Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pengantar: Mengapa Triple Constraint Krusial dalam Proyek Konstruksi?
Dalam manajemen proyek, keberhasilan selalu dikaitkan dengan tercapainya tiga elemen utama yang dikenal sebagai triple constraint: waktu, biaya, dan mutu. Ketiga faktor ini membentuk fondasi yang saling terhubung, di mana perubahan satu variabel akan berdampak pada dua lainnya. Dalam konteks pandemi Covid-19, tekanan terhadap triple constraint semakin kompleks, terutama di pusat aktivitas konstruksi seperti Jakarta. Studi oleh Monika Natalia dkk. (2021) memberikan gambaran komprehensif terhadap berbagai faktor penyebab kendala dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Jakarta selama pandemi.
Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Terstruktur, dan Representatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 38 responden dari lima proyek konstruksi aktif di Jakarta. Responden terdiri dari manajer proyek, engineer, safety officer, hingga tim K3. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SPSS v.22 melalui uji validitas, reliabilitas, korelasi Pearson, dan regresi linier berganda untuk mengidentifikasi faktor paling dominan yang mengganggu pelaksanaan proyek.
Hasil Utama: Tiga Faktor Paling Mempengaruhi Triple Constraint
Dari belasan faktor yang dianalisis, tiga sub-faktor ditemukan memiliki pengaruh signifikan terhadap pelaksanaan proyek selama pandemi, yaitu:
1. Kualitas Bahan yang Kurang Baik (X2.3)
Koefisien regresi: 0,302
T hitung: 2,641 (signifikan karena > t tabel)
Implikasi: Mutu material menjadi krusial. Saat pandemi, banyak kontraktor mengalami kesulitan impor bahan, atau harus menggunakan alternatif berkualitas rendah. Ini memicu rework dan keterlambatan.
2. Penerapan Teknologi Baru yang Belum Dikuasai (X8.2)
Koefisien regresi: 0,268
T hitung: 2,962
Analisis: Transisi ke metode konstruksi modern seperti BIM, prefabrikasi, atau teknologi jarak jauh memang terpaksa dilakukan. Namun, minimnya pelatihan dan kesiapan menyebabkan proyek berjalan lambat.
3. Kesulitan Melihat Laporan Laba Rugi per Proyek (X9.4)
Koefisien regresi: 0,194
T hitung: 3,324
Konsekuensi: Manajemen keuangan yang tidak transparan dan lambat memicu keterlambatan pengambilan keputusan, penundaan pembayaran vendor, hingga stagnasi proyek.
Konteks Nyata: Studi Kasus Proyek Rusun PIK Jakarta Timur
Salah satu proyek yang ditinjau adalah pembangunan Rusun PIK di Jakarta Timur. Proyek ini mengalami keterlambatan akibat pembatasan pekerja, sulitnya distribusi material, serta ketidakmampuan mengadaptasi teknologi kerja jarak jauh. Tim manajemen kesulitan mengevaluasi progres karena absennya sistem digital yang solid.
Korelasi Faktor Tambahan: Kompleksitas Tidak Hanya dari Tiga Sub-Faktor
Meskipun hanya tiga faktor yang signifikan secara statistik, analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan kuat pada beberapa sub-faktor lain:
Ketiga faktor ini tidak signifikan dalam regresi, namun tetap berpengaruh dalam dinamika proyek, khususnya dalam koordinasi harian dan pengambilan keputusan.
Interpretasi Tambahan: Mengapa Ini Terjadi?
Pandemi memaksa proyek bekerja dalam keterbatasan:
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini senada dengan studi Dartok (2021) di Batam yang menunjukkan bahwa 50,16% keterlambatan proyek berasal dari masalah material, dan 26% dari PHK pekerja. Ini menunjukkan pola yang konsisten secara nasional: pasokan dan sumber daya manusia menjadi titik lemah utama saat pandemi.
Rekomendasi Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan?
Berdasarkan temuan ini, beberapa strategi bisa diterapkan untuk mencegah kendala berulang:
Peningkatan Transparansi Laporan: Setiap proyek harus memiliki sistem laporan laba rugi mingguan yang dapat diakses stakeholder.
Kesimpulan: Triple Constraint Butuh Penanganan Holistik
Kunci dari keberhasilan proyek bukan sekadar menyelesaikan bangunan tepat waktu atau dalam anggaran, tetapi menjaga keseimbangan antara mutu, waktu, dan biaya. Pandemi menantang semua itu secara bersamaan. Studi Monika Natalia dkk. membuktikan bahwa kelemahan dalam mutu material, ketidaksiapan teknologi, dan buruknya sistem keuangan internal menjadi pemicu utama kegagalan proyek konstruksi di Jakarta. Tanpa perbaikan sistemik, triple constraint akan selalu menjadi sumber masalah dalam kondisi krisis.
Dalam kerangka ke depan, industri konstruksi Indonesia harus belajar dari pandemi dengan memperkuat teknologi, sumber daya manusia, serta keuangan proyek. Tidak cukup hanya bertahan, proyek-proyek masa depan harus tangguh menghadapi krisis. Transformasi digital, budaya belajar yang cepat, dan kolaborasi lintas fungsi bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan.
Sumber:
Natalia, M., Riswandi, R., Oktaviani, D., & Putri, M. H. (2021). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kendala Triple Constraint Proyek Konstruksi di Kota Jakarta Akibat Pandemi Covid-19. Siklus: Jurnal Teknik Sipil, 7(2), 160–174. https://doi.org/10.31849/siklus.v7i2.7397
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Konstruksi Gagal?
Konstruksi yang gagal tak hanya berarti kerugian materi, tetapi juga dapat berdampak pada keselamatan publik. Studi oleh Yustinus Eka Wiyana mengangkat isu mendalam tentang bagaimana faktor teknis menjadi penyumbang besar kegagalan proyek bangunan di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Kegagalan ini tak selalu terjadi akibat bencana alam, tetapi justru berasal dari praktik internal proyek yang keliru atau lalai.
Definisi dan Ruang Lingkup Kegagalan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000, kegagalan konstruksi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak. Hal ini mencakup seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga pelaksanaan. Sementara kegagalan bangunan mengacu pada kerusakan struktural pasca-konstruksi yang biasanya disebabkan oleh kesalahan desain, pelaksanaan, atau pengawasan.
Fakta Lapangan: Dimensi Kegagalan yang Terungkap
Penelitian ini memeriksa 34 proyek bangunan gedung pemerintah di Jawa Tengah yang didanai APBN/APBD antara 1996 hingga 2008. Temuan menunjukkan:
Angka-angka ini merefleksikan bahwa struktur utama adalah titik paling rentan terhadap kegagalan teknis.
Akar Masalah: Bukan Sekadar Material
1. Nilai Kontrak yang Terlalu Rendah
Kontrak dengan nilai di bawah 70% dari pagu anggaran memaksa kontraktor menekan biaya, yang akhirnya berdampak pada pemilihan material murah dan SDM kurang kompeten. Ini menjadi pemicu dominan penyimpangan pelaksanaan dari RKS dan gambar kerja.
2. Pengawasan yang Lemah
Studi ini menekankan pentingnya supervisi internal dan eksternal. Jika pengawasan hanya formalitas, maka kualitas akan terkorbankan. Kualitas pengawasan sangat dipengaruhi oleh:
3. Tenggat Waktu yang Melemahkan Proses
Simulasi model menunjukkan bahwa semakin singkat waktu pelaksanaan, maka kemungkinan kegagalan konstruksi meningkat. Di sisi lain, waktu yang lebih panjang tidak selalu menjamin keberhasilan jika tidak dibarengi manajemen yang baik.
Simulasi Model: Hubungan Variabel Teknis
Dengan menggunakan metode Partial Least Squares (PLS) dan Structural Equation Modeling (SEM), penelitian ini memetakan hubungan antara:
Temuan ini relevan dengan tantangan yang dihadapi pelaksana proyek di Indonesia yang sering berhadapan dengan tenggat ketat dan fleksibilitas kontrak yang terbatas.
Studi Kasus: Proyek Pemerintah Bermasalah
Beberapa proyek dalam studi ini menjadi objek pemeriksaan kejaksaan karena dugaan penyimpangan teknis. Penyebab umumnya:
Kondisi ini makin diperburuk oleh tekanan politik dan kebijakan tender yang tidak mempertimbangkan kelayakan teknis secara menyeluruh.
Perspektif Tambahan: Kegagalan sebagai Akumulasi Kesalahan
Sejalan dengan pendapat Oyfer (2002), kegagalan konstruksi adalah resultante dari banyak kesalahan kecil yang dibuat oleh berbagai pihak—mulai dari perencana, pelaksana, pengawas, hingga pemilik proyek. Dalam banyak kasus, masalah muncul bukan karena satu faktor tunggal, melainkan akumulasi dari:
Dimensi Supervisi: Internal dan Eksternal
Model kualitatif yang dikembangkan dalam studi ini menyoroti tiga pilar utama:
1. Internal Supervisi — mencakup:
Pendidikan, pelatihan, pengalaman tenaga kerja
Sertifikasi profesi dan nilai proyek yang ditangani
2. Eksternal Supervisi — meliputi:
Cek penyimpangan, inspeksi lapangan, briefing pagi
Evaluasi mingguan dan hasil kerja
3. Kualitas — hasil akhir dari koordinasi kedua jenis supervisi, tergantung pada komunikasi, kepercayaan, dan komitmen antar tim proyek.
Simulasi model menunjukkan bahwa jika supervisi eksternal lemah, kualitas proyek pasti menurun—terlepas dari kemampuan internal.
Rekomendasi Solutif
Untuk mencegah kegagalan konstruksi di masa mendatang, beberapa solusi penting meliputi:
1. Evaluasi Ulang Nilai Kontrak: Lakukan audit awal agar tidak terjadi tekanan harga yang menyebabkan kontraktor mengorbankan kualitas.
2. Wajibkan Sertifikasi SDM: Semua tenaga kerja proyek harus memiliki pelatihan dan sertifikasi sesuai bidangnya.
3. Penguatan Peran Supervisi:
4. Integrasi Teknologi Monitoring: Gunakan sistem digital untuk mencatat deviasi progres dan kualitas secara real time.
5. Transparansi Tender: Sistem lelang proyek pemerintah harus lebih ketat dalam menilai aspek teknis, bukan hanya harga terendah.
6. Penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-based Contracts): Agar kontraktor terdorong memberikan kualitas terbaik, bukan sekadar menyelesaikan proyek.
Penutup: Membangun Proyek yang Berkelanjutan
Kegagalan konstruksi bukan hanya soal teknik, tapi juga soal integritas dan manajemen. Penelitian ini menegaskan bahwa proyek yang berhasil tidak bisa dilepaskan dari sistem kontrak yang adil, SDM yang mumpuni, dan supervisi yang berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam dunia konstruksi Indonesia yang masih banyak tantangan, temuan ini sangat relevan untuk membentuk ekosistem proyek yang berkelanjutan dan aman.
Ke depan, pelibatan teknologi, tata kelola proyek yang baik, serta standar kompetensi tenaga kerja harus menjadi fondasi utama dalam pengelolaan proyek konstruksi nasional. Tidak cukup hanya menyalahkan kegagalan teknis, tetapi memperkuat seluruh rantai nilai dalam ekosistem konstruksi.
Sumber:
Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Wahana Teknik Sipil, 17(2), 77–86. https://sipil.polines.ac.id
Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Jalan dan Tantangan Global
Pembangunan infrastruktur jalan adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang, termasuk Ghana. Di Ghana, 95% transportasi bergantung pada jaringan jalan (Ministry of Roads, 2017). Namun, meskipun menjadi sektor vital, proyek-proyek jalan di negara ini sering kali gagal memenuhi harapan baik dari sisi biaya, waktu penyelesaian, maupun ruang lingkup pengerjaan. Studi yang dilakukan oleh Bernice Darffour Abankwah (2020) menyoroti isu ini dengan mendalam.
Metodologi dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis paradigma konstruktivisme sosial melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan proyek, termasuk pejabat Ghana Highway Authority, kontraktor, dan manajer proyek. Fokus utama adalah mengidentifikasi determinan kegagalan proyek jalan dalam tiga dimensi utama: biaya, waktu, dan lingkup (iron triangle).
Dimensi Biaya: Ketidakstabilan Ekonomi dan Kurangnya Keterampilan
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Salah satu proyek jalan yang awalnya dianggarkan sebesar GH₵73 juta akhirnya membengkak menjadi GH₵100 juta, menunjukkan kenaikan lebih dari 35%. Kelemahan dalam estimasi awal dan perubahan harga material menjadi penyebab utamanya.
Analisis Tambahan:
Faktor biaya menunjukkan kelemahan dalam penganggaran berbasis risiko. Dalam praktik global, seperti yang dikemukakan Flyvbjerg et al. (2003), proyek konstruksi di negara berkembang cenderung mengalami pembengkakan biaya hingga 60% akibat proyeksi yang terlalu optimis.
Dimensi Waktu: Hambatan Finansial dan Kondisi Lingkungan
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Dalam proyek jalan utama di Ghana Utara, keterlambatan pendanaan menyebabkan proyek mundur hingga 17 bulan dari jadwal awal. Hal ini tidak hanya menambah biaya, tetapi juga menghambat mobilitas masyarakat setempat.
Analisis Tambahan:
Dalam konteks Afrika, keterlambatan proyek sering kali terkait dengan struktur keuangan publik yang tidak fleksibel. Dalam laporan World Bank (2015), disebutkan bahwa rata-rata proyek infrastruktur di Afrika Sub-Sahara mengalami keterlambatan hingga 24 bulan.
Dimensi Lingkup: Intervensi Politik dan Perencanaan Buruk
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Proyek jalan di wilayah Volta mengalami tiga kali perubahan desain akibat tekanan dari politisi lokal yang menginginkan penyesuaian demi kepentingan elektoral. Akibatnya, tim proyek harus merombak ulang rencana kerja, mengakibatkan penundaan dan pembengkakan anggaran.
Analisis Tambahan:
Perubahan lingkup tanpa kajian ulang anggaran dan waktu mengakibatkan ketidakseimbangan pada parameter proyek lainnya. Hal ini sesuai dengan teori sistem yang diangkat dalam studi ini—perubahan pada satu komponen akan berdampak pada keseluruhan sistem.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
1. Peningkatan kapasitas manajemen proyek melalui pelatihan berkelanjutan dan sertifikasi profesional.
2. Implementasi sistem estimasi biaya berbasis data historis dan skenario risiko.
3. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam aspek perubahan desain atau lingkup.
4. Pemanfaatan teknologi seperti Project Management Information System (PMIS) untuk pemantauan waktu nyata.
Perbandingan dengan Studi Internasional
Fenomena yang terjadi di Ghana serupa dengan kasus di Nigeria, India, dan Pakistan, di mana proyek infrastruktur besar seperti Ajaokuta Steel Complex (Nigeria) atau proyek-proyek jalan nasional India mengalami nasib serupa akibat faktor politik dan lemahnya sistem kontrol proyek.
Kesimpulan: Membangun Jalan Menuju Keberhasilan Proyek
Kegagalan proyek konstruksi jalan di Ghana bukan hanya soal anggaran atau cuaca buruk. Ia adalah akumulasi dari lemahnya manajemen risiko, intervensi politik, hingga kurangnya integrasi sistemik antar pihak. Studi ini memberi kontribusi nyata dengan tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyarankan solusi berbasis praktik terbaik dan teknologi. Jika rekomendasi ini diadopsi secara menyeluruh, bukan tidak mungkin proyek-proyek masa depan di Ghana akan menjadi model keberhasilan infrastruktur di Afrika.
Sumber:
Abankwah, B. D. (2020). Project Failure in the Road Construction Industry of Ghana. University of Cape Coast. Diakses melalui https://ir.ucc.edu.gh/xmlui
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.
Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik
Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.
Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)
Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):
1. Waktu penyelesaian
2. Biaya proyek
3. Kualitas bangunan
4. Keselamatan kerja
5. Minim sengketa di lokasi
6. Dampak terhadap lingkungan
Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):
Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)
Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)
Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)
Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)
Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)
Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)
Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan
Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.
Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori
Nilai Tambah:
Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.
Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.
Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.
Keterbatasan:
Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.
Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.
Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.
Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:
Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi
Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.
Sumber:
Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/
Manajemen Kualitas
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.
Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.
Definisi dan Kategori Biaya Kualitas
Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:
1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.
2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.
3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.
Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:
Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)
Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)
Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.
Hasil Penelitian dan Analisis
1. Perencanaan Biaya Pencegahan
Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak
Proyek 2: 0,860%
Proyek 3: 0,948%
Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.
Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.
Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.
2. Perencanaan Biaya Penilaian
Proyek 1: 0,883%
Proyek 2: 1,790%
Proyek 3: 2,324%
Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.
Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.
3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan
Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:
Proyek 1: 1,35%
Proyek 2: 1,028%
Proyek 3: 0,55%
Komponen terbesar:
Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material
Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework
Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.
Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta
Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).
Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.
Hambatan dan Tantangan
1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas
2. Data tidak terdokumentasi dengan baik
3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama
4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan
Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.
Rekomendasi
Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi
Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek
Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama
Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.
Sumber:
Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Keterlambatan dalam proyek konstruksi jalan telah lama menjadi persoalan serius di berbagai negara berkembang, termasuk Tanzania. Dengan sektor jalan menyumbang 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan melibatkan lebih dari 1,9 juta pekerja, kelambanan proyek tak hanya berdampak pada efisiensi, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian Jenifa Simon (2017) yang berjudul "The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City" mencoba mengidentifikasi akar masalah dari fenomena ini.
Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini menelaah persepsi dari berbagai pihak seperti pejabat TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Penemuan menarik muncul: faktor politik mendominasi sebagai penyebab utama keterlambatan, bahkan melampaui isu teknis dan sumber daya.
Delays dalam Konstruksi: Konsep dan Klasifikasi
Dalam dunia konstruksi, "delay" merujuk pada keterlambatan penyelesaian proyek dibandingkan dengan jadwal yang telah disepakati. Delay ini diklasifikasikan menjadi:
Pemahaman klasifikasi ini penting agar manajer proyek bisa mengantisipasi risiko dan menetapkan strategi mitigasi secara tepat.
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi penyebab keterlambatan secara umum
2. Menentukan penyebab yang paling dominan
3. Menyigi perbedaan persepsi antara kontraktor, konsultan, dan klien terhadap faktor penyebab keterlambatan
Sebanyak 60 kuesioner disebar ke responden dari TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Tingkat respons mencapai 75% atau 45 responden. Pendekatan analisis yang digunakan adalah kombinasi statistik (SPSS) dan analisis konten.
Temuan Utama: 7 Penyebab Utama Keterlambatan Proyek Jalan
Berikut adalah variabel utama beserta persentase responden yang mengakui kontribusinya terhadap keterlambatan proyek:
1. Intervensi politik: 68,9%
2. Manajemen konstruksi yang buruk: 60%
3. Desain yang tidak memadai: 55,6%
4. Hubungan kontraktual yang lemah: 57,8%
5. Ketersediaan sumber daya: 51,1%
6. Keterlibatan pihak ketiga yang tidak efektif: 44,4%
7. Kondisi lingkungan: 42,2%
Rata-rata seluruh variabel memberikan kontribusi sebesar 54,3% terhadap keterlambatan proyek.
Studi Lapangan: Proyek-Proyek di Dar es Salaam
Penelitian dilakukan di tiga distrik utama: Ilala, Kinondoni, dan Temeke. Mayoritas proyek dikelola oleh TANROADS, institusi negara yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan. Data di lapangan menunjukkan bahwa:
Efek dari Keterlambatan
Keterlambatan proyek jalan tak hanya berdampak finansial, tetapi juga sosial. Berikut adalah tujuh efek utama keterlambatan yang diidentifikasi oleh responden:
1. Time overrun: 77,8%
2. Cost overrun: 73,3%
3. Dampak sosial negatif: 71,1%
4. Kualitas kerja menurun: 64,4%
5. Tertundanya keuntungan klien: 62,2%
6. Stres pada kontraktor: 57,8%
7. Sengketa dan arbitrase: 55,6%
Analisis Tambahan: Faktor Politik sebagai Isu Paling Kritis
Menariknya, intervensi politik justru muncul sebagai variabel paling berpengaruh, berbeda dengan hasil-hasil penelitian lain di Malaysia dan Timur Tengah yang menempatkan perencanaan kontraktor dan masalah material sebagai penyebab utama.
Beberapa praktik yang memperburuk situasi:
Perbandingan dengan Penelitian Internasional
Dari perbandingan ini, dapat dilihat bahwa politik menjadi faktor khas yang lebih menonjol di Tanzania.
Rekomendasi Praktis
1. Reformasi Kebijakan Publik: Pemerintah harus membuat regulasi yang membatasi intervensi politik dalam proyek infrastruktur.
2. Peningkatan Kompetensi Manajerial: Kontraktor dan manajer proyek perlu dibekali pelatihan manajemen risiko dan mutu.
3. Desain Lebih Matang: Audit desain sebelum lelang proyek harus diwajibkan.
4. Penguatan Komunikasi Lintas Pihak: Sistem komunikasi antar kontraktor, konsultan, dan klien harus lebih efisien.
5. Perencanaan Musim Hujan: Jadwal proyek perlu disesuaikan dengan kondisi cuaca.
Dampak Luas terhadap Industri Konstruksi Tanzania
Penelitian ini membuka wawasan tentang pentingnya governance dalam pengelolaan proyek. Isu teknis dan sumber daya memang penting, tetapi tanpa tata kelola yang bersih, proyek jalan akan terus terlambat dan merugikan publik. Dengan reformasi menyeluruh, industri konstruksi di Tanzania bisa lebih efisien, transparan, dan profesional.
Kesimpulan
Penelitian Jenifa Simon berhasil mengidentifikasi secara rinci penyebab keterlambatan proyek jalan di Tanzania. Dominasi faktor politik menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dalam perbaikan sistem proyek. Selain itu, hasil ini memperkuat urgensi integrasi manajemen risiko, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam sektor konstruksi publik.
Sumber:
Simon, Jenifa. (2017). The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City. Open University of Tanzania. Tersedia di: https://core.ac.uk/display/79425368