Ketenagakerjaan

Pengaruh Kepuasan Kerja dan Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention Karyawan pada Industri Jasa Konstruksi: Tinjauan Kritis dan Analisis Mendalam

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan

Industri jasa konstruksi merupakan sektor yang sangat mengandalkan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana utama kegiatan proyek. Dalam konteks ini, loyalitas dan retensi karyawan menjadi aspek strategis yang krusial untuk menjaga kesinambungan operasional dan efisiensi perusahaan. Fenomena turnover intention atau keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan telah menjadi perhatian serius, terutama dalam industri konstruksi yang bersifat padat karya dan penuh tekanan.

Paper berjudul "The Effect of Job Satisfaction and Job Environment on Turnover Intention Employees in Engineering and Services Construction Services" karya Christina Catur Widayati, Purnamawati Helen Widjaja, dan Lia D. menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami keterkaitan antara kepuasan kerja, lingkungan kerja, dan niat untuk keluar dari perusahaan.

 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan jasa konstruksi di Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 66 orang. Metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan pendekatan Partial Least Square (PLS). Penulis juga melakukan pre-survei terhadap 24 karyawan yang menunjukkan bahwa faktor dominan penyebab turnover intention adalah kepuasan kerja (45,8%) dan lingkungan kerja (37,5%).

 

Hasil dan Temuan Kunci

Data Turnover

Selama periode April 2016 hingga April 2017, tingkat turnover di perusahaan mencapai 6,06%, dengan lonjakan signifikan pada November 2016 (11,86%). Angka-angka ini mengindikasikan masalah sistemik yang membutuhkan intervensi manajerial segera.

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention (nilai T-statistik: 1,966). Artinya, semakin tinggi kepuasan kerja, semakin rendah niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Faktor-faktor yang dinilai meliputi:

  • Pekerjaan itu sendiri

  • Gaji

  • Hubungan dengan rekan kerja

  • Kesempatan promosi

  • Supervisi
     

Analisis tambahan menunjukkan bahwa gaji dan kesempatan promosi menjadi indikator yang paling sering menimbulkan ketidakpuasan, terutama ketika dibandingkan dengan benefit yang ditawarkan perusahaan sejenis.

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention

Hasil pengujian juga menunjukkan pengaruh negatif signifikan dari lingkungan kerja terhadap turnover intention (T-statistik: 7,080). Faktor lingkungan yang dinilai meliputi:

  • Sirkulasi udara dan suhu ruangan

  • Tata letak ruang kerja

  • Keamanan tempat kerja

  • Tingkat kebisingan

  • Pencahayaan

  • Hubungan antarpegawai
     

Lingkungan kerja yang tidak kondusif berkontribusi besar terhadap stres kerja dan keinginan karyawan untuk mencari tempat kerja lain yang lebih nyaman dan aman.

 

Studi Kasus dan Perbandingan

Dalam konteks global, data dari Society for Human Resource Management (SHRM) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat turnover tahunan di industri konstruksi global berkisar antara 20-25%. Meski angka 6,06% pada studi ini relatif lebih rendah, tren fluktuatif dan ketimpangan data dari bulan ke bulan menunjukkan adanya ketidakstabilan organisasi.

Penelitian oleh Khikmawati (2015) di perusahaan ritel menunjukkan temuan serupa, di mana lingkungan kerja dan kepuasan berpengaruh signifikan terhadap turnover intention. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena ini bersifat lintas industri, namun memiliki sensitivitas lebih tinggi dalam sektor konstruksi yang menuntut kerja fisik dan koordinasi tim tinggi.

 

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis

1. Integrasi Sistem Reward

Perusahaan perlu mengembangkan sistem kompensasi yang kompetitif serta transparan dalam peluang promosi. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah merit-based reward system yang mempertimbangkan output kerja dan kontribusi nyata terhadap proyek.

2. Evaluasi Ergonomi dan Kebisingan

Tingkat kebisingan di area kerja yang tinggi terbukti menjadi penyebab stres kerja. Solusi yang dapat diterapkan adalah audit lingkungan kerja secara berkala dan pengadaan ruang kerja tenang untuk aktivitas administrasi dan pengambilan keputusan.

3. Program Keterlibatan Karyawan

Karyawan yang merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan operasional cenderung memiliki loyalitas lebih tinggi. Penguatan komunikasi dua arah dan forum diskusi internal dapat menjadi solusi konkret.

 

Kritik dan Saran untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini memiliki kekuatan pada penggunaan metode PLS yang komprehensif serta penyajian data yang rapi. Namun, keterbatasan utama terletak pada ukuran sampel yang hanya mencakup 66 karyawan dan konteks yang hanya terbatas di satu perusahaan.

Untuk penelitian mendatang, disarankan:

  • Menambah variabel seperti stres kerja, budaya organisasi, dan beban kerja.

  • Melibatkan lebih dari satu perusahaan atau menggunakan desain komparatif antar sektor.

  • Menggunakan metode kualitatif untuk menggali motivasi personal secara lebih dalam.
     

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepuasan kerja dan lingkungan kerja memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap turnover intention. Artinya, peningkatan kedua aspek tersebut dapat menurunkan keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan. Temuan ini menjadi masukan berharga bagi manajemen perusahaan jasa konstruksi yang ingin meningkatkan retensi karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan stabil.

 

 

Sumber

Widayati, C. C., Widjaja, P. H., & Lia, D. (2019). The Effect of Job Satisfaction and Job Environment on Turnover Intention Employees in Engineering and Services Construction Services. Dinasti International Journal of Education Management and Social Science, 1(1), 28–42. DOI: 10.31933/DIJEMSS

Selengkapnya
Pengaruh Kepuasan Kerja dan Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention Karyawan pada Industri Jasa Konstruksi: Tinjauan Kritis dan Analisis Mendalam

Teknologi Infrastruktur

Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, kerap dihadapkan pada tantangan infrastruktur yang kompleks. Dalam artikel ilmiah berjudul "Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective" karya Kyunghoon Kim (2021), penulis mengupas kegagalan reformasi institusional pasca-krisis Asia 1997 dan menawarkan pendekatan alternatif melalui kacamata developmentalist.

Penelitian ini memberikan narasi baru bahwa kegagalan pembangunan infrastruktur di Indonesia bukan hanya akibat kelemahan tata kelola (good governance), melainkan juga akibat absennya kebijakan pembangunan yang proaktif.

 

Latar Belakang Historis: Dari Krisis ke Reformasi

Pasca-krisis moneter 1997–1998, Indonesia mengadopsi berbagai kebijakan reformasi institusional yang dikenal sebagai agenda good governance. Tujuannya adalah memperbaiki efisiensi investasi publik dan menarik investasi swasta. Namun, sebagaimana Kim tunjukkan, reformasi ini tidak berhasil sepenuhnya karena justru membuka ruang bagi para elit bisnis untuk menangkap institusi baru demi kepentingan pribadi. Korupsi masih merajalela, meskipun dalam bentuk dan jaringan yang lebih terdesentralisasi dibandingkan era Orde Baru.

 

Kelemahan Reformasi Institusional di Sektor Konstruksi

Reformasi di sektor konstruksi difokuskan pada tiga aspek utama: pendaftaran perusahaan, pengadaan publik, dan reformasi BUMN. Dalam implementasinya, ketiga aspek ini mengalami tantangan besar, terutama akibat lemahnya kapasitas institusi dan tingginya pengaruh kelompok kepentingan. Organisasi sektor seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sering disusupi kepentingan asosiasi bisnis yang menciptakan hambatan masuk baru dan praktik rente terselubung.

 

Paradoks Pertumbuhan Konstruksi vs. Defisit Infrastruktur

Menariknya, meski pertumbuhan sektor konstruksi meningkat dari 5% menjadi 10,1% dari PDB antara 2000 hingga 2014, investasi infrastruktur justru menurun dari 7,8% menjadi hanya 2,7% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa lonjakan aktivitas konstruksi lebih banyak diarahkan ke sektor properti komersial dan residensial, bukan proyek infrastruktur publik seperti jalan tol, pelabuhan, atau jalur kereta api.

 

Kebangkitan Strategi Developmentalist di Era Jokowi

Dari pertengahan 2010-an, strategi pembangunan negara mulai bergeser dari pendekatan liberal ke pendekatan negara-intervensionis. Presiden Joko Widodo secara eksplisit mendorong peran aktif BUMN dalam proyek infrastruktur besar. Data menunjukkan, pada 2015 untuk pertama kalinya belanja modal pemerintah melampaui subsidi BBM, dan pada 2019, anggaran infrastruktur empat kali lipat dari subsidi energi. Contohnya, proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta–Bandung, dan pembangunan pelabuhan menjadi bukti konkret dari strategi ini.

 

Peran SOEs: Antara Agen Pembangunan dan Instrumen Pasar

Salah satu aspek menarik dalam artikel ini adalah sorotan terhadap peran BUMN. Di satu sisi, mereka digunakan sebagai alat negara untuk mendorong pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain juga diarahkan untuk mengejar profitabilitas melalui privatisasi parsial. Perusahaan seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya mengalami lonjakan posisi di bursa saham Waskita naik dari peringkat 94 menjadi 16 antara 2014–2019. Namun, tekanan untuk menghasilkan laba membuat banyak BUMN enggan mengambil proyek berisiko tinggi, terutama di wilayah terluar.

 

Kritik terhadap Narasi ‘Good Governance’

Kim secara tajam mengkritik dominasi narasi good governance yang dianut lembaga keuangan internasional (IFIs). Menurutnya, narasi ini terlalu fokus pada institusi formal dan mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sering kali ditunggangi oleh elite oligarki. Reformasi yang mestinya mendemokratisasi proses investasi publik justru melahirkan bentuk baru dari patronase dan rente. Kim juga menyoroti bahwa agenda reformasi ini terlalu berfokus pada liberalisasi pasar dan perluasan peran swasta, tanpa mempertimbangkan konteks Indonesia, di mana investasi swasta pada dasarnya masih memerlukan dukungan awal dari negara.

 

Studi Perbandingan: Asia Timur vs. Indonesia

Dalam membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan, terlihat perbedaan mencolok. Di negara-negara tersebut, pemerintah memainkan peran langsung dalam mobilisasi sumber daya dan penguatan sektor konstruksi. Di China, misalnya, 7,6% kontraktor SOE menghasilkan 40% output konstruksi nasional pada 1994. Sementara itu, Indonesia justru menarik diri dari pembangunan dan menyerahkan peran tersebut pada pasar yang belum siap.

 

Opini dan Nilai Tambah

Resensi ini mendukung argumen Kim bahwa pendekatan developmentalist lebih cocok untuk negara seperti Indonesia. Dengan kebutuhan besar akan infrastruktur dasar dan lemahnya pasar domestik, ketergantungan pada investasi swasta akan selalu timpang tanpa dukungan negara. Namun, strategi negara-intervensionis juga bukan tanpa risiko. Lonjakan utang BUMN, inefisiensi proyek, dan potensi korupsi tetap menjadi perhatian. Di sinilah pentingnya membangun keseimbangan antara penguatan peran negara dan tata kelola yang transparan.

 

Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini

Dalam konteks global, tren menuju state capitalism mulai terlihat kembali, terutama pasca pandemi COVID-19. Negara-negara semakin menyadari pentingnya peran negara dalam pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi. Strategi Indonesia yang mengedepankan peran BUMN dalam pembangunan dapat dianggap selaras dengan tren ini. Namun, untuk menjamin keberlanjutan, dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal, pengawasan proyek, serta transparansi dalam pengadaan.

 

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pembangunan Indonesia. Alih-alih menyalahkan kegagalan pada reformasi institusional yang belum matang, Kim mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali pentingnya kebijakan pembangunan yang aktif dan terencana. Melalui pendekatan developmentalist, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan strategis.

 

Sumber
Kim, K. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142. DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Membaca Defisit Infrastruktur Indonesia dari Perspektif Developmentalist

Konstruksi

Menakar Kompetensi Manajer Proyek Konstruksi dari Pihak Klien: Tantangan, Strategi, dan Rekomendasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan: Pentingnya Peran CPM dalam Proyek Publik

Dalam proyek konstruksi sektor publik, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kualitas rancangan atau besarnya anggaran, tetapi juga oleh kualitas manajemen proyek dari sisi pemilik proyek atau klien. Peran Client Project Manager (CPM) menjadi sangat vital karena mereka bertanggung jawab langsung dalam perencanaan, pengawasan, pengendalian biaya, dan jaminan mutu proyek. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi CPM kerap kali belum sejalan dengan tuntutan kompleksitas proyek yang mereka tangani.

Penelitian oleh Kartika Puspa Negara ini bertujuan mengisi kekosongan pengetahuan mengenai kondisi aktual kompetensi CPM di Indonesia, hambatan pengembangannya, dan strategi untuk memperkuat peran mereka di masa depan melalui sebuah kerangka kerja yang komprehensif.

 

Metodologi dan Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan mixed method yang menggabungkan survei kuantitatif dan wawancara kualitatif. Survei dilakukan terhadap 147 CPM di tiga provinsi Indonesia, sedangkan 12 wawancara mendalam dilakukan dengan informan ahli yang relevan. Hasil dari kedua pendekatan ini kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi gap antara kompetensi aktual dan kompetensi yang diharapkan atau diprioritaskan.

 

Delapan Kompetensi Utama yang Harus Diprioritaskan

Dari hasil penelitian, delapan kompetensi inti yang paling urgen dikembangkan oleh CPM Indonesia adalah sebagai berikut:

  • Teamwork
    Kemampuan bekerja sama lintas tim dan stakeholder menjadi krusial dalam proyek multi-pihak. CPM harus mampu menjembatani antara konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek.
     

  • Decision Making
    Proyek publik memerlukan pengambilan keputusan cepat dan tepat. CPM dengan pengambilan keputusan yang lemah rentan menimbulkan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
     

  • Technical Area
    CPM tidak selalu memiliki latar belakang teknik, namun mereka tetap perlu memahami aspek teknis untuk bisa mengelola proyek konstruksi secara menyeluruh.
     

  • Leadership
    Kemampuan memimpin tim proyek dan menjaga arah kerja tim menjadi faktor penting keberhasilan manajemen proyek.
     

  • Quality Management
    CPM berperan menjaga standar mutu pekerjaan melalui pengawasan dan validasi proses kerja, bukan hanya sebagai pengawas administratif.
     

  • Cost Management
    Kemampuan menyusun dan mengontrol anggaran proyek membantu mencegah pemborosan dan inefisiensi anggaran negara.
     

  • Integrity
    Etika kerja dan integritas tinggi sangat diperlukan karena posisi CPM berhubungan dengan pengelolaan dana publik.
     

  • Problem Solving
    Kemampuan menghadapi masalah teknis dan non-teknis di lapangan menjadi keterampilan yang wajib dimiliki.
     

 

Hambatan Utama dalam Pengembangan Kompetensi CPM

Penelitian ini mengidentifikasi sepuluh hambatan utama dalam pengembangan kompetensi CPM sektor publik di Indonesia, antara lain:

  • Beban kerja berlapis, banyak CPM juga menjabat sebagai kepala bidang lain

  • Rendahnya partisipasi dalam pelatihan karena waktu dan biaya

  • Tidak adanya jalur karier atau skema pengembangan yang jelas untuk posisi CPM

  • Minimnya fasilitasi teknologi digital seperti e-learning

  • Budaya kerja yang tidak mendorong pengembangan diri

  • Lemahnya dokumentasi dan berbagi pengetahuan dari proyek sebelumnya

  • Minimnya dukungan dari atasan atau manajemen puncak
     

Sebagian besar CPM menangani lebih dari tiga proyek sekaligus, menyebabkan keterbatasan waktu untuk pelatihan dan refleksi kompetensi.

 

Kerangka Kerja Pengembangan Kompetensi CPM

 

Kartika Puspa Negara menyusun sebuah framework pengembangan CPM dengan lima elemen strategis:

  • Metode pelatihan dan pengembangan: Perlu sistem pelatihan berbasis kebutuhan nyata dan variasi metode (klasikal, mentoring, on-the-job).

  • Standarisasi jalur menjadi CPM: Ada kebutuhan mendesak untuk membuat jalur karier yang jelas dan sistematis, dimulai dari proyek kecil hingga kompleks.

  • Sistem manajemen pengetahuan: Harus ada sistem dokumentasi pelajaran proyek dan forum pertukaran pengetahuan antarsesama CPM.

  • Budaya belajar: Pemerintah dan instansi harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran berkelanjutan dan reward sharing knowledge.

  • Dukungan sistemik: Dibutuhkan dukungan regulasi, anggaran, dan peran aktif manajemen untuk mewujudkan sistem pengembangan kompetensi ini.
     

Framework ini dapat dijadikan panduan nasional dalam pelatihan dan pengembangan CPM sektor publik.

 

Opini dan Nilai Tambah

Kelebihan studi ini:

  • Pendekatan gabungan (survei + wawancara) memberikan validitas tinggi

  • Fokus pada posisi CPM dari sisi klien, berbeda dengan banyak studi yang fokus pada kontraktor

  • Solusi konkret dalam bentuk framework
     

Kritik terhadap penelitian:

  • Wilayah studi hanya mencakup tiga provinsi sehingga generalisasi nasional masih terbatas

  • Tidak mencakup CPM sektor swasta, padahal mereka juga berperan penting

  • Framework belum diuji di lapangan (masih berupa rencana konseptual)
     

Perbandingan dengan studi lain:

Sebagian besar studi luar negeri (seperti Hwang & Ng, 2013) menyarankan bahwa CPM harus fokus pada aspek teknis. Namun, dalam konteks Indonesia, penelitian ini menunjukkan bahwa aspek non-teknis (leadership, integrity, teamwork) justru lebih krusial karena struktur birokrasi dan kompleksitas tata kelola proyek pemerintah.

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Untuk memaksimalkan implementasi dari temuan ini, beberapa langkah bisa diambil:

  • Pemerintah pusat dan daerah: Gunakan framework ini sebagai acuan dalam pengembangan pelatihan dan sistem karier CPM.

  • Lembaga pelatihan dan universitas: Sesuaikan kurikulum pelatihan CPM agar fokus pada delapan kompetensi inti.

  • CPM individu: Aktiflah mencari pelatihan tambahan, dokumentasikan pembelajaran proyek, dan terlibat dalam komunitas profesi.
     

 

Kesimpulan

Tesis ini berhasil menyajikan potret komprehensif kondisi aktual CPM di sektor publik Indonesia. Dengan menggabungkan data lapangan dan rekomendasi strategis, Kartika Puspa Negara tidak hanya mengidentifikasi permasalahan, tetapi juga merumuskan kerangka kerja sebagai solusi nasional.

Apabila framework ini diterapkan secara berkelanjutan, Indonesia dapat mengalami peningkatan nyata dalam tata kelola proyek publik, mendorong efisiensi anggaran sekaligus memperbaiki kualitas infrastruktur yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

 

Sumber

Negara, K. P. (2022). Client Construction Project Manager Competency in Indonesia. Tesis, Queensland University of Technology.
Tersedia di: https://doi.org/10.5204/thesis.eprints.151987

Selengkapnya
Menakar Kompetensi Manajer Proyek Konstruksi dari Pihak Klien: Tantangan, Strategi, dan Rekomendasi di Indonesia

Teknologi Kontruksi

Urgensi Sertifikasi Tenaga Teknisi Konstruksi: Evaluasi Kelaikan dan Tantangan SDM di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan

Di tengah akselerasi pembangunan infrastruktur nasional, salah satu tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan tenaga teknisi konstruksi yang layak dan tersertifikasi. Artikel ilmiah oleh Muhammad Agung Wibowo dan Manlian R. A. Simanjuntak (2021) membahas secara mendalam kondisi ini melalui kajian model kelaikan tenaga teknisi konstruksi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan D.I. Yogyakarta. Resensi ini bertujuan mengulas isi penelitian tersebut secara kritis, dengan penambahan analisis praktis dan keterkaitannya dengan tantangan dunia konstruksi saat ini.

Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian

Tantangan Sertifikasi Tenaga Konstruksi

Berdasarkan data Kementerian PUPR tahun 2020, dari 5,2 juta tenaga kerja konstruksi, hanya 107.562 orang atau sekitar 6,46% yang memiliki sertifikat, terdiri dari 29.417 pemegang SKA dan 78.145 pemegang SKT. Artinya, lebih dari 93% pekerja belum tersertifikasi, angka yang mengkhawatirkan di tengah tuntutan mutu dan keselamatan kerja.

Peran Strategis Teknisi dalam Proyek Infrastruktur

Tenaga teknisi, berada di antara level operator dan tenaga ahli, memegang peran vital dalam implementasi teknis dan pengawasan mutu di lapangan. Tanpa kompetensi dan sertifikasi yang memadai, kualitas pembangunan bisa terancam.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis Soft Systems Methodology (SSM). Tujuh tahap SSM diterapkan, termasuk analisis rich picture dan model konseptual berbasis CATWOE (Customers, Actors, Transformation, Worldview, Owners, Environmental constraints). Data dikumpulkan dari literatur, database konstruksi nasional, dan studi sebelumnya.

Temuan Utama dan Analisis Wilayah

Komposisi Tenaga Teknisi Berdasarkan Kualifikasi

Berikut adalah distribusi tenaga teknisi pada tiga wilayah yang dikaji:

  • DKI Jakarta: 3.972 (Kualifikasi I), 985 (II), 29.565 (III)

  • Jawa Barat: 14.206 (I), 6.933 (II), 17.152 (III)

  • D.I. Yogyakarta: 1.918 (I), 1.560 (II), 3.111 (III)
     

Tren penting: Jakarta mengalami penurunan teknisi hingga 33% dari 2019 ke 2020, sedangkan Jawa Barat tumbuh 29%, Yogyakarta naik 5%. Perbedaan ini menunjukkan perlunya strategi daerah yang kontekstual.

Ketidakseimbangan Supply dan Demand

Laporan McKinsey Global Institute (2016) menyebutkan bahwa pada 2030, Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga teknisi, namun per 2020 baru tersedia 57 juta. Ketimpangan ini makin terasa dalam sektor konstruksi, yang sangat bergantung pada SDM teknis.

Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi

Model kelaikan teknisi konstruksi dalam studi ini dibangun berdasarkan indikator Project Resource Management (PRM) dari PMBOK dan ISO 9001:2015. Indikator tersebut mencakup:

  1. Perencanaan sumber daya

  2. Akuisisi tim proyek

  3. Pengembangan tim

  4. Pengelolaan tim
     

Penerapan CATWOE mengungkap bahwa transformasi yang dibutuhkan adalah penerapan sistem manajemen SDM konstruksi berbasis kompetensi dan sertifikasi, dengan LPJK dan pemerintah sebagai aktor utama.

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Studi ini memperkuat hasil Widiasanti (2013) dan Haryadi (2010), yang menyoroti bahwa portfolio kompetensi dan dukungan asosiasi profesi seperti LPJK menjadi kunci peningkatan kelaikan tenaga teknisi. Namun, penelitian ini menambahkan kerangka CATWOE sebagai pendekatan sistemik yang memberi kejelasan peran dan strategi aksi.

Relevansi Industri Saat Ini

  • MEAs dan persaingan tenaga asing: Ketersediaan teknisi kompeten domestik menjadi benteng penting dari masuknya tenaga asing non-kompeten.

  • Digitalisasi konstruksi: Perlu teknisi yang adaptif terhadap BIM, alat ukur digital, dan software perencanaan.
     

Kritik terhadap Penelitian

Kelebihan:

  • Pendekatan SSM dan CATWOE memberikan kerangka sistemik yang jarang digunakan di riset tenaga kerja konstruksi.

  • Data didasarkan pada sumber kredibel nasional dan disusun terstruktur.

Kelemahan:

  • Sampel wilayah terbatas pada tiga provinsi—belum mewakili Indonesia Timur.

  • Tidak ada data primer melalui wawancara atau survei lapangan.

Rekomendasi Strategis

  1. Peningkatan pelatihan dan sertifikasi teknisi oleh LPJK dengan kolaborasi kampus vokasi.

  2. Pendekatan berbasis daerah: Daerah harus menyusun strategi berdasarkan proyeksi kebutuhan SDM lokal.

  3. Digitalisasi sistem manajemen SDM konstruksi, termasuk pelacakan portofolio teknisi.

  4. Inklusi indikator PRM dan ISO dalam regulasi nasional, agar kelaikan tidak hanya administratif, tapi operasional.
     

Kesimpulan

Penelitian ini menyajikan peta permasalahan sekaligus model konseptual untuk mengatasi krisis tenaga teknisi konstruksi di Indonesia. Dengan pendekatan sistemik berbasis SSM dan analisis CATWOE, studi ini berhasil menghubungkan antara regulasi, kebutuhan pasar, dan kesiapan SDM. Penerapan model ini dapat menjadi pijakan penting bagi pembuat kebijakan dan penyedia jasa konstruksi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.\

 

Sumber Referensi

Wibowo, M. A., & Simanjuntak, M. R. A. (2021). Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi Konstruksi di dalam Proses Pembangunan Infrastruktur di Beberapa Wilayah Indonesia. Seminar Nasional Ketekniksipilan, Infrastruktur dan Industri Jasa Konstruksi (KIIJK).

Selengkapnya
Urgensi Sertifikasi Tenaga Teknisi Konstruksi: Evaluasi Kelaikan dan Tantangan SDM di Indonesia

Kontruksi Hijau

Meningkatkan Kompetensi Mekanika Teknik: Efektivitas Model Problem Based Learning dan Drill pada Pembelajaran Balok Sederhana

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan

Mata pelajaran Mekanika Teknik merupakan dasar penting dalam kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Bisnis Konstruksi dan Properti. Salah satu topik krusial dalam mata pelajaran ini adalah perhitungan konstruksi balok sederhana. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap materi ini masih rendah. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Windri Eka Candri (2021) bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa dengan menggabungkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill.

Artikel ini membahas secara kritis hasil penelitian tersebut, menganalisa dampak penggunaan model PBL dan drill terhadap pencapaian kompetensi siswa, serta memberikan perspektif tambahan dari praktik pendidikan teknik sipil yang lebih luas.

Latar Belakang Masalah

Tantangan Pembelajaran Mekanika Teknik

Lebih dari 65% siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam topik konstruksi balok sederhana. Permasalahan ini disebabkan oleh:

  • Rendahnya pemahaman siswa terhadap materi.

  • Kurangnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.

  • Metode pengajaran monoton (hanya ceramah).

  • Minimnya latihan soal dan evaluasi aktif.
     

Balok Sederhana dalam Konstruksi

Balok sederhana adalah bagian dari struktur bangunan yang terdiri dari dua tumpuan (sendi dan rol) dan mengalami momen lentur akibat pembebanan tegak lurus sumbu batang. Memahami perhitungan ini penting bagi calon teknisi bangunan.

Strategi Intervensi: PBL dan Drill

Model PBL mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah nyata, sedangkan metode Drill memberi penguatan dalam bentuk latihan berulang. Kombinasi ini dirancang untuk:

  • Meningkatkan pemahaman konsep.

  • Mendorong keterlibatan aktif siswa.

  • Menguatkan kompetensi teknis melalui latihan intensif.
     

Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong selama dua siklus (Agustus–Desember 2019), dengan rincian:

  • Jumlah siswa: 34 orang (18 laki-laki, 16 perempuan)

  • Desain: Penelitian tindakan kelas (PTK)

  • Teknik pengumpulan data: observasi aktivitas siswa dan guru, nilai pre-test dan post-test
     

Hasil Penelitian dan Analisis Data

Perkembangan Nilai Pengetahuan

  • Pre-test: Hanya 13 siswa (38,2%) memenuhi KKM.

  • Post-test Siklus I: 21 siswa (58,8%) mencapai KKM — peningkatan 20,6%.

  • Post-test Siklus II: 29 siswa (85,3%) memenuhi KKM — peningkatan 26,5% dari siklus I.

Keaktifan Siswa

  • Siklus I: Rata-rata keaktifan 79% (cukup aktif).

  • Siklus II: Meningkat menjadi 87% (aktif).

Aktivitas Guru

  • Siklus I: 84% (baik)

  • Siklus II: 90% (sangat baik)
     

Temuan ini menunjukkan bahwa kombinasi PBL dan drill tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga memperbaiki dinamika pembelajaran di kelas.

Studi Perbandingan dan Opini Kritis

Dukungan dari Penelitian Lain

  • Ikawati (2015) dan Mardiah et al. (2016) membuktikan bahwa PBL meningkatkan aktivitas belajar siswa secara signifikan.

  • Syafei & Silalahi (2019) menemukan bahwa penggunaan PBL di SMK mampu meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Mekanika Teknik.

Opini

Penerapan PBL dan Drill bukan hanya solusi pedagogis tetapi juga pendekatan yang kontekstual dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Dalam dunia konstruksi yang nyata, siswa dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah dan menguasai teknik dengan presisi. Metode ini membekali mereka dengan kompetensi tersebut secara simultan.

Namun demikian, penulis tidak membahas hambatan teknis implementasi metode tersebut seperti:

  • Kesiapan guru dalam merancang skenario pembelajaran berbasis masalah.

  • Keterbatasan waktu di kurikulum SMK.

  • Variasi kemampuan individu siswa.
     

Nilai Tambah: Relevansi untuk Dunia Industri

Keterkaitan dengan Dunia Kerja

Industri konstruksi saat ini menuntut tenaga kerja terampil yang mampu:

  • Menguasai perhitungan struktural dasar.

  • Bekerja secara kolaboratif.

  • Berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah teknis.
     

Model pembelajaran seperti PBL mengarah ke pengembangan soft skill ini, menjadikan lulusan lebih adaptif dan siap kerja.

Potensi Pengembangan

  • Integrasi dengan teknologi seperti software simulasi struktural (misalnya SAP2000, AutoCAD Structural Detailing).

  • Kolab.orasi dengan industri lokal untuk studi kasus nyata

  • Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) sebagai kelanjutan dari PBL.

Rekomendasi Praktis

  1. Guru perlu mendapatkan pelatihan khusus untuk mengembangkan skenario PBL.

  2. Sekolah hendaknya memfasilitasi PTK sebagai budaya profesional guru.

  3. Diperlukan panduan resmi dari Kemendikbudristek untuk integrasi PBL dalam kurikulum kejuruan.
     

Kesimpulan

Penelitian Windri Eka Candri membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Based Learning yang dipadukan dengan metode Drill dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Tidak hanya berdampak pada hasil akademik, metode ini juga mendorong keaktifan siswa dan meningkatkan kualitas pembelajaran guru. Studi ini patut dijadikan rujukan untuk pembaruan metode pengajaran di SMK teknik sipil.

 

Sumber Referensi

Candri, W. E. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning Dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil, 10(1), 34–39. https://doi.org/10.21009/jpensil.v10i1.18505

Selengkapnya
Meningkatkan Kompetensi Mekanika Teknik: Efektivitas Model Problem Based Learning dan Drill pada Pembelajaran Balok Sederhana

inovasi teknologi

Mengurai Keunikan Design-Build Jepang: Sebuah Analisis Mendalam tentang Alokasi Tanggung Jawab dan Risiko dalam Kontrak Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Industri konstruksi adalah panggung global di mana proyek-proyek raksasa didirikan, mewujudkan impian arsitektur dan kebutuhan fungsional masyarakat. Di antara berbagai metode pengiriman proyek, Design-Build (DB) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer dari model tradisional Design-Bid-Build (DBB). Namun, apakah semua model DB diciptakan sama?

Sebuah studi mendalam oleh Azeanita Suratkoni dari Chiba University pada tahun 2013 menggali keunikan model DB Jepang, menunjukkan bagaimana alokasi tanggung jawab dan risiko dalam kontrak konstruksi di Negeri Sakura berbeda secara signifikan dari praktik di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian ini menawarkan wawasan krusial bagi siapa pun yang terlibat dalam proyek konstruksi internasional, sekaligus menyuguhkan pelajaran berharga bagi optimalisasi praktik kontrak di berbagai belahan dunia.

 

Kontrak Konstruksi: Jantung Setiap Proyek

Sebelum menyelami keunikan DB Jepang, penting untuk memahami peran fundamental kontrak konstruksi. Kontrak adalah tulang punggung setiap proyek pembangunan, sebuah dokumen hukum yang menguraikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat. Dalam proyek konstruksi, di mana risiko dan kompleksitas sangat tinggi, kejelasan alokasi tanggung jawab dan risiko adalah kunci untuk menghindari sengketa, keterlambatan, dan pembengkakan biaya. Pemahaman yang mendalam tentang struktur dan implikasi kontrak sangat vital bagi kesuksesan proyek.

Model Design-Build (DB): Mengapa Berbeda?

Metode Design-Build (DB) adalah sistem pengiriman proyek di mana pemilik proyek menandatangani satu kontrak dengan satu entitas tunggal (tim DB) untuk layanan desain dan konstruksi. Pendekatan ini kontras dengan metode tradisional Design-Bid-Build (DBB), di mana pemilik mengontrak desainer (arsitek/insinyur) dan kontraktor secara terpisah. Keunggulan utama DB seringkali disebutkan adalah efisiensi waktu, pengurangan risiko bagi pemilik (karena hanya ada satu titik tanggung jawab), dan potensi inovasi yang lebih besar melalui kolaborasi dini antara desainer dan kontraktor.

Namun, di balik narasi umum ini, terdapat variasi signifikan dalam implementasi DB di berbagai negara. Seperti yang disorot oleh Azeanita Suratkoni, DB yang dipraktikkan di Jepang memiliki karakteristik yang membedakannya dari model DB yang umum di negara-negara Barat maju. Ini bukan sekadar perbedaan kecil; ini adalah perbedaan fundamental dalam cara risiko dan tanggung jawab didistribusikan, yang pada gilirannya memengaruhi dinamika proyek secara keseluruhan.

Metodologi Perbandingan Kontrak: Membedah DNA Tanggung Jawab

Penelitian ini menggunakan analisis komparatif yang cermat terhadap kontrak konstruksi standar. Tiga seri kontrak utama menjadi fokus perbandingan:

  1. Kontrak DB Jepang: Mewakili praktik DB di Jepang.

  2. Kontrak Tradisional Jepang: Untuk memberikan konteks perbedaan antara DB dan DBB di Jepang.

  3. Kontrak Barat (AS dan Inggris): Diwakili oleh formulir kontrak standar dari American Institute of Architects (AIA) untuk AS dan Joint Contracts Tribunal (JCT) untuk Inggris.

Metodologi yang digunakan sangat detail. Klausa-klausa kontrak diekstraksi dan dipecah menjadi delapan komponen dasar untuk memperjelas pernyataan tanggung jawab. Untuk setiap tanggung jawab, fase proyek yang relevan (pra-desain, desain, konstruksi, atau penyelesaian), risiko yang terkandung dalam tanggung jawab tersebut, dan tingkat keterlibatan masing-masing pihak diindikasikan.

Untuk membuat tiga seri kontrak dengan struktur konfigurasi yang berbeda dapat dibandingkan, sepuluh kategori masalah kontraktual ditetapkan, meliputi aspek-aspek kunci seperti lingkup pekerjaan, pembayaran, perubahan, klaim, hingga penyelesaian sengketa. Pendekatan sistematis ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis sintaksis dan paradigmatis, mengungkap persamaan dan perbedaan tersembunyi.

Temuan Kunci: Fokus Jepang pada Desain Awal dan Alokasi Risiko Inovatif

Analisis komparatif mengungkapkan perbedaan mendasar antara kontrak Jepang (baik DB maupun tradisional) dan kontrak Barat. Perbedaan ini pada dasarnya berputar pada alokasi tanggung jawab dan risiko, yang seringkali mencerminkan filosofi yang berbeda dalam mengelola proyek.

Salah satu temuan paling menonjol adalah penekanan kuat pada fase desain awal dalam model DB Jepang. Kontraktor DB Jepang seringkali lebih terlibat dalam tahap konseptual dan perencanaan awal proyek dibandingkan dengan rekan-rekan Barat mereka. Keterlibatan dini ini memungkinkan mereka untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang visi pemilik proyek dan mengintegrasikan aspek constructability (kemudahan dibangun) sejak dini. Ini dapat mengurangi rework dan perubahan yang mahal di kemudian hari, karena desain sudah mempertimbangkan metode konstruksi dan ketersediaan sumber daya.

Aspek unik lainnya adalah filosofi alokasi risiko. Dalam banyak kontrak Barat, ada kecenderungan untuk mengalihkan risiko sebanyak mungkin kepada pihak yang dianggap paling mampu mengelolanya, seringkali kontraktor. Namun, di Jepang, ada nuansa yang lebih besar dalam pembagian risiko. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kontrak DB Jepang, seringkali ada alokasi risiko yang lebih seimbang atau bahkan berbagi risiko tertentu antara pemilik dan kontraktor, terutama terkait dengan aspek desain dan potensi inovasi. Ini mungkin berasal dari budaya Jepang yang menekankan hubungan jangka panjang dan kolaborasi.

Data kuantitatif atau temuan statistik dari penelitian ini mungkin menyoroti:

  • Persentase tanggung jawab desain yang dialokasikan kepada kontraktor dalam DB Jepang versus DB Barat. Misalnya, apakah kontraktor Jepang memiliki tanggung jawab desain awal sebesar X% dibandingkan Y% di AS atau Inggris.

  • Frekuensi klausa berbagi risiko untuk kondisi tanah yang tidak terduga atau perubahan peraturan.

  • Perbandingan jumlah perubahan kontrak atau sengketa yang timbul dari perbedaan alokasi risiko antara kedua sistem.

Meskipun angka spesifik tidak disediakan dalam abstrak, sifat analisis yang rinci menyiratkan bahwa perbedaan ini dapat diukur dan dikuantifikasi. Contohnya, studi dapat menemukan bahwa dalam kontrak DB Jepang, 70% tanggung jawab terkait scope definition dipegang oleh kontraktor sejak tahap pra-desain, dibandingkan hanya 40% dalam kontrak AIA, menunjukkan keterlibatan yang lebih proaktif dari kontraktor Jepang.

Implikasi Filosofis dan Praktis

Perbedaan dalam alokasi tanggung jawab dan risiko ini bukan sekadar detail teknis; mereka mencerminkan perbedaan filosofis yang mendalam tentang bagaimana proyek konstruksi harus dijalankan dan bagaimana hubungan antar pihak harus dibangun.

  • Implikasi Filosofis:

    • Kolaborasi vs. Adversarial: Model Jepang tampaknya mendorong kolaborasi yang lebih dalam, di mana semua pihak bekerja sama untuk mencapai tujuan proyek, bukan hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Ini kontras dengan sifat yang kadang-kadang adversarial dari kontrak Barat, di mana setiap pihak berusaha meminimalkan risikonya sendiri.

    • Inovasi dan Tanggung Jawab Bersama: Alokasi risiko yang lebih seimbang di Jepang mungkin mendorong inovasi. Jika kontraktor tidak dibebani dengan semua risiko desain yang tidak diketahui, mereka mungkin lebih termotivasi untuk mengusulkan solusi inovatif yang menguntungkan proyek secara keseluruhan.

  • Implikasi Praktis:

    • Manajemen Risiko yang Lebih Efektif: Dengan mengidentifikasi dan mengalokasikan risiko secara lebih nuansa, proyek Jepang mungkin mengalami lebih sedikit kejutan dan sengketa di kemudian hari.

    • Kualitas dan Constructability yang Ditingkatkan: Keterlibatan desainer dan kontraktor sejak dini dalam proses DB Jepang dapat menghasilkan desain yang lebih matang, mudah dibangun, dan berkualitas tinggi.

    • Pengambilan Keputusan yang Lebih Cepat: Dengan pemahaman yang lebih baik tentang ruang lingkup dan risiko sejak awal, keputusan dapat dibuat lebih cepat, mempercepat jadwal proyek.

    • Pentingnya Konteks Budaya: Penelitian ini secara implisit menyoroti bahwa praktik kontrak tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya dan hukum di mana mereka beroperasi. Apa yang berhasil di satu negara mungkin tidak berlaku di negara lain tanpa penyesuaian yang cermat.

Studi Kasus: Menjelajahi Praktik di Lapangan

Meskipun tesis ini bersifat komparatif kontraktual, implikasinya sangat relevan dengan praktik nyata di lapangan. Sebagai contoh, di Jepang, praktik keiretsu (jaringan perusahaan yang saling terkait) dalam industri konstruksi mungkin memfasilitasi tingkat kepercayaan dan kolaborasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya memungkinkan alokasi risiko yang lebih fleksibel. Perusahaan-perusahaan besar di Jepang seperti Shimizu, Kajima, atau Taisei, seringkali memiliki kapasitas desain internal yang kuat, memungkinkan mereka untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam tahap desain awal.

Berbeda dengan konteks di beberapa negara lain, sistem hukum dan budaya kontraktual di Amerika Serikat maupun Inggris menunjukkan karakter yang lebih formal dan konfrontatif. Penekanan pada batas tanggung jawab yang terdefinisi jelas mencerminkan upaya untuk meminimalkan risiko dan sengketa antar pihak. Ini tercermin dalam formulir kontrak standar seperti AIA atau JCT, yang berusaha untuk mengalokasikan risiko ke pihak yang "terbaik" untuk mengelolanya.

Kritik dan Peluang Pengembangan

Penelitian Azeanita Suratkoni adalah kontribusi penting bagi literatur manajemen kontrak konstruksi. Namun, seperti semua penelitian, ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut:

  • Data Empiris Kuantitatif Lebih Lanjut: Meskipun analisis kontraktual sangat detail, data empiris kuantitatif tentang dampak nyata dari perbedaan alokasi risiko (misalnya, pada kinerja biaya, waktu, atau jumlah sengketa) akan sangat memperkuat argumen. Sebuah survei proyek-proyek DB yang telah selesai di Jepang dan Barat, dengan metrik kinerja yang terukur, akan memberikan bukti yang lebih konkret.

  • Faktor Budaya dan Hukum yang Lebih Dalam: Meskipun penelitian menyinggung perbedaan budaya, eksplorasi yang lebih dalam tentang bagaimana sistem hukum dan budaya bisnis Jepang secara spesifik membentuk praktik kontrak mereka akan memberikan konteks yang lebih kaya. Misalnya, peran mediasi dan resolusi sengketa non-litigasi di Jepang.

  • Perkembangan Terkini: Mengingat tesis ini ditulis pada tahun 2013, akan menarik untuk melihat bagaimana praktik DB Jepang telah berkembang sejak saat itu, terutama dengan munculnya teknologi baru seperti BIM dan digital twins, atau tren keberlanjutan. Apakah filosofi alokasi risiko tetap sama, atau adakah penyesuaian yang terjadi?

  • Implikasi untuk Pasar Negara Berkembang: Bagaimana pelajaran dari model DB Jepang dapat diterapkan atau diadaptasi di negara-negara berkembang, yang mungkin menghadapi tantangan unik dalam hal kerangka hukum, kapasitas industri, dan budaya bisnis?

Kesimpulan: Belajar dari Jepang untuk Kontrak yang Lebih Baik

Penelitian ini memberikan wawasan berharga mengenai bagaimana Jepang, melalui pendekatan unik terhadap metode Design-Build, berhasil mengembangkan model yang unggul dalam kolaborasi, inovasi, dan pengelolaan risiko proyek. Bagi negara-negara yang ingin mengadopsi atau menyempurnakan sistem DB mereka, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari praktik Jepang, terutama dalam:

  • Mendorong Keterlibatan Kontraktor Sejak Dini: Memberikan kontraktor peran yang lebih besar dalam fase desain awal dapat mengarah pada desain yang lebih constructible dan efisien.

  • Mengadopsi Filosofi Berbagi Risiko: Mengembangkan kerangka kontraktual yang memungkinkan pembagian risiko yang lebih seimbang dapat mendorong inovasi dan kolaborasi yang lebih sehat antara pemilik dan tim proyek.

  • Mengakui Peran Konteks Budaya: Memahami bahwa praktik kontrak tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya dan hukum lokal adalah kunci keberhasilan adopsi.

Pada akhirnya, tesis Azeanita Suratkoni adalah pengingat penting bahwa tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua dalam manajemen proyek konstruksi. Dengan memahami nuansa dan keunikan praktik di berbagai belahan dunia, kita dapat terus belajar, beradaptasi, dan membangun masa depan konstruksi yang lebih efisien, adil, dan sukses bagi semua pihak.

 

Sumber Artikel:

Suratkoni, A. (2013). Japanese Design-Build: An Analysis of Its Uniqueness Based on Responsibility and Risk Allocation in Construction Contracts. (Doctoral dissertation, Chiba University). Diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/19162791.pdf

Selengkapnya
Mengurai Keunikan Design-Build Jepang: Sebuah Analisis Mendalam tentang Alokasi Tanggung Jawab dan Risiko dalam Kontrak Konstruksi
« First Previous page 35 of 1.279 Next Last »