Membentuk Budaya K3 Konstruksi di Indonesia: Kerangka Iklim Keselamatan yang Terbukti Efektif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

21 Mei 2025, 08.57

pixabay.com

Pendahuluan: K3 di Konstruksi Indonesia, Antara Retorika dan Realita

Industri konstruksi Indonesia menyumbang lebih dari 30% kecelakaan kerja nasional, menjadikannya sektor paling rentan secara keselamatan kerja. Dengan pertumbuhan pesat dan proyek-proyek berskala nasional yang semakin masif, penting untuk mengembangkan pendekatan sistematis terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian oleh Lestari dan rekan-rekan menjadi pionir dengan menyusun kerangka kerja iklim keselamatan (safety climate) untuk sektor konstruksi Indonesia berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Metodologi: Survei 311 Responden dan Analisis Multilevel

  • Responden: 311 pekerja konstruksi dari tiga proyek besar (tier-1) di Indonesia.
  • Instrumen: Survei berbasis kerangka Zou dan Sunindijo (2015) dengan enam dimensi: komitmen manajemen, komunikasi, aturan dan prosedur, lingkungan pendukung, pelatihan, dan akuntabilitas pribadi.
  • Analisis: Kuantitatif (skor rata-rata dimensi) dan kualitatif (analisis tema dari feedback terbuka).

Temuan Utama: Iklim Keselamatan “Sedang”, Tapi Banyak Kontradiksi

Skor Keseluruhan

  • Skor rata-rata keseluruhan: 4.45 dari 6.
    Sebagai perbandingan, Australia dengan sistem K3 yang jauh lebih baik memiliki skor 4.50.

Dimensi dengan Skor Tertinggi

  • Komitmen manajemen: 4.82
  • Komunikasi keselamatan: 4.74
  • Pelatihan: 4.64

Dimensi dengan Skor Terendah

  • Lingkungan pendukung: 4.20
  • Aturan dan prosedur: 4.22
  • Akuntabilitas pribadi: 4.34

Paradox Iklim K3: Bicara K3, Tapi Tak Bertindak

Penelitian ini mengungkap dua paradoks utama:

  1. Paradoks Manajerial: Komitmen verbal manajemen tidak diikuti tindakan nyata. Banyak responden merasa manajemen mengabaikan prosedur ketika tekanan produksi meningkat.
  2. Paradoks Pekerja: Meski pekerja menyadari pentingnya keselamatan, mereka merasa tidak punya kuasa atau keberanian untuk bertindak jika prosedur diabaikan.

Studi Kasus: Realita Lapangan yang Kontras

  • 97% responden laki-laki, usia rata-rata 32 tahun.
  • 68% baru bekerja < 5 tahun, menandakan keterbatasan pengalaman lapangan.
  • 33% lulusan SD atau tidak sekolah, menunjukkan tantangan dalam edukasi teknis dan pemahaman K3.

Temuan Spesifik Tiap Dimensi

1. Komitmen Manajemen

  • Skor tinggi tapi ada ketidakkonsistenan: manajer disebut “peduli”, tapi mengabaikan pelanggaran keselamatan.
  • Responden menuntut: “Jangan cuma slogan, buktikan komitmen dalam tindakan nyata dan anggaran”.

2. Komunikasi

  • Responden menghargai sosialiasi dan briefing rutin.
  • Namun, metode komunikasi dinilai kurang efektif—perlu media yang lebih interaktif dan visual seperti video atau infografik.

3. Pelatihan

  • Responden ingin pelatihan yang lebih praktis dan sering, bukan hanya formalitas awal proyek.
  • Beberapa menyarankan pelatihan lapangan langsung dengan studi kasus nyata.

4. Akuntabilitas Pribadi

  • Mayoritas responden menyatakan keselamatan penting, tapi takut menegur rekan kerja yang melanggar SOP.
  • Penyebab: budaya kolektif dan hierarki tinggi dalam budaya kerja Indonesia—“tidak enak menegur atasan atau rekan”.

5. Aturan dan Prosedur

  • Banyak aturan K3 tidak praktis dan sulit dipahami.
  • “Sering kali aturan dibuat di kantor pusat tanpa mempertimbangkan realita lapangan”, ujar salah satu responden.

6. Lingkungan Pendukung

  • Keluhan utama: PPE tidak memadai, lingkungan kerja berbahaya, waktu kerja terlalu ketat, dan fasilitas pekerja buruk.
  • Contoh kasus: ada pekerja yang memakai harness tapi tidak tersedia titik anchor, membuat APD tidak efektif.

Analisis Kritis: Iklim Keselamatan Sebagai Refleksi Budaya dan Kebijakan

Penelitian ini menyoroti bahwa masalah keselamatan bukan hanya pada SOP, tapi juga pada struktur kekuasaan, budaya kerja, dan ketidaksesuaian kebijakan formal dan informal. Banyak pekerja merasa "aman" dalam bahasa, tapi tak punya kuasa bertindak saat situasi tidak aman benar-benar terjadi.

  • Budaya kolektivisme: enggan melapor pelanggaran karena takut merusak hubungan sosial.
  • Power distance tinggi: takut menegur atasan meski prosedur dilanggar.
  • Sistem pelaporan lemah: tidak ada jaminan perlindungan bagi pelapor (whistleblower).

Rekomendasi Strategis

  1. Reformasi desain kebijakan K3: Buat kebijakan yang fleksibel, mudah direvisi, dan sesuai kondisi lapangan.
  2. Pendidikan dan pelatihan berbasis praktik nyata: Gunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dan berbasis video.
  3. Perkuat peran pengawas lapangan: Pengawas harus jadi contoh dan pelatih, bukan hanya pemantau.
  4. Budaya keterbukaan dan tanpa menyalahkan: Dorong pelaporan tanpa takut dihukum atau dimusuhi.
  5. Peningkatan kesejahteraan dasar pekerja: Sediakan akomodasi layak, air bersih, makanan sehat, dan PPE berkualitas.

Kesimpulan: Kerangka Iklim K3 sebagai Solusi Sistemik

Penelitian ini bukan hanya mengukur persepsi pekerja, tapi menawarkan solusi konkret berbasis bukti dan realita budaya Indonesia. Kerangka kerja yang dihasilkan bersifat multilevel (proyek, organisasi, nasional) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi serta meningkatkan performa K3 di proyek-proyek konstruksi di Indonesia.

Untuk benar-benar menyelamatkan nyawa pekerja, Indonesia butuh lebih dari sekadar peraturan tertulis—diperlukan komitmen kolektif lintas level, dari pekerja hingga pembuat kebijakan.

Sumber : Lestari, F., Sunindijo, R. Y., Loosemore, M., Kusminanti, Y., & Widanarko, B. (2020). A Safety Climate Framework for Improving Health and Safety in the Indonesian Construction Industry. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7462.