Riset dan Inovasi

E-Voting: Kemajuan Signifikan dalam Demokrasi Berbasis Digital

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng PT. Inti Konten Indonesia untuk hilirisasi produk inovasinya berupa aplikasi pemilu elektronik (e-voting). Pemanfaatan aplikasi e-voting untuk pemilu akan menjadi bagian dari kemajuan yang signifikan dalam demokrasi berbasis digital.

Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) Budi Prawara menjelaskan perjalanan pengembangan aplikasi e-voting telah dimulai sejak 2010. Guna memastikan keandalan aplikasi tersebut, telah dilakukan uji coba dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

"Keberhasilan uji coba di berbagai daerah memberikan bukti bahwa aplikasi ini tidak terlepas dari kontribusi kelompok riset digital dalam pengembangan aplikasi tersebut," kata Prawara pada penandatanganan perjanjian lisensi hak cipta aplikasi pemilu elektronik di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (19/03).

Prawaran menekankan pentingnya keamanan, kepercayaan, dan transparansi dalam pengembangan sistem e-voting, serta pentingnya memperhatikan aspek sosial dan dampaknya terhadap masyarakat.

“Dengan inovasi ini, kita akan terus berusaha untuk menyempurnakannya. Karena yang namanya produk riset tentu selalu membutuhkan improvement. E-voting juga saat ini sedang menjadi salah satu hot topic, karena kebetulan Indonesia juga baru selesai melaksanakan Pemilu,” terangnya.

Prawara berharap adanya kerjasama lisensi aplikasi e-voting dengan PT Inti Konten Indonesia akan memberi peluang besar bagi kedua belah pihak. Dengan menghasilkan produk riset yang berkualitas, ia meyakini produk riset Indonesia dapat bersaing tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional.

Dalam kesempatan yang sama, Perekayasa Ahli Utama dari Pusat Riset Sains Data dan Informasi sekaligus sebagai ketua tim pengembangan aplikasi e-voting Andrari Grahitandaru penjelasan perkembangan aplikasi e-voting. Dia menjelaskan bahwa aplikasi ini telah diujicobakan dalam pemilihan kepala desa (pilkades).

Sebelumnya, dijelaskan Andrari, aplikasi e-voting telah melewati uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengembang e-voting memastikan kesesuaian teknologi dengan regulasi yang berlaku.

Dalam Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa metode e-voting dapat diartikan sama dengan metode mencoblos. Untuk itu diperlukan kesiapan terhadap lima komponen yaitu teknologi, legalitas undang-undang, penyelenggara, masyarakat, dan asas luber jurdil.

Berbeda dengan negara lain yang mengadopsi e-voting secara online, e-voting Indonesia didesain agar tidak terhubung ke internet secara langsung. Selain itu, sistemnya dapat berjalan terus meskipun terjadi pemadaman listrik, dengan kemampuan untuk memulai kembali tanpa kehilangan data.

“Walaupun tiba-tiba terjadi pemadaman listrik, sistemnya ini akan nyambung terus sehingga tidak memulai dari awal, karena Pemilu itu kan tidak boleh putus di tengah jalan, harus berjalan terus” jelas Andrari.

Dia menjelaskan mekanisme pelaksanaan e-voting, pemilih akan diberikan smart card yang berguna untuk mengidentifikasi status pemilih. "Smart card ini juga dimanfaatkan untuk mendeteksi apakah pemilih mempunyai hak suara di wilayah tersebut atau tidak," jelasnya

Smart card digunakan pemilih dalam bilik suara untuk menentukan pilihannya. Menurutnya, selama proses pemilihan, perangkat e-voting tidak tersambung dengan Internet, sehingga mengurangi potensi dihack oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

"Perangkat e-voting akan tersambung dengan internet ketika data dikirimkan ke pusat data nasional langsung dari Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tampilan hasil pemungutan suara akan disampaikan dalam bentuk tahapan berjenjang seperti per kabupaten, per provinsi, dan lain-lain," jelasnya.

Andrari berharap, momentum penandatanganan lisensi hak cipta e-voting ini menjadi langkah besar dalam memperkenalkan demokrasi digital di Indonesia dan siap mengubah wajah pemilihan umum di Tanah Air. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
E-Voting: Kemajuan Signifikan dalam Demokrasi Berbasis Digital

Riset dan Inovasi

Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan Watershed Health Assessment System (WHAS). Sistem ini bertujuan untuk memonitor kondisi hidrologi, tanah, dan aspek sosial-ekonomi dalam upaya mengelola aktivitas manusia dan sumber daya alam secara bersama-sama. Peneliti BRIN, Prof Irfan Budi Pramono menjelaskan bahwa Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu merupakan pendekatan yang mengharuskan pengelolaan aktivitas manusia dan sumber daya alam dilakukan secara bersama-sama, dengan mempertimbangkan keterkaitan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

"Untuk mengetahui keberhasilan tujuan pengelolaan DAS perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi. Parameternya adalah lahan, hidrologi dan kesejahteraan masyarakat," ucapnya dalam Webinar International bertajuk "International-Based Water Resources Management for Shared Prosperity", Senin (19/3).

Dijelaskan Irfan, WHAS mampu memonitoring berbagai parameter kunci seperti koefisien aliran, beban sedimen, indeks penggunaan air, kualitas air, persentase tutupan vegetasi, dan Indeks Pembangunan Manusia. Ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dalam mengelola DAS dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

Menurut Irfan, pengelolaan sumber daya air berbasis DAS dianggap penting untuk menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Untuk itu, perhatian khusus diberikan pada pengelolaan lahan di daerah hulu guna menjaga keseimbangan air. Salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui program Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan masyarakat di hilir DAS sebagai pengguna jasa lingkungan untuk berkontribusi kepada masyarakat di hulu DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, terutama jasa air.

Dalam konteks ini, DAS Cidanau diidentifikasi sebagai salah satu contoh praktik terbaik pengelolaan DAS terpadu di Indonesia. Namun, masih terdapat sejumlah masalah yang perlu diatasi, seperti perambahan hutan, fluktuasi debit sungai yang tinggi, dan perlindungan di bagian hulu DAS. Melalui program PES, air sungai Cidanau diharapkan dapat diolah menjadi air bersih untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 120 industri besar, menjadikannya sebagai contoh nyata dari win-win solution dalam pengelolaan DAS.

Irfan menyoroti beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu, termasuk carbon trading, PES, dan ekowisata. Tantangan utamanya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber, memberdayakan pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi. Dengan pendekatan yang komprehensif dan sinergis seperti ini, diharapkan pengelolaan DAS dapat menjadi landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan bersama bagi masyarakat Indonesia.

"Ada beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu seperti carbon trading, PES, dan Ecotourism. Sedangkan tantangannya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber yang tersedia, memberdayakan berbagai pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi," tandasnya.

Sementara itu, Profesor dari Shinshu University Japan, Kazuhiro Komatsu menawarkan penelitian mengenai karakterisasi Dissolved Organic Matter (DOM) atau Bahan Organik Terlarut pada danau dangkal dan dalam dengan menggunakan Excitation Emission Matrix (EEM)- PARAFAC Analysis. Hal ini seperti yang sudah dilakukannya di beberapa danau Jepang. "Excitation Emission Matrix (EEM) merupakan salah satu metode karakterisasi DOM, Pengukurannya sendiri sangat mudah dan sederhana. Hanya membutuhkan waktu 10 menit per sampel," ungkapnya.

Dijelaskan Kazuhiro, karakterisasi Bahan Organik Terlarut (DOM) menjadi kunci dalam pemahaman ekosistem akuatik dan siklus karbon global. Dua teknik terkini yang mendapatkan perhatian besar dalam hal ini adalah Matriks Emisi Eksitasi 3D dan Analisis Faktor Paralel (PARAFAC).

Lebih jauh, Kazuhiro menjelaskan bahwa Metode Excitation Emission Matrix (EEM) 3D memungkinkan pemetaan kontur 3-D dari panjang gelombang eksitasi, panjang gelombang emisi, dan intensitas fluoresensi dari DOM. Dengan karakteristik yang unik ini, peneliti dapat mengidentifikasi variasi kualitatif dan kuantitatif dalam komposisi DOM dengan detail yang tinggi. Keunggulan utamanya adalah kesederhanaan metodenya, yang memungkinkan pengukuran banyak sampel dalam waktu singkat. Hal ini membuatnya menjadi alat yang efisien dalam survei lapangan dan studi lingkungan yang luas.

Sedangkan, PARAFAC adalah metode analisis faktor yang digunakan untuk memecah Matriks Emisi Eksitasi 3D menjadi beberapa zat fluoresen hipotetis berdasarkan posisi puncaknya. Dengan demikian, PARAFAC menciptakan apa yang sering disebut sebagai "sidik jari organik", memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi dan memahami kontribusi masing-masing komponen DOM secara lebih terperinci. Penggunaan pemrosesan statistik memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap data yang kompleks.

Kedua teknik ini membuka jalan baru dalam pemahaman DOM dan peranannya dalam ekosistem akuatik. Matriks Emisi Eksitasi 3D memberikan gambaran yang luas dan rinci tentang distribusi fluoresensi DOM, sementara PARAFAC memungkinkan identifikasi zat fluoresen kunci dan pemahaman tentang faktor yang memengaruhi distribusi mereka. Dengan menggunakan kedua metode ini secara bersamaan, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang komposisi dan dinamika DOM dalam berbagai lingkungan akuatik, dari sungai hingga lautan, yang pada gilirannya dapat mendukung upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif.

Untuk itu, pihaknya membuka kolaborasi dengan Indonesia melalui BRIN dalam melakukan penelitian tersebut. Salah satunya melalui kolaborasi dengan laboratorium di Jepang mulai dari survey lapangan, analisis sampel, eksperimen bersama, analisis data, seminar hingga publikasi bersama. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS

Pertanian

Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Percobaan pada hewan (bahasa Inggris: animal testing) merupakan kegiatan yang melibatkan hewan sebagai objek dari percobaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan uji coba hewan antara lain eksperimen pada hewan, penelitian pada hewan, uji coba in-vivo dan vivisection. Uji coba hewan dilakukan pada penelitian dasar dan terapan (biomedis), pengujian obat-obatan, pengujian zat-zat biologis, serta bertujuan sebagai sarana pendidikan. Hewan yang dapat dijadikan sebagai objek pengujian adalah hewan yang bebas dari mikroorganisme patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan performa atau anatomi tubuh hewan percobaan dikaitkan dengan sistem genetiknya. Hewan yang banyak digunakan pada percobaan ialah mencit (Mus musculus) sekitar 40%, tikus putih (Rattus norvegicus), kelinci (Oryclolagus cunucilus), hamster, dan primata.

Terdapat konsep 3Rs yaitu replacement (penggantian), reduction (pengurangan), dan refinement (perbaikan) sebagai parameter penggunaan hewan dalam penelitian. Uji coba pada hewan perlu dilakukan sesuai etik antara lain cara memperoleh hewan percobaan, transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan, pengawasan oleh dokter hewan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anastesi agar tidak menimbulkan rasa nyeri.

Tujuan

Berikut ini adalah beberapa tujuan dari dilakukannya animal testing yaitu sebagai berikut:

  1. Memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam suatu produk benar-benar aman.
  2. Memastikan bahwa senyawa-senyawa yang digunakan dalam suatu produk tidak mempunyai efek fisiologis yang negatif terhadap jaringan tubuh manusia.
  3. Memastikan keamanan produk kosmetik yang digunakan.
  4. Mengetahui fototoksisitas (iritasi yang berhubungan dengan cahaya, biasanya terjadi setelah kulit dikenai cukup cahaya) bahan baku maupun produk terhadap kulit.
  5. Mengetahui potensi iritasi bahan baku atau produk terhadap kulit dan mata.
  6. Mengetahui komedogenitas kemampuan untuk merangsang tumbuhnya jerawat dan gangguan lain) pada kulit.

Teknis

Biasanya hewan yang digunakan pada animal testing merupakan hewan utuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh hewan tersebut. Namun demikian, tidak jarang juga hewan hidup sehat digunakan sebagai objek penderita. Berikut ini adalah salah satu contoh langkah-langkah animal testing untuk mengetahui potensi bahan atau produk dalam menimbulkan komedo/jerawat (comedogemity):

  1. Hewan yang digunakan dalam pengujian tersebut yaitu kelinci.
  2. Bahan atau produk yang akan diteliti diaplikasikan pada salah satu telinga kelinci sebanyak setengah mililiter. Sedangkan telinga lainnya sebagai kontrol.
  3. Uji coba ini dilakukan selama 5 hari dalam 1 minggu dan dilakukan selama 2 minggu berturut-turut.
  4. Setelah itu dilakukan observasi berdasarkan gejala yang muncul pada objek penelitian.

Larangan pengadaan

Meskipun uji coba hewan ini memiliki tujuan yang baik berupa memastikan bahwa produk yang diproduksi dari suatu industri aman bagi kulit, tetapi beberapa negara melarang hal tersebut. Animal testing dianggap menjadi salah satu metode pengujian yang bertentangan dengan bioetika. Mereka mendorong supaya lembaga-lembaga penelitian menemukan metode pengujian yang lebih ramah dan beretika.

Pihak yang banyak menentang uji coba hewan yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa. Seperti dimaklumi, uji coba hewan menggunakan hewan sebagai objek penderitanya.Tak jarang hewan yang digunakan dalam penelitian tersebut dibunuh guna menghindari interaksi terhadap hewan lainnya. Hewan-hewan yang biasanya digunakan dalam animal testing yaitu hewan-hewan pengerat seperti tikus, kelinci, dan marmut. Hewan-hewan tersebut diperoleh dari pembiakan atau penangkaran. Selain hewan pengerat, hewan-hewan dari kelompok karnivora dan primata juga sering digunakan dalam animal testing. Hewan golongan ini pada umumny amasih banyak yang diperoleh dari alam liar.

Ada beberapa alasan para penggiat LSM lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa melarang uji coba hewan untuk menguji keamanan produk:

  1. Hewan-hewan yang tidak bersalah harus menanggung efek samping penggunaan dosis bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kosmetik pada animall testing.
  2. Hewan-hewan yang digunakan pada animal testing terkadang diperlakukan secara tidak layak. Bahkan tidak jarang juga kebutuhan nutrisi mereka diabaikan atau kurang diperhatikan.
  3. Bahan-bahan yang dinyatakan lolos melalui uji coba ini terkadang memberikan efek yang berbeda apabila diaplikasikan kepada manusia. Jadi, bahan yang dinyatakan aman pada saat animal testing belum tentu aman digunakan pada manusia, begitu pula sebaliknya.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Riset dan Inovasi

Hari Air Sedunia, BRIN Tekankan Pentingnya Pengelolaan DAS Terpadu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Hari Air Sedunia atau World Water Day diperingati setiap tanggal 22 Maret. Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hidayat menyatakan, peringatan ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran pentingnya pengelolaan sumber daya air berbasis daerah aliran sungai (DAS) terpadu.

“Pengelolaan DAS terpadu menghadirkan solusi holistik terhadap tantangan air yang kita hadapi. Strategi pengelolaan air yang proaktif terbukti mengurangi risiko bencana, melindungi masyarakat, dan menumbuhkan ketahanan regional,” ungkap Hidayat, pada seminar internasional bertajuk “Watershed-Based Water Resources Management for Shared Prosperity,” secara hibrida, Senin (18/3).

Karena itu, lanjut dia, perlu kolaborasi, keterlibatan masyarakat, dan pendanaan berkelanjutan, untuk menjamin keamanan air jangka panjang dan lingkungan yang sehat. Hal ini mencakup praktik konservasi tanah dan air yang mencegah erosi, meminimalkan limbah, dan mendorong siklus air yang berkelanjutan.

“Pendekatan terpadu ini menumbuhkan win-win scenario, yang menguntungkan masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.

Komite Pengarah Program Hidrologi Internasional (IHP) UNESCO Indonesia yang juga Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito, mengatakan, pertumbuhan populasi global, gangguan iklim, polusi air, dan ketimpangan akses terhadap air bersih memerlukan peralihan ke praktik pengelolaan air berkelanjutan.

Tantangan-tantangan ini memerlukan solusi inovatif. Pengelolaan DAS menjadi solusi yang tepat.

“Dengan memahami aliran air di dalam DAS dan menerapkan langkah-langkah seperti dataran banjir dan penyangga alami, kita dapat meminimalkan dampak banjir dan kekeringan. Ini melindungi masyarakat, infrastruktur, dan lahan pertanian,” ungkap Mego.

Selain itu, pengelolaan DAS dinilai mendorong efisiensi biaya. Mengoptimalkan penggunaan air berarti meminimalkan kehilangan air akibat penguapan dan kebocoran.

“Hal ini dapat mencakup promosi teknologi hemat air di bidang pertanian dan perkotaan. Serta penerapan teknik pemanenan air hujan. Sehingga, mengurangi permintaan terhadap sumber daya yang ada dan menurunkan biaya pengolahan air,” jelasnya.

Dikatakan Mego, seminar ini menjadi batu loncatan gelaran World Water Forum 2024 bulan Mei mendatang.

“Dengan mendorong dialog dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, membuka jalan bagi pengembangan solusi inovatif dan kolaboratif terhadap tantangan air global yang kita hadapi,” tandasnya.

Rehabilitasi hutan dan lahan

Dalam kesempatan ini, Martin Doviyanti dari Direktorat Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan, pengelolaan DAS mencakup produksi, regulasi, distribusi, dan konsumsi air yang melibatkan banyak pihak.

Karena itu, konservasi tanah dan air menjadi upaya mencegah erosi tanah, menjaga kualitas air, dan mengelola penggunaan sumber daya tanah dan air secara berkelanjutan.

Menurutnya, dalam hal pengembangan energi baru terbarukan, rehabilitasi hutan dan lahan dapat menjadi salah satu alternatif. Pemilihan jenis tanaman yang tepat perlu dilakukan.

“Rehabilitasi hutan dan lahan (forest and land rehabilitation/FLR) merupakan upaya pemulihan, pemeliharaan, dan peningkatan fungsi hutan dan lahan. Agar daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam menunjang sistem penyangga kehidupan tetap terjaga,” terang Martin.

Sasarannya, lanjut Martin, FLR diprioritaskan pada daerah hulu DAS yang rawan banjir, kekeringan, tanah longsor, daerah tangkapan air dari waduk, bendungan, danau, daerah imbuhan air tanah, dan daerah sempadan sungai. Serta, daerah hilir DAS yang rawan terhadap tsunami, intrusi air laut, dan abrasi sungai.

“Implementasi FLR sudah diterapkan antara lain di Jawa Tengah, Kawasan Hutan Gunung Balak Lampung, Desa Girimulyo, Kawasan Bukit Menoreh Yogyakarta, dan Hutan Cyclop Papua. Juga dilakukan sentra pembibitan tanaman tertentu di sejumah daerah seperti Mentawir, Labuan Bajo, Toba, Rumpin, dan mangrove di Bali,” pungkasnya.

Sebagai informasi, seminar internasional ini diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia untuk IHP UNESCO bekerja sama dengan BRIN dan Masyarakat Limnologi Indonesia. Pertemuan ini menjadi contoh pentingnya kolaborasi dalam berbagi pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air secara terpadu. 

Sumber: https://brin.go.id/

 

Selengkapnya
Hari Air Sedunia, BRIN Tekankan Pentingnya Pengelolaan DAS Terpadu

Riset dan Inovasi

BRIN dan Pihak Swasta Komitmen Kurangi Gas Rumah Kaca

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng PT. TUV Rheinland Indonesia (TRID) untuk melakukan riset bersama terkait  standar keberlanjutan dan sistem pelaporan terkait penilaian keberlanjutan industri dan produk. Kolaborasi kedua belah pihak ini merupakan upaya mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya dalam bidang Low Carbon Development Initiative.

Kerja sama ini diwujudkan dengan penandatanganan naskah kerja sama yang dilakukan di Gedung BJ. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, Jumat (15/03).  Naskah kerja sama ini ditandatangani antara Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PR SPBPDH)  Nugroho Adi Sasongko dengan Presiden Direktur PT. TRID I Nyoman Susila.

Nugroho menjelaskan, upaya mencapai SDGs khususnya dalam pengurangan emisi karbon telah menjadi target untuk semua negara di dunia ini, termasuk Indonesia. Bahkan pemerintah Indonesia telah menetapkan sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional di tahun 2030.

"Selain itu, mitigasi dan aksi pengurangan gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas perorangan, perusahaan, atau negara diharapkan terpenuhi melalui komitmen nasional dalam Enhanced National Determined Contribution (ENDC) juga di Tahun 2030," ujar Nugroho.

Guna mencapai target yang telah ditetapkan, lanjut Nugroho, pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait dengan Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mendukung target untuk memenuhi net zero emission maksimal pada tahun 2060. Dalam Pemenuhan target-target tersebut, terdapat banyak Norm, Standards dan Technical Regulations terkait Industri dan Produk yang ramah lingkungan diwajibkan terpenuhi oleh Komunitas Internasional.

"Diperlukan riset dan pengembangan standarisasi industri serta produk, untuk meningkatkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, riset dan pengembangan sistem produksi berkelanjutan dan penilaian daur hidup menjadi rancangan strategi yang paling penting untuk mendukung hal-hal tersebut," jelasnya.

Menurut Nugroho, BRIN dalam hal ini PR SPBPDH merupakan pusat riset yang memiliki bidang kepakaran terkait sistem produksi berkelanjutan dan penilaian daur hidup dan secara spesifik mengenai Norm, Standards, serta Technical Regulations dalam Pengukuran, Verifikasi, Sistem Pelaporan serta Penilaian Keberlanjutan Industri Serta Produk dalam Industri dan Perdagangan Global. Sedangkan PT. TRID merupakan lembaga swasta di bidang jasa layanan sertifikasi, inspeksi, pengujian serta pelatihan, dan merupakan bagian dari TUV Rheinland Group.

"Saat ini perusahaan sedang berkonsentrasi dalam topik upaya untuk mereduksi GRK di Indonesia dan mendorong strategi kepada berbagai perusahaan terkait dengan sustainability. Karenanya membutuhkan peran dari PRSPBPDH BRIN dalam melakukan riset dan dan pengembangan keilmuan yang terkait bidang tersebut," ujar Nugroho.

Presiden Direktur TRID I Nyoman Susila merasa bangga mempunyai kesempatan bisa bekerja sama dengan BRIN. Kerja sama ini merupakan bentuk kolaborasi dua institusi yang saling membutuhkan.

"Kerja sama ini bisa menjadi momentum untuk kolaborasi antara dua institusi yang saling membutuhkan, dan kami merasa bangga bisa bekerja sama dengan BRIN," kata I Nyoman.

Kerja sama kata I Nyoman, diharapkan mendapatkan dokumen riset terkait dengan standar keberlanjutan dan sistem pelaporan terkait penilaian keberlanjutan industri dan produk yang dapat dimanfaatkan oleh industri di Indonesia serta global. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN dan Pihak Swasta Komitmen Kurangi Gas Rumah Kaca

Pertanian

Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Peternakan sapi telah menjadi kegiatan yang dilakukan oleh manusia selama ribuan tahun. Di berbagai bagian dunia, sapi digunakan sebagai sumber makanan, tenaga kerja, dan bahan bakar. Di Indonesia, sapi merupakan sumber utama protein hewani yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kemajuan zaman, peternakan sapi telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan teknologi. Saat ini, terdapat dua jenis peternakan sapi yang berbeda, yakni peternakan sapi konvensional dan peternakan sapi modern. Dalam artikel ini, akan dibahas perbedaan antara kedua jenis peternakan sapi tersebut serta kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Bagian I: Peternakan Sapi Konvensional

Peternakan sapi konvensional merupakan bentuk peternakan sapi yang mengandalkan metode-metode tradisional dalam proses budidaya. Di Indonesia, peternakan sapi konvensional masih umum ditemui, terutama di daerah pedesaan. Berikut adalah beberapa karakteristik dari peternakan sapi konvensional:

  • Penggunaan lahan alami

Peternakan sapi konvensional biasanya memanfaatkan lahan alami sebagai tempat pemeliharaan sapi. Sapi dibiarkan bebas berkeliaran di padang rumput atau hutan untuk mencari makanan sendiri. Ini merupakan perbedaan dengan peternakan sapi modern yang menggunakan kandang atau ladang sebagai tempat pemeliharaan sapi.

  • Penggunaan pakan alami

Sapi yang dipelihara dalam peternakan sapi konvensional diberi makanan alami berupa rumput, daun, atau kulit kayu sebagai pakan utama mereka. Mereka dibiarkan mencari makan sendiri di sekitar peternakan atau di lahan yang disediakan oleh peternak.

  • Tidak adanya penggunaan teknologi

Peternakan sapi konvensional biasanya tidak mengadopsi teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, peralatan pengontrol suhu, atau teknologi lainnya yang dapat mempercepat dan memudahkan proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Konvensional

  • Biaya yang lebih rendah

Peternakan sapi tradisional memiliki biaya yang lebih murah daripada peternakan sapi modern. Hal ini dikarenakan peternakan sapi tradisional tidak memerlukan peralatan dan teknologi modern untuk mengelola peternakan.

  • Makanan yang lebih sehat

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional diberikan pakan alami seperti rumput, daun, atau kulit kayu. Jenis pakan alami ini dianggap lebih sehat bagi sapi maupun manusia.

  • Lebih ramah lingkungan

Peternakan sapi tradisional menghindari penggunaan teknologi modern yang berlebihan sehingga lebih memperhatikan lingkungan. Sapi diberikan kebebasan untuk mencari makan sendiri di sekitar peternakan dan membutuhkan sedikit lahan.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Konvensional

  • Produksi yang rendah

Peternakan sapi tradisional umumnya menghasilkan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi modern. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan teknologi modern yang kurang serta kurangnya perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang tidak konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional memiliki kualitas yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti jenis pakan yang diberikan dan kurangnya perawatan yang optimal.

  • Berisiko terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi tradisional seringkali kurang memenuhi standar sanitasi dan kesehatan yang memadai. Hal ini meningkatkan risiko sapi dan manusia terkena penyakit dan infeksi.

Bagian II: Peternakan Sapi Modern

Peternakan sapi modern merujuk pada jenis peternakan sapi yang mengadopsi teknologi modern dalam kegiatan budidaya sapi. Peternakan sapi modern umumnya terdapat di daerah perkotaan atau di negara-negara maju. Berikut adalah beberapa ciri khas dari peternakan sapi modern:

  • Penggunaan kandang atau ladang

Sapi yang dikembangkan di peternakan sapi modern biasanya ditempatkan di kandang atau ladang. Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengawasan dan perawatan sapi.

  • Penggunaan pakan buatan

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern diberikan pakan buatan yang terdiri dari jagung, kedelai, atau tepung tulang sebagai pakan utama. Jenis pakan buatan ini disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Penggunaan teknologi modern

Peternakan sapi modern memanfaatkan teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, alat pengendali suhu, dan berbagai teknologi lainnya untuk mempercepat dan mempermudah proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Modern

  • Produksi yang tinggi

Peternakan sapi modern memiliki potensi menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang lebih konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern umumnya memiliki kualitas yang lebih konsisten. Hal ini dikarenakan penggunaan pakan buatan yang disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Lebih aman terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi modern menerapkan standar sanitasi dan kesehatan yang tinggi. Hal ini menjaga keamanan sapi dan manusia dari penyakit dan infeksi.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Modern

  • Biaya yang lebih tinggi

Peternakan sapi modern membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang lebih intensif terhadap sapi.

  • Dampak lingkungan yang besar

Peternakan sapi modern umumnya memerlukan lahan yang lebih luas dan menghasilkan limbah yang lebih banyak. Dampaknya dapat merugikan lingkungan sekitar peternakan, seperti pencemaran air dan udara.

  • Kurangnya keberlanjutan

Peternakan sapi modern sering kali menerapkan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti menggunakan pakan buatan yang mengandung bahan-bahan tidak ramah lingkungan dan penggunaan antibiotik secara berlebihan. Dampaknya dapat mengurangi kualitas lingkungan dan mengancam keberlanjutan usaha peternakan.

Sebagai seorang penulis, pendapat saya adalah bahwa peternakan sapi modern memiliki potensi sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan daging sapi di masa depan. Namun, saya juga menyadari bahwa peternakan sapi konvensional memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan di banyak daerah, terutama di daerah pedesaan.

Dalam konteks ini, saya yakin bahwa peternakan sapi modern memberikan alternatif yang positif bagi peternakan sapi konvensional. Penerapan teknologi modern dapat membantu meningkatkan produksi daging sapi serta meningkatkan kualitas sapi yang dihasilkan. Namun, penting untuk melakukannya dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesehatan lingkungan.

Selain itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas peternakan sapi konvensional. Pemerintah dan organisasi terkait dapat memberikan dukungan berupa pelatihan dan penyediaan teknologi sederhana yang dapat membantu peternak sapi konvensional meningkatkan produksi dan kualitas sapi mereka.

Secara keseluruhan, saya meyakini bahwa peternakan sapi modern dan peternakan sapi konvensional memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun, kedua jenis peternakan ini dapat berjalan berdampingan dan saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat di masa depan. (Dosen Universitas Teknokrat Indonesia, Pakar Sistem Tertanam, Tim Kelompok Keilmuan IoT dan Sistem Tertanam)

Sumber: https://teknokrat.ac.id/

Selengkapnya
Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern
« First Previous page 613 of 1.119 Next Last »