Energi dan Sumber Daya Mineral

Inspirasi Energi: Bagaimana Cara Kerja Turbin Angin? Ini Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 05 Maret 2022


Energi angin adalah salah satu sumber energi terbarukan yang terbentuk dari rotasi bumi dan akibat perbedaan tekanan. Jenis energi ini rupanya telah dimanfaatkan manusia sejak dulu.

Menurut publikasi ilmiah yang diterbitkan Journal of American Science, energi angin pertama kali dimanfaatkan untuk menggerakkan perahu oleh bangsa Mesir pada 5000 sebelum masehi (SM).

Seiring berkembangnya zaman, energi angin digunakan untuk berbagai hal termasuk kincir angin untuk irigasi dan penggilingan.

Pemanfaatan energi angin untuk menggerakkan kincir angin untuk irigasi dan penggilingan pertama kali dilakukan oleh bangsa Asia, khususnya bangsa Persia, pada abad ke-7.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kincir angin yang hanya digunakan untuk keperluan pertanian, penggilingan, dan irigasi dikembangkan untuk menghasilkan listrik.

Kincir angin yang dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik biasanya disebut sebagai turbin angin. Sejarah mencatat, turbin angin pertama kali dibuat oleh Pour La Cour pada abad ke-19 di Denmark untuk pembangkitan listrik di daerah yang terpencil.

Lantas, bagaimana cara kerja turbin angin?

Turbin angin merupakan seperangkat teknologi yang mengubah energi angin menjadi energi listrik dalam sistem pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Secara sederhana dan ringkas, turbin angin memiliki beberapa bagian inti yakni bilah, poros, generator, dan tiang penyangga.

Melansir European Wind Energy Association (EWEA), turbin angin mengubah energi kinetik yang dimiliki energi angin menjadi energi mekanik.

Energi kinetik dari angin menabrak bilah turbin angin sehingga bilah ini berputar membuat porosnya berotasi.

Rotasi poros inilah yang kemudian menggerakkan generator dan akhirnya menghasilkan listrik.
 

Jenis-jenis Turbin Angin

Secara umum, turbin angin diklasifikasikan menjadi dua jenis yakni turbin angin sumbu horizontal dan turbin angin sumbu vertikal.

Sesuai namanya, turbin angin sumbu horizontal memilik poros horizontal alias mendatar. Menurut Kementerian Energi AS, turbin angin jenis ini sangat umum digunakan di “Negeri Paman Sam”.

Sedangkan jenis turbin angin sumbu vertikal memiliki poros verikal alias berbentuk tegak. Turbin angin sumbu vertikal memiliki beberapa variasi pada bilahnya dan kebanyakan dinamai menurut penemu desainnya.

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) offshore
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Offshore (Shutterstock)

Aplikasi Turbin Angin

Di era modern, aplikasi turbin angin dapat dikategorikan berdasarkan di mana mereka dipasang dan bagaimana energi yang dihasilkan terhubung ke jaringan.

Ada tiga aplikasi pemanfaatan turbin angin berdasarkan tempatnya yakni turbin angin darat, turbin angin lepas pantai, dan turbin angin terdistribusi.

Turbin angin darat merupakan turbin angin yang dipasang di darat dan biasanya memiliki kapasitas terpasang mulai 100 kilowatt hingga beberapa megawatt.

Sedangkan turbin angin lepas pantai dipasang di lautan dan memiliki ukuran yang cenderung besar. Turbin ini mampu menangkap angin laut yang kuat dan menghasilkan energi dalam jumlah besar.

Sementara turbin angin terdistribusi adalah turbin angin yang dipasang untuk kebutuhan sendiri. Biasanya, turbin angin ini dimanfaatkan secara independen di rumah tangga atau untuk menyuplai listrik di sebuah situs di daerah-daerah terpencil.


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
Inspirasi Energi: Bagaimana Cara Kerja Turbin Angin? Ini Penjelasannya

Energi dan Sumber Daya Mineral

PLTS akan Jadi Tulang Punggung Pengembangan EBT

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 05 Maret 2022


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bakal jadi tulang punggung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) ke depannya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya mengungkapkan dengan realisasi bauran EBT yang baru mencapai 11,2 persen pada 2020 maka perlu ada peningkatan dua kali lipat demi bisa memenuhi target 23 persen pada 2025 mendatang.

"Kita punya potensi EBT yang melimpah namun mempertimbangkan waktunya kita harus manfaatkan semua EBT yang dimiliki. Yang menjanjikan dalam pandangan pemerintah adalah energi surya," kata Chrisnawan dalam Webinarp, Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity, Kamis (9/9/2021).

Chrisnawan mengungkapkan, pengembangan PLTS ke depannya bakal dibagi menjadi empat jenis PLTS. Pertama, melalui PLTS Atap. Kementerian ESDM menargetkan pengembangan PLTS Atap akan mencapai 3,6 GW pada 2025 mendatang Demi mencapai target, pemerintah kini tengah menyusun revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap.

Chrisnawan menjelaskan, dalam regulasi yang baru ini bakal ada sejumlah perubahan antara lain perubahan nilai ekspor energi listrik menjadi 100 persen, jangka waktu kelebihan listrik masyarakat di PLN diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan serta potensi carbon trading yang bisa dimanfaatkan.

Kedua, pengembangan PLTS skala besar. Dalam pengembangan PLTS skala besar, Chrisnawan memastikan hal ini sudah dimasukkan dalam revisi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang kini tengah difinalisasi. Dari proses terkini, maka total kapasitas PLTS yang bakal dibangun ditargetkan mencapai 6,4 GW.

Ketiga, PLTS Terapung. Chrisnawan mengungkapkan, potensi PLTS Terapung tergolong melimpah. Dari pemetaan yang ada maka potensinya mencapai 27 GW. Kendati demikian tidak seluruhnya dapat dikembangkan.

Demi mengatasi isu intermitensi pada PLTS Terapung, maka pengembangannya harus dilakukan pada waduk yang juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

"Jika berkaitan dengan intermitensi, maka PLTS Terapung harus dikembangkan dekat dengan pembangkit hidro, potensi yang ada mencapai 12 GW dan ini angka yang besar," jelas Chrisnawan.

Chrisnawan menambahkan, pihaknya juga telah mengusulkan agar pengembangan PLTS Terapung masuk dalam revisi RUPTL yang tengah dilakukan. Terakhir, pengembangan PLTS Off Grid. Menurutnya, pengembangan ini bakal berfokus pada area-area yang terpencil dan sulit dijangkau.

Keempat strategi pengembangan PLTS Atap ini disebut Chrisnawan sebagai strategi jangka menengah yang bakal dicapai hingga 2030 mendatang.
 

Dukungan Regulasi

Sejumlah dukungan regulasi kini pun tengah disiapkan pemerintah. Upaya mendorong EBT diharapkan juga selaras dengan target pemerintah mencapai net zero emission pada 2060 mendatang. Chrisnawan mengungkapkan, saat ini ada sejumlah regulasi dan panduan yang diharapkan bisa segera ditetapkan antara lain Peraturan Presiden tentang tarif EBT, RUU EBT hingga RUPTL 2021 - 2030.

"Peraturan Presiden ini akan atraktif untuk investor karena dalam regulasi ini kita sudah menyediakan kompensasi jika harga jual listrik lebih tinggi dari generation cost PLN," terang Chrisnawan.

Chrisnawan mengungkapkan, regulasi ini diharapkan akan diumumkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Climate Change Conference (COP26).


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
PLTS akan Jadi Tulang Punggung Pengembangan EBT

Energi dan Sumber Daya Mineral

Kementerian ESDM Kejar Pengoperasian Pembangkit EBT Sesuai Target

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 05 Maret 2022


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya pelaksanaan Commercial Operation Date (COD) pembangkit energi baru dan terbarukan bisa berjalan sesuai target yang ditetapkan. Pemerintah sudah menargetkan bauran energi terbarukan bisa mencapai 23 persen pada 2025.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memastikan target tersebut telah dimonitor bersama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

"Kami bersama dengan PLN memastikan bahwa titik-titik COD masih sesuai. Kami punya tim bersama untuk memantau ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022).

Ia menjelaskan, hingga akhir 2021, bauran energi terbarukan mencapai 11,5 persen dari total energi nasional. Artinya masih terdapat selisih 11,5 persen lagi yang harus dikejar pemerintah dalam 4 tahun mendatang.

Selama masa tersebut, Dadan bilang, PLN maupun swasta akan mengejar ketertinggalan 10 giga watt (GW) hingga 2025. Selanjutnya, dalam jangka 5 tahun atau 2030 ditargetkan bauran energi terbarukan mencapai 20,9 GW, sesuai dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021 - 2030.

Dia mengungkapkan, pencapaian target tersebut bertujuan mengantisipasi meningkatnya konsumsi listrik di masa mendatang. Dadan meyakini konsumsi listrik Indonesia perlahan akan mengalami lonjakan menyusul negara lain di Asia Tenggara.

"Konsumsi listrik kita masih rendah angkanya, seperti negara tetangga Malaysia misalnya tiga kali lipat dari kita. Ini adalah satu potensi ke depan, Indonesia masih akan tumbuh lebih cepat dan diperlukan listrik lebih banyak," jelas dia.

"Saya melihat oversuplay dari PLN ini sifatnya sementara, PLN pun saya kira melihat demikian, kita akan lewati waktu-waktu tersebut dan bertahap bagaiama EBT-nya bisa bertambah," lanjut Dadan.

Di sisi lain, salah satu fokus pemerintah dalam isu bauran energi adalah pemanfaatan potensi energi terbarukan sehingga bisa menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Keterlibatan swasta mendukung PLN juga dinilai penting sebagai bagian dari pencapaian target bauran EBT.

Tercatat pada 2021, pemerintah berhasil menambah 600 MW kapasitas pembangkit EBT, sedangkan di 2022 direncanakan akan ada sekitar 700 MW untuk masuk ke sistem PLN. Untuk itu, fokus pemanfaatan EBT diupayakan demi menekan emisi gas rumah kaca.

"Yang dicari adalah bagiamana turunkan GRK. Pencapaian hal ini mengenai sifat dari energi sama-sama tahu bahwa upayanya adalah dorong pemanfatan energi bersih," pungkasnya.


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
Kementerian ESDM Kejar Pengoperasian Pembangkit EBT Sesuai Target

Energi dan Sumber Daya Mineral

UB Ciptakan Alat Bertenaga Surya untuk Tingkatkan Produktivitas Bawang

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 05 Maret 2022


Bawang merah menjadi salah satu komoditas penting bagi masyarakat Indonesia.

Karena tingginya kebutuhan masyarakat terhadap bawang merah, petani di beberapa daerah banyak yang membudidayakannya.

Beberapa daerah penghasil bawang merah cukup besar di Indonesia seperti di Brebes, Garut, Demak, Malang dan Solok, Sumatera Barat.

Namun begitu, ada saatnya ketersediaan bawang merah dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan hingga harus mendatangkan bawang merah dari luar negeri.

Badan Pusat Statistik di tahun 2020 merilis data bahwa impor bawang merah Indonesia mencapai US$ 1,36. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 148,9 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar US$ 545 ribu. Hal ini tentunya menimbulkan keresahan petani bawang akan harga yang beredar di pasaran.
 

Growth Lamp Tenaga Surya

Salah satu permasalahan bawang terletak ada pada masa pertumbuhannya. Padahal pertumbuhan bawang menjadi nilai yang bisa membantu meningkatkan produktivitas.

Membantu menjembatani permasalahan ini, UB Tech, salah satu unit inovasi Universitas Brawijaya (UB) merilis growth lamp tenaga surya.

Menurut Direktur UB-Tech Eka Maulana, alat ini mampu meningkatkan produktivitas tanaman bawang merah pada malam hari.

Growth Lamp tenaga surya merupakan lampu pertumbuhan tanaman yang merupakan sistem pencahayaan buatan dihasilkan sumber lampu LED dari energi listrik.

Bisa Diterapkan di Beberapa Jenis Sayuran

Energi listrik pada alat ini dihasilkan oleh panel surya untuk diterapkan pada jenis tanaman berhari panjang (Long Day Plant).

Selain pada tanaman bawang, lampu ini juga dapat digunakan pada tanaman bawang putih, kentang, wortel, maupun jenis tanaman buah lainnya.

"Alat ini dapat digunakan di malam hari. Jadi produktivitasnya bisa terus berjalan, dan dapat digunakan 3 - 4 jam setelah matahari terbenam," jelas Eka Maulana seperti dikutip dari laman resmi Universitas Brawijaya, Rabu (26/1/2022).
 

Sudah Diaplikasikan di Daerah Boyolali

Dosen Fakultas Teknik ini menerangkan, lampu bertenaga surya ini telah digunakan oleh Kelompok Tani Argoayungtani, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Sebanyak 4 unit growth lamp telah dipasang di ketinggian 1564 meter di atas permukaan laut untuk membantu petani meningkatkan hasil dan kualitas bawang merah.

"Daerah ini membutuhkan sinar matahari tambahan waktu tambahan saat tidak ada sinar matahari di malam hari," ungkap Eka.

Inovasi dari Universitas Brawijaya ini juga mendapat apresiasi dari Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian pada saat mengunjungi lokasi kelompok tani Argoayungtani.


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
UB Ciptakan Alat Bertenaga Surya untuk Tingkatkan Produktivitas Bawang

Energi dan Sumber Daya Mineral

Biaya Investasinya Mahal, Pemerintah Bakal Selektif Pilih Pengembangan Energi Terbarukan

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 05 Maret 2022


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, investasi yang harus digelontorkan untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) terbilang mahal. Oleh sebab itu, pemerintah bakal selektif untuk mengembangkan energi hijau yang potensial.

Ia menjelaskan, dalam upaya pengembangan EBT tentu tak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tapi juga harus melibatkan BUMN dan swasta. Pemerintah pun bakal menggaet investor baik dalam dan luar negeri untuk mengembangkan energi hijau di Indonesia.

"Dalam pembiayaan energi, kami (pemerintah) harus menggunakan subsidi dan kompensasi, maka kami harus betul-betul memilih energi terbarukan yang paling kompetitif dan tentu harus meyakinkan investor tentang imbal hasil dari investasi yang dilakukan memang menarik," ungkap Arifin dalam dalam Mandiri Investment Forum 2022, Rabu (9/2/2022).

Ia bilang, pemerintah saat ini tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi payung hukum untuk menarik minat investor di sektor pembangkit energi terbarukan. Arifin mengatakan, pemerintah juga menyiapkan sejumlah insentif bagi para investor yang mau mengembangkan energi hijau.

"Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan Perpres terkait tarif energi terbarukan untuk dapat menarik minat para investor," kata dia.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam energi terbarukan mulai dari energi surya, air atau hidro, bioenergy, angin, panas bumi (geothermal), dan gelombang laut. Potensinya pun mencapai 3.686 giga watt (GW), sayangnya yang terpakai baru 0,3 persen.

Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan agar optimal sehingga Indonesia bisa mencapai target nol emisi atau net zero emission pada 2060 mendatang.

Arifin bilang, pemerintah menetapkan mulai 2030 penambahan pembangkit listrik hanya akan berasal dari energi terbarukan. Tujuannya, untuk mengurangi penggunaan energi fosil secara bertahap hingga akhirnya di setop.

Maka mulai 2030 tak ada lagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batu bara dan beralih ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.

Ia mengatakan, saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan menjadi fokus dalam pengembangan energi terbarukan. Hal ini karena sumber dayanya yang besar dan investasinya yang terbilang lebih murah ketimbang pembangkit energi terbarukan lainnya.

Tercatat potensi energi surya di Indonesia mencapai 3.295 GW yang pemanfaatannya saat ini baru mencapai 203,7 mega watt (MW).

"Potensi energi terbarukan yang kita miliki mencapai 3.686 GW dan memang sebagian besar didominasi oleh energi surya," kata dia.

Arifin menjelaskan, saat ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap, yang mengatur ketentuan ekspor-impor listrik antara pengguna PLTS atap dan PLN. Tujuannya untuk meningkatkkan minat masyarakat menggunakan PLTS atap.

"Aturan ini diterbitkan supaya bisa mendorong pemanfaatan energi hijau yang dapat mendukung adanya minat yang lebih tinggi dari pasar," pungkas Arifin.


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
Biaya Investasinya Mahal, Pemerintah Bakal Selektif Pilih Pengembangan Energi Terbarukan

Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan

Teknologi Tepat Guna

Dipublikasikan oleh Merlin Reineta pada 05 Maret 2022


Teknologi tepat guna adalah umumnya dikenal sebagai pilihan teknologi beserta aplikasinya yang mempunyai karakteristik terdesentralisasi, berskala relatif kecil, padat karya, hemat energi, dan terkait erat dengan kondisi lokal. Secara umum, dapat dikatakan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif seminimal mungkin dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan. Baik Schumacher maupun banyak pendukung teknologi tepat guna pada masa modern juga menekankan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang berbasiskan pada manusia penggunanya.

Teknologi tepat guna paling sering didiskusikan dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi dan sebagai sebuah alternatif dari proses transfer teknologi padat modal dari negara-negara industri maju ke negara-negara berkembang. Namun, gerakan teknologi tepat guna dapat ditemukan baik di negara maju dan negara berkembang. Di negara maju, gerakan teknologi tepat guna muncul menyusul krisis energi tahun 1970 dan berfokus terutama pada isu-isu lingkungan dan keberlanjutan (sustainability). Di samping itu, istilah teknologi tepat guna di negara maju memiliki arti yang berlainan, sering kali merujuk pada teknik atau rekayasa yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan lingkungan. Secara luas, istilah teknologi tepat guna biasanya diterapkan untuk menjelaskan teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan yang kurang berkembang di negara-negara industri maju. Seperti dijelaskan di atas, bentuk dari "teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya" daripada "padat modal". Pada pelaksanaannya, teknologi tepat guna sering kali dijelaskan sebagai penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu.

Latar belakang dan definisi

Proposal rancangan ruang kelas portabel lestari

Sejarah

Para Pendahulu

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin ideologis dari India, sering kali disebut sebagai yang mengawali adanya pendekatan teknologi tepat guna. Meski pada masa Gandhi konsep teknologi tepat guna belum diberi nama, Gandhi sudah mulai mengusahakan penggunaan teknologi sederhana berbasis kondisi lokal, dan sebagian besar berupa teknologi berbasis pedesaan untuk membantu desa-desa di India agar menjadi mandiri. Gandhi tidak setuju dengan ide mengenai teknologi yang menguntungkan hanya sebagian kecil orang dengan mengorbankan sebagian besar yang lain, termasuk penerapan teknologi yang menyebabkan banyak pengurangan tenaga kerja demi meningkatkan keuntungan (profit). Tahun 1925 Gandhi mendirikan the All-India Spinners Association dan pada tahun 1935 dia pensiun dari dunia politik untuk membentuk the All-India Village Industries Association. Kedua organisasi tersebut menempatkan fokusnya pada teknologi berbasis pedesaan yang mirip dengan gerakan teknologi tepat guna yang tumbuh pesat beberapa dekade setelah itu.

Pada masa pemerintahan Mao Zedong dan selanjutnya dalam Revolusi Kebudayaan, China juga menerapkan kebijakan yang mirip dengan konsep teknologi tepat guna. Pada masa Revolusi Kebudayaan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasar pada ide "berdiri di atas kaki sendiri" (walking on two legs) mendorong pembangunan baik pabrik-pabrik berskala besar maupun industri-industri berskala pedesaan.

E. F. Schumacher

Meskipun sudah banyak cerita mengenai contoh-contoh pendekatan yang ada sebelumnya, Dr. Ernst Friedrich "Fritz" Schumacher diakui sebagai pendiri dari gerakan teknologi tepat guna. Sebagai seorang ekonom terkenal, Schumacher sebelumnya bekerja pada the British National Coal Boardselama lebih dari 20 tahun, di mana dia menyalahkan ukuran operasi industri yang menjadi penyebab ketidakpedulian industri dalam merespon penyakit paru-paru hitam yang diderita oleh banyak penambang (Coalworker's pneumoconiosis). Namun sebenarnya, pekerjaan Schumacher dengan beberapa negara berkembang seperti India dan Burma sangat membantu dia dalam membentuk prinsip-prinsip teknologi tepat guna.

Pertama kali Schumacher mengartikulasikan idenya sebagai "intermediate technology," bukan "appropriate technology," dalam sebuah laporannya pada tahun 1962 kepada Komisi Perencanaan India (Indian Planning Commission) di mana dia mendeskripsikan India sebagai sebuah negara yang berlimpah tenaga kerja namun kekurangan modal, sehingga dia menyerukan sebuah teknologi-antara untuk industri (intermediate industrial technology) yang memanfaatkan surplus tenaga kerja di India. Schumacher telah mengembangkan ide dari teknologi-antara selama beberapa tahun sebelum laporannya pada Komite tersebut. Pada tahun 1955, setelah bertugas sebagai seorang penasihat ekonomi bagi pemerintah Burma, dia mempublikasikan sebuah artikel ilmiah pendek berjudul "Economics in a Buddhist Country," yang dikenal sebagai kritiknya yang pertama terhadap efek dari pengaruh ekonomi Barat pada negara-negara berkembang. Disamping Buddhaisme, Schumacher juga memberi penghargaan pada Gandhi dalam ide-idenya.

Terminologi

Secara umum istilah teknologi tepat guna digunakan di dalam dua wilayah: memanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah pengembangan, dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju. Konsep teknologi tepat guna sendiri sering berfungsi sebagai payung bagi berbagai macam nama dari tipe teknologi yang sejenis. Seringkali istilah-istilah tersebut juga digunakan secara bergantian. Namun, penggunaan dari sebuah istilah ketimbang istilah lainnya bisa menunjukkan fokus yang lebih spesifik, bias maupun tujuan dari sebuah pilihan teknologi. Walaupun nama asli dari konsep yang sekarang dikenal sebagai teknologi tepat guna, "teknologi-antara" (intermediate technology) sekarang sering dianggap sebagai bagian dari teknologi tepat guna itu sendiri, dengan fokus yang lebih condong pada tipe teknologi yang lebih produktif dibanding teknologi-teknologi tradisional namun lebih terjangkau jika dibandingkan dengan teknologi untuk masyarakat industri. Tipe-tipe teknologi lain yang berada di bawah payung teknologi tepat guna adalah:

  • Capital-saving technology
  • Labor-intensive technology
  • Alternate technology
  • Self-help technology
  • Village-level technology
  • Community technology
  • Progressive technology
  • Indigenous technology
  • People’s technology
  • Light-engineering technology
  • Adaptive technology
  • Light-capital technology
  • Soft technology

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Teknologi Tepat Guna
« First Previous page 755 of 773 Next Last »