Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Analisis Mendalam Kerangka Kerja DAPP-MR: Jalan Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Adaptif dan Kompleks
Latar Belakang Intelektual
Penelitian ini membahas kesenjangan kritis dalam bidang Manajemen Risiko Bencana (DRM), di mana pendekatan yang ada—seringkali berfokus pada risiko tunggal dan sektor tunggal —tidak memadai untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin kompleks. Kompleksitas ini didorong oleh risiko yang bersifat majemuk (compounding), interaktif, dan berjenjang (cascading) di berbagai sektor. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) telah secara eksplisit menyerukan perspektif multi-bahaya dan multi-sektoral , namun pendekatan sistematis untuk mendukung DRM yang berorientasi tindakan masih kurang.
Sebagai respons, para peneliti menyesuaikan kerangka kerja yang sudah mapan, Dynamic Adaptive Policy Pathways (DAPP), menjadi DAPP-MR (DAPP for Multi-Risk). DAPP sendiri dikenal karena kemampuannya merancang strategi jangka panjang yang dapat diimplementasikan dan disesuaikan dari waktu ke waktu di bawah berbagai skenario yang tidak pasti (disebut sebagai deep uncertainty). Namun, DAPP asli memiliki keterbatasan dalam menangani kompleksitas dan interdependensi sistem multi-bahaya dan multi-sektor. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyempurnakan kerangka kerja analitis DAPP untuk konteks multi-risiko yang kompleks dan dinamis.
Jalur Logis Temuan
Perjalanan temuan diawali dengan peninjauan literatur untuk mengidentifikasi tiga tema utama yang relevan untuk mengkarakterisasi sistem multi-risiko : 1) Efek interaksi multi-bahaya , 2) Dinamika dan interdependensi sektor , dan 3) Trade-off dan sinergi kebijakan DRM antar sektor dan skala.
1. Memperkaya DAPP dengan Elemen Multi-Risiko
Para peneliti menganalisis kemampuan tujuh langkah analitis DAPP tradisional untuk mengintegrasikan aspek-aspek multi-risiko ini. Mereka menemukan bahwa meskipun DAPP secara inheren dapat mengakomodasi banyak aspek (ditandai dengan tanda bintang pada Tabel 1 dalam makalah), pertimbangan multi-risiko akan meningkatkan secara signifikan jumlah informasi yang dikumpulkan di setiap langkah analitis, khususnya yang berkaitan dengan interaksi bahaya dan kerentanan, serta evaluasi kinerja kebijakan.
Temuan kunci menunjukkan bahwa konsep DAPP tentang Adaptation Tipping Points (ATPs) dan Opportunity Tipping Points (OTPs) dapat secara efektif menangkap implikasi dari interaksi yang ditingkatkan dalam sistem multi-risiko. Misalnya, sinergi antar opsi kebijakan dapat menunda ATP (lingkaran bergerak ke kanan) , sementara trade-off atau efek interaksi multi-bahaya yang memperburuk dampak dapat mempercepat ATP (lingkaran bergerak ke kiri).
2. Usulan Kerangka Bertahap (Staged Framework)
Untuk mengatasi peningkatan kompleksitas informasi dan interkonektivitas antar langkah, para peneliti mengajukan DAPP-MR sebagai penataan ulang dari langkah-langkah DAPP yang ada, memperkenalkan tiga tahap iterasi. Kerangka bertahap ini dirancang untuk memandu integrasi pengetahuan secara bertahap:
Pendekatan bertahap ini dipilih karena dianggap sebagai titik masuk yang paling mudah untuk mengintegrasikan kompleksitas, dimulai dari pemahaman sektoral yang ada.
3. Pengujian Kasus dan Visualisasi
Pengujian menggunakan kasus bergaya (stylized case) yang melibatkan dua sektor (S1, S2) dan dua bahaya yang berinteraksi (H1, H2) menunjukkan bahwa peta jalur terintegrasi penuh (Tahap 3) menjadi terlalu kompleks secara visual dan berpotensi membanjiri pengguna akhir, sehingga kehilangan tujuannya.
Sebaliknya, disimpulkan bahwa scorecard Tahap 3, dikombinasikan dengan peta jalur Tahap 2 (multi-bahaya per sektor), lebih efektif. Ini memungkinkan pemangku kepentingan sektoral untuk membandingkan jalur mereka yang sudah diperhitungkan multi-risiko dengan jalur awal (bahaya tunggal) tanpa harus berurusan dengan kompleksitas gabungan penuh. Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam hal jumlah opsi kebijakan yang tersedia dan waktu ATP/OTP-nya.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah proposal dan argumentasi kerangka kerja DAPP-MR sebagai alat analitis dan langkah awal menuju kerangka kerja yang operasional, integratif, dan interaktif untuk DRM multi-risiko jangka pendek hingga jangka panjang.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun DAPP-MR menunjukkan janji besar sebagai kerangka kerja analitis, para peneliti mengakui sejumlah keterbatasan yang menjadi area terbuka untuk penelitian di masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, arahan riset ke depan harus berfokus pada transisi DAPP-MR dari kerangka kerja analitis menjadi alat operasional yang teruji dalam konteks dunia nyata yang kompleks dan dinamis:
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari bidang Ilmu Sistem Komputasi, Sosiologi Organisasi, dan Ekonomi Regional/Perencanaan Infrastruktur untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dalam konteks yang beragam.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Artikel oleh Mehring, Geoghegan, Cloke, dan Clark (2022), "Going home for tea and medals: how members of the flood risk management authorities in England construct flooding and flood risk management," mengisi kesenjangan penting dalam literatur manajemen risiko banjir. Penelitian ini secara kritis menyelidiki perbedaan cara para anggota otoritas manajemen risiko banjir (FRMA) di Inggris memahami dan mendefinisikan "banjir" dan "manajemen risiko banjir" (FRM), menemukan bahwa perbedaan konstruksi ini secara signifikan menghambat efektivitas kemitraan dan komunikasi dengan komunitas yang berisiko banjir.
Metode yang digunakan adalah analisis tematik dari 30 wawancara semi-terstruktur dengan anggota dari tiga FRMA utama: Environment Agency (13 responden), Lead Local Flood Authorities (LLFA, 9 responden), dan Water Companies (8 responden). Wawancara ini dilakukan antara Desember 2018 hingga Juni 2019, periode yang mencakup peristiwa banjir seperti Badai Ciara dan Dennis. Dengan total 17 tema payung dan 142 sub-tema, studi ini memberikan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas pemahaman kelembagaan.
Jalur Logis Temuan Penelitian
Perjalanan temuan diawali dengan identifikasi pergeseran paradigma FRM di Inggris, dari pertahanan banjir (defending productive land from water) menjadi manajemen risiko banjir (flood risk management) yang berfokus pada keselamatan masyarakat, yang pada akhirnya menanamkan konsep ketahanan (resilience). Namun, artikel ini menunjukkan bahwa konstruksi istilah-istilah kunci, terutama "banjir" dan "FRM," sangat kompleks dan seringkali terjadi disonansi antara pemahaman individu dan kelembagaan.
Konstruksi "Banjir": Fokus 'In-the-Moment'
Penelitian ini menemukan bahwa konstruksi "banjir" oleh FRMA sering kali didominasi oleh dampak yang terjadi 'in-the-moment'—yaitu, peristiwa fisik segera dan akibat langsungnya. Otoritas mengakui bahwa banjir itu "menghancurkan" dan memahami dampak langsung seperti kebutuhan untuk mencuci dan mandi segera setelah banjir.
Namun, pemahaman ini bersifat "satu dimensi" karena kurang menghargai dampak manusia jangka panjang—yaitu, komponen emosional dan psikologis. Meskipun beberapa wawancara mencerminkan apresiasi terhadap dampak kesehatan mental (seperti perilaku pemantauan cuaca kompulsif atau kecemasan saat meninggalkan rumah) , perilaku ini sering dianggap sebagai "irasional" atau "mal-adaptif" oleh otoritas. Mereka gagal memahami bahwa perilaku ini mungkin merupakan mekanisme koping individu untuk mendapatkan kembali sedikit kontrol atas situasi yang tidak terkendali.
Konstruksi "Manajemen Risiko Banjir": Hambatan dan Fragmentasi
Konstruksi FRM lebih individual, dipengaruhi oleh pengalaman kerja responden dan peran organisasi mereka. Tiga faktor utama menjadi pusat konstruksi FRM:
Perbedaan Konstruksi Antar Otoritas
Studi ini menemukan perbedaan yang jelas dalam penekanan tematik antara FRMA:
Perbedaan-perbedaan ini berkontribusi pada fragmentasi tanggung jawab, di mana kemitraan menjadi sulit ketika setiap otoritas memiliki konstruksi yang berbeda tentang apa itu "FRM yang baik" (misalnya, rekayasa versus pengelolaan banjir alami/kolaborasi).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Artikel ini menawarkan kontribusi penting yang melampaui deskripsi semata tentang konstruksi banjir.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifat datanya yang kualitatif, yang kaya akan konteks tetapi tidak dapat digeneralisasikan secara statistik. Wawancara dilakukan di latar belakang konsultasi Strategi FRM Nasional yang baru, yang mungkin telah memengaruhi pernyataan responden. Selain itu, fokus pada pandangan otoritas menyisakan pertanyaan terbuka yang perlu dijawab oleh riset di masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Uji Coba Intervensi Empati Berbasis Pengalaman
2. Analisis Konten Regulasi dan Komunikasi Publik Terhadap Konstruksi 'Ketahanan'
3. Studi Komparatif Kemitraan Bottom-Up dan Top-Down
4. Pemodelan Sistem Fragmentasi Tanggung Jawab dalam Interaksi Komunitas
5. Analisis Kontribusi Pengetahuan Lokal dalam Mengatasi Keterbatasan Pendanaan
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Department for Environment, Food & Rural Affairs (Defra), Environment Agency, dan perwakilan dari National Flood Forum untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan temuan kualitatif ini menjadi perubahan kebijakan yang terukur.
Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Ringkasan Alur Logis Temuan dan Metodologi
Penelitian yang berjudul Nature-Based Restoration Simulation for Disaster-Prone Coastal Area Using Green Infrastructure Effect ini secara eksplisit mengatasi tantangan kritis yang ditimbulkan oleh bencana banjir di kawasan pesisir, sebuah masalah yang semakin parah akibat perubahan iklim dan gangguan dalam sistem sosial-ekologis, seperti meningkatnya area kedap air (impervious areas) di perkotaan. Mengingat keterbatasan struktural dan biaya pemeliharaan yang tinggi dari gray infrastructure (infrastruktur abu-abu) tradisional, studi ini menawarkan suatu pendekatan perencanaan restorasi berbasis alam (nature-based restoration planning) yang inovatif melalui pemanfaatan Infrastruktur Hijau (GI).
Jalur logis perjalanan temuan dimulai dengan penetapan area studi: Haeundae-gu, Busan, Republik Korea, sebuah distrik pesisir padat penduduk yang secara berkala mengalami kerusakan parah akibat topan dan hujan lebat, dengan fokus simulasi pada dampak dari Topan Chaba pada tahun 2016. Tujuannya adalah untuk mengkuantifikasi secara jelas dan terukur efektivitas GI dalam mengurangi luapan air (runoff) dan meningkatkan resiliensi teknik (engineering resilience) sistem perkotaan pasca-bencana.
Metodologi riset ini melibatkan pengumpulan data terperinci mengenai karakteristik lokasi, curah hujan (maksimum 38.3 mm/jam), dan efisiensi reduksi luapan dari tiga jenis GI utama yang diaplikasikan pada permukaan buatan di area urban: atap hijau (green roof), fasilitas penyimpanan infiltrasi (infiltration storage facility), dan perkerasan berpori (porous pavement). Data ini kemudian digunakan untuk membangun model simulasi dinamis (menggunakan Stella Architect) guna menganalisis perubahan dalam kerusakan banjir dan kuantifikasi resiliensi dalam berbagai skenario.
Alur temuan utama difokuskan pada dua skenario utama: pertama, peningkatan bertahap area aplikasi GI total (10%, 20%, dan 30% berdasarkan rasio area biotope Korea); dan kedua, penerapan jenis GI yang berbeda berdasarkan klasifikasi tata ruang (land cover type), yaitu area publik, privat, transportasi, dan industri. Hasil simulasi ini, yang kemudian dinormalisasi menjadi indeks resiliensi, berhasil membandingkan proses restorasi sistem melalui empat properti resiliensi (4R): robustness, redundancy, resourcefulness, dan rapidity.
Data Kuantitatif Deskriptif Kunci
Temuan ini secara umum menunjukkan bahwa efek pengurangan luapan air (runoff) adalah yang paling besar ketika rasio area biotope maksimum 30% diterapkan pada permukaan buatan di area studi. Analisis skenario area ini menghasilkan temuan penting: pada puncak luapan air pertama (sekitar 6 jam setelah topan), pengurangan luapan meningkat signifikan dari 7.6% (aplikasi 10%) menjadi 22.9% (aplikasi 30%). Peningkatan ini menunjukkan hubungan kuat antara perluasan cakupan GI dan kapasitas sistem dalam mengatasi tekanan hidrologi awal.
Lebih lanjut, analisis berdasarkan jenis GI mengungkapkan dinamika temporal yang penting. Dalam area publik, ketika puncak luapan terjadi pada 6 jam, atap hijau menunjukkan efek reduksi luapan tertinggi sebesar 38.8%. Namun, pada puncak luapan kedua, sekitar 9 jam, efek dari fasilitas penyimpanan infiltrasi meningkat menjadi 33.2%, yang menunjukkan bahwa efeknya menjadi semakin signifikan seiring berjalannya waktu pasca-bencana. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru: desain sistem GI yang terintegrasi secara dinamis waktu. Sebaliknya, perkerasan berpori menunjukkan efek reduksi terendah, hanya sebesar 15.3% pada area publik, yang mengindikasikan perlunya inovasi dalam jenis GI ini.
Dari sudut pandang resiliensi, ditemukan bahwa sistem dapat pulih ke keadaan semula setelah penerapan rasio area biotope sebesar 20%. Hal ini menunjukkan adanya titik balik resiliensi pada level intervensi GI tertentu, sebuah temuan penting yang dapat menjadi acuan kuantitatif bagi pengambil kebijakan dalam menentukan target minimum restorasi berbasis alam.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang perencanaan urban, teknik lingkungan, dan manajemen bencana, dengan mentransformasi konsep kualitatif menjadi kerangka kerja kuantitatif yang aplikatif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusi riset ini substansial, penelitian ini juga menggarisbawahi beberapa keterbatasan yang menjadi titik tolak bagi agenda riset masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan yang ada, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk komunitas akademik dan calon penerima hibah, yang menguraikan jalur penelitian ke depan dengan justifikasi ilmiah yang kuat:
1. Desain Sistem Hibrida GI Berbasis Kinerja Temporal
Justifikasi Ilmiah: Hasil simulasi menunjukkan bahwa efek atap hijau paling tinggi pada puncak luapan awal (6 jam), sedangkan fasilitas penyimpanan infiltrasi menjadi lebih efektif pada puncak luapan berikutnya (9 jam). Disparitas temporal ini mengindikasikan bahwa aplikasi GI tunggal tidak akan memberikan perlindungan yang optimal selama seluruh periode bencana.
Arah Riset: Penelitian lanjutan harus merancang dan memodelkan sistem GI hibrida (gabungan) yang mengoptimalkan kinerja reduksi luapan secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Metode riset ini harus melibatkan pemodelan hidrologi yang mengintegrasikan atap hijau yang terhubung langsung ke fasilitas penyimpanan infiltrasi (seperti rainwater gardens atau bioswales). Variabel baru yang dianalisis adalah persentase konektivitas antar-jenis GI dan dampaknya terhadap properti redundancy dan robustness di sepanjang garis waktu 12 jam curah hujan topan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kurva reduksi luapan yang stabil yang melampaui kinerja penerapan GI secara terpisah.
2. Validasi Lapangan Empiris Melalui Living Laboratory Skala Mikro
Justifikasi Ilmiah: Validitas rencana restorasi berbasis alam yang disajikan dalam studi ini, yang didasarkan pada simulasi, sangat bergantung pada pembuktian lapangan. Saat ini, belum ada data yang membuktikan bahwa efisiensi reduksi luapan yang dimodelkan akan terwujud di kondisi fisik aktual Haeundae-gu.
Arah Riset: Riset harus segera berfokus pada tahap validasi empiris. Konteks baru adalah pembentukan living laboratory atau test bed dalam unit yang lebih kecil (misalnya, satu blok perkotaan atau sub-watershed kecil) di distrik Haeundae-gu. Metode penelitian ini adalah eksperimen lapangan jangka panjang yang menerapkan atap hijau, fasilitas infiltrasi, dan perkerasan berpori hingga mencapai target rasio area biotope 30%. Variabel yang diukur secara real-time harus mencakup perbandingan antara volume luapan terukur di lapangan versus prediksi model. Ini akan membuktikan atau menyanggah validitas simulasi dan memberikan data akurat untuk penyesuaian model regional.
3. Inovasi Material untuk Peningkatan Efisiensi Perkerasan Berpori
Justifikasi Ilmiah: Perkerasan berpori terbukti memiliki efek reduksi luapan terendah dibandingkan dengan atap hijau dan fasilitas infiltrasi. Meskipun demikian, perkerasan berpori sangat penting karena merupakan salah satu pilihan GI yang paling mudah diterapkan di area transportasi dan industri yang didominasi jalanan dan lahan parkir. Kinerja yang rendah ini membatasi kontribusi GI secara keseluruhan.
Arah Riset: Penelitian harus bergeser ke ranah inovasi variabel material dan desain struktural. Fokusnya adalah meningkatkan koefisien reduksi perkerasan berpori secara signifikan dari level yang diamati (sekitar 15.3% di area publik). Metode riset dapat berupa pengujian laboratorium dan lapangan terhadap material agregat baru, desain lapisan sub-base yang lebih dalam atau bervariasi, serta teknologi pengelolaan pra-perawatan (seperti penyaringan awal) untuk mencegah penyumbatan pori. Peningkatan kinerja perkerasan berpori adalah kunci untuk memaksimalkan properti resourcefulness di kawasan industri dan transportasi yang sulit diintervensi oleh jenis GI lainnya.
4. Analisis Dinamis Properti Resiliensi 4R Berdasarkan Klasifikasi Tata Ruang
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menunjukkan bahwa penerapan GI meningkatkan resiliensi secara keseluruhan. Namun, setiap jenis tata ruang (publik, privat, industri, transportasi) memiliki kebutuhan pemulihan yang berbeda. Misalnya, area industri mungkin membutuhkan rapidity (kecepatan pemulihan) yang lebih cepat untuk meminimalisir kerugian ekonomi.
Arah Riset: Riset ke depan harus secara eksplisit membedah bagaimana berbagai skema penerapan GI memengaruhi setiap properti 4R (robustness, redundancy, resourcefulness, rapidity) dalam konteks jenis tata ruang yang berbeda. Metode penelitian ini akan melibatkan pengembangan fungsi utilitas yang berfokus pada resourcefulness dan rapidity pasca-bencana, dengan tujuan menentukan kombinasi GI mana (misalnya, hanya fasilitas infiltrasi atau hanya perkerasan berpori di area industri) yang memberikan waktu pemulihan (rapidity) tercepat. Hal ini akan menghasilkan pedoman perencanaan yang ditargetkan untuk mengoptimalkan resiliensi fungsional spesifik per area.
5. Studi Komparatif Global: Rasio Area Biotope dalam Konteks Iklim Berbeda
Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menggunakan rasio area biotope (maksimum 30%) sebagai parameter kuantifikasi GI yang spesifik untuk Korea. Meskipun metrik ini menawarkan dasar kuantitatif yang kuat, transferabilitasnya ke kawasan pesisir rawan bencana di negara lain masih menjadi pertanyaan terbuka.
Arah Riset: Sebuah studi komparatif berskala global diperlukan. Variabel baru yang akan diuji adalah jenis iklim, kondisi tanah, dan kode bangunan yang berlaku di berbagai wilayah pesisir di dunia. Metode riset ini adalah simulasi yang menerapkan metrik kuantifikasi area GI (seperti rasio biotope) yang serupa di berbagai model hidrologi regional (misalnya, di area yang dipengaruhi oleh badai, bukan topan, atau di lokasi dengan curah hujan berbeda). Tujuannya adalah untuk menguji apakah titik balik resiliensi (20%) dan efek reduksi maksimum (30%) yang ditemukan berlaku secara universal atau memerlukan penyesuaian kontekstual.
Prospek Jangka Panjang dan Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini berfungsi sebagai fondasi penting yang menghubungkan upaya reduksi luapan air lokal dengan peningkatan resiliensi sistem jangka panjang. Dengan menunjukkan bahwa intervensi GI yang sederhana pada permukaan buatan dapat mengembalikan sistem ke keadaan semula pasca-bencana (resiliensi kembali ke kondisi awal pada rasio 20%), studi ini meletakkan dasar bagi paradigma baru dalam manajemen bencana pesisir.
Secara jangka panjang, temuan ini mengarahkan pada transformasi infrastruktur urban dari sistem yang rentan (vulnerable) menjadi sistem yang adaptif (adaptive), di mana GI tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika atau ekologis, tetapi sebagai komponen kritis dalam pertahanan sipil. Implementasi perencanaan restorasi berbasis alam yang divalidasi secara kuantitatif ini akan menjadi alat kebijakan yang esensial untuk memitigasi risiko bencana di masa depan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi kebijakan publik (seperti lembaga pemerintah daerah dan nasional), lembaga riset hidrologi, dan badan perencanaan tata ruang urban untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan simulasi akademis menjadi praktik kebijakan yang efektif dan terintegrasi di lapangan.
Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.3390/ijerph20043096)
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Analisis Komprehensif Manajemen Risiko Banjir Air Tanah di Inggris: Sintesis Temuan, Kesenjangan Kritis, dan Arah Masa Depan (Berdasarkan Laporan FRS19217)
Penilaian bukti cepat (REA) ini, yang ditugaskan untuk mendukung National Flood and Coastal Erosion Risk Management Strategy for England (2020), menyajikan pemahaman dasar pertama yang komprehensif mengenai pendekatan saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah.1 Dengan menggabungkan tinjauan literatur peer-reviewed dan grey literature dengan survei ekstensif terhadap 260 pemangku kepentingan dan wawancara mendalam, laporan ini mengidentifikasi alur praktik, keberhasilan lokal, dan, yang paling penting, kesenjangan sistemik yang signifikan.1
Temuan-temuan kunci menunjukkan rantai kegagalan kausal: ambiguitas dalam tata kelola menyebabkan fragmentasi pengumpulan data; kesenjangan data ini menghambat pengembangan model risiko yang andal; kurangnya model risiko membuat peramalan menjadi tidak berkelanjutan; dan semua faktor ini berpuncak pada mitigasi yang reaktif dan kegagalan dalam perencanaan tata ruang.1
Alur Logis Temuan: Sintesis Praktik Manajemen Risiko Banjir Air Tanah Saat Ini
Analisis laporan FRS19217 mengungkapkan alur logis di mana kelemahan pada satu tahap manajemen risiko secara langsung menyebabkan kegagalan pada tahap berikutnya.
1. Akar Masalah: Ambiguitas Tata Kelola (Governance)
Akar dari tantangan manajemen banjir air tanah saat ini terletak pada ambiguitas tata kelola yang diperkenalkan oleh Flood and Water Management Act (FWMA) 2010. Undang-undang ini membagi tanggung jawab, memberikan Environment Agency (EA) peran "strategis" sementara Lead Local Flood Authorities (LLFAs) menerima peran "manajemen".1
Masalah fundamentalnya adalah bahwa banjir air tanah tidak mematuhi batasan yurisdiksi ini. Laporan tersebut menemukan bahwa mengelola banjir air tanah "tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari sumber banjir lainnya".1 Air tanah yang muncul dapat mengalir ke sungai (domain EA) atau membanjiri jaringan drainase (domain LLFA), menciptakan skenario risiko yang kompleks dan tumpang tindih. Ambiguitas tata kelola ini menciptakan kekosongan kepemilikan, di mana tidak ada satu entitas pun yang memiliki tanggung jawab penuh atau sumber daya untuk mengelola risiko yang saling terkait ini, yang mengarah langsung ke kegagalan dalam fungsi-fungsi berikutnya.1
2. Konsekuensi: Kesenjangan Data Sistemik dan 'Under-Reporting'
Konsekuensi paling langsung dari tata kelola yang terfragmentasi adalah kegagalan dalam pengumpulan data. Laporan ini mengidentifikasi bahwa insiden banjir air tanah secara signifikan kurang dilaporkan (under-reported). Hal ini bukan karena insiden tidak terjadi, melainkan karena dua faktor: (1) kurangnya pemahaman tentang mekanisme banjir air tanah di antara otoritas lokal dan masyarakat, dan (2) kesulitan yang melekat dalam "memisahkannya dari sumber banjir lainnya" dalam laporan insiden.1
Laporan tersebut secara tegas menyatakan bahwa "tidak ada sistem atau proses nasional untuk mengumpulkan dan mengkolasi catatan banjir air tanah".1 Apa yang ada bersifat terfragmentasi; LLFAs dan dewan lokal mengumpulkan beberapa catatan, seringkali dalam database GIS, tetapi data penting lainnya disimpan secara terpisah oleh entitas seperti perusahaan air (water companies) dan Highways England dan "seringkali tidak tersedia secara luas".1 Meskipun praktik baik lokal diidentifikasi, seperti portal web 'FORT' yang dikembangkan di Wessex, sistem ini tetap bersifat lokal dan belum diadopsi secara nasional.1 Tanpa data historis yang konsisten dan terpusat, menjadi mustahil untuk memvalidasi model risiko, melatih sistem peramalan, atau memprioritaskan investasi mitigasi secara efektif.
3. Dampak: Fragmentasi Penilaian Risiko (Assessment)
Kesenjangan data historis berdampak langsung pada kemampuan untuk menilai risiko di masa depan. Laporan tersebut menemukan bahwa, tanpa data insiden nasional untuk validasi, pemetaan risiko nasional menjadi sangat menantang. Akibatnya, peta risiko banjir air tanah nasional terbaik yang ada saat ini adalah "produk komersial".1
Hal ini menimbulkan masalah transparansi dan aksesibilitas yang kritis. Karena metodologi peta komersial ini "tidak dapat diakses untuk dinilai secara kuat," menjadi "sulit untuk membuat penilaian yang akurat" tentang kesesuaian dan akurasinya.1 Sebagai hasilnya, otoritas lokal dan perencana terpaksa menggunakan produk yang lebih tua dan kurang akurat—seperti peta 'Areas Susceptible to Groundwater Flooding' (AStGwF) milik Environment Agency, yang hanya merupakan alat penyaringan tingkat tinggi pada grid $1~km^{2}$—atau mereka harus menugaskan studi pemodelan lokal yang mahal dan padat data.1
Praktik ini menciptakan ketidakadilan risiko; wilayah dengan pendanaan dan keahlian yang lebih besar, seperti London dengan peta iPEG-nya, dapat mengembangkan pemahaman risiko yang terperinci 1, sementara wilayah lain yang mungkin menghadapi risiko serupa tertinggal dengan data yang sudah ketinggalan zaman atau tidak memadai.
4. Gejala: Peramalan yang Tidak Berkelanjutan dan Peringatan yang Tidak Pasti
Tanpa model risiko nasional yang terintegrasi dan tervalidasi, peramalan banjir air tanah menjadi aktivitas ad-hoc yang sangat bergantung pada keahlian lokal. Laporan ini menyoroti sistem yang dikembangkan secara lokal, seperti alat peramalan berbasis spreadsheet yang efektif di Wessex dan model CATCHMOD.1
Namun, sistem ini mengungkapkan kerapuhan sistemik. Laporan tersebut menemukan dua kelemahan fatal: pertama, sistem ini "tidak terintegrasi ke sistem nasional" dan "tidak berjalan otomatis." Kedua, mereka "dibiayai oleh waktu staf," sebuah model yang dianggap "tidak berkelanjutan" mengingat tekanan anggaran lainnya.1 Ini menunjukkan bahwa "praktik baik" saat ini menutupi kerentanan yang mendasar: manajemen risiko yang vital bergantung pada pengetahuan institusional beberapa individu kunci, bukan pada infrastruktur nasional yang tangguh.
Lebih lanjut, ada bahaya operasional yang jelas. Laporan tersebut mencatat "ketidakpastian dalam cara peringatan... dikeluarkan dan dihapus." Peringatan banjir seringkali dicabut segera setelah risiko banjir sungai (fluvial) berlalu, mengabaikan fakta bahwa respons air tanah tertunda dan dapat terus menjadi risiko selama berminggu-minggu, sehingga menempatkan publik pada risiko.1
5. Hasil Akhir: Mitigasi Reaktif dan Kegagalan Perencanaan Tata Ruang
Rantai kegagalan—dari tata kelola yang ambigu hingga data yang terfragmentasi, pemetaan yang tidak transparan, dan peramalan yang tidak berkelanjutan—berpuncak pada kelumpuhan tindakan proaktif. Laporan tersebut menemukan "panduan yang sangat terbatas" tentang cara mengembangkan dan menerapkan skema mitigasi banjir air tanah.1
Otoritas manajemen risiko menghadapi "ketidakpastian khusus" mengenai legalitas dan kelayakan opsi mitigasi yang paling jelas: pemompaan. Terdapat kebingungan mengenai "implikasi lisensi" dan "opsi untuk pembuangan" air yang dipompa.1 Kekhawatiran ini beralasan, karena laporan tersebut mencatat bahwa pemompaan di satu lokasi dapat "memperburuk banjir di lokasi lain," misalnya dengan membebani sistem drainase atau sungai.1
Kegagalan paling kritis dari rantai ini terjadi dalam perencanaan tata ruang. Karena risiko tidak dipetakan secara jelas, tidak dipahami secara luas, dan tidak ada solusi mitigasi yang jelas, laporan tersebut menemukan bahwa risiko banjir air tanah "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini adalah kesimpulan yang paling memberatkan: sistem saat ini tidak hanya gagal mengelola risiko yang ada tetapi juga secara aktif menciptakan risiko baru dengan mengizinkan pembangunan di zona bahaya yang tidak teridentifikasi.
Analisis Kritis, Kesenjangan, dan Arah Riset
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari laporan FRS19217 ini adalah penetapan baseline komprehensif pertama untuk manajemen risiko banjir air tanah di Inggris pada era pasca-FWMA 2010.1 Sebelum studi ini, pemahaman tentang masalah ini sebagian besar bersifat anekdotal dan terfragmentasi, terikat pada peristiwa banjir tertentu.
Laporan ini mengubahnya dengan mengadopsi metodologi Rapid Evidence Assessment (REA) yang kuat, yang melampaui tinjauan literatur standar. Laporan ini secara unik mensintesis temuan dari 17 studi peer-reviewed, 37 dokumen grey literature, dan 12 sumber tidak terpublikasi dengan data kualitatif dan kuantitatif primer yang baru.1 Data baru ini berasal dari survei komprehensif terhadap 260 praktisi manajemen risiko dan 6 wawancara semi-terstruktur mendalam dengan para ahli di lembaga-lembaga kunci.1
Dengan melakukan sintesis ini, laporan tersebut berhasil mengangkat banjir air tanah dari sekadar masalah teknis atau hidrogeologis menjadi masalah kegagalan tata kelola yang sistemik dan dapat diidentifikasi. Laporan ini menyediakan dasar bukti yang koheren yang diperlukan untuk membenarkan tindakan kebijakan dan investasi strategis, seperti yang diuraikan dalam rekomendasi Bagian 7.3.1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Laporan ini secara eksplisit mengidentifikasi "kesenjangan dalam pengetahuan, proses, dan data" yang signifikan.1 Kesenjangan ini mewakili keterbatasan utama dari kemampuan Inggris saat ini untuk mengelola risiko ini dan menyoroti pertanyaan-pertanyaan terbuka yang paling mendesak untuk penelitian di masa depan.
1. Kesenjangan Pengetahuan: Kuantifikasi Risiko dan Perubahan Iklim
Tantangan terbesar yang diidentifikasi adalah ketidakpastian mendasar dalam mengukur skala sebenarnya dari risiko tersebut. Peta "kerentanan" (susceptibility) geologis, seperti yang dirinci dalam Tabel 6.7, menunjukkan angka yang sangat besar sehingga tidak dapat ditindaklanjuti secara praktis, seperti 2.981.000 properti residensial di atas endapan superfisial permeabel dan 488.000 di atas akuifer air jernih (clearwater) lainnya.1
Temuan kuantitatif kunci dari laporan yang dikutip (McKenzie dan Ward, 2015) adalah penyaringan data mentah ini. Temuan ini menunjukkan bahwa jumlah properti yang diperkirakan akan terkena dampak dari banjir air tanah saja (bukan hanya berada di area rentan) jauh lebih spesifik, yaitu antara 122.000 dan 289.000 properti.1 Meskipun angka ini lebih kecil, signifikansinya diperkuat oleh temuan kualitatif bahwa banjir air tanah berlangsung lebih lama (seringkali berminggu-minggu atau berbulan-bulan) 1, yang menyebabkan kerugian finansial yang jauh lebih tinggi. Sebuah studi kasus di Hambledon menemukan bahwa kerugian akibat banjir air tanah yang berlangsung lama adalah 240% hingga 360% lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh data kerusakan standar Multi-Coloured Manual (MCM).1
Kompleksitas ini diperparah oleh temuan survei bahwa 72% responden melaporkan banjir air tanah terjadi bersamaan dengan sumber banjir lain (permukaan atau fluvial) 1, yang membuat atribusi risiko, respons darurat, dan klaim asuransi menjadi sangat rumit.
Pertanyaan terbuka terbesar adalah dampak perubahan iklim. Laporan ini secara eksplisit menyatakan bahwa "salah satu kesenjangan bukti terbesar... adalah kurangnya pemahaman tentang bagaimana risiko banjir air tanah akan berubah di masa depan dengan perubahan iklim".1 Kesenjangan ini digarisbawahi oleh data survei, di mana hanya 2% responden (hanya dua individu) yang merasa dapat memperkirakan jumlah properti yang berisiko akibat perubahan iklim di masa depan.1 Ini adalah paradoks inti dari strategi nasional: ambisi FCERM adalah untuk "tempat yang tahan iklim," namun data untuk salah satu komponen risiko utamanya sama sekali tidak ada.
2. Kesenjangan Proses: Tata Kelola dan Keberlanjutan
Pertanyaan terbuka yang mendasar tetap ada mengenai tata kelola: Siapa yang seharusnya memimpin dan mendanai pengelolaan risiko yang tumpang tindih antara yurisdiksi EA dan LLFA?.1 Selain itu, laporan ini mempertanyakan keberlanjutan jangka panjang dari praktik-praktik baik yang ada saat ini. Ketergantungan pada sistem peramalan lokal yang didanai oleh "waktu staf" (bukan anggaran infrastruktur) menunjukkan model yang rapuh yang rentan terhadap pemotongan anggaran atau hilangnya staf kunci.1
3. Kesenjangan Data: Infrastruktur Pencatatan dan Pemetaan
Keterbatasan utama yang mendasari semua kesenjangan lainnya adalah infrastruktur data. Kurangnya "sistem atau proses nasional" untuk pencatatan insiden 1 dan ketergantungan pada peta risiko komersial yang tidak transparan atau peta publik yang sudah ketinggalan zaman 1 menghalangi kemajuan di setiap tahap lainnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Sebagai respons langsung terhadap kesenjangan ini, laporan tersebut menguraikan 25 aktivitas kerja di masa depan.1 Lima rekomendasi berikut, yang diidentifikasi dalam Tabel 7.1 sebagai prioritas 'Tinggi', mewakili jalur kritis untuk mengatasi kegagalan sistemik yang teridentifikasi.1
1. Meninjau dan Mengklarifikasi Tata Kelola (Governance)
Laporan ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang pengaturan tata kelola saat ini, meninjau literatur informal yang ada, dan merekomendasikan protokol standar.1 Justifikasi untuk ini adalah temuan laporan bahwa ambiguitas peran pasca-FWMA 2010 adalah akar penyebab fragmentasi data dan penilaian risiko.1 Metode baru yang diusulkan adalah analisis operasional tentang bagaimana interaksi antar-RMA harus dikelola, terutama ketika berbagai sumber banjir terjadi secara bersamaan.
2. Meningkatkan Proses Pencatatan Insiden secara Konsisten
Direkomendasikan untuk meningkatkan proses pencatatan insiden agar data dapat dibagikan dan digunakan secara konsisten di seluruh organisasi, didukung oleh pelatihan dan panduan baru.1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan under-reporting (kurang pelaporan) yang sistemik.1 Tanpa data dasar yang andal, mustahil untuk memvalidasi model risiko atau membenarkan skema mitigasi. Metode baru harus mencakup panduan teknis untuk membedakan sumber banjir (termasuk pelaporan "sumber ganda") dan mengevaluasi perluasan sistem lokal yang sukses seperti 'FORT' menjadi alat pelaporan nasional.1
3. Menyediakan Data Spasial Risiko Banjir Air Tanah yang Gratis dan Dapat Diakses (Termasuk Perubahan Iklim)
Rekomendasi prioritas tinggi ketiga adalah menyelidiki opsi untuk menyediakan data spasial risiko banjir air tanah yang tersedia secara bebas, yang secara kritis mencakup skenario perubahan iklim.1 Ini adalah respons langsung terhadap temuan bahwa peta nasional saat ini bersifat "komersial" dan tidak transparan 1, dan bahwa data dampak iklim "tidak ada".1 Metode baru ini akan memerlukan program pemodelan nasional yang didanai publik, serupa dengan peta risiko fluvial EA, yang mengintegrasikan data geologi, telemetri lubang bor, dan (yang paling penting) skenario iklim masa depan.
4. Mengembangkan Panduan Implementasi Skema Mitigasi
Laporan ini merekomendasikan pengembangan panduan tentang cara menerapkan skema mitigasi banjir air tanah, baik di tingkat properti maupun skala yang lebih besar (misalnya, desa atau rebound perkotaan).1 Justifikasi untuk ini adalah temuan "panduan yang sangat terbatas" dan "ketidakpastian khusus" seputar legalitas dan efektivitas pemompaan—opsi mitigasi yang paling umum.1 Panduan baru ini harus mencakup kerangka kerja regulasi yang jelas untuk perizinan dan pembuangan air (untuk mencegah pemindahan risiko) dan metodologi biaya-manfaat baru yang secara khusus memperhitungkan durasi banjir yang panjang dan biaya kerusakan yang lebih tinggi.1
5. Mengembangkan Panduan untuk Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning)
Rekomendasi paling mendesak adalah mengembangkan panduan tentang bagaimana banjir air tanah harus dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang dan manajemen pembangunan, termasuk memperluas panduan SuDS (Sistem Drainase Berkelanjutan).1 Justifikasi ilmiahnya adalah temuan kritis bahwa risiko ini "seringkali sama sekali terlewatkan dalam pengajuan aplikasi perencanaan".1 Ini berarti sistem saat ini secara aktif menciptakan risiko baru. Metode baru ini harus melibatkan kolaborasi dengan kementerian perumahan (MHCLG) untuk mengintegrasikan data risiko air tanah ke dalam Strategic Flood Risk Assessment (SFRA) dan memperbarui panduan SuDS untuk memastikan sistem infiltrasi tidak memperburuk level air tanah setempat.1
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Temuan-temuan dalam laporan FRS19217 ini secara kolektif menunjukkan bahwa pendekatan Inggris saat ini terhadap manajemen risiko banjir air tanah—yang bersifat terfragmentasi, reaktif, dan bergantung pada sistem lokal yang tidak berkelanjutan—tidak memadai untuk tantangan saat ini.1 Lebih penting lagi, sistem ini sama sekali tidak siap untuk tantangan masa depan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, di mana kesenjangan pemahaman terbesar saat ini berada.1 Potensi jangka panjang terletak pada pergeseran strategis dari model saat ini menuju kerangka kerja yang terintegrasi, didanai secara nasional, dan proaktif, di mana risiko air tanah diperlakukan dengan tingkat kepentingan yang sama seperti risiko fluvial dan permukaan.
Implementasi rekomendasi yang diuraikan dalam laporan ini melampaui kapasitas satu lembaga. Ini menuntut upaya terkoordinasi. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan panduan baru harus melibatkan kolaborasi erat antara Environment Agency (untuk kepemimpinan strategis dan integrasi sistem nasional), Defra (untuk pendanaan dan arahan kebijakan), dan Lead Local Flood Authorities (LLFAs) (untuk pengumpulan data lokal dan implementasi di lapangan). Selain itu, kemitraan penting dengan Perusahaan Air (Water Companies) (yang mengelola data drainase vital dan aset yang berinteraksi) dan Otoritas Batubara (Coal Authority) (untuk keahlian spesialis dalam rebound air tambang) sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.1
Perencanaan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Analisis Dampak Iklim dan Kebutuhan Adaptasi untuk Jaringan Transportasi Darat ECE
Pendahuluan: Alur Logis Temuan dan Signifikansi Kuantitatif
Laporan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), "Climate Change Impacts and Adaptation for Transport Networks and Nodes," menyajikan analisis metodis tentang kerentanan infrastruktur transportasi darat di wilayah ECE.1 Alur logis dari Bagian I laporan ini 1 membangun argumennya melalui tiga fase yang berbeda.
Pertama, laporan ini melakukan inventarisasi aset, mendefinisikan subjek analisis (Bab 1).1 Ini termasuk pemetaan jaringan infrastruktur kritis seperti E Roads 1, E Rail network 1, jaringan Trans-European Transport Network (TEN-T) 1, Euro-Asian Transport Links (EATL) 1, dan E Waterways.1
Kedua, laporan tersebut menetapkan ancaman (Bab 2).1 Bab ini mengulas tren iklim yang teramati dan proyeksi masa depan untuk parameter-parameter kunci, termasuk suhu, curah hujan, pencairan permafrost, dan kenaikan permukaan air laut, yang secara efektif menguraikan bahaya yang akan dihadapi oleh aset-aset yang diinventarisasi.1
Ketiga, laporan ini melakukan analisis dampak (Bab 3).1 Ini adalah inti metodologis dari laporan, di mana ancaman dari Bab 2 "dihamparkan" (overlayed) secara spasial ke aset dari Bab 1. Laporan ini secara eksplisit menyatakan bahwa ini dilakukan menggunakan pemetaan Geographical Information System (GIS) untuk menyajikan "perspektif awal tentang area risiko potensial".1 Bab 3 merinci metode dan data yang digunakan, terutama berfokus pada enam indeks iklim proksi 1 dan ansambel model iklim regional (EURO-CORDEX) 1 untuk memetakan risiko di seluruh wilayah ECE.
Signifikansi dari analisis "langkah pertama" ini terletak pada data kuantitatif yang dihasilkannya. Proyeksi ini, terutama di bawah skenario emisi tinggi $RCP8.5$ untuk periode 2051-2080 dibandingkan dengan baseline 1971-2000, memberikan gambaran yang jelas tentang tekanan di masa depan.1
Temuan yang paling signifikan berkaitan dengan panas ekstrem. Warm Spell Duration Index (WSDI), sebuah proxy untuk durasi gelombang panas, diproyeksikan meningkat secara substansial. Analisis menunjukkan peningkatan lebih dari 80 hari durasi musim panas di sebagian besar Eropa Selatan dan, yang menarik, juga di Skandinavia. Di hotspot tertentu di Spanyol dan Turki, peningkatannya diproyeksikan melebihi 100 hari tambahan.1 Hal ini diperkuat oleh Very Hot Days (VHD)—didefinisikan sebagai jumlah hari dengan suhu maksimum harian di atas $30^{\circ}C$.1 Di sini, analisis memproyeksikan peningkatan 40 hingga 50 hari VHD per tahun di sebagian besar Eropa Selatan. Untuk bagian Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, dan Turki, proyeksi bahkan lebih parah, menunjukkan 50 hingga 60 hari panas ekstrem tambahan per tahun.1 Temuan ini menunjukkan hubungan kuantitatif yang kuat antara pemanasan global dan peningkatan tekanan panas langsung pada infrastruktur, seperti pembengkokan rel kereta api dan degradasi dini perkerasan aspal.
Sebaliknya, Icing Days (ID), atau hari-hari dengan suhu maksimum di bawah $0^{\circ}C$ 1, menunjukkan "penurunan substansial".1 Di wilayah lintang tinggi dan dataran tinggi seperti Skandinavia dan Pegunungan Alpen, proyeksi menunjukkan 40 hingga 50 hari ID lebih sedikit per tahun.1 Meskipun ini mungkin menyiratkan penghematan pada pemeliharaan musim dingin, laporan tersebut menggunakannya untuk menyoroti risiko yang muncul seperti percepatan pencairan permafrost, yang mengancam stabilitas fondasi jalan dan rel di wilayah utara.1
Proyeksi untuk curah hujan lebih bernuansa. Jumlah hari dengan curah hujan di atas 20mm (R20mm), sebuah proxy untuk hujan lebat, menunjukkan peningkatan sekitar 4 hari per tahun di Eropa Utara dan daerah pegunungan tinggi, tetapi sebenarnya menunjukkan penurunan di Semenanjung Iberia.1 Namun, Jumlah curah hujan maksimum 5 hari berturut-turut (Rx5day), proxy yang lebih baik untuk risiko banjir fluvial, menunjukkan peningkatan umum 10% hingga 20% di sebagian besar Eropa.1 Secara kolektif, data curah hujan ini menunjukkan peningkatan risiko banjir bandang, erosi, dan tanah longsor yang didorong oleh curah hujan di banyak koridor transportasi utama.
Akhirnya, Consecutive Dry Days (CDD), sebuah proxy untuk kekeringan, diproyeksikan meningkat 10 hingga 20 hari di sebagian besar Eropa, dengan peningkatan hingga 30 hari di Iberia dan Turki.1 Temuan ini memiliki implikasi serius untuk transportasi perairan darat, sebuah poin yang divalidasi secara kuat oleh studi kasus Bagian II dari laporan tersebut.1
Studi kasus Sungai Rhine (Bagian II, Bab 2) secara langsung mendukung kekhawatiran atas peningkatan CDD.1 Analisis di sana mencatat bahwa "mayoritas proyeksi iklim menunjukkan situasi aliran rendah yang lebih sering terjadi di paruh kedua abad ke-21".1 Signifikansi sosio-ekonomi dari hal ini digarisbawahi oleh peristiwa aliran rendah bersejarah tahun 2018, yang secara efektif menghentikan navigasi komersial.1
Demikian pula, studi kasus Kanal Kiel (Bagian II, Bab 2) memberikan validasi kuantitatif untuk risiko gabungan dari kenaikan permukaan air laut dan perubahan curah hujan.1 Studi kasus tersebut menemukan bahwa kenaikan permukaan air laut sebesar 55 cm (konsisten dengan skenario $RCP8.5$ akhir abad) akan "mengurangi potensi drainase [kanal] sekitar 40 persen".1 Dikombinasikan dengan peningkatan frekuensi kejadian air rendah yang menghambat drainase 1, kelangsungan operasional salah satu jalur air buatan tersibuk di dunia menjadi sangat diragukan.
Kesenjangan antara proyeksi ini dan kesiapsiagaan saat ini ditekankan oleh studi kasus tentang regulasi kereta api Jerman (Bagian II, Bab 1).1 Dari 1.650 entri regulasi teknis dan standar yang ditinjau, 334 entri—atau 20%—diidentifikasi memiliki "kebutuhan tinggi untuk penyesuaian" terhadap perubahan iklim.1 Temuan kuantitatif ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara standar teknik infrastruktur saat ini dan realitas iklim masa depan yang diproyeksikan oleh model laporan itu sendiri.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari laporan UNECE ini bersifat metodologis. Laporan ini menyajikan kerangka kerja "langkah pertama" pan-regional yang dapat direplikasi untuk penilaian risiko iklim infrastruktur. Ini adalah upaya pertama yang diketahui 1 untuk secara sistematis menerapkan metodologi overlay GIS yang menggabungkan proyeksi iklim regional yang telah di-downscale (khususnya, ansambel EURO-CORDEX 1) dengan inventarisasi aset infrastruktur yang komprehensif dan distandarisasi secara internasional (E Roads, E Rail, TEN-T, dll. 1). Dengan melakukan ini, laporan tersebut beralih dari penilaian kualitatif umum menjadi identifikasi kuantitatif "perspektif awal" dari hotspot risiko geografis.1
Kontribusi signifikan kedua adalah validasi kerangka kerja ini melalui kurasi studi kasus di Bagian II.1 Laporan ini secara cerdas menyusun studi kasus ini untuk mencerminkan alur kerja adaptasi. Bab 1 dari Bagian II 1 tidak berfokus pada dampak, melainkan pada metodologi yang digunakan oleh berbagai negara untuk melakukan penilaian risiko yang lebih dalam. Ini termasuk tinjauan rinci tentang Protokol PIEVC (Public Infrastructure Engineering Vulnerability Committee) Kanada 1, metodologi analisis risiko terperinci yang diterapkan pada jaringan jalan DIR Med Prancis 1, dan penggunaan analisis GIS oleh Polandia untuk mengidentifikasi hotspot banjir.1
Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang (memenuhi Instruksi 9) terletak pada model dua langkah yang secara implisit disajikan oleh laporan ini. Analisis GIS pan-Eropa di Bab 3 (Bagian I) berfungsi sebagai "Langkah 1": alat penyaringan makro untuk mengidentifikasi wilayah dan koridor yang berisiko tinggi dengan cara yang hemat sumber daya. Studi kasus metodologi di Bagian II (Bab 1) kemudian menyajikan serangkaian contoh "Langkah 2" yang divalidasi: metodologi penilaian kerentanan aset yang terperinci dan intensif sumber daya yang dapat diterapkan oleh negara-negara anggota setelah hotspot diidentifikasi oleh "Langkah 1". Potensi jangka panjang dari kontribusi gabungan ini adalah penciptaan kerangka kerja ECE yang terstandarisasi untuk perencanaan adaptasi, di mana analisis makro memicu dan memprioritaskan penilaian teknik mikro yang diperlukan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Kekuatan utama laporan ini juga terletak pada pengakuannya yang jujur dan transparan terhadap keterbatasannya sendiri, yang dirinci dalam bagian "Lessons learned" (Pelajaran yang Diperoleh).1 Keterbatasan ini secara efektif mendefinisikan pertanyaan terbuka yang harus dijawab oleh penelitian di masa depan.
Pertama, laporan tersebut mengakui bahwa identifikasi inventaris aset dan risiko adalah "upaya yang kompleks dan jangka panjang" (Poin a).1 Ini bukanlah penilaian yang konklusif.
Keterbatasan yang lebih kritis adalah "Keterbatasan data" (Poin c).1 Laporan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa "kumpulan data tentang infrastruktur transportasi darat dan penggunaannya... tidak tersedia secara luas di seluruh negara-negara ECE".1 Kesenjangan data aset ini secara fundamental merusak keakuratan setiap analisis overlay GIS, karena satu sisi dari persamaan (aset) tidak lengkap.
Keterbatasan ini diperparah oleh kesenjangan data iklim (Poin d).1 Laporan tersebut mencatat bahwa "Data iklim yang diharmonisasi tidak ada untuk seluruh wilayah ECE." Karena "pendekatan yang berbeda untuk downscaling" digunakan untuk berbagai wilayah (misalnya, Eropa vs Kanada), hasilnya "tidak dapat dibandingkan secara langsung".1 Keterbatasan metodologis ini menghalangi perbandingan risiko yang valid di seluruh wilayah ECE.
Yang paling penting, laporan tersebut mengkritik metodologinya sendiri sebagai tidak memadai untuk pengambilan keputusan akhir (Poin g).1 Dinyatakan bahwa "analisis langkah pertama ini... tidak cukup." Analisis risiko yang sebenarnya, bantah laporan itu, memerlukan "langkah kedua" yang kompleks. Langkah ini harus mempertimbangkan "faktor alam dan antropogenik (seperti geomorfologi, geologi, dan tata guna lahan)" serta "karakteristik individu aset transportasi (seperti usia, kondisi, dan kualitasnya)".1
Secara kolektif, keterbatasan ini menimbulkan pertanyaan terbuka utama: Jika data aset tidak lengkap (Poin c) dan data iklim tidak dapat dibandingkan (Poin d), seberapa andalkah peta hotspot "langkah pertama" yang disajikan dalam Bab 3? Laporan tersebut dengan bijak menghindari klaim berlebihan, menyebut analisisnya sebagai "perspektif awal".1 Laporan ini menggunakan keterbatasan yang diidentifikasi sendiri ini bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai pembenaran ilmiah yang kuat untuk rangkaian rekomendasi penelitiannya di masa depan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan kesenjangan yang diidentifikasi dalam "Lessons learned," laporan tersebut mengusulkan serangkaian rekomendasi penelitian berkelanjutan yang ditargetkan di Bab 4, Bagian II.1 Lima di antaranya sangat penting untuk memajukan bidang ini dari identifikasi risiko ke tindakan adaptasi yang sebenarnya.
1. Harmonisasi Data Aset Infrastruktur (Berdasarkan Rekomendasi (c))
2. Harmonisasi Data Proyeksi Iklim (Berdasarkan Rekomendasi (f))
3. Perluasan Indeks Iklim Spesifik Dampak (Berdasarkan Rekomendasi (g))
4. Pelaksanaan Analisis Kerentanan "Langkah Kedua" (Berdasarkan Rekomendasi (h))
5. Penciptaan Database Pengetahuan Adaptasi (Berdasarkan Rekomendasi (k))
Kesimpulan: Ajakan Kolaboratif untuk Infrastruktur yang Tangguh
Laporan ECE/TRANS/283 ini berfungsi sebagai analisis dasar yang penting sekaligus cetak biru untuk pekerjaan di masa depan. Laporan ini berhasil mengidentifikasi hotspot risiko iklim regional ("langkah pertama") sambil dengan jujur mengakui keterbatasan data dan metodologi yang menghalangi penilaian kerentanan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara negara-negara anggota ECE, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk memastikan data iklim yang terharmonisasi (sesuai Rekomendasi f), dan lembaga-lembaga ahli nasional yang telah memelopori metodologi "langkah kedua" yang diperlukan.1 Ini termasuk entitas seperti Transport Canada (dengan Protokol PIEVC), Deutscher Wetterdienst (Jerman), dan Climate Service Center Germany.1 Berbagi keahlian ini (sesuai Rekomendasi i) 1 sangat penting untuk membangun kapasitas regional. Kolaborasi ini harus bertujuan untuk memastikan bahwa temuan-temuan dari analisis "langkah kedua" ini diintegrasikan secara efektif ke dalam proses perencanaan, penganggaran, dan operasional nasional (sesuai Rekomendasi l) 1, untuk menjamin keberlanjutan dan validitas jangka panjang dari jaringan transportasi ECE.
Publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ECE/TRANS/283 eISBN: 978-92-1-004779-1(https://shop.un.org) 1
Perencanaan tata ruang wilayah
Dipublikasikan oleh Raihan pada 18 November 2025
Tinjauan Analitis Integrasi Administrasi Pertanahan dan Manajemen Risiko Bencana di Indonesia
Perjalanan Logis Temuan: Dekonstruksi Kesenjangan Sistemik
Penelitian ini secara metodis bergerak dari penetapan masalah teoretis menuju evaluasi empiris, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara administrasi pertanahan (AP) dan manajemen risiko bencana (MRB).1 Premis awalnya adalah bahwa integrasi antara komponen AP (Tata Ruang Penggunaan Lahan/LUP dan Kadaster) dan komponen MRB (Penilaian Risiko, Pencegahan, dan Mitigasi) sangat penting, namun di lapangan, hubungan ini sering kali "lemah atau tidak ada".1
Sebagai alat analitis, sebuah kerangka penilaian dikembangkan berdasarkan lima elemen kunci: Kebijakan, Pengaturan Organisasi, Data dan Berbagi Data, Keterlibatan Agen Eksternal, dan Dampak pada Lahan.1 Kerangka ini kemudian diterapkan pada dua studi kasus kontras di Indonesia: Padang, yang menghadapi ancaman gempa dan tsunami yang konstan; dan Banda Aceh, yang telah mengalami bencana dahsyat.1
Penerapan kerangka kerja ini secara konsisten menyimpulkan bahwa MRB dan AP belum terintegrasi sepenuhnya di kedua lokasi.1 Kesenjangan yang teridentifikasi berulang kali meliputi ketiadaan atau ketidaksesuaian regulasi, lemahnya mekanisme berbagi data antar lembaga, dan minimnya partisipasi efektif dari masyarakat.1 Secara keseluruhan, dampak dari integrasi parsial ini ditemukan tidak signifikan jika dibandingkan dengan dampak langsung yang ditimbulkan oleh bencana alam itu sendiri.1 Temuan ini mengarahkan ke pertanyaan terbuka tentang adanya "fenomena berbeda" dalam respons komunitas di kedua wilayah pasca-bencana, yang membutuhkan penyelidikan mendalam di masa depan.1
Sorotan Kuantitatif Deskriptif: Bukti Empiris Disartikulasi Risiko-Lahan
Temuan kuantitatif menunjukkan bagaimana bencana alam dan kebijakan berbasis risiko mengubah dinamika lahan dan nilai properti:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah identifikasi empiris terhadap Kesenjangan Implementasi Kritis, yang berakar pada kegagalan hukum untuk menghubungkan perencanaan tata ruang dengan administrasi kadaster.1 Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) yang ditetapkan oleh zonasi risiko (melalui LUP) gagal dicatat secara hukum pada sertifikat tanah individual.1 Kegagalan hukum ini membuat rencana mitigasi berbasis risiko tidak dapat ditegakkan di tingkat bidang tanah, suatu temuan yang esensial bagi reformasi kebijakan lahan. Selain itu, penelitian ini memberikan landasan untuk studi komparatif dengan mengidentifikasi adanya "fenomena yang berbeda" dalam respons komunitas antara Padang dan Banda Aceh, yang menyoroti bahwa tanggapan manusia terhadap risiko sangat dipengaruhi oleh konteks (seperti intervensi pasca-bencana dan keterikatan mata pencaharian).1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Analisis empiris ini mengungkap keterbatasan sistemik yang perlu diatasi melalui penelitian lanjutan 1:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan kesenjangan yang ditemukan, berikut adalah lima arah penelitian berkelanjutan yang direkomendasikan 1:
Keterhubungan Temuan dan Potensi Jangka Panjang
Keterhubungan antara temuan-temuan saat ini dan potensi jangka panjang mengarah pada risiko mendalam yang dapat disebut Siklus Penciptaan Kembali Kerentanan. Kegagalan sistemik untuk mencatat Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) dari Rencana Tata Ruang ke dalam Kadaster secara efektif membuat upaya mitigasi tingkat kota tidak berdaya di tingkat bidang tanah individual.1
Siklus ini bekerja sebagai berikut: Setelah bencana, zona risiko tinggi ditetapkan sebagai area terlarang (LUP). Namun, karena tidak adanya pencatatan RRR ini pada sertifikat tanah, program pemulihan pasca-bencana memulihkan sertifikat tanah sebelum bencana.1 Akibatnya, komunitas kembali ke zona bahaya dengan dokumen legal yang secara hukum mengizinkan pembangunan kembali. Potensi jangka panjangnya adalah bahwa investasi besar dalam rekonstruksi dan bantuan justru digunakan untuk membangun kembali kerentanan yang sama.1 Tesis ini menunjukkan bahwa selama rantai hukum ini tetap terputus, setiap bencana di masa depan akan terjadi dengan kerentanan yang sama, yang kini didukung oleh legitimasi hukum yang cacat dari sertifikat tanah yang baru dipulihkan.
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa menjembatani kesenjangan implementasi yang kritis ini membutuhkan upaya yang terkoordinasi dan multi-lembaga.1 Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, didukung oleh wawasan akademik dari institusi seperti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan partisipasi lapangan dari organisasi seperti KOGAMI.1
https://webapps.itc.utwente.nl/library/papers_2011/msc/la/syahid.pdf