Keselamatan Kebakaran

Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Dalam dunia industri, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek krusial yang bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran. PT. Putra Perkasa Abadi, perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, menyadari pentingnya memiliki Emergency Response Plan (ERP) yang efektif guna melindungi karyawan serta aset perusahaan dari bencana kebakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan ERP dan menentukan lokasi serta jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang optimal di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi. Metode yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif, dengan pendekatan identifikasi fire hazard, perencanaan jalur evakuasi, dan optimasi pemasangan APAR menggunakan metode set covering.

Penelitian ini melibatkan tiga tahap utama:

  1. Identifikasi Bahaya Kebakaran
    • Mengumpulkan data mengenai dimensi bangunan, fungsi setiap ruangan, dan potensi bahaya kebakaran (fire hazard).
    • Menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04 Tahun 1980 dan SNI 03-6574-2001 untuk evaluasi proteksi kebakaran.
  2. Perencanaan Jalur Evakuasi dan Meeting Point
    • Menentukan jalur evakuasi dengan minimal dua alternatif rute per lantai.
    • Menetapkan titik kumpul (muster point) yang aman dari risiko gedung runtuh.
  3. Optimasi Pemasangan APAR
    • Menentukan lokasi strategis pemasangan APAR menggunakan metode set covering untuk menjaga efisiensi jumlah APAR tanpa mengorbankan cakupan proteksi kebakaran.
    • Menentukan jenis APAR yang sesuai dengan klasifikasi kebakaran di gedung kantor.

Penelitian mengidentifikasi berbagai sumber kebakaran di dalam gedung, antara lain:

  • Peralatan elektronik (komputer, printer, AC) yang berpotensi mengalami korsleting.
  • Material mudah terbakar seperti meja, kursi, dan dokumen kertas.
  • Dapur/pantry yang memiliki risiko kebakaran akibat peralatan pemanas dan gas.

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kantor umumnya berkaitan dengan korsleting listrik, yang merupakan penyebab utama 80% kebakaran gedung di Indonesia berdasarkan data Kementerian PUPR.

Evaluasi Jalur Evakuasi

  • Gedung memiliki dua akses utama, tetapi beberapa koridor masih dianggap terlalu sempit untuk evakuasi massal.
  • Jarak maksimal evakuasi harus berada dalam batas 61 meter, sesuai standar NFPA 101 Life Safety Code.
  • Tanda evakuasi dan petunjuk arah belum sepenuhnya jelas, menyebabkan potensi kebingungan saat terjadi kebakaran.

Optimasi Pemasangan APAR

Jenis APAR yang digunakan di gedung ini adalah:

  • 1 unit APAR CO₂, digunakan untuk perlindungan terhadap kebakaran akibat perangkat elektronik.
  • 7 unit APAR Multi-Purpose Powder, yang efektif dalam memadamkan kebakaran kelas A (benda padat), kelas B (cairan mudah terbakar), dan kelas C (peralatan listrik).

Lokasi pemasangan APAR ditentukan berdasarkan:

  • Aksesibilitas: Harus mudah dijangkau dari setiap ruangan.
  • Jarak maksimal: Setiap APAR harus bisa meng-cover radius 15 meter.
  • Potensi bahaya: Ruang server dan pantry mendapat prioritas pemasangan APAR tambahan.

Metode set covering digunakan untuk mengoptimalkan lokasi pemasangan APAR, sehingga jumlah alat yang digunakan tetap efisien tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal.

Komunikasi Darurat

Untuk memastikan respons cepat dalam situasi kebakaran, setiap ruangan akan dilengkapi dengan:

  • Papan informasi darurat yang mencantumkan nomor darurat dan channel radio emergency.
  • SOP keadaan darurat yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran di Indonesia, termasuk:

1. Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta (2021)

  • Penyebab: Korsleting listrik di ruang server.
  • Dampak: 2 orang meninggal akibat terjebak di dalam ruangan tanpa ventilasi.
  • Evaluasi: Kurangnya sistem deteksi asap dan sprinkler menyebabkan keterlambatan respons pemadaman.

2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara Jakarta (2020)

  • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
  • Dampak: Kerugian materiil miliaran rupiah karena dokumen penting terbakar.
  • Evaluasi: Sistem alarm tidak aktif secara otomatis, memperlambat evakuasi.

Dari studi kasus ini, terlihat bahwa kurangnya perencanaan ERP yang baik serta sistem deteksi kebakaran yang tidak optimal dapat memperburuk dampak kebakaran.

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Melakukan simulasi kebakaran setiap enam bulan sekali.
  • Melatih karyawan dalam penggunaan APAR dengan benar.
  • Membentuk tim tanggap darurat internal yang siap siaga dalam situasi kebakaran.

2. Optimalisasi Jalur Evakuasi dan Meeting Point

  • Menyediakan tanda jalur evakuasi yang lebih besar dan jelas.
  • Memastikan semua jalur evakuasi tidak terhalang oleh perabotan atau sekat ruangan.
  • Menambah jumlah meeting point untuk menghindari kepadatan saat evakuasi.

3. Peningkatan Sistem Proteksi Kebakaran

  • Menambahkan sprinkler di setiap lantai untuk deteksi dan pemadaman dini.
  • Memasang detektor asap di semua ruangan dengan risiko tinggi.
  • Meningkatkan jumlah dan kualitas APAR, serta memastikan pengecekan rutin.

4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi Keselamatan

  • Mengintegrasikan sistem alarm kebakaran dengan perangkat IoT untuk deteksi dini.
  • Menggunakan aplikasi mobile untuk memberikan instruksi evakuasi dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan penentuan lokasi APAR di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi masih perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat Meningkatkan efektivitas evakuasi dalam keadaan darurat. Meminimalkan risiko korban jiwa dan kerusakan materiil akibat kebakaran. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja yang berlaku. Implementasi yang lebih baik dari sistem ERP dan optimasi proteksi kebakaran akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman kebakaran.

 

Sumber Asli Paper

Apgani, M. J. A., Fachruzzaki, & Lestari, R. (2023). Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) pada Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi. Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan, 4(2), 113-120.

Selengkapnya
Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Keselamatan Kebakaran

Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Kebakaran di gedung tinggi merupakan salah satu risiko terbesar dalam dunia konstruksi dan perkantoran. Tanpa sistem manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Management/FSM) yang baik, insiden kebakaran dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, korban jiwa, serta gangguan operasional. Studi ini mengevaluasi penerapan FSM di Grand Slipi Tower, Jakarta, sebuah gedung perkantoran 40 lantai dengan luas 79.492,32 m². Evaluasi dilakukan berdasarkan Human System (faktor manusia), Equipment System (sistem peralatan proteksi kebakaran), dan SOP (prosedur operasional baku) serta kepatuhannya terhadap regulasi teknis proteksi kebakaran di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik survei kuesioner yang dibagikan kepada 55 responden dari total 122 staf pengelola gedung.

Tiga variabel utama yang diteliti adalah:

  1. Human System 
  2. Equipment System 
  3. SOP (Standard Operating Procedure) 

Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana dan uji statistik t-test dan F-test untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran. Berdasarkan hasil analisis, faktor manusia (Human System) memiliki pengaruh sebesar 71,3% terhadap kepatuhan standar kebakaran.

Beberapa temuan penting terkait faktor manusia adalah:

  • Kurangnya pelatihan kebakaran rutin, yang menyebabkan sebagian staf tidak mengetahui langkah-langkah darurat dengan baik.
  • Minimnya kesadaran akan penggunaan alat pemadam api.
  • Tidak adanya tim tanggap darurat yang terlatih secara profesional.

Sistem proteksi kebakaran yang digunakan di gedung ini mencakup fire alarm, alat pemadam api ringan (APAR), sprinkler, dan hydrant. Namun, penelitian menemukan bahwa tingkat efektivitas sistem peralatan hanya mencapai 64,8% dari standar ideal. Beberapa masalah yang ditemukan adalah:

  • Beberapa alat pemadam api tidak diperiksa secara berkala.
  • Sistem deteksi kebakaran belum terintegrasi dengan sistem evakuasi gedung.
  • Beberapa sprinkler tidak berfungsi dengan baik.

Beberapa kendala dalam penerapan SOP antara lain:

  • Tidak semua karyawan mengetahui jalur evakuasi.
  • Dokumentasi SOP tidak tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf.
  • Kurangnya latihan evakuasi kebakaran secara berkala.

Ketika ketiga variabel (Human System, Equipment System, dan SOP) dikombinasikan, pengaruhnya terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran mencapai 83,1%. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan kebakaran tidak hanya bergantung pada satu aspek saja, tetapi harus melibatkan sumber daya manusia, peralatan yang memadai, serta SOP yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran di Jakarta yang terjadi akibat kurangnya penerapan FSM, antara lain:

  1. Kebakaran Wisma Kosgoro (2015)
    • Penyebab: Korsleting listrik di lantai 16.
    • Dampak: Api menyebar ke 5 lantai lainnya karena tidak ada sprinkler yang berfungsi dengan baik.
    • Evaluasi: Sistem alarm berfungsi, tetapi proses evakuasi terganggu karena minimnya latihan kebakaran sebelumnya.
  2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara (2020)
    • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
    • Dampak: Data penting terbakar, kerugian mencapai miliaran rupiah.
    • Evaluasi: Sistem deteksi asap tidak dapat mengaktifkan alarm secara otomatis, menyebabkan keterlambatan respons.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa tanpa FSM yang baik, kebakaran bisa menyebabkan kerugian besar dan menghambat operasional perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di Grand Slipi Tower dan gedung perkantoran lainnya adalah:

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Pelatihan keselamatan kebakaran harus dilakukan setiap 6 bulan.
  • Simulasi evakuasi harus dilakukan secara berkala dengan keterlibatan seluruh karyawan.
  • Setiap lantai harus memiliki petugas keamanan khusus yang dilatih sebagai tim tanggap darurat kebakaran.

2. Optimalisasi Sistem Proteksi Kebakaran

  • Seluruh peralatan pemadam api harus diuji setiap 3 bulan.
  • Memastikan semua sprinkler berfungsi dengan baik dan diperiksa oleh tim teknis.
  • Mengintegrasikan alarm kebakaran dengan sistem evakuasi otomatis untuk mempercepat respons darurat.

3. Penyesuaian SOP dengan Standar Internasional

  • Dokumentasi SOP harus tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf, termasuk dalam bentuk digital.
  • Petunjuk jalur evakuasi harus diperjelas dengan tanda-tanda yang lebih besar dan mudah terlihat.
  • Tim keselamatan gedung harus melakukan audit berkala terhadap penerapan SOP.

Studi ini menegaskan bahwa Fire Safety Management (FSM) di Grand Slipi Tower masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pelatihan karyawan, sistem peralatan proteksi kebakaran, dan penerapan SOP.

Dengan menerapkan strategi perbaikan yang telah direkomendasikan, gedung ini dapat:
✔ Meningkatkan kesiapan dalam menghadapi kebakaran.
✔ Meminimalkan potensi korban jiwa dan kerugian finansial.
✔ Mematuhi standar keselamatan kebakaran yang berlaku.

Implementasi FSM yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan keselamatan penghuni gedung, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional bisnis dalam jangka panjang.

Sumber 

Effendie, M. I. N. (2017). Penerapan Fire Safety Management pada Bangunan Gedung Grand Slipi Tower Dikaitkan dengan Pemenuhan Peraturan dan Standar Teknis Proteksi Kebakaran. Jurnal Media Teknik & Sistem Industri, 1(1), 66-71.

Selengkapnya
Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Keselamatan Kebakaran

Meningkatkan Respons Darurat Kebakaran: Perspektif Pemadam Kebakaran di Rawalpindi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Kebakaran di bangunan bertingkat tinggi menjadi tantangan besar bagi petugas pemadam kebakaran di banyak kota, termasuk Rawalpindi, Pakistan. Salah satu insiden kebakaran paling tragis terjadi di Ghakkar Plaza, Rawalpindi, pada 2008, yang menewaskan 13 petugas pemadam kebakaran. Kejadian ini menyoroti berbagai kelemahan dalam sistem tanggap darurat kebakaran, seperti kurangnya koordinasi, keterbatasan sumber daya, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan keselamatan gedung.

Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan pemadam kebakaran mengenai cara meningkatkan respons darurat kebakaran di bangunan tinggi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini melibatkan 25 petugas pemadam kebakaran dari lima stasiun penyelamatan di Rawalpindi serta dua diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan 10 peserta.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dan diskusi kelompok terfokus untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi respons darurat kebakaran. Terdapat empat aspek utama yang diteliti:

  1. Keterbatasan sumber daya dalam operasi pemadaman kebakaran.
  2. Koordinasi antar-lembaga, termasuk kepolisian dan dinas lalu lintas.
  3. Tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan gedung.
  4. Keterampilan dan pelatihan pemadam kebakaran.

Berdasarkan wawancara, 95% responden menyatakan bahwa kurangnya peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran menjadi tantangan utama dalam operasi pemadaman kebakaran di bangunan tinggi.

  • Rawalpindi hanya memiliki sedikit unit mobil tangga (aerial ladder truck), yang membuat sulit bagi petugas untuk menjangkau lantai atas bangunan yang lebih tinggi dari 38 kaki.
  • Persediaan air tidak selalu tersedia di lokasi kebakaran, yang mengakibatkan keterlambatan dalam operasi pemadaman.
  • Jumlah alat pelindung diri (APD) seperti Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA) masih terbatas, sehingga menyulitkan petugas dalam menangani kebakaran di ruang tertutup dengan asap tebal.

Sebanyak 90% responden melaporkan bahwa kurangnya koordinasi dengan dinas lalu lintas dan kepolisian menghambat respons kebakaran.

  • Kemacetan lalu lintas sering memperlambat kedatangan tim pemadam kebakaran ke lokasi kejadian, terutama di kawasan pasar yang padat seperti Raja Bazaar.
  • Ketiadaan sistem komando insiden (Incident Command System/ICS) menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dalam menangani kebakaran besar.
  • Koordinasi dengan perusahaan listrik (WAPDA) dan gas (Sui Gas) sering terlambat, sehingga aliran listrik dan gas tidak segera diputus di lokasi kebakaran.

Menurut 95% responden, banyak bangunan di Rawalpindi yang tidak mematuhi peraturan keselamatan kebakaran.

  • Kurangnya jalur evakuasi yang memadai di gedung-gedung tinggi menyebabkan banyak korban jiwa dalam kebakaran besar.
  • Hanya sedikit bangunan yang memiliki sistem pemadam kebakaran otomatis, seperti sprinklers dan alarm asap.
  • Inspeksi keselamatan kebakaran oleh otoritas setempat jarang dilakukan, sehingga banyak bangunan yang tetap beroperasi meskipun tidak memenuhi standar keselamatan.

Meskipun sebagian besar petugas telah mendapatkan pelatihan dasar, 70% responden menyatakan bahwa mereka membutuhkan pelatihan lanjutan dalam menangani kebakaran gedung tinggi.

  • Kurangnya latihan bersama antar-instansi menyebabkan kurangnya kesiapan dalam skenario kebakaran berskala besar.
  • Sebagian besar petugas hanya menerima pelatihan dasar dalam menggunakan peralatan penyelamatan dari ketinggian.

Salah satu insiden kebakaran paling tragis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kebakaran di Ghakkar Plaza pada 20 Desember 2008.

  • 13 petugas pemadam kebakaran tewas setelah bangunan runtuh akibat kebakaran hebat.
  • Keterlambatan dalam pemutusan listrik dan gas menyebabkan api menyebar lebih cepat.
  • Tidak adanya jalur evakuasi yang memadai membuat penghuni gedung terperangkap dalam asap tebal.
  • Tim pemadam kebakaran tidak memiliki peta bangunan, sehingga mereka kesulitan menemukan jalur masuk dan keluar dengan aman.

Insiden ini menunjukkan pentingnya implementasi sistem keselamatan kebakaran yang lebih ketat, termasuk inspeksi rutin terhadap gedung bertingkat tinggi dan peningkatan kapasitas tim pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa langkah dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas respons kebakaran di Rawalpindi:

1. Peningkatan Infrastruktur dan Peralatan Pemadam Kebakaran

  • Menambah jumlah mobil tangga (aerial ladder truck) untuk menangani kebakaran di bangunan tinggi.
  • Membangun lebih banyak tangki air cadangan di lokasi strategis untuk mempercepat respons pemadaman.
  • Menambah jumlah alat pelindung diri (APD) seperti SCBA agar petugas dapat bekerja lebih lama dalam kondisi berasap tebal.

2. Meningkatkan Koordinasi Antar-Instansi

  • Membentuk sistem komando insiden (ICS) untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam keadaan darurat.
  • Melakukan latihan gabungan secara berkala antara pemadam kebakaran, kepolisian, dan dinas lalu lintas untuk meningkatkan koordinasi dalam situasi darurat.
  • Memastikan pemadaman listrik dan gas dilakukan segera setelah kebakaran dilaporkan.

3. Memperketat Standar Keselamatan Gedung

  • Mengharuskan semua bangunan tinggi memiliki jalur evakuasi yang jelas dan berfungsi.
  • Mewajibkan pemasangan sistem pemadam kebakaran otomatis, seperti sprinkler dan alarm asap di semua gedung tinggi.
  • Melakukan inspeksi keselamatan kebakaran secara berkala dan memberikan sanksi tegas bagi pemilik gedung yang tidak mematuhi regulasi.

4. Peningkatan Kapasitas dan Pelatihan Pemadam Kebakaran

  • Melakukan pelatihan khusus dalam menangani kebakaran gedung tinggi secara berkala.
  • Mengembangkan program pelatihan bersama dengan negara lain yang memiliki pengalaman lebih dalam respons kebakaran di bangunan tinggi.
  • Menggunakan teknologi simulasi untuk latihan pemadaman kebakaran, sehingga petugas dapat berlatih dalam skenario realistis tanpa risiko cedera.

Studi ini menegaskan bahwa respons pemadam kebakaran di Rawalpindi masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam aspek sumber daya, koordinasi antar-lembaga, dan kepatuhan terhadap standar keselamatan gedung. Dengan meningkatkan infrastruktur, memperkuat koordinasi, serta menerapkan regulasi yang lebih ketat, keselamatan publik dalam kebakaran bangunan tinggi dapat ditingkatkan secara signifikan.

Sumber

Akhter, S. (2014). Firefighters’ View on Improving Fire Emergency Response: A Case Study of Rawalpindi. International Journal of Humanities and Social Science, 4(7), 143-149.

Selengkapnya
Meningkatkan Respons Darurat Kebakaran: Perspektif Pemadam Kebakaran di Rawalpindi

Keselamatan Kerja

Manajemen Bencana dan Rencana Darurat di Tempat Kerja: Analisis Risiko dan Implementasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Bencana dan keadaan darurat dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk di tempat kerja. Kejadian seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, ledakan bahan kimia, hingga insiden radiologi dapat mengganggu operasional bisnis, menyebabkan kerugian material, serta membahayakan keselamatan pekerja. Oleh karena itu, setiap perusahaan wajib memiliki rencana darurat yang komprehensif untuk memitigasi risiko bencana dan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Penelitian yang dilakukan oleh Murat Can Duruel dan Ahmet Çelebi bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan rencana bencana dan keadaan darurat yang efektif di tempat kerja. Studi ini mengadopsi metode analisis dokumen dan menerapkan rencana darurat pada sebuah pabrik produksi alat tulis di Kocaeli, Turki.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap utama:

  1. Analisis dokumen:
    • Mengkaji peraturan dan panduan nasional maupun internasional tentang manajemen bencana di tempat kerja.
    • Membandingkan berbagai pendekatan dalam penyusunan rencana tanggap darurat.
  2. Implementasi rencana darurat:
    • Rencana ini diterapkan di pabrik alat tulis di Kocaeli, mencakup identifikasi bahaya, analisis risiko, pengembangan strategi mitigasi, serta pelaksanaan prosedur evakuasi.
    • Evaluasi terhadap efektivitas rencana dilakukan melalui pelatihan dan simulasi bencana.

Empat tahap utama dalam pembuatan rencana bencana di tempat kerja:

1. Pembentukan Tim Perencana

Tim perencana terdiri dari berbagai pihak yang memiliki tanggung jawab dalam keselamatan kerja, termasuk:

  • Direktur operasional pabrik: Bertindak sebagai koordinator utama.
  • Spesialis keselamatan dan kesehatan kerja (K3): Memastikan semua langkah mitigasi sesuai regulasi.
  • Dokter perusahaan dan tenaga medis: Bertanggung jawab atas pertolongan pertama dalam keadaan darurat.
  • Manajer fasilitas: Memastikan infrastruktur pabrik sesuai dengan standar keselamatan.
  • Perwakilan karyawan: Memastikan keterlibatan pekerja dalam proses perencanaan.

Tim ini bertanggung jawab dalam mengidentifikasi potensi risiko, mengembangkan prosedur tanggap darurat, serta menyusun rencana komunikasi dan evakuasi.

2. Identifikasi Bahaya dan Analisis Risiko

Bahaya yang diidentifikasi dalam studi ini meliputi:

  • Bencana alam: Gempa bumi, banjir, badai, dan longsor.
  • Kecelakaan industri: Kebakaran, ledakan, tumpahan bahan kimia, dan kebocoran gas.
  • Keadaan darurat spesifik industri: Gangguan sistem pendingin, kegagalan mesin produksi, dan bahaya listrik.

Studi ini menggunakan matriks risiko tipe L untuk mengevaluasi tingkat risiko berdasarkan dua faktor utama:

  1. Probabilitas kejadian – seberapa besar kemungkinan insiden terjadi.
  2. Dampak kejadian – tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan jika insiden terjadi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebakaran dan paparan bahan kimia merupakan ancaman paling signifikan bagi pabrik tersebut.

3. Pengembangan dan Implementasi Rencana Darurat

Berdasarkan hasil analisis risiko, studi ini menyusun strategi mitigasi dan respons terhadap keadaan darurat, yang mencakup:

A. Tindakan Pencegahan dan Mitigasi

  • Memasang sistem deteksi asap dan kebakaran otomatis di semua area produksi.
  • Melakukan inspeksi rutin terhadap peralatan listrik dan bahan mudah terbakar.
  • Meningkatkan sistem ventilasi untuk mencegah akumulasi gas beracun.
  • Menerapkan prosedur penyimpanan bahan kimia yang lebih ketat.

B. Prosedur Evakuasi dan Komunikasi Darurat

  • Membuat jalur evakuasi yang jelas dan mudah diakses.
  • Menyiapkan titik kumpul (muster points) di luar area pabrik.
  • Melatih pekerja dalam prosedur evakuasi darurat.
  • Memastikan seluruh pekerja mengetahui sistem alarm dan prosedur komunikasi saat bencana terjadi.

C. Pembentukan Tim Tanggap Darurat

Tim tanggap darurat terdiri dari:

  • Komandan tanggap darurat – bertanggung jawab atas koordinasi keseluruhan.
  • Tim pemadam kebakaran internal – menangani api kecil sebelum petugas pemadam kebakaran tiba.
  • Tim medis darurat – memberikan pertolongan pertama kepada korban.
  • Tim evakuasi – memastikan pekerja keluar dari gedung dengan aman.

4. Evaluasi dan Simulasi

Studi ini menekankan pentingnya pengujian rencana darurat melalui simulasi berkala. Dalam pabrik yang menjadi studi kasus:

  • Pelatihan evakuasi dilakukan setiap 6 bulan sekali untuk meningkatkan kesiapan pekerja.
  • Simulasi kebakaran dan gempa bumi telah dilakukan, dengan waktu evakuasi rata-rata 3 menit 45 detik, lebih cepat dibanding standar 5 menit dalam regulasi keselamatan industri.
  • Evaluasi pasca-simulasi menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja sudah memahami jalur evakuasi, meskipun masih ada kekurangan dalam komunikasi saat keadaan darurat.

Pada 15 Januari 2023, terjadi kebakaran di salah satu gudang penyimpanan bahan baku.

  • Sumber kebakaran: Korsleting listrik yang menyebabkan percikan api di dekat bahan mudah terbakar.
  • Waktu respons: Alarm kebakaran berbunyi dalam 12 detik setelah detektor mendeteksi asap.
  • Evakuasi: Seluruh pekerja berhasil keluar dalam 3 menit 50 detik.
  • Kerugian: Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian material mencapai $120.000.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa rencana tanggap darurat yang diterapkan berhasil mencegah kebakaran menjadi lebih besar dan menyelamatkan pekerja. Namun, perlu ada perbaikan dalam sistem komunikasi untuk memastikan seluruh karyawan menerima informasi secara lebih cepat. Penelitian ini menegaskan bahwa rencana bencana dan keadaan darurat yang efektif dapat mengurangi dampak insiden serta meningkatkan keselamatan pekerja. Beberapa rekomendasi utama dari studi ini meliputi:

  1. Memperbaiki sistem komunikasi darurat untuk mempercepat penyebaran informasi saat terjadi insiden.
  2. Meningkatkan pelatihan dan simulasi bencana agar pekerja lebih terbiasa dengan prosedur evakuasi.
  3. Menggunakan teknologi berbasis IoT untuk deteksi dini kebakaran dan kebocoran gas.
  4. Melakukan audit keselamatan secara berkala untuk memastikan kesiapan fasilitas dalam menghadapi keadaan darurat.

Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat meningkatkan ketahanan terhadap bencana, melindungi aset, serta memastikan keselamatan pekerja dalam jangka panjang.

Sumber 

Duruel, M. C., & Çelebi, A. (2023). Workplace Disaster and Emergency Plans, Risk Analysis and Implementation. Resilience Journal, 7(2), 357-373.

Selengkapnya
Manajemen Bencana dan Rencana Darurat di Tempat Kerja: Analisis Risiko dan Implementasi

Industri Energi

Evaluasi Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di PT. X: Studi Kasus di Sektor Energi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Industri energi, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), memiliki risiko tinggi terhadap kebakaran akibat penggunaan bahan bakar, panas berlebih, dan oksigen dalam jumlah besar. Jika tidak ditangani dengan sistem keselamatan yang optimal, kebakaran dapat mengancam keselamatan pekerja, merusak aset, serta mengganggu operasional perusahaan. Penelitian ini mengevaluasi efektivitas sistem tanggap darurat kebakaran di PT. X, sebuah perusahaan Independent Power Producer (IPP) PLTU berkapasitas 2 x 50 MW. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan sistem proteksi kebakaran yang diterapkan dengan standar nasional dan internasional untuk menentukan tingkat kesesuaiannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi kualitatif dengan teknik purposive sampling, melibatkan empat informan utama, yaitu:

  1. Staf K3, yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja.
  2. Tim tanggap darurat, yang menangani respons kebakaran.
  3. Karyawan umum, yang bekerja di area produksi.
  4. Petugas keamanan, yang berperan dalam evakuasi.

Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan analisis dokumen kebakaran, kemudian dibandingkan dengan regulasi nasional, termasuk:

  • Permenaker No.04/Men/1980 tentang alat pemadam api ringan (APAR).
  • Permenaker No.02/Men/1983 tentang sistem deteksi kebakaran.
  • Permen PU RI No.26/PRT/M/2008 tentang sistem proteksi kebakaran bangunan.
  • SNI 03-3989-2000, standar pemasangan sprinkler.

Rata-rata tingkat kesesuaian manajemen proteksi kebakaran di PT. X terhadap standar adalah 83,3%, yang termasuk dalam kategori "Baik" menurut standar Badan Litbang PU Departemen Pekerjaan Umum (2005).

  • Prosedur tanggap darurat kebakaran telah tersedia dalam bentuk SOP yang mencakup tindakan darurat dan daftar kontak penting.
  • Pelatihan kebakaran dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kesiapan karyawan dalam menghadapi situasi darurat.
  • Audit keselamatan dilakukan setiap enam bulan sekali, serta inspeksi menyeluruh setiap lima tahun.

Namun, masih terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi prosedur operasional, terutama dalam koordinasi antar-divisi saat terjadi kebakaran.

Proteksi aktif melibatkan alat dan teknologi yang langsung berfungsi saat kebakaran terjadi. Evaluasi menunjukkan tingkat kesesuaian 85,5%, mencakup:

  • Alarm kebakaran (85,7%), telah dipasang di lokasi strategis namun belum memiliki gambar instalasi lengkap.
  • Detektor asap dan panas (100%), telah dipasang di seluruh area dengan jarak optimal sesuai standar.
  • Sprinkler (72,7%), hanya tersedia di area konveyor, namun tidak semua ruangan memiliki sprinkler otomatis.
  • Alat Pemadam Api Ringan (APAR) (80%), tersedia di setiap pintu masuk dan keluar, namun beberapa pemasangan tidak sesuai standar tinggi ideal 1,25 meter dari lantai.
  • Hidran (88,9%), tersedia di area produksi dan jalur akses mobil pemadam kebakaran, tetapi belum memiliki petunjuk penggunaan yang jelas.

Kelemahan utama dalam sistem proteksi aktif adalah kurangnya alat pemadam otomatis di beberapa titik kritis. Proteksi pasif meliputi jalur evakuasi, pintu darurat, tangga darurat, dan tempat berkumpul. Evaluasi menunjukkan tingkat kesesuaian 80%, dengan rincian:

  • Jalur evakuasi (70%), tersedia di setiap koridor dengan tanda penunjuk arah, tetapi ukuran huruf tidak cukup besar untuk terlihat dari jarak jauh.
  • Pintu darurat (83,3%), berfungsi baik namun sebagian masih menggunakan sistem kunci manual, yang dapat memperlambat evakuasi.
  • Tangga darurat (66,7%), tidak memiliki tanda pengenal khusus, seperti informasi tingkat lantai.
  • Tempat berkumpul (100%), sudah tersedia dan memiliki tanda "Muster Point" yang jelas.

Peningkatan diperlukan terutama dalam penandaan jalur evakuasi dan penyediaan tangga darurat yang lebih sesuai dengan standar kebakaran. Pada 17 November 2022 pukul 08.45 WITA, terjadi kebakaran di area Laydown Project akibat kesalahan operasional saat pemotongan besi.

  • Karyawan vendor segera melaporkan insiden ke tim tanggap darurat, yang berhasil memadamkan api dengan APAR sebelum kebakaran meluas.
  • Analisis menunjukkan bahwa titik api berasal dari percikan panas yang mengenai material mudah terbakar.

Insiden ini menunjukkan bahwa sistem respons kebakaran cukup efektif, tetapi pencegahan masih perlu ditingkatkan, terutama dalam:

  • Pelatihan penggunaan alat las dan pemotongan logam yang lebih aman.
  • Peningkatan inspeksi material mudah terbakar di sekitar area kerja.

Rekomendasi untuk Peningkatan Keselamatan Kebakaran

1. Optimalisasi Sistem Proteksi Aktif

  • Memasang sprinkler otomatis di seluruh ruangan, bukan hanya di area konveyor.
  • Menyesuaikan pemasangan APAR dengan standar tinggi ideal 1,25 meter untuk memudahkan akses.
  • Menambahkan sistem deteksi kebakaran berbasis IoT, yang dapat memberikan peringatan dini dan memantau perubahan suhu secara real-time.

2. Peningkatan Sistem Proteksi Pasif

  • Meningkatkan ukuran huruf tanda jalur evakuasi agar dapat terlihat dari jarak jauh.
  • Menggunakan pintu darurat dengan sistem push-bar otomatis agar lebih mudah digunakan saat evakuasi.
  • Menambahkan tanda pengenal di tangga darurat, termasuk nomor lantai untuk membantu navigasi saat evakuasi.

3. Peningkatan Pelatihan dan Simulasi Kebakaran

  • Melakukan pelatihan kebakaran setidaknya dua kali dalam setahun untuk meningkatkan kesiapan karyawan.
  • Mensimulasikan berbagai skenario kebakaran, termasuk insiden pada malam hari dan saat kondisi operasional penuh.
  • Mewajibkan vendor dan kontraktor untuk mengikuti pelatihan keselamatan kebakaran sebelum bekerja di area berisiko tinggi.

Evaluasi sistem tanggap darurat kebakaran di PT. X menunjukkan tingkat kesesuaian 82,9%, yang dikategorikan sebagai "Baik". Meskipun sudah memenuhi sebagian besar standar keselamatan, masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam proteksi aktif dan jalur evakuasi. Penerapan rekomendasi ini dapat meningkatkan efektivitas sistem tanggap darurat, mengurangi risiko kebakaran, serta meningkatkan keselamatan pekerja dan infrastruktur perusahaan.

Sumber

Hafifah, N., Pratiwi, A. D., & Dewi, S. T. (2024). Analisis Penerapan Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di PT. X. Jurnal Kesehatan dan Keselamatan Kerja Universitas Halu Oleo, 5(1), 30-39.

Selengkapnya
Evaluasi Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di PT. X: Studi Kasus di Sektor Energi

Reliability Block Diagram

Evaluasi Keandalan High Integrity Pressure Protection System (HIPPS) dengan Metode Kuantitatif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 14 Maret 2025


Pendahuluan
Industri minyak dan gas menghadapi tantangan besar dalam menjaga keamanan operasional di tengah kondisi lingkungan yang ekstrem. Salah satu sistem keselamatan utama dalam industri ini adalah High Integrity Pressure Protection System (HIPPS), yang berfungsi mencegah tekanan berlebih pada pipa dan peralatan produksi guna menghindari risiko ledakan atau kebocoran.

Penelitian yang dilakukan oleh Jacob Glæsner di Aalborg University Esbjerg berfokus pada evaluasi kuantitatif keandalan HIPPS pada Svend oil & gas platform. Studi ini membandingkan tiga metode analisis utama, yaitu Reliability Block Diagram (RBD), Fault Tree Analysis (FTA), dan Markov Modelling, untuk menentukan metode paling efektif dalam menilai keandalan HIPPS dan memastikan sistem ini memenuhi standar Safety Integrity Level (SIL) 2.

Pendekatan Evaluasi Keandalan HIPPS

  1. Reliability Block Diagram (RBD)
    Pendekatan ini digunakan untuk memodelkan keandalan sistem berdasarkan konfigurasi blok yang mewakili komponen individu. Jika salah satu blok gagal dalam sistem seri, seluruh sistem dianggap gagal. Sebaliknya, jika sistem memiliki konfigurasi paralel atau redundansi, kegagalan satu blok tidak serta-merta menyebabkan kegagalan sistem secara keseluruhan.

    Metode RBD sangat cocok untuk sistem yang memiliki konfigurasi redundan seperti HIPPS, karena memungkinkan analisis terhadap bagaimana penempatan sensor dan logic solver dapat meningkatkan keandalan. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam menangani kegagalan yang saling bergantung (dependent failures) dan kurang fleksibel dalam memodelkan sistem yang berubah seiring waktu.

  2. Fault Tree Analysis (FTA)
    Metode FTA digunakan untuk menguraikan hubungan antar komponen HIPPS dalam bentuk diagram pohon kegagalan. Dengan menggunakan pendekatan logika AND-OR, FTA dapat mengidentifikasi penyebab utama kegagalan dan menghitung probabilitas kegagalan sistem secara keseluruhan.

    Pendekatan ini sangat bermanfaat dalam menganalisis Probability of Failure on Demand (PFD), yang merupakan indikator penting dalam menentukan apakah HIPPS memenuhi standar SIL 2 atau tidak. Namun, semakin kompleks sistem yang dianalisis, semakin sulit pula menyusun diagram pohon yang merepresentasikan seluruh kegagalan potensial.

  3. Markov Modelling
    Berbeda dengan dua metode sebelumnya, Markov Modelling mampu menangani perubahan status sistem secara dinamis. Dalam model ini, setiap komponen HIPPS memiliki beberapa kemungkinan kondisi, seperti berfungsi normal, mengalami degradasi, atau mengalami kegagalan total. Dengan menggunakan persamaan probabilistik, metode ini dapat memodelkan dampak dari perawatan prediktif dan deteksi dini terhadap keandalan HIPPS.

    Keunggulan utama dari pendekatan Markov adalah kemampuannya dalam menangani kegagalan yang saling bergantung dan memodelkan sistem yang berubah seiring waktu. Namun, metode ini memiliki kompleksitas perhitungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan RBD dan FTA, serta memerlukan data yang lebih rinci untuk memberikan hasil yang akurat.

Studi Kasus: Evaluasi HIPPS pada Svend Platform

Penelitian ini menerapkan metode di atas pada HIPPS yang digunakan di Svend oil & gas platform. Beberapa hasil yang ditemukan adalah sebagai berikut:

  • Sebelum dilakukan optimasi, reliabilitas sistem hanya mencapai 90%, yang masih di bawah standar SIL 2.
  • Setelah optimasi menggunakan RBD dan FTA, nilai reliabilitas meningkat hingga 98%, sehingga memenuhi standar SIL 2.
  • Pendekatan Markov Modelling menunjukkan bahwa probabilitas kegagalan dalam kondisi ekstrem dapat ditekan hingga hanya 1%, terutama dengan penerapan redundansi dalam sensor dan logic solver.
  • Berdasarkan perhitungan PFD menggunakan FTA, ditemukan bahwa redundansi dalam sistem HIPPS dapat mengurangi probabilitas kegagalan hingga 40% dibandingkan sistem tanpa redundansi.

Hasil dan Implikasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

Markov Modelling adalah metode paling akurat dalam menganalisis keandalan HIPPS karena mampu menangani kegagalan yang saling bergantung dan memodelkan perubahan sistem secara dinamis.
RBD merupakan metode yang lebih sederhana dan mudah diimplementasikan, tetapi kurang mampu menangani kegagalan terkait antar komponen.
FTA memberikan hasil yang cukup akurat untuk menentukan PFD dan menilai kepatuhan terhadap standar SIL, tetapi kompleksitasnya meningkat saat sistem menjadi lebih besar.
Penerapan redundansi pada sensor dan logic solver dapat meningkatkan keandalan HIPPS secara signifikan, sehingga lebih efektif dalam mencegah tekanan berlebih.

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa High Integrity Pressure Protection System (HIPPS) merupakan elemen penting dalam memastikan keamanan operasional di industri minyak dan gas. Dengan menggunakan Reliability Block Diagram (RBD), Fault Tree Analysis (FTA), dan Markov Modelling, operator dapat memilih metode terbaik untuk memastikan sistem HIPPS memenuhi standar Safety Integrity Level (SIL) 2.

Sumber Asli: Glæsner, J. (2017). Quantitative Reliability Modelling and Functional Safety Calculations of Svend Topside High Integrity Pressure Protection System. Aalborg University Esbjerg.

Selengkapnya
Evaluasi Keandalan High Integrity Pressure Protection System (HIPPS) dengan Metode Kuantitatif
« First Previous page 612 of 1.337 Next Last »