Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pengantar: Mutu Bukan Sekadar Target, Tapi Jaminan Keberlangsungan Proyek
Dalam dunia konstruksi, mutu bukan hanya indikator pencapaian teknis, melainkan juga fondasi dari keberlangsungan bisnis dan reputasi perusahaan. Terlebih di era kompetisi yang kian ketat, proyek konstruksi dituntut tak hanya selesai tepat waktu dan hemat biaya, tetapi juga harus menghasilkan bangunan berkualitas tinggi. Namun, realitas di lapangan tak selalu sejalan dengan harapan. Sejumlah proyek di Provinsi Aceh, misalnya, masih menghadapi tantangan serius dalam hal mutu.
Penelitian Anita Rauzana dan Dwi Andri Usni ini hadir sebagai respons terhadap problem klasik yang terus membayangi dunia konstruksi lokal: mengapa mutu proyek di Aceh masih rendah meski jumlah perusahaan konstruksi terus meningkat?
Metodologi: Kajian Statistik dan Kuesioner Praktisi Lapangan
Studi ini menggunakan metode statistik deskriptif, didukung penyebaran kuesioner kepada 30 perusahaan kontraktor bersertifikat LPJK di Aceh dengan klasifikasi M1, M2, B1, dan B2. Para responden diminta menilai 18 faktor penyebab rendahnya mutu menggunakan skala Likert (1–5). Hasil validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa semua indikator valid (r > 0,444) dan reliabel (α = 0,877).
Temuan Utama: Lima Penyebab Dominan Rendahnya Kinerja Mutu
Berikut lima faktor yang dinilai “sangat berpengaruh” terhadap buruknya mutu proyek konstruksi di Aceh menurut para kontraktor:
1. Perubahan Lingkup Pekerjaan
Persentase responden: 63% (19 dari 30) menilai sangat berpengaruh.
Masalah umum: revisi desain mendadak, spesifikasi tidak konsisten, dan perintah kerja tambahan tanpa perencanaan matang.
Dampak:
Rework dan pemborosan material.
Overbudget dan keterlambatan jadwal.
Analisis Tambahan: Fenomena ini sejatinya mencerminkan lemahnya integrasi antara perencana dan pelaksana. Idealnya, dokumen kerja (RAB, gambar, dan spesifikasi) harus matang sebelum kontrak ditandatangani. Perubahan yang tidak terkontrol menjadi penyebab utama ketidaksesuaian mutu konstruksi dengan rencana awal.
2. Kualitas Material yang Buruk
Responden: 70% menilai sangat berpengaruh.
Contoh nyata: keretakan dini pada plat lantai atau dinding karena pasir tidak lolos uji kadar lumpur.
Solusi yang disarankan:
Seleksi ketat terhadap supplier.
Inspeksi material sebelum dikirim ke lokasi proyek.
Opini Kritis: Kebanyakan kontraktor terlalu fokus pada efisiensi harga dan lupa bahwa penghematan pada material bisa berujung pada biaya tambahan akibat perbaikan. Standarisasi rantai pasok material konstruksi perlu menjadi prioritas kebijakan publik.
3. Kesalahan Desain
Jumlah responden: 56% menyatakan faktor ini sangat berpengaruh.
Bentuk kesalahan:
Desain tidak sesuai kondisi lapangan.
Gambar teknis tidak rinci.
Konsekuensi:
Tingginya volume pekerjaan ulang (rework).
Terjadinya konflik antara pelaksana dan konsultan.
Kritik Tambahan: Perencanaan yang tidak berbasis survei geoteknik atau kondisi eksisting bisa memicu desain yang tidak layak secara struktural. Di sinilah pentingnya kolaborasi multi-disiplin (arsitek, struktur, MEP) dalam fase desain.
4. Mutu Peralatan yang Buruk
Responden: 67% sepakat faktor ini sangat mempengaruhi hasil akhir proyek.
Dampak langsung:
Tingkat produksi menurun.
Tingginya biaya maintenance alat berat.
Saran praktis:
Lakukan inspeksi alat sebelum mobilisasi.
Gunakan logistik equipment management berbasis sistem.
Trend Industri: Perusahaan kelas menengah ke bawah sering menyewa alat dari pihak ketiga dengan kualitas tak terjamin. Implementasi digital asset management berbasis IoT sudah umum di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, dan bisa menjadi acuan untuk Indonesia.
5. Kurangnya Keahlian Tenaga Kerja
Responden: 63% menyatakan sangat berpengaruh.
Contoh kasus: kesalahan pemasangan bekisting menyebabkan beton menggelembung dan tidak rata.
Solusi:
Pelatihan rutin dan pemberian sertifikasi keterampilan (SKT).
Pengawasan melekat saat pekerjaan teknis berlangsung.
Opini Kritis: Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan besar antara kurikulum pendidikan vokasi dan realitas di lapangan. Pelatihan berbasis proyek dan kerja sama industri-pendidikan adalah kunci menutup gap ini.
Pembahasan Lanjutan: Aspek Lain yang Perlu Diantisipasi
Faktor Eksternal Lain (Berpengaruh sedang):
Konsekuensi Umum dari Rendahnya Mutu:
Tinjauan Perbandingan dengan Studi Serupa
Penelitian ini sejalan dengan studi Alrizal et al. (2020) dan Han et al. (2013) yang menempatkan “kesalahan desain” dan “material buruk” sebagai penyumbang utama kegagalan proyek. Namun, yang membedakan, studi di Aceh ini memberikan pendekatan kontekstual spesifik, mencerminkan tantangan unik di wilayah pasca-konflik dan rawan bencana.
Dampak Praktis dan Rekomendasi Strategis
Untuk meningkatkan mutu proyek konstruksi di Aceh (dan Indonesia secara umum), penulis merekomendasikan:
1. Penegakan Standar Nasional Konstruksi (SNI)
SNI harus dijadikan acuan wajib dalam pengadaan material, pelaksanaan, hingga audit pasca-proyek.
2. Implementasi Quality Management System (QMS) Berbasis ISO 9001
Khususnya untuk perusahaan menengah yang sering jadi mitra pemerintah.
3. Penerapan Digital Construction Tools
Penggunaan BIM, e-procurement, hingga aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan real-time.
4. Revitalisasi Pendidikan dan Sertifikasi Tenaga Kerja
Pelatihan berbasis proyek, kerja sama kampus–industri, dan keharusan SKA/SKT.
Kesimpulan: Saatnya Mutu Menjadi Kunci Utama, Bukan Sekadar Formalitas
Studi Rauzana dan Usni membuka mata bahwa banyak proyek konstruksi di Aceh belum mampu mewujudkan mutu sebagai target utama. Lima faktor utama — perubahan lingkup pekerjaan, kualitas material buruk, kesalahan desain, mutu peralatan buruk, dan kurangnya keahlian tenaga kerja — adalah sinyal kuat bahwa perbaikan sistemik diperlukan.
Dalam dunia yang semakin terotomatisasi dan terdigitalisasi, mutu tak bisa lagi diserahkan sepenuhnya pada pengalaman dan intuisi. Ia harus dikawal dengan sistem, ditopang teknologi, dan ditanamkan dalam budaya kerja semua pelaku industri konstruksi.
Sumber Referensi
Rauzana, A., & Usni, D. A. (2020). Kajian Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kinerja Mutu pada Proyek Konstruksi di Provinsi Aceh. Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 26, No. 2, 267–274. https://jurnal.usk.ac.id/MKTS/article/view/24065
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Relevansi UUJK dalam Dinamika Industri Konstruksi
Dalam industri konstruksi yang berkembang pesat dan kompleks di Indonesia, peraturan perundang-undangan berperan penting sebagai pemandu arah dan etika kerja. Penelitian oleh Andi Bayu Putra dan Hendrik Sulistio, berjudul "Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi", memaparkan bagaimana dua rezim hukum utama—UU No. 18 Tahun 1999 dan UU No. 2 Tahun 2017—diterima oleh praktisi jasa konstruksi.
Penelitian ini penting karena mengevaluasi efektivitas undang-undang yang menjadi tulang punggung regulasi konstruksi nasional. Dengan pendekatan kuantitatif berbasis kuesioner terhadap 60 praktisi di bidang konstruksi, ditambah validasi melalui wawancara dengan ahli berpengalaman lebih dari 15 tahun, kajian ini menyuguhkan refleksi tajam atas kondisi regulatif yang berlaku.
Transformasi Regulatif: Dari UUJK 1999 ke UUJK 2017
UUJK 18/1999 terdiri dari 12 bab dan 46 pasal, sementara UUJK 2/2017 berkembang menjadi 14 bab dan 106 pasal. Perubahan ini mencakup:
Namun, perubahan kuantitatif ini ternyata tidak otomatis menghasilkan kualitas regulasi yang lebih baik di mata pengguna dan penyedia jasa konstruksi.
Hasil Penelitian: Dimensi Kelemahan Regulasi
Melalui pendekatan regresi linear berganda, ditemukan bahwa hanya 16,7% variasi persepsi negatif terhadap UUJK dapat dijelaskan oleh dua variabel utama:
1. X13: Kurangnya ketetapan dalam pemilihan Penilai Ahli
2. X19: Ketidakjelasan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar
Temuan lainnya yang juga signifikan meliputi:
Kritik utama muncul karena peraturan dianggap terlalu normatif tanpa mekanisme eksekusi yang jelas. Misalnya, dalam konteks kegagalan bangunan, UUJK seharusnya memberikan kerangka tanggung jawab dan investigasi teknis yang transparan—seperti halnya dalam sistem arbitrase konstruksi di negara maju seperti Australia atau Inggris.
Studi Kasus: Praktik di Lapangan
Dalam praktiknya, perusahaan konstruksi multinasional yang beroperasi di Indonesia sering kali menilai UUJK sebagai "guideline kabur" yang kurang enforceable. Misalnya, dalam proyek konstruksi besar seperti Tol Trans Jawa atau LRT Jabodebek, penyelesaian sengketa antara kontraktor dan subkontraktor sering dilakukan di luar jalur UUJK, melalui mekanisme internal atau arbitrase internasional. Hal ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap instrumen hukum nasional.
Dampak Nyata di Lapangan
Berdasarkan hasil kuesioner:
Ini menegaskan bahwa gap antara dokumen hukum dan realitas implementasi masih lebar.
Tantangan dan Rekomendasi: Apa yang Perlu Diperbaiki?
1. Penilai Ahli: Sertifikasi dan Independensi
Harus ada standar nasional tentang kualifikasi penilai ahli, termasuk pengalaman minimal, latar belakang pendidikan, dan akreditasi. Idealnya, Indonesia membentuk Construction Expert Accreditation Board seperti di Singapura.
2. Sistem Sanksi: Jelas, Tegas, dan Konsisten
Perlu penggabungan kekuatan antara pendekatan UUJK 1999 (yang menekankan konsekuensi hukum) dan UUJK 2017 (yang fokus pada aktor). Penyusunan sistem sanksi harus memuat tiga unsur:
3. Kegagalan Bangunan: Membangun Mekanisme Audit Teknis
Peraturan baru harus mewajibkan post-failure audit oleh lembaga independen dengan pelaporan terbuka. Hal ini dapat menekan praktik korupsi dan moral hazard dalam proyek besar.
4. Standar Tenaga Kerja Konstruksi: Sertifikasi dan Keselamatan
Dalam era Industri 4.0, sertifikasi tenaga kerja harus berbasis digital, mudah dilacak, dan wajib diperbarui secara berkala. Negara seperti Jepang telah menerapkan sistem ini untuk memantau migran konstruksi.
Penilaian Kritis terhadap Metodologi Penelitian
Studi ini patut diapresiasi karena menyertakan validitas statistik dengan SPSS dan pendekatan triangulasi data. Namun, beberapa kritik yang bisa diajukan antara lain:
Untuk masa depan, perlu pendekatan mixed methods dengan penggabungan studi dokumen hukum dan observasi lapangan terhadap proyek-proyek yang mengalami kegagalan atau konflik.
Implikasi bagi Industri Konstruksi Indonesia
Bagi perusahaan kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek, hasil riset ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap UUJK belum menjamin perlindungan hukum optimal. Oleh karena itu, sektor swasta perlu:
Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini bisa dijadikan bahan masukan untuk revisi UUJK di masa depan agar lebih aplikatif dan relevan dengan dinamika industri.
Kesimpulan: UUJK Perlu Evolusi, Bukan Sekadar Revisi
Meskipun UUJK 2/2017 telah membawa banyak pembaruan, penelitian ini menegaskan bahwa kuantitas pasal belum tentu mencerminkan kualitas substansi hukum. Dengan pendekatan yang lebih praktis, berlandaskan pengalaman empiris dari pengguna dan penyedia jasa, revisi UUJK ke depan harus difokuskan pada:
Sebagaimana hukum seharusnya menjadi tools of change, UUJK yang efektif adalah yang mampu menjembatani kompleksitas teknis dan keadilan hukum secara setara bagi semua pelaku jasa konstruksi.
Sumber Referensi:
Putra, A. B., & Sulistio, H. (2019). Analisis Undang-Undang yang Mengatur Jasa Konstruksi Indonesia terhadap Pengguna dan Penyedia Jasa Konstruksi, Media Komunikasi Teknik Sipil, 25(2), 199–209. DOI: mkts.v25i2.19678
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh Tenaga Kerja Efisien
Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung transformasi ekonomi Indonesia. Jalan tol sebagai penghubung logistik antarwilayah tak hanya menciptakan konektivitas, tetapi juga menarik investasi. Namun, satu tantangan utama yang sering terlupakan adalah bagaimana produktifitas tenaga kerja di lapangan bisa menjadi pembeda antara proyek yang berhasil dan yang mangkrak.
Penelitian ini meneliti proyek besar: Pembangunan Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan, bagian dari jaringan Tol Trans-Sumatera, yang dinilai krusial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
Tujuan dan Pentingnya Studi Ini
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Menggunakan pendekatan statistik modern untuk memastikan temuan dapat diuji dan direplikasi.
Dengan pendekatan Productivity Rating, regresi linear berganda, serta pengujian validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS v26, studi ini berusaha menyaring variabel yang paling dominan dari total 32 variabel teknis, manajerial, dan personal pekerja.
Metodologi: Gabungan Survei Lapangan & Analisis Statistik
Lokasi dan Responden
Lokasi: Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan
Responden: 25 personel proyek (site engineer, quantity surveyor, drafter, QHSSE, logistik, dan lainnya)
Durasi pengamatan: 3 hari kerja (sampel produktivitas diukur dari 420 menit per hari)
Tools & Teknik:
Productivity Rating: Mengukur efektivitas aktivitas kerja (Effective, Contributory, Ineffective)
SPSS v26: Untuk regresi linear, uji t, uji F (ANOVA), dan koefisien determinasi
Validitas dan Reliabilitas: Memastikan instrumen kuesioner tepat dan akurat
Temuan Utama: Rata-Rata Produktivitas Cukup Memuaskan
Labor Utilization Rate (LUR)
Hasil pengukuran LUR menunjukkan:
Rata-rata LUR: 76,70%
Nilai tertinggi: 83,93% (oleh pekerja bernama Kiki pada hari ke-2)
Angka ini jauh melampaui standar ideal LUR yang hanya 40%–60% (Oglesby, 1989), menunjukkan kinerja pekerja berada di level cukup memuaskan.
Insight Tambahan: Angka ini mengindikasikan koordinasi manajemen proyek yang cukup baik. Namun, angka ini tetap butuh konfirmasi melalui faktor-faktor penyerta yang memengaruhinya.
Identifikasi Faktor: Apa Saja yang Mempengaruhi Produktivitas?
Total Faktor Diuji: 32 Variabel
Terdiri dari 3 kategori:
Setelah tiga tahap uji validitas, hanya 21 faktor yang valid. Dari sana, melalui regresi linear, ditemukan 12 variabel signifikan yang mempengaruhi produktivitas secara statistik.
Catatan Kritis:
Tingkat upah berpengaruh positif dan signifikan, mendukung teori bahwa kompensasi layak meningkatkan semangat kerja.
Insentif justru berdampak negatif, hal yang bertentangan dengan banyak studi sebelumnya (Halida, 2016; Mayasari, 2016). Ini bisa jadi disebabkan insentif yang tidak jelas skemanya atau malah menjadi beban target kerja tambahan.
Cuaca tidak menentu berdampak positif, kemungkinan karena pekerja menjadi lebih disiplin dalam mengatur waktu kerja, atau proyek memiliki sistem mitigasi cuaca yang baik.
Analisis Tambahan: Fenomena cuaca sebagai faktor positif perlu studi lanjutan, mengingat sebagian besar studi sebelumnya menyatakan hujan dan iklim ekstrem justru memperlambat pekerjaan (Ofusaputra, 2018).
Faktor Lain yang Teruji Signifikan:
Pengalaman kerja (+)
Usia pekerja (-)
Pembagian pekerjaan tidak seimbang (-)
Kualitas pengawasan (+)
Kurangnya briefing (-)
Masalah pembebasan lahan (+)
Penafsiran:
Pengalaman selalu menjadi aset: makin lama bekerja, makin cepat menyelesaikan tugas.
Usia terlalu tua bisa mengurangi stamina, fleksibilitas, dan kecepatan kerja.
Briefing yang minim berujung pada miskomunikasi dan potensi kesalahan.
Pembebasan lahan sebagai variabel positif mungkin merefleksikan kelancaran logistik begitu masalah diselesaikan.
Koefisien Determinasi: Model Sangat Kuat
R² = 0,989
Artinya: 98,9% variasi produktivitas tenaga kerja dapat dijelaskan oleh 21 variabel tersebut.
Ini adalah angka yang sangat tinggi untuk riset sosial, menandakan bahwa faktor-faktor yang dikaji memiliki keterkaitan sangat kuat dengan output produktivitas.
Uji F (ANOVA): Model Statistik Valid
Fhitung = 12,296 > Ftabel = 5,790
Kesimpulan: Model regresi berpengaruh secara simultan terhadap produktivitas.
Kritik dan Opini: Apa yang Perlu Diperbaiki?
Kejanggalan Temuan Insentif
Studi ini menemukan bahwa insentif berdampak negatif terhadap produktivitas. Ini bisa disebabkan:
Skema insentif tidak transparan
Insentif bersifat target-based tanpa memperhitungkan kapasitas
Pengaruh psikologis: insentif dinilai beban, bukan motivasi
Rekomendasi: Perlu evaluasi sistem reward yang lebih adil, berbasis progres bukan hasil akhir semata.
Belum Menyentuh Digitalisasi
Studi belum memasukkan faktor penggunaan teknologi digital seperti aplikasi pelaporan harian, sistem manajemen proyek, atau software monitoring kerja. Ini bisa menjadi peluang penelitian lanjutan.
Rekomendasi Praktis dari Penelitian Ini
Kaji ulang sistem insentif proyek agar benar-benar meningkatkan produktivitas, bukan sebaliknya.
Optimalkan ruang kerja fisik untuk menghindari keterbatasan mobilitas pekerja.
Rekrut pekerja dengan pengalaman lebih tinggi dan berikan pelatihan berkala.
Perbaiki sistem briefing harian, bahkan menggunakan tools digital agar informasi tersampaikan utuh.
Perhatikan jarak tempat tinggal pekerja, idealnya berikan fasilitas mess.
Penutup: Jalan Tol Hebat Butuh Tenaga Kerja Hebat
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak bisa dilepaskan dari hal kecil bernama "tenaga kerja". Bahkan, upah, cuaca, hingga briefing bisa menjadi pembeda antara proyek yang selesai tepat waktu dan yang terlambat.
Dengan pendekatan statistik yang cermat dan lokasi proyek nyata, studi ini layak dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan SDM konstruksi, baik oleh kontraktor swasta maupun pemerintah.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui:
Yolanda Ayu Damayanti & Mizanuddin Sitompul (2021).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Jalan Tol Ruas Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan
Jurnal Rekayasa Konstruksi Mekanika Sipil (JRKMS), Vol. 4 No. 2
Universitas Katolik Santo Thomas
Tautan: http://ejournal.ust.ac.id/index.php/JRKMS
Manajemen Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Tantangan Baru Peradaban
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air dunia, pendekatan pengelolaan air konvensional kian dinilai tidak memadai. Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, permintaan udara meningkat dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan populasi. Didalam konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) hadir sebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi, keadilan, dan keinginan dalam pengelolaan air.
Namun, bagaimana IWRM dijalankan dalam konteks negara berkembang seperti Ethiopia? Inilah pertanyaan utama yang dijawab oleh Adey Nigatu Mersha dalam disertasinya yang ambisius dan multidimensi: Integrated Water Resources Management: A Systems Perspective of Water Governance and Hydrological Conditions (2021), fokus pada Sungai Awash , salah satu daerah aliran sungai (DAS) terpenting dan paling kompleks di Ethiopia.
Latar Belakang Sungai Awash: Sumber Kehidupan yang Terancam
Sungai Awash membentang sepanjang 1.200 km dan menjadi tumpuan bagi hampir 19 juta penduduk Ethiopia, termasuk wilayah Addis Ababa. Namun, DAS ini menghadapi tekanan berat:
Kebutuhan sektor pertanian, industri, dan domestik terus melonjak, sementara kualitas dan kuantitas udara semakin menurun. Mersha menyebut kondisi ini sebagai “ketimpangan struktural” dalam manajemen udara Ethiopia.
Tujuan Studi: Antara Prinsip dan Realitas
Penelitian ini bertujuan menganalisis:
Dengan kombinasi analisis kualitatif (wawancara, lokakarya, studi kebijakan) dan kuantitatif (pemodelan WEAP21), Mersha menggali lebih dalam dari sekadar kerangka normatif IWRM
Studi Kasus: Dilema Daerah Aliran Sungai Awash
Fakta Penting Awash Basin:
Temuan Utama:
Konflik Irigasi vs Kelestarian Ekosistem
Salah satu hasil signifikan dari simulasi WEAP menunjukkan bahwa fluktuasi irigasi yang direncanakan akan mengganggu aliran minimum yang diperlukan untuk ekosistem. Ketika arus lingkungan mempertimbangkan:
Hal ini mencerminkan dilema global : antara kebutuhan pangan dan keinginan lingkungan.
Solusi: WEFE Nexus sebagai Pendekatan Lintas Sektor
WEFE (Water-Energy-Food-Ecosystem) nexus adalah kerangka analitik yang digunakan Mersha untuk memperjelas interdependensi antar sektor. Beberapa simpulan kunci:
Pendekatan nexus menawarkan peluang untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya, tidak hanya melalui “penghematan”, tetapi juga koordinasi lintas sektor berbasis data .
Opini Kritis: IWRM Butuh Kontekstualisasi, Bukan Dogma Global
Mersha dengan kritik tajam bahwa banyak negara, termasuk Ethiopia, terlalu cepat mengadopsi IWRM sebagai “solusi ajaib” tanpa adaptasi lokal. Ia menyebut IWRM sebagai “kerangka universal yang rentan terhadap kegagalan lokal”.
Berbeda dengan pendekatan teknokratik, ia menekankan bahwa faktor sosial-politik, partisipasi masyarakat, dan distribusi kekuasaan sangat menentukan keberhasilan IWRM. Maka, ia menyarankan transisi dari pendekatan top-down menjadi pendekatan partisipatif yang diterapkan pada realitas sosial-ekologis setempat .
Perbandingan Global: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Beberapa pelajaran dari kasus ini juga bisa dikaitkan dengan konteks negara lain:
Ethiopia, dengan sumber daya dan keragaman geografi yang luas, memerlukan peta jalan IWRM yang berbasis data, adaptif, dan inklusif .
Kesimpulan: Menuju Manajemen Air yang Cerdas dan Adil
Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan IWRM tidak bisa hanya diukur dari jumlah kebijakan yang ditetapkan, namun dari bagaimana prinsip-prinsipnya diterjemahkan ke dalam praktik nyata yang kontekstual.
Untuk itu, Mersha merekomendasikan:
Sumber Referensi:
Mersha, AN (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Perspektif Sistem Tata Kelola Air dan Kondisi Hidrologi . Disertasi Doktoral, IHE Delft & Wageningen University.
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur dan Konstruksi dalam Sorotan Nasional
Indonesia sebagai negara berkembang tengah berlomba memperkuat daya saing infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sayangnya, ketimpangan antar wilayah, kualitas tenaga kerja konstruksi yang masih belum merata, dan distribusi material yang tidak efisien kerap menjadi hambatan utama.
Artikel ilmiah ini membahas bagaimana pola kebijakan yang diterapkan pemerintah memengaruhi produktivitas konstruksi dan bagaimana produktivitas tersebut berdampak terhadap daya saing infrastruktur Indonesia, baik secara nasional maupun dalam peringkat global seperti yang dirilis World Economic Forum.
Konteks Masalah: Ketimpangan dan Produktivitas Konstruksi
Ketimpangan Distribusi Proyek
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Pulau Jawa menyerap lebih dari 63% nilai konstruksi nasional pada 2015, dengan total nilai Rp 401 triliun dari Rp 635 triliun. Padahal, salah satu tujuan besar dari agenda pembangunan nasional adalah “Infrastruktur untuk Semua”—yaitu pemerataan proyek ke seluruh wilayah, termasuk kawasan timur Indonesia.
Distribusi penduduk yang tidak merata (Jawa 56,81%, Sumatera 19,76%, Papua hanya 2,68%) serta keterbatasan konektivitas antarpulau menjadi faktor utama dari ketimpangan ini.
Tujuan Penelitian: Menautkan Kebijakan dengan Daya Saing
Penelitian ini ingin menjawab dua hal krusial:
Apakah kebijakan produktivitas konstruksi berpengaruh terhadap daya saing infrastruktur?
Sejauh mana pengaruh berbagai kebijakan sektoral terhadap produktivitas selama periode 2011–2015?
Metode: Gabungan Deskriptif & Crosstab Statistik
Penelitian menggunakan analisis deskriptif untuk menguraikan kebijakan, serta metode crosstab (SPSS v17) untuk melihat hubungan antar variabel seperti:
Jumlah tenaga kerja konstruksi (terampil & ahli)
Nilai konstruksi yang diselesaikan
Upah minimum regional
Produksi semen, baja, dan aspal
Metode ini memungkinkan identifikasi hubungan statistik antar variabel dalam kebijakan dan output infrastruktur.
Temuan Kunci: Korelasi Kuat Antara Kebijakan & Produktivitas
1. Pertumbuhan Nilai Konstruksi: Rata-rata Naik 11% per Tahun
Tabel data menunjukkan nilai konstruksi nasional meningkat dari Rp 376 triliun pada 2011 menjadi Rp 635 triliun pada 2015. Namun, peningkatan ini masih belum merata secara geografis, menandakan perlunya kebijakan lebih tepat sasaran.
2. Kualitas Infrastruktur Indonesia Masih Rendah
Dalam laporan Global Competitiveness Index (2016), Indonesia menempati peringkat:
Jalan: 75 dari 138 negara
Listrik: 89
Transportasi: 62
Rata-rata kualitas infrastruktur: 60 (naik dari 62 di tahun sebelumnya)
Catatan penting: Meskipun mengalami peningkatan kecil, posisi ini masih tertinggal jauh dibanding negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand.
Lima Pilar Kebijakan Produktivitas Konstruksi
Penelitian ini mengidentifikasi lima faktor utama (5M) yang dipengaruhi oleh kebijakan dan berdampak langsung ke produktivitas konstruksi:
A. Money (Pendanaan & Kontrak)
UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 menetapkan kontrak kerja konstruksi wajib mencantumkan penggunaan tenaga kerja bersertifikasi.
PMK 119/2006 mengatur tata cara penyediaan, pencairan, dan pengelolaan dana infrastruktur.
Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) membuka peluang pembiayaan oleh swasta untuk proyek infrastruktur.
Analisis: Alur dana yang jelas dan akuntabel meningkatkan kepastian proyek, memacu produktivitas karena pengadaan alat, bahan, dan upah tenaga kerja menjadi lebih lancar.
B. Man (Tenaga Kerja)
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Jasa Konstruksi mewajibkan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja.
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja ahli dan terampil berkorelasi positif dengan nilai konstruksi yang diselesaikan (r > 0.9).
Opini Penulis: Investasi dalam pelatihan tenaga kerja adalah investasi jangka panjang untuk peningkatan mutu proyek dan efisiensi pelaksanaan.
C. Material
Standar mutu seperti SNI untuk Semen (SNI 15-2049-2004) dan Baja (SNI 1729-2015) sangat menentukan produktivitas.
Korelasi positif antara produksi semen dan baja terhadap nilai konstruksi (r > 0.97) menunjukkan kuantitas dan kualitas material menjadi pengungkit utama pembangunan.
Masalah Aktual: Ketergantungan pada jalur distribusi berlapis membuat bahan bangunan mahal di Papua dan Maluku, menyebabkan "indeks kemahalan konstruksi" di wilayah tersebut melonjak.
D. Machine (Peralatan)
Standar penggunaan dan umur peralatan diatur dalam Permen PUPR No. 09/PRT/M/2014.
Penggunaan alat berat tanpa perawatan dan standar keselamatan menyebabkan kerugian karena proyek tertunda dan efisiensi menurun.
Kritik Tambahan: Banyak kontraktor kecil belum memiliki akses pada alat berat berkualitas dan memilih menyewa alat bekas yang performanya menurun.
E. Method (Metode Konstruksi)
SNI tentang prosedur kerja beton (SNI 2847-2013), baja (SNI 1729-2015), hingga geometri jalan kota (RSNI T-14-2004) bertujuan memastikan efisiensi teknis.
Metode kerja tanpa SOP meningkatkan risiko kegagalan konstruksi dan memperlambat produktivitas.
Insight: Di era digital, penggunaan Building Information Modeling (BIM) seharusnya juga dimasukkan dalam kebijakan produktivitas agar koordinasi dan kontrol mutu semakin akurat.
Analisis Korelasi: Koneksi Langsung Antara Variabel
Hasil analisis statistik (crosstab) mengungkap bahwa:
Produktivitas tenaga kerja dan material memiliki korelasi kuat (>0,9) terhadap nilai konstruksi yang diselesaikan.
Sebaliknya, tenaga kerja asing, distribusi aspal, dan ketiadaan sistem logistik efisien berkorelasi negatif terhadap daya saing.
Tantangan Nyata: Distribusi Material & Biaya Konstruksi yang Tidak Merata
Artikel ini menyoroti bahwa selisih indeks kemahalan konstruksi antara Jawa dan Papua sangat besar. Penyebabnya bukan semata biaya tenaga kerja, melainkan distribusi material dan alat berat yang lambat dan mahal.
Rekomendasi cerdas peneliti: Tambahkan proyek bandara di Papua untuk mempercepat distribusi dan menurunkan harga logistik konstruksi.
Rekomendasi Penelitian: Menjembatani Strategi & Realitas Lapangan
Perluasan proyek strategis di kawasan timur Indonesia, terutama transportasi udara.
Pemangkasan rantai distribusi material, agar fabrikator bisa langsung ke konsumen akhir.
Penerapan sistem digital konstruksi (misalnya BIM dan supply chain digital) sebagai kebijakan wajib untuk proyek besar.
Perbandingan dengan Negara ASEAN
Dalam Global Competitiveness Report, Indonesia masih tertinggal dari:
Malaysia (peringkat infrastruktur 24)
Thailand (peringkat 37)
🇮🇩 Fakta Penting: Tanpa reformasi produktivitas secara menyeluruh, mimpi Indonesia menjadi pemain utama di Asia Tenggara akan tetap tertahan.
Kesimpulan: Produktivitas sebagai Fondasi Kekuatan Infrastruktur
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan produktivitas konstruksi sangat berpengaruh terhadap daya saing infrastruktur. Efek kebijakan terlihat melalui peningkatan tenaga kerja bersertifikasi, nilai proyek strategis yang meningkat, dan penyelesaian proyek lebih cepat.
Namun, tantangan masih terbentang luas, terutama dalam:
Konektivitas wilayah timur
Distribusi material efisien
Digitalisasi metode konstruksi
Sumber
Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Fence Stone, Daud O.S. Hutagalung, Ferry Hermawan, Riqi Radian Khasani (2017).
Pengaruh Pola Kebijakan Produktivitas Konstruksi Indonesia terhadap Daya Saing Infrastruktur.
Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 6 No. 4, Universitas Diponegoro.
Tautan: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterlambatan Proyek Masih Jadi Momok?
Dalam dunia konstruksi gedung tinggi di kawasan urban padat seperti DKI Jakarta, ketepatan waktu pelaksanaan proyek menjadi indikator vital dari keberhasilan. Namun, realitanya masih banyak proyek yang tergelincir dari jadwal akibat keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non-excusable delays). Penelitian karya Manlian Ronald A. Simanjuntak dan Saroha Simaremare dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology (Vol. 7, No. 5, 2018) menggali secara mendalam faktor-faktor penundaan tersebut.
Apa Itu Non-Excusable Delays?
Non-excusable delays merupakan jenis keterlambatan yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian kontraktor. Ini mencakup miskalkulasi jadwal, keterlambatan material, buruknya koordinasi, hingga lemahnya pengawasan. Berbeda dari excusable delays (seperti bencana alam), kategori ini mengarah pada penalti dan konsekuensi hukum. Dalam konteks Indonesia, misalnya, Perpres No. 61/2004 menetapkan denda bagi kontraktor yang tidak menyelesaikan proyek tepat waktu.
Tujuan & Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi variabel utama penyebab keterlambatan non-termaafkan pada proyek gedung tinggi. Metodologi yang digunakan meliputi survei kuesioner kepada pihak pemilik proyek dengan kriteria pengalaman minimal 3 tahun, reputasi baik, dan keterlibatan langsung dalam proyek gedung tinggi yang mengalami keterlambatan.
Penelitian menggunakan analisis kuantitatif berbasis SPSS, dimulai dari uji reliabilitas (Cronbach's Alpha = 0,904), uji korelasi, hingga analisis faktor dan regresi.
Temuan Penting: 22 Variabel & 6 Komponen Utama
Dari total 52 variabel, terdapat 22 variabel yang lolos uji korelasi (r >= 0,4) dan berhasil dikelompokkan menjadi 6 komponen utama:
1. Penjadwalan dan Konflik Kegiatan
Jadwal implementasi tidak akurat (X1, r = 0,496)
Konflik antar aktivitas konstruksi (X2, r = 0,639)
2. Pengawasan dan Motivasi Internal
Kurangnya pengalaman dan motivasi supervisi (X8, X10, X11, X12)
Prosedur pengawasan yang tidak sesuai (X11)
3. Tenaga Kerja dan Keselamatan
Mobilisasi pekerja yang lemah (X15)
Minimnya perhatian pada keselamatan kerja (X14)
4. Material dan Rantai Pasok
Pengiriman material terlambat (X25)
Pemasok tidak handal (X26)
Sistem pengadaan material buruk (X28)
5. Peralatan Konstruksi
Keterlambatan pengiriman alat berat (X34)
Penyedia alat tidak kompeten (X37)
6. Kontraktor Spesialis
Kualitas dan mobilisasi kontraktor spesialis rendah (X46, X47, X48, X49)
Studi Kasus Lapangan: Proyek Apartemen Tinggi di Jakarta Selatan
Dalam wawancara lanjutan, ditemukan kasus nyata pada sebuah proyek apartemen 35 lantai di Jakarta Selatan yang molor selama 9 bulan. Evaluasi menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi antara kontraktor utama dan subkontraktor spesialis facade menjadi penyebab utama. Permasalahan serupa tercermin dalam variabel X49—konflik jadwal kerja kontraktor spesialis—yang memiliki nilai korelasi tinggi (r = 0,646).
Validitas Statistik: Layak Dijadikan Rujukan
Nilai KMO (0,763) dan hasil Bartlett's Test (p < 0,000) menunjukkan bahwa data layak untuk analisis faktor. Enam komponen tersebut menjelaskan 67,37% variasi total keterlambatan, angka yang sangat memadai dalam studi sosial-eksperimental.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
A. Pemilihan Kontraktor Spesialis Secara Profesional
Sebagai kelompok faktor paling dominan, proses pemilihan kontraktor spesialis harus mempertimbangkan:
B. Reformasi Sistem Manajemen Proyek
Implementasi sistem ERP atau digital project monitoring dapat meningkatkan transparansi dan akurasi penjadwalan.
C. Pelatihan SDM dalam Pengawasan
Personel pengawas harus mengikuti pelatihan bersertifikat yang fokus pada deteksi dini potensi keterlambatan.
D. Integrasi Rantai Pasok
Kolaborasi sejak awal antara kontraktor dan supplier kunci akan menghindari bottle neck logistik, khususnya dalam proyek dengan komponen impor.
Kritik & Perbandingan Penelitian
Meski komprehensif, studi ini tidak membandingkan antara proyek pemerintah dan swasta. Padahal, budaya kerja dan birokrasi keduanya berbeda signifikan. Penelitian sebelumnya oleh Vita Melia Nughraeni menyebutkan bahwa faktor birokrasi juga memengaruhi keterlambatan proyek lokal.
Penulis juga tidak mengeksplorasi faktor eksternal seperti perubahan regulasi atau kebijakan fiskal. Dalam praktik, keterlambatan izin bisa sama fatalnya dengan kelalaian kontraktor.
Penutup: Mencegah Lebih Baik dari Mengklaim
Studi ini menyuguhkan data kuat bahwa sebagian besar keterlambatan proyek bersumber dari aspek internal yang sebenarnya bisa dihindari. Dengan pembenahan pada sistem pemilihan kontraktor spesialis, penjadwalan, dan pengawasan, kinerja proyek konstruksi di Jakarta bisa meningkat signifikan. Pihak pemilik proyek perlu memosisikan diri bukan hanya sebagai pemberi dana, tapi juga sebagai pengawas aktif demi memastikan proyek berjalan sesuai target.
Sumber Artikel:
Simanjuntak, M.R.A., & Simaremare, S. (2018). Analysis of Non Excusable Delays Risk of High Rise Building Construction Project Process Improving Time Performance in DKI Jakarta. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, 7(5), 4481–4490. DOI:10.15680/IJIRSET.2018.0705020