Manajemen Risiko

Mengatasi Badai Multi-Risiko: DAPP-MR Sebagai Kerangka Kerja Adaptasi Jangka Panjang yang Dinamis.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Analisis Mendalam Kerangka Kerja DAPP-MR: Jalan Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Adaptif dan Kompleks

Latar Belakang Intelektual

Penelitian ini membahas kesenjangan kritis dalam bidang Manajemen Risiko Bencana (DRM), di mana pendekatan yang ada—seringkali berfokus pada risiko tunggal dan sektor tunggal —tidak memadai untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin kompleks. Kompleksitas ini didorong oleh risiko yang bersifat majemuk (compounding), interaktif, dan berjenjang (cascading) di berbagai sektor. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) telah secara eksplisit menyerukan perspektif multi-bahaya dan multi-sektoral , namun pendekatan sistematis untuk mendukung DRM yang berorientasi tindakan masih kurang.

Sebagai respons, para peneliti menyesuaikan kerangka kerja yang sudah mapan, Dynamic Adaptive Policy Pathways (DAPP), menjadi DAPP-MR (DAPP for Multi-Risk). DAPP sendiri dikenal karena kemampuannya merancang strategi jangka panjang yang dapat diimplementasikan dan disesuaikan dari waktu ke waktu di bawah berbagai skenario yang tidak pasti (disebut sebagai deep uncertainty). Namun, DAPP asli memiliki keterbatasan dalam menangani kompleksitas dan interdependensi sistem multi-bahaya dan multi-sektor. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyempurnakan kerangka kerja analitis DAPP untuk konteks multi-risiko yang kompleks dan dinamis.

Jalur Logis Temuan

Perjalanan temuan diawali dengan peninjauan literatur untuk mengidentifikasi tiga tema utama yang relevan untuk mengkarakterisasi sistem multi-risiko : 1) Efek interaksi multi-bahaya , 2) Dinamika dan interdependensi sektor , dan 3) Trade-off dan sinergi kebijakan DRM antar sektor dan skala.

1. Memperkaya DAPP dengan Elemen Multi-Risiko

Para peneliti menganalisis kemampuan tujuh langkah analitis DAPP tradisional untuk mengintegrasikan aspek-aspek multi-risiko ini. Mereka menemukan bahwa meskipun DAPP secara inheren dapat mengakomodasi banyak aspek (ditandai dengan tanda bintang pada Tabel 1 dalam makalah), pertimbangan multi-risiko akan meningkatkan secara signifikan jumlah informasi yang dikumpulkan di setiap langkah analitis, khususnya yang berkaitan dengan interaksi bahaya dan kerentanan, serta evaluasi kinerja kebijakan.

Temuan kunci menunjukkan bahwa konsep DAPP tentang Adaptation Tipping Points (ATPs) dan Opportunity Tipping Points (OTPs) dapat secara efektif menangkap implikasi dari interaksi yang ditingkatkan dalam sistem multi-risiko. Misalnya, sinergi antar opsi kebijakan dapat menunda ATP (lingkaran bergerak ke kanan) , sementara trade-off atau efek interaksi multi-bahaya yang memperburuk dampak dapat mempercepat ATP (lingkaran bergerak ke kiri).

2. Usulan Kerangka Bertahap (Staged Framework)

Untuk mengatasi peningkatan kompleksitas informasi dan interkonektivitas antar langkah, para peneliti mengajukan DAPP-MR sebagai penataan ulang dari langkah-langkah DAPP yang ada, memperkenalkan tiga tahap iterasi. Kerangka bertahap ini dirancang untuk memandu integrasi pengetahuan secara bertahap:

  • Tahap 1: Perspektif sektor tunggal, bahaya tunggal (DAPP langkah 1-4).
  • Tahap 2: Integrasi semua pertimbangan bahaya tunggal per sektor menjadi perspektif sektor tunggal, multi-bahaya (DAPP langkah 1-4 diulang per sektor).
  • Tahap 3: Integrasi informasi multi-bahaya dari semua sektor menjadi perspektif multi-sektor, multi-bahaya (DAPP langkah 1-4 diulang secara terintegrasi).

Pendekatan bertahap ini dipilih karena dianggap sebagai titik masuk yang paling mudah untuk mengintegrasikan kompleksitas, dimulai dari pemahaman sektoral yang ada.

3. Pengujian Kasus dan Visualisasi

Pengujian menggunakan kasus bergaya (stylized case) yang melibatkan dua sektor (S1, S2) dan dua bahaya yang berinteraksi (H1, H2) menunjukkan bahwa peta jalur terintegrasi penuh (Tahap 3) menjadi terlalu kompleks secara visual dan berpotensi membanjiri pengguna akhir, sehingga kehilangan tujuannya.

  • Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Peningkatan Kompleksitas Sistem dan Penurunan Usability Peta Jalur dengan koefisien yang tidak disebutkan, tetapi secara kualitatif, disimpulkan bahwa peta jalur Tahap 3 (multi-sektor, multi-risiko kompleks) kurang berfungsi sebagai alat visualisasi langsung untuk pemangku kepentingan dibandingkan peta Tahap 2 — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam visualisasi kompleksitas multi-risiko.

Sebaliknya, disimpulkan bahwa scorecard Tahap 3, dikombinasikan dengan peta jalur Tahap 2 (multi-bahaya per sektor), lebih efektif. Ini memungkinkan pemangku kepentingan sektoral untuk membandingkan jalur mereka yang sudah diperhitungkan multi-risiko dengan jalur awal (bahaya tunggal) tanpa harus berurusan dengan kompleksitas gabungan penuh. Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam hal jumlah opsi kebijakan yang tersedia dan waktu ATP/OTP-nya.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini adalah proposal dan argumentasi kerangka kerja DAPP-MR sebagai alat analitis dan langkah awal menuju kerangka kerja yang operasional, integratif, dan interaktif untuk DRM multi-risiko jangka pendek hingga jangka panjang.

  • Integrasi Iteratif: DAPP-MR menawarkan mekanisme bertahap yang eksplisit (staged approach) untuk secara bertahap mengintegrasikan pengetahuan dan perspektif multi-risiko (dari bahaya tunggal/sektor tunggal hingga multi-risiko kompleks).
  • Pemanfaatan Tipping Points: Kerangka ini memperluas kegunaan konsep ATPs dan OTPs untuk secara konkret menangkap dan memvisualisasikan dampak interaksi bahaya dan sektor (sinergi/trade-off) pada strategi kebijakan.
  • Fokus pada Distributif dan Kekuasaan: Penelitian ini secara eksplisit mengakui dan mengintegrasikan pertimbangan keadilan distributif dan dinamika kekuasaan (power dynamics), yang memainkan peran penting dalam sistem multi-sektor dan dapat membentuk keadilan dan penerimaan jalur yang dirancang. Penekanan sektoral (Tahap 1 dan 2) secara implisit meningkatkan kemampuan untuk mempertimbangkan keadilan distributif dengan mendisagregasi informasi per sektor.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun DAPP-MR menunjukkan janji besar sebagai kerangka kerja analitis, para peneliti mengakui sejumlah keterbatasan yang menjadi area terbuka untuk penelitian di masa depan:

  • Pengujian Terbatas: Kasus bergaya yang digunakan menguji kerangka kerja di bawah "kondisi lab yang ideal" tanpa keterlibatan pemangku kepentingan, yang mungkin tidak merepresentasikan situasi dunia nyata.
  • Konflik Kepentingan Sektoral: Penelitian ini tidak menguji bagaimana menangani tujuan yang dipertentangkan (contested objectives) atau keengganan sektor untuk menyetujui jalur multi-risiko jika jalur mereka sendiri (Tahap 1 atau 2) dianggap lebih memuaskan. Ini menyoroti tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan pemangku kepentingan di berbagai skala waktu.
  • Proses Identifikasi Tipping Points: Proses identifikasi ATPs dan OTPs—yang memiliki ketergantungan kompleks pada keadaan sistem saat ini, tujuan, dan konflik antar-aktor—diabaikan dalam pengujian.
  • Kebutuhan Toolkit Kuantitatif: Mengingat tingkat interaksi, interdependensi, dan ketidakpastian yang tinggi, dipertanyakan apakah DRM multi-risiko dapat dirancang secara murni kualitatif. Kebutuhan akan alat dan metode komputasi untuk melacak pengaruh multi-bahaya, multi-sektor, dan kebijakan—misalnya, pada waktu pencapaian ATPs—diperlukan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, arahan riset ke depan harus berfokus pada transisi DAPP-MR dari kerangka kerja analitis menjadi alat operasional yang teruji dalam konteks dunia nyata yang kompleks dan dinamis:

  1. Validasi Operasional DAPP-MR dengan Studi Kasus Nyata dan Keterlibatan Pemangku Kepentingan Penuh (Metode: Riset Aksi dan Wawancara Semistruktur Lanjutan):
    • Justifikasi Ilmiah: Pengujian saat ini hanya menggunakan kasus bergaya di bawah "kondisi ideal". Untuk memvalidasi kegunaan praktis, langkah 5-7 DAPP-MR (Design Adaptive Plan, Implement, Monitor) memerlukan validasi melalui studi kasus multisectoral/multihazard jangka panjang (minimal 3-5 tahun) di wilayah yang rentan.
    • Variabel/Konteks Baru: Uji ketahanan kerangka kerja terhadap konflik tujuan nyata antar sektor dan dinamika kekuasaan yang tidak setara (Avelino, 2021, dikutip dalam ). Perlu penelitian untuk mengembangkan mekanisme kompensasi atau perjanjian yang memastikan stabilitas kooperatif jalur multi-risiko (dikutip dalam ).
  2. Mengembangkan Metodologi yang Kuat untuk Identifikasi Adaptasi dan Peluang Tipping Points (ATPs/OTPs) dalam Sistem Interdependen (Metode: Pemodelan Berbasis Agen dan Analisis Jejaring Kompleks):
    • Justifikasi Ilmiah: Proses identifikasi ATPs dan OTPs—terutama di mana tipping points bergantung pada keadaan, tujuan, dan konflik antar-aktor (Trindade et al., 2019, dikutip dalam )—masih menjadi pertanyaan terbuka.
    • Variabel/Konteks Baru: Mengembangkan sinyal dan pemicu (signals and triggers) yang secara langsung terhubung dengan ATPs dan OTPs multi-risiko, misalnya dengan menggunakan ambang batas kejadian bahaya tertentu dalam periode pemantauan spesifik (seperti yang diusulkan oleh Stephens et al., 2018, dikutip dalam ). Penelitian harus fokus pada bagaimana interaksi bahaya memodifikasi ambang batas kinerja sistem gabungan.
  3. Menciptakan Toolkit Komputasi dan Visualisasi Berbasis Robust Decision Making (RDM) untuk DAPP-MR (Metode: Eksplorasi Pemodelan dan Integrasi MORDM):
    • Justifikasi Ilmiah: Disarankan bahwa sistem multi-risiko yang kompleks mungkin memerlukan metode komputasi untuk melacak interaksi dan ketidakpastian. Kerangka kerja DAPP-MR perlu disematkan dalam seperangkat alat yang mampu menangani ketidakpastian mendalam.
    • Variabel/Konteks Baru: Mengintegrasikan elemen dari Many-Objective Robust Decision Making (MORDM) (Kasprzyk et al., 2013, dikutip dalam ) untuk secara sistematis menghasilkan dan mengevaluasi jalur dalam ruang ketidakpastian yang luas (scenario discovery). Fokus harus pada pengembangan visualisasi yang mengkomunikasikan kompleksitas (Tahap 3) tanpa membebani pengguna akhir (seperti yang diindikasikan pada ).
  4. Menganalisis Keadilan Distributif dan Dinamika Kekuasaan dalam Proses Co-Production DAPP-MR (Metode: Etnografi Organisasi dan Analisis Keadilan Intragenerasi/Intergenerasi):
    • Justifikasi Ilmiah: DAPP-MR harus memastikan keadilan distributif (keseimbangan hasil positif dan negatif) dan mengatasi dinamika kekuasaan antar sektor. Pendekatan sektoral (Tahap 1 dan 2) mungkin menghambat pertimbangan keadilan di dalam sektor.
    • Variabel/Konteks Baru: Kembangkan panduan eksplisit untuk proses co-production DAPP-MR (seperti yang disarankan dalam ) yang memastikan perwakilan yang adil dari semua perspektif dan secara sistematis mendisagregasi informasi (aktor, nilai, metrik kinerja) untuk memungkinkan penilaian keadilan. Analisis bagaimana struktur kekuasaan internal (siapa memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan, atas sektor lain, untuk kolaborasi) memengaruhi hasil jalur adaptif.
  5. Menetapkan Batasan Kognitif dan Komputasi untuk Analisis Multi-Risiko (Metode: Analisis Batasan dan Pengurangan Kompleksitas):
    • Justifikasi Ilmiah: Diakui bahwa masalah multi-risiko seringkali bersifat "jahat" (wicked) dan bahwa ada tantangan dalam menentukan batasan kompleksitas yang dapat dipertimbangkan mengingat ambiguitas dan ketidakpastian yang tinggi.
    • Variabel/Konteks Baru: Penelitian harus mengidentifikasi batas atas kompleksitas yang dapat dipertimbangkan secara informatif dalam analisis. Mengembangkan metode (misalnya, berdasarkan korelasi multi-bahaya dan interdependensi sektor) untuk membantu mengidentifikasi elemen yang dapat dikecualikan dari analisis multi-risiko tanpa menghilangkan hasil yang signifikan (seperti yang diusulkan oleh Liu et al., 2015, dikutip dalam ).

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari bidang Ilmu Sistem Komputasi, Sosiologi Organisasi, dan Ekonomi Regional/Perencanaan Infrastruktur untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dalam konteks yang beragam.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengatasi Badai Multi-Risiko: DAPP-MR Sebagai Kerangka Kerja Adaptasi Jangka Panjang yang Dinamis.

Manajemen Risiko

Melampaui 'Teh dan Medali': Menyingkap Disonansi dalam Konstruksi Banjir dan Risiko oleh Otoritas Pengelola di Inggris

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Artikel oleh Mehring, Geoghegan, Cloke, dan Clark (2022), "Going home for tea and medals: how members of the flood risk management authorities in England construct flooding and flood risk management," mengisi kesenjangan penting dalam literatur manajemen risiko banjir. Penelitian ini secara kritis menyelidiki perbedaan cara para anggota otoritas manajemen risiko banjir (FRMA) di Inggris memahami dan mendefinisikan "banjir" dan "manajemen risiko banjir" (FRM), menemukan bahwa perbedaan konstruksi ini secara signifikan menghambat efektivitas kemitraan dan komunikasi dengan komunitas yang berisiko banjir.

Metode yang digunakan adalah analisis tematik dari 30 wawancara semi-terstruktur dengan anggota dari tiga FRMA utama: Environment Agency (13 responden), Lead Local Flood Authorities (LLFA, 9 responden), dan Water Companies (8 responden). Wawancara ini dilakukan antara Desember 2018 hingga Juni 2019, periode yang mencakup peristiwa banjir seperti Badai Ciara dan Dennis. Dengan total 17 tema payung dan 142 sub-tema, studi ini memberikan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas pemahaman kelembagaan.

Jalur Logis Temuan Penelitian

Perjalanan temuan diawali dengan identifikasi pergeseran paradigma FRM di Inggris, dari pertahanan banjir (defending productive land from water) menjadi manajemen risiko banjir (flood risk management) yang berfokus pada keselamatan masyarakat, yang pada akhirnya menanamkan konsep ketahanan (resilience). Namun, artikel ini menunjukkan bahwa konstruksi istilah-istilah kunci, terutama "banjir" dan "FRM," sangat kompleks dan seringkali terjadi disonansi antara pemahaman individu dan kelembagaan.

Konstruksi "Banjir": Fokus 'In-the-Moment'

Penelitian ini menemukan bahwa konstruksi "banjir" oleh FRMA sering kali didominasi oleh dampak yang terjadi 'in-the-moment'—yaitu, peristiwa fisik segera dan akibat langsungnya. Otoritas mengakui bahwa banjir itu "menghancurkan" dan memahami dampak langsung seperti kebutuhan untuk mencuci dan mandi segera setelah banjir.

Namun, pemahaman ini bersifat "satu dimensi" karena kurang menghargai dampak manusia jangka panjang—yaitu, komponen emosional dan psikologis. Meskipun beberapa wawancara mencerminkan apresiasi terhadap dampak kesehatan mental (seperti perilaku pemantauan cuaca kompulsif atau kecemasan saat meninggalkan rumah) , perilaku ini sering dianggap sebagai "irasional" atau "mal-adaptif" oleh otoritas. Mereka gagal memahami bahwa perilaku ini mungkin merupakan mekanisme koping individu untuk mendapatkan kembali sedikit kontrol atas situasi yang tidak terkendali.

  • Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kurangnya pengalaman langsung (lived experience) dan pemahaman yang tidak lengkap tentang dampak jangka panjang. Bagi responden yang pernah mengunjungi rumah yang kebanjiran, konstruksi banjir mereka berubah dari sekadar fenomena hidrolik (air surut, lampu biru padam) menjadi proses yang baru "dimulai" bagi korban banjir, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru: intervensi berbasis pengalaman di antara personel FRMA.

Konstruksi "Manajemen Risiko Banjir": Hambatan dan Fragmentasi

Konstruksi FRM lebih individual, dipengaruhi oleh pengalaman kerja responden dan peran organisasi mereka. Tiga faktor utama menjadi pusat konstruksi FRM:

  1. Fokus pada Keahlian Teknis ("The Experts"): Meskipun ada dorongan untuk pendekatan yang lebih terpadu, FRM masih sering dibentuk di sekitar keahlian teknis otoritas, mengingatkan pada paradigma teknokratis lama. Ini menciptakan hierarki pengetahuan dan seringkali mengarah pada pengecualian pengetahuan lokal yang vital. Seringkali, apa yang disebut "konsultasi" sebenarnya berarti "menginformasikan" komunitas tentang apa yang akan dilakukan oleh otoritas ahli.
  2. Peran Pendanaan: Hampir semua FRMA merasa bahwa konstruksi FRM mereka sangat dibatasi atau terhalang oleh kurangnya pendanaan. Hal ini dapat menyebabkan "pengabaian" masalah antara organisasi untuk menghindari biaya, memicu konflik, dan mendorong pendekatan yang sangat hati-hati dalam mengelola ekspektasi komunitas.
  3. Fragmentasi Tanggung Jawab: Terlepas dari tujuan Floods and Water Management Act 2010 untuk menyederhanakan FRM, sebagian besar responden melihat kebijakan tersebut menciptakan kompleksitas tambahan melalui fragmentasi tanggung jawab berdasarkan sumber banjir. Hal ini menghasilkan situasi di mana masalah banjir dapat "lolos dari jaring" dan komunitas mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab, memungkinkan "pengabaian" masalah dari satu agensi ke agensi lain.
  4. Ketahanan (Resilience) yang Tidak Jelas: Meskipun "ketahanan" adalah tema kunci dalam kebijakan FRM saat ini, konstruksinya di antara FRMA sangat cair dan beragam, seringkali hanya dikaitkan dengan satu dimensi (misalnya, ketahanan tingkat properti) atau bahkan hanya sebagai nama tim. Kurangnya konsensus global tentang apa itu ketahanan membuat konsep penting ini menjadi "sewenang-wenang" dan "tidak berarti apa-apa bagi orang-orang".

Perbedaan Konstruksi Antar Otoritas

Studi ini menemukan perbedaan yang jelas dalam penekanan tematik antara FRMA:

  • Environment Agency: Lebih menekankan pada praktik FRM, kebutuhan akan pendekatan holistik, dan dampak kurangnya pendanaan. Mereka memiliki prevalensi yang lebih rendah dalam membahas dampak manusia jangka panjang. Agensi ini memiliki penggunaan kata resilience yang paling banyak.
  • LLFA: Lebih berfokus pada dampak manusia, keterlibatan, kemitraan, dan komunikasi. Kedekatan peran mereka dengan konstituen lokal menumbuhkan fokus komunitas yang lebih besar.
  • Water Companies: Konstruksi mereka dibingkai oleh persyaratan bisnis, peran sebagai "bad guys" yang dipersepsikan memiliki banyak uang, dan kebutuhan untuk menjaga "pelanggan" tetap senang. Mereka sering menggunakan keterlibatan untuk tujuan mendidik pelanggan tentang "banjir yang disebabkan sendiri" (self-inflicted flooding).

Perbedaan-perbedaan ini berkontribusi pada fragmentasi tanggung jawab, di mana kemitraan menjadi sulit ketika setiap otoritas memiliki konstruksi yang berbeda tentang apa itu "FRM yang baik" (misalnya, rekayasa versus pengelolaan banjir alami/kolaborasi).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Artikel ini menawarkan kontribusi penting yang melampaui deskripsi semata tentang konstruksi banjir.

  1. Mengkritik Batasan Konstruksi In-the-Moment: Kontribusi yang paling penting adalah demonstrasi empiris bahwa fokus kelembagaan pada dampak fisik 'in-the-moment' secara sistematis mengecualikan, salah memahami, atau bahkan memandang rendah dampak psikologis dan sosial jangka panjang dari banjir. Ini menegaskan bahwa FRM Inggris secara operasional masih beroperasi di bawah pemahaman yang tidak memadai tentang realitas yang dialami oleh komunitas, meskipun ada pergeseran kebijakan menuju ketahanan.
  2. Menghubungkan Konstruksi dengan Inefisiensi Kebijakan: Studi ini secara eksplisit menghubungkan disonansi dalam konstruksi (terutama mengenai pendanaan dan keahlian) dengan kegagalan implementasi Floods and Water Management Act 2010 dalam menyederhanakan FRM. Ini memberikan bukti kualitatif bahwa kerangka kerja legislatif yang terfragmentasi diperburuk oleh interpretasi yang berbeda dari para aktor kunci.
  3. Menggarisbawahi Ambivalensi Ketahanan: Penelitian ini menunjukkan bahwa "ketahanan" berisiko menjadi kata kunci yang sewenang-wenang dan tidak berarti dalam praktik FRM, karena konstruksinya yang berbeda-beda di kalangan otoritas. Hal ini mendesak komunitas akademik untuk mengembangkan konstruksi ketahanan yang lebih jelas dan dapat dioperasionalkan untuk konteks FRM.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifat datanya yang kualitatif, yang kaya akan konteks tetapi tidak dapat digeneralisasikan secara statistik. Wawancara dilakukan di latar belakang konsultasi Strategi FRM Nasional yang baru, yang mungkin telah memengaruhi pernyataan responden. Selain itu, fokus pada pandangan otoritas menyisakan pertanyaan terbuka yang perlu dijawab oleh riset di masa depan:

  1. Mekanisme Transisi Kognitif: Bagaimana persisnya pengalaman langsung dan visceral (seperti mengunjungi rumah yang kebanjiran) memicu perubahan konstruksi banjir dari yang hidrolik menjadi yang lebih manusiawi, dan bagaimana proses ini dapat diinstitusionalisasikan untuk semua anggota FRMA?.
  2. Pengukuran Disonansi: Bisakah tingkat disonansi antara pandangan FRMA dan komunitas banjir diukur secara kuantitatif, misalnya menggunakan survei skala besar yang mengukur perbedaan dalam penilaian kepentingan berbagai dampak banjir?
  3. Pendanaan dan Kolaborasi: Apakah ada praktik pendanaan tertentu di FRMA (mungkin di tingkat LLFA) yang berhasil mengatasi fragmentasi tanggung jawab dan memfasilitasi kerja sama yang tidak berbasis biaya/keuntungan?
  4. Resilience yang Operasional: Bagaimana konsep "ketahanan" yang kompleks dapat diubah menjadi kerangka kerja yang terpadu dan bermakna yang dapat digunakan bersama oleh Environment Agency, LLFA, dan Water Companies untuk mencapai tujuan kebijakan yang sama?.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Uji Coba Intervensi Empati Berbasis Pengalaman

  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa pengalaman pribadi atau menyaksikan secara langsung dapat mengubah konstruksi banjir anggota otoritas dari fokus hidrolik menjadi fokus manusia. Pemahaman yang lebih bernuansa memungkinkan komunikasi yang lebih baik.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus merancang studi intervensi (seperti uji coba terkontrol) yang mewajibkan kunjungan dan refleksi terstruktur pasca-banjir bagi personel FRMA. Variabel yang diukur harus mencakup "indeks konstruksi manusiawi banjir" (mengukur apresiasi terhadap dampak PTSD, kecemasan, dan finansial jangka panjang) yang diuji sebelum dan sesudah intervensi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memvalidasi hipotesis bahwa empati yang diinduksi secara kelembagaan dapat menutup kesenjangan antara pandangan FRMA dan komunitas.

2. Analisis Konten Regulasi dan Komunikasi Publik Terhadap Konstruksi 'Ketahanan'

  • Justifikasi Ilmiah: Kata 'resilience' digunakan secara beragam dan sewenang-wenang oleh FRMA, yang merusak konsep inti kebijakan. Ini perlu diatasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis konten komparatif (kuantitatif dan kualitatif) dari dokumen kebijakan (misalnya, rencana strategis Environment Agency, laporan LLFA, dan laporan OFWAT) menggunakan alat pemrosesan bahasa alami (NLP). Variabel utamanya adalah konteks penggunaan istilah 'resilience' (misalnya, apakah mengacu pada ketahanan properti, ketahanan kelembagaan, atau ketahanan sosial-psikologis) untuk mengungkap tingkat konsensus dan koherensi semantik.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengidentifikasi di mana letak ketidakkonsistenan kelembagaan dan memberikan dasar untuk definisi operasional tunggal.

3. Studi Komparatif Kemitraan Bottom-Up dan Top-Down

  • Justifikasi Ilmiah: Otoritas mengakui bahwa pendekatan top-down perlu dialihkan ke model bottom-up yang lebih beresonansi dengan komunitas. LLFA, yang lebih dekat dengan konstituen, menunjukkan fokus kemitraan yang lebih besar.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Studi kasus berganda (multiple-case study) yang membandingkan proyek FRM yang dipimpin oleh LLFA (lebih bottom-up) dengan proyek Environment Agency (lebih top-down). Variabel yang diukur adalah "indeks keterlibatan yang berarti" (seperti tingkat inkorporasi pengetahuan lokal dalam desain, dan hasil yang dirasakan oleh komunitas) dan "koefisien kepuasan kemitraan" antara otoritas.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan kerangka kerja praktik terbaik untuk kemitraan yang dapat direplikasi.

4. Pemodelan Sistem Fragmentasi Tanggung Jawab dalam Interaksi Komunitas

  • Justifikasi Ilmiah: Fragmentasi tanggung jawab menciptakan "silo" dan memungkinkan agensi untuk saling "mengabaikan" masalah, yang merupakan sumber utama frustrasi bagi komunitas.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Gunakan metodologi System Dynamics atau Social Network Analysis untuk memetakan bagaimana kasus banjir tunggal bergerak antar FRMA (EA, LLFA, Water Companies). Variabel yang diselidiki adalah "waktu tunggu resolusi kasus" dan "jumlah transfer kasus antar agensi" sebagai proxy untuk inefisiensi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Pemodelan ini dapat secara visual dan kuantitatif mengidentifikasi titik macet (bottlenecks) dalam sistem tata kelola dan mengusulkan mekanisme kepemilikan masalah tunggal.

5. Analisis Kontribusi Pengetahuan Lokal dalam Mengatasi Keterbatasan Pendanaan

  • Justifikasi Ilmiah: Kurangnya pendanaan membatasi pekerjaan FRMA. Pengetahuan lokal sering dikesampingkan karena fokus teknokratis.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan penelitian kualitatif-kuantitatif yang mendokumentasikan proyek-proyek manajemen risiko banjir berbiaya rendah (misalnya, tindakan pengelolaan banjir alami yang dipimpin masyarakat). Variabel utamanya adalah "nilai moneter dari pengetahuan lokal" (mengukur biaya proyek yang dihindari atau penghematan yang diidentifikasi melalui masukan komunitas, seperti identifikasi saluran pembuangan yang tersumbat atau pola aliran yang tidak terpetakan).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan justifikasi berbasis bukti bagi FRMA untuk mengalokasikan sumber daya untuk keterlibatan yang berarti, bukan hanya sebagai biaya, tetapi sebagai mekanisme penghematan biaya.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Department for Environment, Food & Rural Affairs (Defra), Environment Agency, dan perwakilan dari National Flood Forum untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan temuan kualitatif ini menjadi perubahan kebijakan yang terukur.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Melampaui 'Teh dan Medali': Menyingkap Disonansi dalam Konstruksi Banjir dan Risiko oleh Otoritas Pengelola di Inggris

Teknik Lingkungan

Mengukir Ketahanan Pesisir: Simulasi Infrastruktur Hijau sebagai Solusi Restorasi Bencana Alam di Area Urban

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Ringkasan Alur Logis Temuan dan Metodologi

Penelitian yang berjudul Nature-Based Restoration Simulation for Disaster-Prone Coastal Area Using Green Infrastructure Effect ini secara eksplisit mengatasi tantangan kritis yang ditimbulkan oleh bencana banjir di kawasan pesisir, sebuah masalah yang semakin parah akibat perubahan iklim dan gangguan dalam sistem sosial-ekologis, seperti meningkatnya area kedap air (impervious areas) di perkotaan. Mengingat keterbatasan struktural dan biaya pemeliharaan yang tinggi dari gray infrastructure (infrastruktur abu-abu) tradisional, studi ini menawarkan suatu pendekatan perencanaan restorasi berbasis alam (nature-based restoration planning) yang inovatif melalui pemanfaatan Infrastruktur Hijau (GI).

Jalur logis perjalanan temuan dimulai dengan penetapan area studi: Haeundae-gu, Busan, Republik Korea, sebuah distrik pesisir padat penduduk yang secara berkala mengalami kerusakan parah akibat topan dan hujan lebat, dengan fokus simulasi pada dampak dari Topan Chaba pada tahun 2016. Tujuannya adalah untuk mengkuantifikasi secara jelas dan terukur efektivitas GI dalam mengurangi luapan air (runoff) dan meningkatkan resiliensi teknik (engineering resilience) sistem perkotaan pasca-bencana.

Metodologi riset ini melibatkan pengumpulan data terperinci mengenai karakteristik lokasi, curah hujan (maksimum 38.3 mm/jam), dan efisiensi reduksi luapan dari tiga jenis GI utama yang diaplikasikan pada permukaan buatan di area urban: atap hijau (green roof), fasilitas penyimpanan infiltrasi (infiltration storage facility), dan perkerasan berpori (porous pavement). Data ini kemudian digunakan untuk membangun model simulasi dinamis (menggunakan Stella Architect) guna menganalisis perubahan dalam kerusakan banjir dan kuantifikasi resiliensi dalam berbagai skenario.

Alur temuan utama difokuskan pada dua skenario utama: pertama, peningkatan bertahap area aplikasi GI total (10%, 20%, dan 30% berdasarkan rasio area biotope Korea); dan kedua, penerapan jenis GI yang berbeda berdasarkan klasifikasi tata ruang (land cover type), yaitu area publik, privat, transportasi, dan industri. Hasil simulasi ini, yang kemudian dinormalisasi menjadi indeks resiliensi, berhasil membandingkan proses restorasi sistem melalui empat properti resiliensi (4R): robustness, redundancy, resourcefulness, dan rapidity.

Data Kuantitatif Deskriptif Kunci

Temuan ini secara umum menunjukkan bahwa efek pengurangan luapan air (runoff) adalah yang paling besar ketika rasio area biotope maksimum 30% diterapkan pada permukaan buatan di area studi. Analisis skenario area ini menghasilkan temuan penting: pada puncak luapan air pertama (sekitar 6 jam setelah topan), pengurangan luapan meningkat signifikan dari 7.6% (aplikasi 10%) menjadi 22.9% (aplikasi 30%). Peningkatan ini menunjukkan hubungan kuat antara perluasan cakupan GI dan kapasitas sistem dalam mengatasi tekanan hidrologi awal.

Lebih lanjut, analisis berdasarkan jenis GI mengungkapkan dinamika temporal yang penting. Dalam area publik, ketika puncak luapan terjadi pada 6 jam, atap hijau menunjukkan efek reduksi luapan tertinggi sebesar 38.8%. Namun, pada puncak luapan kedua, sekitar 9 jam, efek dari fasilitas penyimpanan infiltrasi meningkat menjadi 33.2%, yang menunjukkan bahwa efeknya menjadi semakin signifikan seiring berjalannya waktu pasca-bencana. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru: desain sistem GI yang terintegrasi secara dinamis waktu. Sebaliknya, perkerasan berpori menunjukkan efek reduksi terendah, hanya sebesar 15.3% pada area publik, yang mengindikasikan perlunya inovasi dalam jenis GI ini.

Dari sudut pandang resiliensi, ditemukan bahwa sistem dapat pulih ke keadaan semula setelah penerapan rasio area biotope sebesar 20%. Hal ini menunjukkan adanya titik balik resiliensi pada level intervensi GI tertentu, sebuah temuan penting yang dapat menjadi acuan kuantitatif bagi pengambil kebijakan dalam menentukan target minimum restorasi berbasis alam.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang perencanaan urban, teknik lingkungan, dan manajemen bencana, dengan mentransformasi konsep kualitatif menjadi kerangka kerja kuantitatif yang aplikatif.

  1. Pengkuantifikasian Resiliensi Pesisir: Kontribusi terbesar adalah keberhasilan dalam mengkuantifikasi efek GI pada resiliensi sistem (seperti yang didefinisikan oleh 4R: robustness, redundancy, resourcefulness, rapidity) di kawasan pesisir rawan bencana, menghubungkan antara pengurangan luapan lokal (efek teknik) dengan pemulihan sistem secara keseluruhan. Pendekatan ini melampaui studi GI tradisional yang sebagian besar hanya menganalisis dampak luapan melalui pemantauan, dan mengaitkannya secara langsung dengan perencanaan restorasi jangka panjang.
  2. Integrasi GI ke dalam Perencanaan Tata Ruang: Studi ini menyajikan model yang dapat digunakan untuk merumuskan rencana restorasi spesifik berdasarkan jenis tata ruang (land cover type). Dengan mengidentifikasi bahwa atap hijau paling cocok untuk area privat dan publik, sementara fasilitas infiltrasi dan perkerasan berpori lebih praktis untuk area transportasi dan industri, penelitian ini menawarkan panduan yang dapat ditindaklanjutkan untuk implementasi GI di lahan buatan.
  3. Penetapan Target Kebijakan Berbasis Rasio Biotope: Dengan menetapkan bahwa resiliensi sistem dapat dipulihkan pada rasio area biotope 20% dan efek reduksi maksimum terjadi pada 30%, penelitian ini memberikan bukti ilmiah spesifik yang diperlukan untuk kebijakan manajemen dalam merespons gangguan bencana pesisir di masa depan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusi riset ini substansial, penelitian ini juga menggarisbawahi beberapa keterbatasan yang menjadi titik tolak bagi agenda riset masa depan:

  1. Validitas Empiris dan Skala Unit: Hasil utama didasarkan pada simulasi model skala regional (Haeundae-gu secara keseluruhan). Pertanyaan terbuka terpenting adalah: Seberapa akurat hasil simulasi ini di lokasi aktual? Untuk membuktikan validitas dan memastikan aplikasinya di area yang benar-benar rusak, penelitian empiris (test bed) perlu dilakukan dalam unit dan jangkauan yang lebih spesifik.
  2. Kurangnya Analisis Interaksi GI: Studi ini menganalisis efek setiap jenis GI (atap hijau, fasilitas infiltrasi, perkerasan berpori) secara terpisah dalam skenario jenis tata ruang. Namun, perencanaan restorasi yang diajukan menyarankan kombinasi GI, seperti menghubungkan atap hijau dengan fasilitas infiltrasi. Keterbatasan ini memunculkan pertanyaan tentang efek sinergis atau potensi konflik dari interaksi antar-jenis GI yang berbeda dalam satu sistem hidrologi.
  3. Fokus Terbatas pada GI Perkotaan: Meskipun penelitian ini berfokus pada GI untuk lahan buatan di perkotaan, perencanaan bencana pesisir konvensional juga mencakup infrastruktur alami seperti pemecah gelombang, terumbu karang, dan bukit pasir. Studi ini tidak menganalisis integrasi atau efek sinergis antara GI urban yang diusulkan dengan infrastruktur pesisir alami yang lebih makroskopik.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan yang ada, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk komunitas akademik dan calon penerima hibah, yang menguraikan jalur penelitian ke depan dengan justifikasi ilmiah yang kuat:

1. Desain Sistem Hibrida GI Berbasis Kinerja Temporal

Justifikasi Ilmiah: Hasil simulasi menunjukkan bahwa efek atap hijau paling tinggi pada puncak luapan awal (6 jam), sedangkan fasilitas penyimpanan infiltrasi menjadi lebih efektif pada puncak luapan berikutnya (9 jam). Disparitas temporal ini mengindikasikan bahwa aplikasi GI tunggal tidak akan memberikan perlindungan yang optimal selama seluruh periode bencana.

Arah Riset: Penelitian lanjutan harus merancang dan memodelkan sistem GI hibrida (gabungan) yang mengoptimalkan kinerja reduksi luapan secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Metode riset ini harus melibatkan pemodelan hidrologi yang mengintegrasikan atap hijau yang terhubung langsung ke fasilitas penyimpanan infiltrasi (seperti rainwater gardens atau bioswales). Variabel baru yang dianalisis adalah persentase konektivitas antar-jenis GI dan dampaknya terhadap properti redundancy dan robustness di sepanjang garis waktu 12 jam curah hujan topan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kurva reduksi luapan yang stabil yang melampaui kinerja penerapan GI secara terpisah.

2. Validasi Lapangan Empiris Melalui Living Laboratory Skala Mikro

Justifikasi Ilmiah: Validitas rencana restorasi berbasis alam yang disajikan dalam studi ini, yang didasarkan pada simulasi, sangat bergantung pada pembuktian lapangan. Saat ini, belum ada data yang membuktikan bahwa efisiensi reduksi luapan yang dimodelkan akan terwujud di kondisi fisik aktual Haeundae-gu.

Arah Riset: Riset harus segera berfokus pada tahap validasi empiris. Konteks baru adalah pembentukan living laboratory atau test bed dalam unit yang lebih kecil (misalnya, satu blok perkotaan atau sub-watershed kecil) di distrik Haeundae-gu. Metode penelitian ini adalah eksperimen lapangan jangka panjang yang menerapkan atap hijau, fasilitas infiltrasi, dan perkerasan berpori hingga mencapai target rasio area biotope 30%. Variabel yang diukur secara real-time harus mencakup perbandingan antara volume luapan terukur di lapangan versus prediksi model. Ini akan membuktikan atau menyanggah validitas simulasi dan memberikan data akurat untuk penyesuaian model regional.

3. Inovasi Material untuk Peningkatan Efisiensi Perkerasan Berpori

Justifikasi Ilmiah: Perkerasan berpori terbukti memiliki efek reduksi luapan terendah dibandingkan dengan atap hijau dan fasilitas infiltrasi. Meskipun demikian, perkerasan berpori sangat penting karena merupakan salah satu pilihan GI yang paling mudah diterapkan di area transportasi dan industri yang didominasi jalanan dan lahan parkir. Kinerja yang rendah ini membatasi kontribusi GI secara keseluruhan.

Arah Riset: Penelitian harus bergeser ke ranah inovasi variabel material dan desain struktural. Fokusnya adalah meningkatkan koefisien reduksi perkerasan berpori secara signifikan dari level yang diamati (sekitar 15.3% di area publik). Metode riset dapat berupa pengujian laboratorium dan lapangan terhadap material agregat baru, desain lapisan sub-base yang lebih dalam atau bervariasi, serta teknologi pengelolaan pra-perawatan (seperti penyaringan awal) untuk mencegah penyumbatan pori. Peningkatan kinerja perkerasan berpori adalah kunci untuk memaksimalkan properti resourcefulness di kawasan industri dan transportasi yang sulit diintervensi oleh jenis GI lainnya.

4. Analisis Dinamis Properti Resiliensi 4R Berdasarkan Klasifikasi Tata Ruang

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menunjukkan bahwa penerapan GI meningkatkan resiliensi secara keseluruhan. Namun, setiap jenis tata ruang (publik, privat, industri, transportasi) memiliki kebutuhan pemulihan yang berbeda. Misalnya, area industri mungkin membutuhkan rapidity (kecepatan pemulihan) yang lebih cepat untuk meminimalisir kerugian ekonomi.

Arah Riset: Riset ke depan harus secara eksplisit membedah bagaimana berbagai skema penerapan GI memengaruhi setiap properti 4R (robustness, redundancy, resourcefulness, rapidity) dalam konteks jenis tata ruang yang berbeda. Metode penelitian ini akan melibatkan pengembangan fungsi utilitas yang berfokus pada resourcefulness dan rapidity pasca-bencana, dengan tujuan menentukan kombinasi GI mana (misalnya, hanya fasilitas infiltrasi atau hanya perkerasan berpori di area industri) yang memberikan waktu pemulihan (rapidity) tercepat. Hal ini akan menghasilkan pedoman perencanaan yang ditargetkan untuk mengoptimalkan resiliensi fungsional spesifik per area.

5. Studi Komparatif Global: Rasio Area Biotope dalam Konteks Iklim Berbeda

Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menggunakan rasio area biotope (maksimum 30%) sebagai parameter kuantifikasi GI yang spesifik untuk Korea. Meskipun metrik ini menawarkan dasar kuantitatif yang kuat, transferabilitasnya ke kawasan pesisir rawan bencana di negara lain masih menjadi pertanyaan terbuka.

Arah Riset: Sebuah studi komparatif berskala global diperlukan. Variabel baru yang akan diuji adalah jenis iklim, kondisi tanah, dan kode bangunan yang berlaku di berbagai wilayah pesisir di dunia. Metode riset ini adalah simulasi yang menerapkan metrik kuantifikasi area GI (seperti rasio biotope) yang serupa di berbagai model hidrologi regional (misalnya, di area yang dipengaruhi oleh badai, bukan topan, atau di lokasi dengan curah hujan berbeda). Tujuannya adalah untuk menguji apakah titik balik resiliensi (20%) dan efek reduksi maksimum (30%) yang ditemukan berlaku secara universal atau memerlukan penyesuaian kontekstual.

Prospek Jangka Panjang dan Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini berfungsi sebagai fondasi penting yang menghubungkan upaya reduksi luapan air lokal dengan peningkatan resiliensi sistem jangka panjang. Dengan menunjukkan bahwa intervensi GI yang sederhana pada permukaan buatan dapat mengembalikan sistem ke keadaan semula pasca-bencana (resiliensi kembali ke kondisi awal pada rasio 20%), studi ini meletakkan dasar bagi paradigma baru dalam manajemen bencana pesisir.

Secara jangka panjang, temuan ini mengarahkan pada transformasi infrastruktur urban dari sistem yang rentan (vulnerable) menjadi sistem yang adaptif (adaptive), di mana GI tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika atau ekologis, tetapi sebagai komponen kritis dalam pertahanan sipil. Implementasi perencanaan restorasi berbasis alam yang divalidasi secara kuantitatif ini akan menjadi alat kebijakan yang esensial untuk memitigasi risiko bencana di masa depan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi kebijakan publik (seperti lembaga pemerintah daerah dan nasional), lembaga riset hidrologi, dan badan perencanaan tata ruang urban untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan simulasi akademis menjadi praktik kebijakan yang efektif dan terintegrasi di lapangan.

Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.3390/ijerph20043096)

 

Selengkapnya
Mengukir Ketahanan Pesisir: Simulasi Infrastruktur Hijau sebagai Solusi Restorasi Bencana Alam di Area Urban

Manajemen Risiko

Banjir Tak Terlihat: Mengapa Inggris Belum Siap Menghadapi Risiko Banjir Air Tanah (Temuan Laporan FRS19217)

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Analisis Komprehensif Manajemen Risiko Banjir Air Tanah di Inggris: Sintesis Temuan, Kesenjangan Kritis, dan Arah Masa Depan (Berdasarkan Laporan FRS19217)

Penilaian bukti cepat (REA) ini, yang ditugaskan untuk mendukung National Flood and Coastal Erosion Risk Management Strategy for England (2020), menyajikan pemahaman dasar pertama yang komprehensif mengenai pendekatan saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah.1 Dengan menggabungkan tinjauan literatur peer-reviewed dan grey literature dengan survei ekstensif terhadap 260 pemangku kepentingan dan wawancara mendalam, laporan ini mengidentifikasi alur praktik, keberhasilan lokal, dan, yang paling penting, kesenjangan sistemik yang signifikan.1

Temuan-temuan kunci menunjukkan rantai kegagalan kausal: ambiguitas dalam tata kelola menyebabkan fragmentasi pengumpulan data; kesenjangan data ini menghambat pengembangan model risiko yang andal; kurangnya model risiko membuat peramalan menjadi tidak berkelanjutan; dan semua faktor ini berpuncak pada mitigasi yang reaktif dan kegagalan dalam perencanaan tata ruang.1

Alur Logis Temuan: Sintesis Praktik Manajemen Risiko Banjir Air Tanah Saat Ini

Analisis laporan FRS19217 mengungkapkan alur logis di mana kelemahan pada satu tahap manajemen risiko secara langsung menyebabkan kegagalan pada tahap berikutnya.

1. Akar Masalah: Ambiguitas Tata Kelola (Governance)

Akar dari tantangan manajemen banjir air tanah saat ini terletak pada ambiguitas tata kelola yang diperkenalkan oleh Flood and Water Management Act (FWMA) 2010. Undang-undang ini membagi tanggung jawab, memberikan Environment Agency (EA) peran "strategis" sementara Lead Local Flood Authorities (LLFAs) menerima peran "manajemen".1

Masalah fundamentalnya adalah bahwa banjir air tanah tidak mematuhi batasan yurisdiksi ini. Laporan tersebut menemukan bahwa mengelola banjir air tanah "tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari sumber banjir lainnya".1 Air tanah yang muncul dapat mengalir ke sungai (domain EA) atau membanjiri jaringan drainase (domain LLFA), menciptakan skenario risiko yang kompleks dan tumpang tindih. Ambiguitas tata kelola ini menciptakan kekosongan kepemilikan, di mana tidak ada satu entitas pun yang memiliki tanggung jawab penuh atau sumber daya untuk mengelola risiko yang saling terkait ini, yang mengarah langsung ke kegagalan dalam fungsi-fungsi berikutnya.1

2. Konsekuensi: Kesenjangan Data Sistemik dan 'Under-Reporting'

Konsekuensi paling langsung dari tata kelola yang terfragmentasi adalah kegagalan dalam pengumpulan data. Laporan ini mengidentifikasi bahwa insiden banjir air tanah secara signifikan kurang dilaporkan (under-reported). Hal ini bukan karena insiden tidak terjadi, melainkan karena dua faktor: (1) kurangnya pemahaman tentang mekanisme banjir air tanah di antara otoritas lokal dan masyarakat, dan (2) kesulitan yang melekat dalam "memisahkannya dari sumber banjir lainnya" dalam laporan insiden.1

Laporan tersebut secara tegas menyatakan bahwa "tidak ada sistem atau proses nasional untuk mengumpulkan dan mengkolasi catatan banjir air tanah".1 Apa yang ada bersifat terfragmentasi; LLFAs dan dewan lokal mengumpulkan beberapa catatan, seringkali dalam database GIS, tetapi data penting lainnya disimpan secara terpisah oleh entitas seperti perusahaan air (water companies) dan Highways England dan "seringkali tidak tersedia secara luas".1 Meskipun praktik baik lokal diidentifikasi, seperti portal web 'FORT' yang dikembangkan di Wessex, sistem ini tetap bersifat lokal dan belum diadopsi secara nasional.1 Tanpa data historis yang konsisten dan terpusat, menjadi mustahil untuk memvalidasi model risiko, melatih sistem peramalan, atau memprioritaskan investasi mitigasi secara efektif.

3. Dampak: Fragmentasi Penilaian Risiko (Assessment)

Kesenjangan data historis berdampak langsung pada kemampuan untuk menilai risiko di masa depan. Laporan tersebut menemukan bahwa, tanpa data insiden nasional untuk validasi, pemetaan risiko nasional menjadi sangat menantang. Akibatnya, peta risiko banjir air tanah nasional terbaik yang ada saat ini adalah "produk komersial".1

Hal ini menimbulkan masalah transparansi dan aksesibilitas yang kritis. Karena metodologi peta komersial ini "tidak dapat diakses untuk dinilai secara kuat," menjadi "sulit untuk membuat penilaian yang akurat" tentang kesesuaian dan akurasinya.1 Sebagai hasilnya, otoritas lokal dan perencana terpaksa menggunakan produk yang lebih tua dan kurang akurat—seperti peta 'Areas Susceptible to Groundwater Flooding' (AStGwF) milik Environment Agency, yang hanya merupakan alat penyaringan tingkat tinggi pada grid $1~km^{2}$—atau mereka harus menugaskan studi pemodelan lokal yang mahal dan padat data.1

Praktik ini menciptakan ketidakadilan risiko; wilayah dengan pendanaan dan keahlian yang lebih besar, seperti London dengan peta iPEG-nya, dapat mengembangkan pemahaman risiko yang terperinci 1, sementara wilayah lain yang mungkin menghadapi risiko serupa tertinggal dengan data yang sudah ketinggalan zaman atau tidak memadai.

4. Gejala: Peramalan yang Tidak Berkelanjutan dan Peringatan yang Tidak Pasti

Tanpa model risiko nasional yang terintegrasi dan tervalidasi, peramalan banjir air tanah menjadi aktivitas ad-hoc yang sangat bergantung pada keahlian lokal. Laporan ini menyoroti sistem yang dikembangkan secara lokal, seperti alat peramalan berbasis spreadsheet yang efektif di Wessex dan model CATCHMOD.1

Namun, sistem ini mengungkapkan kerapuhan sistemik. Laporan tersebut menemukan dua kelemahan fatal: pertama, sistem ini "tidak terintegrasi ke sistem nasional" dan "tidak berjalan otomatis." Kedua, mereka "dibiayai oleh waktu staf," sebuah model yang dianggap "tidak berkelanjutan" mengingat tekanan anggaran lainnya.1 Ini menunjukkan bahwa "praktik baik" saat ini menutupi kerentanan yang mendasar: manajemen risiko yang vital bergantung pada pengetahuan institusional beberapa individu kunci, bukan pada infrastruktur nasional yang tangguh.

Lebih lanjut, ada bahaya operasional yang jelas. Laporan tersebut mencatat "ketidakpastian dalam cara peringatan... dikeluarkan dan dihapus." Peringatan banjir seringkali dicabut segera setelah risiko banjir sungai (fluvial) berlalu, mengabaikan fakta bahwa respons air tanah tertunda dan dapat terus menjadi risiko selama berminggu-minggu, sehingga menempatkan publik pada risiko.1

5. Hasil Akhir: Mitigasi Reaktif dan Kegagalan Perencanaan Tata Ruang

Rantai kegagalan—dari tata kelola yang ambigu hingga data yang terfragmentasi, pemetaan yang tidak transparan, dan peramalan yang tidak berkelanjutan—berpuncak pada kelumpuhan tindakan proaktif. Laporan tersebut menemukan "panduan yang sangat terbatas" tentang cara mengembangkan dan menerapkan skema mitigasi banjir air tanah.1

Otoritas manajemen risiko menghadapi "ketidakpastian khusus" mengenai legalitas dan kelayakan opsi mitigasi yang paling jelas: pemompaan. Terdapat kebingungan mengenai "implikasi lisensi" dan "opsi untuk pembuangan" air yang dipompa.1 Kekhawatiran ini beralasan, karena laporan tersebut mencatat bahwa pemompaan di satu lokasi dapat "memperburuk banjir di lokasi lain," misalnya dengan membebani sistem drainase atau sungai.1

Kegagalan paling kritis dari rantai ini terjadi dalam perencanaan tata ruang. Karena risiko tidak dipetakan secara jelas, tidak dipahami secara luas, dan tidak ada solusi mitigasi yang jelas, laporan tersebut menemukan bahwa risiko banjir air tanah "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini adalah kesimpulan yang paling memberatkan: sistem saat ini tidak hanya gagal mengelola risiko yang ada tetapi juga secara aktif menciptakan risiko baru dengan mengizinkan pembangunan di zona bahaya yang tidak teridentifikasi.

Analisis Kritis, Kesenjangan, dan Arah Riset

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari laporan FRS19217 ini adalah penetapan baseline komprehensif pertama untuk manajemen risiko banjir air tanah di Inggris pada era pasca-FWMA 2010.1 Sebelum studi ini, pemahaman tentang masalah ini sebagian besar bersifat anekdotal dan terfragmentasi, terikat pada peristiwa banjir tertentu.

Laporan ini mengubahnya dengan mengadopsi metodologi Rapid Evidence Assessment (REA) yang kuat, yang melampaui tinjauan literatur standar. Laporan ini secara unik mensintesis temuan dari 17 studi peer-reviewed, 37 dokumen grey literature, dan 12 sumber tidak terpublikasi dengan data kualitatif dan kuantitatif primer yang baru.1 Data baru ini berasal dari survei komprehensif terhadap 260 praktisi manajemen risiko dan 6 wawancara semi-terstruktur mendalam dengan para ahli di lembaga-lembaga kunci.1

Dengan melakukan sintesis ini, laporan tersebut berhasil mengangkat banjir air tanah dari sekadar masalah teknis atau hidrogeologis menjadi masalah kegagalan tata kelola yang sistemik dan dapat diidentifikasi. Laporan ini menyediakan dasar bukti yang koheren yang diperlukan untuk membenarkan tindakan kebijakan dan investasi strategis, seperti yang diuraikan dalam rekomendasi Bagian 7.3.1

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Laporan ini secara eksplisit mengidentifikasi "kesenjangan dalam pengetahuan, proses, dan data" yang signifikan.1 Kesenjangan ini mewakili keterbatasan utama dari kemampuan Inggris saat ini untuk mengelola risiko ini dan menyoroti pertanyaan-pertanyaan terbuka yang paling mendesak untuk penelitian di masa depan.

1. Kesenjangan Pengetahuan: Kuantifikasi Risiko dan Perubahan Iklim

Tantangan terbesar yang diidentifikasi adalah ketidakpastian mendasar dalam mengukur skala sebenarnya dari risiko tersebut. Peta "kerentanan" (susceptibility) geologis, seperti yang dirinci dalam Tabel 6.7, menunjukkan angka yang sangat besar sehingga tidak dapat ditindaklanjuti secara praktis, seperti 2.981.000 properti residensial di atas endapan superfisial permeabel dan 488.000 di atas akuifer air jernih (clearwater) lainnya.1

Temuan kuantitatif kunci dari laporan yang dikutip (McKenzie dan Ward, 2015) adalah penyaringan data mentah ini. Temuan ini menunjukkan bahwa jumlah properti yang diperkirakan akan terkena dampak dari banjir air tanah saja (bukan hanya berada di area rentan) jauh lebih spesifik, yaitu antara 122.000 dan 289.000 properti.1 Meskipun angka ini lebih kecil, signifikansinya diperkuat oleh temuan kualitatif bahwa banjir air tanah berlangsung lebih lama (seringkali berminggu-minggu atau berbulan-bulan) 1, yang menyebabkan kerugian finansial yang jauh lebih tinggi. Sebuah studi kasus di Hambledon menemukan bahwa kerugian akibat banjir air tanah yang berlangsung lama adalah 240% hingga 360% lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh data kerusakan standar Multi-Coloured Manual (MCM).1

Kompleksitas ini diperparah oleh temuan survei bahwa 72% responden melaporkan banjir air tanah terjadi bersamaan dengan sumber banjir lain (permukaan atau fluvial) 1, yang membuat atribusi risiko, respons darurat, dan klaim asuransi menjadi sangat rumit.

Pertanyaan terbuka terbesar adalah dampak perubahan iklim. Laporan ini secara eksplisit menyatakan bahwa "salah satu kesenjangan bukti terbesar... adalah kurangnya pemahaman tentang bagaimana risiko banjir air tanah akan berubah di masa depan dengan perubahan iklim".1 Kesenjangan ini digarisbawahi oleh data survei, di mana hanya 2% responden (hanya dua individu) yang merasa dapat memperkirakan jumlah properti yang berisiko akibat perubahan iklim di masa depan.1 Ini adalah paradoks inti dari strategi nasional: ambisi FCERM adalah untuk "tempat yang tahan iklim," namun data untuk salah satu komponen risiko utamanya sama sekali tidak ada.

2. Kesenjangan Proses: Tata Kelola dan Keberlanjutan

Pertanyaan terbuka yang mendasar tetap ada mengenai tata kelola: Siapa yang seharusnya memimpin dan mendanai pengelolaan risiko yang tumpang tindih antara yurisdiksi EA dan LLFA?.1 Selain itu, laporan ini mempertanyakan keberlanjutan jangka panjang dari praktik-praktik baik yang ada saat ini. Ketergantungan pada sistem peramalan lokal yang didanai oleh "waktu staf" (bukan anggaran infrastruktur) menunjukkan model yang rapuh yang rentan terhadap pemotongan anggaran atau hilangnya staf kunci.1

3. Kesenjangan Data: Infrastruktur Pencatatan dan Pemetaan

Keterbatasan utama yang mendasari semua kesenjangan lainnya adalah infrastruktur data. Kurangnya "sistem atau proses nasional" untuk pencatatan insiden 1 dan ketergantungan pada peta risiko komersial yang tidak transparan atau peta publik yang sudah ketinggalan zaman 1 menghalangi kemajuan di setiap tahap lainnya.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Sebagai respons langsung terhadap kesenjangan ini, laporan tersebut menguraikan 25 aktivitas kerja di masa depan.1 Lima rekomendasi berikut, yang diidentifikasi dalam Tabel 7.1 sebagai prioritas 'Tinggi', mewakili jalur kritis untuk mengatasi kegagalan sistemik yang teridentifikasi.1

1. Meninjau dan Mengklarifikasi Tata Kelola (Governance)

Laporan ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang pengaturan tata kelola saat ini, meninjau literatur informal yang ada, dan merekomendasikan protokol standar.1 Justifikasi untuk ini adalah temuan laporan bahwa ambiguitas peran pasca-FWMA 2010 adalah akar penyebab fragmentasi data dan penilaian risiko.1 Metode baru yang diusulkan adalah analisis operasional tentang bagaimana interaksi antar-RMA harus dikelola, terutama ketika berbagai sumber banjir terjadi secara bersamaan.

2. Meningkatkan Proses Pencatatan Insiden secara Konsisten

Direkomendasikan untuk meningkatkan proses pencatatan insiden agar data dapat dibagikan dan digunakan secara konsisten di seluruh organisasi, didukung oleh pelatihan dan panduan baru.1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan under-reporting (kurang pelaporan) yang sistemik.1 Tanpa data dasar yang andal, mustahil untuk memvalidasi model risiko atau membenarkan skema mitigasi. Metode baru harus mencakup panduan teknis untuk membedakan sumber banjir (termasuk pelaporan "sumber ganda") dan mengevaluasi perluasan sistem lokal yang sukses seperti 'FORT' menjadi alat pelaporan nasional.1

3. Menyediakan Data Spasial Risiko Banjir Air Tanah yang Gratis dan Dapat Diakses (Termasuk Perubahan Iklim)

Rekomendasi prioritas tinggi ketiga adalah menyelidiki opsi untuk menyediakan data spasial risiko banjir air tanah yang tersedia secara bebas, yang secara kritis mencakup skenario perubahan iklim.1 Ini adalah respons langsung terhadap temuan bahwa peta nasional saat ini bersifat "komersial" dan tidak transparan 1, dan bahwa data dampak iklim "tidak ada".1 Metode baru ini akan memerlukan program pemodelan nasional yang didanai publik, serupa dengan peta risiko fluvial EA, yang mengintegrasikan data geologi, telemetri lubang bor, dan (yang paling penting) skenario iklim masa depan.

4. Mengembangkan Panduan Implementasi Skema Mitigasi

Laporan ini merekomendasikan pengembangan panduan tentang cara menerapkan skema mitigasi banjir air tanah, baik di tingkat properti maupun skala yang lebih besar (misalnya, desa atau rebound perkotaan).1 Justifikasi untuk ini adalah temuan "panduan yang sangat terbatas" dan "ketidakpastian khusus" seputar legalitas dan efektivitas pemompaan—opsi mitigasi yang paling umum.1 Panduan baru ini harus mencakup kerangka kerja regulasi yang jelas untuk perizinan dan pembuangan air (untuk mencegah pemindahan risiko) dan metodologi biaya-manfaat baru yang secara khusus memperhitungkan durasi banjir yang panjang dan biaya kerusakan yang lebih tinggi.1

5. Mengembangkan Panduan untuk Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning)

Rekomendasi paling mendesak adalah mengembangkan panduan tentang bagaimana banjir air tanah harus dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang dan manajemen pembangunan, termasuk memperluas panduan SuDS (Sistem Drainase Berkelanjutan).1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan kritis bahwa risiko ini "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini berarti sistem saat ini secara aktif menciptakan risiko baru. Metode baru ini harus melibatkan kolaborasi dengan kementerian perumahan (MHCLG) untuk mengintegrasikan data risiko air tanah ke dalam Strategic Flood Risk Assessment (SFRA) dan memperbarui panduan SuDS untuk memastikan sistem infiltrasi tidak memperburuk level air tanah setempat.1

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Temuan-temuan dalam laporan FRS19217 ini secara kolektif menunjukkan bahwa pendekatan Inggris saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah—yang bersifat terfragmentasi, reaktif, dan bergantung pada sistem lokal yang tidak berkelanjutan—tidak memadai untuk tantangan saat ini.1 Lebih penting lagi, sistem ini sama sekali tidak siap untuk tantangan masa depan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, di mana kesenjangan pemahaman terbesar saat ini berada.1 Potensi jangka panjang terletak pada pergeseran strategis dari model saat ini menuju kerangka kerja yang terintegrasi, didanai secara nasional, dan proaktif, di mana risiko air tanah diperlakukan dengan tingkat kepentingan yang sama seperti risiko fluvial dan permukaan.

Implementasi rekomendasi yang diuraikan dalam laporan ini melampaui kapasitas satu lembaga. Ini menuntut upaya terkoordinasi. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan panduan baru harus melibatkan kolaborasi erat antara Environment Agency (untuk kepemimpinan strategis dan integrasi sistem nasional), Defra (untuk pendanaan dan arahan kebijakan), dan Lead Local Flood Authorities (LLFAs) (untuk pengumpulan data lokal dan implementasi di lapangan). Selain itu, kemitraan penting dengan Perusahaan Air (Water Companies) (yang mengelola data drainase vital dan aset yang berinteraksi) dan Otoritas Batubara (Coal Authority) (untuk keahlian spesialis dalam rebound air tambang) sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.1

 

(https://www.gov.uk/flood-and-coastal-erosion-risk-management-research-reports/review-of-groundwater-flood-risk-management-in-england)

Selengkapnya
Banjir Tak Terlihat: Mengapa Inggris Belum Siap Menghadapi Risiko Banjir Air Tanah (Temuan Laporan FRS19217)

Perencanaan Infrastruktur

Jalan Buntu Iklim: Mengapa Jaringan Transportasi Kita Berisiko Gagal—dan Bagaimana Memperbaikinya.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Analisis Dampak Iklim dan Kebutuhan Adaptasi untuk Jaringan Transportasi Darat ECE

Pendahuluan: Alur Logis Temuan dan Signifikansi Kuantitatif

Laporan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), "Climate Change Impacts and Adaptation for Transport Networks and Nodes," menyajikan analisis metodis tentang kerentanan infrastruktur transportasi darat di wilayah ECE.1 Alur logis dari Bagian I laporan ini 1 membangun argumennya melalui tiga fase yang berbeda.

Pertama, laporan ini melakukan inventarisasi aset, mendefinisikan subjek analisis (Bab 1).1 Ini termasuk pemetaan jaringan infrastruktur kritis seperti E Roads 1, E Rail network 1, jaringan Trans-European Transport Network (TEN-T) 1, Euro-Asian Transport Links (EATL) 1, dan E Waterways.1

Kedua, laporan tersebut menetapkan ancaman (Bab 2).1 Bab ini mengulas tren iklim yang teramati dan proyeksi masa depan untuk parameter-parameter kunci, termasuk suhu, curah hujan, pencairan permafrost, dan kenaikan permukaan air laut, yang secara efektif menguraikan bahaya yang akan dihadapi oleh aset-aset yang diinventarisasi.1

Ketiga, laporan ini melakukan analisis dampak (Bab 3).1 Ini adalah inti metodologis dari laporan, di mana ancaman dari Bab 2 "dihamparkan" (overlayed) secara spasial ke aset dari Bab 1. Laporan ini secara eksplisit menyatakan bahwa ini dilakukan menggunakan pemetaan Geographical Information System (GIS) untuk menyajikan "perspektif awal tentang area risiko potensial".1 Bab 3 merinci metode dan data yang digunakan, terutama berfokus pada enam indeks iklim proksi 1 dan ansambel model iklim regional (EURO-CORDEX) 1 untuk memetakan risiko di seluruh wilayah ECE.

Signifikansi dari analisis "langkah pertama" ini terletak pada data kuantitatif yang dihasilkannya. Proyeksi ini, terutama di bawah skenario emisi tinggi $RCP8.5$ untuk periode 2051-2080 dibandingkan dengan baseline 1971-2000, memberikan gambaran yang jelas tentang tekanan di masa depan.1

Temuan yang paling signifikan berkaitan dengan panas ekstrem. Warm Spell Duration Index (WSDI), sebuah proxy untuk durasi gelombang panas, diproyeksikan meningkat secara substansial. Analisis menunjukkan peningkatan lebih dari 80 hari durasi musim panas di sebagian besar Eropa Selatan dan, yang menarik, juga di Skandinavia. Di hotspot tertentu di Spanyol dan Turki, peningkatannya diproyeksikan melebihi 100 hari tambahan.1 Hal ini diperkuat oleh Very Hot Days (VHD)—didefinisikan sebagai jumlah hari dengan suhu maksimum harian di atas $30^{\circ}C$.1 Di sini, analisis memproyeksikan peningkatan 40 hingga 50 hari VHD per tahun di sebagian besar Eropa Selatan. Untuk bagian Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, dan Turki, proyeksi bahkan lebih parah, menunjukkan 50 hingga 60 hari panas ekstrem tambahan per tahun.1 Temuan ini menunjukkan hubungan kuantitatif yang kuat antara pemanasan global dan peningkatan tekanan panas langsung pada infrastruktur, seperti pembengkokan rel kereta api dan degradasi dini perkerasan aspal.

Sebaliknya, Icing Days (ID), atau hari-hari dengan suhu maksimum di bawah $0^{\circ}C$ 1, menunjukkan "penurunan substansial".1 Di wilayah lintang tinggi dan dataran tinggi seperti Skandinavia dan Pegunungan Alpen, proyeksi menunjukkan 40 hingga 50 hari ID lebih sedikit per tahun.1 Meskipun ini mungkin menyiratkan penghematan pada pemeliharaan musim dingin, laporan tersebut menggunakannya untuk menyoroti risiko yang muncul seperti percepatan pencairan permafrost, yang mengancam stabilitas fondasi jalan dan rel di wilayah utara.1

Proyeksi untuk curah hujan lebih bernuansa. Jumlah hari dengan curah hujan di atas 20mm (R20mm), sebuah proxy untuk hujan lebat, menunjukkan peningkatan sekitar 4 hari per tahun di Eropa Utara dan daerah pegunungan tinggi, tetapi sebenarnya menunjukkan penurunan di Semenanjung Iberia.1 Namun, Jumlah curah hujan maksimum 5 hari berturut-turut (Rx5day), proxy yang lebih baik untuk risiko banjir fluvial, menunjukkan peningkatan umum 10% hingga 20% di sebagian besar Eropa.1 Secara kolektif, data curah hujan ini menunjukkan peningkatan risiko banjir bandang, erosi, dan tanah longsor yang didorong oleh curah hujan di banyak koridor transportasi utama.

Akhirnya, Consecutive Dry Days (CDD), sebuah proxy untuk kekeringan, diproyeksikan meningkat 10 hingga 20 hari di sebagian besar Eropa, dengan peningkatan hingga 30 hari di Iberia dan Turki.1 Temuan ini memiliki implikasi serius untuk transportasi perairan darat, sebuah poin yang divalidasi secara kuat oleh studi kasus Bagian II dari laporan tersebut.1

Studi kasus Sungai Rhine (Bagian II, Bab 2) secara langsung mendukung kekhawatiran atas peningkatan CDD.1 Analisis di sana mencatat bahwa "mayoritas proyeksi iklim menunjukkan situasi aliran rendah yang lebih sering terjadi di paruh kedua abad ke-21".1 Signifikansi sosio-ekonomi dari hal ini digarisbawahi oleh peristiwa aliran rendah bersejarah tahun 2018, yang secara efektif menghentikan navigasi komersial.1

Demikian pula, studi kasus Kanal Kiel (Bagian II, Bab 2) memberikan validasi kuantitatif untuk risiko gabungan dari kenaikan permukaan air laut dan perubahan curah hujan.1 Studi kasus tersebut menemukan bahwa kenaikan permukaan air laut sebesar 55 cm (konsisten dengan skenario $RCP8.5$ akhir abad) akan "mengurangi potensi drainase [kanal] sekitar 40 persen".1 Dikombinasikan dengan peningkatan frekuensi kejadian air rendah yang menghambat drainase 1, kelangsungan operasional salah satu jalur air buatan tersibuk di dunia menjadi sangat diragukan.

Kesenjangan antara proyeksi ini dan kesiapsiagaan saat ini ditekankan oleh studi kasus tentang regulasi kereta api Jerman (Bagian II, Bab 1).1 Dari 1.650 entri regulasi teknis dan standar yang ditinjau, 334 entri—atau 20%—diidentifikasi memiliki "kebutuhan tinggi untuk penyesuaian" terhadap perubahan iklim.1 Temuan kuantitatif ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara standar teknik infrastruktur saat ini dan realitas iklim masa depan yang diproyeksikan oleh model laporan itu sendiri.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari laporan UNECE ini bersifat metodologis. Laporan ini menyajikan kerangka kerja "langkah pertama" pan-regional yang dapat direplikasi untuk penilaian risiko iklim infrastruktur. Ini adalah upaya pertama yang diketahui 1 untuk secara sistematis menerapkan metodologi overlay GIS yang menggabungkan proyeksi iklim regional yang telah di-downscale (khususnya, ansambel EURO-CORDEX 1) dengan inventarisasi aset infrastruktur yang komprehensif dan distandarisasi secara internasional (E Roads, E Rail, TEN-T, dll. 1). Dengan melakukan ini, laporan tersebut beralih dari penilaian kualitatif umum menjadi identifikasi kuantitatif "perspektif awal" dari hotspot risiko geografis.1

Kontribusi signifikan kedua adalah validasi kerangka kerja ini melalui kurasi studi kasus di Bagian II.1 Laporan ini secara cerdas menyusun studi kasus ini untuk mencerminkan alur kerja adaptasi. Bab 1 dari Bagian II 1 tidak berfokus pada dampak, melainkan pada metodologi yang digunakan oleh berbagai negara untuk melakukan penilaian risiko yang lebih dalam. Ini termasuk tinjauan rinci tentang Protokol PIEVC (Public Infrastructure Engineering Vulnerability Committee) Kanada 1, metodologi analisis risiko terperinci yang diterapkan pada jaringan jalan DIR Med Prancis 1, dan penggunaan analisis GIS oleh Polandia untuk mengidentifikasi hotspot banjir.1

Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang (memenuhi Instruksi 9) terletak pada model dua langkah yang secara implisit disajikan oleh laporan ini. Analisis GIS pan-Eropa di Bab 3 (Bagian I) berfungsi sebagai "Langkah 1": alat penyaringan makro untuk mengidentifikasi wilayah dan koridor yang berisiko tinggi dengan cara yang hemat sumber daya. Studi kasus metodologi di Bagian II (Bab 1) kemudian menyajikan serangkaian contoh "Langkah 2" yang divalidasi: metodologi penilaian kerentanan aset yang terperinci dan intensif sumber daya yang dapat diterapkan oleh negara-negara anggota setelah hotspot diidentifikasi oleh "Langkah 1". Potensi jangka panjang dari kontribusi gabungan ini adalah penciptaan kerangka kerja ECE yang terstandarisasi untuk perencanaan adaptasi, di mana analisis makro memicu dan memprioritaskan penilaian teknik mikro yang diperlukan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Kekuatan utama laporan ini juga terletak pada pengakuannya yang jujur dan transparan terhadap keterbatasannya sendiri, yang dirinci dalam bagian "Lessons learned" (Pelajaran yang Diperoleh).1 Keterbatasan ini secara efektif mendefinisikan pertanyaan terbuka yang harus dijawab oleh penelitian di masa depan.

Pertama, laporan tersebut mengakui bahwa identifikasi inventaris aset dan risiko adalah "upaya yang kompleks dan jangka panjang" (Poin a).1 Ini bukanlah penilaian yang konklusif.

Keterbatasan yang lebih kritis adalah "Keterbatasan data" (Poin c).1 Laporan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa "kumpulan data tentang infrastruktur transportasi darat dan penggunaannya... tidak tersedia secara luas di seluruh negara-negara ECE".1 Kesenjangan data aset ini secara fundamental merusak keakuratan setiap analisis overlay GIS, karena satu sisi dari persamaan (aset) tidak lengkap.

Keterbatasan ini diperparah oleh kesenjangan data iklim (Poin d).1 Laporan tersebut mencatat bahwa "Data iklim yang diharmonisasi tidak ada untuk seluruh wilayah ECE." Karena "pendekatan yang berbeda untuk downscaling" digunakan untuk berbagai wilayah (misalnya, Eropa vs Kanada), hasilnya "tidak dapat dibandingkan secara langsung".1 Keterbatasan metodologis ini menghalangi perbandingan risiko yang valid di seluruh wilayah ECE.

Yang paling penting, laporan tersebut mengkritik metodologinya sendiri sebagai tidak memadai untuk pengambilan keputusan akhir (Poin g).1 Dinyatakan bahwa "analisis langkah pertama ini... tidak cukup." Analisis risiko yang sebenarnya, bantah laporan itu, memerlukan "langkah kedua" yang kompleks. Langkah ini harus mempertimbangkan "faktor alam dan antropogenik (seperti geomorfologi, geologi, dan tata guna lahan)" serta "karakteristik individu aset transportasi (seperti usia, kondisi, dan kualitasnya)".1

Secara kolektif, keterbatasan ini menimbulkan pertanyaan terbuka utama: Jika data aset tidak lengkap (Poin c) dan data iklim tidak dapat dibandingkan (Poin d), seberapa andalkah peta hotspot "langkah pertama" yang disajikan dalam Bab 3? Laporan tersebut dengan bijak menghindari klaim berlebihan, menyebut analisisnya sebagai "perspektif awal".1 Laporan ini menggunakan keterbatasan yang diidentifikasi sendiri ini bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai pembenaran ilmiah yang kuat untuk rangkaian rekomendasi penelitiannya di masa depan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan kesenjangan yang diidentifikasi dalam "Lessons learned," laporan tersebut mengusulkan serangkaian rekomendasi penelitian berkelanjutan yang ditargetkan di Bab 4, Bagian II.1 Lima di antaranya sangat penting untuk memajukan bidang ini dari identifikasi risiko ke tindakan adaptasi yang sebenarnya.

1. Harmonisasi Data Aset Infrastruktur (Berdasarkan Rekomendasi (c))

  • Rekomendasi: Laporan tersebut merekomendasikan agar administrasi publik menyediakan data geografis untuk jaringan dan simpul transportasi darat, setidaknya untuk infrastruktur yang memiliki kepentingan internasional, dan membuatnya tersedia dalam "lingkungan GIS" yang dapat diakses.1
  • Justifikasi Ilmiah: Rekomendasi ini secara langsung mengatasi "Keterbatasan Data Aset" (Poin c 'Lessons learned').1 Metodologi inti laporan—overlay GIS di Bab 3—secara fundamental bergantung pada ketersediaan data aset spasial ini. Tanpa inventaris aset yang lengkap dan terstandarisasi, analisis risiko tetap bersifat teoretis dan tidak lengkap. Metode baru yang diperlukan adalah pengembangan skema data GIS yang terstandarisasi untuk aset transportasi (termasuk atribut seperti tahun konstruksi, material, dan kondisi) di 56 negara anggota ECE. Keterhubungan jangka panjang (Instruksi 9) adalah bahwa data ini akan memungkinkan analisis risiko lintas batas yang sebenarnya, pemodelan kegagalan jaringan kaskade, dan prioritas investasi yang lebih baik.

2. Harmonisasi Data Proyeksi Iklim (Berdasarkan Rekomendasi (f))

  • Rekomendasi: Upaya harus dikhususkan untuk mendapatkan "kumpulan data proyeksi iklim yang konsisten untuk seluruh wilayah ECE," dengan laporan tersebut secara khusus menyebut "proyek CORDEX-Core" sebagai sumber potensial.1
  • Justifikasi Ilmiah: Ini adalah solusi langsung untuk "Kesenjangan Data Iklim" (Poin d 'Lessons learned') 1, yang mencatat bahwa data saat ini "tidak dapat dibandingkan secara langsung." Untuk analisis risiko pan-Eropa yang valid yang memungkinkan pembuat kebijakan membandingkan kerentanan di berbagai negara (misalnya, Polandia vs Spanyol), baseline iklim yang terharmonisasi sangat penting. Konteks baru yang diperlukan adalah adopsi universal dari dataset CORDEX-Core, yang akan menyediakan resolusi spasial yang konsisten, bias yang diperbaiki, dan ansambel model yang seragam di seluruh wilayah ECE, sehingga memungkinkan perbandingan risiko yang valid.

3. Perluasan Indeks Iklim Spesifik Dampak (Berdasarkan Rekomendasi (g))

  • Rekomendasi: Laporan tersebut merekomendasikan agar analisis dari enam indeks iklim yang ada saat ini 1 diperluas untuk mencakup "indeks tambahan, yang sesuai," dan hasilnya tersedia untuk negara-negara melalui GIS ECE.1
  • Justifikasi Ilmiah: Ini didasarkan pada temuan (Poin e 'Lessons learned') 1 bahwa enam indeks saat ini hanyalah "titik awal yang baik." Mereka berfungsi sebagai proxy untuk bahaya tetapi tidak menangkap mekanisme kegagalan spesifik aset. Misalnya, laporan tersebut membahas pentingnya menganalisis "siklus beku-cair" dan "hari derajat pencairan" 1 untuk kerentanan permafrost, namun indeks-indeks ini tidak termasuk dalam analisis Bab 3. Variabel baru yang diperlukan adalah indeks turunan yang spesifik untuk dampak (misalnya, indeks ekspansi termal untuk rel, indeks kelembaban tanah untuk stabilitas lereng, jam pendinginan/pemanasan untuk permintaan energi), yang jauh melampaui indeks suhu/presipitasi sederhana.

4. Pelaksanaan Analisis Kerentanan "Langkah Kedua" (Berdasarkan Rekomendasi (h))

  • Rekomendasi: Laporan tersebut mendesak negara-negara untuk "memajukan proyek lebih lanjut yang berupaya untuk lebih memahami kerentanan." Proyek-proyek ini harus mencakup "analisis dampak... dengan mempertimbangkan faktor alam dan antropogenik," "penilaian karakteristik aset," "penilaian rantai pasokan atau pergeseran antarmoda," dan "ketergantungan lintas sektor".1
  • Justifikasi Ilmiah: Ini adalah rekomendasi paling kritis dari seluruh laporan, yang secara langsung mengatasi "Ketidakcukupan Metodologi" (Poin g 'Lessons learned').1 Ini menyerukan pergeseran fundamental dari pemetaan paparan (exposure) iklim (yang dilakukan Bab 3) ke penilaian kerentanan (vulnerability) yang sebenarnya. Metode baru yang diperlukan adalah adopsi luas kerangka kerja penilaian kerentanan teknik terstruktur—seperti Protokol PIEVC Kanada 1 atau metodologi DIR Med Prancis 1 yang disorot dalam studi kasus. Kerangka kerja ini mengintegrasikan geologi lokal, usia aset, bahan konstruksi, dan ambang batas operasional untuk menentukan probabilitas kegagalan yang sebenarnya. Ini adalah satu-satunya cara untuk memprioritaskan adaptasi secara efektif dan menghindari pemborosan sumber daya.

5. Penciptaan Database Pengetahuan Adaptasi (Berdasarkan Rekomendasi (k))

  • Rekomendasi: Proyek-proyek nasional yang diuraikan dalam Rekomendasi (h) harus digunakan untuk "pembentukan database pengetahuan." Database ini harus berisi informasi tentang "(i) fitur dan kondisi yang membuat suatu bagian... menjadi 'hotspot'" dan "(ii) langkah-langkah adaptasi yang diusulkan dan efektivitas biayanya".1
  • Justifikasi Ilmiah: Ini adalah langkah logis terakhir dalam alur kerja adaptasi. Jika Rekomendasi (h) mengidentifikasi risiko, Rekomendasi (k) mencari solusi. Ini secara langsung menghubungkan sains dengan kebijakan dan penganggaran. Laporan tersebut mengakui bahwa sebuah "hotspot" bukan hanya fungsi dari iklim, tetapi juga geologi, usia aset, dan desain (Poin g 'Lessons learned').1 Database ini akan memungkinkan analis untuk beralih dari pernyataan sederhana "Jalan ini berisiko banjir" ke diagnosis yang dapat ditindaklanjuti: "Jalan ini berisiko banjir karena gorong-gorong yang kurang memadai (kondisi); menggantinya akan memakan biaya $X dan memberikan manfaat $Y." Ini adalah fondasi yang diperlukan untuk analisis biaya-manfaat dan integrasi adaptasi ke dalam proses perencanaan dan operasional (Rekomendasi l).1

Kesimpulan: Ajakan Kolaboratif untuk Infrastruktur yang Tangguh

Laporan ECE/TRANS/283 ini berfungsi sebagai analisis dasar yang penting sekaligus cetak biru untuk pekerjaan di masa depan. Laporan ini berhasil mengidentifikasi hotspot risiko iklim regional ("langkah pertama") sambil dengan jujur mengakui keterbatasan data dan metodologi yang menghalangi penilaian kerentanan yang sebenarnya.

Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara negara-negara anggota ECE, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk memastikan data iklim yang terharmonisasi (sesuai Rekomendasi f), dan lembaga-lembaga ahli nasional yang telah memelopori metodologi "langkah kedua" yang diperlukan.1 Ini termasuk entitas seperti Transport Canada (dengan Protokol PIEVC), Deutscher Wetterdienst (Jerman), dan Climate Service Center Germany.1 Berbagi keahlian ini (sesuai Rekomendasi i) 1 sangat penting untuk membangun kapasitas regional. Kolaborasi ini harus bertujuan untuk memastikan bahwa temuan-temuan dari analisis "langkah kedua" ini diintegrasikan secara efektif ke dalam proses perencanaan, penganggaran, dan operasional nasional (sesuai Rekomendasi l) 1, untuk menjamin keberlanjutan dan validitas jangka panjang dari jaringan transportasi ECE.

Publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ECE/TRANS/283 eISBN: 978-92-1-004779-1(https://shop.un.org) 1

 

Selengkapnya
Jalan Buntu Iklim: Mengapa Jaringan Transportasi Kita Berisiko Gagal—dan Bagaimana Memperbaikinya.

Perencanaan tata ruang wilayah

Indonesia di Garis Patahan: Mengapa Peta Risiko Bencana Gagal Tercatat di Sertifikat Tanah?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025


Tinjauan Analitis Integrasi Administrasi Pertanahan dan Manajemen Risiko Bencana di Indonesia

Perjalanan Logis Temuan: Dekonstruksi Kesenjangan Sistemik

Penelitian ini secara metodis bergerak dari penetapan masalah teoretis menuju evaluasi empiris, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara administrasi pertanahan (AP) dan manajemen risiko bencana (MRB).1 Premis awalnya adalah bahwa integrasi antara komponen AP (Tata Ruang Penggunaan Lahan/LUP dan Kadaster) dan komponen MRB (Penilaian Risiko, Pencegahan, dan Mitigasi) sangat penting, namun di lapangan, hubungan ini sering kali "lemah atau tidak ada".1

Sebagai alat analitis, sebuah kerangka penilaian dikembangkan berdasarkan lima elemen kunci: Kebijakan, Pengaturan Organisasi, Data dan Berbagi Data, Keterlibatan Agen Eksternal, dan Dampak pada Lahan.1 Kerangka ini kemudian diterapkan pada dua studi kasus kontras di Indonesia: Padang, yang menghadapi ancaman gempa dan tsunami yang konstan; dan Banda Aceh, yang telah mengalami bencana dahsyat.1

Penerapan kerangka kerja ini secara konsisten menyimpulkan bahwa MRB dan AP belum terintegrasi sepenuhnya di kedua lokasi.1 Kesenjangan yang teridentifikasi berulang kali meliputi ketiadaan atau ketidaksesuaian regulasi, lemahnya mekanisme berbagi data antar lembaga, dan minimnya partisipasi efektif dari masyarakat.1 Secara keseluruhan, dampak dari integrasi parsial ini ditemukan tidak signifikan jika dibandingkan dengan dampak langsung yang ditimbulkan oleh bencana alam itu sendiri.1 Temuan ini mengarahkan ke pertanyaan terbuka tentang adanya "fenomena berbeda" dalam respons komunitas di kedua wilayah pasca-bencana, yang membutuhkan penyelidikan mendalam di masa depan.1

Sorotan Kuantitatif Deskriptif: Bukti Empiris Disartikulasi Risiko-Lahan

Temuan kuantitatif menunjukkan bagaimana bencana alam dan kebijakan berbasis risiko mengubah dinamika lahan dan nilai properti:

  • Padang dan Keengganan Pasar: Di Padang, di mana ancaman tsunami mengintai, terjadi disartikulasi antara sinyal risiko pasar dan sistem regulasi properti. Data menunjukkan bahwa harga tanah di area aman (jauh dari pantai) telah meningkat 50% hingga 100% setelah gempa bumi tahun 2009.1 Peningkatan ini didorong oleh respons rasional masyarakat, di mana sekitar 29% responden di zona risiko tinggi memilih untuk menjual atau meninggalkan properti mereka untuk berinvestasi kembali di area yang lebih aman.1 Namun, kerentanan yang ada tetap masif, ditunjukkan dengan adanya 105.435 bidang tanah, atau sekitar 52% dari seluruh bidang tanah di kota, yang berada di dalam zona risiko tinggi.1
  • Banda Aceh dan Siklus Kembali ke Risiko: Di Banda Aceh, meskipun kota ini hancur total pada tahun 2004, terjadi fenomena "Kembali ke Risiko" pasca-rekonstruksi. Meskipun program relokasi dilaksanakan, 31.5% dari 1.514 keluarga yang direlokasi dilaporkan kembali ke tempat asal mereka di High Hazard Zone.1 Fenomena ini terjadi bahkan ketika Rencana Tata Ruang Berbasis Risiko menetapkan bahwa sekitar 35% (sekitar 25.000 bidang tanah) dari lahan yang terkena dampak langsung harus diubah menjadi zona terbuka atau hutan bakau.1 Secara paradoks, harga tanah di zona aman melonjak hingga 300%-400% pada tahun 2010.1 Data ini menunjukkan bahwa investasi rekonstruksi, kebutuhan mata pencaharian, dan intervensi bantuan eksternal mengalahkan sinyal risiko, memicu kenaikan nilai bahkan di area yang rentan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini adalah identifikasi empiris terhadap Kesenjangan Implementasi Kritis, yang berakar pada kegagalan hukum untuk menghubungkan perencanaan tata ruang dengan administrasi kadaster.1 Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) yang ditetapkan oleh zonasi risiko (melalui LUP) gagal dicatat secara hukum pada sertifikat tanah individual.1 Kegagalan hukum ini membuat rencana mitigasi berbasis risiko tidak dapat ditegakkan di tingkat bidang tanah, suatu temuan yang esensial bagi reformasi kebijakan lahan. Selain itu, penelitian ini memberikan landasan untuk studi komparatif dengan mengidentifikasi adanya "fenomena yang berbeda" dalam respons komunitas antara Padang dan Banda Aceh, yang menyoroti bahwa tanggapan manusia terhadap risiko sangat dipengaruhi oleh konteks (seperti intervensi pasca-bencana dan keterikatan mata pencaharian).1

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Analisis empiris ini mengungkap keterbatasan sistemik yang perlu diatasi melalui penelitian lanjutan 1:

  1. Kesenjangan Regulasi dan Rantai Hukum yang Putus: Tidak adanya peraturan yang secara hukum mewajibkan peta bahaya digunakan sebagai dasar wajib untuk Rencana Tata Ruang (LUP).1 Selain itu, informasi RRR (Pembatasan/Tanggung Jawab) dari LUP tidak diintegrasikan atau dicatat dalam sertifikat tanah atau database Kadaster, sehingga memutus rantai penegakan hukum.1
  2. Kesenjangan Berbagi Data: Lemahnya mekanisme dan regulasi untuk berbagi data secara efisien antara lembaga LUP dan Kadaster (untuk penilaian properti dan batasan) menghambat proses integrasi.1
  3. Peran Kadaster yang Terbatas dalam DRM: Data kadaster yang kaya, seperti nilai properti dan kepemilikan, tidak digunakan secara optimal oleh lembaga Manajemen Risiko Bencana (DRM) dalam menghitung kerentanan dan potensi kerugian ekonomi.1
  4. Pertanyaan Terbuka Utama: Diperlukan studi lanjutan yang berfokus pada mengapa terjadi fenomena berbeda dalam respons komunitas di Padang (menjauhi risiko) dan Banda Aceh (kembali ke risiko), suatu temuan yang muncul sebagai anomali yang perlu diselidiki secara mendalam.1

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan kesenjangan yang ditemukan, berikut adalah lima arah penelitian berkelanjutan yang direkomendasikan 1:

  1. Rekomendasi Riset: Studi Lanjutan Fenomena Respons Komunitas Terhadap Risiko Jangka Panjang.
    • Justifikasi Ilmiah: Tesis mengidentifikasi fenomena berbeda (Padang versus Banda Aceh) sebagai temuan penting yang harus diatasi.1 Penelitian harus menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif campuran untuk mengisolasi variabel-variabel yang memengaruhi keputusan komunitas (misalnya, bantuan, ikatan mata pencaharian berbasis lokasi, dan trauma) untuk memastikan program mitigasi di masa depan bersifat people-centered dan berkelanjutan.
  2. Rekomendasi Riset: Pengembangan dan Uji Coba Prototipe Kadaster Sadar-Risiko (Risk-Aware Cadastre).
    • Justifikasi Ilmiah: Secara langsung mengatasi kesenjangan implementasi kritis di mana Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) dari LUP berbasis risiko gagal dicatat.1 Penelitian harus merancang dan menguji prototipe teknis-hukum yang mengintegrasikan RRR bencana sebagai atribut hukum pada catatan bidang tanah, menjadikan informasi risiko dapat ditegakkan secara hukum dan tersedia untuk publik.
  3. Rekomendasi Riset: Reformasi Regulasi Kebijakan Berbagi Data Kadaster untuk Penilaian Risiko.
    • Justifikasi Ilmiah: Lemahnya berbagi data adalah hambatan utama bagi integrasi.1 Penelitian harus merancang regulasi baru yang memungkinkan data kadaster yang penting (misalnya, lokasi, luas, nilai properti) untuk dibagikan secara efisien dan cepat kepada lembaga DRM untuk melakukan penilaian kerentanan ekonomi yang terperinci, tanpa mengorbankan privasi pemilik lahan.
  4. Rekomendasi Riset: Model Penilaian Properti Fiskal Berbasis Risiko.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian menunjukkan adanya disartikulasi antara nilai pasar yang turun dan nilai pajak (NJOP) yang justru naik di zona risiko tinggi.1 Studi ini harus mengembangkan model penilaian properti baru (misalnya, Model Penilaian Massa) yang memasukkan risiko bencana sebagai variabel negatif untuk menyelaraskan sistem pajak dengan realitas risiko, sehingga menciptakan insentif fiskal bagi pemilik lahan untuk mitigasi.
  5. Rekomendasi Riset: Modernisasi Sistem Kadaster dan Interoperabilitas Data Spasial Nasional.
    • Justifikasi Ilmiah: Kadaster harus dimodernisasi ke sistem digital yang lebih andal untuk secara efektif mendukung DRM dan LUP sebagai dasar informasi.1 Penelitian harus fokus pada standarisasi sistem proyeksi dan format data spasial antara BPN, BAPPEDA, dan BNPB (misalnya, dari TM3° Kadaster ke UTM LUP) untuk mengatasi inefisiensi teknis dalam overlay data.1

Keterhubungan Temuan dan Potensi Jangka Panjang

Keterhubungan antara temuan-temuan saat ini dan potensi jangka panjang mengarah pada risiko mendalam yang dapat disebut Siklus Penciptaan Kembali Kerentanan. Kegagalan sistemik untuk mencatat Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) dari Rencana Tata Ruang ke dalam Kadaster secara efektif membuat upaya mitigasi tingkat kota tidak berdaya di tingkat bidang tanah individual.1

Siklus ini bekerja sebagai berikut: Setelah bencana, zona risiko tinggi ditetapkan sebagai area terlarang (LUP). Namun, karena tidak adanya pencatatan RRR ini pada sertifikat tanah, program pemulihan pasca-bencana memulihkan sertifikat tanah sebelum bencana.1 Akibatnya, komunitas kembali ke zona bahaya dengan dokumen legal yang secara hukum mengizinkan pembangunan kembali. Potensi jangka panjangnya adalah bahwa investasi besar dalam rekonstruksi dan bantuan justru digunakan untuk membangun kembali kerentanan yang sama.1 Tesis ini menunjukkan bahwa selama rantai hukum ini tetap terputus, setiap bencana di masa depan akan terjadi dengan kerentanan yang sama, yang kini didukung oleh legitimasi hukum yang cacat dari sertifikat tanah yang baru dipulihkan.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa menjembatani kesenjangan implementasi yang kritis ini membutuhkan upaya yang terkoordinasi dan multi-lembaga.1 Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, didukung oleh wawasan akademik dari institusi seperti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan partisipasi lapangan dari organisasi seperti KOGAMI.1

https://webapps.itc.utwente.nl/library/papers_2011/msc/la/syahid.pdf

Selengkapnya
Indonesia di Garis Patahan: Mengapa Peta Risiko Bencana Gagal Tercatat di Sertifikat Tanah?
page 1 of 1.299 Next Last »