Pendahuluan: Mengapa Konstruksi Gagal?
Konstruksi yang gagal tak hanya berarti kerugian materi, tetapi juga dapat berdampak pada keselamatan publik. Studi oleh Yustinus Eka Wiyana mengangkat isu mendalam tentang bagaimana faktor teknis menjadi penyumbang besar kegagalan proyek bangunan di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Kegagalan ini tak selalu terjadi akibat bencana alam, tetapi justru berasal dari praktik internal proyek yang keliru atau lalai.
Definisi dan Ruang Lingkup Kegagalan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000, kegagalan konstruksi didefinisikan sebagai ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak. Hal ini mencakup seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga pelaksanaan. Sementara kegagalan bangunan mengacu pada kerusakan struktural pasca-konstruksi yang biasanya disebabkan oleh kesalahan desain, pelaksanaan, atau pengawasan.
Fakta Lapangan: Dimensi Kegagalan yang Terungkap
Penelitian ini memeriksa 34 proyek bangunan gedung pemerintah di Jawa Tengah yang didanai APBN/APBD antara 1996 hingga 2008. Temuan menunjukkan:
- Rata-rata penyimpangan biaya pada elemen struktur mencapai 4,36% dari nilai kontrak.
- Kegagalan pada atap: 2,53%.
- Pondasi: 0,15%.
- Utilitas: 0,12%.
- Finishing: 0,07%.
Angka-angka ini merefleksikan bahwa struktur utama adalah titik paling rentan terhadap kegagalan teknis.
Akar Masalah: Bukan Sekadar Material
1. Nilai Kontrak yang Terlalu Rendah
Kontrak dengan nilai di bawah 70% dari pagu anggaran memaksa kontraktor menekan biaya, yang akhirnya berdampak pada pemilihan material murah dan SDM kurang kompeten. Ini menjadi pemicu dominan penyimpangan pelaksanaan dari RKS dan gambar kerja.
2. Pengawasan yang Lemah
Studi ini menekankan pentingnya supervisi internal dan eksternal. Jika pengawasan hanya formalitas, maka kualitas akan terkorbankan. Kualitas pengawasan sangat dipengaruhi oleh:
- Kualifikasi SDM (pendidikan, pelatihan, sertifikasi)
- Kedisiplinan evaluasi lapangan
- Komunikasi antara pemilik proyek dan pelaksana
3. Tenggat Waktu yang Melemahkan Proses
Simulasi model menunjukkan bahwa semakin singkat waktu pelaksanaan, maka kemungkinan kegagalan konstruksi meningkat. Di sisi lain, waktu yang lebih panjang tidak selalu menjamin keberhasilan jika tidak dibarengi manajemen yang baik.
Simulasi Model: Hubungan Variabel Teknis
Dengan menggunakan metode Partial Least Squares (PLS) dan Structural Equation Modeling (SEM), penelitian ini memetakan hubungan antara:
- Waktu vs Biaya: Korelasi positif (semakin pendek waktu, semakin kecil biaya—tapi rawan kegagalan)
- Waktu vs Kegagalan: Korelasi negatif (semakin cepat proyek, potensi kegagalan meningkat)
- Jenis Kontrak vs Kegagalan: Kontrak lump sum dan unit price memiliki risiko yang berbeda dalam kontrol mutu.
Temuan ini relevan dengan tantangan yang dihadapi pelaksana proyek di Indonesia yang sering berhadapan dengan tenggat ketat dan fleksibilitas kontrak yang terbatas.
Studi Kasus: Proyek Pemerintah Bermasalah
Beberapa proyek dalam studi ini menjadi objek pemeriksaan kejaksaan karena dugaan penyimpangan teknis. Penyebab umumnya:
- Tidak sesuainya pelaksanaan dengan gambar rencana
- Material tidak memenuhi standar
- Pengawas lapangan tidak melakukan evaluasi mingguan
- Sertifikasi tenaga kerja rendah
Kondisi ini makin diperburuk oleh tekanan politik dan kebijakan tender yang tidak mempertimbangkan kelayakan teknis secara menyeluruh.
Perspektif Tambahan: Kegagalan sebagai Akumulasi Kesalahan
Sejalan dengan pendapat Oyfer (2002), kegagalan konstruksi adalah resultante dari banyak kesalahan kecil yang dibuat oleh berbagai pihak—mulai dari perencana, pelaksana, pengawas, hingga pemilik proyek. Dalam banyak kasus, masalah muncul bukan karena satu faktor tunggal, melainkan akumulasi dari:
- Desain yang tidak matang
- Perencanaan lemah
- Kesalahan pelaksanaan
- Material berkualitas rendah
- Supervisi yang tidak optimal
Dimensi Supervisi: Internal dan Eksternal
Model kualitatif yang dikembangkan dalam studi ini menyoroti tiga pilar utama:
1. Internal Supervisi — mencakup:
Pendidikan, pelatihan, pengalaman tenaga kerja
Sertifikasi profesi dan nilai proyek yang ditangani
2. Eksternal Supervisi — meliputi:
Cek penyimpangan, inspeksi lapangan, briefing pagi
Evaluasi mingguan dan hasil kerja
3. Kualitas — hasil akhir dari koordinasi kedua jenis supervisi, tergantung pada komunikasi, kepercayaan, dan komitmen antar tim proyek.
Simulasi model menunjukkan bahwa jika supervisi eksternal lemah, kualitas proyek pasti menurun—terlepas dari kemampuan internal.
Rekomendasi Solutif
Untuk mencegah kegagalan konstruksi di masa mendatang, beberapa solusi penting meliputi:
1. Evaluasi Ulang Nilai Kontrak: Lakukan audit awal agar tidak terjadi tekanan harga yang menyebabkan kontraktor mengorbankan kualitas.
2. Wajibkan Sertifikasi SDM: Semua tenaga kerja proyek harus memiliki pelatihan dan sertifikasi sesuai bidangnya.
3. Penguatan Peran Supervisi:
- Supervisi internal harus aktif mengevaluasi mingguan
- Supervisi eksternal independen dilibatkan untuk validasi mutu
4. Integrasi Teknologi Monitoring: Gunakan sistem digital untuk mencatat deviasi progres dan kualitas secara real time.
5. Transparansi Tender: Sistem lelang proyek pemerintah harus lebih ketat dalam menilai aspek teknis, bukan hanya harga terendah.
6. Penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-based Contracts): Agar kontraktor terdorong memberikan kualitas terbaik, bukan sekadar menyelesaikan proyek.
Penutup: Membangun Proyek yang Berkelanjutan
Kegagalan konstruksi bukan hanya soal teknik, tapi juga soal integritas dan manajemen. Penelitian ini menegaskan bahwa proyek yang berhasil tidak bisa dilepaskan dari sistem kontrak yang adil, SDM yang mumpuni, dan supervisi yang berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam dunia konstruksi Indonesia yang masih banyak tantangan, temuan ini sangat relevan untuk membentuk ekosistem proyek yang berkelanjutan dan aman.
Ke depan, pelibatan teknologi, tata kelola proyek yang baik, serta standar kompetensi tenaga kerja harus menjadi fondasi utama dalam pengelolaan proyek konstruksi nasional. Tidak cukup hanya menyalahkan kegagalan teknis, tetapi memperkuat seluruh rantai nilai dalam ekosistem konstruksi.
Sumber:
Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Wahana Teknik Sipil, 17(2), 77–86. https://sipil.polines.ac.id