Keselamatan Kerja

Sejarah dan Perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Amerika Serikat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025


Pada akhir abad ke-19, industrialisasi yang pesat membawa peningkatan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan meningkatnya penggunaan mesin berat dan bahan kimia berbahaya, para pekerja menghadapi risiko tinggi terhadap cedera dan penyakit akibat kerja. Data dari artikel menunjukkan bahwa:

  • Pada awal 1900-an, kecelakaan kerja di sektor pertambangan dan pabrik mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
  • Tahun 1905, kasus Lochner v. New York berusaha membatasi jam kerja tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa regulasi tersebut bertentangan dengan kebebasan berkontrak antara pekerja dan pengusaha.
  • Tahun 1911, tragedi Triangle Shirtwaist Factory Fire di New York menewaskan 146 pekerja tekstil, yang menjadi katalis bagi reformasi keselamatan kerja.

Perjuangan panjang buruh dan aktivis kesehatan akhirnya menghasilkan undang-undang yang lebih progresif:

  • 1969: Mine Safety and Health Act disahkan untuk meningkatkan keselamatan pekerja tambang.
  • 1970: Occupational Safety and Health Act (OSH Act) melahirkan OSHA, lembaga federal yang bertugas mengatur dan menegakkan standar keselamatan kerja.
  • 1980-an dan 1990-an: OSHA menghadapi tantangan dari industri yang berusaha mengurangi regulasi dengan alasan ekonomi. Studi dalam artikel ini menyoroti bagaimana kebijakan federal bergeser akibat tekanan politik dan ekonomi.

Dalam penelitian ini, Rosner dan Markowitz menyoroti bagaimana kebijakan OSHA telah mengurangi angka kecelakaan kerja:

  • Tahun 1970, sebelum OSHA, tingkat kematian akibat kecelakaan kerja mencapai 14.000 per tahun.
  • Tahun 2018, angka ini turun drastis menjadi 5.250 per tahun, meskipun jumlah tenaga kerja meningkat.
  • Standar yang diperkenalkan oleh OSHA, seperti regulasi paparan asbes dan bahan kimia berbahaya, secara signifikan mengurangi penyakit akibat kerja.

Namun, artikel ini juga mencatat bahwa perlawanan dari industri terus berlanjut:

  • Pada era 1980-an, pemerintahan Reagan memangkas anggaran OSHA dan melemahkan pengawasan terhadap perusahaan.
  • Tahun 2001, regulasi ergonomi yang diusulkan untuk mengurangi cedera akibat gerakan repetitif dibatalkan oleh Kongres.
  • Pada 2017-2020, administrasi Trump mengurangi jumlah inspeksi OSHA, yang menyebabkan peningkatan kecelakaan di tempat kerja.

Rosner dan Markowitz menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hanya masalah regulasi tetapi juga pertarungan antara kepentingan buruh dan industri. Beberapa poin penting yang dapat diambil dari artikel ini adalah:

  1. Regulasi K3 berdampak nyata pada pengurangan kecelakaan kerja.
  2. Tekanan politik dan ekonomi mempengaruhi efektivitas OSHA dalam melindungi pekerja.
  3. Peran serikat pekerja dan aktivis kesehatan sangat penting dalam memastikan regulasi tetap kuat dan efektif.

Artikel ini memberikan wawasan mendalam mengenai sejarah dan dinamika kebijakan K3 di Amerika Serikat. Meskipun telah banyak kemajuan, tantangan masih tetap ada, terutama dalam menghadapi tekanan dari sektor industri yang ingin melonggarkan regulasi. Keselamatan pekerja harus tetap menjadi prioritas utama, dan penelitian seperti ini membantu menyoroti pentingnya regulasi yang kuat untuk melindungi hak-hak pekerja.

Sumber: Rosner, D., & Markowitz, G. A Short History of Occupational Safety and Health in the United States. American Journal of Public Health, Vol. 110, No. 5, 2020, Hal. 622-628.

Selengkapnya
Sejarah dan Perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Amerika Serikat

Pertanian

Mengenal Kedokteran hewan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Di Indonesia, praktik ilmu kedokteran hewan telah berlangsung dan berkembang selama ratusan tahun. Layanan dokter hewan serta pendidikannya telah dirintis sejak zaman penjajahan Belanda. Per tahun 2023, terdapat 12 universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan. Para dokter hewan memiliki Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi.

Sebagian dokter hewan di Indonesia membuka layanan praktik secara mandiri maupun berkelompok. Sebagian lainnya bekerja untuk Pemerintah Indonesia, perusahaan swasta, atau organisasi nirlaba dengan memberikan jasa medisnya atau menjadi konsultan, peneliti, dan pengajar. Sebagian dokter hewan juga menjadi wiraswasta di bidang yang berkaitan dengan kesehatan hewan, misalnya usaha obat hewan, serta peternakan dan pengolahan pangan asal hewan. Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Pendidikan

Sarjana

Di Indonesia, pendidikan kedokteran hewan dipelajari di tingkat universitas. Pendidikan sarjana (S1) biasanya ditempuh selama delapan semester. Setelah menyelesaikan tahap ini, seseorang akan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.K.H.). Per tahun 2024, ada 13 perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau program studi kedokteran hewan di Indonesia. Mereka terkumpul dalam Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI). Perguruan tinggi tersebut adalah:

  1. Universitas Syiah Kuala (USK) — Banda Aceh, Aceh
  2. Universitas Riau (Unri) — Pekanbaru, Riau
  3. Universitas Negeri Padang (UNP) — Bukittinggi, Sumatera Barat
  4. Institut Pertanian Bogor (IPB) — Bogor, Jawa Barat
  5. Universitas Padjadjaran (Unpad) — Bandung, Jawa Barat
  6. Universitas Gadjah Mada (UGM) — Sleman, Yogyakarta
  7. Universitas Airlangga (Unair) — Surabaya, Jawa Timur
  8. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) — Surabaya, Jawa Timur
  9. Universitas Brawijaya (UB) — Malang, Jawa Timur
  10. Universitas Udayana (Unud) — Denpasar, Bali
  11. Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) — Mataram, Nusa Tenggara Barat
  12. Universitas Hasanuddin (Unhas) — Makassar, Sulawesi Selatan
  13. Universitas Nusa Cendana (Undana) — Kupang, Nusa Tenggara Timur

Pendidikan profesi

Setelah memperoleh gelar S.K.H., seseorang dapat mengambil pendidikan profesi (koasistensi) yang memerlukan waktu minimum dua semester. Kurikulum nasional program profesi dokter hewan yaitu patologi veteriner, penyakit dalam, bedah, kesehatan masyarakat veteriner, reproduksi, diagnosis laboratorium, dan ditambah dengan kegiatan di luar kampus, seperti magang atau praktik kerja lapangan. Setelah menyelesaikan seluruh stase koasistensi, seseorang yang telah lulus yudisium akan menjalani pengambilan sumpah dokter hewan sebelum mendapatkan gelar dokter hewan (drh). Mulai tahun 2021, Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (UKMPPDH) dijadikan "ujian keluar" atau salah satu syarat kelulusan untuk mendapatkan Sertifikat Nasional Kompetensi Dokter Hewan.

Pascasarjana

Beberapa universitas menyediakan pendidikan pascasarjana untuk ilmu kedokteran hewan, baik tingkat magister (S2) maupun doktor (S3). Meskipun demikian, program studi dan konsentrasi yang ditawarkan berbeda-beda. Sebagai contoh untuk tingkat S2, UGM membuka Program Studi Sains Veteriner dengan enam peminatan dan satu konsentrasi, Program Studi Magister Ilmu Biomedis Hewan IPB membuka enam peminatan, Unair membuka empat program studi, Unud membuka Program Studi Magister Kedokteran Hewan, sedangkan Unsyiah membuka Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sementara itu, program S3 diselenggarakan di IPB, UGM, dan Unair.

Dokter hewan spesialis

Di Indonesia, belum terdapat pendidikan profesi dokter hewan spesialis. Meskipun demikian, AFKHI dan PDHI telah merancang pendidikan spesialisasi untuk bidang spesialis bedah, radiologi, penyakit dalam, patologi, hewan laboratorium, dan reproduksi.

Riset dan publikasi

Para dokter hewan dan ilmuwan terkait yang bekerja sebagai peneliti, misalnya di Pusat Riset Veteriner Bogor, dan para dosen memublikasikan hasil riset mereka dalam konferensi ilmiah, seperti Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional (KIVNAS) yang diselenggarakan setiap dua tahun. Beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan untuk memuat hasil riset di bidang kedokteran hewan di antaranya:

Nama jurnal    Penerbit    Akreditasi SINTA

  1. Acta Veterinaria Indonesiana-Institut Pertanian Bogor-S2
  2. Jurnal Medik Veteriner -Universitas Airlangga-S2
  3. Jurnal Sain Veteriner-Universitas Gadjah Mada-S2
  4. Jurnal Veteriner -Universitas Udayana    S2
  5. Jurnal Kedokteran Hewan -Universitas Syiah Kuala -S2
  6. Wartazoa -Pusat Standardisasi Instrumen Peternakan dan Kesehatan Hewan, BSIP -S2
  7. Media Kedokteran Hewan-Universitas Airlangga -S3
  8. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis-Universitas Papua- S3
  9. ARSHI Veterinary Letters    Institut Pertanian Bogor    S4
  10. Journal of Applied Veterinary Science and Technology  - Universitas Airlangga -S4
  11. Buletin Veteriner Udayana -Universitas Udayana - S4
  12. Indonesia Medicus Veterinus-Universitas Udayana - S4
  13. Jurnal Kajian Veteriner-Universitas Nusa Cendana -  S4
  14. Jurnal Riset Veteriner Indonesia-Universitas Hasanuddin -  S4
  15. Vitek Bidang Kedokteran Hewan -Universitas Wijaya Kusuma Surabaya-S4
  16. Current Biomedicine  -Institut Pertanian Bogor    –
  17. Jurnal Veteriner dan Biomedis - Institut Pertanian Bogor    –
  18. Journal of Basic Medical Veterinary -Universitas Airlangga    –
  19. Veterinary Biomedical and Clinical Journal - Universitas Brawijaya    –
  20. Journal of Veterinary and Animal Sciences- Universitas Udayana    –
  21. Buletin Veteriner Farma- Balai Besar Veteriner Farma Pusvetma, Ditjen PKH    –
  22. Buletin Diagnosa Veteriner-Balai Besar Veteriner Maros, Ditjen PKH    –
  23. Velabo: Buletin Laboratorium Veteriner-Balai Veteriner Lampung, Ditjen PKH    –
  24. Jurnal Patologi Veteriner Indonesia -Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia    –

Penerapan ilmu

Ilmu kedokteran hewan diterapkan oleh dokter hewan, dan dalam lingkup yang lebih terbatas, oleh sarjana kedokteran hewan dan paramedik veteriner. Ketiganya digolongkan sebagai tenaga kesehatan hewan. Jumlah dokter hewan di Indonesia berkisar dari 15 ribu hingga 20 ribu orang.

Ranah pekerjaan dokter hewan dapat ditinjau dari berbagai aspek. Berdasarkan tipe hewan yang dilayani, dokter hewan dapat menangani hewan kesayangan, hewan ternak, hingga satwa liar. Pencinta dan pemilik hewan kesayangan, misalnya anjing, kucing, dan burung, hingga hewan eksotis seperti ular dan iguana, telah menyadari pentingnya kesehatan hewan sehingga memerlukan jasa dokter hewan. Ternak, yakni hewan yang dipelihara untuk tujuan ekonomi, seperti sumber pangan, sumber bahan baku industri, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia, perlu dijaga kesehatannya. Pangan yang berasal dari hewan sakit dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia. Oleh karena itu, kesehatan sapi, kambing, domba, babi, ayam, dan itik yang tergolong dalam sektor peternakan, serta ikan dan udang yang tergolong dalam sektor perikanan, termasuk dalam pengawasan dokter hewan. Terhadap satwa liar, dokter hewan menangani kesehatannya agar mereka tetap sintas dan terjaga kelestariannya. Harimau sumatra, gajah sumatra, badak, macan dahan, dan beruang madu merupakan satwa dilindungi yang sering kali terluka akibat perburuan liar dan membutuhkan perawatan dokter hewan.

Pada sektor publik atau pemerintahan, dokter hewan yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil dapat bekerja sebagai medik veteriner atau dokter hewan karantina. Keduanya merupakan jabatan fungsional yang hanya bisa diduduki oleh dokter hewan. Selain itu, dokter hewan pemerintah juga bisa bekerja sebagai dosen, peneliti, dan jabatan lain yang memerlukan ilmu dan keahlian dokter hewan. Pada sektor swasta, selain membuka praktik di klinik hewan atau rumah sakit hewan, dokter hewan juga bekerja pada berbagai industri, misalnya peternakan, farmasi, dan keamanan pangan.

Organisasi profesi

Logo PDHI

Di Indonesia, organisasi profesi untuk dokter hewan adalah Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Organisasi ini didirikan pada 9 Januari 1953 di Lembang, Jawa Barat. Meskipun demikian, cikal bakal organisasi telah ada sejak zaman Belanda, yaitu pada 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda. PDHI memiliki 53 cabang di seluruh provinsi di Indonesia dan membawahi 20 unit peminatan nonteritorial yang menampung para dokter hewan dengan minat, keahlian, atau bidang kerja yang sama, misalnya Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI) dan Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Kecil Indonesia (ADHPHKI). Semboyan dokter hewan Indonesia adalah manusya mriga satwa sewaka, frasa dalam bahasa Sanskerta yang artinya "mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan".

Sejarah

Masa sebelum kemerdekaan

Tahun 1800-an

Ilmu kedokteran hewan telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini bermula pada tahun 1820 saat R.A. Coppicters, dokter hewan asal Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia bertugas menangani hewan-hewan yang penting bagi pemerintah kolonial Belanda, misalnya kuda milik pasukan militer. Pada masa ini, dokter yang menangani hewan disebut vee arts yang secara harfiah artinya dokter ternak. Istilah ini mengakibatkan hewan nonternak seperti anjing, kucing, dan satwa liar tidak masuk dalam cakupan ilmu kedokteran hewan.

Lembaga pemerintah yang menangani urusan kedokteran hewan dibentuk pada tahun 1841, yaitu Jawatan Kedokteran Hewan (Veeartsenijkundige Dienst), yang kemudian berubah menjadi Jawatan Kedokteran Hewan Sipil (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst) pada 1853. Pada tahun 1851, tercatat beberapa dokter hewan Belanda di Indonesia. Keterbatasan jumlah dokter hewan menjadikan layanan tidak maksimal. Dalam periode 1853–1869, hanya tiga dokter hewan yang melayani seluruh Pulau Jawa; masing-masing di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Baru pada tahun 1869, dua dokter hewan ditempatkan di luar Pulau Jawa: satu di Sumatra dan satu di Sulawesi.

Belanda mendirikan sekolah dokter hewan yang disebut Inlandsche Veeartsen School (IVS) di Surabaya pada tahun 1861. Pimpinan sekolah ini adalah Dr. J. van der Weide. Pendidikan dilangsungkan selama dua tahun dengan menerima para bumiputra (pribumi-Nusantara) sebagai siswanya. Namun, IVS ditutup pada tahun 1875 setelah hanya menghasilkan delapan dokter hewan bumiputra (inlandsche veearts) selama sembilan tahun.

Setelah itu, pada 1875–1880, pendidikan dilakukan dalam bentuk magang pada dokter hewan pemerintah (gouvernements veearts) di Purwokerto. Ada sembilan pemuda bumiputra yang magang pada tujuh orang dokter hewan pemerintah; delapan di antaranya diluluskan pada tahun 1880 sebagai dokter hewan bumiputra.] Tak berselang lama, wabah penyakit hewan melanda Hindia Belanda, mulai dari sampar sapi pada tahun 1875, antraks dan septisemia epizotik pada 1884, surra pada 1886, dan penyakit mulut dan kuku pada 1887. Rabies, penyakit mematikan pada hewan dan manusia, pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Selanjutnya, penyakit ini juga ditemukan pada anjing pada tahun 1889 dan manusia pada 1894. Organisasi dokter hewan pertama pun berdiri pada tahun 1884 dengan nama Perhimpunan Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederland-Indische Vereeniging voor Diergeneeskunde) untuk mengatasi wabah-wabah tersebut.

Usul penggabungan pendidikan dokter hewan dan pendidikan dokter pada STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) pernah dilontarkan oleh Direktur Departemen Kepamongprajaan (Binnenlands Bestuur). Meskipun gagasan ini disetujui Menteri Urusan Jajahan (Minister van Kolonien) di Belanda, tetapi karena keberatan yang disampaikan Direktur Departemen Pendidikan, Keibadatan, dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) dan direktur STOVIA, usul ini tidak terlaksana.

Tahun 1900–1945

Keberadaan rabies membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat ordonansi (peraturan) tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905–1915. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 283, misalnya, mewajibkan pemilik anjing untuk melaporkan jumlah anjingnya dan memberi identitas berupa medali, serta membayar pajak anjing. Sementara itu, peraturan pertama yang khusus mengatur kesehatan hewan adalah Staatsblad Tahun 1912 Nomor 432 tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-Ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan. Ordonansi ini mengatur beberapa hal, seperti lembaga yang menangani urusan kehewanan, hak pemerintah dalam ekspor dan impor hewan untuk mencegah terbawanya penyakit, pengaturan tentang otoritas veteriner, dan pemberantasan penyakit hewan menular.

Otoritas veteriner atau kewenangan medis dokter hewan diatur dalam Staatsblad No. 432 Pasal 34 Ayat 1 yang jika diterjemahkan, artinya, "Kewenangan Medis Veteriner atau Veeartsnijkundige berupa keahlian dan kewenangan dimiliki oleh dokter hewan secara melekat sesudah lulus dari fakultas kedokteran hewan di Indonesia maupun di Negeri Belanda". Selain itu, Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 yang mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang kehewanan. Baik menurut Staatsblad No. 432 maupun KUHP, definisi ternak hanya mencakup hewan pemamah biak, hewan berkuku satu, dan babi sehingga dokter hewan (lebih tepatnya dokter ternak) hanya menangani hewan-hewan tersebut.

Pada tahun 1908, Belanda mendirikan Laboratorium Veteriner (Veeartsenijkundig Laboratorium; saat ini menjadi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor) untuk menangani wabah sampar sapi. Di laboratorium ini juga dibuka pendidikan dokter hewan bumiputra selama empat tahun yang bernama ”Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veearstsen”. Siswa-siswanya berasal dari lulusan HBS atau MULO (setingkat SMP), dan sekolah-sekolah lain yang dianggap sederajat. Dua siswa pertamanya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool atau MLS) yang setara dengan SMA sehingga mereka langsung diterima di tingkat III.

Awalnya, kursus ini berada di bawah pengawasan J.C. Koningsberger, Kepala Kebun Raya dan Museum Zoologi Bogor. Pada tahun 1908, L. de Blieck menjadi pimpinan laboratorium veteriner dan tahun berikutnya ia juga diberi tugas memimpin kursus. Pada tahun 1910 terjadi perubahan nama, ”Inlandsche Veeartsenschool” (Sekolah Dokter Hewan Bumiputra) dipilih untuk menggantikan nama kursus, sedangkan jabatan kepala sekolah (sekaligus kepala laboratorium) berubah menjadi direktur. Seorang siswa asal Minahasa, Johannes Alexander Kaligis, lulus pada tahun 1910 sebagai dokter hewan Indonesia yang pertama. Pada tahun 2010, seratus tahun setelah kelulusan Kaligis, dilakukan perayaan satu abad dokter hewan Indonesia.

Pada tahun 1914, nama pendidikan diubah lagi menjadi Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda (Nederlands Indische Veeartsenschool, disingkat NIVS). Sekolah ini menerima berbagai golongan, tidak hanya siswa bumiputra. NIVS lalu mengalami kemunduran karena kembali disatukan dengan laboratorium menjadi Institut Veteriner (Veeartsenijkundig Instituut, disingkat VI). Namun pada tahun 1919, NIVS kembali dipisahkan dari institut dan berdiri sendiri. Bahasa Jerman ikut diajarkan supaya siswa-siswanya dapat membaca buku-buku kedokteran hewan berbahasa Jerman. Lulusan NIVS yang berkinerja baik diberi kesempatan melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan di Utrecht, Belanda, dengan langsung menjadi mahasiswa tingkat III. Selain Kaligis, dokter hewan Indonesia yang lulus dari Utrecht yaitu Soeparwi (kelak menjadi dekan pertama Fakultas Kedokteran Hewan UGM), Iskandar Titus, dan A.A. Ressang. Pada 1942, Institut Veteriner diubah menjadi Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH), yang kemudian mengalami beberapa perubahan nama lagi pascakemerdekaan Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, nama NIVS diubah menjadi Bogor Semon Zui Gakko Sekolah ini akhirnya ditutup saat Jepang menyerah kepada tentara sekutu. Jumlah dokter hewan Indonesia yang dihasilkan sejak IVS didirikan, lalu berganti nama menjadi NIVS, dan terakhir Semon Zui Gakko, adalah 143 orang.

Masa setelah kemerdekaan

Tahun 1945–1949

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sekolah Dokter Hewan (SDH) di Bogor dibuka kembali. Status SDH ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) sesuai Surat Keputusan Menteri Kemakmuran No. 1280a/Per. tanggal 20 September 1946 dengan lama pendidikan lima tahun. Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka PTKH secara resmi pada bulan November 1946 dengan Dr. Mohede sebagai rektor magnifikus, sebutan bagi pemimpin PTKH.

Pergolakan Perang Kemerdekaan Indonesia menyebabkan PTKH dikuasai Belanda sehingga aktivitas perkuliahan terhenti.[83] Pada tahun 1947, atas persetujuan rektor PTKH dan Kementerian Kemakmuran, kelas pararel bernama Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Republik Indonesia (PTKH-RI) dibuka di Klaten, Jawa Tengah. Sementara di Bogor pada bulan Mei 1948, Belanda membentuk Faculteit der Diergeneeskunde (Fakultas Kedokteran Hewan) yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesië.

Ketika Yogyakarta sebagai ibu kota RI diserbu dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, PTKH-RI ditutup. Kelas PTKH-RI dibuka kembali pada 1 November 1949 setelah Yogyakarta berada dalam penguasaan Pemerintah RI, tetapi lokasinya dipindah dari Klaten ke Yogyakarta. Pada tanggal 19 Desember 1949 semua perguruan tinggi di Yogyakarta bergabung menjadi Universiteit Negeri Gadjah Mada, dan PTKH-RI menjelma menjadi Fakultit Kedokteran Hewan UGM.Sebagai dekan pertama FKH UGM, salah satu perjuangan Soeparwi adalah mengubah istilah vee arts (dokter ternak) menjadi dieren arts (dokter hewan) sehingga cakupan ilmu dan pelayanan profesi ini menjadi lebih luas. Periode konflik dengan Belanda akhirnya usai setelah Konferensi Meja Bundar berlangsung sukses dan kedaulatan Indonesia dipulihkan pada 27 Desember 1949.

Tahun 1950–1999

Indonesia diterima sebagai anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 1950. Sebagai negara anggota, salah satu kewajiban Indonesia adalah mengirimkan pemberitahuan (notifikasi) atas kejadian sejumlah penyakit hewan tertentu di negaranya. Kewajiban ini dilakukan guna menegakkan prinsip transparasi dan pelaporan mengenai situasi penyakit hewan di dunia.

Pada tanggal 3 Februari 1950 Universiteit Indonesia dibentuk yang terdiri atas beberapa fakulteit, di antaranya pertanian dan kedokteran hewan di Bogor. Nama Faculteit der Diergeneeskunde diubah menjadi Fakulteit Kedokteran Hewan Universiteit Indonesia (FKH-UI). Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1955, istilah fakultit (yang digunakan UGM) dan fakulteit (yang digunakan UI) kemudian diseragamkan menjadi fakultas, sedangkan universiteit diubah menjadi universitas.

Untuk menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) yang meluas, pemerintah mendirikan Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku (BPPMK) di Surabaya pada tahun 1952. Nama lembaga ini kemudian terus berubah, yaitu menjadi Lembaga Penyidikan Penyakit Mulut dan Kuku (tahun 1955) dan Lembaga Penyakit Mulut Kuku (1959). Lembaga ini pertama kali menghasilkan vaksin PMK sebanyak 58.300 dosis pada tahun 1964. Saat peran lembaga ini dibutuhkan untuk menangani lebih banyak penyakit, seperti rabies dan penyakit Newcastle, namanya pun diubah menjadi Lembaga Virologi Kehewanan (1967), lalu Pusat Veterinaria Farma (1978), dan terakhir Pusat Veteriner Farma (2012), yang bertugas melaksanakan produksi, pengujian, distribusi, dan pemasaran, serta pengembangan produksi vaksin, antisera, diagnostika, dan bahan biologis lainnya.

Pada 9 Januari 1953, organisasi dokter hewan bernama Perhimpunan Ahli Kehewanan yang didirikan sejak awal kemerdekaan mengadakan kongres pertama di Lembang, Jawa Barat. Dalam kongres ini, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dibentuk sebagai organisasi profesi dokter hewan Indonesia.

Dalam perkembangannya, pendidikan kedokteran hewan sempat digabungkan dengan peternakan. Di UGM, nama Fakultet Kedokteran Hewan berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) pada tanggal 21 Juni 1955. Meskipun demikian, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan berpisah pada 10 November 1969.]Hal yang sama juga terjadi di UI, nama FKH UI berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) UI pada tahun 1960. Pada tahun 1962 nama Fakultas Kedokteran Hewan UI kembali digunakan, sedangkan pendidikan peternakan digabungkan dengan perikanan menjadi Fakultas Peternakan dan Perikanan UI.

Di Banda Aceh, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan dibentuk pada 17 Oktober 1960 sebagai bagian dari Universitas Sumatera Utara. Pada 2 September 1961, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) didirikan melalui Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 11 tahun 1961 tanggal 21 Juli 1961 dengan FKHP sebagai salah satu fakultasnya.

Di Jawa Timur, pendidikan kedokteran hewan dibentuk atas kerja sama Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang. Universitas Brawijaya mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FHKP) pada tahun 1961 yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 92 Tahun 1962 dengan berada di bawah naungan Universitas Airlangga.  Pada tahun berikutnya, FKHP dikelola sepenuhnya oleh Universitas Brawijaya melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 1 Tahun 1963. Di Bogor, pada 1 September 1963 pemerintah membentuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Keputusan Menteri PTIP Nomor 91 Tahun 1963. Sejak saat itu, FKH UI berubah menjadi FKH IPB. Di Surabaya sendiri, Jurusan Kedokteran Hewan dibuka pada 25 November 1969. Jurusan ini berada di bawah FKHP Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 1972, pendidikan kedokteran hewan di lingkungan Universitas Brawijaya Malang dipindahkan seluruhnya ke Universitas Airlangga Surabaya sehingga terbentuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Setelah puluhan tahun menggunakan peraturan perundang-undangan warisan Belanda, pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam UU ini, definisi hewan diperluas hingga menjadi "semua binantang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar". Selain itu, penerapan ilmu kedokteran hewan juga telah mencakup kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan kesejahteraan hewan.

Di Denpasar, Bali, Universitas Udayana (Unud) membuka Jurusan Kedokteran Hewan pada tahun 1978 di bawah FKHP. Lima tahun kemudian, nama FKHP Unud berubah menjadi Fakultas Peternakan dan Program Studi Kedokteran Hewan. Status sebagai fakultas diperoleh pada tahun 1997 dengan didirikannya Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Penyakit mulut dan kuku berhasil diberantas secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1986, setelah wabah terakhir ditemukan di Blora, Jawa Tengah, pada 1983. Status bebas PMK ini diakui di lingkup Asia Tenggara pada 1987 dan di lingkup dunia oleh OIE pada 1990.

Pada tahun 1992, dasar hukum penyelenggaraan karantina pada hewan dibuat tersendiri oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pun terbit. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah masuk, tersebar, dan keluarnya sejumlah penyakit hewan dan penyakit ikan tertentu, yang masing-masing disebut dengan hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK). Hewan diartikan sebagai binatang yang hidup di darat, sedangkan ikan sebagai biota perairan.

Tahun 2000–sekarang

Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh status bebas dari penyakit sampar sapi oleh OIE dan FAO. Penyakit ini terakhir kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1907. Sampar sapi dinyatakan tereliminasi secara global di seluruh dunia pada tahun 2011.

Di bidang pendidikan, pada tahun 2001, Universitas Nusa Tenggara Barat Mataram membuka Program Studi Kedokteran Hewan, yang kemudian menjadi Universitas Pendidikan Mandalika pada tahun 2019. Pendidikan kedokteran hewan di universitas swasta bermula pada tahun 2008 saat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya membentuk Fakultas Kedokteran Hewan. Pada tahun yang sama, Universitas Brawijaya Malang kembali membuka Program Kedokteran Hewan yang saat ini telah menjadi FKH Universitas Brawijaya.

Pemerintah kembali menerbitkan undang-undang yang mengatur dunia kedokteran hewan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 41 Tahun 2014. Undang-undang ini mencabut UU Nomor 6 Tahun 1967 yang sudah puluhan tahun berlaku.

Pada tahun 2010, program studi kedokteran hewan dibuka di Universitas Nusa Cendana Kupang dan Universitas Hasanuddin Makassar. Terakhir, Universitas Padjadjaran Bandung membuka Program Studi Kedokteran Hewan yang berada di bawah Fakultas Kedokteran pada tahun 2019. Pada tahun yang sama, pemerintah mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan untuk menggantikan UU Nomor 16 Tahun 1992. Dalam UU baru ini, selain mencegah penyakit, pejabat karantina juga melakukan pengawasan dan pengendalian pada keamanan pangan, keamanan pakan, produk rekayasa genetik, sumber daya genetik, agensia hayati, jenis asing invasif, tumbuhan dan satwa liar, serta tumbuhan dan satwa langka.

Pandemi Covid-19 di Indonesia membuka pilihan bagi dokter hewan praktisi untuk mulai menerapkan telemedisin. Meskipun demikian, penerapannya memiliki beberapa hambatan, di antaranya karakteristik klien, legalitas telemedisin, penentuan biaya, dan penegakan diagnosis.

Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenal Kedokteran hewan di Indonesia

Pertanian

Mengenal Apa itu Rumah potong

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Dalam pertanian ternak dan industri daging, rumah potong hewan, juga disebut rumah potong hewan, adalah fasilitas tempat hewan ternak disembelih untuk menyediakan makanan. Rumah jagal memasok daging, yang kemudian menjadi tanggung jawab fasilitas pengemasan daging.

Rumah jagal yang memproduksi daging yang tidak ditujukan untuk konsumsi manusia terkadang disebut sebagai tempat pemotongan hewan atau knackeries. Di sinilah hewan disembelih yang tidak layak untuk konsumsi manusia atau yang tidak lagi dapat bekerja di peternakan, seperti kuda yang sudah pensiun.

Penyembelihan hewan dalam skala besar menimbulkan masalah yang signifikan dalam hal logistik, kesejahteraan hewan, dan lingkungan, dan prosesnya harus memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat. Karena keengganan masyarakat di berbagai budaya yang berbeda, menentukan di mana harus membangun rumah potong hewan juga menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan.

Seringkali, kelompok-kelompok pembela hak asasi hewan menyuarakan keprihatinan mereka mengenai metode transportasi ke dan dari rumah jagal, persiapan sebelum penyembelihan, penggembalaan hewan, metode pemingsanan, dan penyembelihan itu sendiri.

Sejarah

Hingga zaman modern, penyembelihan hewan umumnya dilakukan secara serampangan dan tidak diatur di berbagai tempat. Peta awal London menunjukkan banyak tempat penampungan hewan di pinggiran kota, di mana penyembelihan dilakukan di udara terbuka atau di bawah penutup seperti pasar tradisional. Istilah untuk rumah jagal terbuka seperti itu adalah shambles, dan ada jalan-jalan yang dinamai “The Shambles” di beberapa kota di Inggris dan Irlandia (misalnya, Worcester, York, Bandon) yang mendapatkan namanya dari tempat para penjagal menyembelih dan menyiapkan hewan untuk dikonsumsi. Fishamble Street, Dublin dulunya adalah tempat pembuangan ikan. Sheffield memiliki 183 rumah jagal pada tahun 1910, dan diperkirakan ada 20.000 rumah jagal di Inggris dan Wales.

Gerakan reformasi

Rumah jagal muncul sebagai institusi yang koheren pada abad ke-19. Kombinasi antara masalah kesehatan dan sosial, yang diperparah oleh urbanisasi yang cepat selama Revolusi Industri, membuat para pembaharu sosial menyerukan isolasi, pengasingan, dan regulasi penyembelihan hewan. Selain kekhawatiran yang muncul terkait kebersihan dan penyakit, ada juga kritik terhadap praktik ini dengan alasan bahwa efek dari pembunuhan, baik terhadap para penjagal maupun para pengamat, “mendidik manusia dalam praktik kekerasan dan kekejaman, sehingga mereka tampaknya tidak dapat menahan diri untuk tidak menggunakannya.” Motivasi tambahan untuk menghapuskan penyembelihan pribadi adalah untuk memberlakukan sistem regulasi yang cermat untuk tugas “berbahaya secara moral” dalam membunuh hewan.

Sebagai akibat dari ketegangan ini, pasar daging di dalam kota ditutup dan rumah potong hewan dibangun di luar batas kota. Kerangka awal untuk pendirian rumah jagal umum diberlakukan di Paris pada tahun 1810, di bawah pemerintahan Kaisar Napoleon. Lima area disisihkan di pinggiran kota dan hak-hak istimewa feodal para gilda dibatasi.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan daging bagi penduduk London yang terus bertambah, pasar daging di dalam kota dan di luar kota semakin menarik perhatian publik. Daging telah diperdagangkan di Pasar Smithfield sejak abad ke-10. Pada tahun 1726, pasar ini dianggap sebagai “tanpa diragukan lagi, yang terbesar di dunia”, oleh Daniel Defoe. Pada pertengahan abad ke-19, dalam satu tahun, 220.000 ekor sapi dan 1.500.000 ekor domba “dipaksa masuk ke dalam area seluas lima hektar, di jantung kota London, melalui jalan raya yang paling sempit dan paling ramai”.

Pada awal abad ke-19, pamflet-pamflet disebarkan dengan argumen yang mendukung penghapusan pasar ternak dan relokasinya ke luar kota karena kondisi higienis yang sangat rendah[8] serta perlakuan brutal terhadap sapi-sapi tersebut. Pada tahun 1843, Majalah Farmer's Magazine menerbitkan petisi yang ditandatangani oleh para bankir, penjual, anggota parlemen, tukang jagal, dan penduduk setempat yang menentang perluasan pasar ternak. Undang-undang Klausul Polisi Kota 1847 menciptakan sistem perizinan dan registrasi, meskipun hanya sedikit rumah pemotongan hewan yang ditutup.

Sebuah Undang-Undang Parlemen akhirnya disahkan pada tahun 1852. Berdasarkan ketentuannya, sebuah pasar ternak baru dibangun di Copenhagen Fields, Islington. Pasar Ternak Metropolitan yang baru juga dibuka pada tahun 1855, dan West Smithfield dibiarkan menjadi lahan kosong selama sekitar satu dekade, hingga pembangunan pasar baru dimulai pada tahun 1860-an di bawah wewenang Undang-Undang Pasar Daging dan Unggas Metropolitan 1860.  Pasar ini dirancang oleh arsitek Sir Horace Jones dan selesai dibangun pada tahun 1868.

Terowongan kereta api yang dipotong dan ditutup dibangun di bawah pasar untuk membuat persimpangan segitiga dengan rel kereta api antara Blackfriars dan King's Cross. Hal ini memungkinkan hewan diangkut ke rumah jagal dengan kereta api dan kemudian memindahkan bangkai hewan ke gedung Cold Store, atau langsung ke pasar daging dengan lift.

Pada saat yang sama, rumah potong hewan besar dan terpusat pertama di Paris dibangun pada tahun 1867 di bawah perintah Napoleon III di Parc de la Villette dan sangat memengaruhi perkembangan institusi ini di seluruh Eropa.

Regulasi dan ekspansi

Rumah jagal ini diatur oleh hukum untuk memastikan standar kebersihan yang baik, pencegahan penyebaran penyakit, dan meminimalkan kekejaman terhadap hewan yang tidak perlu. Rumah jagal harus dilengkapi dengan sistem pasokan air khusus untuk membersihkan area operasi dari darah dan jeroan secara efektif. Para ilmuwan kedokteran hewan, terutama George Fleming dan John Gamgee, mengkampanyekan tingkat pemeriksaan yang ketat untuk memastikan bahwa penyakit epizootik seperti rinderpest (wabah penyakit yang menghancurkan di seluruh Inggris pada tahun 1865) tidak dapat menyebar. Pada tahun 1874, tiga pengawas daging ditunjuk untuk wilayah London, dan Undang-Undang Kesehatan Masyarakat tahun 1875 mewajibkan pemerintah daerah untuk menyediakan rumah potong pusat (mereka baru diberi wewenang untuk menutup rumah potong yang tidak sehat pada tahun 1890).

Namun, penunjukan pengawas rumah jagal dan pendirian RPH terpusat telah dilakukan jauh lebih awal di koloni-koloni Inggris, seperti di New South Wales dan Victoria, dan di Skotlandia, di mana 80% sapi disembelih di RPH umum pada tahun 1930. Di Victoria, Melbourne Abattoirs Act 1850 (NSW) “membatasi penyembelihan hewan di rumah potong hewan umum yang telah ditentukan, dan pada saat yang sama melarang penyembelihan domba, domba, babi, atau kambing di tempat lain di dalam batas-batas kota”. Hewan-hewan dikirim dalam keadaan hidup ke pelabuhan-pelabuhan Inggris dari Irlandia, dari Eropa, dan dari daerah-daerah jajahan, lalu disembelih di rumah-rumah jagal yang besar di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Kondisinya seringkali sangat buruk.

Berbagai upaya juga dilakukan di seluruh Kerajaan Inggris untuk mereformasi praktik penyembelihan itu sendiri, karena metode yang digunakan mendapat banyak kritikan karena menyebabkan rasa sakit yang tidak semestinya pada hewan. Seorang dokter terkemuka, Benjamin Ward Richardson, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan metode penyembelihan yang lebih manusiawi. Dia menggunakan tidak kurang dari empat belas anestesi yang memungkinkan untuk digunakan di rumah jagal dan bahkan bereksperimen dengan penggunaan arus listrik di Royal Polytechnic Institution. Pada awal tahun 1853, ia merancang sebuah ruang mematikan yang akan membius hewan hingga mati tanpa rasa sakit, dan ia mendirikan Model Abattoir Society pada tahun 1882 untuk menyelidiki dan mengkampanyekan metode penyembelihan yang manusiawi.

Penemuan pendingin dan perluasan jaringan transportasi melalui laut dan kereta api memungkinkan ekspor daging ke seluruh dunia dengan aman. Selain itu, penemuan jutawan pengemasan daging Philip Danforth Armour tentang “jalur pembongkaran” sangat meningkatkan produktivitas dan margin keuntungan industri pengemasan daging: “menurut beberapa orang, penyembelihan hewan menjadi industri produksi massal pertama di Amerika Serikat.” Ekspansi ini disertai dengan meningkatnya kekhawatiran akan kondisi fisik dan mental para pekerja, serta kontroversi mengenai implikasi etika dan lingkungan dari penyembelihan hewan untuk diambil dagingnya.

RPH Edinburgh, yang dibangun pada tahun 1910, memiliki laboratorium dengan penerangan yang baik, air panas dan dingin, gas, mikroskop, dan peralatan untuk membudidayakan organisme. Peraturan Kesehatan Masyarakat (Daging) Inggris tahun 1924 mewajibkan pemberitahuan penyembelihan untuk memungkinkan pemeriksaan karkas dan memungkinkan karkas yang telah diperiksa diberi tanda.

Perkembangan rumah pemotongan hewan terkait dengan ekspansi industri produk sampingan. Pada tahun 1932, industri produk sampingan di Inggris bernilai sekitar 97 juta poundsterling per tahun, dengan mempekerjakan 310.000 orang. Rumah jagal Aberdeen mengirim kuku ke Lancashire untuk membuat lem, usus ke Glasgow untuk sosis, dan kulit ke penyamakan kulit di Midland. Pada Januari 1940, pemerintah Inggris mengambil alih 16.000 rumah jagal dan pada tahun 1942 hanya tersisa 779 rumah jagal.

Desain

Pada akhir abad ke-20, tata letak dan desain sebagian besar rumah jagal di AS dipengaruhi oleh karya Temple Grandin. Dia menyarankan bahwa mengurangi stres pada hewan yang akan disembelih dapat membantu operator rumah jagal untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan. Khususnya, dia menerapkan pemahaman tentang psikologi hewan dalam mendesain kandang dan kandang yang menyalurkan sekawanan hewan yang tiba di rumah jagal ke dalam satu berkas yang siap disembelih. Kandangnya menggunakan kurva panjang yang menyapu sehingga setiap hewan tidak dapat melihat apa yang ada di depan dan hanya berkonsentrasi pada bagian belakang hewan di depannya. Desain ini - bersama dengan elemen desain sisi-sisi yang kokoh, gerbang kerumunan yang kokoh, dan mengurangi kebisingan di titik akhir - bekerja sama untuk mendorong hewan maju ke depan dalam saluran dan tidak berbalik arah.

Desain bergerak

Dimulai pada tahun 2008, Local Infrastructure for Local Agriculture, sebuah lembaga nirlaba yang berkomitmen untuk merevitalisasi peluang bagi “peternak kecil dan memperkuat hubungan antara penawaran dan permintaan lokal”, membangun fasilitas rumah potong hewan yang dapat berpindah-pindah sebagai upaya agar peternak kecil dapat memproses daging dengan cepat dan hemat biaya. Diberi nama Modular Harvest System, atau MHS, fasilitas ini mendapat persetujuan dari USDA pada tahun 2010. MHS terdiri dari tiga trailer terpisah: Satu untuk penyembelihan, satu untuk bagian tubuh yang dapat dikonsumsi, dan satu lagi untuk bagian tubuh lainnya. Persiapan setiap potongan dilakukan di rumah potong hewan atau fasilitas persiapan daging lainnya.

Variasi internasional

Standar dan peraturan yang mengatur rumah pemotongan hewan sangat bervariasi di seluruh dunia. Di banyak negara, penyembelihan hewan diatur oleh adat dan tradisi, bukan oleh hukum. Di dunia non-Barat, termasuk dunia Arab, sub-benua India, dan lain-lain, kedua bentuk daging tersebut tersedia: daging yang diproduksi di rumah pemotongan hewan modern dan daging yang diproduksi di toko daging lokal.

Di beberapa komunitas, penyembelihan hewan dan spesies yang diizinkan dapat dikontrol oleh hukum agama, terutama halal untuk Muslim dan kashrut untuk komunitas Yahudi. Hal ini dapat menyebabkan konflik dengan peraturan nasional ketika sebuah rumah jagal yang mengikuti aturan persiapan keagamaan berada di beberapa negara Barat. Dalam hukum Yahudi, baut tawanan dan metode kelumpuhan pra-penyembelihan lainnya pada umumnya tidak diperbolehkan, karena hewan dilarang dipingsankan sebelum disembelih. Berbagai otoritas makanan halal baru-baru ini mengizinkan penggunaan sistem pemingsanan yang aman yang dikembangkan baru-baru ini, yaitu pemingsanan hanya pada bagian kepala di mana sengatan listrik tidak fatal, dan di mana memungkinkan untuk membalikkan prosedur dan menghidupkan kembali hewan setelah sengatan listrik. Penggunaan elektronarcosis dan metode lain untuk menumpulkan penginderaan telah disetujui oleh Komite Fatwa Mesir. Hal ini memungkinkan entitas-entitas ini untuk melanjutkan teknik religius mereka sambil tetap mematuhi peraturan nasional.

Di beberapa masyarakat, keengganan budaya dan agama tradisional terhadap penyembelihan menyebabkan prasangka terhadap orang-orang yang terlibat. Di Jepang, di mana larangan penyembelihan hewan ternak untuk makanan [sebutkan] dicabut pada akhir abad ke-19, industri penyembelihan yang baru ditemukan ini menarik para pekerja terutama dari desa-desa burakumin, yang secara tradisional bekerja dalam pekerjaan yang berkaitan dengan kematian (seperti algojo dan pengurus jenazah). Di beberapa bagian Jepang barat, prasangka yang dihadapi oleh para penduduk saat ini dan mantan penduduk daerah tersebut (burakumin “orang dusun”) masih menjadi isu sensitif. Karena hal ini, bahkan kata Jepang untuk “pembantaian” (屠殺 tosatsu) dianggap tidak tepat secara politis oleh beberapa kelompok penekan karena pencantuman kanji untuk “membunuh” (殺) dianggap menggambarkan mereka yang mempraktikkannya dengan cara yang negatif.

Beberapa negara memiliki undang-undang yang mengecualikan spesies hewan tertentu atau kelas hewan tertentu untuk disembelih untuk konsumsi manusia, terutama yang merupakan makanan tabu. Mantan Perdana Menteri India, Atal Bihari Vajpayee, pada tahun 2004 mengusulkan untuk memperkenalkan undang-undang yang melarang penyembelihan sapi di seluruh India, karena agama Hindu menganggap sapi sebagai hewan yang suci dan menganggap penyembelihannya sebagai sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Hal ini sering ditentang atas dasar kebebasan beragama. Penyembelihan sapi dan impor daging sapi ke negara Nepal dilarang keras.

Pembekuan berhasil

Teknologi pendinginan memungkinkan daging dari rumah jagal diawetkan untuk waktu yang lebih lama. Hal ini memunculkan konsep bahwa rumah jagal adalah tempat pembekuan. Sebelumnya, pengalengan adalah sebuah pilihan. Pembekuan biasa dilakukan di Selandia Baru, Australia, dan Afrika Selatan. Di negara-negara di mana daging diekspor untuk mendapatkan keuntungan yang besar, tempat pembekuan dibangun di dekat dermaga, atau di dekat infrastruktur transportasi.

Unit pemrosesan unggas bergerak (MPPU) mengikuti prinsip yang sama, tetapi biasanya hanya membutuhkan satu trailer dan, di sebagian besar wilayah Amerika Serikat, dapat beroperasi secara legal di bawah pengecualian USDA yang tidak tersedia bagi pengolah daging merah. Beberapa MPPU telah beroperasi sejak sebelum tahun 2010, di bawah berbagai model operasi dan kepemilikan].

Hukum

Sebagian besar negara memiliki undang-undang terkait perlakuan terhadap hewan di rumah potong hewan. Di Amerika Serikat, terdapat Humane Slaughter Act of 1958, sebuah undang-undang yang mewajibkan semua babi, domba, sapi, dan kuda untuk dipingsankan hingga tidak sadarkan diri dengan menggunakan alat pemingsanan oleh orang yang terlatih sebelum dinaikkan ke atas tali. Ada beberapa perdebatan mengenai penegakan undang-undang ini. Undang-undang ini, seperti halnya di banyak negara, mengecualikan penyembelihan yang sesuai dengan hukum agama, seperti halal shechita[rujukan yang diperlukan] dan dhabiha halal. Interpretasi yang paling ketat dari kashrut mengharuskan hewan dalam keadaan sadar sepenuhnya ketika arteri karotisnya dipotong.

Novel The Jungle menyajikan kisah fiksi tentang kondisi tidak sehat di rumah jagal dan industri pengemasan daging selama tahun 1800-an. Hal ini langsung mengarah pada penyelidikan yang ditugaskan langsung oleh Presiden Theodore Roosevelt, dan pada pengesahan Undang-Undang Inspeksi Daging dan Undang-Undang Makanan dan Obat-obatan Murni tahun 1906, yang membentuk Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan. Peraturan yang jauh lebih besar berkaitan dengan peraturan dan inspeksi kesehatan masyarakat dan keselamatan pekerja.

Masalah kesejahteraan hewan

Pada tahun 1997, Gail Eisnitz, kepala penyelidik untuk Humane Farming Association (HFA) merilis buku Slaughterhouse. Di dalamnya, ia mengungkap wawancara dengan para pekerja rumah jagal di AS yang mengatakan bahwa, karena kecepatan kerja mereka, hewan-hewan secara rutin dikuliti ketika mereka masih hidup dan masih berkedip, menendang, dan menjerit. Eisnitz berpendapat bahwa hal ini tidak hanya kejam bagi hewan, tetapi juga berbahaya bagi para pekerja manusia, karena sapi-sapi yang beratnya beberapa ribu pon yang meronta-ronta kesakitan kemungkinan besar akan menendang dan melemahkan siapa pun yang bekerja di dekatnya.

Hal ini menyiratkan bahwa beberapa rumah jagal di seluruh negeri tidak mengikuti pedoman dan peraturan yang ditetapkan oleh Humane Slaughter Act, yang mengharuskan semua hewan untuk ditidurkan dan dengan demikian tidak merasakan rasa sakit dalam beberapa bentuk, biasanya elektronarkosis, sebelum menjalani segala bentuk tindakan kekerasan.

Menurut HFA, Eiznitz mewawancarai para pekerja di rumah jagal yang memiliki pengalaman kerja lebih dari dua juta jam, yang, tanpa terkecuali, mengatakan kepadanya bahwa mereka telah memukuli, mencekik, merebus, dan memotong-motong hewan hidup-hidup, atau tidak melaporkan mereka yang melakukannya. Para pekerja menggambarkan dampak kekerasan yang terjadi pada kehidupan pribadi mereka, dengan beberapa di antaranya mengaku melakukan kekerasan fisik atau mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.

HFA menuduh bahwa para pekerja diharuskan membunuh hingga 1.100 babi per jam dan akhirnya melampiaskan kekesalan mereka pada hewan-hewan tersebut. Eisnitz mewawancarai seorang pekerja, yang pernah bekerja di sepuluh rumah jagal, tentang produksi babi. Dia mengatakan kepadanya:

Babi mudah sekali stres. Jika Anda terlalu banyak mendorong mereka, mereka akan mengalami serangan jantung. Jika Anda mendapatkan seekor babi di dalam saluran yang kotorannya telah dikeluarkan dan mengalami serangan jantung atau menolak untuk bergerak, Anda mengambil pengait daging dan menancapkannya ke lubang lubangnya. Anda mencoba melakukan ini dengan memotong tulang pinggulnya. Kemudian Anda menyeretnya ke belakang. Anda menyeret babi ini hidup-hidup, dan sering kali pengait dagingnya terlepas dari lubangnya. Saya pernah melihat daging ham - paha - yang benar-benar terkoyak. Saya juga pernah melihat usus keluar. Jika babi pingsan di dekat bagian depan parasut, Anda menusukkan pengait daging ke pipinya dan menyeretnya ke depan.

Aktivis hak-hak hewan, anti-spesiesisme, vegetarian, dan vegan adalah pengkritik utama rumah jagal dan telah membuat acara seperti pawai untuk menutup semua rumah jagal untuk menyuarakan keprihatinan tentang kondisi rumah jagal dan meminta agar rumah jagal dihapuskan. Beberapa orang berpendapat bahwa penyembelihan hewan secara manusiawi tidak mungkin dilakukan.

Kekhawatiran eksploitasi pekerja

Dampak kematian di rumah jagal

Pekerja di rumah jagal Amerika tiga kali lebih mungkin mengalami cedera serius dibandingkan rata-rata pekerja di Amerika. NPR melaporkan bahwa pekerja rumah jagal babi dan sapi hampir tujuh kali lebih mungkin menderita cedera akibat kerja berulang dibandingkan rata-rata pekerja Amerika Serikat.[38] The Guardian melaporkan bahwa rata-rata terjadi dua kali amputasi dalam seminggu yang melibatkan pekerja rumah jagal di Amerika Serikat. Rata-rata, satu karyawan Tyson Foods, produsen daging terbesar di Amerika, mengalami cedera dan mengamputasi jari atau anggota tubuh setiap bulannya. Bureau of Investigative Journalism melaporkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun, di Inggris, 78 pekerja penyembelihan kehilangan jari, bagian dari jari atau anggota tubuh, lebih dari 800 pekerja mengalami cedera serius, dan setidaknya 4.500 pekerja harus cuti lebih dari tiga hari setelah mengalami kecelakaan. Dalam sebuah studi tahun 2018 di Italian Journal of Food Safety, pekerja di rumah potong hewan diinstruksikan untuk mengenakan pelindung telinga untuk melindungi pendengaran mereka dari suara bising di fasilitas tersebut. Sebuah studi tahun 2004 dalam Journal of Occupational and Environmental Medicine menemukan bahwa “risiko berlebih diamati untuk kematian akibat semua penyebab, semua kanker, dan kanker paru-paru” pada pekerja yang dipekerjakan di industri pengolahan daging Selandia Baru.

Hal terburuk, yang lebih buruk dari bahaya fisik, adalah dampak emosional. Jika Anda bekerja di lubang tongkat [tempat babi dibunuh] untuk jangka waktu tertentu - yang memungkinkan Anda membunuh sesuatu tetapi tidak memungkinkan Anda untuk peduli. Anda mungkin akan melihat mata babi yang berjalan-jalan di dalam lubang darah bersama Anda dan berpikir, “Ya Tuhan, itu benar-benar bukan hewan yang buruk.” Anda mungkin ingin mengelusnya. Babi-babi yang berada di lantai pembantaian datang menghampiri saya untuk mengelus-elus saya seperti anak anjing. Dua menit kemudian saya harus membunuh mereka - memukuli mereka sampai mati dengan pipa. Saya tidak peduli.

- Gail A. Eisnitz,

Dampak psikologis

Pekerja RPH memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan, keterasingan, depresi, mati rasa emosional, trauma pelaku, tekanan psikososial, dan PTSD, sikap yang mendukung kekerasan, dan peningkatan tingkat kejahatan. Pekerja di Rumah Potong Hewan memiliki strategi adaptif dan maladaptif untuk mengatasi lingkungan tempat kerja dan pemicu stres yang terkait.

Bekerja di rumah pemotongan hewan sering kali menyebabkan trauma psikologis yang tinggi. Sebuah studi tahun 2016 di Organization menunjukkan, “Analisis regresi data dari 10.605 pekerja Denmark di 44 pekerjaan menunjukkan bahwa pekerja di rumah potong hewan secara konsisten mengalami kesejahteraan fisik dan psikologis yang lebih rendah, serta meningkatnya insiden perilaku koping negatif.” Sebuah studi tahun 2009 oleh kriminolog Amy Fitzgerald menunjukkan, “pekerjaan di rumah potong hewan meningkatkan tingkat penangkapan total, penangkapan untuk kejahatan kekerasan, penangkapan untuk pemerkosaan, dan penangkapan untuk pelanggaran seksual lainnya dibandingkan dengan industri lain.” Seperti yang dijelaskan oleh penulis dari Jurnal PTSD, “Para karyawan ini dipekerjakan untuk membunuh hewan, seperti babi dan sapi yang sebagian besar adalah makhluk yang lembut. Melakukan tindakan ini mengharuskan para pekerja untuk memutuskan hubungan dengan apa yang mereka lakukan dan dengan makhluk yang ada di hadapan mereka. Disonansi emosional ini dapat menyebabkan konsekuensi seperti kekerasan dalam rumah tangga, penarikan diri dari pergaulan, kecemasan, penyalahgunaan obat dan alkohol, dan PTSD.”

Kondisi kerja

Dimulai pada tahun 1980-an, Cargill, Conagra Brands, Tyson Foods, dan perusahaan makanan besar lainnya memindahkan sebagian besar operasi rumah potong hewan ke daerah pedesaan di Amerika Serikat bagian Selatan yang lebih tidak bersahabat dengan upaya serikat pekerja. Rumah pemotongan hewan di Amerika Serikat umumnya mempekerjakan dan mengeksploitasi pekerja di bawah umur dan imigran tidak berdokumen secara ilegal. Pada tahun 2010, Human Rights Watch menggambarkan pekerjaan di rumah jagal di Amerika Serikat sebagai kejahatan hak asasi manusia. Dalam laporan Oxfam Amerika, pekerja di rumah jagal tidak diberi waktu istirahat, sering kali diharuskan memakai popok, dan dibayar di bawah upah minimum.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Rumah potong

Teknik Industri

Apa yang dimaksud dengan Ergonomi (HFE)?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Definisi dan Aplikasi

Kata ergonomi - “ilmu tentang kerja” - berasal dari bahasa Yunani ergon (kerja) dan nomos (hukum). Istilah ergonomi dan faktor manusia sering digunakan secara bergantian atau sebagai satu kesatuan (misalnya, faktor manusia/ergonomi - HFE atau EHF), sebuah praktik yang diadopsi oleh IEA. Definisi ergonomi (atau faktor manusia) yang diadopsi oleh IEA pada tahun 2000 adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pemahaman interaksi antara manusia dan elemen-elemen lain dari sebuah sistem, dan profesi yang menerapkan teori, prinsip, data, dan metode pada desain untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara keseluruhan.

[Informasi tentang perkembangan dan sejarah definisi IEA]

Domain HFE juga didefinisikan pada tahun 2000 untuk mencakup:

Ergonomi fisik berkaitan dengan karakteristik anatomi, antropometri, fisiologis, dan biomekanik manusia yang berhubungan dengan aktivitas fisik. (Topik yang relevan meliputi postur kerja, penanganan material, gerakan berulang, gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan, tata letak tempat kerja, keselamatan dan kesehatan fisik).

Ergonomi kognitif berkaitan dengan proses mental, seperti persepsi, ingatan, penalaran, dan respons motorik, karena hal tersebut mempengaruhi interaksi antar manusia dan elemen lain dari suatu sistem. (Topik yang relevan termasuk beban kerja mental, pengambilan keputusan, kinerja terampil, interaksi manusia-komputer, keandalan manusia, stres kerja, dan pelatihan karena hal ini dapat berhubungan dengan desain sistem manusia).

Ergonomi organisasi berkaitan dengan optimalisasi sistem sosioteknis, termasuk struktur organisasi, kebijakan, dan prosesnya. (Topik yang relevan termasuk komunikasi, manajemen sumber daya kru, desain kerja, desain waktu kerja, kerja tim, desain partisipatif, ergonomi komunitas, kerja sama, paradigma kerja baru, organisasi virtual, kerja jarak jauh, dan manajemen kualitas).

Meskipun para praktisi HFE sering bekerja dalam sektor ekonomi, industri, atau bidang aplikasi tertentu, ilmu pengetahuan dan praktik HFE tidak bersifat spesifik pada satu bidang tertentu.  HFE adalah ilmu pengetahuan yang mengintegrasikan multi-disiplin dan berpusat pada pengguna. Masalah yang ditangani HFE biasanya bersifat sistemik; oleh karena itu HFE menggunakan pendekatan sistem yang holistik untuk menerapkan teori, prinsip, dan data dari berbagai disiplin ilmu yang relevan pada desain dan evaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan, dan sistem.  HFE memperhitungkan faktor fisik, kognitif, sosioteknis, organisasi, lingkungan, dan faktor lain yang relevan, serta interaksi yang kompleks antara manusia dengan manusia lain, lingkungan, alat, produk, peralatan, dan teknologi.

Agar dapat berlatih secara efektif, para profesional di bidang faktor manusia dan ergonomi yang merupakan spesialis dalam domain atau disiplin tertentu harus menangani masalah dan tantangan dengan pertimbangan yang memadai dari semua elemen HFE yang relevan. Hal ini mengasumsikan pemahaman yang luas tentang area HFE lainnya; namun, pemecahan masalah yang sebenarnya membutuhkan pendekatan partisipatif melalui konsultasi dengan spesialis HFE di domain yang berbeda serta spesialis di bidang lain yang relevan.

Prinsip-prinsip HFE

Prinsip-prinsip HFE berakar pada nilai-nilai sosio-teknis. Prinsip-prinsip dan metodologi desain partisipatif HFE berlaku di seluruh desain tugas, pekerjaan, produk, lingkungan, industri, dan jenis pekerjaan. Prinsip-prinsip HFE berakar pada nilai-nilai inti yang esensial:2,3

  • Manusia sebagai aset
  • Teknologi sebagai alat untuk membantu manusia,
  • Meningkatkan kualitas hidup,
  • Menghormati perbedaan individu, dan
  • Tanggung jawab kepada semua pemangku kepentingan.

Perspektif HFE

HFE tidak hanya mencakup keselamatan dan kesehatan fisik, tetapi juga aspek kognitif dan psiko-sosial dalam hidup dan bekerja. Selain itu, HFE dapat berfokus pada aspek mikroergonomi dari desain - termasuk desain prosedur, konteks, serta peralatan dan perkakas yang digunakan untuk melaksanakan tugas - serta aspek makroergonomi dari desain - termasuk organisasi kerja, jenis pekerjaan, teknologi yang digunakan, dan peran kerja, komunikasi dan umpan balik. Berbagai aspek ini tidak dapat dilihat secara terpisah.  HFE mencerminkan perspektif holistik terhadap desain produk dan sistem, dengan mempertimbangkan keterkaitan antara komponen manusia, teknis, dan lingkungan, serta efek potensial dari perubahan desain sistem pada semua bagian sistem.

Partisipasi dalam desain sistem

HFE berkontribusi pada sistem yang aman dan berkelanjutan melalui kombinasi unik dari tiga pendorong intervensi:

(1) HFE menggunakan pendekatan sistem, menggunakan proses yang sistematis, berulang, dan bertahap;

(2) HFE digerakkan oleh desain; dan

(3) HFE berfokus pada pengoptimalan dua hasil yang saling terkait erat, yaitu kinerja dan kesejahteraan.

Praktisi HFE menyadari perlunya partisipasi semua kelompok pemangku kepentingan (faktor manusia dan ergonomi partisipatif) dalam desain sistem. HFE yang efektif sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan dan pekerjaan kita di abad ke-21; tanpa memperhatikan HFE, desain sistem tidak akan mendukung keberlanjutan pekerjaan, organisasi, atau masyarakat.

Pemangku kepentingan HFE

Setiap orang atau sekelompok orang yang dapat mempengaruhi, terpengaruh, atau menganggap diri mereka terpengaruh oleh keputusan atau aktivitas HFE adalah pemangku kepentingan HFE. Pemangku kepentingan saling terkait dan meliputi:

  • Pemberi pengaruh sistem - misalnya, pihak berwenang yang kompeten seperti pemerintah, regulator, organisasi standardisasi di tingkat nasional dan regional.
  • Pengambil keputusan sistem - misalnya, pengusaha dan manajer, mereka yang membuat keputusan tentang persyaratan untuk desain sistem, sistem pembelian, implementasi dan penggunaan;
  • Pakar sistem - misalnya, spesialis HFE profesional, insinyur profesional dan psikolog yang berkontribusi pada desain sistem berdasarkan latar belakang profesional mereka yang spesifik;
  • Pelaku sistem - misalnya, karyawan/pekerja, pengguna produk/jasa, yang merupakan bagian dari sistem dan yang secara langsung atau tidak langsung terpengaruh oleh desain sistem dan yang, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kinerjanya.5

Pemangku kepentingan untuk HFE dapat mewakili berbagai tingkatan, domain, dan jenis pengaruh dan investasi, seperti:

  • Tingkat internasional - pejabat pembuat peraturan dan pembuat kebijakan, LSM internasional
  • Tingkat nasional - pemerintah, pembuat hukum dan kebijakan, regulator, LSM nasional
  • Tingkat pendidikan - universitas, program ilmu terapan, pendidikan kejuruan, profesor, guru, siswa
  • Tingkat praktik - CEO dan manajer di perusahaan, perancang pekerjaan dan sistem kerja di berbagai bidang, praktisi di bidang yang relevan dengan HFE.

 Nilai HFE dalam dunia kerja

Sistem kerja terdiri dari manusia, alat, proses, dan teknologi yang mereka gunakan, serta lingkungan kerja. HFE berkontribusi pada penciptaan sistem kerja yang aman dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara komponen manusia, teknis, dan lingkungan serta efek potensial dari perubahan desain sistem kerja pada semua bagian sistem. Anggota komunitas HFE menyadari perlunya partisipasi semua pemangku kepentingan dalam kelompok-kelompok desain sistem (yaitu HFE Partisipatif).

HFE secara simultan berkontribusi pada kesehatan ekonomi organisasi dengan meningkatkan kesejahteraan, kemampuan dan keberlanjutan pekerja, memaksimalkan kinerja, dan mengurangi biaya langsung serta biaya tidak langsung dari kehilangan produktivitas, kekurangan kualitas, dan pergantian karyawan. Tempat kerja yang didesain dengan prinsip-prinsip HFE memiliki kinerja karyawan yang lebih baik dan menghasilkan hasil bisnis yang lebih baik. Desain HFE dalam sistem kerja adalah bisnis yang sederhana dan tidak diragukan lagi.

Sumber yang dikutip:

  1. Bridger, R. S. (2018). Pengantar Faktor Manusia dan Ergonomi, Edisi ke-4. Boca Raton, FL, Amerika Serikat.  CRC Press.
  2. Read, G.J.M., Salmon, P.M., Goode, N., & Lenné, M.G. (2018). Perangkat desain sosioteknis untuk menjembatani kesenjangan antara analisis berbasis sistem dan desain sistem. Faktor Manusia dan Ergonomi dalam Industri Manufaktur & Jasa, 28(6), 327-341.
  3. Prinsip dan Pedoman untuk Desain HF/E dan Manajemen Sistem Kerja. (2019) Dokumen Bersama oleh IEA dan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
  4. Wilson, J. R. (2014). Dasar-dasar sistem ergonomi/faktor manusia. Ergonomi Terapan (45), 5-13.
  5. Dul, J., Bruder, R., Buckle, P., Carayon, P., Falzon, P., Marras, W. S., Wilson, J. R., & van der Doelen, B. (2012). Strategi untuk faktor manusia/ergonomi: Mengembangkan disiplin dan profesi, Ergonomi, 55:4, 377-395, DOI: 10.1080/00140139.2012.661087
  6. Hendrick, H. W. (2003). Menentukan biaya-manfaat proyek ergonomi dan faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilannya. Ergonomi Terapan, 34, 419-427.

 
Disadur dari: https://iea.cc/

Selengkapnya
Apa yang dimaksud dengan Ergonomi (HFE)?

Teknik Industri

Mengenal Apa itu Ergonomika

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Ergonomi, juga dikenal sebagai faktor manusia atau rekayasa faktor manusia (human factors engineering/HFE), adalah penerapan prinsip-prinsip psikologis dan fisiologis pada rekayasa dan desain produk, proses, dan sistem. Tujuan utama dari rekayasa faktor manusia adalah untuk mengurangi kesalahan manusia, meningkatkan produktivitas dan ketersediaan sistem, serta meningkatkan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan dengan fokus khusus pada interaksi antara manusia dan peralatan.

Bidang ini merupakan kombinasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, teknik, biomekanika, desain industri, fisiologi, antropometri, desain interaksi, desain visual, pengalaman pengguna, dan desain antarmuka pengguna. Penelitian faktor manusia menggunakan metode dan pendekatan dari disiplin ilmu tersebut dan disiplin ilmu lainnya untuk mempelajari perilaku manusia dan menghasilkan data yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam mempelajari dan berbagi pembelajaran tentang desain peralatan, perangkat, dan proses yang sesuai dengan tubuh manusia dan kemampuan kognitifnya, dua istilah “faktor manusia” dan “ergonomi” pada dasarnya sama dalam hal referensi dan maknanya dalam literatur saat ini.

Asosiasi Ergonomi Internasional mendefinisikan ergonomi atau faktor manusia sebagai berikut:

Ergonomi (atau faktor manusia) adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pemahaman tentang interaksi antara manusia dan elemen-elemen lain dari sebuah sistem, dan profesi yang menerapkan teori, prinsip, data, dan metode pada desain untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara keseluruhan.

Rekayasa faktor manusia relevan dalam desain hal-hal seperti perabotan yang aman dan antarmuka yang mudah digunakan ke mesin dan peralatan. Desain ergonomis yang tepat diperlukan untuk mencegah cedera regangan berulang dan gangguan muskuloskeletal lainnya, yang dapat berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan kecacatan jangka panjang. Faktor manusia dan ergonomi berkaitan dengan “kecocokan” antara pengguna, peralatan, dan lingkungan atau “menyesuaikan pekerjaan dengan seseorang” atau “menyesuaikan tugas dengan orangnya”.  Hal ini memperhitungkan kemampuan dan keterbatasan pengguna dalam upaya memastikan bahwa tugas, fungsi, informasi, dan lingkungan sesuai dengan pengguna tersebut.

Untuk menilai kesesuaian antara seseorang dan teknologi yang digunakan, spesialis faktor manusia atau ahli ergonomi mempertimbangkan pekerjaan (aktivitas) yang sedang dilakukan dan tuntutan pengguna; peralatan yang digunakan (ukuran, bentuk, dan kesesuaiannya dengan tugas), dan informasi yang digunakan (bagaimana informasi tersebut disajikan, diakses, dan diubah). Ergonomi mengacu pada banyak disiplin ilmu dalam mempelajari manusia dan lingkungannya, termasuk antropometri, biomekanika, teknik mesin, teknik industri, desain industri, desain informasi, kinesiologi, fisiologi, psikologi kognitif, psikologi industri dan organisasi, dan psikologi ruang.

Etimologi

Istilah ergonomi (dari bahasa Yunani ἔργον, yang berarti “kerja”, dan νόμος, yang berarti “hukum alam”) pertama kali masuk ke dalam kamus modern saat ilmuwan Polandia Wojciech Jastrzębowski menggunakan kata tersebut dalam artikelnya pada tahun 1857 berjudul Rys ergonomji czyli nauki o pracy, opartej na prawdach poczerpniętych z Nauki Przyrody (Garis Besar Ergonomi; i. e. Ilmu Kerja, Berdasarkan Kebenaran yang Diambil dari Ilmu Pengetahuan Alam). Cendekiawan Prancis Jean-Gustave Courcelle-Seneuil, yang tampaknya tidak mengetahui artikel Jastrzębowski, menggunakan kata tersebut dengan arti yang sedikit berbeda pada tahun 1858. Pengenalan istilah ini ke dalam leksikon bahasa Inggris secara luas dikaitkan dengan psikolog Inggris Hywel Murrell, pada pertemuan tahun 1949 di Admiralty, Inggris, yang mengarah pada pendirian The Ergonomics Society. Dia menggunakannya untuk mencakup studi yang dia lakukan selama dan setelah Perang Dunia II.

Ungkapan faktor manusia adalah metode yang didominasi oleh Amerika Utara untuk situasi yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. “Faktor manusia” adalah properti fisik atau kognitif dari individu atau perilaku sosial yang spesifik untuk manusia yang dapat mempengaruhi fungsi sistem teknologi. Istilah “faktor manusia” dan “ergonomi” pada dasarnya sama.

Domain spesialisasi

Menurut Asosiasi Ergonomi Internasional, dalam disiplin ergonomi terdapat domain spesialisasi. Ini terdiri dari tiga bidang penelitian utama: ergonomi fisik, kognitif, dan organisasi.

Ada banyak spesialisasi dalam kategori yang luas ini. Spesialisasi di bidang ergonomi fisik dapat mencakup ergonomi visual. Spesialisasi dalam bidang ergonomi kognitif dapat mencakup kegunaan, interaksi manusia-komputer, dan rekayasa pengalaman pengguna.

Beberapa spesialisasi dapat melintasi domain-domain ini: Ergonomi lingkungan berkaitan dengan interaksi manusia dengan lingkungan yang ditandai dengan iklim, suhu, tekanan, getaran, dan cahaya. Bidang yang baru muncul yaitu faktor manusia dalam keselamatan jalan raya menggunakan prinsip-prinsip faktor manusia untuk memahami tindakan dan kemampuan pengguna jalan raya - pengemudi mobil dan truk, pejalan kaki, pesepeda, dll. - dan menggunakan pengetahuan ini untuk merancang jalan dan jalan raya untuk mengurangi tabrakan lalu lintas. Kesalahan pengemudi tercatat sebagai faktor penyebab 44% tabrakan fatal di Amerika Serikat, sehingga topik yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana pengguna jalan mengumpulkan dan memproses informasi tentang jalan dan lingkungannya, serta bagaimana membantu mereka mengambil keputusan yang tepat.

Istilah-istilah baru terus bermunculan setiap saat. Misalnya, “insinyur uji coba pengguna” dapat merujuk pada seorang profesional teknik faktor manusia yang berspesialisasi dalam uji coba pengguna. Meskipun namanya berubah, para profesional faktor manusia menerapkan pemahaman tentang faktor manusia pada desain peralatan, sistem, dan metode kerja untuk meningkatkan kenyamanan, kesehatan, keselamatan, dan produktivitas.

  • Ergonomi fisik

Ergonomi fisik berkaitan dengan anatomi manusia, dan beberapa karakteristik antropometrik, fisiologis, dan biomekanik yang berkaitan dengan aktivitas fisik. Prinsip-prinsip ergonomi fisik telah digunakan secara luas dalam desain produk konsumen dan industri untuk mengoptimalkan kinerja dan untuk mencegah/mengobati gangguan yang berhubungan dengan pekerjaan dengan mengurangi mekanisme di balik cedera/gangguan muskuloskeletal akut dan kronis yang diakibatkan oleh mekanis. Faktor-faktor risiko seperti tekanan mekanis lokal, gaya dan postur tubuh di lingkungan kantor yang tidak banyak bergerak menyebabkan cedera yang dikaitkan dengan lingkungan pekerjaan. Ergonomi fisik penting bagi mereka yang didiagnosis dengan penyakit atau gangguan fisiologis seperti radang sendi (baik kronis maupun sementara) atau sindrom lorong karpal. Tekanan yang tidak signifikan atau tidak terlihat oleh mereka yang tidak terpengaruh oleh gangguan ini mungkin sangat menyakitkan, atau membuat perangkat tidak dapat digunakan, bagi mereka yang terpengaruh. Banyak produk yang dirancang secara ergonomis juga digunakan atau direkomendasikan untuk mengobati atau mencegah gangguan tersebut, dan untuk mengobati nyeri kronis yang berhubungan dengan tekanan.

Salah satu jenis cedera yang paling umum terjadi akibat pekerjaan adalah gangguan muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan (WRMD) mengakibatkan rasa sakit yang terus-menerus, hilangnya kapasitas fungsional dan kecacatan kerja, tetapi diagnosis awalnya sulit karena terutama didasarkan pada keluhan rasa sakit dan gejala lainnya. Setiap tahun, 1,8 juta pekerja di AS mengalami WRMDs dan hampir 600.000 di antaranya mengalami cedera yang cukup serius sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat bekerja. Pekerjaan atau kondisi kerja tertentu menyebabkan tingkat keluhan pekerja yang lebih tinggi terhadap ketegangan yang tidak semestinya, kelelahan lokal, ketidaknyamanan, atau rasa sakit yang tidak hilang setelah istirahat semalaman. Jenis pekerjaan ini sering kali melibatkan aktivitas seperti pengerahan tenaga yang berulang-ulang dan kuat; pengangkatan yang sering, berat, atau di atas kepala; posisi kerja yang janggal; atau penggunaan peralatan yang bergetar. Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (OSHA) telah menemukan bukti substansial bahwa program ergonomi dapat memangkas biaya kompensasi pekerja, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi perputaran karyawan. Solusi mitigasi dapat mencakup solusi jangka pendek dan jangka panjang. Solusi jangka pendek dan jangka panjang melibatkan pelatihan kesadaran, penempatan posisi tubuh, perabot dan peralatan, serta latihan ergonomis. Stasiun duduk-berdiri dan aksesori komputer yang menyediakan permukaan lembut untuk mengistirahatkan telapak tangan serta keyboard terpisah sangat direkomendasikan. Selain itu, sumber daya di dalam departemen SDM dapat dialokasikan untuk memberikan penilaian kepada karyawan untuk memastikan kriteria di atas terpenuhi. Oleh karena itu, penting untuk mengumpulkan data untuk mengidentifikasi pekerjaan atau kondisi kerja yang paling bermasalah, dengan menggunakan sumber-sumber seperti catatan cedera dan penyakit, catatan medis, dan analisis pekerjaan.

Stasiun kerja inovatif yang sedang diuji coba meliputi meja kerja yang dapat diduduki, meja kerja yang dapat diatur ketinggiannya, meja kerja treadmill, perangkat pedal, dan ergometer siklus. Dalam beberapa penelitian, stasiun kerja baru ini menghasilkan penurunan lingkar pinggang dan peningkatan kesejahteraan psikologis. Namun sejumlah besar penelitian tambahan tidak menunjukkan adanya peningkatan yang nyata pada hasil kesehatan.

Dengan munculnya robot kolaboratif dan sistem pintar di lingkungan manufaktur, agen buatan dapat digunakan untuk meningkatkan ergonomi fisik rekan kerja manusia. Misalnya, selama kolaborasi manusia-robot, robot dapat menggunakan model biomekanik rekan kerja manusia untuk menyesuaikan konfigurasi kerja dan memperhitungkan berbagai metrik ergonomis, seperti postur tubuh manusia, torsi sendi, manipulasi lengan, dan kelelahan otot. Kesesuaian ergonomis dari ruang kerja bersama sehubungan dengan metrik ini juga dapat ditampilkan kepada manusia dengan peta ruang kerja melalui antarmuka visual.

  • Ergonomi kognitif

Ergonomi kognitif berkaitan dengan proses mental, seperti persepsi, emosi, memori, penalaran, dan respons motorik, karena hal ini mempengaruhi interaksi antara manusia dan elemen lain dari suatu sistem. (Topik yang relevan meliputi beban kerja mental, pengambilan keputusan, kinerja terampil, keandalan manusia, stres kerja, dan pelatihan karena hal ini mungkin terkait dengan desain interaksi manusia-sistem dan manusia-komputer). Studi epidemiologi menunjukkan adanya korelasi antara waktu yang dihabiskan seseorang untuk duduk dan fungsi kognitif mereka seperti penurunan mood dan depresi.

  • Ergonomi organisasi dan budaya keselamatan

Ergonomi organisasi berkaitan dengan optimalisasi sistem sosio-teknis, termasuk struktur organisasi, kebijakan, dan prosesnya. Topik yang relevan meliputi keberhasilan atau kegagalan komunikasi manusia dalam beradaptasi dengan elemen sistem lainnya, manajemen sumber daya kru, desain kerja, sistem kerja, desain waktu kerja, kerja sama tim, ergonomi partisipatif, ergonomi komunitas, kerja sama, program kerja baru, organisasi virtual, kerja jarak jauh, dan manajemen kualitas. Budaya keselamatan dalam organisasi insinyur dan teknisi telah dikaitkan dengan keselamatan teknik dengan dimensi budaya termasuk jarak kekuasaan dan toleransi ambiguitas. Jarak kekuasaan yang rendah telah terbukti lebih kondusif bagi budaya keselamatan. Organisasi dengan budaya penyembunyian atau kurangnya empati telah terbukti memiliki budaya keselamatan yang buruk.

Sejarah

  • Masyarakat kuno

Beberapa orang menyatakan bahwa ergonomi manusia dimulai dengan Australopithecus prometheus (juga dikenal sebagai “kaki kecil”), seekor primata yang menciptakan perkakas genggam dari berbagai jenis batu, yang dengan jelas membedakan perkakas berdasarkan kemampuannya dalam melakukan tugas yang telah ditentukan. Dasar-dasar ilmu ergonomi tampaknya telah diletakkan dalam konteks budaya Yunani Kuno. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa peradaban Yunani pada abad ke-5 SM menggunakan prinsip-prinsip ergonomis dalam desain alat, pekerjaan, dan tempat kerja mereka. Salah satu contoh yang luar biasa dari hal ini dapat ditemukan dalam deskripsi yang diberikan Hippocrates tentang bagaimana tempat kerja seorang ahli bedah harus dirancang dan bagaimana alat yang digunakannya harus diatur. Catatan arkeologi juga menunjukkan bahwa dinasti-dinasti awal Mesir membuat perkakas dan peralatan rumah tangga yang menggambarkan prinsip-prinsip ergonomis.

  • Masyarakat industri

Bernardino Ramazzini adalah salah satu orang pertama yang secara sistematis mempelajari penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan yang membuatnya mendapat julukan “bapak kedokteran kerja”. Pada akhir tahun 1600-an dan awal 1700-an, Ramazzini mengunjungi banyak tempat kerja di mana ia mendokumentasikan gerakan para pekerja dan berbicara dengan mereka tentang penyakit mereka. Dia kemudian menerbitkan “De Morbis Artificum Diatriba” (Bahasa Latin untuk Penyakit Pekerja) yang merinci pekerjaan, penyakit umum, dan pengobatannya. Pada abad ke-19, Frederick Winslow Taylor memelopori metode “manajemen ilmiah”, yang mengusulkan cara untuk menemukan metode optimal dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Taylor menemukan bahwa ia dapat, misalnya, melipatgandakan jumlah batu bara yang disekop oleh para pekerja dengan mengurangi ukuran dan berat sekop batu bara secara bertahap hingga tingkat sekop tercepat tercapai. Frank dan Lillian Gilbreth mengembangkan metode Taylor pada awal tahun 1900-an untuk mengembangkan “studi waktu dan gerakan”. Mereka bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dengan menghilangkan langkah dan tindakan yang tidak perlu. Dengan menerapkan pendekatan ini, Gilbreth mengurangi jumlah gerakan dalam pemasangan batu bata dari 18 menjadi 4,5, sehingga para tukang batu dapat meningkatkan produktivitas mereka dari 120 menjadi 350 batu bata per jam.

Namun, pendekatan ini ditolak oleh para peneliti Rusia yang berfokus pada kesejahteraan pekerja. Pada Konferensi Pertama tentang Organisasi Ilmiah Buruh (1921), Vladimir Bekhterev dan Vladimir Nikolayevich Myasishchev mengkritik Taylorisme. Bekhterev berargumen bahwa “Cita-cita tertinggi dari masalah perburuhan tidak terletak di dalamnya [Taylorisme], tetapi pada pengorganisasian proses kerja yang akan menghasilkan efisiensi maksimum yang digabungkan dengan bahaya kesehatan yang minimum, tidak adanya kelelahan dan jaminan kesehatan yang baik serta perkembangan pribadi yang menyeluruh dari para pekerja.”[34] Myasishchev menolak proposal Frederick Taylor untuk mengubah manusia menjadi mesin. Pekerjaan monoton yang membosankan adalah kebutuhan sementara sampai mesin yang sesuai dapat dikembangkan. Dia juga menyarankan sebuah disiplin ilmu baru “ergologi” untuk mempelajari pekerjaan sebagai bagian integral dari reorganisasi pekerjaan. Konsep ini diambil oleh mentor Myasishchev, Bekhterev, dalam laporan akhir konferensi, dengan hanya mengubah namanya menjadi “ergonologi”.

  • Penerbangan

Sebelum Perang Dunia I, fokus psikologi penerbangan adalah pada penerbang itu sendiri, tetapi perang mengalihkan fokus ke pesawat, khususnya, desain kontrol dan tampilan, dan efek ketinggian dan faktor lingkungan pada pilot. Perang menyaksikan munculnya penelitian aeromedis dan kebutuhan akan metode pengujian dan pengukuran. Studi tentang perilaku pengemudi mulai mendapatkan momentum selama periode ini, ketika Henry Ford mulai menyediakan mobil bagi jutaan orang Amerika. Perkembangan besar lainnya selama periode ini adalah kinerja penelitian aeromedis. Pada akhir Perang Dunia I, dua laboratorium aeronautika didirikan, satu di Pangkalan Angkatan Udara Brooks, Texas dan satu lagi di Pangkalan Angkatan Udara Wright-Patterson di luar Dayton, Ohio. Banyak tes dilakukan untuk menentukan karakteristik yang membedakan pilot yang sukses dan yang tidak. Pada awal tahun 1930-an, Edwin Link mengembangkan simulator penerbangan pertama. Tren ini terus berlanjut dan simulator dan peralatan uji yang lebih canggih dikembangkan. Perkembangan signifikan lainnya adalah di sektor sipil, di mana efek penerangan pada produktivitas pekerja diperiksa. Hal ini mengarah pada identifikasi Efek Hawthorne, yang menunjukkan bahwa faktor motivasi dapat secara signifikan memengaruhi kinerja manusia.

Perang Dunia II menandai pengembangan mesin dan persenjataan baru dan kompleks, dan hal ini membuat tuntutan baru pada kognisi operator. Tidak mungkin lagi untuk mengadopsi prinsip Tayloristik yang mencocokkan individu dengan pekerjaan yang sudah ada sebelumnya. Sekarang desain peralatan harus mempertimbangkan keterbatasan manusia dan memanfaatkan kemampuan manusia. Pengambilan keputusan, perhatian, kesadaran situasional, dan koordinasi mata-tangan operator alat berat menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan suatu tugas. Ada banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan kemampuan dan keterbatasan manusia yang harus dicapai. Banyak dari penelitian ini melanjutkan penelitian aeromedis yang ditinggalkan oleh penelitian aeromedis di antara masa perang. Contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fitts dan Jones (1947), yang mempelajari konfigurasi tombol kontrol yang paling efektif untuk digunakan di kokpit pesawat.

Sebagian besar penelitian ini melampaui peralatan lain dengan tujuan membuat kontrol dan tampilan yang lebih mudah digunakan oleh operator. Masuknya istilah “faktor manusia” dan “ergonomi” ke dalam leksikon modern berasal dari periode ini. Terlihat bahwa pesawat yang berfungsi penuh yang diterbangkan oleh pilot yang paling terlatih, tetap saja mengalami kecelakaan. Pada tahun 1943, Alphonse Chapanis, seorang letnan di Angkatan Darat AS, menunjukkan bahwa apa yang disebut “kesalahan pilot” ini dapat sangat dikurangi ketika kontrol yang lebih logis dan dapat dibedakan menggantikan desain yang membingungkan di kokpit pesawat. Setelah perang, Angkatan Udara Angkatan Darat menerbitkan 19 jilid yang merangkum apa yang telah ditetapkan dari penelitian selama perang.

Dalam beberapa dekade sejak Perang Dunia II, faktor manusia terus berkembang dan beragam. Karya Elias Porter dan yang lainnya di RAND Corporation setelah Perang Dunia II memperluas konsepsi faktor manusia. “Seiring dengan berkembangnya pemikiran, sebuah konsep baru berkembang-bahwa dimungkinkan untuk melihat sebuah organisasi seperti pertahanan udara, sistem manusia-mesin sebagai organisme tunggal dan bahwa dimungkinkan untuk mempelajari perilaku organisme tersebut. Itu adalah iklim untuk sebuah terobosan.” Pada 20 tahun pertama setelah Perang Dunia II, sebagian besar kegiatan dilakukan oleh para “pendiri”: Alphonse Chapanis, Paul Fitts, dan Small.

  • Perang Dingin

Awal Perang Dingin menyebabkan perluasan besar-besaran laboratorium penelitian yang didukung oleh Departemen Pertahanan. Selain itu, banyak laboratorium yang didirikan selama Perang Dunia II mulai berkembang. Sebagian besar penelitian setelah perang disponsori oleh militer. Sejumlah besar uang diberikan kepada universitas untuk melakukan penelitian. Cakupan penelitian juga meluas dari peralatan kecil ke seluruh workstation dan sistem. Bersamaan dengan itu, banyak peluang mulai terbuka di industri sipil. Fokusnya bergeser dari penelitian ke partisipasi melalui saran kepada para insinyur dalam desain peralatan. Setelah tahun 1965, periode ini merupakan masa pematangan disiplin ilmu. Bidang ini telah berkembang dengan perkembangan komputer dan aplikasi komputer.

Zaman Ruang Angkasa menciptakan masalah faktor manusia baru seperti tanpa bobot dan gaya-gaya ekstrem. Toleransi terhadap lingkungan ruang angkasa yang keras dan pengaruhnya terhadap pikiran dan tubuh dipelajari secara luas.

  • Zaman Informasi

Awal Era Informasi telah menghasilkan bidang terkait interaksi manusia-komputer (HCI). Demikian juga, meningkatnya permintaan dan persaingan di antara barang-barang konsumen dan elektronik telah menghasilkan lebih banyak perusahaan dan industri yang memasukkan faktor manusia dalam desain produk mereka. Dengan menggunakan teknologi canggih dalam kinetika manusia, pemetaan tubuh, pola gerakan, dan zona panas, perusahaan dapat membuat pakaian dengan tujuan khusus, termasuk pakaian yang menutupi seluruh tubuh, kaus, celana pendek, sepatu, dan bahkan pakaian dalam.

Organisasi

Dibentuk pada tahun 1946 di Inggris, badan profesional tertua untuk spesialis faktor manusia dan ahli ergonomi adalah The Chartered Institute of Ergonomics and Human Factors, yang secara resmi dikenal sebagai Institute of Ergonomics and Human Factors dan sebelumnya, The Ergonomics Society.

The Human Factors and Ergonomics Society (HFES) didirikan pada tahun 1957. Misi HFES adalah mempromosikan penemuan dan pertukaran pengetahuan mengenai karakteristik manusia yang dapat diterapkan pada desain sistem dan perangkat dalam segala jenis.

Asosiasi Ahli Ergonomi Kanada - l'Association canadienne d'ergonomie (ACE) didirikan pada tahun 1968.[38] Awalnya bernama Human Factors Association of Canada (HFAC), dengan ACE (dalam bahasa Prancis) ditambahkan pada tahun 1984, dan judul dua bahasa yang konsisten diadopsi pada tahun 1999. Menurut pernyataan misi tahun 2017, ACE menyatukan dan memajukan pengetahuan dan keterampilan para praktisi ergonomi dan faktor manusia untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan organisasi.

International Ergonomics Association (IEA) adalah federasi masyarakat ergonomi dan faktor manusia dari seluruh dunia. Misi IEA adalah untuk menguraikan dan memajukan ilmu dan praktik ergonomi, serta meningkatkan kualitas hidup dengan memperluas cakupan penerapan dan kontribusinya kepada masyarakat. Pada September 2008, International Ergonomics Association memiliki 46 perhimpunan dan 2 perhimpunan afiliasi.

Human Factors Transforming Healthcare (HFTH) adalah jaringan internasional praktisi HF yang tergabung dalam rumah sakit dan sistem kesehatan. Tujuan dari jaringan ini adalah untuk menyediakan sumber daya bagi para praktisi faktor manusia dan organisasi perawatan kesehatan yang ingin menerapkan prinsip-prinsip HF dengan sukses untuk meningkatkan perawatan pasien dan kinerja penyedia layanan. Jaringan ini juga berfungsi sebagai platform kolaboratif untuk praktisi faktor manusia, mahasiswa, fakultas, mitra industri, dan mereka yang ingin tahu tentang faktor manusia dalam perawatan kesehatan.

  • Organisasi terkait

Institute of Occupational Medicine (IOM) didirikan oleh industri batu bara pada tahun 1969. Sejak awal, IOM mempekerjakan staf ergonomi untuk menerapkan prinsip-prinsip ergonomi pada desain mesin dan lingkungan pertambangan. Hingga saat ini, IOM masih melanjutkan kegiatan ergonomi, terutama di bidang gangguan muskuloskeletal; tekanan panas dan ergonomi alat pelindung diri (APD). Seperti halnya banyak hal dalam ergonomi pekerjaan, tuntutan dan persyaratan tenaga kerja Inggris yang semakin menua menjadi perhatian dan minat para ahli ergonomi IOM.

International Society of Automotive Engineers (SAE) adalah organisasi profesional untuk para profesional teknik mobilitas di industri kedirgantaraan, otomotif, dan kendaraan komersial. Masyarakat ini merupakan organisasi pengembangan standar untuk rekayasa kendaraan bertenaga dari semua jenis, termasuk mobil, truk, kapal, pesawat terbang, dan lainnya. Society of Automotive Engineers telah menetapkan sejumlah standar yang digunakan dalam industri otomotif dan di tempat lain. Hal ini mendorong desain kendaraan sesuai dengan prinsip-prinsip faktor manusia yang telah ditetapkan. Ini adalah salah satu organisasi yang paling berpengaruh sehubungan dengan pekerjaan ergonomi dalam desain otomotif. Masyarakat ini secara teratur mengadakan konferensi yang membahas topik-topik yang mencakup semua aspek faktor manusia dan ergonomi.

Praktisi

Praktisi faktor manusia berasal dari berbagai latar belakang, meskipun sebagian besar adalah psikolog (dari berbagai subbidang psikologi industri dan organisasi, psikologi teknik, psikologi kognitif, psikologi perseptual, psikologi terapan, dan psikologi eksperimental) dan ahli fisiologi. Desainer (industri, interaksi, dan grafis), antropolog, ahli komunikasi teknis, dan ilmuwan komputer juga berkontribusi. Biasanya, seorang ergonom akan memiliki gelar sarjana di bidang psikologi, teknik, desain, atau ilmu kesehatan, dan biasanya gelar master atau doktor dalam disiplin ilmu terkait. Meskipun beberapa praktisi memasuki bidang faktor manusia dari disiplin ilmu lain, gelar M.S. dan PhD di bidang Teknik Faktor Manusia tersedia di beberapa universitas di seluruh dunia.

  • Tempat kerja yang tidak banyak bergerak

Kantor kontemporer tidak ada hingga tahun 1830-an, dengan buku penting Wojciech Jastrzębowsk tentang MSDergonomics yang terbit pada tahun 1857 dan studi postur tubuh yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1955.

Ketika tenaga kerja Amerika mulai bergeser ke arah pekerjaan yang tidak banyak bergerak, prevalensi [WMSD / masalah kognitif / dll ...] mulai meningkat. Pada tahun 1900, 41% tenaga kerja AS bekerja di bidang pertanian, namun pada tahun 2000, angka tersebut turun menjadi 1,9%. Hal ini bertepatan dengan peningkatan pertumbuhan pekerjaan yang dilakukan di belakang meja (25% dari seluruh pekerjaan pada tahun 2000) dan pengawasan terhadap kecelakaan di tempat kerja yang tidak fatal oleh OSHA dan Biro Statistik Tenaga Kerja pada tahun 1971. 0-1,5 dan terjadi dalam posisi duduk atau berbaring. Orang dewasa yang berusia lebih dari 50 tahun melaporkan menghabiskan lebih banyak waktu untuk duduk dan untuk orang dewasa yang berusia lebih dari 65 tahun, hal ini sering kali merupakan 80% dari waktu terjaga mereka. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan dosis-respons antara waktu kurang gerak dan kematian akibat semua penyebab dengan peningkatan 3% kematian per jam kurang gerak tambahan setiap hari. Tingginya jumlah waktu duduk tanpa istirahat berkorelasi dengan risiko penyakit kronis, obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, dan kanker yang lebih tinggi.

Saat ini, ada sebagian besar tenaga kerja yang bekerja dengan aktivitas fisik yang rendah. Perilaku menetap, seperti menghabiskan waktu yang lama dalam posisi duduk menimbulkan ancaman serius untuk cedera dan risiko kesehatan tambahan. Sayangnya, meskipun beberapa tempat kerja berusaha untuk menyediakan lingkungan yang dirancang dengan baik untuk karyawan yang tidak banyak bergerak, setiap karyawan yang melakukan aktivitas duduk dalam jumlah besar kemungkinan besar akan mengalami ketidaknyamanan. Ada beberapa kondisi yang ada yang dapat mempengaruhi baik individu maupun populasi terhadap peningkatan prevalensi gaya hidup kurang gerak, termasuk: faktor penentu sosioekonomi, tingkat pendidikan, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, usia (seperti yang telah disebutkan di atas), dan banyak lagi. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Iranian Journal of Public Health meneliti faktor sosioekonomi dan efek gaya hidup kurang gerak bagi individu dalam komunitas pekerja. Studi tersebut menyimpulkan bahwa individu yang melaporkan tinggal di lingkungan berpenghasilan rendah lebih cenderung melakukan perilaku kurang gerak dibandingkan dengan mereka yang melaporkan memiliki status sosial ekonomi yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah juga dianggap sebagai kelompok yang berisiko tinggi untuk melakukan gaya hidup kurang gerak, namun setiap komunitas berbeda dan memiliki sumber daya yang berbeda pula yang mungkin dapat mempengaruhi risiko ini. Seringkali, tempat kerja yang lebih besar dikaitkan dengan peningkatan waktu duduk di tempat kerja. Mereka yang bekerja di lingkungan yang diklasifikasikan sebagai pekerjaan bisnis dan kantoran biasanya lebih terpapar pada perilaku duduk dan kurang gerak saat berada di tempat kerja. Selain itu, pekerjaan yang bersifat penuh waktu, memiliki fleksibilitas jadwal, juga termasuk dalam demografi tersebut, dan lebih cenderung sering duduk sepanjang hari kerja mereka.

  • Implementasi kebijakan

Hambatan seputar fitur ergonomis yang lebih baik untuk karyawan yang tidak banyak duduk meliputi biaya, waktu, tenaga, dan bagi perusahaan dan karyawan. Bukti-bukti di atas membantu menetapkan pentingnya ergonomi di tempat kerja yang tidak banyak bergerak, namun informasi yang hilang dari masalah ini adalah penegakan dan implementasi kebijakan. Seiring dengan semakin modernnya tempat kerja yang berbasis teknologi, semakin banyak pekerjaan yang dilakukan dengan duduk, sehingga menyebabkan adanya kebutuhan untuk mencegah cedera dan rasa sakit kronis. Hal ini menjadi lebih mudah dengan banyaknya penelitian seputar alat ergonomis yang menghemat uang perusahaan dengan membatasi jumlah hari yang tidak masuk kerja dan kasus-kasus kompensasi pekerja. Cara untuk memastikan bahwa perusahaan memprioritaskan hasil kesehatan ini bagi karyawan mereka adalah melalui kebijakan dan implementasi.

Di Amerika Serikat, tidak ada kebijakan nasional yang saat ini berlaku; namun, beberapa perusahaan besar dan negara bagian telah mengambil kebijakan budaya untuk memastikan keselamatan semua pekerja. Sebagai contoh, departemen manajemen risiko di negara bagian Nevada telah menetapkan seperangkat aturan dasar untuk tanggung jawab agensi dan tanggung jawab karyawan. Tanggung jawab agensi termasuk mengevaluasi stasiun kerja, menggunakan sumber daya manajemen risiko jika diperlukan, dan menyimpan catatan OSHA. Untuk melihat kebijakan dan tanggung jawab ergonomis stasiun kerja tertentu, klik di sini.

Metode

Hingga saat ini, metode yang digunakan untuk mengevaluasi faktor manusia dan ergonomi berkisar dari kuesioner sederhana hingga laboratorium kegunaan yang lebih kompleks dan mahal. Beberapa metode faktor manusia yang lebih umum tercantum di bawah ini:

  1. Analisis etnografi: Menggunakan metode yang berasal dari etnografi, proses ini berfokus pada pengamatan penggunaan teknologi dalam lingkungan praktis. Ini adalah metode kualitatif dan observasi yang berfokus pada pengalaman dan tekanan “dunia nyata”, dan penggunaan teknologi atau lingkungan di tempat kerja. Proses ini paling baik digunakan di awal proses desain.
  2. Kelompok fokus adalah bentuk lain dari penelitian kualitatif di mana satu orang akan memfasilitasi diskusi dan mendapatkan pendapat tentang teknologi atau proses yang sedang diselidiki. Ini bisa dilakukan dengan wawancara empat mata, atau dalam sesi kelompok. Dapat digunakan untuk mendapatkan sejumlah besar data kualitatif yang mendalam, meskipun karena jumlah sampel yang kecil, dapat menimbulkan bias individu yang lebih tinggi. Dapat digunakan pada titik mana pun dalam proses desain, karena sebagian besar tergantung pada pertanyaan yang tepat untuk dikejar, dan struktur kelompok. Bisa sangat mahal.
  3. Desain berulang: Juga dikenal sebagai pembuatan prototipe, proses desain berulang berusaha untuk melibatkan pengguna pada beberapa tahap desain, untuk memperbaiki masalah yang muncul. Ketika prototipe muncul dari proses desain, ini menjadi sasaran bentuk analisis lain seperti yang diuraikan dalam artikel ini, dan hasilnya kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam desain baru. Tren di antara para pengguna dianalisis, dan produk didesain ulang. Hal ini dapat menjadi proses yang mahal, dan perlu dilakukan sesegera mungkin dalam proses desain sebelum desain menjadi terlalu konkret.
  4. Meta-analisis: Teknik tambahan yang digunakan untuk memeriksa sejumlah besar data atau literatur yang sudah ada untuk mendapatkan tren atau membentuk hipotesis untuk membantu keputusan desain. Sebagai bagian dari survei literatur, meta-analisis dapat dilakukan untuk melihat tren kolektif dari variabel individual.
  5. Subjek secara bersamaan: Dua subjek diminta untuk bekerja secara bersamaan dalam serangkaian tugas sambil menyuarakan pengamatan analitis mereka. Teknik ini juga dikenal sebagai “Penemuan Bersama” karena para peserta cenderung untuk saling memberi komentar satu sama lain untuk menghasilkan serangkaian pengamatan yang lebih kaya daripada yang sering dilakukan oleh para peserta secara terpisah. Hal ini diamati oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk menemukan kesulitan penggunaan. Proses ini biasanya direkam.
  6. Survei dan kuesioner: Sebuah teknik yang umum digunakan di luar faktor manusia juga, survei dan kuesioner memiliki keuntungan karena dapat diberikan kepada sekelompok besar orang dengan biaya yang relatif rendah, memungkinkan peneliti untuk mendapatkan sejumlah besar data. Namun, validitas data yang diperoleh selalu dipertanyakan, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus ditulis dan ditafsirkan dengan benar, dan menurut definisi, bersifat subjektif. Mereka yang benar-benar merespons pada dasarnya juga memilih sendiri, sehingga semakin memperlebar jarak antara sampel dan populasi.
  7. Analisis tugas: Sebuah proses yang berakar pada teori aktivitas, analisis tugas adalah cara untuk menggambarkan interaksi manusia secara sistematis dengan suatu sistem atau proses untuk memahami bagaimana mencocokkan tuntutan sistem atau proses dengan kemampuan manusia. Kompleksitas proses ini umumnya sebanding dengan kompleksitas tugas yang sedang dianalisis, sehingga dapat bervariasi dalam hal biaya dan waktu. Proses ini merupakan proses kualitatif dan observasi. Paling baik digunakan di awal proses desain.
  8. Pemodelan kinerja manusia: Sebuah metode untuk mengukur perilaku, kognisi, dan proses manusia; alat yang digunakan oleh para peneliti dan praktisi faktor manusia baik untuk analisis fungsi manusia maupun untuk pengembangan sistem yang dirancang untuk pengalaman dan interaksi pengguna yang optimal.
  9. Protokol berpikir dengan lantang: Juga dikenal sebagai “protokol verbal bersamaan”, ini adalah proses meminta pengguna untuk menjalankan serangkaian tugas atau menggunakan teknologi, sambil terus menerus memverbalisasikan pemikiran mereka sehingga peneliti dapat memperoleh wawasan tentang proses analisis pengguna. Dapat berguna untuk menemukan kekurangan desain yang tidak memengaruhi kinerja tugas, tetapi mungkin memiliki efek kognitif negatif pada pengguna. Juga berguna untuk memanfaatkan para ahli untuk lebih memahami pengetahuan prosedural dari tugas yang dimaksud. Lebih murah daripada kelompok fokus, tetapi cenderung lebih spesifik dan subjektif.
  10. Analisis pengguna: Proses ini didasarkan pada perancangan atribut pengguna atau operator yang dituju, menetapkan karakteristik yang mendefinisikan mereka, menciptakan persona untuk pengguna.
  11. Paling baik dilakukan di awal proses desain, analisis pengguna akan mencoba memprediksi pengguna yang paling umum, dan karakteristik yang dianggap memiliki kesamaan. Hal ini dapat menjadi masalah jika konsep desain tidak sesuai dengan pengguna yang sebenarnya, atau jika identifikasi yang dilakukan terlalu samar untuk membuat keputusan desain yang jelas. Namun, proses ini biasanya cukup murah dan umum digunakan.
  12. “Wizard of Oz”: Ini adalah teknik yang relatif tidak umum, namun telah digunakan di perangkat seluler. Berdasarkan eksperimen Wizard of Oz, teknik ini melibatkan operator yang mengontrol pengoperasian perangkat dari jarak jauh untuk meniru respons program komputer yang sebenarnya. Teknik ini memiliki keuntungan dalam menghasilkan serangkaian reaksi yang sangat mudah berubah, tetapi bisa sangat mahal dan sulit untuk dilakukan.
  13. Analisis metode adalah proses mempelajari tugas-tugas yang diselesaikan oleh seorang pekerja dengan menggunakan investigasi langkah demi langkah. Setiap tugas dipecah menjadi langkah-langkah yang lebih kecil hingga setiap gerakan yang dilakukan pekerja dapat dijelaskan. Dengan melakukan hal ini, Anda dapat melihat dengan tepat di mana tugas-tugas yang berulang atau melelahkan terjadi.
  14. Studi waktu menentukan waktu yang dibutuhkan pekerja untuk menyelesaikan setiap tugas. Studi waktu sering digunakan untuk menganalisis pekerjaan yang bersifat siklus. Studi ini dianggap sebagai studi “berbasis kejadian” karena pengukuran waktu dipicu oleh terjadinya kejadian yang telah ditentukan sebelumnya.
  15. Pengambilan sampel pekerjaan adalah metode di mana pekerjaan diambil sampelnya secara acak untuk menentukan proporsi total waktu yang dihabiskan untuk tugas tertentu. Metode ini memberikan wawasan tentang seberapa sering pekerja melakukan tugas yang dapat menyebabkan ketegangan pada tubuh mereka.
  16. Sistem waktu yang telah ditentukan sebelumnya adalah metode untuk menganalisis waktu yang dihabiskan oleh pekerja untuk tugas tertentu. Salah satu sistem waktu yang telah ditentukan yang paling banyak digunakan disebut Metode Pengukuran Waktu. Sistem pengukuran kerja umum lainnya termasuk MODAPTS dan MOST. Aplikasi khusus industri berdasarkan PTS adalah Seweasy, MODAPTS dan GSD seperti yang terlihat dalam makalah: Miller, Doug (2013). “Menuju Biaya Tenaga Kerja yang Berkelanjutan di Ritel Fesyen Inggris”. Jurnal Elektronik SSRN. doi:10.2139/ssrn.2212100. S2CID 166733679. 
  17. Penelusuran kognitif: Metode ini adalah metode pemeriksaan kegunaan di mana evaluator dapat menerapkan perspektif pengguna pada skenario tugas untuk mengidentifikasi masalah desain. Seperti yang diterapkan pada makroergonomi, evaluator dapat menganalisis kegunaan desain sistem kerja untuk mengidentifikasi seberapa baik sistem kerja diorganisir dan seberapa baik alur kerja diintegrasikan.
  18. Metode Kansei: Metode ini merupakan metode yang mengubah respons konsumen terhadap produk baru menjadi spesifikasi desain. Seperti yang diterapkan pada makroergonomi, metode ini dapat menerjemahkan respons karyawan terhadap perubahan sistem kerja ke dalam spesifikasi desain.
  19. Integrasi tinggi antara teknologi, organisasi, dan manusia: Ini adalah prosedur manual yang dilakukan selangkah demi selangkah untuk menerapkan perubahan teknologi ke tempat kerja. Metode ini memungkinkan manajer untuk lebih menyadari aspek manusia dan organisasi dari rencana teknologi mereka, sehingga mereka dapat mengintegrasikan teknologi secara efisien dalam konteks ini.
  20. Pemodel teratas: Model ini membantu perusahaan manufaktur mengidentifikasi perubahan organisasi yang diperlukan ketika teknologi baru sedang dipertimbangkan untuk proses mereka.
  21. Desain Sistem Manufaktur, Organisasi, dan Manusia yang terintegrasi dengan komputer: Model ini memungkinkan untuk mengevaluasi desain sistem manufaktur, organisasi, dan manusia yang terintegrasi dengan komputer berdasarkan pengetahuan tentang sistem.
  22. Antropoteknologi: Metode ini mempertimbangkan analisis dan modifikasi desain sistem untuk transfer teknologi yang efisien dari satu budaya ke budaya lain.
  23. Alat analisis sistem: Ini adalah metode untuk melakukan evaluasi trade-off yang sistematis terhadap alternatif intervensi sistem kerja.
  24. Analisis struktur makroergonomi: Metode ini menganalisis struktur sistem kerja berdasarkan kesesuaiannya dengan aspek sosioteknis yang unik.
  25. Analisis dan desain makroergonomi: Metode ini menilai proses sistem kerja dengan menggunakan proses sepuluh langkah.
  26. Manufaktur virtual dan metodologi permukaan respons: Metode ini menggunakan alat bantu terkomputerisasi dan analisis statistik untuk desain stasiun kerja.
  • Kelemahan

Masalah yang terkait dengan ukuran kegunaan termasuk fakta bahwa ukuran pembelajaran dan retensi cara menggunakan antarmuka jarang digunakan dan beberapa penelitian memperlakukan ukuran bagaimana pengguna berinteraksi dengan antarmuka sebagai sinonim dengan kualitas-penggunaan, meskipun ada hubungan yang tidak jelas.

Meskipun metode lapangan bisa sangat berguna karena dilakukan di lingkungan alami pengguna, metode ini memiliki beberapa keterbatasan utama yang perlu dipertimbangkan. Keterbatasan tersebut antara lain:

  1. Biasanya membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber daya dibandingkan metode lainnya
  2. Upaya yang sangat tinggi dalam perencanaan, perekrutan, dan pelaksanaan dibandingkan dengan metode lain
  3. Periode studi yang lebih lama dan oleh karena itu membutuhkan banyak niat baik di antara para peserta
  4. Studi bersifat longitudinal, oleh karena itu, gesekan dapat menjadi masalah.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Ergonomika

Teknik Industri

Ergonomi di Tempat Kerja: Pedoman dan Hukum

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025


Meskipun ergonomi di dunia kerja mungkin pernah menjadi topik khusus pada suatu waktu, masa itu sudah lama berlalu. Hukum, standar, dan rekomendasi membuatnya cukup jelas - ergonomi adalah suatu keharusan.

Ergonomi sebenarnya dapat disimpulkan dalam satu kalimat. Pekerjaan beradaptasi dengan manusia - dan bukan sebaliknya. Setiap karyawan itu unik - dan ergonomi berarti memperhatikan hal ini dengan serius. Tak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada dua orang yang secara fisik identik. Oleh karena itu, sangat penting bahwa setiap bangku dan kursi kerja dapat disesuaikan sehingga tidak ada yang harus membungkuk ke posisi yang tidak wajar. Terlepas dari apakah kita berbicara tentang pekerjaan kantor atau produksi manual, mengoptimalkan lingkungan kerja akan menghasilkan situasi yang saling menguntungkan. Pendekatan ergonomis meringankan ketegangan fisik pada tenaga kerja dan membantu mereka mempertahankan kinerja mereka. Hal ini juga meningkatkan profitabilitas. Oleh karena itu, perlindungan kesehatan dan peningkatan efisiensi yang ditargetkan berjalan seiring.

Namun, karena prinsip-prinsip desain tempat kerja yang ergonomis berakar pada pengetahuan ilmiah, ergonomi tentu saja tidak bersifat intuitif. Bahkan arti harfiah dari ergonomi menunjukkan fakta ini, karena istilah ini berasal dari bahasa Yunani “ergon” (kerja atau tenaga kerja) dan “nomos” (hukum alam). Oleh karena itu, ergonomi adalah ilmu yang berkaitan dengan aturan kerja, yang bahkan ditentukan oleh hukum. Namun, apa yang dikatakan oleh peraturan dan hukum ini, dan apa yang perlu diingat oleh para pemberi kerja dalam hal ergonomi di tempat kerja? Contoh-contoh berikut ini berasal dari Jerman, dan oleh karena itu banyak sumber yang hanya tersedia dalam bahasa Jerman.

Studi ini menunjukkan langkah-langkah ergonomis mana yang sudah digunakan dalam produksi manual. Cari tahu lebih lanjut dan lihat bagaimana Anda bandingkan - seberapa besar kemajuan yang telah dicapai perusahaan Anda?

Kewajiban pengusaha - diabadikan dalam undang-undang

Ergonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari kesehatan dan keselamatan kerja yang bersifat preventif. Artinya, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit. Oleh karena itu, ketentuan tentang desain tempat kerja yang ergonomis ditetapkan dalam berbagai undang-undang. Perusahaan harus melihat secara khusus Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Jerman (ArbSchG) dan Ordonansi Tempat Kerja (ArbStättV). Meskipun istilah “ergonomi” tidak benar-benar muncul dalam Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, namun ada beberapa bagian yang memberikan wawasan. Misalnya, menurut pasal 3 ArbSchG, pemberi kerja berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan yang “mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja di tempat kerja. Dia harus memeriksa keefektifan langkah-langkah tersebut dan, jika perlu, menyesuaikannya dengan keadaan yang berubah.” Kalimat lain yang sangat menarik berbunyi: “Tujuannya adalah untuk meningkatkan perlindungan keselamatan dan kesehatan para pekerja.” Secara keseluruhan, apa yang dijelaskan di sini adalah tiga tugas bagi perusahaan yang merupakan elemen tetap dari ergonomi - perlindungan kesehatan, analisis situasi yang ada, dan optimalisasi.

Pemberi kerja juga memiliki kewajiban untuk menghilangkan risiko dengan menerapkan langkah-langkah kesehatan dan keselamatan kerja. Bagian 5 dari ArbSchG mencakup aspek-aspek ergonomi berikut ini:

“Desain dan pengaturan stasiun kerja dan tempat kerja”
“Desain metode kerja dan produksi, proses kerja dan waktu kerja serta interaksinya”
“Tekanan psikologis di tempat kerja”

Stres psikologis adalah bidang ergonomi dan kesehatan dan keselamatan kerja yang sering diabaikan. Ketika prinsip-prinsip dasar ergonomi diabaikan, hal ini dapat menyebabkan karyawan menderita ketegangan dan sakit kepala, yang pada gilirannya dapat menyebabkan stres psikologis.

Desain tempat kerja - Peraturan tempat kerja dan peraturan keselamatan operasional

Dalam hal persyaratan hukum dan pedoman yang berkaitan dengan ergonomi di tempat kerja, Ordonansi Tempat Kerja (ArbStättV) sangat penting. Peraturan ini menyatakan bahwa, ketika “mendirikan tempat kerja”, pemberi kerja juga harus mempertimbangkan “pengobatan kerja” dan “persyaratan ergonomis”. Jika terdapat risiko, maka pemberi kerja harus “menilai semua risiko yang mungkin terjadi terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja” dan, dengan melakukan hal tersebut, mempertimbangkan “dampak dari organisasi kerja dan proses kerja di tempat kerja”. Perusahaan kemudian harus mengambil tindakan yang sesuai dengan keadaan terkini, pengobatan dan kebersihan kerja.

“Pemberi kerja harus memastikan bahwa peralatan kerja digunakan dengan aman dan prinsip-prinsip ergonomi diperhatikan. (Peraturan Keselamatan Operasional, BetrSichV)”

Namun, ini belum semuanya. “Temuan ergonomi lain yang sudah mapan harus dipertimbangkan.” Ergonomi adalah sebuah bidang dalam ilmu pekerjaan, sehingga prinsip-prinsipnya merupakan bagian tak terpisahkan dari disiplin ilmu ini. Peraturan Keselamatan Operasional (BetrSichV) menyatakan hal ini dengan lebih jelas lagi: “Pemberi kerja harus memastikan bahwa peralatan kerja digunakan dengan aman dan prinsip-prinsip ergonomi diperhatikan.”

Ergonomi dan kesehatan dan keselamatan kerja - klasifikasi pedoman pengaturan kerja

Selain persyaratan hukum, ada “Aturan Teknis untuk Tempat Kerja”, yang juga dikenal sebagai ASR (kependekan dari “Arbeitsstättenregeln” dalam bahasa Jerman). Aturan teknis ini dibuat oleh Komite Tempat Kerja (ASTA) dan Institut Federal Jerman untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (BAuA). Meskipun aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum, ada “praduga kesesuaian” yang berlaku - dengan kata lain, jika pemberi kerja mematuhi persyaratan ASR di tempat kerja, maka dapat dianggap bahwa tindakan mereka juga akan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Tempat Kerja. Aspek-aspek desain tempat kerja yang ergonomis tercakup, misalnya, dalam dokumen ASR berikut ini:

  • ASR A1.2: Dimensi ruangan dan area pergerakan
  • ASR A3.4: Pencahayaan dan garis pandang
  • ASR A3.7: Kebisingan
  • ASR V3: Penilaian risiko

Masih banyak lagi pedoman dan standar yang berkaitan dengan ergonomi di tempat kerja. Anda dapat menemukannya, misalnya, dalam “Aturan Teknis untuk Keselamatan Operasional” (Technische Regeln für Betriebssicherheit, TRBS), yang merupakan pengembangan dari Peraturan Keselamatan Operasional. Contoh dari aturan-aturan ini termasuk “TRBS 1151: Bahaya pada antarmuka manusia/peralatan kerja - faktor ergonomis dan manusia, sistem kerja” dan “AMR No. 13.2: Aktivitas yang melibatkan peningkatan beban fisik secara signifikan yang menimbulkan risiko kesehatan bagi sistem muskuloskeletal”. Standar DIN yang paling penting dalam kaitannya dengan ergonomi di tempat kerja meliputi DIN EN ISO 6385 (“Prinsip-prinsip ergonomis dalam desain sistem kerja”), DIN 33402 (“Ergonomi - Dimensi tubuh manusia”), dan DIN EN ISO 10075 (“Prinsip-prinsip ergonomis yang berkaitan dengan beban kerja mental”).

Peran bangku kerja di stasiun kerja perakitan yang ergonomis

Oleh karena itu, sangat jelas bahwa ergonomi adalah wajib - dan bukan pilihan - bagi pengusaha. Para ahli perlu memutuskan cara terbaik untuk menerapkan ergonomi berdasarkan kasus per kasus. Namun, beberapa contoh dari produksi manual dapat membantu menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan ergonomi. Misalnya, bangku kerja yang dapat diatur ketinggiannya di stasiun kerja perakitan manual adalah suatu keharusan. Prinsip yang sama berlaku seperti di kantor - bangku atau meja kerja yang dapat disesuaikan ketinggiannya berarti staf dapat dengan mudah beralih antara duduk dan berdiri, yang sangat meringankan beban mereka. Sistem Bangku Kerja dari item juga dilengkapi dengan mekanisme penyesuaian ketinggian elektrik. Ini berarti staf bisa menyimpan pengaturan pribadi mereka dan memanggilnya lagi dengan satu sentuhan tombol. Fitur lain yang sangat praktis adalah item Work Bench Configurator, yang tersedia untuk digunakan secara gratis dan membuat perencanaan bangku kerja perakitan manual menjadi lebih mudah dari sebelumnya.

Untuk kursi ergonomis, fitur-fitur berikut ini sangat ideal:

  • Gerakan kursi dan sandaran yang tersinkronisasi
  • Kursi - harus sedikit menukik ke depan dan berputar
  • Sandaran - penyesuaian ketinggian dan mekanisme kemiringan yang menggabungkan kontrol ketegangan
  • Kastor dengan rem dan - untuk kursi konter dengan dudukan yang ditinggikan - kastor yang mengunci pada posisinya ketika ada beban

Kursi dengan dudukan dan sandaran seperti ini mendukung duduk yang dinamis, sehingga memudahkan karyawan untuk mengubah posisi dan postur tubuh. Kursi dari item Work Bench System menawarkan kenyamanan dan kemudahan ini, karena kursi tersebut aman dan dapat dipindahkan berkat kastor khususnya.

Ergonomi di meja kerja - bangku dan kursi yang dapat disesuaikan ketinggiannya, ditambah pengaturan alat dan bahan yang disesuaikan

Faktor desain bangku kerja yang ergonomis di area penanganan juga

Area penanganan adalah contoh sempurna yang menggambarkan mengapa opsi penyesuaian yang fleksibel sangat penting. Area penanganan adalah ruang di bangku kerja di mana staf dapat menjangkau setiap titik secara vertikal atau horizontal dengan satu atau kedua tangan tanpa harus berpindah posisi, baik dalam keadaan duduk atau berdiri. Zona satu tangan berada tepat di depan pekerja. Alat dan bahan yang sering digunakan diposisikan di sini untuk mencegah tubuh memutar yang canggung dan tidak perlu. Benda-benda yang lebih jarang digunakan ditempatkan di zona satu tangan yang diperluas di bagian terluar area penanganan. Bahan-bahan penting tidak boleh ditempatkan di luar zona satu tangan yang diperpanjang. Tempat terbaik untuk material ini adalah zona dua tangan, di mana pekerja memiliki kedua tangan di bidang penglihatan langsung dan dapat bekerja secara optimal.

Penataan alat dan bahan yang optimal

Karena tidak ada dua orang yang memiliki ukuran atau bentuk yang persis sama, area penanganan setiap orang juga unik. Oleh karena itu, penting agar cara pengaturan alat dan bahan di meja kerja juga dapat dengan mudah disesuaikan. Dengan rangkaian komponennya yang komprehensif, item Sistem Meja Kerja mencakup semua opsi yang memungkinkan. Lengan poros, khususnya, memainkan peran yang sangat penting di sini dan dapat dilengkapi dengan berbagai komponen:

  • Wadah komponen untuk menampung komponen kecil
  • Baki untuk menampung kotak, perkakas dan benda kerja
  • Kait, dudukan dan wadah untuk menyimpan perkakas
  • Berkat lengan pivot, bahan dan alat dapat diatur secara tepat agar sesuai dengan area penanganan pribadi setiap karyawan. Oleh karena itu, gerakan yang canggung dan postur yang tidak nyaman dapat dihindari.

Pencahayaan ergonomis - informasi dan rekomendasi

Pencahayaan di meja kerja adalah salah satu faktor ergonomis yang kurang terkenal. Namun, dalam kasus pekerjaan kantor dan perakitan manual, pencahayaan berdampak pada produktivitas. Anda memerlukan pencahayaan yang memadai, tetapi bukan itu saja yang penting - pencahayaan yang dapat disesuaikan dengan keadaan tertentu bahkan lebih penting lagi. Jika tidak, karyawan dapat kehilangan konsentrasi dan menderita sakit kepala serta gejala kelelahan lainnya. Oleh karena itu, pencahayaan juga memiliki dampak besar pada suasana hati dan motivasi. Ketika berbicara tentang pencahayaan di bangku kerja perakitan, ada aspek penting yang perlu dipertimbangkan - tingkat pencahayaan yang disesuaikan, menerangi area tertentu, suhu warna yang sesuai, dan pantulan yang merata dan bebas silau. Satuan pengukuran yang digunakan untuk tingkat pencahayaan (iluminasi) adalah lux (lx). Tingkat pencahayaan berikut ini ideal untuk pekerjaan perakitan manual:

  • Pekerjaan perakitan dasar: 200 lx
  • Pekerjaan perakitan dengan presisi sedang: 300 lx
  • Pekerjaan perakitan yang rumit: 500 lx
  • Pekerjaan perakitan presisi tinggi: 750 lx
  • Mekanika presisi dan mekanika mikro: 1000-1500 lx

Area tertentu pada meja kerja bisa diterangi secara tepat menggunakan lampu sorot LED yang bisa disesuaikan secara fleksibel dan menawarkan tingkat pencahayaan yang tinggi. Lampu sorot LED, seperti Spotlight 6W LED 10° dari item ini, juga dilengkapi dengan fungsi peredupan yang dapat disesuaikan. Temperatur warnanya adalah 4000 K - juga disebut “putih netral” - yang telah terbukti ideal untuk pekerjaan perakitan manual, karena dapat meningkatkan konsentrasi.

Apakah Anda tertarik dengan desain meja kerja di bagian produksi? Maka kami memiliki sesuatu yang sesuai dengan keinginan Anda! Cukup berlangganan ke blog item dengan mengisi kotak di kanan atas.

Disadur dari: https://blog.item24.com/

Selengkapnya
Ergonomi di Tempat Kerja: Pedoman dan Hukum
« First Previous page 613 of 1.300 Next Last »