Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030. Dalam Sustainable Development Goals Seminar Series, para pakar maritim dari pemerintah, PBB, dan akademisi berkumpul pada hari Senin (21 Agustus) untuk mendiskusikan hal ini.
Pandangan nusantara telah muncul sebagai gagasan baru untuk lintasan pembangunan Indonesia. Konsep ini menyiratkan landasan pembangunan yang disesuaikan dengan aspek geografis dan sosial. Namun, struktur sosial masyarakat sebagai pemilik lahan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola lahan di berbagai wilayah.
Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai Wawasan Nusantara menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah maupun masyarakat lokal, untuk memfasilitasi pengelolaan lahan yang efektif dengan tetap mempertimbangkan faktor keberlanjutan. “Wacana kemaritiman ini bukanlah konsep yang baru. Sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia, sifat kepulauan negara kita sudah diakui, bahkan digambarkan dalam berbagai warisan nasional seperti relief dan prasasti,” ujar Asisten Deputi Bidang Batas Wilayah Laut dan kawasan perbatasan, Kementerian koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Sora Lokita.
“Jadi, mengapa kita harus menjadi poros maritim dunia? Jawabannya sederhana. Faktanya, kita adalah negara maritim terbesar. Kita memiliki sekitar 17.500 pulau, garis pantai sepanjang 108.000 km, dan populasi 280 juta jiwa. Faktor-faktor ini membutuhkan pengelolaan yang tepat untuk mencapai target yang kita inginkan. Generasi muda kita perlu lebih aktif dalam konteks ini.”
Upaya mewujudkan “Poros Maritim Dunia” telah terangkum dalam tujuh pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Pilar-pilar tersebut meliputi Wawasan Nusantara, pembangunan berkelanjutan, ekonomi biru, pengelolaan yang terintegrasi dan transparan, partisipasi, kesetaraan, dan pemerataan.
“Hal ini sangat relevan dengan bagaimana pilar-pilar ini akan dikaitkan dengan pencapaian SDGs. Ini akan menjadi peran dari pusat yang baru saja diluncurkan ini, di mana kita akan bergerak maju bersama dan memberikan masukan untuk pengembangannya,” tambah asisten deputi.
Selain merumuskan Kebijakan Kelautan Indonesia, pemerintah juga telah membentuk Forum Negara Kepulauan dan Negara Kepulauan (AIS) pada tahun 2017. Forum kolaboratif antara Indonesia dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) ini bertujuan untuk melibatkan negara-negara kepulauan di seluruh dunia dalam mengatasi tantangan maritim. Kepala Kemitraan dan Hubungan Pemerintah di Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau, UNDP, Intan Defrina, menjelaskan bagaimana Forum AIS berusaha untuk mendorong upaya pengelolaan maritim di tingkat nasional dan internasional.
“Ada empat isu atau tantangan utama yang harus kita hadapi: perubahan iklim, ekonomi biru, sampah plastik di laut, dan tata kelola maritim yang efektif. Kami bekerja dalam sistem multi-pemangku kepentingan, yang berarti kami tidak bisa hanya bekerja sama dengan negara lain. Forum AIS mengharuskan kami untuk berada di lapangan, berkolaborasi dengan LSM dan komunitas yang memiliki gagasan yang sama dengan kami,” kata Intan Defrina.
Upaya untuk merumuskan pengelolaan maritim yang berkelanjutan membutuhkan integrasi di berbagai sektor. Kolaborasi ini tidak hanya melibatkan sektor maritim saja, namun sektor-sektor lokal juga harus memahami bagaimana mengimplementasikan ide-ide kemaritiman. Harapannya, kolaborasi semua pihak dapat berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada tahun 2030.
Disadur dari: ugm.ac.id