Evaluasi Penerapan SMK3 di Proyek Gedung DPRD Sleman: Apakah Sudah Sesuai Standar?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

21 Mei 2025, 14.55

pixabay.com

Mengapa SMK3 di Konstruksi Bukan Sekadar Formalitas

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam sektor konstruksi bukan hanya kewajiban hukum, tetapi kebutuhan nyata yang menyangkut nyawa. Setiap proyek menghadapi berbagai risiko mulai dari kejatuhan material, kecelakaan alat berat, hingga paparan bahan kimia. Inilah yang mendasari pentingnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara menyeluruh di setiap tahap proyek. Penelitian oleh Ibrahim (2020) berfokus pada analisis penerapan SMK3 pada Proyek Pembangunan Gedung DPRD Sleman, Yogyakarta, menggunakan pendekatan audit sesuai PP No. 50 Tahun 2012.

Metodologi: Audit Berbasis Regulasi Resmi

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif berbasis audit internal terhadap pelaksanaan SMK3 oleh kontraktor pelaksana, PT. Ardi Tekindo Perkasa (ATP). Audit dilakukan dengan instrumen penilaian yang mencakup 166 kriteria tingkat lanjutan, mengacu pada peraturan pemerintah tentang SMK3. Data dikumpulkan dari observasi lapangan, wawancara mendalam, dan checklist evaluasi formal.

Hasil Audit: Penerapan Memuaskan Tapi Belum Sempurna

Berdasarkan hasil audit, diketahui bahwa:

  • 149 dari 166 kriteria terpenuhi dengan baik.
  • Skor penerapan SMK3: 89,76%, tergolong “memuaskan” berdasarkan klasifikasi pemerintah.
  • 17 kriteria tidak terpenuhi, yang termasuk dalam kategori minor (10,24%).

Ini berarti bahwa perusahaan telah mengintegrasikan aspek K3 secara menyeluruh, namun masih ada ruang perbaikan, terutama di aspek dokumentasi, pelaporan insiden, dan pelatihan lanjutan.

Studi Kasus: Proyek DPRD Sleman

Proyek ini melibatkan pekerjaan konstruksi gedung publik yang memiliki karakteristik berisiko tinggi:

  • Jumlah tenaga kerja besar
  • Penggunaan alat berat dan mesin canggih
  • Kebutuhan koordinasi antarpekerja di ruang terbatas

Menurut temuan penelitian, potensi kecelakaan berasal dari:

  • Kurangnya pelatihan alat berat
  • Sistem inspeksi APD yang belum optimal
  • Dokumentasi yang tidak konsisten pada beberapa bagian operasional

Faktor Penyebab Kegagalan Implementasi Total

Beberapa faktor utama yang menghambat pemenuhan 100% kriteria SMK3 antara lain:

  1. Kurangnya pelatihan berkelanjutan
    Meski prosedur formal telah dibuat, pelatihan kepada pekerja lapangan belum dilakukan secara rutin.
  2. Sistem dokumentasi yang belum terintegrasi
    Beberapa kegiatan seperti inspeksi alat dan pelaporan bahaya masih dilakukan manual tanpa standar yang seragam.
  3. Budaya kerja yang belum sepenuhnya sadar K3
    Beberapa pekerja masih menganggap APD sebagai formalitas, bukan alat proteksi utama.

Langkah Perbaikan (Improvement) yang Diusulkan

Penelitian ini tidak hanya berhenti pada temuan, tetapi juga menyarankan langkah strategis untuk perbaikan implementasi SMK3:

  • Membangun sistem pelatihan K3 berbasis digital agar lebih konsisten dan mudah diawasi.
  • Meningkatkan audit internal berkala, dengan melibatkan pihak independen atau audit eksternal.
  • Penyusunan ulang SOP yang lebih praktis dan disesuaikan dengan kondisi lapangan, bukan hanya bersifat normatif.
  • Penerapan sistem reward-punishment bagi pekerja yang patuh atau melanggar prosedur keselamatan.

Perbandingan dengan Proyek Serupa

Penelitian Ibrahim membandingkan hasil audit proyek DPRD Sleman dengan beberapa studi serupa:

  • Proyek Apartemen Gunawangsa Merr Surabaya: Tingkat penerapan 95,2%
  • Flyover Pegangsaan 2 Jakarta: Risiko tertinggi pada pekerjaan ketinggian dengan indeks 13,8
  • Jembatan Ir. Soekarno Manado: Sudah mengadopsi OHSAS 18001:1999

Jika dibandingkan, proyek DPRD Sleman memang belum mencapai skor terbaik (di atas 90%), namun sudah lebih baik dari banyak proyek yang belum mengaudit sama sekali.

Pentingnya Audit sebagai Instrumen Evaluasi Kinerja K3

Audit bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan:

  • Instrumen untuk deteksi dini kelemahan sistem
  • Landasan pengambilan keputusan manajerial
  • Pendorong perubahan budaya organisasi ke arah pro-safety

Dengan skor mendekati 90%, audit ini menunjukkan bahwa perusahaan telah berada di jalur yang benar, tetapi perlu mengubah pendekatan K3 dari formalitas ke budaya kerja.

Implikasi Luas bagi Industri Konstruksi di Indonesia

Temuan dari studi kasus Sleman menggarisbawahi isu utama di sektor konstruksi nasional:

  • Banyak perusahaan hanya fokus menyelesaikan proyek tepat waktu dan biaya, tetapi mengabaikan kualitas keselamatan.
  • Investasi K3 dianggap beban, padahal dapat menurunkan biaya jangka panjang akibat kecelakaan dan litigasi.
  • Pengetahuan tentang SMK3 sering hanya dimiliki tim manajemen, bukan menyebar ke pekerja teknis.

Karenanya, pendekatan “top-down” harus diubah menjadi kolaboratif antara manajer, pekerja, dan tim pengawas.

Kesimpulan: Menuju SMK3 yang Efektif dan Inklusif

Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan SMK3 di proyek konstruksi dapat dicapai dengan memadukan regulasi, pelatihan, pengawasan, dan komitmen bersama. Proyek Gedung DPRD Sleman adalah contoh bagaimana audit formal dapat menjadi alat evaluasi sekaligus pendorong transformasi organisasi.

Nilai 89,76% bukanlah akhir, melainkan indikator bahwa SMK3 sudah tertanam, tinggal diperkuat hingga mencapai efektivitas penuh. Dengan perbaikan minor dan peningkatan kesadaran pekerja, target zero accident bisa lebih realistis.

Sumber : Ibrahim. (2020). Analisis Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Pada Proyek Konstruksi Gedung (Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gedung DPRD Sleman, Yogyakarta). Tesis. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.