Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025
Sungai Tamiraparani dalam Pusaran Krisis Lingkungan dan Sosial
Sungai Tamiraparani di Tamil Nadu, India, bukan sekadar badan air, melainkan urat nadi peradaban, sumber penghidupan, dan simbol spiritual bagi jutaan orang. Namun, dalam dua dekade terakhir, sungai ini menghadapi degradasi hebat akibat polusi, eksploitasi, dan tata kelola yang lemah. Dalam tesis magister Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar (2024), isu ini diangkat melalui lensa “Rights of River” (RoR) dan keadilan lingkungan, dengan pertanyaan sentral: apakah pemberian hak hukum pada sungai dapat menjadi jalan menuju keadilan lingkungan dan sosial?
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, memperkaya dengan analisis, studi kasus, serta membandingkan dengan tren global dan diskursus keadilan lingkungan kontemporer.
Sungai Tamiraparani: Sejarah, Ekologi, dan Signifikansi Sosial
Tamiraparani, dikenal juga sebagai Porunai, mengalir sejauh 128 km dari Periya Pothigai Hills menuju Teluk Bengal, melewati distrik Tirunelveli dan Thoothukudi. Sungai ini menopang lebih dari 86.000 hektar lahan pertanian, menjadi sumber air minum bagi sekitar 7,5 juta jiwa, serta habitat bagi ratusan spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik dan langka. Selain itu, sungai ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal—mulai dari petani, nelayan, pengumpul tanaman obat, hingga pengrajin.
Namun, modernisasi dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah Tamiraparani. Eksploitasi berlebihan, polusi domestik dan industri, serta perubahan tata guna lahan telah menurunkan kualitas air, mengancam ekosistem, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Polusi dan Eksploitasi: Potret Krisis Nyata
Penelitian ini mengidentifikasi berbagai sumber polusi yang membebani Tamiraparani:
Dampak nyata dari polusi ini adalah menurunnya kualitas air hingga tidak layak konsumsi, punahnya spesies ikan lokal, berkurangnya tanaman obat, dan meningkatnya penyakit pada masyarakat sekitar.
Hak Sungai (Rights of River): Konsep, Potensi, dan Kontroversi
Konsep RoR dan Praktik Global
RoR adalah paradigma hukum dan etika yang mengusulkan sungai sebagai entitas hukum dengan hak inheren—seperti hak untuk tetap mengalir, bebas polusi, dan dipulihkan. Konsep ini telah diadopsi di berbagai negara, seperti Te Awa Tupua Act (Whanganui River, Selandia Baru) dan kasus Río Atrato (Kolombia). Namun, di India, upaya memberi status hukum pada Sungai Ganga dan Yamuna gagal karena kompleksitas transboundary dan lemahnya implementasi.
Kritik dan Tantangan
Studi Kasus: Perspektif Aktor Lokal
Penelitian ini menggunakan 32 wawancara semi-terstruktur dengan berbagai aktor: pengumpul tanaman obat, nelayan, petani, pekerja sosial, LSM, dan pejabat pemerintah.
Pengumpul Tanaman Obat
Kelompok ini sangat bergantung pada kualitas air sungai. Polusi menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas tanaman obat, mengancam pendapatan dan kesehatan mereka. Mereka menekankan pentingnya air bersih sebagai syarat keadilan sosial dan lingkungan. Namun, mereka memandang “hak sungai” lebih sebagai tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan dan kelestarian, bukan sekadar hak legal sungai.
Nelayan
Nelayan darat dan pesisir menghadapi penurunan drastis populasi ikan akibat polusi dan praktik penangkapan ikan yang merusak (misal penggunaan bleaching powder). Banyak keluarga nelayan terpaksa meninggalkan profesi ini. Selain itu, terjadi konflik distribusi air antara petani hulu dan nelayan hilir—air yang seharusnya mengalir ke muara untuk menjaga siklus hidup ikan kini lebih banyak dialihkan untuk irigasi dan industri. Nelayan juga menyoroti ketidakadilan sosial akibat diskriminasi kasta dan kurangnya perlindungan hukum.
Petani
Petani di sepanjang Tamiraparani mengalami penurunan produktivitas akibat polusi, perubahan pola distribusi air, dan perubahan iklim. Prioritas distribusi air kini lebih condong ke kebutuhan domestik dan industri, bukan pertanian. Banyak petani hanya bisa menanam satu kali setahun, padahal sebelumnya bisa dua hingga tiga kali. Harga hasil panen yang tidak sebanding dengan biaya produksi, serta kenaikan harga pupuk dan upah buruh, makin memperburuk kesejahteraan mereka. Petani juga mengeluhkan penurunan kualitas air yang menyebabkan penyakit kulit dan masalah kesehatan lain.
LSM, Pekerja Sosial, dan Pemerintah
Kelompok ini aktif mengadvokasi perlindungan sungai, namun menghadapi tantangan besar: rendahnya kesadaran publik, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya koordinasi antarinstansi. Program pemerintah seperti proyek drainase bawah tanah hanya berjalan sebagian, dan penegakan hukum terhadap penambangan pasir ilegal serta pembuangan limbah belum efektif.
Keadilan Lingkungan dan “Environmentalism of the Poor”
Penelitian ini menempatkan perdebatan RoR dalam kerangka “environmentalism of the poor” (Guha & Martinez-Alier, 1997): gerakan yang menuntut keadilan lingkungan bukan demi kelestarian alam semata, tetapi demi keberlanjutan hidup kelompok miskin dan marjinal yang paling terdampak degradasi lingkungan. Di Tamiraparani, keadilan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup, penghidupan, dan partisipasi komunitas lokal.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Tamiraparani?
Kekuatan Studi
Kritik dan Tantangan
Relevansi Global dan Tren Masa Kini
Kasus Tamiraparani mencerminkan tantangan universal dalam pengelolaan sungai di negara berkembang: konflik antara kebutuhan pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tren global menunjukkan bahwa pendekatan RoR baru efektif jika:
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan: Hak Sungai sebagai Jalan Menuju Keadilan Lingkungan dan Sosial
Studi ini menegaskan bahwa keadilan lingkungan di Tamiraparani hanya bisa dicapai jika hak sungai dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari hak komunitas lokal. RoR bukan sekadar instrumen hukum, melainkan kerangka etika, sosial, dan politik yang menuntut perubahan paradigma: dari eksploitasi menuju harmoni, dari dominasi menuju kemitraan manusia-alam. Tanpa pengakuan dan partisipasi komunitas lokal, RoR akan gagal memenuhi janji keadilan lingkungan yang sejati.
Sumber Artikel
RIGHTS OF RIVER AND ENVIRONMENTAL JUSTICE: A CASE STUDY OF RIVER TAMIRAPARANI, TAMIL NADU, INDIA. Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar. MSc Thesis, Wageningen University, April 2024.
Air Lintas Negara
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025
Mengapa Diplomasi Air di Asia Tengah Begitu Penting?
Asia Tengah adalah kawasan yang sangat bergantung pada dua sungai utama, Amu Darya dan Syr Darya, untuk menopang kehidupan, pertanian, dan energi. Dengan lima negara—Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan—yang saling berbagi sumber daya air, pengelolaan lintas batas menjadi kunci stabilitas dan keberlanjutan kawasan. Paper Rahaman (2012) membedah bagaimana prinsip-prinsip internasional tentang pengelolaan air diterapkan dalam perjanjian-perjanjian regional, serta mengulas tantangan implementasi di lapangan.
Latar Belakang Geografis dan Sosial: Sungai sebagai Sumber Kehidupan dan Konflik
Amu Darya dan Syr Darya mengalir melintasi ribuan kilometer, menghidupi jutaan orang dan menjadi tulang punggung pertanian. Namun, distribusi air tidak merata. Negara-negara hulu seperti Kyrgyzstan dan Tajikistan memiliki cadangan air melimpah dan memanfaatkannya terutama untuk pembangkit listrik di musim dingin. Sebaliknya, negara-negara hilir seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan sangat bergantung pada air untuk irigasi pertanian, terutama kapas dan gandum. Ketidakseimbangan kebutuhan dan sumber daya ini sering menjadi sumber ketegangan.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Pengelolaan Air Lintas Negara
Rahaman mengidentifikasi lima prinsip utama yang diakui secara internasional:
Kelima prinsip ini tercermin dalam berbagai konvensi global, seperti Helsinki Rules dan Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997).
Studi Kasus: Perjanjian dan Implementasi di Asia Tengah
Perjanjian Almaty 1992
Setelah runtuhnya Uni Soviet, lima negara Asia Tengah menandatangani Perjanjian Almaty pada tahun 1992 sebagai kerangka hukum utama untuk pengelolaan bersama air lintas negara. Perjanjian ini mengakui prinsip pemanfaatan adil, kewajiban mencegah kerugian, pentingnya kerjasama, serta mekanisme penyelesaian damai. Komisi ICWC (Interstate Commission for Water Coordination) dibentuk untuk mengatur distribusi air dan memastikan suplai ke Laut Aral.
Namun, dalam praktiknya, pembagian air seringkali tidak berjalan mulus. Negara-negara hulu kerap memprioritaskan kebutuhan energi mereka, sementara negara hilir menuntut suplai air untuk irigasi. Ketika musim kering tiba, negosiasi seringkali berlangsung alot dan berujung pada kompromi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Statuta ICWC 2008
Statuta ini memperkuat mandat ICWC dan secara eksplisit mengadopsi prinsip-prinsip internasional, termasuk kewajiban menerapkan Integrated Water Resources Management (IWRM). Statuta juga menegaskan pentingnya pertukaran informasi, konsultasi, dan penyelesaian damai. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Tidak ada batas waktu yang jelas untuk proses konsultasi, dan mekanisme sanksi bagi pelanggaran hampir tidak ada.
Tantangan Utama dalam Implementasi
1. Lemahnya Penegakan dan Sanksi
Meskipun prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi, tidak ada mekanisme sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran. Negara-negara hulu bisa saja membangun bendungan atau mengubah aliran air tanpa koordinasi efektif, dan negara hilir hanya bisa mengajukan protes tanpa ada konsekuensi nyata.
2. Kurangnya Keterlibatan Stakeholder
Proses pengambilan keputusan masih sangat birokratis dan tertutup. Petani, masyarakat sipil, dan LSM hampir tidak pernah dilibatkan, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak oleh kebijakan air.
3. Afghanistan sebagai “Missing Link”
Afghanistan menyumbang sekitar 10% debit Amu Darya, namun tidak terlibat dalam perjanjian regional. Jika Afghanistan meningkatkan penggunaan airnya di masa depan, potensi konflik baru bisa muncul karena negara-negara lain tidak punya mekanisme untuk mengantisipasi atau menyelesaikan sengketa.
4. Kualitas Air dan Krisis Lingkungan
Fokus perjanjian selama ini lebih pada kuantitas air daripada kualitas dan keberlanjutan lingkungan. Krisis Laut Aral adalah bukti nyata bagaimana irigasi besar-besaran tanpa koordinasi lintas negara bisa menghancurkan ekosistem dan ekonomi lokal. Volume Laut Aral menyusut hingga 90% sejak 1960-an, menyebabkan bencana lingkungan dan sosial berskala besar.
5. Negosiasi Musiman yang Tak Pernah Usai
Setiap tahun, negara-negara Asia Tengah harus berunding ulang terkait pembagian air, terutama saat musim kering. Ketegangan politik kerap meningkat, dan solusi yang diambil seringkali hanya bersifat sementara.
Perbandingan dengan Tren Global
Di Eropa, pengelolaan air lintas negara sudah jauh lebih maju. Perjanjian seperti EU Water Framework Directive menekankan kualitas air, partisipasi publik, dan mekanisme sanksi yang jelas. Negara-negara Asia Tengah memang sudah mengadopsi prinsip-prinsip hukum internasional, namun pelaksanaannya masih didominasi pendekatan top-down dan kurang transparan.
Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997) juga belum sepenuhnya diadopsi di kawasan ini. Hingga 2011, hanya Uzbekistan yang meratifikasi konvensi tersebut, menunjukkan resistensi negara-negara hulu terhadap aturan yang lebih mengikat.
Opini dan Kritik atas Paper
Paper Rahaman patut diapresiasi karena mampu menguraikan secara sistematis bagaimana prinsip-prinsip internasional diadopsi dalam perjanjian regional Asia Tengah. Namun, penulis juga menyoroti bahwa adopsi prinsip di atas kertas tidak otomatis menjamin implementasi di lapangan. Lemahnya mekanisme penegakan, minimnya partisipasi masyarakat, dan absennya Afghanistan dari kerjasama regional menjadi tantangan besar.
Selain itu, isu kualitas air dan keberlanjutan lingkungan masih kurang mendapat perhatian, padahal krisis Laut Aral seharusnya menjadi pelajaran penting. Paper ini juga menyoroti perlunya reformasi institusi, transparansi, dan keterlibatan semua pemangku kepentingan agar pengelolaan air lintas negara benar-benar berkelanjutan.
Rekomendasi untuk Masa Depan Pengelolaan Air di Asia Tengah
Agar tata kelola air lintas negara di Asia Tengah bisa lebih efektif, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
Menuju Tata Kelola Air Lintas Negara yang Berkelanjutan
Paper Rahaman (2012) menegaskan bahwa meski prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi dalam perjanjian air regional Asia Tengah, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Kunci keberhasilan ada pada penguatan institusi, partisipasi semua pihak, transparansi, serta komitmen politik untuk mengutamakan kepentingan bersama dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa reformasi mendasar, Asia Tengah berisiko terus terjebak dalam siklus konflik dan krisis air yang mengancam masa depan kawasan.
Sumber Artikel
Principles of Transboundary Water Resources Management and Water-related Agreements in Central Asia: An Analysis, Muhammad Mizanur Rahaman, International Journal of Water Resources Development, 28:3, 475-491, 2012.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam industri rantai pasok agrikultur, efisiensi dan pengukuran kinerja menjadi faktor kunci dalam meningkatkan profitabilitas dan daya saing pasar. Shengda Market, salah satu rantai supermarket terbesar di Dongying, China, menerapkan strategi rantai pasok terintegrasi dengan Lijin Agricultural Base untuk meningkatkan kualitas produk dan menekan biaya operasional.
Penelitian yang dilakukan oleh Huanhuan Ouyang dalam tesisnya di HAMK Forssa tahun 2012 meneliti model pengukuran kinerja rantai pasok agrikultur di China, khususnya pada kemitraan Shengda Market dan Lijin Agricultural Base. Studi ini mengevaluasi efektivitas model integrasi “Intermediary organization + agricultural cooperative organizations” dalam meningkatkan efisiensi rantai pasok.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, termasuk wawancara langsung dan kuesioner. Sebanyak 46 kuesioner efektif dikumpulkan untuk mengukur kinerja rantai pasok Shengda Market. Selain itu, analisis dilakukan menggunakan fuzzy comprehensive evaluation untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sistem yang diterapkan.
Temuan Utama
1. Model Integrasi “Intermediary Organization + Agricultural Cooperative Organizations”
2. Efisiensi Logistik dan Pengurangan Biaya
3. Pengaruh terhadap Produksi Pertanian Lokal
Strategi Optimal untuk Meningkatkan Kinerja Rantai Pasok
1. Peningkatan Teknologi dalam Manajemen Rantai Pasok
2. Optimalisasi Model Kemitraan
3. Penerapan Sistem Pengukuran Kinerja Berbasis Data
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa pengukuran kinerja rantai pasok sangat penting dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing pasar. Model integrasi “Intermediary Organization + Agricultural Cooperative Organizations” terbukti mampu mengurangi biaya distribusi, meningkatkan efisiensi logistik, dan memberikan manfaat bagi semua pihak dalam ekosistem rantai pasok.
Dengan menerapkan strategi rantai pasok berbasis data dan teknologi, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas, mempercepat distribusi, serta mengurangi biaya dan risiko operasional. Model ini menjadi contoh sukses bagaimana integrasi pemasok dan pengecer dapat menciptakan rantai pasok yang lebih berkelanjutan.
Sumber Asli:
Huanhuan Ouyang (2012). Supply Chain Performance Measurement: The Integrated Project of Shengda Market Chain and Lijin Agricultural Base. HAMK Forssa.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam industri manufaktur makanan dan minuman, pengelolaan hubungan dengan pemasok (Supplier Relationship Management/SRM) menjadi faktor kunci dalam meningkatkan kinerja perusahaan. SRM yang buruk dapat menyebabkan biaya akuisisi tinggi, waktu tunggu panjang, kualitas bahan baku rendah, reputasi buruk, serta pangsa pasar dan profitabilitas yang rendah.
Penelitian oleh Fiona Wanjiku Mwangi dan Samuel Muli menyoroti pengaruh SRM terhadap kinerja organisasi di sektor manufaktur makanan dan minuman di Kiambu County, Kenya. Studi ini mengkaji empat elemen utama dalam SRM: segmentasi pemasok, kolaborasi pemasok, aliran informasi, dan pengembangan pemasok, serta dampaknya terhadap profitabilitas dan efisiensi rantai pasok.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan survei terhadap 63 perusahaan manufaktur makanan dan minuman di Kiambu County, dengan 189 responden dari departemen pengadaan, pergudangan, dan logistik. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis menggunakan korelasi serta regresi linear untuk melihat hubungan antara elemen SRM dan kinerja perusahaan.
Temuan Utama
1. Segmentasi Pemasok Memengaruhi Efisiensi Operasional
2. Kolaborasi dengan Pemasok Meningkatkan Efektivitas Rantai Pasok
3. Aliran Informasi yang Efektif Meningkatkan Pengambilan Keputusan
4. Pengembangan Pemasok Berkontribusi terhadap Keunggulan Kompetitif
Implikasi dan Strategi Optimal
Berdasarkan temuan penelitian, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk memaksimalkan manfaat SRM dalam industri manufaktur makanan dan minuman:
1. Optimalisasi Segmentasi Pemasok
2. Meningkatkan Kolaborasi dengan Pemasok
3. Memanfaatkan Teknologi untuk Aliran Informasi yang Lebih Baik
4. Investasi dalam Pengembangan Pemasok
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa SRM yang baik—melalui segmentasi pemasok, kolaborasi, aliran informasi yang efektif, dan pengembangan pemasok—berkontribusi langsung terhadap peningkatan kinerja perusahaan di sektor manufaktur makanan dan minuman.
Perusahaan yang ingin meningkatkan daya saingnya harus mengintegrasikan SRM ke dalam strategi bisnis mereka, memanfaatkan teknologi untuk efisiensi komunikasi, serta membangun hubungan jangka panjang dengan pemasok yang terpercaya.
Sumber : Fiona Wanjiku Mwangi, Samuel Muli (2022). Influence of Supplier Relationship Management on the Performance of Food and Beverage Manufacturing Firms in Kenya: A Survey of Kiambu County. International Journal of Business and Social Research, Volume 12, Issue 03, pp. 13-30.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam lanskap bisnis yang semakin kompetitif, manajemen hubungan pemasok (Supplier Relationship Management/SRM) berperan penting dalam menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. SRM bukan hanya soal efisiensi biaya, tetapi juga mendorong inovasi, kolaborasi strategis, dan peningkatan daya saing.
Penelitian yang dilakukan oleh Maria Ruuskanen di Lappeenranta-Lahti University of Technology LUT mengeksplorasi bagaimana SRM yang efektif dapat menciptakan nilai di berbagai tingkatan organisasi. Studi ini menyoroti manfaat, tantangan, serta praktik terbaik dalam SRM, dengan fokus pada interaksi antara pembeli dan pemasok.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada wawancara dengan 10 profesional dari 9 industri berbeda, dengan tujuan memahami bagaimana penciptaan nilai terjadi melalui SRM. Hasil studi ini menegaskan bahwa hubungan pembeli-pemasok yang kuat berlandaskan pada kepercayaan, transparansi, dan berbagi informasi.
Temuan Utama
1. Segmentasi Pemasok dan Pengelolaan Hubungan yang Lebih Baik
2. Kolaborasi dengan Pemasok sebagai Kunci Inovasi
3. Transparansi dan Berbagi Informasi untuk Pengambilan Keputusan Lebih Baik
4. Pengembangan Pemasok sebagai Strategi Keunggulan Kompetitif
Strategi Optimal untuk Implementasi SRM yang Efektif
1. Mengoptimalkan Segmentasi dan Evaluasi Pemasok
2. Meningkatkan Kolaborasi Jangka Panjang
3. Menerapkan Teknologi Digital untuk Efisiensi Rantai Pasok
4. Mendorong Pengembangan Pemasok Secara Berkelanjutan
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa SRM bukan hanya alat manajemen rantai pasok, tetapi juga strategi bisnis yang dapat menciptakan nilai signifikan bagi perusahaan. Kepercayaan, transparansi, dan keterlibatan pemasok dalam strategi bisnis perusahaan adalah faktor utama dalam kesuksesan SRM.
Perusahaan yang ingin meningkatkan daya saing harus menerapkan SRM secara menyeluruh, mulai dari segmentasi pemasok, kolaborasi strategis, pemanfaatan teknologi, hingga pengembangan pemasok yang berkelanjutan.
Sumber : Maria Ruuskanen (2021). The Role of Effective Supplier Relationship Management in Value Creation. Lappeenranta-Lahti University of Technology LUT.
Manajemen Pemasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025
Pendahuluan
Perkembangan teknologi telah mengubah cara perusahaan mengelola rantai pasokan mereka. Digital procurement, atau penggunaan teknologi digital dalam proses pengadaan, semakin banyak diadopsi oleh perusahaan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan hubungan dengan pemasok.
Namun, sejauh mana digital procurement berdampak pada kepuasan pemasok (supplier satisfaction) dan keunggulan operasional (operative excellence) masih menjadi perdebatan. Studi ini, berdasarkan penelitian oleh Tommaso Liberale (2023), mengeksplorasi dampak digital procurement dalam industri kimia dan menguji apakah praktik digital procurement benar-benar meningkatkan kepuasan pemasok atau hanya memperbaiki efisiensi operasional perusahaan.
Metodologi Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 119 pemasok di industri kimia. Data dianalisis menggunakan Partial Least Square Structural Equation Modelling (PLS-SEM) untuk mengevaluasi hubungan antara digital procurement, supplier satisfaction, dan operative excellence.
Temuan Utama
1. Digital Procurement Meningkatkan Operative Excellence tetapi Tidak Mempengaruhi Supplier Satisfaction
2. Preferred Customer Status (PCS) Bergantung pada Supplier Satisfaction
3. Profitabilitas dan Operative Excellence Tidak Secara Langsung Meningkatkan Supplier Satisfaction
4. Digital Capability Asymmetry Tidak Mempengaruhi Supplier Satisfaction
Implikasi dan Rekomendasi Strategis
Hasil penelitian ini memberikan beberapa wawasan penting bagi perusahaan yang ingin mengoptimalkan digital procurement dalam rantai pasokan mereka:
1. Fokus pada Hubungan Jangka Panjang dengan Pemasok
2. Gunakan Digital Procurement untuk Efisiensi, tetapi Jangan Lupakan Human Interaction
3. Digitalisasi Harus Disertai dengan Pengembangan Pemasok
4. Prioritaskan Keunggulan Operasional, tetapi Jangan Lupakan Faktor Non-Teknologi
Kesimpulan
Digital procurement memberikan manfaat besar dalam meningkatkan keunggulan operasional perusahaan, tetapi tidak secara langsung meningkatkan kepuasan pemasok. Faktor hubungan bisnis dan peluang pertumbuhan pemasok lebih berperan dalam meningkatkan supplier satisfaction, yang pada akhirnya menentukan apakah perusahaan dapat memperoleh status Preferred Customer.
Untuk mencapai manfaat maksimal dari digital procurement, perusahaan harus menggabungkan teknologi dengan strategi manajemen hubungan pemasok yang efektif. Dengan cara ini, mereka tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional tetapi juga membangun rantai pasokan yang lebih stabil, kolaboratif, dan kompetitif di masa depan.
Sumber : Tommaso Liberale (2023). Digital Procurement in Buyer-Supplier Relationships: The Impact on Operative Excellence and Supplier Satisfaction. University of Twente.