Badan Usaha Milik Negara

Pelindo Siapkan Tiga Pelabuhan Jadi Gerbang Utama Logistik Global

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Jakarta - PT Pelabuhan Indonesia/Pelindo I (Persero) tengah mempersiapkan Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai menjadi gerbang utama logistik global. Ketiga pelabuhan tersebut akan menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelindo I mengelola 23 pelabuhan di empat provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Sebagian besar pelabuhan tersebut berhadapan langsung dengan Selat Malaka, yang menjadi keunggulan bagi Pelindo I dibandingkan dengan operator pelabuhan lainnya di Indonesia.

Selat Malaka merupakan jalur yang menghubungkan Eropa dan Asia yang dilalui oleh 120.000 kapal setiap tahunnya. Selat ini dikenal sebagai jalur pelayaran tersibuk di dunia. “Sebagai jalur perdagangan tersibuk di dunia. Selat Malaka dilalui hampir 120.000 kapal setiap tahunnya. Ini adalah potensi besar yang tidak bisa kita tinggalkan. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, visi Pelindo I adalah menjadi pintu gerbang Indonesia untuk logistik global. Kami fokus pada visi tersebut,” ujar Prasetyo.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara 60 Menit Bersama Direktur Utama Pelindo I Prasetyo. Program yang dipandu oleh Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings (BSMH), Primus Dorimulu, ini disiarkan oleh Beritasatu TV pada Rabu (11/8) mulai pukul 19.00-20.00 WIB. Prasetyo menjelaskan bahwa ada tiga pelabuhan yang mereka kelola yang memiliki potensi besar untuk menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai. Ketiga pelabuhan tersebut telah memenuhi standar internasional dalam hal lokasi, kedalaman, dan suprastruktur.

“Pelabuhan yang paling potensial adalah Kuala Tanjung, Dumai, dan Belawan. Kuala Tanjung merupakan pelabuhan masa depan dari Pelindo I,” katanya. Menurut Prasetyo, pelabuhan-pelabuhan tersebut saat ini melayani berbagai rute domestik dan internasional. Sebagian besar rute domestik yang dilayani oleh pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju Surabaya, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, Kuala Tanjung juga menjadi hub domestik untuk angkutan peti kemas di Sumatera. “Kapal-kapal peti kemas dari Jakarta dan Surabaya akan transit di Pelabuhan Kuala Tanjung sebelum peti kemas tersebut didistribusikan dengan kapal-kapal kecil ke Aceh atau pelabuhan-pelabuhan lain di Sumatera,” katanya.

Untuk rute internasional, Prasetyo mengatakan Pelabuhan Belawan melayani kapal-kapal yang akan menuju Singapura, Malaysia, Jepang, Pakistan, India, Belanda, dan Belgia. Sedangkan Kuala Tanjung melayani pengangkutan minyak sawit mentah (CPO) dengan tujuan India, Bangladesh, dan Pakistan. “CPO dari Kalimantan Tengah, Sampit, dan Kumai dikirim ke Kuala Tanjung. Dari Kuala Tanjung, (CPO) didistribusikan dengan kapal-kapal yang lebih besar ke Bangladesh, India, dan Pakistan. Jadi, pelabuhan ini didesain sebagai hub CPO,” katanya.

Kuala Tanjung TIE

Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelabuhan Kuala Tanjung merupakan proyek strategis nasional. Pelindo I menamai pelabuhan tersebut dengan nama Kuala Tanjung Port and Industrial Estate (PIE). Kawasan ini tidak hanya mencakup pelabuhan, tetapi juga kawasan industri yang luasnya mencapai 3.400 ha. Dengan demikian, Kuala Tanjung PIE diharapkan akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok di Indonesia. “Kuala Tanjung PIE akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok Indonesia. Artinya, bisnis logistik dan rantai pasok dari dan ke Indonesia diharapkan masuk ke Kuala Tanjung terlebih dahulu. Selain pelabuhan yang rencananya akan dikembangkan menjadi 58 ha, Kuala Tanjung memiliki kawasan industri yang direncanakan mencapai 3.400 ha,” tegas Prasetyo.

Menurutnya, KEK Kuala Tanjung memiliki potensi untuk bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Pelabuhan Kuala Tanjung akan semakin menarik berkat adanya jaminan kargo yang diangkut dari dan ke kawasan industri Kuala Tanjung. Selain itu, ada kawasan industri lain, yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. “Kuala Tanjung memiliki kawasan industri lain, yaitu kawasan industri Sei Mangkei seluas 2.000 ha yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. Dengan kekuatan-kekuatan tersebut, Pelabuhan Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan masa depan Indonesia dan menjadi kendaraan Indonesia dalam menguasai pasar di Selat Malaka,” ujar Prasetyo.

Dia menambahkan bahwa Kuala Tanjung saat ini memiliki dermaga multiguna sepanjang 500 meter yang dapat digunakan di kedua sisinya. Sisi luar akan digunakan untuk transportasi curah dan sisi dalam akan digunakan untuk peti kemas. Selain itu, terdapat lapangan penumpukan peti kemas di Pelabuhan Kuala Tanjung seluas 8 h. “Kuala Tanjung memiliki kedalaman 17 meter, yang merupakan kedalaman alami. Ini adalah pelabuhan dengan kedalaman yang sesuai standar internasional untuk menjadi hub,” tambah Prasetyo.

Kawasan industri Kuala Tanjung

Prasetyo mengatakan bahwa ada beberapa calon investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Kawasan Industri Kuala Tanjung. Beberapa di antaranya adalah di sektor oleokimia, di sektor smelter, dan pemain logistik global. “Itu adalah (investor) yang sudah mengajukan proposal. Kami sudah melakukan pendekatan dengan mereka, salah satunya bahkan sudah menjalin nota kesepahaman (MoU), yaitu DHL. Seperti yang kita ketahui, DHL adalah pemain bisnis besar internasional,” katanya.

Prasetyo menjelaskan bahwa mereka tertarik karena Kuala Tanjung berada di posisi yang strategis, yaitu di tengah-tengah Selat Malaka. “Ada beberapa investor asing lain yang tertarik karena Kuala Tanjung berada di Selat Malaka. Salah satunya dari India yang ingin membangun pabrik oleochemical. Ada juga [investor] dari China yang akan membangun smelter di Kuala Tanjung,” ungkapnya. Prasetyo mengungkapkan bahwa Pelindo I bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Batu Bara dan BPN pusat saat ini sedang memverifikasi kebutuhan lahan Kawasan Industri Kuala Tanjung. Lahan seluas 300 hektare tersebut akan dibebaskan secara bertahap hingga tahun depan.

Dia menegaskan bahwa pengembangan Kawasan Industri Kuala Tanjung dilakukan secara bertahap hingga mencapai 3.400 ha. Saat ini, calon mitra Palindo I yang berminat untuk berinvestasi di Kawasan Industri Kuala Tanjung membutuhkan lahan seluas 250 ha. Saat ini mereka sedang mempersiapkan uji tuntas (due diligence). “Calon investor yang membutuhkan 250 ha sudah mengajukan proposal, dan kami sudah melakukan MoU dengan calon mitra tersebut. Mereka masih melakukan uji tuntas terhadap kondisi Kuala Tanjung. Kami menargetkan untuk mengakuisisi 3.000 ha tahun depan,” jelas Prasetyo.

Disadur dari: pwc.com

Selengkapnya
Pelindo Siapkan Tiga Pelabuhan Jadi Gerbang Utama Logistik Global

Badan Usaha Milik Negara

Menilai Kapasitas Tata Kelola Maritim Indonesia: Prioritas dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Apa saja prioritas tata kelola maritim untuk Indonesia?

Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia mengumumkan visi “Global Maritime Fulcrum” (GMF). Kebijakan pengorganisasian ini mencakup lima pilar utama yang menjadi pusat tata kelola dan pembangunan maritim Indonesia:

  • Budaya maritim
  • Sumber daya maritim
  • Infrastruktur dan konektivitas maritim
  • Diplomasi maritim
  • Kekuatan pertahanan maritim

Hal ini menimbulkan kegembiraan tertentu terkait potensi untuk memajukan kemakmuran maritim dalam negeri Indonesia dan kemitraan internasional, tetapi sebagian besar pengamat sekarang menganggap GMF sebagai kebijakan yang “mati”. Pemerintah Indonesia belum menindaklanjuti GMF sebagai doktrin maritim atau strategi besar, terutama sejak awal masa kepresidenan kedua Presiden Joko ('Jokowi') Widodo. Namun demikian, karena GMF merupakan artikulasi paling kompleks dari prioritas tata kelola maritim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, GMF tetap menjadi dokumen yang penting.

Pada tahun 2017, pemerintah memperluas visi GMF melalui pemberlakuan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang memiliki tujuh pilar:

  • Sumber daya dan sumber daya manusia maritim
  • Keamanan dan keselamatan maritim
  • Tata kelola dan kelembagaan maritim ekonomi dan infrastruktur maritim
  • Pengelolaan tata ruang dan lingkungan maritim
  • Budaya maritim, diplomasi maritim
  • Sejak saat itu, pemerintah mulai mengeluarkan rencana aksi Kebijakan Maritim setiap lima tahun sekali pertama kali pada tahun 2017 dan kemudian pada tahun 2022 yang menguraikan program-program prioritas untuk setiap pilar dalam kurun waktu lima tahun.
  • Ketujuh pilar ini dapat dianggap sebagai kebijakan tata kelola maritim Indonesia saat ini.

Apa yang dilihat Indonesia sebagai tantangan keamanan maritim yang paling kritis?

Karena wilayah maritimnya yang luas dan lokasinya yang berada di pertemuan dua samudra - Samudra Hindia dan Pasifik - Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan keamanan maritim. Di antara semua itu, sengketa Laut Cina Selatan dianggap sebagai yang paling kritis. Meskipun Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara bukan penuntut dalam sengketa ini, sebagian zona ekonomi eksklusifnya di Laut Natuna diklaim secara sepihak oleh Cina dalam “sembilan garis putus-putus”. Sejak tahun 2016, serangan Tiongkok ke ZEE Indonesia telah meningkat, dan Indonesia telah merespons dengan memperluas kehadiran angkatan lautnya di dalam dan di sekitar Natuna serta mendukung putusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki kekuatan hukum.[5].

Tantangan kritis kedua bagi Indonesia adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Pemerintah memberikan perhatian khusus pada penangkapan ikan IUU selama penunjukan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan pada tahun 2014-2019, ketika pemerintah melakukan tindakan keras terhadap penangkapan ikan IUU.[6] Namun, pemerintah beralih dari kebijakan ini setelah Susi tidak lagi menjadi menteri. Penggantinya, Edhy Prabowo, ditangkap setelah satu tahun menjabat karena diduga menerima suap dalam pemberian izin ekspor benih lobster. Menteri saat ini, Sakti Wahyu Trenggono, juga tidak lagi menggunakan pendekatan keras terhadap penangkapan ikan ilegal seperti yang dilakukan oleh mantan menteri Susi.

Apa saja kekuatan tata kelola maritim Indonesia?

Terlepas dari “kematiannya”, GMF telah meletakkan dasar untuk meningkatkan tata kelola maritim Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada tahun 2014, yang pada tahun 2019 berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Sebelumnya, pemerintah tidak memiliki kementerian yang mengkoordinasikan kebijakan di bidang kemaritiman. Badan koordinasi tingkat tinggi yang tidak biasa ini memberikan Indonesia kekuatan tata kelola maritim yang tidak ditemukan di negara lain.

Kekuatan tata kelola maritim Indonesia lainnya adalah kedalaman lembaga-lembaga yang terkait dengan tata kelola maritim. Kemenko Marves mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Sementara itu, kementerian yang lebih tua, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), mengoordinasikan lembaga-lembaga terkait keamanan maritim: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Polisi Perairan (Polair). Badan-badan terkait tata kelola maritim lainnya termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta dua puluh satu badan lainnya yang memiliki tugas/wewenang terkait maritim.

Apa kesenjangan kapasitas tata kelola maritim yang paling signifikan di Indonesia?

Terdapat dua kesenjangan kapasitas tata kelola maritim utama di Indonesia: Yang pertama bersifat politis dan yang kedua bersifat operasional. Dalam hal kesenjangan politik, terdapat masalah tumpang tindih peran dan tanggung jawab di antara berbagai lembaga tata kelola maritim, budaya strategis, serta kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri.

Isu-isu ini diilustrasikan oleh peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang terus berkembang. Sebelumnya bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dengan peran yang lebih bersifat koordinatif, Bakamla berganti nama pada tahun 2014 untuk memungkinkan peran yang lebih utama dalam patroli maritim. Terlepas dari perubahan tersebut, TNI-AL tampaknya tidak mau melepaskan fungsi keamanan internal yang telah lama dijalankannya, sementara Bakamla masih berjuang untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin keamanan maritim.

Beberapa peneliti menjelaskan masih adanya kesenjangan ini dengan merujuk pada peran budaya strategis Indonesia. Secara khusus, mereka berpendapat bahwa dominasi historis Angkatan Darat di Indonesia, ditambah dengan perbedaan yang kabur antara “pertahanan” yang merupakan perlindungan kedaulatan dan “keamanan” yang merupakan penegakan hukum di sektor pemerintahan Indonesia, telah menyebabkan Angkatan Laut mempertahankan peran dominannya dalam keamanan maritim Indonesia. Sementara itu, Indonesia tidak memiliki keakraban yang lama dengan konsep penjaga pantai sebagai lembaga keamanan maritim sipil yang berdedikasi yang memiliki peran yang jelas dibandingkan dengan lembaga lainnya.[8].

Kesenjangan politik lainnya berasal dari kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri. Sebagai contoh, “kematian” GMF telah dikaitkan dengan kekakuan birokrasi Indonesia dan pergeseran fokus ke arah urusan ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur.[9] Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman juga telah menjadi korban dari perubahan prioritas ini: Pada tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman diberi fungsi tambahan untuk mengoordinasikan investasi (oleh karena itu namanya diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi). Sejak saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, tidak terlalu banyak mencurahkan perhatiannya pada fungsi kemaritiman dan lebih disibukkan dengan porsi investasi dalam portofolionya.

Dalam hal kesenjangan kapasitas operasional, Indonesia tidak memiliki jumlah kapal perang, kapal patroli, dan sensor yang memadai dibandingkan dengan wilayah maritimnya yang luas. Angkatan Laut mengoperasikan tujuh fregat, empat kapal selam, 25 korvet, 23 kapal patroli, 91 kapal patroli, dan beberapa kapal pendukung. Bakamla mengoperasikan sepuluh kapal patroli dan beberapa kapal patroli kecil. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) mengoperasikan tujuh kapal patroli dan 30 kapal patroli.10 Sebagian besar dari kapal-kapal ini juga sangat kurang dalam hal modernisasi.11 Hal ini tidak cukup untuk berpatroli di wilayah laut Indonesia yang luas.

Apa saja area prioritas untuk kerja sama internasional yang dapat meningkatkan kapasitas tata kelola maritim di Indonesia?

Kesenjangan politik dalam kapasitas tata kelola maritim Indonesia sulit untuk diatasi melalui kerja sama internasional. Namun, kesenjangan kapasitas operasional dapat ditingkatkan melalui kerja sama.  Berfokus pada empat bidang prioritas untuk kerja sama internasional akan menguntungkan Indonesia: pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen, pengadaan peralatan, peningkatan kapasitas untuk keterampilan personel, dan kerja sama industri.

Terkait informasi dan intelijen, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen dengan negara-negara tetangga, organisasi regional, dan mitra internasional, serta inisiatif multilateral dan regional seperti ReCAAP, International Maritime Bureau (IMB), dan Information Fusion Centre (IFC) Singapura.

Untuk bidang kedua, Indonesia perlu meningkatkan kerja sama internasional terkait pengadaan kapal perang, kapal patroli, radar, dan peralatan lain yang diperlukan untuk memenuhi peran keamanan maritim. Indonesia sangat membutuhkan teknologi penting untuk melakukan patroli maritim, peringatan dini terhadap ancaman keamanan maritim, dan peran-peran lainnya secara lebih efektif.

Indonesia juga perlu melanjutkan kerja sama berbasis dialog untuk membangun rasa saling percaya dengan negara-negara lain dan meningkatkan kerja sama praktis yang melibatkan pengerahan aset di laut atau lepas pantai, termasuk inisiatif berbagi informasi dan latihan lapangan, atau latihan peningkatan kapasitas terkait lainnya untuk meningkatkan kapasitas tata kelola maritim yang nyata di laut.

Terakhir, sebagai prioritas keempat, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama untuk mengembangkan kapasitas industri pembuatan kapal dan perbaikan kapal serta bidang-bidang lain dalam ekonomi maritim domestik Indonesia seperti pendidikan dan pelatihan para insinyur, transfer teknologi angkatan laut, penelitian dan pengembangan pembuatan kapal, dan bentuk-bentuk kerja sama industri lainnya.

Bagaimana kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada dapat berkontribusi pada tata kelola maritim di Indonesia?

Indonesia harus menggunakan kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada untuk melanjutkan dan meningkatkan kerja sama keamanan maritim yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas tata kelolanya. Indonesia telah terlibat dalam kerja sama tata kelola maritim di berbagai kerangka kerja sama keamanan regional dan minilateral.

Beberapa kerja sama regional telah dilakukan dalam kerangka kerja Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN): Pertemuan Antar-Sesi Forum Regional ASEAN (ARF) tentang Keamanan Maritim, Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) dan Kelompok Kerja Ahli ADMM-Plus untuk Keamanan Maritim, serta Forum Maritim ASEAN (AMF) dan Forum Maritim ASEAN yang Diperluas (Expanded ASEAN Maritime Forum - EAMF).

Akan tetapi, seperti yang ditemukan oleh Agastia (2021), kerja sama dalam kerangka kerja regional ini sebagian besar berbasis dialog, sementara kerja sama praktis masih terbatas.[12] Oleh karena itu, banyak peneliti menyarankan lebih banyak kemajuan yang dapat dicapai dengan berfokus pada kerangka kerja minilateral untuk keamanan maritim.Dalam hal kerangka kerja minilateral, Indonesia telah melakukan patroli terkoordinasi, latihan angkatan laut, dan bentuk-bentuk kerja sama keamanan maritim lainnya dengan negara-negara tetangga dan kekuatan eksternal.

Supriyanto secara persuasif berpendapat bahwa kerangka kerja yang ada, seperti pengaturan patroli maritim di antara negara-negara pesisir ASEAN di Selat Malaka dan Laut Sulawesi, dapat menjadi model untuk kerja sama di Laut Cina Selatan. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam dapat memprakarsai patroli serupa di Laut Cina Selatan di mana batas-batas maritim mereka bersebelahan.13 Perjanjian ZEE Indonesia-Vietnam yang baru saja disepakati dapat mendorong kemajuan pengaturan semacam ini.14 Demikian pula, ratifikasi Indonesia baru-baru ini terhadap perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura.15 Hal ini dapat mendorong kelanjutan dan peningkatan latihan militer bersama antara kedua negara dan pihak ketiga 16.

Disadur dari: amti.csis.org

Selengkapnya
Menilai Kapasitas Tata Kelola Maritim Indonesia: Prioritas dan Tantangan

Badan Usaha Milik Negara

Bahas SDGs, Fakultas Geografi UGM Ungkap Potensi Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030. Dalam Sustainable Development Goals Seminar Series, para pakar maritim dari pemerintah, PBB, dan akademisi berkumpul pada hari Senin (21 Agustus) untuk mendiskusikan hal ini.

Pandangan nusantara telah muncul sebagai gagasan baru untuk lintasan pembangunan Indonesia. Konsep ini menyiratkan landasan pembangunan yang disesuaikan dengan aspek geografis dan sosial. Namun, struktur sosial masyarakat sebagai pemilik lahan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola lahan di berbagai wilayah. 

Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai Wawasan Nusantara menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah maupun masyarakat lokal, untuk memfasilitasi pengelolaan lahan yang efektif dengan tetap mempertimbangkan faktor keberlanjutan. “Wacana kemaritiman ini bukanlah konsep yang baru. Sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia, sifat kepulauan negara kita sudah diakui, bahkan digambarkan dalam berbagai warisan nasional seperti relief dan prasasti,” ujar Asisten Deputi Bidang Batas Wilayah Laut dan kawasan perbatasan, Kementerian koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Sora Lokita.

“Jadi, mengapa kita harus menjadi poros maritim dunia? Jawabannya sederhana. Faktanya, kita adalah negara maritim terbesar. Kita memiliki sekitar 17.500 pulau, garis pantai sepanjang 108.000 km, dan populasi 280 juta jiwa. Faktor-faktor ini membutuhkan pengelolaan yang tepat untuk mencapai target yang kita inginkan. Generasi muda kita perlu lebih aktif dalam konteks ini.”

Upaya mewujudkan “Poros Maritim Dunia” telah terangkum dalam tujuh pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Pilar-pilar tersebut meliputi Wawasan Nusantara, pembangunan berkelanjutan, ekonomi biru, pengelolaan yang terintegrasi dan transparan, partisipasi, kesetaraan, dan pemerataan. 

“Hal ini sangat relevan dengan bagaimana pilar-pilar ini akan dikaitkan dengan pencapaian SDGs. Ini akan menjadi peran dari pusat yang baru saja diluncurkan ini, di mana kita akan bergerak maju bersama dan memberikan masukan untuk pengembangannya,” tambah asisten deputi.

Selain merumuskan Kebijakan Kelautan Indonesia, pemerintah juga telah membentuk Forum Negara Kepulauan dan Negara Kepulauan (AIS) pada tahun 2017. Forum kolaboratif antara Indonesia dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) ini bertujuan untuk melibatkan negara-negara kepulauan di seluruh dunia dalam mengatasi tantangan maritim.  Kepala Kemitraan dan Hubungan Pemerintah di Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau, UNDP, Intan Defrina, menjelaskan bagaimana Forum AIS berusaha untuk mendorong upaya pengelolaan maritim di tingkat nasional dan internasional.

“Ada empat isu atau tantangan utama yang harus kita hadapi: perubahan iklim, ekonomi biru, sampah plastik di laut, dan tata kelola maritim yang efektif. Kami bekerja dalam sistem multi-pemangku kepentingan, yang berarti kami tidak bisa hanya bekerja sama dengan negara lain. Forum AIS mengharuskan kami untuk berada di lapangan, berkolaborasi dengan LSM dan komunitas yang memiliki gagasan yang sama dengan kami,” kata Intan Defrina.

Upaya untuk merumuskan pengelolaan maritim yang berkelanjutan membutuhkan integrasi di berbagai sektor. Kolaborasi ini tidak hanya melibatkan sektor maritim saja, namun sektor-sektor lokal juga harus memahami bagaimana mengimplementasikan ide-ide kemaritiman. Harapannya, kolaborasi semua pihak dapat berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada tahun 2030.

Disadur dari: ugm.ac.id

Selengkapnya
Bahas SDGs, Fakultas Geografi UGM Ungkap Potensi Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia

Badan Usaha Milik Negara

Menuju Kemakmuran: Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan dan Pelestarian Laut untuk Generasi Sekarang dan Mendatang

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Baru-baru ini, Indonesia mencapai tonggak penting dengan meluncurkan peta jalan ekonomi biru di forum ekonomi biru ASEAN, yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Pulau Belitung yang indah. Peta jalan yang komprehensif ini merupakan hasil dari upaya kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk kontribusi penting dari ARISE+ Indonesia. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kepentingan strategis dalam peta jalan ini karena tidak hanya mendorong kemakmuran ekonomi tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan ekosistem laut, memastikan bahwa generasi mendatang dapat memetik manfaat dari ekonomi laut yang berkembang.

Hebatnya, Indonesia merupakan negara pertama di ASEAN yang mengadopsi peta jalan ekonomi biru yang komprehensif. Sebagai Ketua ASEAN saat ini, Indonesia ingin mendorong pengembangan kerangka kerja ekonomi biru di tingkat regional dan menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menyusun dokumen ekonomi biru mereka. Mengingat luasnya wilayah perairan di dalam domain ASEAN dan potensi yang luar biasa dari peta jalan ekonomi biru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Kerangka Kerja Ekonomi Biru memiliki arti strategis yang sangat penting.

Kami mendapat kesempatan istimewa untuk terlibat dalam diskusi mendalam dengan Bapak Teguh Sambodo, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan sektor unggulan dan infrastruktur di kementerian perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas). Dalam diskusi tersebut, kami menggali lebih dalam tentang bagaimana peta jalan ekonomi biru Indonesia dapat membuka potensi sumber daya laut yang belum dimanfaatkan, yang pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem laut demi kemakmuran generasi mendatang.

Berikut ini adalah kutipan dari wawancara eksklusif kami

T: Selamat atas keberhasilan peluncuran peta jalan ekonomi biru Indonesia 2023-2045. Tidak diragukan lagi, ini adalah salah satu pencapaian yang paling membanggakan bagi kami. Mengingat Indonesia adalah negara maritim, dapatkah anda menjelaskan apa yang menyebabkan pengembangan dan peluncuran peta jalan ekonomi biru pada saat ini? Selain itu, bisakah anda berbagi wawasan tentang peta jalan ekonomi biru dan elemen-elemen utamanya?

TS: Peta Jalan Ekonomi Biru mengakui identitas unik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 108.000 km. Di dalam wilayah maritim yang luas ini, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan sumber daya alam laut yang melimpah, memberikan banyak peluang untuk membangun sektor-sektor baru dan berkembang. Mulai dari sumber daya hayati dan non-hayati laut hingga industri, pariwisata, transportasi, dan logistik, perairan Indonesia menawarkan banyak potensi ekonomi yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Terlepas dari ukuran dan nilai ekonomi biru yang sangat besar, ekonomi laut Indonesia sebagian besar masih terbatas pada sektor konvensional, seperti perikanan tangkap, akuakultur, dan pengolahan ikan, yang hanya berkontribusi sekitar 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama lima tahun terakhir. Kami sering ditanya, “Mengapa peta jalan ekonomi biru ini membutuhkan waktu yang lama untuk terwujud?” Hal ini dikarenakan pembangunan maritim baru menjadi perhatian utama di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebagai hasilnya, pembentukan kementerian koordinator khusus untuk urusan kemaritiman menandai langkah awal untuk mengkonsolidasikan identitas kita sebagai negara maritim.

Menanggapi pandemi COVID-19, Presiden mengamanatkan transformasi ekonomi untuk mempercepat pemulihan dan kemajuan menuju negara maju. Namun, karena COVID-19, target awal untuk mencapai status negara maju pada tahun 2036 bergeser ke tahun 2043, yang membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan minimum 6% atau lebih. Sebelum pandemi, Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi yang stagnan, dengan rata-rata 5%.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas sektor-sektor yang sudah ada sembari mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru yang terkait dengan ekonomi berbasis kelautan. Namun, keberlanjutan harus diprioritaskan untuk memastikan manfaat yang berkelanjutan dari sumber daya ekonomi ini, sejalan dengan visi pembangunan ekonomi biru: “Sumber daya pesisir dan laut kita yang beragam dikelola secara berkelanjutan melalui ekonomi biru berbasis pengetahuan untuk menciptakan kemakmuran sosial-ekonomi, memastikan lingkungan laut yang sehat, dan memperkuat ketahanan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan.”

Peta jalan ekonomi biru kami bertumpu pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Roadmap ini juga menginformasikan bahwa jika Indonesia mengambil pendekatan ekonomi biru dengan penekanan yang lebih kuat pada kesehatan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber daya laut, maka akan menciptakan manfaat keseluruhan 12 kali lebih besar daripada pendekatan yang berimbang, yang hanya menghasilkan manfaat sembilan kali lipat. Inilah nilai yang ingin kami sampaikan melalui peta jalan ini.

Pada akhirnya, Peta jalan ekonomi biru berfungsi sebagai panduan komprehensif untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan, memastikan kesehatan, umur panjang, dan ketangguhannya demi kemakmuran penduduk saat ini dan generasi mendatang. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kolaborasi dan koordinasi yang kuat di antara para pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan menerapkan prinsip-prinsip peta jalan ini, Indonesia dapat membuka potensi ekonomi biru yang sesungguhnya untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kesehatan ekosistem pesisir dan laut.

T: Mengapa peta jalan ini diluncurkan bertepatan dengan Forum Ekonomi Biru ASEAN?

TS: Pertama, kami ingin menunjukkan kepada negara-negara anggota ASEAN lainnya bahwa Indonesia telah mengambil langkah signifikan untuk mengkonsolidasikan ekonomi biru dengan cara yang lebih terstruktur. ASEAN telah berhasil meresmikan Deklarasi Pemimpin tentang Ekonomi Biru selama masa kepemimpinan Brunei Darussalam pada tahun 2021.

Indonesia berinisiatif untuk menjabarkan deklarasi tersebut untuk konteks Indonesia dengan menyusun Kerangka Kerja Pengembangan ekonomi biru untuk Transformasi Ekonomi Indonesia pada tahun 2021 dan menjadi negara pertama di ASEAN yang memiliki peta jalan ekonomi biru. Meskipun kami menyadari bahwa konsep ekonomi biru bukanlah hal yang sepenuhnya baru, kami memandangnya sebagai bagian integral dari upaya kami untuk mendorong transformasi ekonomi dan memperkuat identitas kami sebagai negara maritim.

Disadur dari: ariseplus-indonesia.org

Selengkapnya
Menuju Kemakmuran: Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan dan Pelestarian Laut untuk Generasi Sekarang dan Mendatang

Badan Usaha Milik Negara

Proses Konsolidasi Ekonomi Biru di Indonesia

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Diawali dengan pernyataan bersama antara Menteri Bappenas, Menteri Infrastruktur Swedia, dan Menteri Lingkungan Hidup Swedia pada bulan Oktober 2021, yang menekankan pentingnya ekonomi biru dalam meningkatkan perekonomian kita. Selanjutnya, kami bekerja sama dengan OECD, yang telah menyelesaikan diagnosis negara untuk ekonomi kelautan untuk Indonesia.

Setelah berdiskusi secara menyeluruh dengan Swedia dan OECD, kami sepakat untuk mengembangkan kerangka kerja sebagai titik awal. Kami mulai merumuskan konsep ekonomi biru yang disesuaikan dengan konteks unik Indonesia. Pada bulan November 2021, satu bulan kemudian, kami dengan bangga meluncurkan kerangka kerja tersebut dalam acara Pekan Kemitraan Keberlanjutan Indonesia-Swedia, dengan dukungan dari OECD. Setelah pencapaian tersebut, kami mendedikasikan waktu kurang lebih satu setengah tahun untuk menyusun peta jalan yang komprehensif.

Kami bermaksud mengirimkan pesan kepada negara-negara anggota ASEAN lainnya bahwa konsolidasi semacam itu dapat dilakukan di tingkat negara. Kami berharap dapat menginspirasi dan mendorong negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk mengikuti jejak kami dalam mengkonsolidasikan konsep ekonomi biru untuk berbagai pemangku kepentingan dalam sebuah peta jalan yang terpadu.  Kami sangat senang menerima tanggapan positif, terutama dari Filipina. Mereka menyatakan ketertarikannya untuk meniru pendekatan Indonesia dan berkomitmen untuk mengkonsolidasikan upaya mereka setelah menyaksikan pencapaian kami selama Forum Ekonomi Biru ASEAN yang diadakan di Belitung.

Kedua, sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia memprioritaskan Kerangka Kerja Pengembangan Ekonomi Biru ASEAN sebagai salah satu Priority Economic Deliverables (PED). Forum Ekonomi Biru ASEAN diselenggarakan untuk memperkaya diskusi mengenai kerangka kerja dan bagaimana menginisiasi kolaborasi dan mengeksplorasi peluang pembiayaan biru. 

Tujuan kami adalah agar para peserta mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai peta jalan ekonomi biru yang telah dikembangkan oleh Indonesia. Hal ini mencakup wawasan tentang kerangka kerja, bagaimana memulai implementasinya, mendorong kolaborasi, dan mengamankan pendanaan. Sebagai Ketua ASEAN saat ini, kami mempresentasikan sebuah paket komprehensif yang menampilkan Indonesia dalam mengkonsolidasikan dan mengembangkan ekonomi biru.

Menyadari bahwa tidak semua negara ASEAN memiliki perbatasan laut, kami telah memasukkan aspek air tawar dalam kerangka kerja pengembangan ekonomi biru, yang mencakup danau dan sungai. Selain itu, peta jalan ekonomi biru Indonesia juga mencakup akuakultur, yang sangat relevan bagi negara-negara yang terkurung daratan yang mengandalkan akuakultur daripada perikanan tangkap untuk industri perikanan mereka. Laos, sebagai salah satu negara yang terkurung daratan di kawasan ini, juga telah mengusulkan perspektif yang lebih luas tentang ekonomi biru, mengaitkannya dengan perdagangan. Mereka berharap bahwa meskipun tidak memiliki akses langsung ke laut, pengembangan ekonomi biru di ASEAN akan berdampak positif pada perdagangan di Laos, mendorong kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.

Secara kebetulan, dalam konteks Indonesia, perdagangan, transportasi, dan logistik merupakan salah satu sektor prioritas dalam ekonomi biru. Oleh karena itu, aspek-aspek ini juga sangat relevan dengan pendekatan komprehensif Indonesia terhadap ekonomi biru.

T: Sektor apa saja yang diprioritaskan dalam Peta Jalan Ekonomi Biru?

TS: Pengembangan Ekonomi Biru Indonesia akan berfokus pada peningkatan sektor-sektor yang sudah mapan, yang meliputi perikanan tangkap laut dan akuakultur; industri berbasis kelautan seperti pengolahan makanan berbasis kelautan, galangan kapal, dan industri garam dan kimia; perdagangan, transportasi, dan logistik maritim; dan pariwisata.

Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia juga sangat mendukung pertumbuhan sektor-sektor yang sedang berkembang, yaitu energi terbarukan, bioteknologi dan bioekonomi, penelitian dan pendidikan, serta konservasi laut dan pengelolaan jasa ekosistem yang berkelanjutan. Pengembangan sektor-sektor ini merupakan upaya penting untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut yang belum dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

T: Apa saja potensi manfaat dan hasil yang diharapkan dari Peta Jalan Ekonomi Biru?

TS: Ekonomi Biru dibayangkan untuk menjadi sumber pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif bagi Indonesia. Visi ini diterjemahkan ke dalam tiga target utama. Pertama, kami bertujuan untuk meningkatkan Kawasan Konservasi Perairan menjadi 30% atau 97,5 juta hektar dari perairan Indonesia pada tahun 2045, mendorong lingkungan laut yang sehat, beragam, dan produktif. Kedua, kami berupaya agar sektor maritim dapat berkontribusi sebesar 15% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2045, dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Terakhir, kami bercita-cita untuk melihat lapangan kerja maritim menyumbang 12% dari total lapangan kerja di Indonesia pada tahun 2045, berkontribusi pada kemakmuran bagi individu, masyarakat, provinsi, dan negara secara keseluruhan. Dengan demikian, peta jalan ekonomi biru ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat, terutama bagi kesejahteraan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya bergantung pada laut.

T: Apa saja langkah konkret untuk mengimplementasikan Peta Jalan Ekonomi Biru?

TS: Langkah krusial pertama dalam mengimplementasikan Peta Jalan Ekonomi Biru adalah menyebarluaskannya kepada seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mendorong keterlibatan dan pemahaman yang lebih kuat, sehingga menjadi referensi yang berharga bagi semua pihak. Kami berharap berbagai kementerian, lembaga, lembaga internasional, dan pemerintah daerah akan mengadopsi dan mengintegrasikan peta jalan ini ke dalam strategi dan rencana kerja mereka. Pada tahap awal implementasi (2023-2024), fokus utama kami adalah mengkonsolidasikan ekosistem ekonomi biru Indonesia dan mendorong koordinasi yang lebih baik di antara para pemangku kepentingan. Untuk memfasilitasi hal ini, kami akan membentuk Sekretariat Ekonomi Biru yang berbasis di Bappenas, yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan dan membina kolaborasi di antara para pihak yang relevan.

Sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan Peta Jalan Ekonomi Biru, kami akan melakukan Penilaian Pangan Biru, yang bertujuan untuk membuat cetak biru sistem pangan berbasis laut di Indonesia. Selanjutnya, kami akan menganalisis dan menerjemahkan temuan-temuan tersebut ke dalam peraturan yang secara ideal akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir.

Peta jalan ini menguraikan rencana aksi strategis yang akan diimplementasikan dalam lima tahap, mulai dari tahun 2023 hingga 2045.  Mengikuti fase pertama yang telah disebutkan sebelumnya, strategi fase kedua (2025-2029) menekankan pada peningkatan pengembangan ekonomi biru Indonesia sebagai sumber pertumbuhan baru. Hal ini mencakup peningkatan nilai tambah ekonomi biru di sektor-sektor yang sudah mapan dan meningkatkan ketahanan ketahanan pangan melalui peningkatan sistem pangan biru.

Pada fase ketiga (2030-2034), pengembangan ekonomi biru akan berkonsentrasi pada perluasan sektor ekonomi biru Indonesia melalui diversifikasi, dengan penekanan khusus pada sektor-sektor yang sedang berkembang seperti energi terbarukan, bioekonomi dan bioteknologi, serta penelitian dan inovasi. Fase ini diharapkan dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas, yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Pengembangan ekonomi biru pada fase keempat (2035-2039) berfokus pada peningkatan kontribusi dan daya saing ekonomi biru Indonesia dalam rantai nilai global. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kualitas dan rantai pasokan dari sektor-sektor yang sudah mapan dan sektor-sektor yang sedang berkembang.

Pengembangan ekonomi biru pada fase akhir (2040-2045) bertujuan untuk menciptakan ekonomi biru Indonesia yang inklusif, maju, dan berkelanjutan, memimpin keberlanjutan rantai nilai global, serta menciptakan kurva pertumbuhan baru untuk generasi berikutnya. Setiap fase akan diimplementasikan melalui serangkaian rencana aksi yang akan menjadi acuan bagi rencana kerja para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta, untuk mendukung tercapainya visi pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan di Indonesia.

T: Baru-baru ini, Anda berpartisipasi dalam misi studi yang difasilitasi oleh ARISE+ Indonesia, di mana Anda mengunjungi beberapa negara Eropa untuk menjalin kontak dan mengeksplorasi inovasi di bidang mobilitas perkotaan, energi terbarukan, kota berkelanjutan, dan perawatan kesehatan. Dari pengalaman yang memperkaya ini, apa yang Anda anggap sebagai hal penting yang dapat diambil, terutama terkait dengan bagaimana Peta Jalan Ekonomi Biru dapat menarik investasi di sektor energi terbarukan? Dengan cara apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini?

TS: Selama misi studi kami dengan ARISE+ Indonesia, kami berkesempatan untuk mengunjungi Denmark dan menyaksikan kemajuan luar biasa mereka dalam transformasi energi terbarukan. Banyaknya turbin angin menarik perhatian kami saat mereka menghiasi lanskap, dan kami juga takjub dengan keberadaan mereka di laut. Yang lebih luar biasa lagi, Denmark telah membuat langkah yang signifikan dalam mengembangkan ladang angin lepas pantai dengan berbagai jenis turbin. Mereka menggunakan turbin pondasi tetap untuk area dengan perairan yang relatif dangkal dan menggunakan turbin angin terapung untuk perairan yang lebih dalam. Tujuan ambisius mereka untuk mencapai 100% ketergantungan pada turbin angin pada tahun 2030 menunjukkan pendekatan mereka yang berpikiran maju.

Menariknya, kami pernah melakukan kunjungan kerja sebelumnya ke lokasi yang sama pada tahun 2021. Namun, kali ini, kami menggali lebih jauh dengan menjajaki lembaga-lembaga pembiayaan yang menunjukkan ketertarikannya untuk berinvestasi di Indonesia guna mendukung pengembangan sumber energi baru terbarukan, khususnya memanfaatkan arus laut dan turbin angin. Untuk Indonesia, para ahli merekomendasikan penggunaan turbin angin terapung, terutama karena wilayah Indonesia yang luas dan penyebaran penduduk yang padat. Mengembangkan ladang angin di darat dapat menyebabkan gangguan di daerah pemukiman, sementara turbin angin dengan pondasi tetap mungkin tidak cocok mengingat aktivitas seismik di Indonesia.

Seiring dengan perkembangannya, sangat penting untuk dicatat bahwa penerapan inovasi-inovasi tersebut di Indonesia memerlukan penilaian menyeluruh terhadap penerapannya pada kondisi lokal. Dengan demikian, kami dapat memastikan bahwa kemajuan ini membawa manfaat maksimal bagi masyarakat tanpa menimbulkan konflik sosial dan lingkungan. Penerapan inisiatif terobosan ini membutuhkan pemahaman yang cermat mengenai kondisi lokal, dan kami berkomitmen untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan bagi negara kita.

Peta jalan ekonomi biru Indonesia meletakkan dasar bagi perluasan berbagai sektor, dengan energi terbarukan sebagai salah satu prioritas utama. Pemerintah membayangkan energi terbarukan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yang penting, yang mampu mendiversifikasi peluang dan memperkuat ekonomi berbasis kelautan sambil memastikan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan di negara ini. Dalam peta jalan yang komprehensif ini, analisis SWOT terhadap sektor-sektor prioritas, termasuk energi terbarukan, menjadi dasar untuk menentukan misi, hasil, indikator, dan Rencana Aksi Strategis yang bertujuan untuk memajukan sektor energi terbarukan.

Dirancang untuk periode 2023-2045, Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia bertujuan untuk mengkonsolidasikan kebijakan, program, dan kegiatan. Roadmap ini mendorong pendekatan kolaboratif, menyatukan semua pemangku kepentingan dalam visi bersama untuk mendorong pengembangan dan kemajuan energi terbarukan. Dengan meletakkan dasar yang kuat ini, roadmap memfasilitasi pembuatan kebijakan dan peraturan yang lebih baik, sehingga dapat menarik investasi di sektor energi terbarukan.

T: Dapatkah Anda berbagi perspektif Anda tentang kerja sama dan kontribusi ARISE+ Indonesia dalam pengembangan Peta Jalan Ekonomi Biru? Dapatkah Anda juga berbagi pelajaran yang dapat dipetik dari kerja sama ini yang dapat memandu kolaborasi di masa depan dengan mitra pembangunan?

TS: Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ARISE+ Indonesia atas dukungan dan kontribusinya yang tak ternilai dalam pengembangan Peta Jalan Ekonomi Biru ini. Melalui studi mereka yang sangat teliti, termasuk Pengembangan Ekonomi Biru di Indonesia Berdasarkan Kerangka Kerja Permintaan dan Penawaran, penghitungan data Indeks Ekonomi Biru Indonesia (IBEI), dan Proyeksi IBEI, mereka telah memberikan kami wawasan yang sangat berguna. Hasil-hasil ini memiliki potensi untuk membentuk kebijakan tidak hanya di tingkat provinsi tetapi juga pada skala nasional.

Meskipun kami sangat puas dengan hasilnya, kami mengakui bahwa masih ada ruang untuk perbaikan. Sebagai pelajaran berharga untuk upaya di masa depan, kami percaya bahwa memiliki ahli kelautan sebagai bagian dari tim peneliti akan sangat memperkaya dimensi temuan. Keahlian dan pengalaman mereka tidak diragukan lagi akan membawa tingkat kedalaman dan pemahaman baru pada penelitian kami, mendorongnya ke tingkat yang lebih tinggi.

Seiring dengan berakhirnya program ARISE+ Indonesia, kami berterima kasih atas kerja sama dengan proyek lain yang didanai Uni Eropa yang difasilitasi oleh ARISE+ Indonesia. Kolaborasi ini akan memainkan peran penting dalam memajukan implementasi peta jalan ekonomi biru kami, yang mencakup pelaksanaan penilaian pangan biru. Kontribusi ARISE+ Indonesia sangat penting dalam mendorong visi kami ke depan, dan kami sangat menghargai dukungan mereka.

Disadur dari: ariseplus-indonesia.org

Selengkapnya
Proses Konsolidasi Ekonomi Biru di Indonesia

Badan Usaha Milik Negara

Menlu Retno Tekankan Pentingnya Stabilitas Maritim di Indo-Pasifik

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 10 Februari 2025


Bali, Indonesia - “Berbagai kepentingan negara-negara besar sering kali berbenturan di kawasan maritim Indo-Pasifik. Kegagalan dalam mengelola tantangan-tantangan ini dapat mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan,” ujar Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi dalam pidato kuncinya pada pertemuan pembukaan Forum Maritim ASEAN yang diperluas (EAMF) ke-11 di Bali (02/08).

“Kita harus menghindari kawasan kita menjadi episentrum konflik. Bidang maritim memainkan peran kunci dalam menciptakan kawasan ini sebagai pusat pertumbuhan,” ujar Menlu Retno. Menlu Retno juga menyampaikan pentingnya visi bersama dalam memandu kawasan maritim Indo-Pasifik.

 

Pertama, memastikan bahwa laut adalah “laut perdamaian”, melalui penerapan hukum internasional secara konsisten dan memastikan tidak ada tindakan yang mengancam keamanan pihak lain. Kedua, menciptakan “lautan kerja sama” sebagai katalisator dalam membangun kepercayaan dan perdamaian yang langgeng.

Dalam hal ini, ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) memainkan peran sentral dalam mendorong kerja sama di bidang maritim, termasuk di dalamnya sektor ekonomi biru, keamanan maritim, dan mendukung kemakmuran masyarakat pesisir. Menlu Retno mendorong agar EAMF dapat menjadi forum untuk mengembangkan dan memperkuat sinergi kebijakan terkait kerja sama dan tata kelola maritim di Indo-Pasifik.

 

“Semua pemangku kepentingan harus mengambil bagian dalam mewujudkan tujuan ini,” ujar Menlu Retno. Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Sidharto Suryodipuro menyampaikan pentingnya membangun kepercayaan, serta keaktifan dan sentralitas ASEAN dalam membentuk kebijakan dan tata kelola maritim di kawasan. “ASEAN juga baru saja meluncurkan edisi pertama ASEAN Maritime Outlook (AMO) yang merangkum kemajuan dan arah kerja sama maritim ASEAN dalam satu dokumen yang komprehensif,” ujar Dirjen.

  

EAMF dihadiri oleh perwakilan pejabat senior dari seluruh negara ASEAN, serta delapan negara mitra yaitu Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Tiongkok, dan Selandia Baru. Sejumlah panelis juga hadir untuk mempresentasikan inisiatif kerja sama maritim yang mencakup aspek perdamaian, stabilitas, dan ekonomi biru. EAMF diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan ASEAN Senior Officials' Meeting (SOM) yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 31 Juli hingga 5 Agustus 2023.

Disadur dari: kemlu.go.id

Selengkapnya
Menlu Retno Tekankan Pentingnya Stabilitas Maritim di Indo-Pasifik
« First Previous page 19 of 21 Next Last »