias ingatan atau tingkat pelaporan yang tidak lengkap. Misalnya, mahasiswa mungkin lupa kejadian kecil atau tidak melaporkan semua cedera. Hal ini mempengaruhi validitas data kecelakaan aktual.
- Instrumen dan Reliabilitas. Laporan tidak menjelaskan proses pengembangan kuesioner: bagaimana pertanyaan disusun, diuji validitas, dan reliabilitasnya. Ketiadaan informasi ini membatasi penilaian terhadap sejauh mana instrumen mengukur tepat variabel yang dimaksud (kepuasan K3, pengalaman kecelakaan, dsb.). Tanpa pengujian statistik reliabilitas, kekuatan pengukuran hasil menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan.
- Analisis Deskriptif Saja. Hasil disajikan dalam bentuk statistik deskriptif (persentase, rata-rata). Tidak ada uji statistik inferensial atau analisis hubungan antar variabel (misalnya apakah kepuasan K3 berbanding terbalik dengan kejadian kecelakaan). Kehadiran analisis seperti uji-t atau korelasi mungkin dapat menambah bobot bukti. Tanpa demikian, klaim tentang hubungan atau perbedaan signifikan antar variabel tidak teruji secara empiris.
- Fokus Awal Pengembangan. Meskipun mengacu model Borg & Gall, studi ini hanya menyelesaikan tahap analisis kebutuhan (level 1). Tahap selanjutnya (perencanaan, pengembangan, validasi, revisi produk JSA) tidak dilaporkan. Dengan demikian, klaim manfaat JSA masih bersifat asumsi/persepsi, belum terbukti melalui implementasi. Perlu penelitian lanjutan yang merancang modul JSA konkretnya dan mengujinya di lapangan.

Refleksi kritis menunjukkan bahwa asumsi penelitian—bahwa tingginya dukungan mahasiswa atas JSA otomatis sebanding dengan efektivitasnya—belum diuji. Penulis mengandaikan JSA akan “mengurangi kecelakaan”, namun tanpa studi intervensi, manfaat sebenarnya tidak diketahui. Selain itu, pemilihan model Borg & Gall memberikan kerangka pengembangan, tetapi ketergantungannya pada fase teoritis membuat bukti empiris terkait keuntungan JSA masih terbatas. Di samping itu, riset ini tidak membahas faktor eksternal lain (misalnya budaya keselamatan lab, fasilitas fisik, peran dosen pembimbing) yang mungkin ikut mempengaruhi kecelakaan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu diakui dalam menginterpretasi hasil: penemuan bersifat indikatif dan perlu diverifikasi melalui penelitian kuantitatif lanjutan atau metode kualitatif untuk menilai konteks yang lebih dalam.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan.

Temuan ini memberikan beberapa implikasi penting untuk riset dan praktik di bidang K3 dan pendidikan teknik:

  • Pengembangan Produk JSA Lanjutan. Data kebutuhan yang terkumpul dapat menjadi dasar desain prototipe JSA khusus laboratorium mekanika tanah. Penelitian selanjutnya dapat membuat modul pelatihan atau formulir JSA, lalu mengevaluasi efektivitasnya secara empiris (misalnya lewat eksperimen pre-post: membandingkan tingkat kecelakaan sebelum dan setelah implementasi JSA). Hal ini tidak hanya menguji hipotesis utama penelitian tetapi juga berkontribusi pada literatur pendidikan teknik dengan hasil kuantitatif baru.
  • Integrasi K3 dalam Kurikulum. Hasil studi menegaskan urgensi memasukkan topik K3 secara eksplisit dalam kurikulum vokasi teknik. Misalnya, pengembangan JSA dapat dimasukkan sebagai bagian evaluasi praktikum. Lulusan teknik yang dibiasakan berpikir tentang keselamatan kerja sejak awal akan memperkuat budaya K3 di dunia industri. Dalam konteks akreditasi pendidikan tinggi dan tuntutan ISO 45001:2018, mahasiswa perlu memahami manajemen risiko kerja; penelitian ini menegaskan bahwa mahasiswa sendiri mengakui kebutuhan tersebut.
  • Riset Komparatif dan Multimetode. Studi ini mendorong penelitian serupa di laboratorium lain (misalnya laboratorium mesin, kimia, atau sipil), baik di UNJ maupun di kampus lain, untuk membandingkan profil risiko. Selain itu, metode berbeda (analisis kualitatif, studi kasus, atau penggunaan sensor IoT untuk memonitor bahaya) dapat melengkapi temuan. Misalnya, penerapan kaizen 5S di laboratorium atau teknologi AR/VR untuk simulasi keselamatan bisa dibandingkan dengan JSA.
  • Kebijakan Keselamatan Pendidikan. Dari perspektif kebijakan, data ini memberikan argumen bagi pimpinan fakultas dan kampus untuk memperketat prosedur keselamatan lab. Misalnya, fakultas teknik dapat mengembangkan pedoman standar operasi laboratorium yang mengacu pada prinsip JSA dan SMK3. Di era Industrial 4.0, peningkatan insiden kerja nasional (dilaporkan terus meningkat di tahun-tahun terakhir) menuntut strategi baru. Penelitian ini relevan dengan perkembangan mutakhir: menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hanya tanggung jawab industri, tetapi juga instrumen pendidikan.

Sebagai refleksi akhir, temuan ini menyoroti kesinambungan isu keselamatan kerja dalam ranah pendidikan teknik. Selama ini fokus K3 lebih dominan di sektor industri; namun data mahasiswa yang konsisten mendukung JSA menggambarkan bahwa lembaga pendidikan pun perlu bertindak. Dengan melibatkan mahasiswa sebagai subjek dan objek pembelajaran, studi ini mendukung paradigma pendidikan vokasi terkini yang memadukan kompetensi teknis dengan kompetensi keselamatan. Di tingkat makro, hasil ini sejalan dengan wacana nasional zero accident dan standar keselamatan internasional, serta menegaskan perlunya sinergi antara praktik laboratorium yang inovatif dan manajemen risiko yang sistematis.

Daftar Pustaka:
Harish, A., Daryati, & Murtinugraha, R.E. (2020). Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Permana, A., Murtinugraha, R.E., & Ramadhan, M.A. (2020). Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan K3 di Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 19(2), 110–121.

Saraswati, A.L., Iriani, T., & Handoyo, S. (2019). Pengembangan Job Safety Analysis untuk Workshop Praktik Plumbing di Pendidikan Vokasional Konstruksi Bangunan Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 8(2), 55–62.

Selengkapnya
Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah
page 1 of 2 Next Last »