Pendahuluan: Ketika Konstruksi Gagal, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dalam industri konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya berdampak pada kerugian finansial dan keselamatan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar dalam aspek hukum: siapa yang harus bertanggung jawab? Dwi Visti Rurianti dalam artikelnya yang berjudul Kegagalan Pelaksanaan Konstruksi Berdasarkan Perspektif Hukum menyajikan analisis mendalam terkait tanggung jawab hukum atas kegagalan bangunan berdasarkan UU Jasa Konstruksi di Indonesia.
Perspektif Hukum terhadap Kegagalan Konstruksi
Menurut UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, tanggung jawab atas kegagalan konstruksi tidak hanya dibebankan kepada penyedia jasa pelaksana, tetapi juga perencana dan pengawas proyek. UU ini menekankan pentingnya standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan sebagai landasan kontrak kerja konstruksi.
Namun, aturan hukum yang tersedia masih menimbulkan celah interpretasi, terutama dalam hal batas waktu tanggung jawab, definisi kegagalan bangunan, dan parameter penilai ahli yang independen. Misalnya, kontraktor bertanggung jawab selama 10 tahun sejak penyerahan proyek akhir, tetapi bagaimana jika kerusakan terjadi di tahun ke-11?
Studi Kasus: Kegagalan Proyek di Riau
Beberapa contoh nyata dari Provinsi Riau menggambarkan betapa kompleksnya dampak kegagalan proyek:
- Jembatan Siak III di Pekanbaru harus diperbaiki karena mengalami kegagalan konstruksi.
- Masjid Raya di Jalan Siak II dihentikan karena penurunan pondasi.
- Proyek SPAM Durolis runtuh meski ditujukan untuk kepentingan tiga kabupaten.
- Jembatan dan turap Jalan Gelugur Ujung ambruk dan menimbulkan kerugian.
Kasus-kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan serta tidak adanya penilaian risiko yang tepat dari tahap awal proyek.
Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Konstruksi
Penulis mengelompokkan faktor penyebab kegagalan konstruksi ke dalam empat kategori utama:
1. Metode kerja dan lokasi proyek
2. Desain dan bahan bangunan
3. Kualitas dan kompetensi SDM
4. Kontrak dan penyimpangan pelaksanaan
Khusus poin keempat menjadi perhatian utama karena perjanjian kontrak sering kali tidak memperjelas konsekuensi hukum atas kegagalan proyek, atau tidak memasukkan klausul mengenai standar keberlanjutan dan risiko.
Instrumen Hukum dan Penegakan Sanksi
Penulis membahas tiga jalur hukum yang relevan:
1. Hukum Perdata
Berlaku jika terjadi wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, pengguna jasa dapat menuntut ganti rugi terhadap penyedia jasa atas kerugian material maupun immaterial.
2. Hukum Pidana
Jika kegagalan konstruksi mengakibatkan korban jiwa atau kerugian besar, pelaku dapat dikenai pidana hingga lima tahun penjara berdasarkan Pasal 359 KUHP dan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014. Pelaku yang bukan insinyur dan menyebabkan kecelakaan juga bisa dipidana maksimal 10 tahun dan denda satu miliar rupiah.
3. Sanksi Administratif
Mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin usaha. Ini berlaku bagi kontraktor yang tidak memenuhi kewajiban perbaikan setelah kegagalan bangunan.
Peran Penilai Ahli: Pilar Objektivitas dalam Konflik
UU No. 2 Tahun 2017 menetapkan bahwa dalam waktu maksimal 30 hari sejak laporan kegagalan diterima, Menteri wajib menetapkan penilai ahli untuk mengevaluasi kejadian tersebut. Penilai ahli harus bersertifikasi dan independen, serta hasil penilaiannya bisa menjadi bukti dalam proses hukum.
Namun, mekanisme ini belum berjalan optimal karena kurangnya jumlah penilai ahli yang berlisensi dan berpengalaman. Ini menjadi tantangan nyata dalam penegakan hukum.
Opini Kritis dan Rekomendasi
1. Batas Waktu Tanggung Jawab Perlu Dikaji Ulang
Masa tanggung jawab 10 tahun tidak cukup menjamin perlindungan jangka panjang. Masa guna bangunan bisa mencapai 20–30 tahun. Revisi diperlukan agar tanggung jawab sejalan dengan masa manfaat.
2. Klausul Force Majeure Harus Diperjelas
Banyak kontraktor bersembunyi di balik alasan force majeure. Harus ada batasan dan kriteria jelas apa yang masuk kategori ini.
3. Integrasi Pengawasan Berbasis Digital
Pemerintah bisa mendorong penggunaan sistem Building Information Modeling (BIM) untuk melacak kepatuhan teknis dan mencegah kesalahan desain.
4. Edukasi Hukum untuk Pelaku Konstruksi
Masih banyak pelaku jasa konstruksi yang belum memahami hak dan kewajibannya secara hukum. Sosialisasi UU Jasa Konstruksi harus lebih masif.
Kesimpulan: Hukum Sebagai Instrumen Pencegah, Bukan Sekadar Penghukum
Kegagalan proyek konstruksi adalah cermin dari kelemahan sistemik dalam regulasi, pengawasan, dan profesionalisme. Pendekatan hukum harus bersifat preventif, bukan hanya represif. Artikel Dwi Visti Rurianti menegaskan pentingnya pembenahan menyeluruh mulai dari regulasi, kontrak, hingga kapasitas sumber daya manusia agar proyek konstruksi tidak hanya selesai, tetapi juga aman, fungsional, dan akuntabel.
Sumber Artikel:
Rurianti, Dwi Visti. Kegagalan Pelaksanaan Konstruksi Berdasarkan Perspektif Hukum. Jurnal Hukum Konstruksi dan Infrastruktur.
Tautan: https://ojs.uniks.ac.id/index.php/jhki/article/view/1947