Investasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Energi Terbarukan dan Tantangan Investasi di Indonesia
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target pengurangan emisi karbon dan transisi menuju energi bersih. Dengan 87,4% pembangkit listrik masih bergantung pada bahan bakar fosil, pengembangan pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (PLT-EBT) menjadi kunci menuju kemandirian dan keberlanjutan energi nasional.
Namun, pengembangan PLT-EBT bukan perkara mudah. Tingginya biaya awal, risiko bisnis tinggi, dan minimnya jaminan bagi investor membuat proyek PLT-EBT cenderung stagnan. Untuk mengatasi ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Permen ESDM No. 4 Tahun 2020, yang membuka pintu bagi skema kerja sama Build-Own-Operate (BOO). Skema ini memungkinkan pihak swasta membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit listrik tanpa keharusan menyerahkan asetnya kembali ke negara—berbeda dengan skema sebelumnya, yaitu Build-Operate-Transfer (BOOT).
Apa Itu Skema BOO dan Mengapa Jadi Kontroversial?
Definisi Singkat
BOO (Build-Own-Operate): Investor membangun, memiliki, dan mengoperasikan aset infrastruktur secara permanen.
BOOT (Build-Operate-Transfer): Investor membangun dan mengoperasikan, namun harus menyerahkan aset ke pemerintah di akhir masa konsesi.
Dengan skema BOO, investor dapat menjaminkan aset ke bank karena status kepemilikan penuh, yang meningkatkan bankability proyek. Namun, di sinilah letak polemiknya: apakah menyerahkan kontrol sepenuhnya ke swasta tidak bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa cabang produksi penting harus dikuasai negara?
Urgensi Skema BOO: Menarik Investasi, Mengurangi Risiko Finansial
Data dan Fakta
Pada 2020, konsumsi listrik Indonesia mencapai 1,09 MWh per kapita dan terus meningkat setiap tahun.
Emisi karbon dunia akibat PLTU fosil mencapai 33,1 miliar ton CO₂. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi 29–41% pada 2030.
Realisasi investasi energi terbarukan naik dari USD 1,36 miliar (2020) menjadi USD 1,55 miliar (2021), berkat regulasi baru.
Skema BOO sebagai Solusi Finansial
Sebelum Permen ESDM No. 4/2020, proyek PLT-EBT menggunakan skema BOOT yang dinilai tidak menarik bagi investor karena:
Aset harus diserahkan ke negara di akhir proyek.
Bank menilai proyek ini tidak bankable karena tidak ada jaminan.
Dengan skema BOO, aset tetap milik investor sehingga bisa digunakan sebagai agunan pinjaman. Hal ini menurunkan risiko dan membuka peluang pembiayaan lebih besar.
Skema BOO di Indonesia: Efisien atau Menyalahi Konstitusi?
Masalah Konstitusionalitas
Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945:
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Pembangkit listrik jelas masuk kategori ini. Maka muncul pertanyaan: apakah jika investor memiliki dan mengoperasikan PLT-EBT secara penuh, negara tetap "menguasai"?
Penafsiran “Dikuasai oleh Negara”
Penulis menjelaskan bahwa “penguasaan oleh negara” tidak selalu berarti kepemilikan langsung. Negara tetap dapat menjalankan fungsi penguasaan melalui:
Regulasi.
Pengawasan.
Penetapan kebijakan.
Dalam skema BOO, negara tetap mengatur tarif, jenis teknologi, jaminan pasokan, dan pelaksanaan proyek. Dengan demikian, BOO dianggap tidak melanggar prinsip penguasaan negara.
Kritik dan Tantangan: Risiko Politik dan Pengawasan Lemah
Kekurangan BOO
Risiko hilangnya kontrol negara: Jika aset vital sepenuhnya dimiliki swasta, negara berisiko kehilangan kontrol strategis.
Minimnya transfer teknologi: Tanpa tahap transfer, pelatihan dan alih ilmu dari investor ke tenaga lokal bisa terabaikan.
Ketergantungan pada swasta: Bisa terjadi risiko politik seperti kasus proyek nuklir Akkuyu di Turki yang dihentikan karena konflik politik dengan Rusia.
Opini dan Rekomendasi: Jalan Tengah Melalui BOO Hybrid?
Dari sudut pandang praktis, BOO terbukti mempercepat pembangunan EBT. Namun, untuk menjaga amanat konstitusi, penulis menyarankan:
Rekomendasi Strategis:
Buat BOO bersyarat
Misalnya, aset tetap milik swasta, tapi negara punya hak intervensi jika pasokan terancam.
Perketat pengawasan pemerintah
Bentuk badan independen untuk memantau operasional PLT-EBT milik swasta.
Wajibkan program transfer teknologi
Investor diwajibkan mendidik SDM lokal agar kelak bisa mengelola sendiri.
Batasi durasi kepemilikan swasta
Setelah masa tertentu (misal 30 tahun), aset bisa dialihkan melalui opsi pembelian negara.
Kesimpulan: BOO Layak Digunakan, Asalkan Diatur Ketat
Skema Build-Own-Operate dalam Permen ESDM No. 4 Tahun 2020 adalah respons terhadap kebutuhan investasi yang mendesak di sektor energi terbarukan. Skema ini:
Meningkatkan bankability proyek.
Menarik investor internasional.
Meningkatkan kapasitas energi bersih Indonesia.
Namun, negara harus bijak dalam menjaga prinsip konstitusional tentang penguasaan negara atas cabang produksi penting. Regulasi dan pengawasan menjadi kunci agar BOO tidak berujung pada liberalisasi total sektor energi.
Sumber:
Rachim, F.R.A., Wishnumurti, A., & Suryoputro, I. (2022). Peninjauan Skema Build-Own-Operate (BOO) Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan dalam Permen ESDM No. 4 Tahun 2020 Berdasarkan UUD 1945. Jurnal Rechtsvinding, 11(3), 335–355.
Dapat diakses di: https://rechtsvinding.bphn.go.id.
Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Mengapa Kesiapsiagaan Bencana di Sektor Konstruksi Begitu Mendesak?
Indonesia adalah negara dengan risiko gempa bumi tertinggi di dunia karena berada di atas tiga lempeng aktif: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dari tahun 2009 hingga 2019, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa. Gempa besar seperti Aceh (2004), Yogyakarta (2006), dan Padang (2009) adalah pengingat keras bahwa kesiapsiagaan tidak bisa ditunda—terutama dalam sektor konstruksi.
Namun sayangnya, banyak tenaga kerja konstruksi Indonesia masih bertumpu pada pengalaman dan pembelajaran otodidak, dengan partisipasi minim dalam pelatihan teknis. Hal ini menjadi tantangan besar, terlebih di tengah ambisi besar pemerintah dalam membangun infrastruktur nasional.
Pelatihan SMARTQuake di Pacitan: Upaya Nyata dari Akademisi
Latar Belakang
Kabupaten Pacitan, salah satu wilayah dengan aktivitas seismik tinggi di Indonesia, menjadi lokasi pilot project pelatihan mitigasi bencana gempa untuk tenaga kerja konstruksi. Kegiatan ini diinisiasi oleh Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS), bekerja sama dengan Dinas PUPR Pacitan.
Tujuan Pelatihan
Meningkatkan kompetensi teknis tenaga kerja konstruksi
Menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa
Mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan infrastruktur tahan gempa
Struktur Pelatihan dan Strategi Implementasi
Tahapan Pelaksanaan:
Identifikasi Permasalahan: Kolaborasi UNS dan Dinas PUPR untuk merancang solusi kompetensi.
Persiapan: Penyusunan materi, pemilihan peserta, dan pembuatan instrumen evaluasi (pre-test & post-test).
Pelaksanaan: Dilakukan dalam satu hari dengan 39 peserta dari kontraktor, mandor, tukang, hingga pelayan tukang.
Evaluasi: Pengukuran dampak pelatihan secara kuantitatif dengan metode pre-post test.
Temuan Utama: Dampak Signifikan Pelatihan
Statistik Pre dan Post-Test
Rerata nilai pre-test: 50 (rentang nilai: 20–80)
Rerata nilai post-test: 66 (rentang nilai: 30–100)
Peningkatan kompetensi: 33%
Data ini menunjukkan bahwa bahkan pelatihan satu hari yang dirancang dengan baik mampu menghasilkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta terkait gempa dan mitigasinya.
Profil Peserta
Usia dominan: 41–50 tahun
Implikasi: Peserta dianggap sebagai senior di lingkungan kerja, sehingga berpotensi menjadi agen pengetahuan yang menyebarkan informasi ke rekan kerja yang lebih muda.
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Program:
Terstruktur dan terukur
Kolaboratif antara kampus dan pemerintah daerah
Mendorong keberlanjutan kompetensi melalui tahapan pelatihan lanjutan
Kekurangan dan Tantangan:
Durasi pelatihan terlalu singkat untuk cakupan materi penting
Perluasan cakupan peserta (misal: konsultan perencana & pengawas) belum terealisasi
Materi teknis (beton & baja tulangan) baru akan diberikan di pelatihan tahap berikutnya
Peluang Strategis:
Replikasi program di wilayah rawan gempa lain (Palu, Malang, Bireuen, dll)
Integrasi materi mitigasi gempa dalam pelatihan bersertifikasi nasional
Digitalisasi materi pelatihan untuk skala yang lebih luas
Perbandingan dengan Program Serupa di Indonesia
Pelatihan sejenis juga dilakukan di berbagai daerah:
Kota Palu: Pelatihan membangun rumah sederhana tahan gempa (Amir et al., 2013)
Magelang & Wonosobo: Fokus pada penguatan struktur dan pengetahuan teknis
Merauke & Pekanbaru: Pelatihan beton dan teknik campuran
Kegiatan di Pacitan melengkapi mosaik upaya nasional dalam menciptakan ekosistem tenaga kerja konstruksi yang sadar bencana.
Implikasi Industri dan Kebijakan
Urgensi Sertifikasi Mitigasi Bencana bagi tukang dan mandor
Revitalisasi kurikulum pelatihan konstruksi oleh kementerian terkait
Pentingnya kemitraan akademisi–pemerintah–industri dalam menyiapkan tenaga kerja berdaya saing
Kesimpulan: Mitigasi Bencana Dimulai dari Lapangan
Pelatihan yang dilaksanakan oleh Grup Riset SMARTQuake membuktikan bahwa pendekatan berbasis komunitas, jika dijalankan dengan strategi dan dukungan yang tepat, mampu menghasilkan dampak nyata. Dengan peningkatan nilai post-test sebesar 33%, pelatihan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya konstruksi tahan gempa.
Langkah selanjutnya adalah replikasi, pelatihan lanjutan, dan integrasi dalam kebijakan pelatihan nasional.
Sumber Jurnal:
Pradana, E. W., Sangadji, S., Bhayusukma, M. Y., dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, Vol. 6, No. 6, Hal. 4689–4699.
DOI: https://doi.org/10.31764/jmm.v6i6.11075
Manajemen Kualitas
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Krisis Perawatan Gedung Pemerintah di Indonesia
Gedung pemerintah bukan hanya simbol pelayanan publik, tapi juga representasi dari tata kelola aset negara yang efisien. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak gedung pemerintah di Indonesia mengalami degradasi fungsi dan estetika akibat buruknya sistem pemeliharaan. Latar belakang ini menjadi dasar dilakukannya penelitian oleh Khairina dan Yusuf Latief dari Universitas Indonesia, yang mengembangkan Quality Management System (QMS) berbasis risiko untuk memperbaiki proses pemeliharaan tersebut.
Mengapa Sistem Manajemen Kualitas Diperlukan?
Menurut Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2011, gedung pemerintah merupakan aset negara yang harus dikelola secara optimal. Sayangnya, laporan dan studi lapangan menunjukkan seringnya terjadi kesalahan fungsi, kekurangan dokumentasi, hingga kerusakan fisik akibat absennya sistem perawatan terstruktur.
Peneliti menyadari bahwa:
Metodologi: Kombinasi Delphi, Kuesioner, dan Studi Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode Delphi dan survey kuesioner terhadap 44 responden dari berbagai instansi pemerintah dan swasta. Data dianalisis secara kualitatif dan deskriptif untuk memetakan risiko dalam setiap tahapan aktivitas pemeliharaan gedung.
Langkah-langkah utama penelitian:
1. Validasi terhadap struktur organisasi dan deskripsi pekerjaan.
2. Penjabaran 41 aktivitas dalam 4 proses bisnis utama pemeliharaan.
3. Identifikasi risiko pada tiap aktivitas.
4. Peringkat risiko menggunakan matriks probabilitas-dampak.
5. Penyusunan 24 aksi pengembangan QMS berbasis risiko.
Temuan Utama: 8 Risiko Tertinggi dalam Pemeliharaan Gedung Pemerintah
Dari 77 risiko yang berhasil diidentifikasi, berikut adalah 4 risiko paling tinggi (kategori “high”) berdasarkan nilai skoring:
Risiko-risiko ini bukan hanya berpotensi mengganggu operasional gedung, tetapi juga dapat menyebabkan pemborosan anggaran dan kerugian fungsi.
Strategi Solusi: 24 Aksi Pengembangan QMS
Peneliti merumuskan 24 aksi sebagai penguatan sistem manajemen mutu berbasis risiko. Di antaranya:
Penerapan solusi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi kerja, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pengawasan manual.
Studi Kasus dan Relevansi Lapangan
Sebagai contoh nyata, peneliti mengutip situasi di Gedung Rumah Negara, di mana pemeliharaan sering tidak sesuai dengan standar fungsi awal. Hal ini diperparah oleh kurangnya dokumentasi, staf yang tidak kompeten, dan rendahnya kesadaran pengguna gedung.
Tren ini mencerminkan tantangan yang dialami banyak institusi pemerintah, bahkan di negara lain. Studi oleh Ali dan Chua (2016) di Malaysia menunjukkan masalah serupa, dengan pembengkakan anggaran karena tidak adanya standar kualitas pemeliharaan yang baku.
Opini Kritis: Kelebihan dan Batasan Penelitian
Kelebihan:
Batasan:
Ke depan, pengembangan sistem digital terintegrasi seperti BIM (Building Information Modeling) untuk manajemen pemeliharaan dapat memperkuat implementasi QMS ini.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam regulasi atau platform digital seperti SIMAK-BMN (Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara).
Kesimpulan: Pilar Baru untuk Manajemen Aset Pemerintah
Penelitian Khairina dan Yusuf Latief menawarkan landasan kuat bagi pemerintah dalam mengelola aset gedung secara efektif, efisien, dan akuntabel. Dengan pendekatan manajemen kualitas berbasis risiko, pemerintah tidak hanya menjaga nilai ekonomis gedung, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap tata kelola negara.
Sumber Artikel
Khairina, & Latief, Y. (2018). Development of Quality Management System in the Process Implementation Maintenance Risk-Based in Government Building. Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, Bandung, Indonesia.
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kegagalan Proyek sebagai Tantangan Global
Kegagalan proyek bukan hanya persoalan teknis, melainkan problem multidimensional yang melibatkan tata kelola, politik, budaya, hingga kapasitas sumber daya. Dalam konteks negara berkembang seperti Ghana, kegagalan proyek pemerintah menjadi salah satu penyebab utama kerugian ekonomi, krisis kepercayaan publik, dan tertundanya pembangunan.
Disertasi karya Isaac Sakyi Damoah (Liverpool John Moores University, 2015) bertajuk An Investigation into the Causes and Effects of Project Failure in Government Projects in Developing Countries: Ghana as a Case Study membedah secara mendalam dinamika kegagalan proyek pemerintah di Ghana. Melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, riset ini tidak hanya memetakan penyebab dan dampaknya, tetapi juga memberi kontribusi penting pada literatur manajemen proyek di negara berkembang.
Metodologi: Menggabungkan Statistik dan Narasi Lapangan
Studi ini menggunakan pendekatan campuran: wawancara semi-terstruktur dengan 10 informan (kontraktor, praktisi manajemen proyek, dan masyarakat umum), serta survei kuesioner terhadap 265 responden. Teknik analisis yang digunakan antara lain statistik deskriptif, korelasi Spearman, dan uji Kruskal-Wallis. Pendekatan ini memastikan keberimbangan antara data empiris dan konteks sosial yang melingkupi proyek.
Skala Kegagalan Proyek Pemerintah di Ghana
Penelitian ini mengidentifikasi enam kriteria untuk menilai kegagalan proyek:
1. Keterlambatan waktu penyelesaian
2. Pembengkakan biaya
3. Tidak tercapainya output yang direncanakan
4. Ketidakpuasan pemangku kepentingan
5. Minimnya kontribusi terhadap sektor terkait
6. Gagal mendorong pembangunan nasional
Semua responden setuju bahwa proyek pemerintah di Ghana gagal dalam keenam aspek tersebut. Kegagalan terbesar ditemukan pada aspek ketepatan waktu dan biaya.
Studi Kasus: Proyek Infrastruktur 2012
Misalnya, proyek-proyek seperti Western Corridor Gas Infrastructure Project dan Tema-Akosombo-Buipe Multi-modal Transportation Project yang didanai pinjaman China Development Bank sebesar US$3 miliar pada 2012, gagal mencapai target waktu dan output. Proyek ini menjadi simbol dari praktik manajemen proyek yang tidak optimal.
Penyebab Utama Kegagalan Proyek
Sebanyak 32 penyebab kegagalan berhasil diidentifikasi, di antaranya:
Korelasi dengan Kepemimpinan Politik
Sebagian besar penyebab berakar dari kepemimpinan politik, bukan teknis. Misalnya, perubahan kepala proyek setiap kali terjadi pergantian pemerintah menyebabkan ketidaklanjutan proyek. Hal ini mencerminkan lemahnya institusionalisasi dan dominasi politik elektoral atas manajemen proyek.
Komparasi: Studi Serupa di Nigeria dan India
Fenomena serupa ditemukan di Nigeria (Adebayo, 2013) dan India (Dey, 2012) di mana pergantian kekuasaan turut mematikan kelanjutan proyek. Ini menunjukkan bahwa persoalan kegagalan proyek bersifat struktural dan lintas negara.
Dampak Kegagalan Proyek terhadap Pemangku Kepentingan
Sebanyak 26 efek negatif kegagalan proyek teridentifikasi, dengan dampak meluas hingga:
Efek Berantai dan Sistemik
Temuan menarik adalah efek yang saling berkait: misalnya, keterlambatan proyek menyebabkan pembengkakan biaya, yang kemudian mengurangi kepercayaan donor, lalu memicu krisis likuiditas dan meningkatnya kemiskinan.
Kritik dan Rekomendasi: Solusi Bukan Sekadar Teknis
Studi ini menekankan bahwa pendekatan solusi harus bersifat sistemik:
Peluang Digitalisasi
Digitalisasi sistem manajemen proyek (misalnya melalui BIM atau e-procurement) berpotensi meningkatkan akuntabilitas dan meminimalkan korupsi.
Kesimpulan: Kegagalan yang Dapat Dielakkan
Kegagalan proyek di Ghana bukanlah nasib, melainkan konsekuensi dari kelemahan struktural, dominasi politik, dan lemahnya kapasitas manajemen. Penelitian ini membuka peluang perbaikan manajemen proyek pemerintah di negara berkembang melalui pendekatan berbasis data dan reformasi kelembagaan.
Sumber Artikel
Damoah, I. S. (2015). An Investigation into the Causes and Effects of Project Failure in Government Projects in Developing Countries: Ghana as a Case Study (Doctoral dissertation, Liverpool John Moores University).
Tautan: https://repository.ljmu.ac.uk/id/eprint/158244
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Konstruksi Gagal, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dalam industri konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya berdampak pada kerugian finansial dan keselamatan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar dalam aspek hukum: siapa yang harus bertanggung jawab? Dwi Visti Rurianti dalam artikelnya yang berjudul Kegagalan Pelaksanaan Konstruksi Berdasarkan Perspektif Hukum menyajikan analisis mendalam terkait tanggung jawab hukum atas kegagalan bangunan berdasarkan UU Jasa Konstruksi di Indonesia.
Perspektif Hukum terhadap Kegagalan Konstruksi
Menurut UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, tanggung jawab atas kegagalan konstruksi tidak hanya dibebankan kepada penyedia jasa pelaksana, tetapi juga perencana dan pengawas proyek. UU ini menekankan pentingnya standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan sebagai landasan kontrak kerja konstruksi.
Namun, aturan hukum yang tersedia masih menimbulkan celah interpretasi, terutama dalam hal batas waktu tanggung jawab, definisi kegagalan bangunan, dan parameter penilai ahli yang independen. Misalnya, kontraktor bertanggung jawab selama 10 tahun sejak penyerahan proyek akhir, tetapi bagaimana jika kerusakan terjadi di tahun ke-11?
Studi Kasus: Kegagalan Proyek di Riau
Beberapa contoh nyata dari Provinsi Riau menggambarkan betapa kompleksnya dampak kegagalan proyek:
Kasus-kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan serta tidak adanya penilaian risiko yang tepat dari tahap awal proyek.
Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Konstruksi
Penulis mengelompokkan faktor penyebab kegagalan konstruksi ke dalam empat kategori utama:
1. Metode kerja dan lokasi proyek
2. Desain dan bahan bangunan
3. Kualitas dan kompetensi SDM
4. Kontrak dan penyimpangan pelaksanaan
Khusus poin keempat menjadi perhatian utama karena perjanjian kontrak sering kali tidak memperjelas konsekuensi hukum atas kegagalan proyek, atau tidak memasukkan klausul mengenai standar keberlanjutan dan risiko.
Instrumen Hukum dan Penegakan Sanksi
Penulis membahas tiga jalur hukum yang relevan:
1. Hukum Perdata
Berlaku jika terjadi wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, pengguna jasa dapat menuntut ganti rugi terhadap penyedia jasa atas kerugian material maupun immaterial.
2. Hukum Pidana
Jika kegagalan konstruksi mengakibatkan korban jiwa atau kerugian besar, pelaku dapat dikenai pidana hingga lima tahun penjara berdasarkan Pasal 359 KUHP dan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014. Pelaku yang bukan insinyur dan menyebabkan kecelakaan juga bisa dipidana maksimal 10 tahun dan denda satu miliar rupiah.
3. Sanksi Administratif
Mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin usaha. Ini berlaku bagi kontraktor yang tidak memenuhi kewajiban perbaikan setelah kegagalan bangunan.
Peran Penilai Ahli: Pilar Objektivitas dalam Konflik
UU No. 2 Tahun 2017 menetapkan bahwa dalam waktu maksimal 30 hari sejak laporan kegagalan diterima, Menteri wajib menetapkan penilai ahli untuk mengevaluasi kejadian tersebut. Penilai ahli harus bersertifikasi dan independen, serta hasil penilaiannya bisa menjadi bukti dalam proses hukum.
Namun, mekanisme ini belum berjalan optimal karena kurangnya jumlah penilai ahli yang berlisensi dan berpengalaman. Ini menjadi tantangan nyata dalam penegakan hukum.
Opini Kritis dan Rekomendasi
1. Batas Waktu Tanggung Jawab Perlu Dikaji Ulang
Masa tanggung jawab 10 tahun tidak cukup menjamin perlindungan jangka panjang. Masa guna bangunan bisa mencapai 20–30 tahun. Revisi diperlukan agar tanggung jawab sejalan dengan masa manfaat.
2. Klausul Force Majeure Harus Diperjelas
Banyak kontraktor bersembunyi di balik alasan force majeure. Harus ada batasan dan kriteria jelas apa yang masuk kategori ini.
3. Integrasi Pengawasan Berbasis Digital
Pemerintah bisa mendorong penggunaan sistem Building Information Modeling (BIM) untuk melacak kepatuhan teknis dan mencegah kesalahan desain.
4. Edukasi Hukum untuk Pelaku Konstruksi
Masih banyak pelaku jasa konstruksi yang belum memahami hak dan kewajibannya secara hukum. Sosialisasi UU Jasa Konstruksi harus lebih masif.
Kesimpulan: Hukum Sebagai Instrumen Pencegah, Bukan Sekadar Penghukum
Kegagalan proyek konstruksi adalah cermin dari kelemahan sistemik dalam regulasi, pengawasan, dan profesionalisme. Pendekatan hukum harus bersifat preventif, bukan hanya represif. Artikel Dwi Visti Rurianti menegaskan pentingnya pembenahan menyeluruh mulai dari regulasi, kontrak, hingga kapasitas sumber daya manusia agar proyek konstruksi tidak hanya selesai, tetapi juga aman, fungsional, dan akuntabel.
Sumber Artikel:
Rurianti, Dwi Visti. Kegagalan Pelaksanaan Konstruksi Berdasarkan Perspektif Hukum. Jurnal Hukum Konstruksi dan Infrastruktur.
Tautan: https://ojs.uniks.ac.id/index.php/jhki/article/view/1947
Industri Beresiko
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Risiko dalam Proyek Design and Build (D&B) Perlu Dikelola Serius?
Dalam industri konstruksi, metode Design and Build (D&B) sering dipuji karena efisiensinya: satu entitas bertanggung jawab atas desain dan pelaksanaan proyek, mempercepat proses dan mengurangi konflik. Namun, pendekatan ini juga membawa serta risiko-risiko unik yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Penelitian yang dilakukan oleh Ajayi et al. (2012) berjudul “Impact of Risk on Performance of Design and Build Projects in Lagos State, Nigeria” memberikan wawasan kritis tentang berbagai jenis risiko yang dapat memengaruhi kinerja proyek D&B—terutama dalam konteks negara berkembang. Studi ini relevan secara global karena menyentuh fondasi utama proyek: biaya, waktu, dan kualitas.
Metodologi: Studi Kuantitatif Berbasis Praktik Lapangan
Penelitian ini mengadopsi pendekatan deskriptif melalui survei terhadap 27 profesional konstruksi yang terlibat dalam proyek D&B di Lagos. Para responden terdiri dari konsultan (54%), kontraktor (42%), dan klien (4%). Profesi mereka mencakup arsitek, quantity surveyor, insinyur sipil, hingga ahli teknik elektro dan mesin. Proyek yang ditangani pun bervariasi, mulai dari hunian (50%), kantor (31%), industri (15%), hingga institusi (4%).
Dengan menggunakan Mean Item Score (MIS) sebagai alat analisis statistik, peneliti mengidentifikasi dan mengukur tingkat dampak dari berbagai risiko terhadap tiga aspek utama proyek: biaya, waktu, dan kualitas.
Risiko Tertinggi pada Aspek Biaya: Perubahan Lingkup Pekerjaan dan Inflasi
Temuan ini menunjukkan bahwa perencanaan awal yang tidak matang bisa menjadi bom waktu finansial. Proyek yang desainnya belum final tetapi sudah mulai dibangun rentan mengalami revisi, yang tentu berdampak langsung pada biaya material, tenaga kerja, dan manajemen.
Analisis Tambahan
Di Nigeria, inflasi tahunan mencapai angka dua digit dalam dekade terakhir, membuat estimasi biaya menjadi tidak stabil. Selain itu, kontraktor sering kali harus menanggung risiko nilai tukar karena impor material. Ini menunjukkan pentingnya cost contingency planning dan penggunaan kontrak berbasis eskalasi harga.
Risiko Waktu: Perubahan Desain hingga Akses Lokasi
Studi Kasus Relevan
Proyek pembangunan jalan tol di Lagos sempat mengalami keterlambatan hampir satu tahun akibat konflik hak akses tanah dan belum rampungnya izin lingkungan. Padahal konstruksi sudah dimulai. Hal ini menegaskan bahwa risiko administratif bisa sama seriusnya dengan risiko teknis.
Risiko Kualitas: Kontrol Mutu Jadi Sorotan
Kualitas menjadi titik rawan dalam sistem D&B, terutama karena pemilik proyek memiliki keterlibatan terbatas dalam proses desain yang dikelola sepenuhnya oleh kontraktor. Akibatnya, potensi penyimpangan mutu tinggi, apalagi jika pengawasan eksternal minim.
Opini Kritis: Apakah Design and Build Terlalu Berisiko?
Kelebihan Metode D&B
Mempercepat proses pengadaan dan pelaksanaan
Mengurangi konflik antar konsultan dan kontraktor
Potensi efisiensi biaya melalui integrasi tim
Kekurangan Serius
Risiko terpusat pada satu pihak (kontraktor)
Keterlibatan klien rendah dalam proses desain
Sulitnya memantau kualitas secara objektif jika tidak ada pengawasan pihak ketiga
Metode D&B memang efisien, tetapi jika digunakan tanpa pemahaman risiko yang matang, justru dapat menjadi bumerang. Di negara berkembang seperti Nigeria, di mana regulasi lemah dan pengalaman manajemen risiko masih terbatas, potensi gagal proyek meningkat signifikan.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini memperkuat temuan Oztas dan Okmen (2004) bahwa proyek D&B membawa intensitas risiko lebih tinggi dibanding metode tradisional. Berbeda dari studi-studi sebelumnya yang hanya menyebutkan risiko secara umum, penelitian Ajayi et al. menyajikan peringkat kuantitatif dan data berbasis lapangan.
Selain itu, pendekatan Mean Item Score memungkinkan analisis yang lebih presisi dibanding metode kualitatif semata, menjadikannya referensi penting untuk studi risiko proyek konstruksi.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Bagi praktisi proyek, temuan ini memberikan panduan penting:
Apa yang Harus Dilakukan?
Lakukan identifikasi risiko sejak tahap perencanaan
Gunakan pendekatan sistematis seperti HIRA (Hazard Identification and Risk Assessment).
Pisahkan kontrak desain dan konstruksi untuk proyek kompleks
D&B cocok untuk proyek sederhana atau fast-track, tetapi kurang ideal untuk proyek infrastruktur besar dengan risiko tinggi.
Tingkatkan kapasitas manajemen risiko kontraktor lokal
Melalui pelatihan, standarisasi kontrak, dan integrasi digital tools seperti BIM dan ERP.
Adopsi pendekatan risk-sharing yang seimbang
Jangan bebankan semua risiko kepada satu pihak. Sistem kontrak harus adil dan transparan.
Penutup: Belajar dari Lagos untuk Dunia
Penelitian ini menjadi alarm bagi semua stakeholder proyek, tidak hanya di Nigeria, tetapi juga di negara berkembang lain—termasuk Indonesia. Ketika efisiensi menjadi prioritas, jangan lupakan bahwa pengelolaan risiko adalah kunci utama keberhasilan proyek.
Metode D&B tetap relevan dan menjanjikan. Namun tanpa pengelolaan risiko yang sistematis, efisiensi yang diimpikan bisa berubah menjadi kegagalan konstruksi.
Sumber:
Ajayi, O.M., Ogunsanmi, O.E., Salako, O.A., & Mafimidiwo, B.A. (2012). Impact of Risk on Performance of Design and Build Projects in Lagos State, Nigeria. Journal of Civil Engineering and Architecture, Vol. 6, No. 9, pp. 1210–1217.
[DOI unavailable, full text: Journal of Civil Engineering and Architecture (ISSN 1934-7359)].