Pendahuluan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan tanggung jawab hukum yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemberi kerja. Namun, bagaimana tanggung jawab ini dibagi di lokasi kerja yang melibatkan banyak perusahaan (multi-employer worksites)—seperti pada industri pertambangan—tidaklah sesederhana teks undang-undang. Penelitian disertasi oleh Magnus Nygren (2018) dari Luleå University of Technology menyoroti betapa kompleksnya pembagian tanggung jawab K3 di industri tambang, terutama ketika perusahaan klien memiliki kuasa dominan terhadap para kontraktor.
Kasus Kecelakaan sebagai Titik Awal
Studi ini dimulai dari kasus tragis: dua pekerja kontraktor meninggal dalam kecelakaan di sebuah tambang bawah tanah di Swedia tahun 2010. Setelah dua proses pengadilan selama lebih dari enam tahun, tidak satu pun pihak yang dijatuhi hukuman. Tragedi ini memperkuat pertanyaan: Siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas keselamatan di lokasi kerja yang dipenuhi oleh banyak kontraktor?
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dari tahun 2013–2016 dengan:
- Wawancara dan observasi terhadap manajer, supervisor, dan spesialis K3 dari sebuah perusahaan tambang di Swedia dan 10 kontraktornya.
- Wawancara dengan inspektur dari Otoritas K3 Swedia (SWEA).
- Analisis dokumen hukum dan kebijakan perusahaan.
- Workshop bersama pemangku kepentingan industri.
Penelitian ini difokuskan pada bagaimana hubungan kekuasaan memengaruhi penerapan tanggung jawab hukum atas K3, bukan hanya sekadar analisis dokumen normatif.
Tiga Pilar Tanggung Jawab Hukum di Lokasi Multi-Kontraktor
- Tanggung jawab utama tetap pada masing-masing pemberi kerja.
- Tidak dapat dibagi dengan entitas lain.
- Harus mencakup sistem manajemen K3, pelatihan, investigasi insiden, dsb.
- Komunikasi dan kolaborasi lintas perusahaan adalah kewajiban hukum.
- Harus ada koordinasi untuk menghindari tabrakan sistem.
- Koordinasi umum K3 berada pada perusahaan pemilik lokasi.
- Perusahaan klien (pemilik fasilitas) wajib memfasilitasi keselamatan kolektif.
Relasi Kuasa: Ketika Hukum Tidak Cukup
Penelitian menunjukkan bahwa dominasi perusahaan klien menciptakan ketimpangan relasional yang membuat aturan hukum sulit dijalankan secara setara:
- Supervisor kontraktor enggan menyuarakan risiko karena takut kehilangan proyek.
- Manajer perusahaan klien cenderung mengintervensi sistem K3 milik kontraktor, menyebabkan batas organisasi menjadi kabur.
- Tanggung jawab hukum “resmi” jadi tidak efektif dalam praktik karena tekanan ekonomi dan sosial dari klien.
Studi Lapangan dan Fakta Kunci
- Di lokasi tambang yang diteliti, ada 4.300 kontraktor dan penyedia layanan yang aktif.
- Persentase jam kerja oleh kontraktor bisa mencapai 40–50% dari total jam operasional.
- Kontraktor lebih sering mengalami kecelakaan serius dibandingkan pekerja internal perusahaan tambang (berdasarkan data dari US dan Australia).
- Beberapa kontraktor lokal sangat bergantung pada satu klien besar, menjadikannya kontraktor “semu independen”.
Ketimpangan Sosial di Lapangan
Menggunakan teori “core–periphery”, Nygren menunjukkan:
- Pekerja internal punya akses ke pelatihan, perlindungan serikat, dan stabilitas kerja.
- Pekerja kontraktor lebih rentan terhadap tekanan produktivitas, kurang pelatihan, dan budaya diam terhadap risiko.
- Manajemen keselamatan sering kali disusun berdasarkan narasi perusahaan klien, sehingga kebutuhan atau tantangan kontraktor diabaikan.
Inisiatif Perusahaan Klien: Niat Baik yang Tidak Netral
Beberapa perusahaan tambang Swedia telah:
- Mengembangkan template evaluasi K3 untuk kontraktor.
- Mewajibkan pelatihan keselamatan berbasis web untuk semua pekerja eksternal.
- Mengadopsi standar OHSAS 18001 dalam sistem manajemen.
Namun, inisiatif ini justru menimbulkan masalah baru: definisi masalah dan solusinya hanya berasal dari perspektif perusahaan klien. Akibatnya, isu ketimpangan kekuasaan terabaikan, dan tanggung jawab hukum yang seharusnya dibagi menjadi kabur.
Konsep “Blurred Boundaries” dalam K3
Ketika kontraktor bekerja lama di fasilitas klien, sering kali terjadi:
- Persepsi identitas kerja yang bercampur, sehingga tidak jelas siapa yang harus mengatur atau dilindungi oleh siapa.
- Pekerja kontraktor mengalami tekanan ganda, yaitu dari manajemen kontraktornya dan dari supervisor klien.
Kontrak kerja formal tidak lagi mencerminkan hubungan kerja yang sebenarnya. Ini menyulitkan penerapan hukum dan menurunkan efektivitas program K3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pembagian tanggung jawab K3 di lokasi kerja multi-kontraktor tidak bisa hanya bergantung pada teks hukum. Harus ada pemahaman tentang:
- Relasi kuasa antara klien dan kontraktor sebagai faktor utama yang membentuk praktik K3.
- Pentingnya ruang dialog setara, bukan pendekatan top-down dari perusahaan klien.
- Reformasi kebijakan yang mempertimbangkan realitas organisasi hibrida dan kerja fleksibel.
Tanpa ini, usaha perbaikan K3 hanya akan menambal permukaan, sementara akar masalah tetap tak tersentuh.
Sumber : Nygren, M. (2018). Safety Management on Multi-Employer Worksites: Responsibilities and Power Relations in the Mining Industry. Doctoral Thesis, Luleå University of Technology.