Teknik Lingkungan

Indonesia Mendorong Investasi Hijau Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 21 Juni 2024


Pemerintah Indonesia mendorong investasi hijau untuk mendukung peralihan energi bersih dan mengurangi emisi karbon demi pembangunan berkelanjutan, menurut seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto, menyoroti pentingnya peralihan ke energi bersih sebagai sebuah jalan bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, pemerintah memperkuat aspek perencanaan dan pengendalian, salah satunya melalui sistem informasi lingkungan Amdalnet.

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan salah satu syarat penting dalam pemenuhan izin usaha.

Justianto menjelaskan bahwa pemerintah juga sedang menjajaki cara-cara untuk meningkatkan nilai ekonomi karbon dalam mengelola emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.

Pasar karbon dan instrumen yang menggunakan nilai ekonomi karbon akan menjadi bagian dari upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Ia menekankan perlunya menciptakan ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan berkeadilan.

"Tentu saja tantangan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup akan terus berkembang," ujar Justianto.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mempersiapkan diri dalam hal teknologi, investasi, dan tata kelola untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan, tambahnya.

Di sektor kehutanan, katanya, KLHK juga memastikan tata kelola yang baik dengan menerapkan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).

Jumlah perusahaan yang tersertifikasi SVLK meningkat dari 2.742 di tahun 2017 menjadi 5.461 di tahun 2023.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Indonesia Mendorong Investasi Hijau Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Teknik Lingkungan

Indonesia: Proyek Nikel Besar yang Mengakibatkan Kerusakan Iklim, Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 20 Juni 2024


Sebuah kompleks industri nikel bernilai miliaran dolar di Maluku Utara dan pertambangan nikel di dekatnya melanggar hak-hak masyarakat setempat, termasuk Masyarakat Adat, menyebabkan deforestasi yang signifikan, polusi udara dan air, dan mengeluarkan sejumlah besar gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU), demikian ungkap Climate Rights International dalam laporan dan video yang dirilis hari ini. 

Laporan setebal 124 halaman tersebut berjudul "Nikel Digali: Kerugian Manusia dan Iklim dari Industri Nikel Indonesia," Climate Rights International mewawancarai 45 orang yang tinggal di sekitar operasi peleburan di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan tambang-tambang nikel di dekatnya di pulau Halmahera. Penduduk setempat menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut, berkoordinasi dengan polisi dan militer Indonesia, telah terlibat dalam perampasan tanah, pemaksaan, dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lainnya, yang mengalami ancaman serius dan berpotensi mengancam kehidupan tradisional mereka.  

Sebagian besar nikel yang diproses di IWIP dan di tempat lain di Indonesia diekspor untuk memenuhi permintaan nikel yang terus meningkat untuk digunakan dalam teknologi energi terbarukan, termasuk baterai untuk kendaraan listrik.  

"Transisi dari mobil bertenaga gas ke kendaraan listrik merupakan bagian penting dari transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, tetapi industri mineral penting yang sedang berkembang tidak boleh melanggengkan praktik-praktik yang kejam dan berbahaya bagi lingkungan seperti yang telah dilakukan selama beberapa dekade oleh industri ekstraktif," ujar Krista Shennum, Peneliti di Climate Rights International. "Produsen mobil global yang memasok nikel dari Indonesia, termasuk Tesla, Ford, dan Volkswagen, harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam kendaraan listrik mereka tidak mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan." 

Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, memasok 48 persen dari permintaan global pada tahun 2022. Di seluruh negeri, kawasan industri nikel besar-besaran, seperti IWIP, sedang dibangun untuk memproses bijih nikel. Meskipun tujuan dari transisi kendaraan listrik adalah untuk mengurangi jejak karbon dari industri otomotif, peleburan di kawasan industri nikel, termasuk IWIP, memiliki jejak karbon yang sangat besar, demikian ungkap Climate Rights International. Alih-alih menggunakan tenaga surya dan angin terbarukan yang melimpah, IWIP telah membangun setidaknya lima pembangkit listrik tenaga batu bara sejak tahun 2018, dengan rencana total dua belas pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Pembangkit-pembangkit tersebut akan menyediakan energi sekitar 3,78 gigawatt per tahun dengan membakar batu bara berkualitas rendah dari Kalimantan, yang merupakan jumlah batu bara yang lebih banyak daripada yang digunakan Spanyol atau Brasil dalam satu tahun. 

Penambangan nikel di daerah tersebut juga merupakan pendorong yang signifikan terhadap deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, dengan total kehilangan sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.  

Masyarakat Adat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam hal-hal yang akan mempengaruhi hak-hak mereka, termasuk hak untuk melakukan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa) sebelum menyetujui proyek apa pun yang mempengaruhi tanah, wilayah, atau sumber daya mereka. Namun, Masyarakat Adat berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak diberitahu tentang tujuan pembebasan lahan atau rincian lain dari proyek tersebut oleh perusahaan pertambangan atau peleburan nikel.  

Masyarakat yang tinggal di Halmahera Tengah dan Timur telah lama bergantung pada sumber daya alam untuk menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sebagai nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu. Laporan tersebut mendokumentasikan bagaimana industri nikel merusak hutan, mengambil alih lahan pertanian, degradasi sumber daya air tawar, dan merusak perikanan, sehingga sulit, bahkan tidak mungkin, untuk meneruskan cara-cara hidup tradisional.  

Menurut Max Sigoro, seorang nelayan Sawai berusia 51 tahun dari desa pesisir Gemaf, di luar IWIP,  

"Sebelum adanya pertambangan, stok ikan melimpah, lautnya jernih. Sekarang, saya tidak bisa menangkap ikan di dekat [IWIP]. Airnya kotor, dan pihak keamanan mengusir kami. Polusi air berasal dari pertambangan. Ada minyak di dalam air dari mesin-mesin. Selain itu, air panas dari pembangkit listrik juga mencemari laut. Terkadang airnya berwarna kemerahan. Kami biasanya mendayung perahu dekat dengan pantai untuk mencari ikan, sekarang kami harus pergi lebih jauh." 

Peta Indonesia. Kotak merah di sekitar Halmahera.

Operasi penambangan dan peleburan nikel mengancam hak penduduk setempat untuk mendapatkan air minum yang aman dan bersih, karena kegiatan industri dan deforestasi mencemari saluran air yang menjadi tumpuan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, demikian ungkap Climate Rights International. Anggota masyarakat juga khawatir bahwa banjir yang semakin sering terjadi berkaitan dengan deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan nikel.  

Kurangnya transparansi atau penyediaan informasi dasar oleh perusahaan dan pemerintah Indonesia memperburuk situasi. Anggota masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses informasi tentang konsekuensi dari polusi industri terhadap kesehatan mereka. Baik IWIP maupun pemerintah Indonesia tidak menyediakan informasi yang dapat diakses oleh publik mengenai kualitas udara dan air bagi penduduk setempat.   

Tanggung jawab pemerintah 

Climate Rights International menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memperkuat hukum dan peraturan untuk meminimalkan dampak penambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat. Pemerintah juga harus memerintahkan perusahaan-perusahaan, serta aparat keamanan pemerintah dan swasta, untuk mengakhiri semua ancaman dan intimidasi terhadap penduduk setempat yang menentang kegiatan di IWIP atau operasi pertambangan terkait.  

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus sepenuhnya menilai, memantau, dan menyelidiki dugaan pencemaran lingkungan dan membuat temuan-temuan dari penyelidikan tersebut tersedia untuk umum dan dapat diakses oleh publik. Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus segera mengakui tanah adat masyarakat adat dan memastikan bahwa perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Pemerintah juga harus segera menghentikan perizinan semua pembangkit listrik tenaga batu bara baru, termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan untuk memasok listrik ke kawasan industri.   

Tanggung jawab perusahaan 

Kerugian terhadap masyarakat lokal dan lingkungan disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP.   

IWIP merupakan perusahaan patungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt, dan Zhenshi Holding Group. Selain ketiga pemegang saham ini, semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di dalam IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV.  

Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun. Selain itu, POSCO telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai $441 juta di IWIP dengan kapasitas produksi 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk sekitar satu juta mobil listrik.  

Tiga pemangku kepentingan utama di IWIP - Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi - harus segera mengambil langkah untuk memperbaiki polusi air dan udara yang disebabkan oleh operasi mereka, dan perusahaan pertambangan nikel harus membuang limbah tambang dengan benar untuk meminimalkan pencemaran lingkungan. Baik IWIP maupun perusahaan pertambangan nikel harus memberikan kompensasi yang penuh dan adil kepada seluruh anggota masyarakat, termasuk Masyarakat Adat, atas tanah mereka dan memastikan bahwa Masyarakat Adat dapat memberikan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) secara penuh sebagaimana diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional.  Perusahaan juga harus terlibat dalam mediasi dengan masyarakat yang terkena dampak di sekitar IWIP mengenai cara terbaik untuk memperbaiki kerugian yang telah disebabkan oleh operasi yang sedang berlangsung.  

Perusahaan-perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, harus segera menggunakan pengaruhnya untuk mendorong para pemasok untuk mengatasi kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan setempat, dan jika perlu, menangguhkan pembelian nikel dari perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. 

Adlun Fikri, seorang aktivis Sawai berusia 29 tahun dari Sagea, menyimpulkan kepada Climate Rights International tentang apa yang dirasakan oleh penduduk setempat tentang IWIP dan pertambangan terkait: 

"Di daerah hulu tempat mereka menambang, mereka merusak hutan, menghancurkan hutan, dan menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Penduduk lokal di sini menanggung biaya untuk ambisi global [nol karbon]. Orang-orang Barat menikmati kendaraan listrik, dan sementara itu kami mendapatkan dampak negatifnya." 

"Membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk mendukung operasi pengolahan nikel dan menggunduli hutan di wilayah yang begitu luas untuk pertambangan nikel adalah solusi iklim yang salah dan tidak dapat diterima," ujar Shennum. "Perusahaan-perusahaan kendaraan listrik harus memastikan rantai pasokan mineral penting mereka bebas dari bahan bakar fosil, dan pemerintah asing - termasuk Amerika Serikat dan negara-negara anggota Uni Eropa - harus memberikan dukungan keuangan untuk transisi energi Indonesia, termasuk untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara ini." 

Disadur dari: cri.org

Selengkapnya
Indonesia: Proyek Nikel Besar yang Mengakibatkan Kerusakan Iklim, Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan

Teknik Lingkungan

Proyek Nikel di Indonesia Merusak Lingkungan dan Hak Asasi Manusia

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 20 Juni 2024


  • Sebuah laporan baru menyoroti pelanggaran hak-hak atas tanah, deforestasi dan polusi yang terkait dengan proyek pertambangan dan pengolahan nikel besar-besaran di pulau Halmahera, Indonesia.
  • Anggota masyarakat menuduh para pengembang Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah melakukan perampasan tanah dan mencemari sungai dan laut.
  • Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa kebijakan nikelnya adalah untuk mendorong energi bersih, namun penambangan logam tersebut telah mengakibatkan setidaknya 5.331 hektar (13.173 acre) deforestasi di Halmahera saja.
  • Laporan ini menyerukan kepada para produsen mobil global yang memasok nikel dari IWIP untuk memberikan tekanan kepada para penambang dan pabrik peleburan untuk mencegah kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia.

Sebuah proyek pertambangan dan pengolahan nikel besar-besaran di pulau Halmahera, Indonesia, telah membabat ribuan hektar hutan, menggusur paksa penduduk setempat, dan mencemari sungai dan laut, serta menghancurkan kehidupan masyarakat adat dalam prosesnya, demikian sebuah laporan baru mengatakan.

Climate Rights International (CRI), sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat, mewawancarai 45 orang yang tinggal di sekitar operasi pertambangan dan peleburan di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) untuk laporan tersebut. Beberapa orang, seperti Maklon Lobe, seorang petani adat Sawai, mengeluhkan bahwa hak-hak mereka telah dilanggar sejak awal, selama proses pembebasan lahan.

Beberapa lainnya mengatakan kepada CRI bahwa mereka tidak diberitahu tentang tujuan pembebasan lahan atau diberi rincian proyek oleh perusahaan pertambangan atau peleburan yang sekarang beroperasi di taman nasional. Hal ini melanggar persyaratan hukum yang mengharuskan perusahaan untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (PADIATAPA) dari masyarakat yang terkena dampak sebelum menyetujui proyek apa pun, demikian menurut peneliti CRI, Krista Shennum.

"Penduduk setempat mengatakan bahwa tanah mereka telah dirampas. Mereka tidak dapat menegosiasikan harga tanah, dan mereka diintimidasi oleh polisi untuk menjual tanah mereka," ujarnya dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2024.

Pembebasan lahan hanyalah salah satu masalah yang dilaporkan oleh penduduk setempat dalam laporan CRI. Mereka juga mengeluhkan penggundulan hutan di tempat perburuan tradisional mereka, pencemaran sungai yang menjadi sumber air mereka, dan pembuangan air panas langsung ke laut, yang membunuh ikan-ikan yang mereka makan.

sumber: news.mongabay.com

'Mereka menggali tanah saya tanpa persetujuan saya'

Maklon, sang petani, memiliki hak legal atas tanah seluas 38 hektar (94 acre) tempat ia menanam kakao, sagu, dan pala. Ketika pengembang IWIP - sebuah konsorsium dari perusahaan-perusahaan Cina Tsingshan Group (dengan 40% saham), Huayou Group (30%) dan Zhenshi Group (30%) - ingin membeli tanahnya, mereka hanya menawarkan 15% dari harga yang ia minta, dan hanya untuk 8 hektar (20 are). Dia mengatakan bahwa dia menolak, berulang kali, dan kemudian menjadi sasaran "kunjungan yang tak terhitung jumlahnya" oleh polisi yang ingin tahu mengapa dia masih bertahan, menurut laporan tersebut.

Ketika Maklon akhirnya setuju untuk menjual, hal itu terjadi dalam sebuah pertemuan yang diadakan di kantor polisi setempat, dengan para pengembang juga menawarkan untuk membiayai pendidikan universitas anak-anaknya. Pada saat itu, para pengembang telah menebang pohon-pohonnya, menutup aksesnya ke tanah miliknya, dan mulai menggali tanahnya.

Pada akhirnya, mereka hanya membayarnya untuk 8 dari 38 hektar, dengan harga yang lebih rendah dari yang telah disepakati, kata Maklon.

"Mereka mengatakan bahwa sisa uangnya dibayarkan kepada orang lain yang mengklaim memiliki tanah tersebut," katanya dalam laporan tersebut. "Perusahaan menggali tanah saya tanpa persetujuan saya, padahal saya yang memilikinya."

Pada bulan Januari 2023, Maklon mengajukan gugatan terhadap IWIP atas kesepakatan tersebut. Ia mengatakan bahwa ia khawatir langkah ini akan berdampak pada keluarganya, termasuk keenam anaknya; ia mengatakan bahwa ia mendengar laporan tentang anak-anak lain yang terputus dari layanan pemerintah karena orang tua mereka menentang IWIP.

"Kami tidak ingin anak-anak kami terpengaruh. Kami bisa saja menang, tapi itu bisa berdampak pada anak-anak kami," kata Maklon. "IWIP memiliki banyak tentakel."

Deforestasi atas nama energi bersih

Kawasan IWIP seluas 5.000 hektar (hampir 12.400 are) berada di garda depan kebijakan pemerintah Indonesia yang berpusat pada industri nikel. Indonesia merupakan produsen terbesar logam ini, yang merupakan komponen utama dalam baterai yang digunakan dalam kendaraan listrik dan aplikasi penyimpanan energi.

Pemerintah telah menagih kebijakan nikelnya sebagai dorongan untuk membangun masa depan energi bersih. Namun, di pulau-pulau seperti Halmahera, penambangan dan pengolahan logam ini mendorong deforestasi dan polusi.

Setidaknya 5.331 hektar (13.173 acre) hutan telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, menurut analisis geospasial yang dilakukan oleh CRI dan AI Research Climate Initiative di University of California, Berkeley.

Bagi anggota masyarakat setempat seperti Arkipus Kone, 56 tahun, dampaknya terhadap mata pencaharian sangat dramatis. Laporan CRI menggambarkan bagaimana Arkipus, seorang pemburu daging semak tradisional, akan berjalan hingga 10 jam ke pedalaman hutan di pulau itu untuk berburu, tinggal di sana selama berminggu-minggu sebelum kembali ke rumah dengan membawa babi hutan atau rusa.

Perburuannya kurang berhasil dalam beberapa tahun terakhir, katanya, dan ia menyalahkan deforestasi yang terkait dengan pertambangan nikel.

"Karena pertambangan, jarang sekali saya bisa menangkap sesuatu. Sebelumnya, saya biasa mendapatkan 1 rusa dan 1 babi hutan per hari. Kemarin, saya tidak dapat apa-apa. Semakin jarang," katanya kepada CRI.

Anggota masyarakat lainnya, Felix Naik, 65 tahun, mengatakan bahwa penggundulan hutan telah mencemari sungai kecil yang selama ini menjadi sumber airnya.

"Ada penggundulan hutan di hulu sungai. Jadi jika hujan turun, sungai berubah menjadi coklat tua dan berlumpur," kata Felix, seraya menambahkan bahwa ia menghindari menggunakan air dari sungai dan harus menggali tiga sumur untuk bertahan hidup. Ia juga membeli air kemasan galon setiap dua atau tiga hari sekali.

sumber: news.mongabay.com Pada musim panas tahun 2023, Sungai Sagea di Halmahera Tengah, Maluku Utara, berubah warna menjadi coklat tua, menandakan bahwa airnya bercampur dengan endapan tanah dari daerah hulu. Penduduk setempat bergantung pada Sungai Sagea untuk kebutuhan air minum. Gambar milik Save Sagea.

'Laut lebih kotor dari sebelumnya'

Kemudian ada pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibangun khusus untuk melayani kawasan industri dan tambang yang haus energi. IWIP telah membangun 11 pembangkit listrik seperti itu, dengan tiga pembangkit listrik lainnya sedang dalam proses pembangunan, menurut data dari Global Energy Monitor. Setelah beroperasi penuh, PLTU ini akan membakar lebih banyak batu bara daripada seluruh negara seperti Spanyol atau Brasil.

Pembangkit-pembangkit listrik tersebut dilaporkan membuang sejumlah besar air panas - buangan dari sistem pendingin mereka - langsung ke laut

"Laut menjadi lebih kotor dari sebelumnya," ujar Hersina Loha, seorang nelayan berusia 56 tahun, kepada CRI. "Saya sering melihat limbah dari IWIP di laut. Semua ikan di dekat IWIP mati, saya sering melihatnya mengambang. Saya pikir itu karena air panas yang berasal dari PLTU. Itu karena mereka membuang air panas langsung ke laut."

Hersina juga melaporkan bahwa ia menemukan "lumpur seperti minyak" saat berada di atas perahunya. "Saya tidak tahu apa yang mereka buang ke laut, tapi saya pikir itu berbahaya bagi ikan atau bahkan kami," katanya, seraya menambahkan bahwa hasil tangkapannya menurun.

Berbagai tuduhan dari anggota masyarakat terdampak yang diwawancarai oleh CRI berpusat pada kegiatan tiga perusahaan tambang yang beroperasi di Halmahera: PT Weda Bay Nickel (WBN), PT First Pacific Mining, dan PT Mega Haltim Mineral.

Dengan konsesi seluas 45.065 hektar (111.358 acre), WBN merupakan penambang nikel terbesar di Halmahera dan memiliki konsesi nikel terbesar kedua di Indonesia. WBN juga memiliki jejak deforestasi terbesar, yaitu 1.456 hektar (3.600 ekar) hutan yang hilang dalam konsesinya pada tahun 2022. WBN merupakan perusahaan patungan antara perusahaan tambang milik negara Indonesia, PT Antam, dan Strand Minerals yang berbasis di Singapura. Strand sendiri merupakan perusahaan patungan antara Tsingshan, yang memiliki 57% saham, dan perusahaan tambang asal Perancis, Eramet, yang memiliki 43% saham lainnya.

CRI menulis surat kepada Eramet, Tsingshan dan WBN untuk menanyakan bagaimana mereka memberikan kompensasi kepada pemilik tanah, termasuk masyarakat adat, atas tanah adat mereka. CRI tidak menerima tanggapan dari Tsingshan maupun WBN, namun Eramet mengatakan bahwa WBN telah mendapatkan izin untuk mengeksploitasi konsesinya, yang terletak di kawasan hutan.

Untuk mendapatkan izin tersebut, WBN harus memenuhi persyaratan yang ketat mengenai kompensasi, rehabilitasi, penanaman kembali, dan pelepasan, kata Eramet. Ia menambahkan bahwa masyarakat setempat tidak memiliki kepemilikan hukum atau adat atas tanah di kawasan hutan tersebut.

sumber: news.mongabay.com Kegiatan penambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara, Indonesia. Foto oleh Christ Belseran / Mongabay Indonesia.

Rekomendasi untuk para pemangku kepentingan

CRI mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk semua pemangku kepentingan, mulai dari IWIP dan semua perusahaan pertambangan dan peleburan di Halmahera, pemerintah Indonesia, hingga perusahaan-perusahaan mobil listrik yang berpotensi mendapatkan sumber nikel dari IWIP. Produsen mobil seperti Tesla, Volkswagen dan Ford memiliki perjanjian dagang dengan produsen nikel yang beroperasi di IWIP.

CRI menyerukan kepada IWIP dan perusahaan-perusahaan pertambangan dan peleburan untuk memberikan kompensasi secara penuh dan adil kepada seluruh anggota masyarakat yang mengalami konflik lahan, serta meminimalisir pencemaran udara, air, dan tanah akibat kegiatan industri. Mereka juga mendesak perusahaan-perusahaan tersebut untuk segera menghentikan pembangunan semua pembangkit listrik tenaga batu bara baru di kawasan industri tersebut.

CRI juga menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan seperti Tesla dan Ford dapat menggunakan kekuatan pembelian mereka untuk menekan perusahaan-perusahaan tambang, pengolah mineral, dan pemasok untuk mengubah praktek-praktek mereka yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia.

Untuk pemerintah Indonesia, CRI mendesak para pembuat kebijakan untuk berhenti mengeluarkan izin-izin untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru, dan untuk memastikan bahwa pertambangan, peleburan dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan hal tersebut tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.

"Apa yang kami lihat adalah bahwa pemerintah Indonesia tidak membela [masyarakat yang terkena dampak]," ujar direktur eksekutif CRI, Brad Adams. "Mereka tampaknya lebih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar."

Pemerintah juga harus meminta pertanggung jawaban dari perwakilan perusahaan atas pelanggaran hak-hak individu dan masyarakat, kata CRI.

"Tidak ada perusahaan yang dapat beroperasi di Indonesia tanpa izin dari pemerintah dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban dari perusahaan-perusahaan tersebut," kata Adams. "Jadi akuntabilitas dimulai dari pemerintah."

Gambar spanduk: Pemandangan udara dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara dan operasi peleburan nikel. Gambar milik Muhammad Fadli untuk CRI.

Disadur dari: mongabay.com

Selengkapnya
Proyek Nikel di Indonesia Merusak Lingkungan dan Hak Asasi Manusia

Teknik Lingkungan

Memetakan Jalan Baru: Kolaborasi Jepang-Indonesia Memperluas Inisiatif Lingkungan Hidup di Berbagai Sektor

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 20 Juni 2024


Menghadapi tantangan lingkungan yang meningkat saat ini, Indonesia dan Jepang mengingatkan kembali Nota Kerja Sama (MoC) tentang Kerja Sama Lingkungan. Pertemuan di Tokyo membahas lebih lanjut mengenai pengendalian polusi, pengelolaan limbah, perubahan iklim, pengelolaan danau, promosi pariwisata, konservasi, dan penegakan hukum - yang diharapkan dapat direalisasikan dalam bentuk aksi nyata. Indonesia juga menggarisbawahi Perlindungan Lingkungan terhadap pertumbuhan bisnis di Indonesia. Standardisasi memainkan peran kunci.

Dalam sebuah acara penting yang diadakan pada tanggal 2 April 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang menyelenggarakan Dialog Lingkungan Tingkat Tinggi, yang bertujuan untuk membina kolaborasi dalam isu-isu lingkungan. Dialog yang diselenggarakan di Tokyo, yang mempertemukan para pemangku kepentingan utama dari kedua negara, menandai tonggak penting dalam kemitraan yang sedang berlangsung.

Dalam dialog tersebut, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Dr. Alue Dohong, menyoroti sejarah kerja sama yang kaya antara Indonesia dan Jepang. Beliau menekankan pentingnya Nota Kerja Sama (MoC) tentang Kerja Sama Lingkungan yang ditandatangani pada bulan Agustus 2022 sebagai bukti komitmen bersama untuk mengatasi tantangan lingkungan. Beliau mencatat bahwa tahap jangka menengah kerja sama ini merupakan saat yang tepat untuk meninjau kemajuan dan mendiskusikan strategi untuk mengimplementasikan MoC secara efektif. Beliau menyatakan keyakinannya bahwa dialog ini akan memperdalam pemahaman antara kedua negara, memperkuat kemitraan mereka, dan membuka jalan bagi kolaborasi yang efektif.

Dialog tersebut mencakup berbagai bidang di bawah MoC, termasuk pengendalian polusi, pengelolaan limbah, perubahan iklim, pengelolaan danau, promosi pariwisata, konservasi, dan penegakan hukum. Beliau memberikan gambaran umum tentang kemajuan dalam pengendalian polusi, menyoroti diskusi tentang rencana manajemen perlindungan kualitas udara dan manajemen kualitas air.

Di bidang perubahan iklim, Dr. Dohong mendesak kedua belah pihak untuk secara aktif mengejar peluang kerja sama. Beliau menekankan komitmen Indonesia untuk memerangi perubahan iklim, termasuk target ambisius untuk mengurangi emisi dan upaya untuk membangun strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon.

Beliau juga membahas kolaborasi dalam pengelolaan bahan berbahaya, mencatat proyek yang sedang berlangsung dengan Jepang dalam pengelolaan merkuri dan menyatakan harapan untuk diskusi lebih lanjut tentang masalah ini.

Menyoroti keterlibatan aktif dalam pengelolaan limbah padat, beliau menyambut baik pembentukan studi kelayakan untuk fasilitas pengolahan limbah berskala besar di daerah BEKARPUR (Bekasi Karawang Purwakarta). Beliau juga menyinggung pembahasan mengenai pengelolaan sampah yang berkaitan dengan bencana dan sampah rumah tangga yang mengandung bahan berbahaya.

Wakil Menteri menekankan pentingnya kelestarian lingkungan dalam mendukung upaya pembangunan Indonesia, terutama dengan adanya investasi asing yang signifikan di Indonesia. Beliau menguraikan peraturan pemerintah yang mewajibkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan menggarisbawahi peran perencanaan lingkungan dalam mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Beliau mengakhiri sambutannya dengan mendesak Jepang untuk menunjukkan kepemimpinan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati global, termasuk kontribusi kepada Global Biodiversity Fund dan dukungan langsung untuk konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Selama dialog berlangsung, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang (MOEJ) secara aktif memberikan informasi terbaru kepada para pemangku kepentingan mengenai perkembangan proyek-proyek yang sedang berjalan termasuk Joint Crediting Mechanism (JCM) dan Kemitraan Implementasi Pasal 6. Konsep dasar dari JCM adalah untuk memfasilitasi penyebaran teknologi dan infrastruktur dekarbonisasi yang mutakhir oleh entitas-entitas Jepang.

Inisiatif ini bertujuan untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pengurangan atau penghapusan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negara-negara mitra. Selain itu, JCM juga bertujuan untuk mendukung pemenuhan Kontribusi yang Diniatkan Secara Nasional (NDC) kedua negara sambil memastikan pencegahan penghitungan ganda melalui penyesuaian yang sesuai.

Implementasi JCM selaras dengan pendekatan kerja sama yang diuraikan dalam Pasal 6 ayat 2 Perjanjian Paris. Saat ini, JCM memiliki kemitraan dengan sekitar 29 negara, termasuk Indonesia. Di bawah payung program pembiayaan JCM, beragam proyek didukung, mencakup bidang-bidang seperti energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan transportasi.

Pembicaraan lingkungan hidup Indonesia-Jepang 2024

Dalam rangkaian pertemuan di Tokyo, Ary Sudijanto, Direktur Jenderal Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyampaikan pesan mengenai Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia - Kebijakan dan Implementasi. Sebagai pembicara utama dalam acara Indonesia-Japan Environmental Talks yang diselenggarakan pada tanggal 4 April 2024, beliau menggarisbawahi dampak signifikan dari UU No. 06 Tahun 2023, yang juga dikenal sebagai UU Cipta Kerja atau Omnimbus Law.

Beliau menekankan bahwa perubahan yang paling menonjol dengan berlakunya undang-undang ini adalah penyederhanaan proses untuk mengeluarkan izin kepada badan usaha, ditambah dengan penguatan perlindungan lingkungan. Sebagai peraturan pelaksana, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 berfokus pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Melalui peraturan ini, beban perlindungan lingkungan hidup bergeser dari badan usaha ke pemerintah. Sebelumnya, perlindungan lingkungan menjadi beban dan tanggung jawab penuh badan usaha/pemrakarsa.  Dengan sistem pengamanan lingkungan yang baru, beban dan tanggung jawab tersebut dibagi antara badan usaha/pemrakarsa dan pemerintah dengan konsep trust but verified.

Sudijanto mengatakan bahwa semua kegiatan ekonomi sebagai mesin pertumbuhan harus dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk menjamin keberlanjutan bentang alam dan bentang laut, yang ditandai dengan lingkungan yang baik dan sehat pada 5 (lima) area fokus, yaitu atmosfer/udara, tanah, air, kelautan dan keanekaragaman hayati.

Ia mendorong pengamanan lingkungan melalui standarisasi lingkungan hidup dan kehutanan di tingkat bentang alam-bentang laut (standar makro) dan tingkat proyek (standar mikro). Seperti standar pencemaran dan kerusakan lingkungan, standar teknologi lingkungan untuk pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, standar pemantauan lingkungan, standar sistem manajemen lingkungan (SML) dan standar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk proyek/kegiatan usaha tertentu.

Sudijanto juga menyebutkan bahwa sistem perlindungan lingkungan hidup yang baru yaitu Amdal berbasis Omnibus Laws juga diterapkan untuk menciptakan pembangunan infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) yang berkelanjutan yang dapat mencegah dampak lingkungan hidup dan melindungi serta memelihara lingkungan hidup. Beberapa standar khusus terkait AMDAL untuk IKN telah dikembangkan dan diimplementasikan.

Hadir dalam pertemuan tersebut beberapa tokoh penting - Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan dan Kebijakan Sektoral, Direktur Pencegahan Dampak Usaha dan Kegiatan Lingkungan, Sekretaris Eksekutif Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, B3, dan Limbah B3, Deputi Direktur Biro Kerjasama Internasional dan Atase Kehutanan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo.

Indonesia-Japan Environmental Talks diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo dan Institute for Global Environmental Strategies (IGES), serta didukung oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk Asosiasi MIDORI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dan Otoritas Ibu Kota Negara (OIKN).

Disadur dari: bsilhk.menlhk.go.id

Selengkapnya
Memetakan Jalan Baru: Kolaborasi Jepang-Indonesia Memperluas Inisiatif Lingkungan Hidup di Berbagai Sektor

Teknik Lingkungan

Di Indonesia, Deforestasi Meningkatkan Bencana Akibat Cuaca Buruk dan Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 20 Juni 2024


Jalan-jalan berubah menjadi sungai berwarna coklat keruh, rumah-rumah hanyut terbawa arus deras dan mayat-mayat terseret lumpur saat terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan setelah hujan lebat menghantam Sumatera Barat pada awal Maret, menandai salah satu bencana alam mematikan terbaru di Indonesia.

Para pejabat pemerintah menyalahkan banjir sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi, namun kelompok-kelompok lingkungan hidup menyebutkan bahwa bencana ini merupakan contoh terbaru dari deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang memperparah dampak cuaca buruk di seluruh Indonesia.

"Bencana ini terjadi bukan hanya karena faktor cuaca ekstrim, tetapi karena krisis ekologi," tulis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam sebuah pernyataan. "Jika lingkungan hidup terus diabaikan, maka kita akan terus menuai bencana ekologis."

Sebuah bukit yang gundul terlihat di dekat daerah yang terkena banjir bandang di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, Indonesia, Kamis, 14 Maret 2024. Di Indonesia, kelompok-kelompok lingkungan hidup terus menunjukkan bahwa deforestasi dan degradasi lingkungan memperburuk dampak bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. (AP Photo/Sutan Malik Kayo)
Sebuah bukit yang gundul terlihat di dekat daerah yang terkena dampak banjir bandang di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, Indonesia, Kamis, 14 Maret 2024. (AP Photo/Sutan Malik Kayo)

Sebagai negara kepulauan tropis yang membentang di sepanjang garis khatulistiwa, Indonesia merupakan rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dengan berbagai satwa liar dan tanaman yang terancam punah, termasuk orangutan, gajah, bunga-bunga raksasa dan bunga-bunga hutan yang bermekaran. Beberapa di antaranya tidak tinggal di tempat lain.

Selama beberapa generasi, hutan juga telah menyediakan mata pencaharian, makanan, dan obat-obatan, serta memainkan peran penting dalam praktik budaya bagi jutaan penduduk asli di Indonesia.

Disadur dari: apnews.com

Selengkapnya
Di Indonesia, Deforestasi Meningkatkan Bencana Akibat Cuaca Buruk dan Perubahan Iklim

Teknik Lingkungan

Pelestarian Lingkungan Menjadi Pertimbangan Bagi Milenial Dan Gen Z Dalam Menentukan Presiden Pada Pemilu 2024

Dipublikasikan oleh Syayyidatur Rosyida pada 20 Juni 2024


Hasil Survei WWF-Indonesia tentang Persepsi Milenial-Gen Z di Seluruh Indonesia terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Visi dan Misi Setiap Calon Presiden pada Pemilu 2024

Isu pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu prioritas penting bagi generasi milenial dan Gen Z dalam memilih calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024. Oleh karena itu, perlu dipahami pandangan mereka terkait rencana kebijakan pelestarian lingkungan hidup para capres dan cawapres. Untuk mengetahui hal tersebut, Yayasan WWF-Indonesia melakukan survei terhadap milenial dan Gen Z di seluruh Indonesia, tujuan dari survei ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai dukungan dan pilihan milenial dan Gen Z terhadap visi, kebijakan, dan komitmen capres dan cawapres yang merefleksikan preferensi dan kebutuhan mereka dalam konteks konservasi lingkungan. Survei ini disusun dengan tiga dimensi utama, yaitu opini atau penilaian terhadap pasangan calon, perilaku memilih, visi lingkungan hidup, dan misi pelestarian lingkungan hidup.

Survei dilakukan pada awal Desember 2023, dengan jumlah responden sebanyak 1365 orang generasi milenial dan Gen Z dengan rentang usia 17-30 tahun yang berdomisili di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Bali, Medan, Jambi, Samarinda, Makassar, dan Jayapura. Profil responden adalah 63 persen perempuan dan sisanya laki-laki, dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dengan mayoritas pendidikan minimal SMA hingga perguruan tinggi, mayoritas pekerjaan karyawan swasta dan mahasiswa.

Hasil survei isu lingkungan terbesar dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan

Survei menemukan bahwa ada lima isu lingkungan utama yang menurut generasi milenial dan Gen Z harus segera diatasi oleh para calon presiden dan wakil presiden mendatang. Mayoritas mengatakan bahwa sampah dan limbah plastik harus segera diatasi (81%), yang kedua adalah masalah penyediaan air bersih dan pembangunan kota hijau (69%), pembatasan polusi industri (66%) dan terakhir adalah perlindungan keanekaragaman hayati, flora dan fauna (58%). Hal ini membuktikan bahwa meskipun mayoritas responden adalah masyarakat perkotaan, mereka tetap menganggap konservasi keanekaragaman hayati itu penting.

Sebanyak 72% menyatakan bahwa mereka terkena dampak dari sampah dan limbah, mengalami sesak nafas akibat penurunan kualitas udara (68%), merasakan penurunan kualitas air (53%), dan 43% merasakan kerusakan ekosistem hutan atau laut.

Misi calon Presiden terkait lingkungan hidup dan pilihan yang disepakati

Pernyataan misi para calon presiden menarik bagi kaum muda, namun sebagian masih belum memahami apa yang mereka maksud. Dari hasil survei, 72% telah mempelajari sebagian visi dan misi masing-masing calon, 22% belum mempelajari sama sekali, dan sisanya 6% telah mempelajari secara lengkap. Ketika ditanya lebih lanjut mengapa mereka belum mempelajarinya, 44% menjawab tidak tahu sumber informasi yang tepat, 27% tidak punya waktu dan 15% menjawab informasi tidak mudah diakses. Pengembangan lebih lanjut dari hasil pertanyaan ini, diperoleh hasil bahwa 75% responden mengaku menemukan perlindungan lingkungan dalam visi dan misi kandidat, namun hampir 40% mengatakan visi dan misi tersebut tidak mudah dipahami.

Hasil survei menunjukkan secara umum 82% responden menyatakan akan memilih capres dan cawapres sesuai dengan visi dan misinya daripada iming-iming hadiah yang ditawarkan kandidat. Hal ini menjadi hal yang perlu digarisbawahi bahwa anak muda tidak mudah dijanjikan hadiah untuk meminta dukungan mereka. Selain itu, 88% setuju untuk memilih kandidat yang memprioritaskan dan menyelesaikan masalah lingkungan. Sebanyak 78% responden menyatakan akan memilih kandidat yang memiliki latar belakang, rekam jejak, dan pengalaman dalam mengelola lingkungan hidup.

Aditya Bayunanda, CEO Yayasan WWF-Indonesia mengatakan, "Kami senang melihat hasil survei ini yang menyatakan bahwa 97% anak muda akan mempertimbangkan untuk memilih calon yang mendukung pelestarian lingkungan, dan itu berarti isu lingkungan hidup menjadi perhatian anak muda. Sebanyak 75% mengaku mengetahui lingkungan hidup dalam visi dan misi para kandidat namun sebanyak 36% tidak memahami maknanya, sehingga ini merupakan kesempatan yang baik bagi para kandidat untuk lebih menjelaskan visi, misi, dan program kerja mereka, terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup dan juga menyusun program-program yang konkret."

Sebanyak 86% responden ingin memilih calon presiden yang dapat menyelesaikan masalah lingkungan dan bencana. Misalnya, memulihkan ekosistem laut dan hutan, menanggulangi sampah dan limbah plastik, serta memiliki program mitigasi bencana yang kuat.

Pendapat mereka tentang sampah dan emisi karbon

Bagaimana dengan pengelolaan sumber daya alam dan limbah? Hasilnya mayoritas (93%) responden akan memilih capres dan cawapres yang dapat mengatasi pengurangan sampah plastik, 89% pengadaan air bersih seperti pembangunan IPAL, pembersihan sungai, pendistribusian air bersih, dan 84% memilih capres dan cawapres yang dapat mendorong percepatan implementasi energi baru terbarukan seperti angin, matahari, panas bumi dan lainnya.

Mayoritas responden memahami tentang emisi karbon, terbukti dengan 92% setuju untuk memilih capres yang memiliki program untuk mengurangi emisi karbon, membatasi polusi industri yang diikuti dengan kota hijau, industri hijau, dan memaksimalkan ruang terbuka hijau (91%). Namun berbanding terbalik, mempercepat implementasi kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon mendapat jawaban rendah (73%), artinya tidak ada korelasi antara mengurangi emisi karbon dengan penggunaan kendaraan listrik.

Bagaimana Informasi Dipaparkan

Hasil survei juga menunjukkan dari mana generasi milenial dan Gen Z mendapatkan informasi. Hasilnya tidak mengejutkan, tetap saja media sosial mencapai angka yang tinggi (73%), ini merupakan data yang baik bagi para kandidat untuk mengkomunikasikan visi dan misi lingkungan hidup melalui media sosial. Data kedua adalah media online (56%) masih diakses untuk mendapatkan informasi, 51% dari youtube, dan 47% dari televisi. Namun yang paling efektif adalah media sosial (41%), televisi (14%) dan YouTube (13%), tatap muka hanya 12%, dan media online hanya 5%.

Yayasan WWF Indonesia mendorong para kandidat ini dalam debat dan kampanye yang tersisa untuk mengkomunikasikan program dan komitmennya kelak dalam menyelamatkan lingkungan dengan gaya komunikasi atau cara berkomunikasi milenial dan gen Z, lebih intensif, gencar, dan mudah dimengerti melalui media sosial dan lebih banyak menggunakan visual. Dan jika terpilih, berjanji untuk menjalankan visi dan misi lingkungan hidup dengan baik.

Disadur dari: www.wwf.id

Selengkapnya
Pelestarian Lingkungan Menjadi Pertimbangan Bagi Milenial Dan Gen Z Dalam Menentukan Presiden Pada Pemilu 2024
« First Previous page 36 of 773 Next Last »