Sumber Daya

Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Pendahuluan: Di Ambang Krisis atau Peluang?

Indonesia berada di titik kritis: laju kerusakan lingkungan meningkat, sementara eksploitasi sumber daya terus berlanjut atas nama pembangunan. Namun, di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang transformatif yang dapat menjadikan negeri ini pionir pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini mengupas laporan Dewan Riset Nasional (DRN) tahun 2003 berjudul Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, dengan parafrase dan analisis tambahan yang lebih relevan untuk konteks masa kini.

Pembangunan Tidak Selalu Berarti Kemajuan

Ketergantungan pada Luar Negeri

Laporan ini mengungkap fakta suram: Indonesia terlalu menggantungkan pembangunan pada pinjaman luar negeri, teknologi asing, dan ekspor bahan mentah. Hal ini menggerus kemandirian dan menciptakan ketergantungan struktural. Data impor beras (2 juta ton), kedelai (1 juta ton), dan gandum (4,3 juta ton) menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan pangan negeri ini.

Pembangunan Belum Berkelanjutan

Menurut DRN, Indonesia mengalami "depresiasi SDA sebesar 17% dari PDB". Sementara itu, tabungan bersih yang diperoleh hanya 15% dari PDB. Artinya, kita kehilangan lebih banyak dari yang kita simpan. Ini adalah indikator pembangunan yang merugikan generasi masa depan.

Konservasi & Rehabilitasi: Misi yang Terlupakan

Eksploitasi Tanpa Reklamasi

Sebanyak 138 izin tambang di hutan lindung ditolak, namun 15 lainnya tetap diizinkan beroperasi karena izin terbit sebelum penetapan kawasan. Dampaknya? Kerusakan ekologis permanen.

Reboisasi yang Tertunda

Dengan laju kerusakan hutan mencapai 2,1 juta ha/tahun dan total kerusakan hingga 43 juta ha, upaya rehabilitasi masih minim. Padahal, dibutuhkan Rp 1,6 triliun untuk menanam ulang 300 ribu ha hutan, namun dana pembangunan hutan hanya Rp 8,3 triliun.

Pendidikan & SDM: Investasi Masa Depan

Minimnya Tenaga Ahli Lingkungan

Kurangnya integrasi pendidikan lingkungan ke semua sektor pembangunan menghambat adopsi prinsip berkelanjutan. Mayoritas tenaga kerja ada di sektor pertanian (44,9%), namun produktivitas dan kontribusinya terhadap PDB sangat kecil (0,4%).

Usulan Pendidikan Lingkungan Terpadu

DRN mendorong pembentukan Sekolah Tinggi Ilmu Lingkungan serta kursus berjenjang dari penyusun AMDAL hingga auditor lingkungan, yang penting untuk memperkuat kapasitas institusional.

Peluang Strategis: Dari SDA ke Nilai Tambah

Masih Mengekspor Mentah

Data menunjukkan Indonesia mengekspor 422 juta kg produk laut, tapi konsumsi protein domestik masih rendah (±4 kg/kapita/tahun). Artinya, rakyat belum mendapatkan gizi cukup dari kekayaan lautnya sendiri.

Optimalisasi SDA: Redesign dan Biosafety

DRN menyarankan prinsip "9R": Reduce, Reuse, Replace, Recycle, dan sebagainya, demi memaksimalkan efisiensi SDA. Biosafety juga penting untuk menghadapi tantangan GMO dan eksploitasi hayati.

Kritik dan Perbandingan

Perlu Integrasi dengan IWRM dan Nexus Pendekatan

Laporan DRN belum membahas integrasi tata kelola air dan energi-pangan (Nexus). Dibandingkan dengan pendekatan seperti IWRM (Integrated Water Resource Management), strategi DRN masih sektoral dan kurang konvergen.

Minimnya Studi Kasus Lapangan

Meskipun ada beberapa data kuantitatif, laporan ini lemah dalam studi kasus atau pembelajaran praktik terbaik dari daerah. Padahal, banyak inovasi lokal yang bisa jadi inspirasi, seperti konservasi partisipatif di Gunung Kidul atau restorasi mangrove di Demak.

Rekomendasi Kebijakan Tambahan

  1. Moratorium Eksploitasi SDA Tanpa Rencana Reklamasi
  2. Insentif Fiskal untuk Industri Berbasis Daur Ulang
  3. Integrasi Pendidikan Lingkungan ke Kurikulum Wajib Nasional
  4. Pendanaan Hijau Daerah Berbasis Nilai Ekosistem
  5. Kewajiban Audit Lingkungan untuk Proyek Skala Besar

Dampak Industri dan Tren Global

  • ESG Investing: Laporan ini bisa menjadi dasar untuk menciptakan indikator ESG lokal.
  • Green Jobs: Potensi 4 juta pekerjaan hijau di sektor pertanian, energi terbarukan, dan daur ulang.
  • Ekonomi Sirkular: Jika rekomendasi DRN dijalankan, Indonesia bisa menghemat Rp 300 triliun/tahun dari pengolahan limbah dan efisiensi SDA.

Kesimpulan: Laporan Lama, Relevansi Baru

Laporan DRN tahun 2003 tetap relevan. Bahkan, dengan krisis iklim dan tekanan populasi saat ini, isinya menjadi semakin mendesak. Namun perlu diperbarui dengan data dan pendekatan terkini. Dengan mengadopsi teknologi, reformasi regulasi, dan partisipasi masyarakat, Indonesia punya peluang emas untuk memimpin transformasi hijau di Asia Tenggara.

 

Sumber: Dewan Riset Nasional. (2003). Tantangan dan Peluang Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Forum Kerja Lingkungan DRN. November 2003.

Selengkapnya
Menghadapi Krisis Lingkungan di Indonesia: Resensi Kritis atas Laporan DRN tentang Pembangunan Berkelanjutan

Sumber Air

Menyelami Tantangan dan Peluang Pengelolaan Air Berkelanjutan di Pulau Kreta

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025


Mengapa Kreta Menjadi Studi Kasus Penting?

Dalam menghadapi krisis udara global yang diperparah oleh perubahan iklim, urbanisasi, dan konsumsi sektor pertanian, studi kasus dari Kreta, pulau terbesar di Yunani menawarkan pelajaran penting. Meski memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 967 mm dan potensi teoritis udara hingga 3.425,89 hm³, pulau ini tetap mengalami kekeringan, eksploitasi udara tanah, dan keterhubungan spasial udara. Artikel dari Tzanakakis dkk. (2020) menyajikan peta tantangan serta peluang inovatif yang ditawarkan Kreta dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.

Iklim dan Topografi: Kekayaan yang Menjadi Tantangan

Variabilitas Curah Hujan

Wilayah barat Kreta menerima curah hujan mencapai 1.179 mm/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah timur yang hanya 675 mm/tahun. Ketimpangan inilah yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan udara, terutama selama musim panas yang kering dan musim dingin yang basah.

Sistem Hidrologi Kompleks

Kreta memiliki sistem air bawah tanah yang luar biasa kompleks, lebih dari 47 mata air berpadu dalam jaringan air tawar, payau, dan bawah laut, sementara akuifer karstiknya menyerap hampir 80% air tanah. Keunikan ini menunjukkan keseimbangan alami yang rapuh, di mana perubahan kecil dapat berdampak besar pada ketersediaan air. Terjadinya intrusi udara laut di wilayah pesisir serta penurunan kualitas udara karena aktivitas pertanian dan industri menjadi perhatian utama.

Ketergantungan pada Air Tanah dan Dampaknya

Pertanian menyerap sekitar 78% dari total penggunaan udara (sekitar 478,39 hm³/tahun), dengan 93% berasal dari udara tanah. Sayangnya, hal ini mendorong penurunan muka air tanah dan mengurangi intrusi garam, terutama di wilayah seperti Lembah Messara dan bagian timur Kreta.

Statistik Kunci:

  • Total udara yang digunakan: 610,94 hm³/tahun
  • Indeks konsumsi udara pertanian: 78,3%
  • Efisiensi irigasi rata-rata: ±80%
  • Air tidak berekening (NRW): melebihi 60% di beberapa daerah, terutama karena kebocoran dan koneksi ilegal.

Peluang Transformasi: Sumber Air Non-Konvensional

Air Limbah Terolah: Potensi Besar yang Belum Termanfaatkan

Dari 99 instalasi pengolahan limbah (IPAL), hanya sekitar 10% air terolah yang dimanfaatkan kembali, meskipun UE menargetkan 6,6 miliar m³/tahun pemanfaatan ulang di seluruh Eropa. Hambatan utama adalah regulasi ketat, pemantauan biaya tinggi, dan penerimaan sosial rendah.

Contoh konkretnya: Hanya 5,45 dari 54,15 hm³ air IPAL digunakan kembali. Padahal jika dimaksimalkan, dapat mengurangi penggunaan pupuk nitrogen hingga 7 kg/ha/tahun.

Air Payau & Desalinasi

Sumber seperti Mata Air Almyros dapat menyediakan 250 hm³/tahun (lebih dari 50% kebutuhan air total Kreta). Namun, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk desalinasi. Upaya pembangunan bendungan setinggi 10 meter gagal mengurangi salinitas, meskipun rencana bendungan setinggi 25 meter diprediksi mampu menghalau intrusi laut sekaligus memasok energi listrik mikrohidro 2,4 MW.

Sementara itu, unit desalinasi di Malevizi telah beroperasi sejak 2014 dengan biaya hanya €0,24/m³. Biaya ini cenderung turun seiring kemajuan teknologi membran.

Tantangan Administratif & Kelembagaan

Hukum air Yunani yang bersandar pada EU Water Framework Directive (2000/60/EC) kerap terbentur implementasi yang lambat, kompetensi tumpang tindih antar lembaga, serta kurang modernisasi sektor pertanian.

Contoh nyata:

  • Koordinasi buruk antar institusi nasional, regional, dan lokal.
  • Tidak ada strategi integrasi sumber air alternatif dalam kebijakan pertanian.
  • Rencana pengelolaan air baru diterbitkan tahun 2015, direvisi 2017, mencakup hanya sebagian masalah aktual di lapangan.

Dibandingkan dengan Studi Sebelumnya

  1. IWRM vs Praktikalitas Lokal – Sama seperti kritik Biswas (2008) terhadap “nirwana” IWRM, kasus Kreta menunjukkan bahwa tanpa infrastruktur terhadap kondisi lokal, konsep IWRM sulit dioperasionalkan.
  2. Relevansi Circular Economy – Paper ini selaras dengan pandangan modern mengenai daur ulang udara sebagai bagian integral dari ekonomi sirkular, mendukung kemiskinan pertanian dan penghematan pupuk.
  3. Kesenjangan Sosial-Ekonomi – Kebijakan harga udara bervariasi dari €0,05–€0,65/m³, menunjukkan potensi ketidakadilan akses antar petani kecil dan perusahaan besar.

Rekomendasi Strategis

1. Reformasi DEYA (Badan Air Kota)

Mengonsolidasikan 24 kota menjadi 9 badan air bersama (DDEYA) dapat meningkatkan efisiensi distribusi dan pengelolaan.

2. Penerapan Rencana Keamanan Air

Pandemi COVID-19 menyadarkan pentingnya pengawasan ketat terhadap kualitas udara. Penggabungan antara sanitasi, perencanaan kontinjensi, dan edukasi masyarakat kini menjadi kebutuhan wajib.

3. Optimalisasi Air Terolah

Langkah-langkahnya seperti:

  • Pemantauan penyesuaian penyesuaian,
  • Insentif finansial untuk pengguna awal (pengadopsi awal),
  • Program edukasi bagi petani tentang manfaat dan keamanan air limbah terolah,
    sangat penting untuk mendorong perubahan budaya penggunaan air.

Implikasinya untuk Global Selatan dan Indonesia

Kisah Kreta sangat relevan bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa: variabilitas iklim, ketergantungan pada air tanah, serta lemahnya kelembagaan pengelolaan udara.

Bagi Indonesia:

  • Relevansi Sumatera & NTT : Wilayah seperti Nusa Tenggara yang mengalami kekeringan musiman dapat mengadopsi pendekatan serupa dalam daur ulang air limbah domestik.
  • Pertanian Tropis : Teknologi irigasi tetes dan penggunaan kembali air dapat diterapkan di sentra hortikultura, menekan biaya pupuk dan mengurangi ketergantungan pada udara tanah.
  • DEYA Lokal : Reformasi PDAM dan sinergi lintas kota/kabupaten dapat contoh dari skema DDEYA di Kreta.

Kesimpulan: Kreta sebagai Laboratorium Pembelajaran IWRM Nyata

Makalah ini tidak hanya memotret kerumitan pengelolaan air di pulau Mediterania, tetapi juga menawarkan jalan keluar praktis yang dapat diaplikasikan lebih luas. Keunggulannya terletak pada kombinasi antara analisis saintifik, sejarah peradaban udara, dan saran kebijakan berbasis bukti.

Integrasi sumber daya bukan hanya urusan teknis, melainkan perjuangan sosial, ekonomi, dan politik yang menuntut tata kelola adaptif dan kolaboratif lintas sektor.

 

Sumber :
Tzanakakis, VA, Angelakis, AN, Paranychianakis, NV, Dialynas, YG, & Tchobanoglous, G. (2020). Tantangan dan Peluang untuk Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan di Pulau Kreta, Yunani . Water, 12 (6), 1538.

Selengkapnya
Menyelami Tantangan dan Peluang Pengelolaan Air Berkelanjutan di Pulau Kreta

Manajemen Risiko

Dari Obligasi Katastrofi ke Ketahanan Nasional: Membangun Resiliensi Finansial Bencana di Turki dan Asia.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Konten Resensi Akademik

Penelitian ini digerakkan oleh kebutuhan kritis untuk mengatasi peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang mengakibatkan kerugian finansial signifikan, terutama di negara-negara berkembang. Premis sentral tesis ini adalah transisi paradigma dalam Manajemen Risiko Bencana (DRM) dari fokus pada mitigasi risiko bencana (DRR) menjadi penciptaan dan penguatan resiliensi di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tesis ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental dalam manajemen risiko bencana finansial: "siapa yang membayar kerugian?".

Jalur Logis Temuan Penelitian

Tesis ini secara metodis membangun kasus untuk resiliensi finansial melalui tiga fase utama.

Fase I: Instrumen Finansial dan Definisi Resiliensi

Penelitian ini memulai dengan mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan sistem—seperti masyarakat atau infrastruktur—untuk melawan, menyerap, beradaptasi, dan pulih secara efisien dari dampak bencana. Penulis menyoroti bahwa di bawah Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, resiliensi telah menjadi kata kunci, yang membutuhkan pergeseran dari respons reaktif pasca-bencana menjadi prediksi dan perencanaan proaktif.

Penelusuran dilanjutkan dengan mengkategorikan instrumen keuangan yang tersedia untuk DRM. Instrumen berbasis obligasi diilustrasikan, membedakan antara Obligasi Katastrofi (CAT Bonds)—mekanisme transfer risiko untuk kerugian berfrekuensi rendah/berdampak tinggi—dengan Obligasi Resiliensi (Resilience Bonds). Obligasi Resiliensi diidentifikasi sebagai instrumen yang lebih baru yang memberikan insentif untuk investasi dalam resiliensi fisik (misalnya, tembok penahan banjir) dengan menawarkan "rabat resiliensi" (resilience rebate), yang secara efektif mengubah kerugian yang dihindari menjadi pengembalian investasi. Selain itu, Green Bonds dan Blue Bonds juga disorot sebagai sarana pendanaan untuk inisiatif ramah lingkungan dan laut.

Penulis juga mengeksplorasi dana cadangan (misalnya, Calamity Funds, Reserve Funds, Contingency Funds) dan fasilitas internasional (misalnya, GFDRR, GIIF), yang semuanya berfungsi untuk menyediakan likuiditas segera pasca-bencana, meminimalkan gangguan pada proyek pembangunan jangka panjang.

Fase II: Tinjauan Implementasi Resiliensi Global

Tesis ini menyajikan tinjauan komparatif penerapan ide-ide resiliensi di Asia, Amerika Latin, Eropa, dan Afrika.

  • Asia: Di Asia dan Pasifik—salah satu kawasan paling rentan di dunia—pendekatan holistik empat pilar (resiliensi fisik, finansial, ekologis, dan sosial-institusional) oleh Asian Development Bank (ADB) menjadi fokus utama. Kasus studi Indonesia menunjukkan dukungan teknis dari GFDRR dalam meningkatkan resiliensi banjir perkotaan.
  • Amerika Latin: Pendirian Caribbean Catastrophe Risk Insurance Facility (CCRIF) disorot sebagai contoh sukses multi-country risk pool pertama di dunia yang menggunakan mekanisme asuransi parametrik untuk menyediakan likuiditas cepat setelah bencana.
  • Eropa: Penelitian ini menyoroti peran European Investment Bank (EIB) melalui Economic Resilience Initiative (ERI) dan Climate Awareness Bonds (CAB) dalam mempromosikan investasi infrastruktur yang tangguh dan keberlanjutan.
  • Afrika: Pembentukan African Risk Capacity (ARC) oleh Uni Afrika dianalisis sebagai model mutual insurance business untuk membantu negara-negara mengatasi dampak kekeringan secara kolektif.

Fase III: Fokus pada Turki dan Kuantifikasi Risiko

Tesis ini memindahkan fokus ke konteks Turki, di mana risiko gempa, banjir, dan kebakaran hutan menjadi perhatian utama. Pemerintah Turki—melalui AFAD—telah mengadopsi tujuan untuk menciptakan "masyarakat yang tangguh terhadap bahaya". Pembentukan Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) pasca Gempa Marmara 1999 dan penerbitan Cat Bond pertama Turki (Bosphorus 1) merupakan langkah signifikan dalam transfer risiko.

Sorotan Data Kuantitatif Deskriptif:

Penelitian ini menyajikan upaya untuk memodelkan kerugian menggunakan data asuransi Turki antara tahun 2000 dan 2019, dengan variabel penjelas seperti tahun, jumlah gempa bumi, dan premi rata-rata per polis.

  • Analisis Regresi Berganda yang dilakukan pada data Turki menunjukkan bahwa model linier yang diuji tidak memiliki kecocokan yang baik. Temuan ini menunjukkan hubungan yang lemah antara variabel-variabel yang dipilih dan rata-rata kerugian, dengan Adjusted R-squared sebesar -0.0733 dan p-value F-statistik sebesar 0.6446. Nilai-nilai ini mengindikasikan bahwa model tersebut tidak dapat menjelaskan variabilitas kerugian secara efektif, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada variabel kualitatif dan non-finansial dalam pengukuran resiliensi.
  • Perbandingan risiko kota Istanbul secara internasional menyoroti skala ancaman. Istanbul diperkirakan memiliki 6.7 juta orang yang berpotensi terkena dampak bencana alam, yang jauh lebih tinggi daripada kota-kota Eropa seperti Amsterdam-Rotterdam (4.6 juta) atau London (4.0 juta). Temuan ini memperkuat urgensi investasi resiliensi di Turki.
  • Analisis data premi asuransi OECD (2010–2018) menunjukkan bahwa rata-rata premi non-jiwa (yang mencakup risiko bencana) di Turki ($8,794) jauh lebih rendah dibandingkan dengan Asia (>$166,862) dan Eropa (>$656,402). Meskipun perbandingan ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan metodologi OECD, deviasi standar premi non-jiwa Turki yang rendah (2.178) dibandingkan Asia (52.866) dan Eropa (81.005) mengindikasikan pasar asuransi non-jiwa di Turki relatif lebih kecil atau kurang fluktuatif, menunjukkan potensi besar yang belum dimanfaatkan untuk penetrasi asuransi risiko bencana guna meningkatkan resiliensi finansial.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi tesis ini terhadap bidang manajemen risiko bencana finansial bersifat ganda. Pertama, ia berfungsi sebagai tinjauan literatur yang komprehensif, memetakan secara eksplisit evolusi instrumen pembiayaan dari CAT Bonds reaktif ke Resilience Bonds proaktif. Kedua, dengan mengintegrasikan studi kasus global dengan analisis mendalam mengenai Turki, tesis ini memberikan cetak biru untuk menilai kapasitas resiliensi suatu negara yang rentan terhadap bencana, seperti halnya Turki yang berisiko tinggi gempa bumi. Tesis ini secara implisit menyerukan kepada komunitas DRM untuk bergerak melampaui metrik kerugian murni dan memasukkan variabel resiliensi ke dalam penilaian kelayakan proyek.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama tesis ini terletak pada upaya pemodelan regresi yang tidak berhasil secara statistik. Ketidakmampuan variabel finansial makro (tahun, jumlah gempa, premi rata-rata) untuk memprediksi kerugian rata-rata di Turki menunjukkan bahwa model finansial tradisional mungkin tidak cukup untuk menangkap dinamika kompleks risiko bencana.

Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang penting:

  1. Bagaimana seharusnya metrik kualitatif resiliensi (misalnya, kesadaran publik, kapasitas kelembagaan AFAD, efektivitas sistem peringatan dini) diubah menjadi variabel yang dapat dimasukkan dalam model kerugian finansial yang lebih valid?
  2. Mengingat ketidakmampuan untuk memprediksi kerugian, apakah Resilience Bonds—yang mengandalkan pemodelan perbedaan kerugian yang dihindari (skenario "dengan proyek" vs. "tanpa proyek")—memiliki dasar ilmiah yang valid di negara-negara dengan kualitas data historis yang rendah seperti yang diimplikasikan oleh hasil regresi?
  3. Dalam konteks geografi dan ekonomi yang unik seperti Turki—di mana resiliensi dipengaruhi oleh ketidakstabilan ekonomi dan politik —sejauh mana model global (seperti CCRIF atau ARC) dapat diadaptasi secara efektif?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berikut adalah lima rekomendasi riset yang jelas, berbasis temuan tesis, dan berorientasi pada pengembangan ilmiah di masa depan:

  1. Mengembangkan Indeks Resiliensi Komposit untuk Pemodelan Risiko (Variabel Baru):

Justifikasi Ilmiah: Kegagalan model regresi dalam tesis ini menunjukkan bahwa kerugian bencana tidak hanya didorong oleh variabel finansial makro. Riset Lanjutan harus berfokus pada pengembangan Indeks Resiliensi Komposit yang mengintegrasikan data sosio-ekonomi (misalnya, tingkat penetrasi asuransi wajib, kesadaran publik akan bahaya ), kelembagaan (misalnya, implementasi Sendai Framework, efisiensi AFAD ), dan kualitatif. Indeks ini kemudian harus digunakan sebagai variabel penjelas untuk memprediksi kerugian di model regresi yang baru.

  1. Analisis Perbandingan Struktur Resilience Bond Berbasis Parameter Spesifik Bahaya (Metode Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini memaparkan risiko multi-bahaya Turki (gempa, banjir, kebakaran hutan). Riset Lanjutan harus membandingkan efektivitas Resilience Bonds yang dirancang untuk risiko gempa bumi (berbasis parametrik geofisika) versus risiko kebakaran hutan (berbasis indeks cuaca/klimatologi) dalam menghasilkan resilience rebate. Metode ini harus secara eksplisit memodelkan dua skenario—dengan/tanpa mitigasi—untuk membuktikan nilai tambah finansial dari Resilience Bonds.

  1. Memetakan Hambatan Psikologis dan Institusional Terhadap Pembelian Asuransi Risiko Bencana (Konteks Baru):

Justifikasi Ilmiah: Meskipun ada kewajiban hukum untuk asuransi gempa (TCIP), tingkat kepemilikan tetap menjadi tantangan, dan kurangnya kesadaran disebut sebagai penghalang utama. Riset Lanjutan harus menggunakan metode kualitatif (misalnya, wawancara mendalam dengan pemilik rumah dan pembuat kebijakan) untuk mengidentifikasi hambatan perilaku dan institusional yang mencegah penetrasi asuransi risiko bencana di Turki. Hal ini akan menjelaskan mengapa dukungan pemerintah pasca-bencana—terlepas dari asuransi—menghambat insentif mitigasi.

  1. Studi Kelayakan Adopsi Model Risk Pooling Regional di Wilayah Timur Tengah dan Asia Tengah (Konteks Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menyoroti keberhasilan model risk pooling di Karibia (CCRIF) dan Afrika (ARC), yang mengurangi biaya risiko melalui diversifikasi geografis. Riset Lanjutan harus menilai kelayakan pembentukan Risk Pooling regional di wilayah di mana Turki berada (misalnya, Mediterania Timur atau Asia Tengah—menggunakan negara-negara OECD/non-OECD yang disebutkan dalam tesis seperti Bulgaria, Lebanon, Yordania, dan Iran). Studi ini harus memproyeksikan potensi pengurangan premi dan peningkatan kapasitas resiliensi finansial melalui kerangka diversifikasi risiko.

  1. Menganalisis Keterkaitan antara Krisis Ekonomi dan Investasi Resiliensi (Konteks/Variabel Baru):

Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menggarisbawahi tantangan ekonomi Turki (inflasi, devaluasi Lira, volatilitas) yang dapat membatasi investasi resiliensi. Riset Lanjutan harus menguji hipotesis bahwa fluktuasi mata uang dan suku bunga memiliki korelasi negatif yang kuat dengan pendanaan proyek resiliensi publik-swasta. Metode yang disarankan adalah studi kasus komparatif historis (misalnya, Turki vs. negara OECD lain selama periode tekanan ekonomi) untuk mengidentifikasi mekanisme pembiayaan resiliensi yang tahan terhadap guncangan ekonomi domestik.

Potensi Jangka Panjang

Temuan saat ini menunjukkan bahwa resiliensi finansial tidak dapat dicapai hanya dengan instrumen pasar tradisional; melainkan membutuhkan pergeseran paradigma institusional dan perilaku. Jangka panjangnya, penelitian ini meletakkan dasar untuk menciptakan kerangka kerja penilaian resiliensi nasional yang dapat dioperasikan secara kuantitatif, yang pada akhirnya dapat mendorong investasi sektor swasta. Dengan memvalidasi model yang akurat, institusi global seperti World Bank dan EBRD dapat mendanai proyek resiliensi dengan lebih efisien, karena risiko yang ditanggung menjadi lebih terukur dan potensi pengembalian dari "kerugian yang dihindari" menjadi lebih jelas. Pada akhirnya, ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur di kawasan rawan bahaya bersifat berkelanjutan dan inklusif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi AFAD, TCIP, World Bank (melalui GFDRR), dan MDB regional lainnya untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

 

Selengkapnya
Dari Obligasi Katastrofi ke Ketahanan Nasional: Membangun Resiliensi Finansial Bencana di Turki dan Asia.

Komunikasi Krisis

Modal Sosial dan Kegagalan Komunikasi: Pelajaran dari Banjir Bandang Matina 2011 untuk Ketahanan Urban di Davao City

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Resensi Mendalam: Membangun Ketahanan Sistemik dalam Menghadapi Kerentanan Banjir di Perkotaan

Penelitian kasus berjudul "Community Resilience to Address Urban Vulnerabilities: A Case Study of Flood-prone Communities" oleh Cayamanda & Lopez (2022) mengeksplorasi isu kritis mengenai kerentanan perkotaan terhadap bencana alam, khususnya banjir, dan peran penting yang dimainkan oleh ketahanan komunitas. Melalui studi kualitatif terhadap banjir bandang Matina 2011 di Davao City, Filipina, paper ini secara cermat menguji bagaimana komunikasi risiko dan modal sosial memengaruhi respons komunitas, kelompok, dan institusi terhadap bahaya banjir.

Davao City, yang teridentifikasi sebagai wilayah rawan banjir meskipun berada di zona yang relatif bebas topan, menyediakan konteks empiris yang kaya. Fokusnya adalah pada tiga barangay yang sangat padat penduduk dan memiliki banyak institusi/bisnis—Matina Crossing, Matina Pangi, dan Matina Aplaya—yang secara kolektif menyumbang 61,57% dari total keluarga yang terkena dampak banjir bandang 2011. Dengan menggunakan metode kualitatif yang melibatkan analisis dokumen, wawancara informan kunci, dan diskusi kelompok terfokus, serta didukung oleh Model Crunch dari Wisner et al. (2004) , penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kerentanan dan dinamika sosial dalam respons bencana.

Alur Logis Temuan Penelitian

Penelitian ini memetakan perjalanan logis dari kerentanan struktural menuju respons pasca-bencana. Tahap pra-bencana menunjukkan bahwa wilayah studi adalah zona perkotaan padat yang terletak di area risiko banjir (Zona Mitigasi Banjir), di mana dua sungai utama, Sungai Pangi dan Sungai Davao, melintasi daerah yang padat penduduk. Bencana itu sendiri—banjir bandang Juni 2011 yang dipicu oleh Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ) dan hujan lebat selama tiga jam di daerah hulu—menghasilkan banjir yang merusak, menelan total 29 korban jiwa (mayoritas perempuan dan anak-anak).

Fase pasca-bencana mengungkapkan kontradiksi utama:

  • Kekuatan Modal Sosial: Terdapat tingkat modal sosial yang kuat yang ditunjukkan oleh respons cepat dan kolektif. Berbagai lembaga pemerintah (misalnya, Phil Coast Guard, 911 Urban Search & Rescue), non-pemerintah (misalnya, Knighthawk Foundation), dan organisasi berbasis gereja dengan segera memobilisasi upaya evakuasi, pertolongan pertama, dan distribusi bantuan dalam 6 hingga 24 jam pertama. Tingkat kepercayaan yang relatif kuat terhadap lembaga pemerintah kota, khususnya Central 911, menjadi keuntungan signifikan dalam memobilisasi respons yang cepat dan efektif.
  • Kelemahan Komunikasi Risiko: Meskipun respons cepat, insiden tersebut tidak mencapai nol-korban. Laporan menunjukkan adanya kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi yang buruk antar-lembaga respons. Kurangnya kesadaran dan tingkat persepsi risiko yang rendah di kalangan komunitas, ditambah dengan 'peleburan informasi' (information melt down), membuat komunitas rentan, dan gap enam jam sebelum respons awal tiba menjadi krusial.
  • Faktor-faktor Kontribusi Lainnya: Faktor-faktor yang memperburuk dampak bencana meliputi curah hujan yang sangat tinggi (60 mm antara pukul 10 malam dan 1 pagi), perluasan aktivitas pertanian di daerah hulu yang memengaruhi ekologi tanah, pembangunan di sepanjang bantaran sungai yang mempersempit saluran air, dan sedimentasi (pendangkalan) yang menyebabkan air Matina-Pangi berbalik saat air pasang.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara modal sosial dan respons cepat — menyoroti potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam mengkuantifikasi dimensi relasional dan struktural (seperti yang diusulkan oleh Nahapiet dan Ghoshal) dari modal sosial pasca-bencana. Namun, interaksi antara koordinasi antar-lembaga dan protokol komunikasi yang tidak memadai menunjukkan bahwa modal sosial saja tidak cukup untuk mengurangi korban jiwa, terutama di antara kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur tentang manajemen bencana perkotaan, khususnya di negara-negara berkembang, dengan melakukan dua hal:

  1. Validasi Konseptual-Empiris Modal Sosial: Secara empiris memvalidasi konsep bahwa modal sosial yang kuat—diwujudkan melalui jejaring kepercayaan, norma, dan asosiasi antar-lembaga dan komunitas—adalah penggerak utama respons cepat dan pemulihan pasca-bencana. Ini memperkuat literatur yang menganjurkan pergeseran fokus intervensi bencana dari struktur fisik/teknis ke pembangunan kohesi sosial.
  2. Identifikasi Kesenjangan Komunikasi Krisis: Meskipun memuji kekuatan modal sosial, paper ini dengan tegas mengidentifikasi manajemen komunikasi dan sinkronisasi protokol sebagai titik kegagalan kritis. Temuan ini memperluas wacana tentang peran komunikasi dalam intervensi bencana, menekankan bahwa bukan hanya kesadaran (awareness) yang penting, tetapi juga kejelasan, kredibilitas, dan adaptasi pesan krisis (consensus communication dan crisis communication)—seperti yang disorot oleh penelitian sebelumnya.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifatnya sebagai studi kasus kualitatif. Meskipun kaya akan deskripsi dan dinamika sosial, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke semua konteks perkotaan yang rentan banjir.

Beberapa pertanyaan terbuka yang muncul meliputi:

  1. Pengukuran Kuantitatif: Sejauh mana korelasi antara modal sosial yang tinggi dan tingkat korban yang relatif lebih rendah—meskipun tidak nol—di Matina dapat diukur dan dikuantifikasi untuk mengembangkan indeks prediktif?
  2. Model Transaksional Komunikasi: Model komunikasi spesifik apa yang harus diusulkan untuk mengatasi "masalah pada tingkat transaksi antara lembaga/institusi terkait dan tingkat komunitas lokal" yang teridentifikasi dalam penelitian ini dan penelitian terkait lainnya?
  3. Adaptasi Lintas Batas: Mengingat isu multi-dinamika dan lintas batas (misalnya, masalah ekosistem sungai yang mencakup batas-batas geografis lokal) , bagaimana mekanisme inter-pemerintahan dan ขขkoordinasi lintas batas dapat diinstitusionalisasi secara efektif untuk mengintegrasikan adaptasi berbasis ekosistem (EBA) dan komunitas (CBA)?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Resensi ini merekomendasikan lima jalur riset lanjutan, yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, untuk memperluas kontribusi paper ini ke tingkat sistemik dan terukur.

  1. Studi Kuantitatif Korelasi Modal Sosial-Resiliensi (Variabel Struktural):
    • Basis Temuan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial yang kuat exhibited oleh komunitas, institusi, dan kelompok berkontribusi pada respons darurat yang cepat.
    • Riset Baru: Diperlukan studi kuantitatif yang mengadopsi model regresi untuk menguji hubungan antara dimensi struktural modal sosial (misalnya, kepadatan jaringan organisasi, frekuensi interaksi inter-lembaga) dan hasil resiliensi (misalnya, kecepatan pemulihan infrastruktur, pengurangan biaya bencana). Variabel independen harus mencakup network ties dan configurations antar-lembaga, sementara variabel dependennya adalah waktu pemulihan rata-rata pasca-bencana.
    • Justifikasi Ilmiah: Penggunaan kerangka Nahapiet dan Ghoshal dalam konteks bencana memungkinkan pengembangan metrik yang dapat diskalakan untuk memandu investasi hibah riset dalam pembangunan kapasitas sosial.
  2. Desain dan Pengujian Model Komunikasi Risiko Transaksional Komunitas-Sentris:
    • Basis Temuan: Kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi antar-lembaga mengakibatkan 'peleburan informasi' dan memicu kerentanan.
    • Riset Baru: Mengembangkan dan menguji model komunikasi risiko dua arah (transaksional) baru, yang bergerak melampaui penyebaran informasi satu arah. Model ini harus fokus pada variabel seperti kejelasan pesan (terkait dengan latar belakang sosio-kultural dan bahasa lokal), kredibilitas sumber, dan umpan balik komunitas secara real-time. Metodologi harus mencakup studi intervensi dengan grup kontrol di daerah Matina yang berbeda.
    • Justifikasi Ilmiah: Hal ini sejalan dengan perlunya "melokalisasi" pendekatan pada kampanye dan komunikasi bencana dan memodifikasi kebijakan komunikasi, seperti yang disarankan oleh temuan (Zhang et al., 2007; Terry & Fellows, 2008) yang dibahas dalam paper.
  3. Analisis Kerentanan Diferensial dan Dampak Gender-Spesifik:
    • Basis Temuan: Kelompok yang paling rentan (perempuan dan anak-anak) adalah mayoritas korban jiwa (29 kasus).
    • Riset Baru: Melakukan analisis kerentanan mendalam yang secara eksplisit memasukkan perspektif gender dan usia (anak-anak, lansia) sebagai variabel kunci dalam Modifikasi Model Crunch (Vu Minh & Smyth, 2012). Riset ini harus menguji bagaimana faktor-faktor non-struktural (misalnya, peran pengasuhan, hambatan mobilitas) dan struktural (misalnya, akses ke informasi, pendapatan) berinteraksi untuk meningkatkan kerentanan di antara sub-populasi ini.
    • Justifikasi Ilmiah: Rekomendasi ini mendukung Prioritas Aksi Kerangka Kerja Hyogo (2005–2015) untuk mengintegrasikan keragaman budaya, usia, kelompok rentan, dan perspektif gender ke dalam semua kebijakan dan perencanaan risiko bencana.
  4. Desain Kerangka Kerja Adaptasi Lintas Batas Berbasis Ekosistem dan Komunitas (EBA/CBA):
    • Basis Temuan: Kerentanan Matina tidak hanya terbatas pada batas-batas kotanya, melibatkan isu multi-dinamika dan lintas batas seperti perubahan penggunaan lahan di hulu dan drainase sungai yang bermuara ke Davao Gulf.
    • Riset Baru: Merancang kerangka kerja operasional untuk Adaptasi Lintas Batas yang menggabungkan EBA dan CBA. Riset ini harus mengidentifikasi dan memodelkan variabel ekologis (misalnya, kualitas penutup lahan di hulu, laju sedimentasi) dan variabel sosial (misalnya, keterlibatan komunitas dalam kegiatan restorasi) dan mengukur dampak gabungan variabel ini terhadap mitigasi banjir di Matina.
    • Justifikasi Ilmiah: Pendekatan terpadu ini sangat penting untuk mengurangi kerentanan karena mencerminkan prioritas dan kapasitas komunitas (CBA) sambil mempertimbangkan ekosistem (EBA), yang telah diidentifikasi sebagai jalur yang menjanjikan.
  5. Audit dan Pemodelan Kinerja Inter-Organisasi Pasca-Bencana:
    • Basis Temuan: Ada pengamatan akan "koordinasi yang buruk di seluruh sistem respons antar-lembaga".
    • Riset Baru: Melakukan audit kinerja antar-organisasi (misalnya, LGU, NGOs, Militer) yang terlibat dalam respons Matina 2011 menggunakan metrik (Comfort & Kapucu, 2006) seperti kecepatan pertukaran informasi, rasio duplikasi upaya, dan peningkatan kapasitas kolaboratif. Pemodelan harus mengidentifikasi "titik terkuat" (misalnya, 911) dan "titik lemah" untuk mengembangkan strategi kolaboratif yang lebih efisien.
    • Justifikasi Ilmiah: Peningkatan koordinasi dan hubungan antar-organisasi diperlukan untuk mempertahankan modal sosial yang kuat dan mengatasi kegagalan yang diamati, seperti yang disorot oleh paper ini.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Pemerintah Daerah (LGU) di Davao City, Universitas di Mindanao (seperti UP Mindanao), dan organisasi Non-Pemerintah (NGO) lokal/internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di lapangan.

Sesuai dengan rekomendasi paper untuk kerja sama lintas batas dan inter-pemerintahan, kolaborasi penelitian ini akan memperkuat sinergi antara ilmu sosial, ilmu lingkungan, dan perencanaan kota untuk menciptakan model ketahanan yang benar-benar holistik.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Modal Sosial dan Kegagalan Komunikasi: Pelajaran dari Banjir Bandang Matina 2011 untuk Ketahanan Urban di Davao City

Perencanaan Kota

Bom Waktu Urbanisasi: Mengungkap Peningkatan 13% Risiko Banjir di Esenyurt, Istanbul, melalui Data Satelit

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Menyusun Arah Riset ke Depan: Evaluasi Dampak Historis Urbanisasi pada Risiko Banjir di Istanbul dengan Kerangka HVE

Pengantar dan Jalur Logis Penemuan

Percepatan urbanisasi secara global telah mengubah siklus air perkotaan, yang secara fundamental memperburuk frekuensi dan intensitas banjir. Fenomena ini, yang ditandai dengan peningkatan permukaan kedap air, memicu peningkatan volume dan kecepatan limpasan permukaan, serta memperpendek waktu lag hidrograf sungai. Di tengah tren peningkatan insiden banjir secara global, termasuk di Turki , distrik Esenyurt, Istanbul, muncul sebagai studi kasus penting. Sebagai distrik terpadat di Turki, Esenyurt mengalami pertumbuhan populasi yang cepat dan pembangunan yang intensif, terutama di sekitar Sungai Haramidere. Kawasan ini, yang telah bertransformasi dari desa pertanian pada tahun 1970 menjadi kawasan industri dan residensial padat saat ini, menghadapi risiko banjir yang mematikan, yang berpuncak pada bencana tahun 2022 yang menimbulkan korban jiwa.

Penelitian ini secara historis mengevaluasi risiko banjir yang didorong oleh urbanisasi, memfokuskan analisis pada kerangka Hazard, Vulnerability, dan Exposure (HVE). Dalam konteks perkotaan yang dinamis, kerangka HVE, khususnya komponen Exposure (Paparan), menjadi krusial karena menilai individu dan properti di area risiko, yang sangat dipengaruhi oleh tren tata guna lahan.

Jalur logis penemuan dimulai dengan penggunaan teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing/RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS). Untuk melacak perubahan historis bangunan dalam periode 2014–2022, data satelit Landsat-8 digunakan, yang dianalisis menggunakan indeks seperti NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), NDBI (Normalized Difference Built-up Index), dan BU (Built-up). Indeks ini memungkinkan penentuan waktu pembangunan bangunan secara retrospektif, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan fungsinya (residensi, komersial, industri).

Tahap selanjutnya adalah analisis risiko. Data Hazard (Bahaya) berupa kedalaman dan area genangan banjir dengan periode ulang 100 tahun diambil dari model hidrodinamika tahun 2014 oleh İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul). Dengan mengasumsikan area dan kedalaman genangan ini konstan, perubahan risiko banjir dihitung berdasarkan pertumbuhan Exposure (Paparan), yaitu bangunan baru yang masuk ke zona bahaya sepanjang periode 2014 hingga 2022.

Perhitungan risiko banjir total didasarkan pada dua komponen: Kerusakan Ekonomi dan Populasi Terdampak. Kerusakan Ekonomi ditentukan dari luas lantai bangunan, biaya unit konstruksi (difikskan pada nilai 2022 untuk menghindari inflasi), dan fungsi kedalaman-kerusakan JRC Eropa. Sementara itu, risiko Populasi Terdampak dihitung berdasarkan jumlah bangunan, jumlah lantai, dan ukuran rumah tangga (3,43 orang per rumah tangga), dengan asumsi semua orang di area genangan akan terdampak.

Dari alur metodologis ini, temuan kuantitatif yang mengkhawatirkan muncul, menunjukkan keterkaitan yang kuat antara urbanisasi yang tidak terencana dengan peningkatan risiko bencana.

Sorotan Data Kuantitatif dan Implikasi Jangka Panjang

Analisis terhadap 1.051 poligon bangunan yang berada di dalam zona genangan banjir pada tahun 2022 menunjukkan tren ekspansi perkotaan yang signifikan. Secara keseluruhan, jumlah total bangunan di area genangan meningkat sebesar 13.9% antara tahun 2014 dan 2022 (dari 922 menjadi 1.051 bangunan). Temuan yang lebih deskriptif menunjukkan pertumbuhan bangunan industri mencatat peningkatan tertinggi yaitu 32.2% , sementara bangunan residensial meningkat sebesar 12.9%. Lonjakan pembangunan ini, yang terlihat jelas pada tahun-tahun 2016, 2017, dan 2021, secara langsung berkorelasi dengan ekspansi paparan terhadap bahaya banjir.

Dampak dari pertumbuhan Exposure ini terhadap risiko total adalah penemuan kunci dari studi ini:

  • Peningkatan Risiko Total: Hasil menunjukkan bahwa dari tahun 2014 hingga 2022, peningkatan urbanisasi menyebabkan peningkatan total risiko banjir sebesar 13.6%. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara ekspansi urban dan risiko bencana, menyoroti potensi kerentanan jangka panjang yang signifikan di wilayah Esenyurt.
  • Populasi Terdampak: Peningkatan urbanisasi menyebabkan kenaikan jumlah populasi yang terdampak banjir sebesar 32.9%. Angka ini mencerminkan 12.471 orang tambahan yang berpotensi terdampak dalam waktu delapan tahun. Walaupun rasio populasi terdampak terhadap total populasi distrik Esenyurt relatif menurun karena laju pertumbuhan penduduk yang jauh lebih tinggi di distrik tersebut, temuan ini menunjukkan bahwa eksposur individu di zona bahaya tumbuh dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
  • Kerusakan Ekonomi: Potensi kerusakan ekonomi meningkat sebesar 22.3%. Kerusakan total selama periode 2014–2022 menunjukkan peningkatan sekitar 143 juta TL. Analisis kerusakan secara deskriptif mengungkapkan bahwa sebagian besar kerugian terjadi pada bangunan residensial, yang kontribusinya terhadap total kerusakan meningkat sebesar 11.6% (sekitar 90 juta TL). Kerusakan pada bangunan komersial dan industri juga menunjukkan peningkatan yang substansial, masing-masing 4.2% (sekitar 30 juta TL) dan 2.4% (sekitar 18 juta TL).

Temuan kuantitatif ini secara tegas menyimpulkan bahwa urbanisasi cepat dan terpusat di kawasan aliran sungai merupakan katalis utama peningkatan risiko. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang terletak pada gagasan bahwa tanpa strategi perencanaan kota yang efektif, kerugian ekonomi dan sosial akan terus meningkat secara eksponensial. Mengingat biaya unit bangunan yang tinggi, khususnya pada konstruksi vertikal terbaru di Esenyurt, risiko ini bukan hanya masalah frekuensi banjir, tetapi juga masalah nilai aset yang berisiko.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama studi ini terhadap bidang mitigasi risiko bencana perkotaan dan perencanaan wilayah sangat unik karena pendekatannya yang berbasis data dan historis. Studi ini secara eksplisit mengkombinasikan teknologi Penginderaan Jauh (RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS) dengan kerangka konseptual Hazard, Vulnerability, Exposure (HVE) untuk melakukan analisis risiko banjir yang berpusat pada bangunan (building-based).

Secara spesifik, studi ini memberikan:

  1. Metodologi Historis Berbasis Indeks: Penggunaan Landsat-8 dan indeks NDVI, NDBI, serta BU untuk merekonstruksi tahun pembangunan bangunan (historical background) di area genangan dari tahun 2014 hingga 2022 adalah inovatif dan memberikan bukti kuat mengenai waktu ekspansi exposure.
  2. Kuantifikasi Risiko yang Holistik: Dengan menggabungkan risiko ekonomi (berdasarkan unit biaya, luas lantai, dan fungsi kedalaman-kerusakan) dan risiko populasi (berdasarkan kepadatan rumah tangga), penelitian ini menghasilkan penilaian risiko total yang lebih komprehensif, tidak hanya berfokus pada bahaya fisik semata.
  3. Bukti Empiris untuk Perencanaan Kota: Studi ini memberikan bukti empiris mengenai dampak langsung dari pengembangan urban pada sistem hidrologi. Dengan menunjukkan peningkatan risiko total sebesar 13.6% yang diakibatkan oleh perubahan exposure, ini menjadi referensi kritis bagi perumusan kebijakan perencanaan dan mitigasi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusi metodologisnya kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus diakui sebagai dasar untuk riset ke depan:

  1. Asumsi Bahaya (Hazard) Statis: Asumsi bahwa area genangan dan kedalaman banjir (komponen Hazard) tetap konstan sejak tahun 2014 adalah keterbatasan yang signifikan. Dalam delapan tahun, perubahan tata guna lahan (LULC) yang intensif pasti memengaruhi respons hidrologi Haramidere, yang berarti area dan kedalaman genangan yang digunakan mungkin tidak sepenuhnya akurat mencerminkan kondisi tahun 2022.
  2. Keterbatasan Data Kerusakan Lokal: Penggunaan fungsi kedalaman-kerusakan generik JRC Eropa sebagai pengganti data kerusakan historis lokal di Turki dapat memengaruhi akurasi perhitungan kerugian ekonomi. Fungsi kerusakan yang lebih spesifik untuk tipe bangunan dan konten di Istanbul diperlukan.
  3. Kepadatan Populasi: Perhitungan risiko populasi hanya didasarkan pada populasi malam (ukuran rumah tangga 3,43) dan mengasumsikan semua orang di area genangan terdampak, terlepas dari kedalaman air. Pendekatan ini mengabaikan dinamika populasi harian (siang/malam) dan mitigasi risiko yang mungkin terjadi di tingkat bangunan.

Berdasarkan keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendasar:

  • Bagaimana perubahan aktual LULC di Haramidere Basin telah mengubah karakteristik hidrodinamika (debit puncak dan area genangan) sejak 2014, dan seberapa besar kontribusi perubahan LULC ini terhadap peningkatan risiko Hazard yang sebenarnya?
  • Bagaimana dampak perubahan iklim jangka panjang (misalnya, peningkatan curah hujan ekstrem) akan mengubah komponen Hazard HVE di Esenyurt, dan bagaimana perencanaan kota saat ini akan menahan skenario yang lebih ekstrem?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, studi ini menetapkan lima arah riset ke depan yang krusial untuk mencapai ketahanan kota berkelanjutan:

1. Integrasi Data Perubahan Iklim ke dalam Model HVE Dinamis

  • Basis Temuan: Peningkatan risiko banjir total sebesar 13.6% , yang didorong oleh Exposure statis (Hazard 100-tahun periode ulang 2014 yang diasumsikan tetap).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus memodifikasi komponen Hazard (H) dalam model HVE dengan mengintegrasikan skenario proyeksi perubahan iklim jangka panjang (misalnya, simulasi curah hujan ekstrem tahun 2050 dan 2100). Ini melampaui asumsi periode ulang statis, memberikan peta risiko dinamis yang lebih realistis dan berkelanjutan.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penting untuk memprediksi risiko banjir dalam kondisi iklim di masa depan, bukan hanya berdasarkan data hidrologi historis, untuk memastikan perencanaan kota memiliki ketahanan jangka panjang.

2. Pemodelan Hidrodinamika dengan Variabel Lahan Basah dan LULC Terperinci

  • Basis Temuan: Asumsi bahwa area genangan dan kedalaman tetap konstan sejak 2014 , meskipun Landsat-8 telah mendeteksi peningkatan pesat pada area terbangun. Peningkatan permukaan kedap air dapat meningkatkan aliran puncak.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus memodelkan ulang dinamika Haramidere menggunakan model hidrologi-hidrodinamika 2D yang diperbarui. Variabel baru: koefisien limpasan (runoff coefficient) yang diperbarui berdasarkan peta LULC tahun 2022 (yang menunjukkan peningkatan Built-Up Area) dan kondisi sungai pasca-rehabilitasi (jika ada). Ini akan menghasilkan area genangan dan kedalaman (H) yang dinamis yang dipengaruhi oleh urbanisasi (LULC), yang akan dikalikan dengan Exposure terkini.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Harus dipastikan bahwa perhitungan risiko didasarkan pada perubahan Hazard yang sebenarnya, bukan hanya pada pertumbuhan Exposure, untuk mengisolasi peran LULC dalam memperburuk bahaya.

3. Analisis Sensitivitas Kedalaman-Kerusakan Berbasis Sektor Lokal

  • Basis Temuan: Penggunaan fungsi kedalaman-kerusakan generik Eropa dan penemuan bahwa bangunan industri mengalami peningkatan signifikan sebesar 32.2% dengan kerugian ekonomi yang bervariasi secara sektoral (misalnya, 150% kerusakan bangunan untuk konten industri).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Kembangkan fungsi kedalaman-kerusakan empiris yang spesifik untuk konteks Istanbul dan Turki. Variabel baru: Tentukan koefisien kerusakan untuk aset industri (termasuk mesin dan gangguan rantai pasok) dan aset komersial (termasuk kerugian bisnis) yang spesifik, dengan mengumpulkan data kerugian dari peristiwa banjir Esenyurt.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Akurasi kerugian ekonomi, yang merupakan komponen 50% dari Risiko Total, sangat bergantung pada fungsi ini. Penelitian harus memvalidasi data kerugian yang lebih akurat untuk memandu prioritas investasi mitigasi.

4. Pemantauan Keputusan Perencanaan Kota dengan RS Tepat Waktu dan Resolusi Tinggi

  • Basis Temuan: Peningkatan tajam urbanisasi pada tahun 2016, 2017, dan 2021 serta penekanan pada peran kritis perencanaan kota dalam mitigasi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Gunakan data satelit resolusi spasial yang lebih tinggi daripada Landsat-8, seperti Sentinel-2 atau bahkan citra komersial, diintegrasikan dengan teknologi drone dan GIS untuk memantau kepatuhan pembangunan baru terhadap rencana zonasi. Metode: Lacak penggunaan indeks seperti NDBI dan BU secara near-real-time untuk memverifikasi apakah bangunan baru yang terdeteksi berada di luar zona bahaya yang diproyeksikan.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini diperlukan untuk menutup kesenjangan antara kebijakan perencanaan dan implementasi lapangan, mengubah peran RS dari alat analisis historis menjadi alat audit dan penegakan regulasi.

5. Model Risiko Populasi Berbasis Waktu dan Kepadatan Vertikal

  • Basis Temuan: Ditemukan bahwa mayoritas kerugian terjadi pada bangunan tempat tinggal. Selain itu, analisis populasi mengasumsikan bahwa semua orang di area genangan akan terdampak terlepas dari kedalaman air. Esenyurt ditandai dengan bangunan bertingkat tinggi dan kepadatan tinggi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus memasukkan variabel baru: waktu (populasi siang vs malam) dan kepadatan vertikal (jumlah lantai) pada perhitungan risiko populasi. Variabel ini akan membantu mengidentifikasi bangunan tinggi di area genangan yang memiliki populasi Exposure yang sangat tinggi dan kerentanan yang berbeda dibandingkan bangunan satu lantai.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Model risiko populasi yang lebih spesifik dibutuhkan untuk meningkatkan akurasi penilaian kerentanan sosial dan memprioritaskan evakuasi atau perlindungan infrastruktur vertikal, terutama di distrik padat penduduk.

Penelitian ini telah menyajikan bukti kuat bahwa laju urbanisasi yang pesat di Esenyurt, Istanbul, telah secara nyata dan terukur meningkatkan risiko banjir melalui peningkatan Paparan (Exposure). Konektivitas antara temuan saat ini (peningkatan risiko 13,6%) dengan potensi jangka panjang adalah jelas: mengabaikan perencanaan kota yang sensitif terhadap hidrologi akan terus meningkatkan kerusakan ekonomi yang terukur dalam jutaan lira dan mengancam nyawa ribuan penduduk.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini dalam skala yang lebih luas, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multisektoral. Penelitian ini harus melibatkan institusi İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul) untuk data hidrodinamika yang diperbarui, İBB (Kota Metropolitan Istanbul) untuk integrasi kebijakan perencanaan kota, dan AFAD (Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat) untuk validasi data kerugian ekonomi, guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di masa depan.

Baca paper aslinya di sini.

 

Selengkapnya
Bom Waktu Urbanisasi: Mengungkap Peningkatan 13% Risiko Banjir di Esenyurt, Istanbul, melalui Data Satelit

Studi Bencana

Mengkonseptualisasi Ulang Nexus Demografi-Bencana untuk Perencanaan Adaptasi Jangka Panjang

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Resensi Riset: Memajukan Arah Studi Nexus Demografi-Bencana

Pendahuluan: Sebuah Pergeseran Paradigma dalam Studi Bencana

Volume yang disunting oleh Dávid Karácsonyi, Andrew Taylor, dan Deanne Bird, “The Demography of Disasters: Impacts for Population and Place,” menandai tonggak penting dalam upaya memformalkan dan memperluas bidang penelitian yang sedang berkembang, yaitu nexus demografi-bencana. Karya ini menargetkan komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk bergerak melampaui pemahaman tradisional bencana sebagai "guncangan" eksternal atau "peristiwa non-rutin" yang semata-mata tidak dapat diprediksi. Inti dari volume ini adalah argumen bahwa bencana sangat tertanam dalam struktur masyarakat (social embeddedness), di mana profil demografi populasi pra-bencana adalah penentu utama kerentanan dan besarnya dampak yang terjadi.

Buku ini secara logis menyusun perjalanan temuan dengan memaparkan kerangka kerja konseptual yang luas. Bencana, dalam pandangan ini, memiliki kapasitas untuk mengubah profil populasi secara mendasar pada tingkat lokal dan regional. Perubahan ini bukan hanya tentang jumlah kematian atau cedera segera, tetapi juga mencakup konsekuensi yang lebih kompleks dan berjangka panjang seperti migrasi keluar, relokasi permanen, dan perubahan perilaku demografi—yang semuanya dapat berfungsi sebagai umpan balik yang tak terduga, mengubah ekonomi dan struktur sosial jauh ke masa depan.

Jalur logis penelitian ini kemudian diuraikan melalui pemeriksaan multidisiplin yang terperinci. Volume ini menyoroti tujuh pendekatan utama dalam memahami interkoneksi ini: dampak bencana pada populasi, pengukuran kerentanan, perpindahan massal (mass displacement), pendekatan spasial/regional, perubahan iklim, urbanisasi, dan pendekatan terapan. Secara kolektif, bab-bab dalam buku ini memperkuat tesis bahwa bencana seringkali mempercepat tren demografi yang sudah ada sebelumnya, seperti migrasi dari pedesaan ke perkotaan atau penurunan populasi, daripada menciptakan struktur demografi yang sama sekali baru di tingkat lokal. Oleh karena itu, penelitian lanjutan harus melibatkan pemeriksaan mendalam terhadap demografi pra-bencana untuk membedakan antara tren struktural dan dampak yang disebabkan oleh bencana itu sendiri.

Sorotan Temuan Kuantitatif Deskriptif

Meskipun karya ini bersifat kompilasi dari berbagai studi kasus dan ulasan konseptual, penekanan pada demografi kerentanan dan perpindahan massal secara konsisten memvalidasi tesis sentralnya. Analisis yang dikumpulkan dari studi kasus jangka panjang mengenai perubahan populasi dan migrasi pasca-bencana menunjukkan bahwa temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara komposisi demografi yang rentan (terutama kelompok lansia dan minoritas) dan tingkat morbiditas/mortalitas pasca-bencana yang tidak proporsional — menunjukkan potensi kuat untuk mengembangkan objek penelitian baru dalam pemodelan risiko bencana berbasis populasi. Selain itu, perbandingan antara lokasi bencana (seperti kasus Morwell, New Orleans, dan Christchurch) mengungkapkan bahwa respons migrasi dan perubahan populasi regional sangat bergantung pada pre-eksistensi struktur ekonomi (misalnya, kota industri tunggal) dan kondisi sosial.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari volume riset ini terhadap studi bencana dan demografi adalah tiga kali lipat. Pertama, ia secara definitif memposisikan nexus demografi-bencana sebagai bidang ilmiah yang berbeda, bukan hanya sebagai cabang dari ilmu sosial yang lebih luas. Langkah ini sangat penting untuk menarik sumber pendanaan dan membangun komunitas akademik yang kohesif.

Kedua, buku ini mendorong pergeseran ontologis dalam studi bencana. Dengan menekankan bahwa bencana berakar pada ketidaksetaraan sosial, politik, dan ekonomi (social vulnerability school) , para peneliti diarahkan untuk fokus pada demografi sebagai akar penyebab bencana—misalnya, bagaimana komposisi umur, jenis kelamin, dan etnis populasi di zona bahaya secara intrinsik meningkatkan risiko.

Ketiga, volume ini menyediakan kerangka kerja klasifikasi yang komprehensif melalui tujuh pendekatan interdisipliner, yang meluas dari dampak kesehatan dan pemindahan paksa hingga masalah yang lebih kontemporer seperti migrasi akibat perubahan iklim dan kerentanan perkotaan. Kerangka ini berfungsi sebagai peta jalan untuk penelitian di masa depan, membantu peneliti untuk mengatasi kompleksitas multidimensi dari bencana modern.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusinya besar, para editor dan penulis mengidentifikasi beberapa keterbatasan kritis dan pertanyaan terbuka yang memerlukan perhatian mendesak dari komunitas peneliti.

Keterbatasan utama adalah kurangnya data yang memadai, spasial, dan tepat waktu untuk melakukan analisis demografi bencana secara rinci. Hal ini menghambat penggunaan teknik demografi terapan untuk estimasi populasi pasca-bencana dan pemodelan kerentanan yang akurat. Keterbatasan data ini menyebabkan pemahaman yang kurang tentang skala sosial isu-isu bencana—bagaimana kelompok yang berbeda (seperti wanita, masyarakat adat, atau kelompok rentan) mengalami dan menanggapi bencana dalam jangka waktu yang lebih lama.

Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang paling menantang meliputi:

  1. Umpan Balik Demografi: Bagaimana bencana secara kompleks memengaruhi perilaku demografi yang tidak terkait langsung, seperti pola kesuburan atau pembentukan kemitraan di wilayah yang terkena dampak dan wilayah penerima, dan bagaimana efek ini membentuk profil populasi yang tersisa?
  2. Akselerasi Tren: Bagaimana peneliti dapat secara metodologis mengisolasi dampak percepatan yang disebabkan oleh bencana dari tren demografi yang sudah berlangsung lama (misalnya, penurunan populasi pedesaan di Rusia atau Eropa Timur)?
  3. Perluasan Cakupan Konseptual: Bagaimana nexus demografi-bencana dapat diperluas untuk mencakup konflik bersenjata, krisis ekonomi, dan pandemi (yang semuanya menyebabkan perpindahan massal dan mengubah profil demografi) sebagai "bencana" yang setara, di luar fokus tradisional pada bahaya alam dan teknologi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan, disajikan secara eksplisit untuk komunitas akademik dan lembaga pemberi hibah, yang secara langsung didasarkan pada celah temuan dan pertanyaan terbuka dalam volume ini.

1. Pengembangan Pemodelan Dinamika Populasi Spasial-Temporal Jangka Panjang

  • Justifikasi Ilmiah: Peristiwa bencana, terutama yang memicu perpindahan massal (seperti kecelakaan nuklir atau banjir besar), diketahui menyebabkan dislokasi permanen yang mengubah prospek regional. Namun, analisis yang ada cenderung berfokus pada dampak jangka pendek. Diperlukan mekanisme untuk memproyeksikan perubahan demografi hingga 10-20 tahun ke depan untuk mendukung perencanaan tata ruang.
  • Arah Riset: Pengembangan model microsimulation spasial yang canggih untuk memprediksi perubahan komposisi umur, jenis kelamin, dan etnis di wilayah yang dilanda dan wilayah penerima dalam dua dekade. Model ini harus diuji dengan data dari kasus perpindahan massal pasca-bencana jangka panjang (misalnya, Chernobyl atau relokasi akibat kenaikan permukaan laut).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Menentukan persyaratan pembangunan kembali infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan di masa depan yang sangat berbeda dari struktur pra-bencana, yang penting untuk perencanaan pasca-pemulihan yang berkelanjutan.

2. Analisis Gender dan Inklusivitas dalam Perencanaan Tata Ruang Perkotaan

  • Justifikasi Ilmiah: Kerentanan perkotaan adalah tema sentral, dan buku ini secara eksplisit mencatat bahwa lanskap dan teknik perkotaan memiliki dampak yang berbeda pada wanita dalam konteks ketahanan bencana. Perencanaan yang ada sering kali mengabaikan dimensi gender.
  • Arah Riset: Melakukan studi kualitatif-kuantitatif komparatif untuk menilai tingkat partisipasi wanita dan dampaknya terhadap keselamatan, akses sumber daya, dan ketahanan sosial di kota-kota yang mengalami penyusutan populasi pasca-bencana (seperti New Orleans dan Christchurch).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mendesain 'kota yang ramah usia' dan 'kota yang ramah gender' dengan mempertimbangkan kerentanan kelompok ini dalam desain infrastruktur dan kebijakan tata ruang (zona banjir, ruang terbuka hijau).

3. Mengukur Koefisien Kerentanan Struktural di Megacity Pesisir Global

  • Justifikasi Ilmiah: Pertumbuhan urbanisasi dan perubahan iklim menghasilkan hotspot kerentanan baru, terutama di megacity pesisir negara berkembang (seperti Jakarta atau Dhaka). Kerentanan ini berakar pada segregasi sosial dan ketidaksetaraan. Penilaian kerentanan diperlukan untuk mitigasi.
  • Arah Riset: Menerapkan analisis faktor dan autokorelasi spasial untuk mengidentifikasi hotspot kerentanan menggunakan data demografi terperinci. Variabel kunci yang harus disoroti meliputi status sosial-ekonomi, etnis, dan kualitas/lokasi perumahan untuk memprediksi risiko bencana.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah temuan ilmiah tentang kerentanan ini menjadi alat visual (peta) untuk kebijakan tata ruang dan zonasi yang memfasilitasi positive de-densification (penghapusan bangunan dari dataran banjir) di area yang paling rentan.

4. Isolasi Efek Percepatan Bencana dari Tren Demografi Jangka Panjang

  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa bencana seringkali hanya berfungsi sebagai agen percepatan tren yang sudah ada (misalnya, penurunan populasi di daerah terpencil atau migrasi pedesaan). Untuk perencanaan yang efektif, pembuat kebijakan perlu membedakan mana yang merupakan tren alami dan mana yang merupakan dampak bencana.
  • Arah Riset: Melakukan studi komparatif dan longitudinal menggunakan data serial waktu yang panjang (20-50 tahun) untuk memisahkan efek percepatan bencana terhadap tingkat migrasi keluar, umur populasi, dan tingkat kesuburan di daerah berpenduduk jarang yang dilanda bencana (seperti di Rusia atau pedalaman Australia).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Memperkuat pemahaman teoritis tentang geografi posibilisme dengan data kuantitatif, yang akan membantu perencanaan regional untuk beradaptasi dengan realitas populasi yang menyusut dan tidak lagi menunggu pertumbuhan.

5. Pemanfaatan Big Data untuk Demografi Terapan dalam Respons Bencana

  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun demografi terapan diakui penggunaannya di setiap tahap siklus bencana , kegunaannya terbatas karena kurangnya data real-time. Populasi sementara, seperti turis atau pengunjung, seringkali menjadi 'kelompok terlupakan' karena kurangnya perencanaan respons.
  • Arah Riset: Penelitian aksi yang berfokus pada pengembangan metodologi estimasi populasi pasca-bencana secara real-time yang mengintegrasikan data demografi tradisional dengan sumber big data (misalnya, data lokasi ponsel atau media sosial).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengembangkan protokol untuk mengidentifikasi dan memetakan populasi sementara yang rentan, memastikan bahwa perencanaan darurat dan mitigasi di masa depan dapat memperhitungkan dinamika populasi harian yang fluktuatif di lokasi berisiko tinggi.

Kesimpulan dan Kolaborasi

Nexus demografi-bencana adalah bidang yang matang untuk investasi riset transformatif. Temuan saat ini, yang menggarisbawahi peran penting komposisi populasi pra-bencana dalam menentukan kerentanan, secara langsung membuka jalan bagi perencanaan jangka panjang yang lebih terinformasi dan adaptif. Mengintegrasikan demografi dengan studi bencana memungkinkan kita untuk bergerak dari manajemen krisis pasif ke mitigasi risiko proaktif yang tertanam dalam realitas spasial dan sosial. Dengan memahami bahwa bencana dapat mempercepat perubahan demografi yang tidak dapat dihindari, kita dapat merencanakan kota dan wilayah yang menyusut dan beradaptasi alih-alih hanya berfokus pada pertumbuhan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki spesialisasi komplementer, seperti Geographical Institute (CSFK) di Budapest, Northern Institute di Charles Darwin University, dan University of Iceland, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus memperluas kolaborasi ke lembaga-lembaga yang fokus pada data spasial besar dan perencanaan kebijakan urban di wilayah berisiko tinggi.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mengkonseptualisasi Ulang Nexus Demografi-Bencana untuk Perencanaan Adaptasi Jangka Panjang
« First Previous page 36 of 1.279 Next Last »