Manajemen Konstruksi

Mengkritisi Metode Pengadaan Proyek di Industri Konstruksi Nigeria: Antara Tradisional dan Inovasi

Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025


Dalam dunia konstruksi, pemilihan metode pengadaan proyek (procurement method) bukan sekadar urusan administratif—ia adalah keputusan strategis yang berdampak langsung pada keberhasilan proyek dari sisi waktu, biaya, dan mutu. Penelitian Babatunde dkk. menawarkan evaluasi komprehensif terhadap berbagai metode pengadaan yang digunakan di Nigeria, serta menyingkap faktor-faktor utama yang memengaruhi preferensi terhadap metode tradisional maupun non-konvensional.

Latar Belakang—Mengapa Evaluasi Metode Pengadaan Penting?

Proyek konstruksi adalah investasi besar dengan kompleksitas tinggi. Menurut Daniel (2006), metode pengadaan bertujuan mengoptimalkan tiga parameter utama: waktu penyelesaian, biaya, dan kualitas bangunan. Namun kenyataannya, banyak proyek justru gagal memenuhi ketiganya. Hal ini mendorong evaluasi terhadap sistem pengadaan yang dipakai, terutama di negara berkembang seperti Nigeria, yang tengah menggeliat secara infrastruktur.

Metodologi Penelitian—Survei Profesional Konstruksi di Lagos

Penelitian ini menggunakan kuesioner terstruktur yang disebar kepada 100 profesional konstruksi di Lagos, pusat aktivitas konstruksi terbesar di Nigeria. Sebanyak 52 responden memberikan data valid, dengan representasi yang cukup merata:

  • Profesi: 53,84% quantity surveyor, 17,31% arsitek, 11,54% insinyur sipil/struktur, sisanya builder & engineer lainnya.

  • Latar organisasi: 42,3% institusi publik, 38,5% konsultan, 19,2% kontraktor.

  • Rata-rata pengalaman kerja: 8 tahun.
     

Dengan komposisi ini, data yang dikumpulkan dinilai cukup kredibel untuk merepresentasikan perspektif seluruh pelaku proyek.

Ragam Metode Pengadaan Proyek yang Digunakan

1. Metode Tradisional (Design-Bid-Build)

Metode klasik ini masih dominan, digunakan oleh 48,08% responden. Ciri utamanya adalah pemisahan antara fase desain, tender, dan pelaksanaan konstruksi.

Sub-varian Metode Tradisional:

  • Bills of Quantities

  • Drawings & Specifications

  • Cost Reimbursement

  • Schedule of Rates

2. Metode Design–Build

Meski lebih efisien secara teori, hanya 19,24% responden yang pernah menggunakannya. Sub-jenis yang paling dikenal:

  • Design and Construct (9,62%)

  • Package Deal (5,77%)

  • Construction Management (3,85%)

3. Public–Private Partnership (PPP)

Cukup populer di Nigeria, digunakan oleh 32,69% responden. Varian yang paling umum:

  • Build-Operate-Transfer (BOT) – 17,30%

  • Build-Own-Operate-Transfer (BOOT) – 5,77%

  • Lainnya: DBFT, ROT, BLT, dll.

Catatan penting: Management Contracting dan DBFO tidak digunakan sama sekali, mengindikasikan ketidaksiapan atau ketidakcocokan dengan struktur pasar lokal.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode

Penelitian ini menggunakan Relative Importance Index (RII) untuk menilai 15 faktor yang memengaruhi pemilihan metode, dari dua sisi: tradisional dan non-konvensional.

Untuk Metode Tradisional, Top 3 Faktor:

  1. Penyelesaian sesuai waktu (RII = 0.78)

  2. Penyelesaian sesuai biaya (RII = 0.76)

  3. Ketersediaan informasi sejak awal proyek (RII = 0.75)

Untuk Metode Non-Konvensional, Top 3 Faktor:

  1. Jaminan kualitas (RII = 0.81)

  2. Penyelesaian sesuai waktu (RII = 0.73)

  3. Kesesuaian dengan karakter proyek (RII = 0.73)

Temuan Tambahan:

  • Faktor “cheapest cost” justru tidak terlalu penting (RII rendah: 0.63–0.66), membantah mitos bahwa pemilihan metode selalu berorientasi harga.

  • “Fleksibilitas terhadap perubahan klien” menjadi faktor paling rendah dalam metode non-konvensional (RII = 0.55), yang ironis karena metode seperti D&B justru dikenal fleksibel.

Analisis Tambahan & Refleksi Praktis

A. Mengapa Metode Tradisional Masih Dominan?

Faktor sejarah dan kebiasaan memegang peran besar. Metode ini telah lama digunakan, dan banyak pemilik proyek serta pemerintah masih merasa nyaman dengan struktur yang dikenal.

Namun, metode ini memiliki kelemahan signifikan:

  • Tidak efisien waktu

  • Rentan konflik antara desainer dan kontraktor

  • Tidak cocok untuk proyek yang butuh kecepatan dan integrasi tinggi

B. Potensi Metode D&B dan PPP yang Belum Tergarap

Design–build hanya menyumbang 19,24% dari total praktik. Padahal di negara lain seperti Malaysia dan Indonesia, metode ini mulai populer untuk proyek swasta dan publik karena:

  • Lebih cepat

  • Tanggung jawab terpusat

  • Mengurangi konflik kontraktual

PPP juga sangat potensial untuk membiayai proyek besar di Nigeria, mengingat keterbatasan anggaran pemerintah.

Kritik Konstruktif terhadap Penelitian

Kekuatan:

  • Metodologi survei yang solid

  • Representasi responden yang beragam

  • Analisis kuantitatif yang tajam (menggunakan RII)
     

Kekurangan:

  • Terlalu terfokus pada wilayah Lagos; hasil mungkin tidak mewakili seluruh Nigeria.

  • Tidak ada studi kasus proyek nyata untuk menguatkan klaim.

  • Belum mengeksplorasi faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah atau tekanan global.

Penelitian lanjutan disarankan mencakup data nasional, serta menggabungkan pendekatan studi kasus lapangan.

Implikasi untuk Dunia Konstruksi Global

1. Bagi Pemerintah dan Regulator

Perlu edukasi dan sosialisasi tentang alternatif metode pengadaan proyek, terutama PPP dan D&B. Regulasi juga harus fleksibel agar bisa mengakomodasi metode non-konvensional.

2. Bagi Praktisi

Kontraktor dan konsultan perlu meningkatkan kompetensi dalam metode baru. Misalnya, memahami risiko kontrak lump sum dalam D&B atau struktur keuangan dalam PPP.

3. Bagi Akademisi

Penelitian seperti ini harus dijadikan dasar kurikulum agar calon profesional memahami keunggulan dan tantangan dari setiap metode pengadaan.

Kesimpulan—Antara Tradisi dan Transformasi

Paper ini memberikan gambaran jelas tentang lanskap metode pengadaan proyek di Nigeria: masih didominasi oleh tradisi, namun perlahan-lahan membuka ruang untuk inovasi. Walau metode D&B dan PPP telah diterapkan, masih dibutuhkan upaya masif untuk mengubah pola pikir dan struktur industri.

Pemilihan metode pengadaan bukan sekadar teknis—ia adalah cerminan kesiapan industri dalam merespons tantangan zaman. Di tengah dorongan efisiensi, transparansi, dan percepatan pembangunan, masa depan konstruksi ada pada metode yang fleksibel, kolaboratif, dan adaptif.

Sumber Artikel

Babatunde, S.O., Opawole, A., & Ujaddughe, I.C. (2010). An Appraisal of Project Procurement Methods in the Nigerian Construction Industry.
Published in: Civil Engineering Dimension, Vol. 12, No. 1, pp. 1–7.
Tersedia di: Civil Engineering Dimension atau repositori akademik terdekat.

 

Selengkapnya
Mengkritisi Metode Pengadaan Proyek di Industri Konstruksi Nigeria: Antara Tradisional dan Inovasi

Kualitas digital

Menghitung Biaya Kualitas Buruk di Era Digital

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Mengapa Biaya Kualitas Buruk Tak Lagi Bisa Diabaikan

Meski istilah cost of quality (CoQ) telah muncul sejak 1950-an, kenyataannya—bahkan hingga satu dekade terakhir—hanya sebagian kecil perusahaan yang benar-benar menghitungnya. Padahal, survei menunjukkan bahwa cost of poor quality (CoPQ) dapat mencapai 5–30% dari total penjualan perusahaan manufaktur dan jasa.

Laukkanen memulai penelitiannya dari keprihatinan ini: bahwa sebagian besar perusahaan kehilangan kesempatan besar untuk mengefisiensikan operasional karena tidak memiliki sistem pengukuran kualitas yang memadai. Di tengah gelombang revolusi industri 4.0, muncul peluang baru—yang dikenal dengan Quality 4.0—untuk mengubah cara perusahaan memahami, mengukur, dan mengelola kualitas.

 

Quality 4.0: Apa yang Berubah?

Quality 4.0 bukan sekadar digitalisasi dari manajemen kualitas konvensional. Ini adalah paradigma baru yang menggabungkan teknologi canggih seperti IoT, AI, machine learning, blockchain, dan big data untuk mendorong keputusan kualitas berbasis data secara real-time.

Ciri khas Quality 4.0:

  • Pengukuran otomatis dan berkelanjutan terhadap performa proses.
  • Prediksi cacat sebelum terjadi dengan machine learning.
  • Traceability menyeluruh dari produk sejak desain hingga layanan purna jual.
  • Pengambilan keputusan preskriptif, bukan sekadar reaktif.

 

Evolusi Pemikiran CoPQ: Dari Model PAF ke ABC

Laukkanen memetakan perkembangan pemikiran biaya kualitas melalui berbagai pendekatan, di antaranya:

1. PAF Model (Prevention, Appraisal, Failure)

Diperkenalkan oleh Feigenbaum, ini adalah model klasik yang paling banyak digunakan. Sayangnya, model ini terlalu generik dan kurang efektif dalam menangkap akar masalah operasional.

2. Process Costing dan Crosby’s Model

Menekankan pada identifikasi biaya di setiap tahap proses. Lebih detail, tapi rumit dan mahal untuk diterapkan secara manual.

3. Activity-Based Costing (ABC)

Membagi biaya berdasarkan aktivitas yang menghasilkan nilai atau tidak. Menjadi sangat relevan di era Quality 4.0 karena didukung oleh data otomatis dari sistem digital.

 

Studi Kasus Nyata: Perusahaan Multinasional dan Tantangan CoPQ

Laukkanen meneliti perusahaan besar (nama dirahasiakan) yang telah memiliki sistem CoPQ, tetapi tidak berjalan optimal. Masalah utamanya adalah:

  • Data tersebar dan tidak terintegrasi.
  • Kurangnya insentif untuk departemen non-produksi agar peduli terhadap kualitas.
  • Tidak adanya pelaporan real-time sehingga intervensi sering terlambat.

Dalam sistem yang lama, hanya biaya kegagalan eksternal dan internal yang dihitung—seperti klaim pelanggan, scrap, dan rework. Tapi biaya preventif dan appraisal tidak pernah diukur, padahal berkontribusi besar pada efisiensi jangka panjang.

 

Solusi Usulan: Integrasi Quality 4.0 untuk Sistem CoPQ Baru

Laukkanen mengusulkan pendekatan gabungan top-down dan bottom-up. Dari sisi strategis (top-down), manajemen harus menetapkan target kualitas berbasis indikator kinerja yang terhubung langsung dengan data aktual. Dari sisi operasional (bottom-up), departemen lapangan didorong untuk mengumpulkan data secara otomatis, lalu dikategorikan dalam model ABC.

Teknologi yang Disarankan:

  • IoT untuk monitoring proses real-time.
  • Machine learning untuk deteksi anomali.
  • Big data untuk klasifikasi biaya dan pengelompokan akar masalah.
  • Blockchain untuk traceability dan audit digital.

 

Manfaat Kritis: Dari Data ke Strategi Kualitas

1. Keakuratan dan Cakupan Data yang Meningkat

Dengan sensor dan sistem digital, perusahaan bisa mengukur kualitas hingga tingkat aktivitas terkecil yang sebelumnya dianggap "invisible cost".

2. Pengambilan Keputusan Berbasis Fakta

Alih-alih bergantung pada laporan bulanan, sistem ini mendukung dashboard interaktif yang menampilkan kondisi kualitas harian dan tren biaya.

3. Simulasi & Prediksi

Dengan digital twin dan pemodelan prediktif, perusahaan dapat menguji perubahan proses tanpa mengganggu produksi nyata.

 

Kritik & Refleksi: Tantangan Implementasi di Dunia Nyata

Meski konsepnya menjanjikan, Laukkanen tidak menutup mata terhadap tantangan nyata:

  • Budaya organisasi menjadi kendala utama. Banyak karyawan belum terbiasa dengan sistem berbasis data.
  • Biaya awal implementasi cukup tinggi. Namun investasi ini dapat terbayar dalam jangka menengah.
  • Skeptisisme manajemen terhadap perubahan sistem akuntansi. Banyak perusahaan masih puas dengan sistem konvensional.

Namun demikian, penulis menekankan bahwa tanpa pergeseran ini, perusahaan akan tertinggal dalam lanskap industri yang makin kompetitif dan berbasis data.

 

Analogi Industri dan Relevansi Masa Kini

Penemuan Laukkanen sejalan dengan tren di berbagai sektor, misalnya:

  • Industri otomotif: Toyota dan BMW telah menerapkan digital quality control yang memungkinkan feedback langsung ke tim R&D.
  • Sektor konstruksi: Dengan drone dan IoT, proyek besar seperti bandara kini bisa mendeteksi kesalahan konstruksi sejak tahap fondasi.

Bahkan sektor jasa seperti perbankan dan asuransi mulai mengadopsi logika CoQ untuk menganalisis kegagalan sistem dan kepuasan pelanggan.

 

Kesimpulan: Saatnya Berpikir Kualitas secara Digital

Tesis Laukkanen bukan hanya karya akademik, tetapi sebuah peta jalan praktis untuk memasuki era Quality 4.0. Ia mengajak industri untuk tidak hanya menghitung kualitas dari hasil akhir, tetapi dari semua proses yang membentuknya—dengan bantuan teknologi yang kini sudah terjangkau dan adaptif.

Dengan menggabungkan logika manajemen kualitas klasik dan kapabilitas digital mutakhir, perusahaan dapat:

  • Mengurangi pemborosan tersembunyi,
  • Meningkatkan akuntabilitas lintas fungsi, dan
  • Menjadikan kualitas sebagai keunggulan kompetitif nyata, bukan sekadar jargon.

 

Sumber:

Laukkanen, Panu. (2021). Quality 4.0 Enabling Cost of Poor Quality Measurement. Master’s Thesis, Lappeenranta-Lahti University of Technology LUT.

 

Selengkapnya
Menghitung Biaya Kualitas Buruk di Era Digital

Konstruksi

Kecerdasan Buatan dalam Konstruksi Australia: Peluang, Tantangan, dan Persepsi Publik

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 08 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Konstruksi Perlu AI?

Meskipun industri konstruksi Australia menyumbang sekitar AUD 360 miliar per tahun dan hampir 9% dari PDB nasional, tingkat produktivitasnya hanya tumbuh 1% selama dua dekade terakhir. Ketertinggalan ini menjadi alasan utama eksplorasi teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) dalam meningkatkan efisiensi. Paper berjudul "Artificial Intelligent Technologies for the Construction Industry: How Are They Perceived and Utilized in Australia" oleh Regona et al. (2022) mengkaji bagaimana publik Australia menanggapi dan memanfaatkan AI dalam sektor konstruksi.

 

Metodologi Unik: Analisis Sentimen dari Twitter

Berbeda dari studi konvensional, penelitian ini menggunakan analisis media sosial untuk memahami persepsi publik terhadap AI di konstruksi. Data sebanyak 7906 tweet dari Australia dikumpulkan selama dua tahun (Juli 2019–2021). Peneliti menerapkan:

  • Analisis sentimen

  • Analisis konten menggunakan NVivo

  • Visualisasi spasial dengan ArcGIS

  • Analisis jaringan menggunakan Gephi

Pendekatan ini mencerminkan perspektif masyarakat secara luas, termasuk pekerja industri, akademisi, dan pengamat publik.

 

Temuan Utama: Teknologi AI Paling Populer di Australia

Teknologi AI yang Paling Banyak Disebut:

  • Robotik (931 tweet)

  • Internet of Things/IoT (562 tweet)

  • Machine Learning (522 tweet)

  • Big Data (457 tweet)

  • Automation (475 tweet)
     

Negara bagian dengan cuitan terbanyak adalah:

  • New South Wales (NSW) – 2997 tweet

  • Victoria (VIC) – 2214 tweet

  • Queensland (QLD) – 1540 tweet
     

Contoh Nyata:

Salah satu tweet menyebutkan penggunaan AI untuk memantau proyek konstruksi secara transparan, sementara lainnya menyoroti kekhawatiran kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi.

 

Analisis Sentimen: Positif Tapi Waspada

  • 49% tweet bersentimen positif

  • 37% negatif

  • 14% netral
     

New South Wales dan Queensland mendominasi sentimen positif. Northern Territory mencatatkan sentimen negatif tertinggi (74%). Tweet positif fokus pada efisiensi, keselamatan kerja, dan inovasi. Sementara yang negatif membahas ancaman terhadap lapangan kerja dan risiko proyek.

 

Prospek Teknologi AI di Konstruksi

Penelitian ini mengidentifikasi 12 prospek utama, antara lain:

  • Digitalisasi (767 tweet)

  • Inovasi (691 tweet)

  • Penghematan waktu (294 tweet)

  • Produktivitas (232 tweet)

  • Efisiensi (109 tweet)
     

Studi Kasus:

Perusahaan BMD di Queensland menggunakan sistem Octant berbasis AI yang menghemat waktu hingga 30% dalam pengembangan proyek urban. Hal ini memperlihatkan dampak nyata AI dalam mempercepat tahapan konstruksi.

 

Tantangan dan Hambatan Implementasi

Meski menjanjikan, AI menghadapi berbagai hambatan:

  • Keamanan data (156 tweet)

  • Kurangnya kemampuan SDM (110 tweet)

  • Lingkungan kerja yang tidak terstruktur (95 tweet)

  • Kompleksitas sistem (96 tweet)

  • Risiko proyek (93 tweet)

​​​​​​​Tweet dari Tasmania dan Northern Territory banyak menyoroti kendala biaya awal dan kesiapan infrastruktur.

 

Perbandingan dengan Studi Lain

Berbeda dengan studi yang berfokus pada teknologi spesifik (misal BIM atau AR), penelitian ini menyajikan peta menyeluruh dari persepsi sosial dan teknologi AI dalam konstruksi. Kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif dari media sosial memberikan dimensi baru dalam riset adopsi teknologi.

 

Dampak Nyata dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini memberi masukan penting bagi:

  • Pemerintah: merancang strategi AI nasional berbasis persepsi publik

  • Perusahaan: memilih teknologi sesuai respons pasar

  • Akademisi: merancang pelatihan dan kurikulum berbasis kebutuhan industri
     

Rekomendasi kebijakan meliputi:

  • Subsidi pelatihan teknologi digital

  • Kolaborasi antar sektor

  • Penyesuaian regulasi keselamatan kerja dalam konteks otomatisasi
     

Kesimpulan: AI Bukan Ancaman, Tapi Peluang

AI dalam konstruksi Australia dipandang secara luas sebagai alat transformasi, bukan pengganti manusia. Studi Regona et al. menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, AI dapat meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja. Tantangannya ada, tapi peluangnya jauh lebih besar.

 

 

Sumber

Regona, M., Yigitcanlar, T., Xia, B., & Li, R.Y.M. (2022). Artificial Intelligent Technologies for the Construction Industry: How Are They Perceived and Utilized in Australia? Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 8(1), 16. https://doi.org/10.3390/joitmc8010016

Selengkapnya
Kecerdasan Buatan dalam Konstruksi Australia: Peluang, Tantangan, dan Persepsi Publik

Transformasi Digital

Membangun Kualitas Masa Depan di Era Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Kualitas di Era Digital: Mengapa Quality 4.0 Jadi Kebutuhan Mendesak?

Perkembangan pesat teknologi mendorong perusahaan untuk tidak hanya mengotomatisasi proses, tetapi juga mendigitalisasi nilai-nilai kualitas yang dulu bersifat manual. Quality 4.0 muncul sebagai kelanjutan logis dari prinsip Total Quality Management (TQM), kini diperkuat dengan AI, IoT, dan big data.

Namun, seperti disoroti dalam tesis ini, banyak organisasi masih belum memahami bagaimana melakukan transisi menuju Quality 4.0. Terdapat kekosongan antara kesadaran dan eksekusi. Sisodia dan Forero mencoba menjembatani kesenjangan tersebut dengan menyusun kerangka kerja dan roadmap yang konkret.

 

Latar Belakang: Di Mana Posisi Quality 4.0 dalam Revolusi Industri 4.0?

Istilah Industry 4.0 merujuk pada transformasi besar yang mengandalkan konektivitas tinggi antar perangkat, sistem siber-fisik, dan integrasi data real-time. Namun, banyak diskusi soal Industri 4.0 terlalu berfokus pada teknologi dan melupakan aspek kualitas yang seharusnya menjadi DNA setiap organisasi.

Quality 4.0 adalah respons terhadap tantangan ini—sebuah pendekatan yang melihat kualitas sebagai proses digital yang melibatkan teknologi, proses, dan manusia dalam harmoni.

 

Tesis Ini Menjawab Dua Pertanyaan Kunci:

  1. Sejauh mana pemahaman organisasi terhadap konsep Quality 4.0?
    Temuan menunjukkan bahwa pemahaman masih terbatas. Sebagian besar responden dari industri di Swedia bahkan belum mengenal istilah ini, meski memahami digitalisasi sebagai bagian dari Industry 4.0.
  2. Langkah apa yang harus diambil organisasi untuk bertransisi ke Quality 4.0?
    Inilah fokus utama tesis: penyusunan roadmap sistematis yang dapat diadopsi oleh berbagai organisasi.

 

Roadmap Menuju Quality 4.0: 6 Langkah Strategis

1. Menilai Kesiapan Organisasi (Assess Readiness)

  • Evaluasi kematangan digital (digital maturity).
  • Ukur stabilitas proses, alur data, dan budaya organisasi.
  • Pahami kebutuhan kompetensi (misalnya, data science, lean thinking).

2. Membangun Dasar Strategi (Setting Up)

  • Selaraskan strategi bisnis dengan peta jalan digital.
  • Libatkan manajemen dalam penyusunan business case.
  • Fokus pada nilai tambah dan kelayakan investasi.

3. Melibatkan Pemangku Kepentingan (Involve Stakeholders)

  • Kolaborasi lintas departemen dan fungsi.
  • Bangun keterlibatan dari awal agar transformasi bersifat menyeluruh.
  • Jalin komunikasi terbuka dengan pelanggan dan pemasok.

4. Menghasilkan Nilai Tambah (Create Value)

  • Gunakan insight dari data untuk pengambilan keputusan strategis.
  • Fokus pada pengurangan biaya kualitas buruk (Cost of Poor Quality/CoPQ).
  • Dorong co-creation bersama pelanggan dalam desain produk.

5. Mengelola Data secara Efektif (Manage Data)

  • Tata kelola data dan keamanan siber menjadi prioritas.
  • Terapkan analitik prediktif untuk mengantisipasi cacat produksi.
  • Gunakan blockchain untuk transparansi dan traceability.

6. Melakukan Evaluasi dan Iterasi

  • Tinjau kembali roadmap secara periodik.
  • Gunakan pendekatan agile dalam eksekusi transformasi.
  • Libatkan feedback loop dari semua stakeholder.

 

Studi Kasus: GKN Aerospace dan Tantangan Digitalisasi

Tesis ini bekerja sama dengan GKN Aerospace, salah satu perusahaan penerbangan global, sebagai studi kasus. Mereka memiliki jaringan pabrik global dan tengah menjalankan proyek digitalisasi. Meski sudah mengenal digital tools dan Industry 4.0, kualitas masih dianggap sebagai elemen pendukung, bukan inti transformasi.

Temuan penting:

  • Banyak inisiatif digital belum menyentuh aspek kualitas secara langsung.
  • Manajemen masih menilai I4.0 dari sisi IT, bukan kualitas.
  • Ada kesenjangan kompetensi dan pemahaman antar divisi.

Dengan membangun roadmap seperti yang dijabarkan, perusahaan seperti GKN dapat menghubungkan tujuan digitalisasi dengan strategi kualitas yang lebih adaptif.

 

Nilai Tambah dari Quality 4.0: Tidak Sekadar Otomatisasi

Quality 4.0 memberikan fondasi untuk:

  • Meningkatkan ketepatan pengambilan keputusan.
    → Dengan data real-time dan model prediktif, organisasi tidak perlu menunggu laporan bulanan untuk bertindak.
  • Menurunkan biaya kualitas buruk (CoPQ).
    → Biaya ini bisa mencapai 20–30% dari revenue jika tidak dikelola.
  • Mengintegrasikan aspek keberlanjutan.
    → Kualitas kini tidak hanya soal produk, tetapi juga lingkungan, masyarakat, dan etika.
  • Memperkuat budaya organisasi berbasis pembelajaran.
    → Proses perbaikan berkelanjutan kini berbasis data, bukan sekadar best practice manual.

 

Kritik dan Tantangan Implementasi

Meskipun roadmap yang ditawarkan komprehensif, implementasinya tidak bebas hambatan. Beberapa tantangan meliputi:

  • Kurangnya definisi operasional Q4.0 yang universal.
    → Banyak perusahaan menunggu standar dari luar daripada menciptakan sendiri.
  • Ketergantungan pada teknologi tanpa kesiapan budaya.
    → Tanpa komitmen dari semua level organisasi, teknologi hanyalah alat.
  • Kekurangan talenta digital yang memahami konteks kualitas.
    → Ini mendorong kebutuhan integrasi pelatihan soft skill dan digital skill.

 

Refleksi dan Relevansi Masa Kini

Penelitian ini sangat relevan dalam konteks pasca-pandemi dan tantangan rantai pasok global. Banyak perusahaan ingin meningkatkan fleksibilitas operasional dan kualitas produk secara simultan. Quality 4.0 memberikan solusi dengan:

  • Menyatukan data dari berbagai sumber ke dalam satu sistem kualitas terpadu.
  • Mendukung strategi berbasis fakta, bukan asumsi.
  • Menjembatani gap antara divisi produksi, teknologi, dan manajemen.

 

Kesimpulan: Dari Kualitas Tradisional Menuju Transformasi Strategis

Quality 4.0 bukan hanya versi digital dari TQM, tetapi evolusi menyeluruh dalam cara perusahaan memahami dan menciptakan nilai melalui kualitas. Dengan roadmap transisi yang jelas, organisasi dapat:

  • Menurunkan biaya kegagalan,
  • Meningkatkan kepuasan pelanggan, dan
  • Membangun budaya perbaikan berkelanjutan yang benar-benar didukung data.

Penelitian Sisodia dan Forero memberi kontribusi nyata bukan hanya dalam literatur akademik, tapi juga sebagai panduan praktis bagi para profesional industri.

 

Sumber

Sisodia, R., & Forero, D. V. (2020). Quality 4.0 – How to Handle Quality in the Industry 4.0 Revolution. Master’s Thesis, Chalmers University of Technology.

 

Selengkapnya
Membangun Kualitas Masa Depan di Era Industri 4.0

Manufaktur digital

Menyatukan Data Berkualitas dan Machine Learning dalam Industri

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Mengapa Data Berkualitas Menjadi Kunci Revolusi Industri 4.0?

Dalam dunia manufaktur modern, inovasi seperti machine learning sering digambarkan sebagai solusi segala masalah. Namun, banyak perusahaan industri yang mengalami kegagalan implementasi teknologi ini. Mengapa? Satu jawaban yang terus mengemuka adalah kualitas data. Data yang buruk tak hanya menghambat hasil prediksi, tapi bisa menyesatkan keputusan bisnis.

Melalui tesisnya, Teoman Duran Timocin membongkar persoalan ini secara sistematis, menyusun framework yang relevan untuk perusahaan manufaktur yang ingin sukses mengintegrasikan machine learning ke dalam proses operasionalnya.

 

Tantangan Nyata di Lapangan: Bukan Soal Kurangnya Data, Tapi Kualitasnya

Ironisnya, industri manufaktur sebenarnya tidak kekurangan data. Dengan adopsi sistem kontrol, sensor, dan log digital selama dua dekade terakhir, data tersedia dalam jumlah besar. Tapi seperti kata pepatah: “Garbage in, garbage out.”

Beberapa tantangan data utama yang diidentifikasi antara lain:

  • Data yang tidak lengkap dan tidak dapat diakses (misalnya akibat koneksi sensor yang buruk).
  • Format data yang tidak konsisten, misalnya perbedaan timestamp atau ID produk antar sistem.
  • Duplikasi, kesalahan input, hingga data tidak terpercaya akibat perangkat yang rusak.
  • Masalah semantik ketika data dari mesin yang berbeda berbicara "bahasa" yang berbeda.

 

Studi Kasus: Siemens dan Tantangan Realitas Data di Industri

Tesis ini merujuk pada studi nyata di Siemens Energy yang menemukan bahwa:

  • Banyak data sensor hilang karena kerusakan alat.
  • Format waktu dan ID produk tidak seragam, menyulitkan integrasi data.
  • Data sering tidak bisa dipercaya karena noise tinggi atau perangkat yang tidak terkalibrasi.

Ini mengakibatkan waktu dan biaya ekstra dalam membersihkan data sebelum bisa digunakan dalam model machine learning. Dalam banyak kasus, ini bahkan menghambat implementasi teknologi secara keseluruhan.

 

Framework Kualitas Data untuk Machine Learning di Manufaktur

Berdasarkan literatur dan wawancara dengan para ahli, Timocin menyusun kerangka kerja yang membagi kualitas data ke dalam empat dimensi utama:

1. Intrinsic Quality

  • Akurasi
  • Kepercayaan
  • Bebas dari kesalahan dan duplikasi

2. Contextual Quality

  • Keterkinian
  • Kelengkapan
  • Relevansi terhadap tujuan penggunaannya

3. Representational Quality

  • Konsistensi format
  • Interpretabilitas
  • Standarisasi semantik

4. Accessibility

  • Aksesibilitas fisik dan logis
  • Privasi dan keamanan
  • Ketersediaan data saat dibutuhkan

Dengan framework ini, perusahaan dapat mendiagnosis kondisi datanya secara sistematis sebelum mengadopsi machine learning.

 

Machine Learning Tidak Akan Optimal Tanpa Data Berkualitas

Istilah “machine learning is only as good as its data” menjadi dasar argumentasi Timocin. Model tidak bisa belajar dengan benar jika:

  • Data pelatihan tidak representatif
  • Data uji mengandung bias
  • Data produksi terlalu banyak noise

Dalam industri manufaktur, ini berakibat pada:

  • Prediksi kerusakan mesin yang meleset
  • Kesalahan klasifikasi produk cacat
  • Overfitting karena data yang bias atau tidak lengkap

 

Studi Perbandingan: Framework Lain vs Pendekatan Kontekstual

Framework klasik seperti Wang & Strong (1996) masih banyak digunakan, tapi kurang kontekstual untuk manufaktur. Framework milik Gudivada et al. (2017) mulai menyentuh aspek machine learning, tapi belum mempertimbangkan konteks industri secara mendalam.

Kontribusi Timocin adalah menggabungkan:

  • Kebutuhan struktural dari industri manufaktur
  • Kebutuhan data teknis untuk machine learning
  • Perspektif pengguna dan engineer lapangan

Hasilnya adalah framework yang tidak hanya teoritis, tapi siap digunakan di lapangan.

 

Praktik Baik untuk Memulai: Saran dari Wawancara Lapangan

Wawancara dengan praktisi memberikan insight tambahan, antara lain:

  • Data governance adalah langkah awal mutlak.
  • Automasi pembersihan data harus diintegrasikan dalam sistem sejak awal.
  • Standardisasi format data lintas sistem mempercepat integrasi.

Sebagian besar responden juga mengakui bahwa perusahaan terlalu cepat mengadopsi machine learning tanpa memahami kesiapan data mereka.

 

Kritik dan Refleksi: Framework Ini Bukan Satu-satunya Jawaban

Meski framework ini kuat, tetap ada tantangan:

  • Belum semua perusahaan memiliki data culture yang mendukung inisiatif ini.
  • Implementasi memerlukan kolaborasi lintas fungsi, yang kadang sulit dilakukan.
  • Masih ada keterbatasan jumlah studi empiris dari industri yang sangat spesifik.

Namun, dibanding pendekatan "template satu untuk semua", kerangka ini lebih fleksibel dan relevan untuk perusahaan manufaktur yang sedang berada di ambang transformasi digital.

 

Implikasi Praktis: Dari Diagnosis ke Strategi Data

Framework ini bisa dijadikan dasar:

  • Audit kualitas data tahunan atau kuartalan
  • Prioritisasi investasi IT (sensor, sistem, tenaga ahli data)
  • Strategi roadmap machine learning berdasarkan kesiapan data

Bahkan bisa menjadi basis pelatihan tim data atau quality engineer agar mereka paham bahwa pekerjaan mereka adalah prasyarat utama keberhasilan machine learning.

 

Penutup: Data Adalah Bahan Bakar, Tapi Harus Dimurnikan Dulu

Teoman Duran Timocin lewat tesis ini menunjukkan bahwa keberhasilan machine learning dalam industri manufaktur bukan hanya soal model atau algoritma, tapi kesiapan data yang digunakan. Framework yang ia tawarkan mengisi celah besar dalam literatur dan praktik: yaitu kebutuhan akan pendekatan kontekstual terhadap kualitas data di ranah industri.

Kalau Anda adalah manajer produksi, data engineer, atau CTO, pertanyaan besar yang perlu ditanyakan bukan “kapan kita adopsi machine learning?”, tapi “apakah data kita sudah siap?”

Sumber

Timocin, T. D. (2020). Data Quality in the Interface of Industrial Manufacturing and Machine Learning. Master’s Thesis, Uppsala University.

Selengkapnya
Menyatukan Data Berkualitas dan Machine Learning dalam Industri

Big data

Big Data dalam Manajemen Proses

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Era Big Data: Mengapa Penting Bagi Manajemen Proses?

Dalam dua dekade terakhir, revolusi digital menghadirkan perubahan masif dalam cara organisasi mengelola informasi dan proses bisnisnya. Salah satu teknologi yang paling transformatif adalah big data—sekumpulan data berskala masif, bervariasi, dan mengalir dengan sangat cepat (volume, variety, velocity).

Namun, seperti yang diungkapkan oleh Ephraim dan Sehic dalam tesis mereka, big data masih jauh dari kata optimal dalam konteks manajemen proses. Meskipun potensinya besar, adopsi nyata di perusahaan masih terbatas dan seringkali tidak menyentuh aspek proses secara holistik.

 

Tujuan Tesis: Menyatukan Dua Dunia yang Sering Terpisah

Tesis ini mencoba menjawab dua pertanyaan utama:

  1. Bagaimana big data digunakan dalam manajemen proses menurut literatur?
  2. Apa tujuan dan tantangan penggunaan big data di organisasi Swedia menurut survei?

Untuk menjawab ini, penulis menggabungkan studi literatur dengan survei dan wawancara di berbagai sektor industri. Pendekatan ini memperkaya perspektif teoretis dengan pengalaman nyata di lapangan.

 

3 Pilar Penggunaan Big Data dalam Manajemen Proses

Dalam studi ini, manajemen proses dibagi menjadi tiga aktivitas utama:

  • Pengembangan & pemetaan proses
  • Analisis & perbaikan proses
  • Kontrol & kelincahan proses (agility)

Big data digunakan terutama untuk dua hal terakhir—analisis dan kontrol proses—sementara untuk pemetaan dan pengembangan masih minim eksplorasi.

Temuan utama:

  • 80% aplikasi big data ditemukan dalam analisis dan kontrol proses.
  • Kurang dari 20% digunakan untuk pengembangan awal proses.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung menggunakan data untuk reaktif, bukan proaktif.

 

Studi Kasus: Industri Minyak dan Gas

Dalam tinjauan literatur, salah satu studi menarik berasal dari sektor minyak dan gas (Sumbal et al., 2019). Di sini, big data digunakan untuk:

  • Mengembangkan katalis dalam proses likuifikasi gas, mempercepat waktu R&D dari beberapa tahun menjadi hanya 13 bulan.
  • Maintenance prediktif melalui sensor pada turbin dan kompresor yang memotong biaya dan downtime.
  • Deteksi otomatis kebocoran minyak lewat citra satelit.

Namun, tantangannya juga nyata:

  • Kurangnya kompetensi data science
  • Rendahnya integrasi antar database
  • Keengganan manajemen puncak untuk berinvestasi besar pada teknologi yang belum familiar

 

Survei di Swedia: Jarak antara Potensi dan Realisasi

Survei terhadap organisasi di Swedia mengungkap hasil yang mengejutkan:

  • Mayoritas responden mengakui big data bermanfaat, tapi tidak menggunakannya secara aktif.
  • Tujuan utama penggunaan adalah untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dan efisiensi proses.
  • Tantangan terbesar? Kompleksitas pengelolaan data dan kurangnya komitmen dari manajemen atas.

Temuan menarik:

  • Hanya 9 responden, namun mayoritas adalah manajer dan peneliti.
  • Organisasi besar lebih cenderung mengadopsi big data dibandingkan perusahaan kecil.
  • Banyak yang ingin menggunakan big data di masa depan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

 

Framework Praktis: Matriks Analisis Big Data

Penulis menyusun sebuah matriks yang memetakan dimensi manajemen proses dengan aplikasi big data. Ini menciptakan peta visual bagaimana data bisa digunakan di setiap tahapan:

  • Process Mapping & Development: rendah
  • Process Analysis & Improvement: tinggi
  • Process Control & Agility: tinggi

Artinya, potensi penggunaan data secara strategis di tahap perencanaan masih terbuka lebar.

 

Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

Meski tesis ini memberikan insight mendalam, ada beberapa keterbatasan:

  • Survei hanya mendapat sedikit responden (9 orang), sehingga tidak bisa digeneralisasi.
  • Fokus utama masih pada organisasi di Swedia, kurang mencerminkan global trend.
  • Belum banyak eksplorasi tentang teknologi spesifik seperti AI, machine learning, atau data lake secara teknis.

Namun, kekuatan terbesar tesis ini adalah penggabungan teori dan praktik, yang masih langka di bidang ini.

 

Implikasi Praktis untuk Dunia Industri

Berikut adalah langkah-langkah konkret untuk organisasi yang ingin mengintegrasikan big data dalam manajemen proses:

1. Mulai dari Tujuan, Bukan Teknologi

Fokus pada value creation yang diinginkan. Misalnya: efisiensi waktu produksi, prediksi permintaan, atau pengurangan kegagalan proses.

2. Bangun Kompetensi Internal

Rekrut atau latih tim yang bisa menjembatani antara proses bisnis dan teknologi data.

3. Gunakan Data untuk Desain Proses, Bukan Hanya Monitoring

Manfaatkan big data dalam desain ulang proses (redesign) agar lebih adaptif sejak awal.

4. Ciptakan Budaya Berbasis Data

Kembangkan budaya kerja yang menghargai keputusan berbasis data, bukan intuisi atau hierarki semata.

 

Kesimpulan: Big Data adalah Mesin, Tapi Proses adalah Kendalinya

Big data memang menjanjikan transformasi besar bagi manajemen proses. Tapi tanpa integrasi yang matang, potensi tersebut bisa hilang sia-sia. Seperti yang ditunjukkan oleh Ephraim dan Sehic, perlu sinergi antara teknologi, strategi, dan budaya organisasi.

Tesis ini menjadi pengingat penting bahwa transformasi digital bukan hanya soal alat canggih, tetapi juga soal cara kita berpikir, merancang, dan menjalankan proses.

 

Sumber

Ephraim, E. E., & Sehic, S. (2021). The Use of Big Data in Process Management: A Literature Study and Survey Investigation. Master’s Thesis, Linköping University.

 

Selengkapnya
Big Data dalam Manajemen Proses
« First Previous page 408 of 1.299 Next Last »