Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 23 Mei 2025
Masalah Klasik Konstruksi: Kecelakaan Kerja yang Tak Kunjung Reda
Meski telah memiliki regulasi K3 konstruksi sejak lama, sektor konstruksi di Indonesia masih mencatat tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Studi oleh Akhmad Suraji (2022) memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan keselamatan di proyek konstruksi gedung bertingkat tinggi belum optimal, meskipun kebijakan tersebut telah dirumuskan dalam bentuk norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK).
Penelitian ini memetakan 30 proyek gedung bertingkat di Jabodetabek, dengan observasi langsung dan kuesioner kepada 70 orang profesional K3, serta audit terhadap 65 isu kebijakan keselamatan. Temuan-temuan dari lapangan ini mengungkap kesenjangan besar antara kebijakan dan pelaksanaannya.
Gambaran Umum Kecelakaan di Sektor Konstruksi
Menurut data Jamsostek 2008–2010, tercatat 6.266 kasus kecelakaan kerja di jasa konstruksi, dengan 446 kematian. Ironisnya, sektor ini menyumbang 32% dari seluruh kecelakaan kerja nasional, meski tidak menyerap mayoritas tenaga kerja. Kecelakaan menimbulkan bukan hanya kerugian nyawa, tapi juga keterlambatan proyek, inflasi biaya, serta penurunan produktivitas dan reputasi.
Data ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan saat ini belum mampu menekan risiko secara sistematis, dan dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan K3 dan implementasinya di lapangan.
Tujuan Penelitian dan Metode yang Digunakan
Tujuan utama studi ini adalah menilai sejauh mana perusahaan konstruksi telah menerapkan kebijakan keselamatan yang berlaku, serta menganalisis performa sistem manajemen keselamatan di lapangan.
Metode penelitian mencakup:
Hasil Temuan Kunci
1. Penerapan Kebijakan Keselamatan Masih Rendah
2. Faktor Manajemen Jadi Sumber Ketimpangan
3. Banyak Pekerja Tidak Mengetahui atau Tidak Menerapkan Kebijakan
4. Teguran Paling Banyak Diterima Tim Lapangan
Evaluasi Berdasarkan British Safety Council (BSC)
Penelitian ini juga menggunakan standar dari British Safety Council (2014) sebagai acuan untuk mengukur deviasi atau ketidaksesuaian sistem manajemen keselamatan.
Tiga elemen dengan nilai deviasi terbesar:
Pada sistem tanggap darurat, deviasi paling tinggi terdapat pada:
Artinya, meskipun manajemen proyek merasa telah menerapkan sistem keselamatan, kontrol darurat dan penanganan risiko spesifik belum berjalan optimal.
Kritik dan Analisis Tambahan
Kekuatan Studi:
Catatan Kritis:
Strategi Perbaikan yang Direkomendasikan
Berdasarkan temuan, berikut strategi perbaikan yang disarankan:
1. Penyusunan NSPK yang Lebih Lengkap
2. Integrasi Sistem Keselamatan dalam Manajemen Proyek
3. Sertifikasi dan Pelatihan Reguler
4. Keterlibatan Aktif Pekerja
5. Evaluasi Berkala oleh Otoritas Independen
Kesimpulan: K3 Konstruksi Indonesia Perlu Revolusi, Bukan Sekadar Revisi
Studi ini menegaskan bahwa meskipun regulasi K3 sudah ada, penerapannya masih jauh dari harapan. Bahkan proyek-proyek yang diawasi langsung oleh pemerintah pun belum mampu menunjukkan standar keselamatan yang optimal. Kontraktor asing memberi pelajaran penting: sistem K3 yang tertib dan menyeluruh adalah kunci keberhasilan proyek.
Jika Indonesia ingin menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan produktivitas sektor konstruksi, reformasi kebijakan K3 harus dimulai dari NSPK, pelatihan, sampai pengawasan lapangan.
Sumber : Suraji, A. (2022). Studi Penerapan Kebijakan Keselamatan Pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Jurnal Rekayasa Sipil, 18(3), 230–243.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025
Mengapa Masalah Getaran Tangan-Lengan Jadi Urgensi dalam Industri Konstruksi
Dalam dunia konstruksi modern, teknologi dan alat bantu kerja memang mempercepat proses. Namun, justru di situlah muncul tantangan baru: paparan getaran dari alat genggam seperti bor dan gerinda yang dapat menyebabkan gangguan neurologis, pembuluh darah, dan musculoskeletal. Kondisi ini dikenal sebagai Hand–Arm Vibration Syndrome (HAVS).
Penelitian oleh Fisk, Nordander, dan Ek (2023) di Swedia menyoroti isu ini secara spesifik melalui studi persepsi tukang kayu terhadap manajemen K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dalam menangani paparan getaran di lokasi konstruksi. Fokus utamanya adalah sejauh mana sistem K3 benar-benar diterapkan secara praktis dan apakah pekerja merasa mendapatkan informasi dan perlindungan yang layak.
Tujuan dan Rancangan Studi
Penelitian ini bertujuan untuk:
Sebanyak 194 tukang kayu dari 18 lokasi proyek dan 4 perusahaan konstruksi (2 besar, 2 menengah) ikut serta. Mereka mengisi kuesioner tentang:
Hasil Kunci: Antara Optimisme dan Kenyataan di Lapangan
1. Komitmen Manajemen Diakui, Tapi Tidak Konsisten di Lapangan
Namun, 36% mengatakan aturan dan prosedur K3 tidak berjalan di praktik. Bahkan, 40% merasa tidak pernah atau jarang menerima informasi yang cukup tentang paparan getaran dan risikonya.
2. Paparan Getaran Sangat Tinggi dan Tidak Terpantau
3. Persepsi Lebih Negatif pada Pekerja Muda dan Perusahaan Kecil-Menengah
4. Persepsi Umum Akan Risiko Tetap Tinggi
Analisis Kritis: Apa yang Salah dan Apa yang Bisa Diperbaiki
Kelemahan Praktik K3 Saat Ini:
Persepsi Positif Bisa Menyesatkan
Banyak tukang kayu yang merasa manajemen mendukung keselamatan. Namun, perasaan ini tidak selalu diikuti tindakan nyata, seperti pelatihan, alat kerja ergonomis, atau rotasi kerja. Ini menunjukkan adanya "kesenjangan persepsi dan kenyataan" di lapangan.
Perusahaan Kecil-Medium Butuh Dukungan Ekstra
Perusahaan berskala menengah tidak memiliki sumber daya seperti perusahaan besar untuk membangun sistem K3 terstruktur. Pekerja di sana merasa paling tidak didengar, paling sedikit mendapat informasi, dan paling besar risiko kesehatannya.
Rekomendasi Strategis untuk Industri Konstruksi
1. Wajibkan Pelatihan K3 Spesifik Terkait Getaran
Informasi mengenai efek neurologis dan vaskular harus menjadi materi wajib pelatihan awal dan lanjutan.
2. Terapkan Pemeriksaan Kesehatan Rutin
Sesuai EU Directive 2002/44/EC, perusahaan harus:
3. Gunakan Alat Ukur Getaran dan Manajemen Paparan Digital
Evaluasi paparan tidak boleh hanya berbasis estimasi pekerja. Sensor getaran dan sistem manajemen eksposur bisa memberi data objektif.
4. Libatkan Pekerja dalam Perbaikan Lingkungan Kerja
Dorong pekerja untuk menyampaikan saran, mencatat gejala awal, dan terlibat dalam diskusi K3 secara aktif. Libatkan mereka dalam seleksi alat baru.
5. Fokus pada Kelompok Risiko Tinggi
Pekerja muda, dengan paparan tinggi, dan yang sudah menunjukkan gejala harus jadi prioritas intervensi.
Kesimpulan: Kesehatan Tangan, Masa Depan Konstruksi
Paparan getaran dari alat genggam bukan hanya soal kenyamanan kerja—ini adalah risiko serius yang dapat mengubah hidup seseorang secara permanen. Penelitian ini memperlihatkan bahwa meski komitmen manajemen terhadap keselamatan dinilai tinggi, penerapannya masih lemah, terutama di perusahaan kecil dan bagi pekerja muda.
HAVS adalah penyakit yang bisa dicegah. Namun, untuk itu dibutuhkan:
Jika tidak ada perubahan, kita bukan hanya kehilangan pekerja karena cedera, tapi juga menciptakan generasi pekerja yang tidak percaya pada sistem perlindungan mereka sendiri.
Sumber : Fisk, K., Nordander, C., & Ek, Å. (2023). Hand–arm vibration: Swedish carpenters’ perceptions of health and safety management. Occupational Medicine, 73, 85–90.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan fasilitas kesehatan, tiga negara Skandinavia—Swedia, Norwegia, dan Denmark—mengembangkan pendekatan berbeda terhadap Knowledge Management System (KMS). Masing-masing memiliki struktur, visi, dan strategi unik dalam mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengetahuan di bidang konstruksi rumah sakit. Paper ini meninjau dan menganalisis tiga sistem utama: PTS (Swedia), Sykehusbygg HF (Norwegia), dan Danske Regioner (Denmark).
1. PTS di Swedia: Pendekatan Modular dan Kolaboratif
PTS (Program för Teknisk Standard) adalah sistem modular berbasis portal digital yang dirancang untuk mengelola pengetahuan teknis dalam proyek konstruksi rumah sakit di Swedia. Sistem ini menyediakan berbagai modul seperti:
Keunggulan utama PTS adalah kemampuannya mengintegrasikan berbagai aspek proyek dalam satu platform digital, meski penggunaan masih bervariasi antar wilayah dan belum maksimal selama fase konstruksi dan operasional. Salah satu insight menarik adalah bagaimana PTS menggabungkan kerja sama dengan CVA-Chalmers, institusi akademik, dalam menyusun concept programmes berbasis riset, sehingga keputusan desain didorong oleh data dan praktik terbaik, bukan sekadar intuisi atau pengalaman personal.
Namun, kendala utama adalah kurangnya pengembangan modul akibat terbatasnya sumber daya serta minimnya keterlibatan profesional proyek selama fase desain, yang bisa mengurangi efektivitas dan kualitas informasi dalam sistem.
2. Sykehusbygg HF di Norwegia: Sentralisasi Nasional dan Basis Pengetahuan
Dibentuk pada tahun 2014, Sykehusbygg HF bertanggung jawab atas semua proyek fasilitas kesehatan di Norwegia dengan nilai di atas 500 juta NOK. Berbasis di Trondheim, Sykehusbygg berfungsi sebagai otoritas nasional dalam perencanaan dan manajemen proyek rumah sakit.
Sistem ini menggabungkan evaluasi pra dan pasca proyek, development projects seperti integrasi BIM, dan kolaborasi lintas institusi termasuk NTNU (Norwegian University of Science and Technology), Loughborough University, hingga organisasi riset TNO dari Belanda.
Dengan 85 pegawai tetap hingga 2017 dan peran sebagai pemegang kendali atas proyek besar, Sykehusbygg telah menjadi pusat keahlian nasional. Proyek-proyeknya juga memanfaatkan model “Framskrivningsmodell” untuk merancang rumah sakit masa depan berdasarkan data demografis dan perkembangan teknologi.
Namun, sistem IT mereka masih dalam tahap pengembangan dan sebagian besar informasi disimpan secara lokal. Kurangnya integrasi sistematis antara pengguna dan penyedia layanan di awal proyek masih menjadi titik lemah dalam manajemen pengetahuan mereka.
3. Danske Regioner: Kolaborasi Horizontal Antar Wilayah di Denmark
Berbeda dari dua sistem sebelumnya, Danske Regioner tidak berbasis digital namun mengedepankan pendekatan sosial dalam berbagi pengetahuan. Organisasi ini mewakili lima wilayah di Denmark dan bertugas memfasilitasi transfer pengalaman antar proyek rumah sakit.
Setiap dua bulan, perwakilan konstruksi dari tiap wilayah bertemu untuk mendiskusikan masalah terkini seperti asuransi konstruksi, proses perpindahan fasilitas, dan manajemen logistik. Mereka membentuk kelompok kerja tematik, seperti komunikasi atau manajemen keuangan, serta mengadakan konferensi tahunan yang melibatkan 300 pegawai dari seluruh wilayah.
Meski tidak menggunakan sistem IT atau database terpusat, metode ini efektif dalam membangun kesadaran, partisipasi, dan berbagi praktik terbaik secara langsung. Setiap tahun, mereka juga merilis laporan nasional berisi rangkuman pembelajaran dan diseminasi informasi melalui situs web resmi.
4. Perbandingan dan Pelajaran yang Dapat Diambil
Ketiga sistem memiliki karakteristik unik:
Dari perspektif Knowledge Management, berikut pelajaran penting:
5. Relevansi Global dan Potensi Adaptasi
Sistem-sistem ini dapat menjadi inspirasi untuk negara berkembang yang tengah melakukan transformasi sistem kesehatan dan infrastruktur. Integrasi pendekatan berbasis data, partisipasi pengguna, dan kolaborasi lintas disiplin perlu dikombinasikan demi menghasilkan sistem kesehatan yang tangguh dan responsif.
Dalam era pasca-pandemi dan meningkatnya tuntutan efisiensi layanan publik, pengelolaan pengetahuan di sektor konstruksi kesehatan menjadi kunci untuk memastikan bahwa investasi jangka panjang tidak hanya menghasilkan bangunan, tetapi juga sistem layanan yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat menjawab seluruh tantangan pembangunan fasilitas kesehatan. Namun, dengan menggabungkan kekuatan dari digitalisasi seperti PTS, sentralisasi dan kolaborasi riset seperti Sykehusbygg, serta jaringan sosial seperti Danske Regioner, negara-negara dapat mengembangkan sistem konstruksi rumah sakit yang berbasis pengetahuan, responsif, dan berkelanjutan.
Sumber : CHALMERS Architecture and Civil Engineering, Master’s Thesis ACEX30-19-NN, “Comparative Study of Knowledge Management Systems in Scandinavian Hospital Construction Projects”.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 22 Mei 2025
Urgensi Training K3 dalam Industri Semen
Industri semen merupakan salah satu sektor strategis dalam pembangunan infrastruktur. Namun, di balik produktivitas tinggi dan tuntutan efisiensi, industri ini juga memiliki tingkat risiko kerja yang tinggi, mulai dari paparan bahan kimia, bahaya listrik, hingga kecelakaan alat berat. Untuk menjawab tantangan ini, pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi salah satu fondasi penting bagi setiap tenaga kerja.
Penelitian oleh Sari, Safaruddin, dan Saban (2023) berfokus pada rancangan matriks training K3 yang disusun secara sistematis untuk tiga area penting di PT Semen Baturaja Tbk: Departemen Operation, Research & Engineering, serta Unit Health, Safety, and Environment (HSE).
Tujuan Penelitian dan Konteks Strategis
Riset ini bertujuan merancang matriks pelatihan K3 yang efektif, relevan dengan regulasi pemerintah seperti UU No. 1 Tahun 1970 dan PP No. 50 Tahun 2012, serta sesuai dengan kebutuhan kerja di tiap unit. Tujuan akhir dari rancangan ini adalah:
Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari Praktikum Kesehatan Masyarakat (PKM) Universitas Sriwijaya, dengan pelaksanaan langsung di pabrik PT Semen Baturaja, Sumatera Selatan.
Metodologi dan Pendekatan
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode:
Jenis-Jenis Pelatihan K3 yang Diidentifikasi
Penelitian ini mengidentifikasi 15 jenis pelatihan K3 utama yang berlaku secara nasional, di antaranya:
Setiap pelatihan dibagi menjadi dua kategori: pelatihan wajib bersertifikasi dan pelatihan dasar non-sertifikasi.
Studi Kasus PT Semen Baturaja: Pemetaan dan Implementasi Training
1. Unit Health, Safety and Environment (HSE)
Unit ini menjadi jantung pengawasan dan implementasi K3. Ditemukan bahwa:
2. Departemen Operation
Terdiri dari unit produksi semen, pemeliharaan mekanik, listrik, dan utilitas. Temuan penting:
3. Departemen Research & Engineering
Meliputi kontrol kualitas, jaminan mutu, pengolahan limbah, dan pengembangan proses:
Manfaat Implementasi Matriks Training K3
Kritik dan Analisis Tambahan
Kekuatan Studi:
Catatan Kritis:
Rekomendasi Strategis untuk Industri Lain
Penelitian ini bisa menjadi model nasional. Perusahaan di sektor manufaktur, energi, dan konstruksi bisa mengadaptasi struktur matriks training berikut:
Kesimpulan: Training K3 Bukan Pilihan, Tapi Keperluan
Rancangan matriks training yang dibahas dalam studi ini membuktikan bahwa peningkatan kompetensi tenaga kerja dalam bidang K3 bukan sekadar formalitas, melainkan langkah strategis. Dengan rancangan pelatihan yang tepat, PT Semen Baturaja telah menunjukkan komitmennya terhadap keselamatan, efisiensi kerja, dan kepatuhan hukum.
Perusahaan lain yang ingin unggul secara operasional dan reputasi, wajib menjadikan pelatihan K3 sebagai bagian dari strategi utama. Karena di dunia kerja modern, kompetensi K3 adalah nilai tambah yang tak tergantikan.
Sumber : Sari, N. I., Safaruddin, & Saban, M. A. F. (2023). Rancangan matriks training K3 pada Dapartemen Operation, Research & Engineering dan Unit of Health, Safety and Environment di PT Semen Baturaja Tbk. Jurnal Lintas Ilmu-JLI, 1(7), 1
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Mei 2025
Mengapa Gangguan Lingkungan Jadi Masalah Besar dalam Proyek Infrastruktur Kota
Urbanisasi global yang semakin cepat membawa tantangan baru bagi perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur. Ketika proyek-proyek besar dilaksanakan di kawasan padat penduduk, interaksi langsung dengan masyarakat sekitar tak terelakkan. Penelitian dari Patrik Andersson dan Annie Johansson (2012), melalui studi kasus proyek Hagastråket di Gothenburg, Swedia, mengupas tuntas jenis-jenis gangguan lingkungan yang dialami warga selama proyek berlangsung.
Studi ini menjadi penting karena membuktikan bahwa gangguan lingkungan bukan sekadar dampak teknis konstruksi, tapi menyangkut persepsi sosial dan kenyamanan publik, yang bila diabaikan dapat menimbulkan resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat.
Tujuan dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan gangguan lingkungan utama dalam proyek konstruksi infrastruktur kota. Fokus utamanya pada gangguan yang langsung dirasakan oleh pihak ketiga, seperti pejalan kaki, pengendara, pemilik usaha, dan warga sekitar.
Metode yang digunakan adalah studi kasus kualitatif pada proyek Hagastråket yang merupakan bagian dari mega proyek “West Swedish Solution” dengan nilai 34 miliar SEK. Data dikumpulkan melalui:
Gangguan Lingkungan Utama yang Ditemukan
Penelitian ini menemukan 8 jenis gangguan utama dalam proyek infrastruktur kota:
Dua gangguan terakhir justru tidak direncanakan dalam kajian awal, namun muncul dari keluhan langsung warga dan pengusaha di sekitar lokasi proyek.
Studi Kasus Proyek Hagastråket
Hagastråket adalah proyek infrastruktur di jantung kota Gothenburg, Swedia. Tujuannya membangun jalur khusus bus dan mengubah jalan menjadi lebih ramah lingkungan.
Namun, pelaksanaan proyek ini mengakibatkan gangguan yang signifikan:
Dampaknya tidak hanya teknis, tetapi langsung memengaruhi ekonomi bisnis lokal.
Hasil Wawancara dan Temuan Lapangan
1. Kurangnya Informasi – Gangguan Paling Mengganggu
2. Mobilitas – Akses Terbatas, Pelanggan Menurun
3. Kebisingan dan Debu – Gangguan Minor, Tapi Tetap Ada
4. Getaran – Gangguan Ringan Tapi Diwaspadai
5. Keselamatan Warga dan Pekerja
Kelompok yang Paling Terdampak: Pemilik Usaha
Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemilik usaha adalah kelompok yang paling banyak terganggu, dengan gangguan sebagai berikut:
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?
1. Gangguan Adalah Soal Persepsi
Penelitian ini menegaskan bahwa gangguan konstruksi bukan hanya soal teknis, tapi sangat tergantung persepsi individu. Pejalan kaki bisa merasa tidak terganggu, sementara pemilik toko merasa sangat terdampak. Ini memperkuat pentingnya pendekatan partisipatif dalam perencanaan proyek.
2. Komunikasi adalah Solusi Termurah dan Terkuat
Gangguan terbesar justru bukan debu, noise, atau getaran—tapi kurangnya informasi. Ini adalah gangguan yang bisa dihindari dengan biaya rendah: hanya butuh waktu, komitmen, dan empati dari pemilik proyek dan kontraktor.
3. Strategi Pengurangan Gangguan Harus Disesuaikan
Rekomendasi Praktis dari Penelitian
Kesimpulan: Urban Infrastructure Harus Sensitif Sosial
Pembangunan infrastruktur kota adalah kebutuhan masa depan. Namun, kesuksesan fisik proyek tidak menjamin penerimaan sosial. Studi kasus Hagastråket menunjukkan bahwa:
Sebagai pelajaran global, proyek ini menegaskan pentingnya mengintegrasikan aspek sosial sejak awal, bukan hanya fokus pada aspek teknis dan biaya.
Sumber : Andersson, P., & Johansson, A. (2012). Disturbances of the surroundings in an urban infrastructure project (Master’s thesis). Chalmers University of Technology, Gothenburg, Sweden.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Mei 2025
Mengapa SMK3 di Konstruksi Bukan Sekadar Formalitas
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam sektor konstruksi bukan hanya kewajiban hukum, tetapi kebutuhan nyata yang menyangkut nyawa. Setiap proyek menghadapi berbagai risiko mulai dari kejatuhan material, kecelakaan alat berat, hingga paparan bahan kimia. Inilah yang mendasari pentingnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara menyeluruh di setiap tahap proyek. Penelitian oleh Ibrahim (2020) berfokus pada analisis penerapan SMK3 pada Proyek Pembangunan Gedung DPRD Sleman, Yogyakarta, menggunakan pendekatan audit sesuai PP No. 50 Tahun 2012.
Metodologi: Audit Berbasis Regulasi Resmi
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif berbasis audit internal terhadap pelaksanaan SMK3 oleh kontraktor pelaksana, PT. Ardi Tekindo Perkasa (ATP). Audit dilakukan dengan instrumen penilaian yang mencakup 166 kriteria tingkat lanjutan, mengacu pada peraturan pemerintah tentang SMK3. Data dikumpulkan dari observasi lapangan, wawancara mendalam, dan checklist evaluasi formal.
Hasil Audit: Penerapan Memuaskan Tapi Belum Sempurna
Berdasarkan hasil audit, diketahui bahwa:
Ini berarti bahwa perusahaan telah mengintegrasikan aspek K3 secara menyeluruh, namun masih ada ruang perbaikan, terutama di aspek dokumentasi, pelaporan insiden, dan pelatihan lanjutan.
Studi Kasus: Proyek DPRD Sleman
Proyek ini melibatkan pekerjaan konstruksi gedung publik yang memiliki karakteristik berisiko tinggi:
Menurut temuan penelitian, potensi kecelakaan berasal dari:
Faktor Penyebab Kegagalan Implementasi Total
Beberapa faktor utama yang menghambat pemenuhan 100% kriteria SMK3 antara lain:
Langkah Perbaikan (Improvement) yang Diusulkan
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada temuan, tetapi juga menyarankan langkah strategis untuk perbaikan implementasi SMK3:
Perbandingan dengan Proyek Serupa
Penelitian Ibrahim membandingkan hasil audit proyek DPRD Sleman dengan beberapa studi serupa:
Jika dibandingkan, proyek DPRD Sleman memang belum mencapai skor terbaik (di atas 90%), namun sudah lebih baik dari banyak proyek yang belum mengaudit sama sekali.
Pentingnya Audit sebagai Instrumen Evaluasi Kinerja K3
Audit bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan:
Dengan skor mendekati 90%, audit ini menunjukkan bahwa perusahaan telah berada di jalur yang benar, tetapi perlu mengubah pendekatan K3 dari formalitas ke budaya kerja.
Implikasi Luas bagi Industri Konstruksi di Indonesia
Temuan dari studi kasus Sleman menggarisbawahi isu utama di sektor konstruksi nasional:
Karenanya, pendekatan “top-down” harus diubah menjadi kolaboratif antara manajer, pekerja, dan tim pengawas.
Kesimpulan: Menuju SMK3 yang Efektif dan Inklusif
Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan SMK3 di proyek konstruksi dapat dicapai dengan memadukan regulasi, pelatihan, pengawasan, dan komitmen bersama. Proyek Gedung DPRD Sleman adalah contoh bagaimana audit formal dapat menjadi alat evaluasi sekaligus pendorong transformasi organisasi.
Nilai 89,76% bukanlah akhir, melainkan indikator bahwa SMK3 sudah tertanam, tinggal diperkuat hingga mencapai efektivitas penuh. Dengan perbaikan minor dan peningkatan kesadaran pekerja, target zero accident bisa lebih realistis.
Sumber : Ibrahim. (2020). Analisis Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Pada Proyek Konstruksi Gedung (Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gedung DPRD Sleman, Yogyakarta). Tesis. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.