Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berencana merevitalisasi fasilitas nuklir miliknya. Untuk itu BRIN berupaya meningkatkan pengetahuan perisetnya terkait strategi dekomisioning reaktor nuklir. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif (PRTBNLR) – BRIN, Syaiful Bakhri dalam webinar bertajuk “Karakterisasi Dekomisioning Reaktor Riset Menggunakan PHITS” pada Selasa (19/3).
“Kita akan merevitalisasi beberapa fasilitas ketenaganukliran yang ada di BRIN, mulai dari reaktor riset, fasilitas radioisotop dan radiofarmaka, fasilitas bahan bakar, serta fasilitas pendukung lainnya. Untuk itu perlu metode dan teknologi yang tepat untuk memulihkan dan merevitalisasinya,” ungkap Syaiful.
“Salah satunya dengan melakukan dekontaminasi atau dekomisioning parsial, sehingga fasilitas-fasilitas tersebut bisa digunakan kembali,” lanjutnya.
Syaiful menyampaikan bahwa dekomisioning merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan harus dipersiapkan. “Reaktor riset rata-rata berumur panjang. Punya reaktor itu komitmen seratus tahun. Mulai dari menyiapkan tapaknya, membangun, mengoperasikan sampai dengan dekomisioning. Kita harus menyiapkan programnya, kita siapkan bagaimana dekomisioningnya dari sekarang,” jelasnya.
Koordiantor Reaktor Non Daya - Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir (P2STPIBN) – Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Anggoro Septilarso mengungkapkan pentingnya dilakukan karakterisasi dalam program dekomisioning dan tahapannya.
“Dalam dekomisioning ada tahapan karakterisasi, salah satunya adalah melakukan estimasi inventori limbah radioaktif. Kita juga melakukan estimasi manajemen parameter, seperti biaya, pekerja, jumlah radioaktif, jenis radioaktif dan lain-lain,” paparnya.
“Kemudian kita membuat beberapa skenario dekomisioning, dan yang terakhir akan kita pilih skenario terbaik berdasarkan sudut pandang tertentu,” lanjut Anggoro.
Lebih lanjut Anggoro menjelaskan mengenai karakterisasi yang dilakukan sepanjang siklus dari fasilitas ketenaganukliran, mulai dari desain, pengoperasian dan dekomisioning. Tujuan karakterisasi dan apa yang dikarakterisasi dalam setiap tahapan siklus berbeda-beda.
“Dokumen karakterisasi mulai dari desain hingga pengoperasian disimpan untuk keperluan dekomisioning. Karakterisasi bisa dilakukan dengan kajian historis, survei, sampling, pengecekan dokumen kemudian melakukan perhitungan atau analisis pada komponen tertentu,” jelasnya.
Anggoro mengatakan bahwa secara umum ada dua kategori inventaris sisa radionuklida reaktor nuklir setelah dimatikan, yaitu bahan yang diaktifkan neutron (aktivasi oleh neutron) dan bahan yang terkontaminasi (kontaminasi radioaktif).
“Salah satu metode karakterisasi yang bisa digunakan dalam menghitung distribusi fluks neutron adalah dengan menggunakan software aplikasi PHITS (Particle and Heavy Ion Transport Code System) sebagai alat bantunya,” sebutnya.
Menurut Anggoro, tahapan awal karakterisasi merupakan syarat perizinan dilakukannya dekomisioning. “Hal ini juga diperlukan untuk menyusun dokumen rencana awal dekomisioning. Hal penting lainnya yang dijadikan syarat perizinan adalah perkiraan biaya dekomisioning,” imbuhnya.
Anggoro berharap karakterisasi bisa segera mulai dilakukan dari sekarang dan didokumentasikan meskipun belum tahu kapan dekomisioning akan dilakukan. Dia juga berharap ada transfer ilmu yang memadai kepada generasi muda yang kelak akan mendekomisioning fasilitas tersebut. “Jangan sampai kita meninggalkan fasilitas yang sudah tidak bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang,” ujarnya.
Sumber: https://brin.go.id/