Teknik Industri
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Transformasi Digital di Sektor Konstruksi
Industri konstruksi secara global tengah mengalami gelombang transformasi digital yang cukup signifikan. Salah satu pendorong utama perubahan ini adalah teknologi Building Information Modelling (BIM), sebuah pendekatan berbasis data dan kolaboratif yang merevolusi cara perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan proyek konstruksi. Paper berjudul “The Use of Building Information Modelling in Construction Industry” membahas secara komprehensif potensi dan hambatan implementasi BIM dalam konteks pembangunan modern, khususnya dari perspektif pelaku industri di Malaysia.
Artikel ini akan mengupas ulang temuan utama paper tersebut dengan parafrase alami, memperluasnya dengan studi kasus dan data relevan, serta memberikan analisis tambahan yang menghubungkan hasil riset ini dengan tren dan tantangan nyata dalam dunia konstruksi saat ini.
Apa Itu Building Information Modelling (BIM)?
BIM bukan sekadar perangkat lunak desain, melainkan metodologi terintegrasi yang memungkinkan semua pemangku kepentingan dalam proyek konstruksi—termasuk arsitek, insinyur, kontraktor, dan pemilik proyek—untuk berkolaborasi melalui model digital tiga dimensi yang mencakup data teknis, visual, dan administratif.
BIM membantu dalam:
Deteksi konflik desain sejak dini (clash detection).
Perencanaan biaya dan waktu yang lebih akurat.
Koordinasi antardisiplin yang lebih efisien.
Simulasi performa bangunan sebelum konstruksi nyata dilakukan.
Temuan Kunci: Kesadaran Tinggi, Penerapan Masih Terbatas
Statistik Partisipasi
Dalam penelitian ini, sebanyak 68 responden dari sektor konstruksi Malaysia menjadi sampel. Mayoritas berasal dari perusahaan konstruksi berskala menengah dan besar. Temuan pentingnya:
96% responden menyatakan mengetahui tentang BIM.
Namun, hanya sekitar 35% yang benar-benar menerapkan BIM dalam proyek mereka.
Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kesadaran dan adopsi aktual. Hal ini konsisten dengan laporan McGraw-Hill Construction yang menyebut bahwa di Asia Tenggara, awareness terhadap BIM sangat tinggi, tetapi implementasi masih terkonsentrasi pada proyek berskala besar.
Manfaat Nyata dari Implementasi BIM
1. Peningkatan Efisiensi Proyek
BIM memungkinkan simulasi proyek sejak tahap desain, mengurangi kebutuhan revisi lapangan dan mempercepat proses konstruksi. Sebuah studi oleh Dodge Data & Analytics menunjukkan bahwa BIM dapat mempercepat waktu penyelesaian proyek hingga 20% dan menurunkan biaya hingga 15% berkat deteksi kesalahan dini.
2. Kolaborasi Lebih Baik
Dalam sistem tradisional, komunikasi antardisiplin sering kali fragmentaris. BIM mengintegrasikan semua data dalam satu platform kolaboratif, yang memperkecil miskomunikasi antara arsitek, kontraktor, dan konsultan.
3. Dokumentasi yang Akurat
Dengan BIM, setiap perubahan desain otomatis diperbarui dalam semua dokumen terkait. Hal ini mengurangi risiko human error dalam pembaruan dokumen proyek.
Kendala Implementasi BIM di Lapangan
Meskipun manfaatnya jelas, paper ini juga mengungkap berbagai tantangan besar yang menghambat adopsi BIM, antara lain:
1. Tingginya Biaya Awal
Sebanyak 67% responden menyebut bahwa investasi awal—baik untuk perangkat lunak maupun pelatihan staf—menjadi penghalang utama. Ini sejalan dengan temuan lain di sektor konstruksi global, di mana biaya lisensi software seperti Autodesk Revit dan pelatihan dapat mencapai puluhan ribu ringgit atau dolar.
2. Kurangnya Tenaga Ahli
Hanya 22% responden yang merasa bahwa perusahaan mereka memiliki staf dengan kemampuan BIM yang memadai. Kekurangan SDM terlatih menjadikan implementasi tidak maksimal. Di sisi lain, permintaan tenaga kerja BIM meningkat signifikan, terutama di sektor infrastruktur publik.
3. Resistensi terhadap Perubahan
Budaya organisasi konservatif dan keengganan mengubah proses kerja tradisional juga menjadi hambatan. Banyak manajer proyek merasa nyaman dengan sistem manual, meskipun kurang efisien.
Studi Kasus: Proyek MRT Malaysia & BIM
Salah satu contoh sukses implementasi BIM di Malaysia adalah proyek MRT Sungai Buloh-Kajang. Dalam proyek ini, BIM digunakan untuk:
Koordinasi desain lintas kontraktor.
Simulasi waktu pelaksanaan (4D BIM).
Analisis biaya (5D BIM).
Hasilnya, proyek berhasil mengurangi potensi konflik desain dan mempermudah proses approval dari otoritas. Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa BIM bisa bekerja efektif jika didukung oleh kebijakan institusi dan SDM yang memadai.
Perspektif Global: Di Mana Malaysia Berdiri?
Jika dibandingkan dengan negara seperti Singapura dan Inggris, adopsi BIM di Malaysia masih tergolong rendah. Pemerintah Inggris, misalnya, telah mewajibkan penggunaan BIM Level 2 pada semua proyek pemerintah sejak 2016. Singapura bahkan mendirikan Centre for Lean and Virtual Construction untuk mendorong riset dan edukasi BIM secara sistemik.
Malaysia sendiri telah meluncurkan BIM Roadmap 2020–2025 melalui CIDB (Construction Industry Development Board), tetapi implementasinya masih terkendala oleh keterbatasan infrastruktur digital di lapangan.
Opini Kritis & Rekomendasi
Paper ini memberikan gambaran yang valid mengenai kondisi implementasi BIM saat ini. Namun, untuk memperkuat dampaknya, beberapa hal berikut perlu ditambahkan:
1. Perluasan Sampel dan Pendekatan Longitudinal
Studi ini terbatas pada 68 responden. Akan lebih representatif jika dilakukan studi longitudinal dengan ratusan perusahaan dalam rentang waktu berbeda untuk melihat evolusi adopsi.
2. Kaitkan dengan ROI dan Produktivitas
Masih sedikit pembahasan tentang seberapa besar BIM berdampak pada Return on Investment (ROI). Penelitian oleh Stanford University menunjukkan bahwa penggunaan BIM dapat menghasilkan ROI hingga 10 kali lipat dibanding biaya awal.
3. Dorongan dari Pemerintah
Langkah seperti pemberian insentif, integrasi BIM dalam kurikulum universitas teknik, serta pemutakhiran regulasi sangat dibutuhkan untuk mendorong ekosistem BIM nasional.
Kesimpulan: Masa Depan BIM di Industri Konstruksi
BIM bukan lagi teknologi masa depan, melainkan kebutuhan masa kini. Namun, kesuksesan implementasinya tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Diperlukan sinergi antara:
Investasi perangkat lunak & pelatihan SDM.
Dukungan regulasi pemerintah.
Kesediaan industri untuk berubah.
Dengan tantangan urbanisasi, kebutuhan akan proyek infrastruktur cerdas, dan desakan efisiensi biaya, BIM bisa menjadi tulang punggung revolusi digital sektor konstruksi jika diterapkan secara serius.
Sumber
Paper asli dapat diakses di jurnal International Journal of Sustainable Construction Engineering and Technology melalui tautan berikut:
https://publisher.uthm.edu.my/ojs/index.php/IJSCET/article/view/4696
Keuangan Publik
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam konteks desentralisasi fiskal, daerah dituntut mandiri dalam mengelola keuangannya untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Paper berjudul "Analisis Pengaruh Tingkat Ketergantungan Daerah, Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah, dan Tingkat Efektivitas PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia di 9 Kota Provinsi Jawa Timur Periode 2012–2021" karya Nur Kholisoh dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta membahas hubungan antara rasio keuangan daerah dengan pencapaian IPM sebagai indikator kualitas hidup.
Latar Belakang
Pembangunan daerah tidak lagi hanya bergantung pada pemerintah pusat. Otonomi daerah memberi wewenang kepada kabupaten/kota untuk menentukan kebijakan dan mengelola anggaran secara independen. Namun, kenyataannya masih banyak daerah yang bergantung pada dana transfer pusat. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kota terbanyak, menjadi studi menarik karena memiliki variasi yang jelas dalam tingkat ketergantungan dan kemandirian fiskalnya.
Permasalahan Utama:
Apakah rasio ketergantungan daerah berpengaruh signifikan terhadap IPM?
Sejauh mana efektivitas PAD mampu meningkatkan pembangunan manusia?
Apakah kemandirian fiskal memegang peranan penting dalam kesejahteraan masyarakat?
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan data panel dari 9 kota di Jawa Timur (2012–2021). Teknik analisis yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM), dipilih berdasarkan uji Chow dan Hausman. Data diperoleh dari BPS dan DJPK Kemenkeu.
Variabel yang Diteliti:
Variabel Dependen: Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Variabel Independen:
Rasio Ketergantungan Daerah (RKD)
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD)
Rasio Efektivitas PAD (REPAD)
Teknik Analisis Tambahan:
Penelitian juga dilengkapi dengan uji asumsi klasik (multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi) dan uji statistik (uji T, F, R²).
Hasil Penelitian
Hasil menunjukkan bahwa secara simultan ketiga variabel independen berpengaruh signifikan terhadap IPM. Namun, secara parsial:
RKD: Berpengaruh negatif signifikan, artinya semakin tinggi ketergantungan pada pusat, semakin rendah IPM.
RKKD: Tidak berpengaruh signifikan terhadap IPM.
REPAD: Berpengaruh positif signifikan, menunjukkan bahwa realisasi PAD yang efektif meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Studi Kasus & Visualisasi Data
Kota Surabaya menunjukkan performa fiskal terbaik dengan IPM tertinggi (80,49) dan tingkat ketergantungan terendah (sekitar 41%).
Kota Probolinggo memiliki IPM terendah (71,68), tingkat ketergantungan tinggi (>80%), serta efektivitas PAD yang lebih rendah.
Grafik dan tabel (dari tahun 2012–2021) mendukung pola bahwa kota dengan PAD efektif dan ketergantungan rendah cenderung memiliki IPM lebih baik.
Analisis dan Nilai Tambah
Implikasi Kebijakan:
Pemerintah daerah perlu memaksimalkan potensi PAD melalui optimalisasi pajak daerah dan efisiensi pengeluaran.
Kemandirian fiskal harus dibarengi dengan perencanaan strategis dan kapasitas birokrasi.
Kritik dan Kelebihan:
Kelebihan: Data lengkap selama 10 tahun, analisis panel kuat, dan fokus pada kota yang representatif di Jawa Timur.
Kekurangan: Tidak mempertimbangkan faktor non-fiskal seperti kualitas pendidikan dan kesehatan secara langsung.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi oleh Sarkoro & Zulfikar (2016) yang menyebutkan bahwa efektivitas PAD sangat penting dalam peningkatan IPM. Namun berbeda dengan Dwiyandari & Badera (2018) yang menyatakan bahwa kemandirian fiskal memiliki pengaruh signifikan, padahal hasil penelitian ini justru menunjukkan sebaliknya.
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kinerja fiskal daerah, khususnya dalam menurunkan ketergantungan terhadap pusat dan meningkatkan efektivitas PAD, sangat berperan dalam meningkatkan IPM di tingkat kota. Kota-kota di Jawa Timur yang mampu merealisasikan PAD secara efektif terbukti memiliki kualitas pembangunan manusia yang lebih baik.
Saran
Pemerintah pusat perlu memberikan insentif bagi daerah yang berhasil menurunkan ketergantungan.
Daerah perlu meningkatkan inovasi dalam pemungutan PAD dan efisiensi alokasi anggaran.
Sumber
Paper ini dapat diakses melalui skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis: Nur Kholisoh. Tahun: 2023.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Kenapa Risiko K3 di Struktur Atas Menjadi Fokus Utama?
Pekerjaan struktur atas dalam proyek konstruksi gedung dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Risiko seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa material berat, hingga kerusakan alat berat dapat berdampak langsung pada keselamatan nyawa pekerja. Artikel karya La Ode Asrul R. dan tim menyoroti urgensi penerapan manajemen risiko K3 secara sistematis dalam tahapan ini, dengan studi kasus pada proyek gedung di Kota Kendari.
Dalam konteks industri konstruksi Indonesia yang terus bertumbuh, aspek keselamatan kerja tak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan kerja pada sektor konstruksi terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan risiko K3. Ini memperkuat pentingnya penelitian ini sebagai referensi implementatif.
Metodologi: Penilaian Risiko Menggunakan Metode Semi-Kuantitatif
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan data diperoleh melalui:
Observasi langsung di lapangan,
Wawancara dengan tenaga kerja proyek,
Kuesioner skala 1–5 terhadap 30 responden yang terdiri dari mandor, pengawas, dan pekerja lapangan.
Data ini kemudian diolah menggunakan metode matriks risiko semi-kuantitatif berdasarkan kombinasi tingkat kemungkinan dan dampak, untuk menentukan tingkat risiko secara objektif.
Temuan Utama: Risiko Kritis yang Mendominasi
Jenis Risiko Tinggi Berdasarkan Hasil Skoring
Berdasarkan perhitungan Risk Assessment Matrix, ditemukan 7 risiko utama dengan nilai risiko tinggi.
Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas risiko di pekerjaan struktur atas berkaitan langsung dengan aktivitas fisik di ketinggian dan interaksi dengan alat berat.
Studi Kasus Tambahan: Tren Umum Kecelakaan di Struktur Atas
Dalam konteks global, laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 1 dari 6 kecelakaan fatal di industri konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Di Indonesia sendiri, kasus seperti insiden runtuhnya scaffolding di proyek tol layang Jakarta–Cikampek (2019) menjadi pengingat akan lemahnya implementasi prosedur keselamatan di pekerjaan struktur atas.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Rencana Penanganan Risiko
Penulis menawarkan beberapa tindakan mitigasi terhadap risiko tinggi tersebut, seperti:
Penggunaan full body harness dan pengaman jatuh standar SNI,
Pelatihan berkala mengenai penggunaan alat berat dan APD,
Pengecekan alat bantu kerja seperti scaffolding secara rutin,
Pemasangan rambu keselamatan dan peringatan zona bahaya.
Rekomendasi ini sejajar dengan standar internasional seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), yang menyarankan sistem proteksi berlapis di area kerja ketinggian.
Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Kelebihan
Pendekatan semi-kuantitatif memudahkan identifikasi prioritas risiko tanpa kehilangan konteks nyata di lapangan.
Penelitian ini bersifat aplikatif dan mudah direplikasi untuk proyek konstruksi lain.
Keterbatasan
Fokus hanya pada struktur atas membatasi generalisasi untuk keseluruhan proyek gedung.
Belum menjangkau aspek psikologis dan perilaku pekerja terhadap kepatuhan terhadap prosedur K3.
Nilai Tambah dan Opini Kritis
Studi ini menyumbangkan pemahaman mendalam terhadap manajemen risiko K3 di sektor konstruksi, terutama pada pekerjaan yang paling berisiko. Namun, untuk implementasi optimal, dibutuhkan:
Keterlibatan manajemen puncak dalam mendukung kebijakan K3,
Digitalisasi sistem K3, seperti penggunaan aplikasi pelaporan risiko secara real-time,
Sanksi tegas terhadap pelanggaran SOP keselamatan,
Penerapan safety leadership agar budaya K3 tidak sekadar formalitas administratif.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Mustaqim & Pane (2021) yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja menurun seiring dengan meningkatnya risiko keselamatan yang tak tertangani. Selain itu, riset Fadli Djafri et al. (2023) juga menekankan pentingnya identifikasi risiko secara awal di tahap perencanaan sebagai langkah preventif.
Kaitkan dengan Tantangan Industri Konstruksi Saat Ini
Dalam era transformasi digital dan revolusi industri 4.0, sektor konstruksi masih menghadapi tantangan klasik: kurangnya tenaga kerja terlatih, lemahnya kontrol lapangan, dan resistensi terhadap prosedur keselamatan.
Penerapan manajemen risiko berbasis data seperti dalam penelitian ini menjadi solusi menjanjikan. Kombinasi pengetahuan teknis dan kepatuhan etis menjadi fondasi masa depan proyek konstruksi yang aman dan berkelanjutan.
Penutup: Jalan Panjang Mewujudkan Zero Accident
Artikel ini menyampaikan pesan penting: bahwa risiko bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan metodologis yang kuat dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kontraktor, pengawas, maupun regulator dalam membangun budaya keselamatan yang kuat di proyek-proyek konstruksi Indonesia.
Sumber Referensi
La Ode Asrul R., Rosdiana Rahim, dan Abdul Rahman. (2023). Analisa Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Proyek Pekerjaan Struktur Atas Gedung. Jurnal Teknik Sipil Universitas Halu Oleo. https://ojs.uho.ac.id/index.php/JTS
ILO. (2023). Construction: A hazardous work. https://www.ilo.org
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Harus Berubah? Realitas Design-Bid-Build yang Kaku dan Kompetitif
Sistem pengadaan proyek konstruksi tradisional seperti Design-Bid-Build (DBB) telah menjadi tulang punggung pembangunan di banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terstruktur dan legalitasnya sudah mapan, sistem ini mengandalkan kompetisi antar pihak sejak awal hingga akhir proyek. Hal ini menciptakan fragmentasi, ketidakpercayaan, dan hambatan kolaborasi.
Masalah utama dari sistem DBB adalah:
Hubungan yang berbasis kompetisi, bukan kolaborasi.
Minimnya koordinasi antara perancang dan pelaksana.
Rentan terhadap konflik saat desain harus disesuaikan di lapangan.
Menurut studi ini, kondisi tersebut diperparah saat proyek menghadapi tantangan besar seperti pandemi COVID-19, perubahan desain mendadak, keterlambatan pasokan material, atau keputusan manajerial yang lambat.
Apa Solusinya? Menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang Kolaboratif
Perubahan Paradigma: Dari Kompetisi ke Kooperasi
Penelitian ini mengusulkan agar proyek DBB dapat meningkatkan kualitas “partnering”—atau hubungan kerja sama—menuju standar IPD, meskipun kontrak formal tetap berbasis DBB. Artinya, kolaborasi bisa dibangun tanpa mengubah sistem hukum atau bentuk kontrak.
Integrated Project Delivery (IPD) sendiri adalah sistem pengadaan yang berbasis kolaborasi mendalam sejak tahap paling awal proyek. IPD menuntut semua pihak—pemilik, kontraktor, perancang, dan pemasok—bekerja dalam satu kontrak multipihak, berbagi risiko dan keuntungan, serta berkontribusi sejak desain belum dimulai.
Metodologi Penelitian: Studi Proyek dan Pendekatan Delphi
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan:
Studi tiga proyek DBB di Indonesia bernilai di atas Rp 10 miliar.
Diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan 14 pakar (akademisi, kontraktor, konsultan).
Delphi Method untuk mencapai konsensus dalam rekomendasi strategi partnering.
Hasilnya menghasilkan model perubahan bertahap dari pola persaingan menuju kolaborasi.
Tingkatan Partnering: Dari Kompetisi ke Koalesensi
Studi Kasus: 3 Proyek DBB Indonesia dan Analisis Keterlambatan
Fakta Lapangan
Dari ketiga proyek yang diteliti:
Semuanya mengalami keterlambatan signifikan.
Penyebab utama: perubahan desain (rework), keterbatasan SDM, keterlambatan material, dan keputusan lambat oleh pemilik proyek.
Data grafik menunjukkan penyimpangan standar tinggi dari rencana awal (lihat Gambar 6 & 7 dalam artikel), menandakan kinerja buruk.
Strategi Perubahan: Dari DBB Kompetitif ke DBB Kolaboratif
Model Perubahan yang Direkomendasikan
Tanpa mengubah format kontrak DBB, hubungan kerja bisa ditransformasikan sebagai berikut:
Pemilik proyek menunjuk desainer berdasarkan visi bersama, bukan hanya harga terendah.
Kontraktor dilibatkan sejak tahap desain, tidak hanya setelah perencanaan selesai.
Subkontraktor dipilih berdasarkan hubungan jangka panjang, bukan hanya lewat tender lepas.
Bagi hasil keuntungan dan skema risiko bersama diperkenalkan sejak awal.
Model ini bertujuan meniru kualitas hubungan dalam IPD, walau tetap berada dalam kerangka hukum DBB.
Dampak Praktis: Manfaat Nyata Kolaborasi
Penelitian ini menegaskan bahwa transformasi menuju kolaborasi bukan sekadar konsep ideal. Berdasarkan berbagai referensi studi sebelumnya:
Produktivitas pekerja naik 10%.
Biaya proyek turun hingga 10%.
Jadwal proyek lebih tepat waktu (hingga 100% sesuai rencana).
Pekerjaan berulang (rework) turun 50%.
Hubungan kerja jangka panjang terbentuk
Kritik dan Tantangan Implementasi di Indonesia
Kendala Utama:
IPD belum dikenal luas dalam sistem pengadaan pemerintah.
Masih dominan paradigma tender harga terendah.
Budaya kerja yang terbiasa kompetisi, bukan kolaborasi.
Risiko tuduhan “pilih kasih” jika pemilik proyek menunjuk mitra tanpa tender.
Namun, justru karena tantangan inilah pendekatan “DBB kolaboratif” menjadi solusi pragmatis: tanpa melanggar aturan formal, tapi tetap mengadopsi semangat IPD.
Rekomendasi Strategis
Revisi standar pengadaan proyek pemerintah untuk memungkinkan pendekatan kolaboratif.
Sosialisasi konsep IPD ke pelaku industri dan regulator.
Pilot project IPD terbatas di proyek-proyek strategis untuk uji coba.
Bangun sistem evaluasi berbasis kinerja jangka panjang, bukan hanya capaian fisik.
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Berkelanjutan Ada pada Kolaborasi
Penelitian ini menyampaikan pesan kuat: untuk mencapai kinerja proyek yang optimal—baik dari sisi waktu, biaya, kualitas, maupun kesinambungan—diperlukan pergeseran paradigma dari persaingan ke kolaborasi. Meski sistem pengadaan belum berubah, cara kita membangun hubungan kerja bisa ditingkatkan.
DBB tidak harus dibuang, tapi harus dikembangkan. Melalui pendekatan strategis, nilai-nilai IPD bisa diadopsi, sehingga menciptakan proyek infrastruktur yang efisien, harmonis, dan berkelanjutan di masa depan.
Sumber:
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., dkk. (2024). Design Bid Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242.
Tautan resmi: https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Mei 2025
Mengapa Kinerja Proyek Infrastruktur Irigasi Perlu Diperbarui?
Dalam era pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan menjadi isu utama yang tak bisa dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan irigasi. Di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengalokasikan anggaran besar untuk sektor ini. Pada tahun 2016 misalnya, dari total anggaran sebesar Rp 103,8 triliun, sekitar Rp 29,7 triliun ditujukan khusus untuk bidang Sumber Daya Air.
Namun, besarnya anggaran tidak serta-merta menjamin keberhasilan proyek. Evaluasi kinerja masih dominan pada serapan anggaran dan pencapaian fisik. Pendekatan ini mengabaikan kontribusi dan kepuasan para stakeholder lain seperti petani, kontraktor, konsultan, dan bahkan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pendekatan baru yang lebih holistik sangat dibutuhkan—dan di sinilah metode Performance Prism masuk sebagai solusi.
Apa Itu Performance Prism?
Performance Prism adalah model pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh Neely & Adams (2000). Berbeda dari model Balanced Scorecard atau IPMS, Performance Prism menilai organisasi dari lima sisi yang saling terhubung:
Stakeholder Satisfaction
Apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh stakeholder?
Stakeholder Contribution
Apa kontribusi stakeholder terhadap organisasi?
Strategies
Strategi apa yang digunakan untuk memenuhi harapan stakeholder?
Processes
Proses apa yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi tersebut?
Capabilities
Apa saja kapabilitas organisasi untuk mendukung proses dan strategi?
Model ini mengakui bahwa semua pihak memiliki ekspektasi dan kontribusi terhadap keberhasilan proyek, bukan hanya pengguna jasa utama.
Studi Kasus: Infrastruktur Irigasi Nasional
Masalah dalam Pengukuran Kinerja Proyek Saat Ini
Fokus berlebihan pada indikator output (anggaran & fisik).
Tidak mengintegrasikan peran serta kebutuhan stakeholder.
Tidak mencerminkan kualitas layanan dan dampak jangka panjang.
Untuk menjawab tantangan tersebut, penelitian ini menerapkan kerangka Performance Prism untuk proyek infrastruktur jaringan irigasi.
Metode Penelitian
Jenis: Kualitatif deskriptif.
Teknik: Observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur.
Responden: Stakeholder kunci proyek, seperti Kementerian PUPR, kontraktor, konsultan perencana/pengawas, auditor, petani, dan pemerintah daerah.
Hasil Utama: 15 Tujuan Bersama dan Ratusan KPI Teridentifikasi
Tujuan Bersama (Objective) Proyek
Penelitian mengidentifikasi 15 tujuan utama yang mewakili keinginan dan kebutuhan stakeholder, di antaranya:
Transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Perencanaan matang sesuai tujuan proyek.
Pengadaan/lelang yang jujur dan kompetitif.
Pelaksanaan tepat waktu dan ramah lingkungan.
Kualitas dan kuantitas pekerjaan sesuai standar.
Efisiensi pengelolaan sumber daya.
Fungsionalitas hasil konstruksi.
Keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja.
Komunikasi dan koordinasi antar pihak.
Penyelesaian masalah proyek secara tuntas.
Monitoring dan pengawasan yang objektif.
Dokumentasi dan administrasi tertib.
Pemeliharaan infrastruktur berkelanjutan.
Ketepatan waktu pembayaran.
Pemberian manfaat riil kepada masyarakat.
Komponen Indikator Kinerja: Lebih Komprehensif dan Relevan
Indikator Tahap Perencanaan & Pelelangan
Keselarasan desain dengan tujuan nasional dan kondisi lapangan.
Efisiensi dan kemudahan implementasi.
Ketepatan prosedur lelang dan dokumentasi.
Indikator Tahap Pelaksanaan
Biaya, kualitas, dan kuantitas pekerjaan.
Pengelolaan sumber daya manusia dan material.
Aspek keselamatan kerja dan dampak lingkungan.
Efektivitas komunikasi dan pemecahan masalah.
Output fungsional proyek dan keterlibatan masyarakat.
Indikator Tahap Pemeliharaan
Konsistensi kualitas fisik pasca-konstruksi.
Efektivitas anggaran pemeliharaan.
KPI tersebut dapat digunakan untuk menyusun laporan berkala yang lebih bermakna dibanding sekadar persentase realisasi fisik.
Nilai Tambah: Apa Kelebihan Performance Prism?
Dibanding Balanced Scorecard:
Balanced Scorecard hanya berfokus pada shareholder dan customer.
Performance Prism memperluas cakupan hingga petani dan auditor.
Dibanding IPMS:
IPMS cenderung langsung menetapkan KPI tanpa mengaitkannya dengan strategi dan kapabilitas.
Performance Prism memastikan hubungan logis antara tujuan → strategi → proses → kapabilitas → KPI
Implikasi Praktis: Membuka Jalan untuk Evaluasi Proyek yang Lebih Cerdas
Bagi Pemerintah:
Menyediakan alat ukur yang mencerminkan keberhasilan jangka panjang, bukan sekadar pencapaian anggaran.
Bagi Kontraktor dan Konsultan:
Memperjelas ekspektasi dan kontribusi mereka dalam proyek.
Meningkatkan akuntabilitas kerja dan reputasi.
Bagi Petani dan Masyarakat Lokal:
Mendorong inklusi sosial dan ekonomi.
Menjamin bahwa hasil proyek benar-benar memberikan manfaat.
Kritik Konstruktif terhadap Penelitian
Kelebihan:
Pendekatan holistik dan partisipatif.
Penyusunan indikator berdasarkan data lapangan.
Memungkinkan personalisasi KPI berdasarkan jenis proyek.
Keterbatasan:
Tidak ada uji coba lapangan untuk melihat efektivitas KPI secara real-time.
Masih bersifat teoritis, perlu penerapan di proyek nyata.
Kurangnya kuantifikasi untuk validasi indikator numerik.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Uji lapangan KPI pada proyek irigasi aktif agar indikator bisa diuji dampaknya terhadap efisiensi dan kepuasan stakeholder.
Penggunaan software berbasis dashboard untuk memantau KPI secara real-time.
Perluasan penggunaan model ini ke sektor lain, seperti proyek sanitasi, transportasi, dan pembangunan kota.
Kesimpulan: Menuju Sistem Evaluasi Proyek yang Lebih Bermakna
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan Performance Prism sangat efektif dalam menciptakan sistem pengukuran kinerja yang inklusif dan strategis. Dengan mempertimbangkan harapan dan kontribusi semua stakeholder, evaluasi proyek tidak lagi bersifat sempit dan birokratis, melainkan menjadi instrumen manajemen yang visioner.
Di tengah tuntutan pembangunan berkelanjutan dan tata kelola yang lebih transparan, pendekatan seperti ini menjadi keniscayaan—bukan sekadar alternatif.
Sumber:
Aditya, Nofi. (2017). Identifikasi Indikator Kinerja Proyek Infrastruktur Jaringan Irigasi dengan Metode Performance Prism. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek
Kualitas Produksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Mengapa Manajemen Sumber Daya Jadi Kunci Proyek Konstruksi?
Proyek konstruksi gedung merupakan kegiatan yang kompleks dan bersifat unik. Satu kesalahan dalam pengelolaan sumber daya bisa berdampak pada kualitas, biaya, maupun waktu pengerjaan proyek. Penelitian yang dilakukan oleh Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, dan Eva Rita dari Universitas Bung Hatta ini hadir untuk menguak bagaimana manajemen sumber daya memengaruhi produktivitas pelaksanaan proyek konstruksi di Sumatera Barat—terutama selama masa pandemi COVID-19.
Temuan mereka menunjukkan bahwa pengaruh manajemen sumber daya terhadap produktivitas proyek tidak bisa diabaikan. Secara statistik, 51,1% produktivitas proyek dipengaruhi langsung oleh manajemen sumber daya, sisanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti cuaca, sosial, regulasi, dan kompleksitas proyek.
Studi Kasus: Proyek-Proyek di Sumatera Barat dan Kendala Nyatanya
Latar Masalah
Selama 2019–2021, sejumlah proyek di Sumatera Barat—termasuk pembangunan Gedung Kebudayaan dan Gedung Fakultas Ilmu Sosial UNP—mengalami keterlambatan atau bahkan dihentikan. Audit BPK pada 2022 menemukan penyimpangan signifikan, yang sebagian besar berakar pada lemahnya manajemen proyek dan sumber daya.
Kunci Permasalahan
Kesenjangan antara harga kontrak dan harga pasar
Minimnya biaya lapangan
Rendahnya kualitas SDM dan profesionalisme
Pengawasan alat dan material yang tidak optimal
Metodologi Penelitian dan Profil Responden
Sampel dan Teknik
Sampel: 77 responden dari kontraktor, konsultan, dan Dinas PUPR
Teknik: Purposive sampling
Alat ukur: Kuesioner dengan skala Likert (1–5)
Analisis data: Uji validitas, reliabilitas, normalitas, regresi linier berganda
Struktur Responden:
Kontraktor: 40 responden
Konsultan Supervisi: 28 responden
Dinas Pekerjaan Umum: 9 responden
Hasil Utama: Faktor yang Paling Berpengaruh
Faktor-Faktor Manajemen Sumber Daya yang Diuji:
Manajemen SDM
Manajemen Keuangan
Manajemen Material
Manajemen Peralatan
Temuan Kunci
Total pengaruh terhadap produktivitas proyek: 51,1%
Faktor paling dominan: Manajemen sumber daya peralatan (koefisien beta 0,459)
Faktor kedua: Manajemen SDM (koefisien beta 0,186)
Faktor yang tidak signifikan: Manajemen keuangan dan material
Uji T menunjukkan bahwa hanya dua faktor yang berpengaruh signifikan terhadap produktivitas, yaitu SDM dan peralatan. Faktor lain seperti keuangan dan material meskipun penting, tidak menunjukkan korelasi kuat secara statistik dalam konteks proyek yang diamati.
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kekuatan Penelitian:
Menggunakan uji statistik yang lengkap (validitas, reliabilitas, regresi, normalitas, multikolinieritas)
Menyajikan pembobotan pengaruh setiap variabel secara kuantitatif
Relevan dengan kondisi lapangan selama pandemi COVID-19
Kelemahan:
Hanya mencakup proyek di satu provinsi (Sumatera Barat)
Tidak mengulas faktor eksternal non-manajerial secara mendalam (cuaca, peraturan, politik)
Belum mempertimbangkan integrasi teknologi seperti BIM atau ERP
Perbandingan Penelitian:
Penelitian sejenis oleh Othman et al. (2014) dan Hartono (2017) di Malaysia dan Indonesia juga menegaskan pentingnya optimalisasi sumber daya sebagai penentu utama produktivitas proyek.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Rekomendasi Aksi:
Pelatihan teknis dan manajerial bagi pengelola alat berat dan operator
Penyusunan standar pengelolaan peralatan proyek yang lebih presisi
Evaluasi periodik terhadap kinerja SDM lapangan dengan indikator produktivitas
Digitalisasi proses manajemen sumber daya untuk efisiensi dan pelacakan real-time
Dampak Langsung:
Mengurangi keterlambatan proyek
Menurunkan risiko pemborosan
Meningkatkan kepercayaan pemilik proyek terhadap kontraktor
Kesimpulan: Produktivitas Tidak Lepas dari Profesionalisme
Manajemen sumber daya yang tepat bukan hanya mendongkrak produktivitas, tapi juga menentukan keberlanjutan proyek itu sendiri. Penelitian ini menjadi sinyal penting bahwa investasi dalam manajemen SDM dan peralatan adalah strategi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas industri konstruksi Indonesia.
Sumber Jurnal:
Ayu, E. S., Khaidir, I., & Rita, E. (2024). Kajian Pengaruh Manajemen Sumber Daya Terhadap Produktivitas Pelaksanaan Proyek Konstruksi Gedung. SIKLUS: Jurnal Teknik Sipil, 10(1), 80–90.
DOI: https://doi.org/10.31849/siklus.v10i1.11534