Pendahuluan
Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.
Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.
Definisi dan Kategori Biaya Kualitas
Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:
1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.
2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.
3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.
Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:
Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)
Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)
Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.
Hasil Penelitian dan Analisis
1. Perencanaan Biaya Pencegahan
Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak
Proyek 2: 0,860%
Proyek 3: 0,948%
Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.
Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.
Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.
2. Perencanaan Biaya Penilaian
Proyek 1: 0,883%
Proyek 2: 1,790%
Proyek 3: 2,324%
Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.
Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.
3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan
Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:
Proyek 1: 1,35%
Proyek 2: 1,028%
Proyek 3: 0,55%
Komponen terbesar:
Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material
Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework
Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.
Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta
Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).
Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.
Hambatan dan Tantangan
1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas
2. Data tidak terdokumentasi dengan baik
3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama
4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan
Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.
Rekomendasi
Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi
Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek
Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama
Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.
Sumber:
Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2