Dunia Kerja & HR

Tujuh Strategi untuk Pengambilan Keputusan Kelompok yang Lebih Baik dalam Proses Rekrutmen

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Pengambilan keputusan dalam rekrutmen sering melibatkan lebih dari satu orang: perekrut, hiring manager, atasan langsung, hingga rekan kerja yang akan bekerja dengan kandidat. Teorinya, semakin banyak perspektif seharusnya menghasilkan keputusan yang lebih baik. Namun kenyataannya tidak selalu demikian.

Grup sering terjebak dalam dinamika yang membuat keputusan justru semakin bias: hirarki terlalu dominan, anggota enggan berdebat, dan keinginan menjaga harmoni membuat kelompok jatuh ke jebakan groupthink.

Bab ini menjelaskan bagaimana kelompok dapat mengambil keputusan rekrutmen yang lebih akurat, lebih objektif, dan lebih adil melalui tujuh strategi sederhana yang berasal dari riset perilaku dan ilmu keputusan.

1. Jaga Ukuran Kelompok Tetap Kecil untuk Keputusan Penting

Banyak organisasi melibatkan terlalu banyak orang dalam proses seleksi. Namun penelitian menunjukkan bahwa kelompok dengan tujuh orang atau lebih lebih rentan pada confirmation bias.

Semakin besar kelompok, semakin besar kecenderungan anggotanya hanya mencari informasi yang memperkuat keyakinan awal mereka.

Ukuran ideal adalah 3 hingga 5 orang. Kelompok kecil tetap memberikan beragam perspektif, tetapi mengurangi risiko bias kelompok yang berlebihan dan dinamika sosial yang sulit dikendalikan.

2. Pilih Kelompok yang Beragam—Tetapi Sesuaikan dengan Konteks

Keragaman pendapat membantu mematahkan bias dan memperkaya perspektif. Tim heterogen dapat:

  • mendorong munculnya sudut pandang alternatif,

  • menantang asumsi lama,

  • dan membantu melihat risiko secara lebih lengkap.

Namun konteks tetap penting.

Untuk tugas kompleks seperti desain proses atau riset masalah, tim beragam jauh lebih efektif.
Untuk tugas yang sangat terstruktur dan membutuhkan ketepatan prosedur, tim homogen bisa lebih efisien.

Pemimpin harus memahami jenis keputusan yang ingin dibuat sebelum menentukan komposisi kelompok.

3. Tunjuk “Strategic Dissenter” untuk Menghindari Groupthink

Salah satu cara paling efektif menghindari keputusan buruk adalah menghadirkan satu orang yang diberi mandat resmi untuk menantang keputusan kelompok.

Strategic dissenter atau “devil’s advocate” berperan untuk:

  • mengkritisi asumsi,

  • menantang kesimpulan,

  • dan memastikan keputusan tidak diambil hanya untuk menjaga kenyamanan sosial.

Pada kelompok besar (≥7 orang), dua dissenter disarankan agar mereka tidak terisolasi atau dianggap pengganggu.

4. Kumpulkan Pendapat Secara Independen dan Anonim

Diskusi kelompok sering kali didominasi oleh yang paling vokal atau paling senior. Untuk mendapatkan masukan yang benar-benar objektif, pendapat harus dikumpulkan sebelum diskusi terbuka.

Metodenya bisa berupa:

  • dokumentasi opini secara anonim,

  • penilaian ide tanpa mengetahui siapa pengusulnya,

  • proses iteratif di mana anggota mengajukan dan menilai ide secara terpisah.

Pendekatan ini mencegah opini senior atau pakar menguasai ruangan, serta memastikan kontribusi setiap anggota benar-benar dihargai.

5. Ciptakan Ruang Aman untuk Mengemukakan Perbedaan Pendapat

Agar diskusi produktif, anggota tim harus merasa aman menyampaikan pandangan berbeda tanpa takut disalahkan.

Cara menciptakan ruang aman antara lain:

  • fokuskan kritik pada ide, bukan orang;

  • sampaikan gagasan sebagai saran, bukan perintah;

  • gunakan bahasa yang menekankan empati dan tujuan bersama.

Ketika orang merasa didengar, mereka lebih berani mengemukakan data, pengalaman, dan analisis yang dapat memperbaiki kualitas keputusan.

6. Jangan Terlalu Bergantung pada “Ahli”

Mengundang pakar bisa memberikan informasi berharga, tetapi riset menunjukkan bahwa kehadiran ahli sering membuat kelompok terlalu mengikuti pendapatnya. Ini bisa menghasilkan:

  • keputusan yang lebih bias,

  • analisis yang kurang mendalam,

  • dan asumsi yang tidak diuji kembali.

Karena itu, posisi ahli sebaiknya sebagai pemberi input, bukan pengambil keputusan. Berikan peran mereka secara jelas: konsultan luar yang tidak memengaruhi dinamika internal kelompok.

7. Bagikan Tanggung Jawab Secara Kolektif

Sering kali, satu orang—biasanya manajer—memegang terlalu banyak peran: menyusun kelompok, mengatur rapat, dan menyampaikan keputusan.

Struktur seperti ini menaikkan risiko bias individual memengaruhi hasil akhir.

Lebih baik membagi peran:

  • siapa yang mengumpulkan data,

  • siapa yang memoderasi diskusi,

  • siapa yang mengevaluasi,

  • siapa yang menyampaikan hasil.

Seluruh anggota juga sebaiknya menandatangani komitmen tanggung jawab kolektif untuk mengurangi konflik kepentingan dan memperkuat kualitas keputusan.

Penutup: Proses yang Baik Meningkatkan Peluang Memilih Talenta Terbaik

Tidak ada strategi yang menjamin keputusan perekrutan yang sempurna. Namun dengan proses yang lebih objektif—kelompok kecil, keragaman tertentu, dissent terstruktur, opini independen, ruang aman, peran ahli yang terukur, serta tanggung jawab bersama—risiko kesalahan dapat berkurang signifikan.

Pada akhirnya, rekrutmen yang baik bukan hanya tentang siapa yang dipilih, tetapi bagaimana keputusan itu dibuat. Proses yang tepat menciptakan hasil yang lebih adil, lebih berkualitas, dan lebih selaras dengan kebutuhan organisasi.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 20.

Selengkapnya
Tujuh Strategi untuk Pengambilan Keputusan Kelompok yang Lebih Baik dalam Proses Rekrutmen

Dunia Kerja & HR

Kapan Perusahaan Harus Mengambil Risiko pada Kandidat yang Tidak Sempurna? Panduan Menilai Kekurangan, Potensi, dan Kapasitas Belajar

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Dalam dunia rekrutmen, “kandidat sempurna” hampir selalu merupakan ilusi. Setiap lowongan pada akhirnya menarik pelamar dengan kombinasi kelebihan dan kekurangan. Pertanyaannya bukan lagi apakah kandidat ini ideal, tetapi apakah kekurangannya dapat diatasi dan apakah potensi mereka cukup kuat untuk berkembang?

Bab ini mengajak organisasi untuk melihat rekrutmen dengan lebih realistis dan ilmiah. Alih-alih berfokus pada kesenjangan kandidat dari “superhero” imajiner, pewawancara perlu menilai apa yang benar-benar penting untuk sukses dalam pekerjaan—dan kapan layak mengambil peluang pada seseorang yang tampak tidak sempurna namun memiliki fondasi kuat untuk berkembang.

Ketika Kandidat Tidak Sempurna: Mengubah Cara Pandang terhadap Kekurangan

Banyak hiring manager secara otomatis menolak kandidat yang tidak memenuhi seluruh persyaratan. Namun banyak dari “syarat wajib” tersebut lahir dari asumsi internal, bukan kebutuhan bisnis yang nyata.

Sebaliknya, setiap kandidat sebenarnya “kurang” dalam beberapa aspek. Yang perlu dipahami adalah:

  • kekurangan mana yang fatal,

  • kekurangan mana yang bisa dipelajari,

  • dan kekurangan mana yang sebenarnya tidak relevan.

Terjebak mengejar kandidat tanpa kelemahan justru membuat organisasi menutup diri dari talenta yang memiliki kapasitas belajar tinggi, pengalaman unik, atau perspektif segar yang dapat memperkuat tim.

1. Gunakan Data untuk Menentukan Kualitas yang Benar-Benar Dibutuhkan

Profil kandidat ideal sering kali berubah menjadi daftar superman—multi-talenta, berpengalaman panjang, dan ahli dalam semua hal. Namun pendekatan ini tidak realistis.

Lebih baik, perusahaan menggunakan pendekatan berbasis data:

  • pelajari 10 orang yang saat ini menjalankan peran tersebut,

  • identifikasi 3 performa terbaik,

  • tentukan karakteristik yang mereka miliki bersama.

Dari sinilah muncul kebutuhan inti pekerjaan, bukan dari asumsi.
Jika kandidat tidak memiliki salah satu faktor inti tersebut, barulah kekurangannya layak dianggap fatal. Jika tidak, mungkin kekurangan itu sama sekali tidak relevan dengan performa.

2. Kapasitas Belajar: Indikator Terkuat Masa Depan Kandidat

Pengetahuan dan keterampilan bisa diajarkan, tetapi kapasitas belajar tidak.

Kandidat dengan kapasitas belajar tinggi biasanya:

  • memiliki rasa ingin tahu,

  • menggunakan jejaring atau mentor untuk belajar,

  • memberi contoh bagaimana mereka mempelajari sesuatu dari nol,

  • menunjukkan sejarah belajar cepat di pekerjaan sebelumnya.

Untuk menilai kapasitas belajar, pewawancara perlu bertanya tentang:

  • proses belajar kandidat,

  • cara mereka mencari bantuan,

  • dan contoh konkret ketika mereka harus menguasai keterampilan baru dengan cepat.

Jika ketidakmampuan atau ketidakmauan belajar muncul, itu menjadi sinyal bahaya yang tidak dapat diperbaiki dengan pelatihan.

3. Menilai Potensi: Fokus pada Prediktor Pertumbuhan, Bukan Jalur Karier yang Lurus

Kandidat dengan karier tidak konvensional sering kali lebih inovatif dan adaptif. Namun banyak organisasi menolak mereka hanya karena tidak sesuai jalur tradisional.

Bab ini menekankan pentingnya menilai potensi berdasarkan prediktor berikut:

  • rasa ingin tahu,

  • keterlibatan,

  • ketekunan,

  • motivasi,

  • dan kepercayaan diri tanpa arogan.

Wawancara terstruktur sangat membantu dalam menilai potensi ini, karena pertanyaan dan indikatornya konsisten untuk semua kandidat. Namun perusahaan juga harus waspada: seseorang yang karismatik bukan berarti selalu kompeten—bahkan pribadi manipulatif bisa tampak meyakinkan di wawancara.

4. Validasi dengan Perspektif Lain: Wawancara Peer dan Review Rekaman

Di era mudahnya akses jawaban wawancara melalui internet, kandidat dapat mempersiapkan respons “sempurna.” Inilah sebabnya wawancara tunggal tidak cukup.

Beberapa strategi tambahan:

  • meninjau kembali rekaman wawancara,

  • mengundang manajer lain memberi perspektif,

  • dan melibatkan rekan kerja (peer) untuk menilai kecocokan operasional.

Peer interview sering kali paling akurat karena mereka menjalankan pekerjaan itu setiap hari dan lebih tahu kekurangan mana yang dapat ditoleransi dan mana yang akan mengganggu kinerja.

5. Gunakan Asesmen Tambahan: Berikan Tantangan Nyata atau “Whiteboard Test”

Wawancara saja tidak cukup, terutama untuk kandidat yang dinilai “kurang sempurna.”

Organisasi disarankan melakukan tes berbasis pekerjaan:

  • studi kasus nyata,

  • simulasi tugas hari pertama,

  • whiteboard session untuk problem-solving,

  • atau penilaian proses kerja.

Dalam tes tersebut, manajer tahu bagian mana dari solusi yang wajib ada. Jika kandidat tidak memenuhi elemen yang benar-benar kritis—misalnya sales tidak menanyakan kebutuhan pelanggan—itu pertanda ketidaksesuaian yang fatal.

6. Menilai Emotional Intelligence: Faktor Penentu Keberhasilan di Tempat Kerja

Orang sering dipecat bukan karena kemampuan teknis, tetapi karena perilaku interpersonal. Karena itu, menilai kecerdasan emosional adalah langkah penting.

Perusahaan perlu melihat apakah kandidat:

  • memiliki self-awareness,

  • mampu membina hubungan kerja,

  • dapat menerima umpan balik,

  • dan mampu meminta bantuan ketika butuh dukungan.

Cek referensi membantu memvalidasi hal-hal ini. Mantan atasan dan kolega dapat memberi gambaran apakah kandidat memiliki fleksibilitas sosial dan kemampuan membangun hubungan positif.

7. Jangan Pernah Berkompromi pada Karakter

Beberapa kelemahan dapat diperbaiki: keterampilan, pengalaman, atau bahkan kesenjangan pendidikan. Namun karakter bukan sesuatu yang mudah berubah.

Perilaku berikut harus dianggap sebagai red flag keras:

  • manipulatif,

  • tidak jujur,

  • kebiasaan kerja buruk,

  • atau perilaku melecehkan.

Tidak peduli seberapa cerdas kandidat tersebut, karakter buruk hampir selalu kembali menjadi masalah di kemudian hari.

8. Jangan Terburu-Buru: Menunda Lebih Baik daripada Salah Rekrut

Tekanan dari atasan atau kebutuhan mendesak tim tidak boleh membuat keputusan rekrutmen menjadi ceroboh. Risiko merekrut kandidat yang tidak tepat sangat tinggi—terutama untuk posisi kritis.

Lebih baik menunda pekerjaan sedikit daripada merekrut seseorang yang nanti akan menimbulkan biaya tinggi, kerusakan moral tim, atau kerugian bisnis.

Studi Kasus: Ketika Kandidat Tidak Konvensional Menjadi Bintang

Bab ini ditutup dengan studi kasus menarik tentang seorang kandidat bernama Sandy Ryan.
Di atas kertas, ia kalah dibanding kandidat lain yang lebih senior dan memiliki pengalaman lebih relevan. Namun ia memiliki dua hal penting:

  • kemampuan memimpin secara otentik,

  • dan kapasitas belajar yang luar biasa.

Ia jujur tentang kelemahannya, menjelaskan bagaimana ia akan belajar, dan menunjukkan komitmen mendalam terhadap pasien. Selain itu, kesan positif dari staf internal—yang melihat bagaimana ia berinteraksi dengan mereka—menjadi bukti tambahan karakter dan interpersonal skill yang kuat.

Ia akhirnya diterima dan berkembang menjadi pemimpin yang sangat sukses.

Penutup: Mengambil Risiko yang Tepat pada Kandidat yang Tepat

Organisasi tidak perlu takut pada kandidat yang tidak sempurna, selama kekurangan mereka bukan pada karakter atau aspek fundamental yang tidak dapat diperbaiki.

Dengan menggabungkan analisis data, wawancara terstruktur, validasi peer, asesmen nyata, dan penilaian karakter, perusahaan dapat mengambil risiko yang tepat pada kandidat yang memiliki masa depan cerah.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 19.

Selengkapnya
Kapan Perusahaan Harus Mengambil Risiko pada Kandidat yang Tidak Sempurna? Panduan Menilai Kekurangan, Potensi, dan Kapasitas Belajar

Dunia Kerja & HR

Menilai Jawaban Kandidat Secara Akurat: Panduan Membaca Respons atas Pertanyaan Wawancara yang Paling Umum

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Dalam proses rekrutmen, kualitas pertanyaan sangat menentukan hasil wawancara—but demikian juga kualitas evaluasi atas jawaban kandidat. Banyak manajer sudah menyiapkan daftar pertanyaan dengan baik, namun tidak memiliki kerangka penilaian yang jelas untuk membedakan jawaban yang kuat dari jawaban yang lemah. Akibatnya, penilaian sering dipengaruhi faktor subjektif, kesan sesaat, atau preferensi pribadi.

Bab ini menawarkan pendekatan yang lebih terstruktur: memahami karakteristik jawaban yang baik, mengenali tanda-tanda jawaban yang buruk, dan menerapkan pola evaluasi yang konsisten pada empat jenis pertanyaan umum. Dengan kerangka ini, pewawancara dapat mengurangi bias dan meningkatkan akurasi prediksi performa kandidat.

 

Ciri Utama Jawaban yang Baik dan Buruk

Sebelum masuk ke jenis pertanyaan, penting memahami apa yang membuat sebuah jawaban berkualitas.

Jawaban yang baik biasanya:

  • spesifik, jelas, dan menunjukkan self-awareness;

  • relevan dengan kompetensi inti dalam job description;

  • relatif baru sehingga mencerminkan kemampuan kandidat saat ini;

  • menggambarkan peran dan kontribusi kandidat dengan jujur.

Jawaban yang buruk biasanya:

  • terlalu personal atau tidak profesional;

  • kabur, defensif, atau hanya berisi opini;

  • tidak relevan dengan peran yang dilamar;

  • terlalu negatif atau memberi kesan buruk pada karakter kandidat.

Dengan kerangka ini, pewawancara dapat lebih objektif dalam mengevaluasi respons apa pun yang muncul.

1. “Mengapa Anda Tertarik pada Peran Ini?” – Mengukur Motivasi dan Nilai Tambah

Pertanyaan motivasi sering disalahpahami kandidat sebagai kesempatan menjelaskan apa yang mereka inginkan. Padahal dari sudut pandang pewawancara, pertanyaan ini menilai dua hal:

  1. apakah kandidat memahami peran yang mereka lamar, dan

  2. apakah mereka dapat menunjukkan nilai tambah yang konkret.

Jawaban lemah biasanya:

  • terlalu fokus pada ketidakpuasan pekerjaan saat ini;

  • tidak jelas mengenai alasan peran ini cocok;

  • tidak menunjukkan kontribusi apa pun yang bisa diberikan.

Jawaban kuat menekankan:

  • aspek spesifik dari pekerjaan yang mereka anggap bermakna;

  • bagaimana pengalaman mereka akan memperkuat tim;

  • keselarasan peran dengan tujuan karier mereka.

Kandidat yang mampu memetakan hubungan antara pengalaman, motivasi, dan kontribusi biasanya menunjukkan kesiapan dan kejelasan arah.

2. “Ceritakan Saat Anda Bekerja Baik dalam Tim” – Menilai Kolaborasi, Inisiatif, dan Empati

Pertanyaan tentang kerja tim tidak hanya menilai kemampuan bekerja sama, tetapi juga bagaimana kandidat berinisiatif, menyelesaikan konflik kecil, dan mengelola dinamika kelompok.

Jawaban buruk biasanya:

  • hanya menjelaskan pembagian tugas tanpa interaksi nyata;

  • tidak menunjukkan tantangan apa pun;

  • tidak menggambarkan kepemimpinan atau komunikasi.

Sebaliknya, jawaban kuat akan mencakup:

  • peran spesifik yang diambil kandidat;

  • langkah kolaboratif seperti check-in atau problem-solving;

  • bagaimana mereka menangani hambatan interpersonal;

  • dan dampak akhir dari kolaborasi tersebut.

Respons seperti ini membantu pewawancara menilai perilaku aktual kandidat dalam situasi kerja nyata.

hbr-guide-to-better-recruiting-…

3. “Pernahkah Anda Mengalami Kesulitan dengan Atasan atau Kolega?” – Mengukur Kedewasaan Emosional

Pertanyaan ini sering menjadi jebakan karena mendorong kandidat untuk “mengeluh”. Namun yang dicari pewawancara sebenarnya adalah: kemampuan menjaga profesionalitas dalam konflik.

Jawaban lemah ditandai oleh:

  • menyalahkan orang lain;

  • suara atau narasi negatif;

  • kurangnya tanggung jawab;

  • solusi yang tidak jelas.

Jawaban kuat menekankan bahwa kandidat:

  • menjelaskan situasi secara netral tanpa menyerang;

  • mengakui perannya dalam miskomunikasi;

  • mengambil langkah memperbaiki hubungan;

  • dan menunjukkan hasil positif.

Kandidat yang mampu menangani konflik dengan cara dewasa sering kali lebih efektif bekerja lintas tim.

4. “Ceritakan Saat Anda Gagal” – Menguji Integritas dan Kemampuan Bangkit

Pertanyaan tentang kegagalan mengungkap dua hal penting: integritas dan kapasitas belajar.

Jawaban buruk biasanya hanya menyebutkan insiden dan dampaknya tanpa refleksi atau perbaikan. Bahkan lebih parah, jika kegagalan terlalu besar atau menunjukkan kurangnya kompetensi inti.

Jawaban kuat mencakup:

  • pengakuan atas kesalahan tanpa defensif;

  • pemahaman tentang dampaknya;

  • tindakan konkret untuk memperbaiki proses atau kebiasaan;

  • serta pembelajaran jangka panjang.

Kandidat yang memahami nilai kegagalan dan mampu memperbaiki diri biasanya adalah karyawan yang dapat tumbuh pesat.

Inti Evaluasi: Dengarkan Pola, Bukan Hanya Cerita

Bagian terpenting dari bab ini adalah mengubah cara pewawancara mendengar jawaban kandidat. Alih-alih hanya menilai cerita, pewawancara perlu menemukan pola yang konsisten, seperti:

  • apakah kandidat menyalahkan orang lain atau bertanggung jawab?

  • apakah mereka kolaboratif atau individualistis?

  • apakah mereka belajar dari kesalahan atau mengulanginya?

  • apakah mereka menunjukkan sikap dewasa dalam konflik?

  • apakah kontribusinya berulang kali nyata dan signifikan?

Pola yang muncul dari berbagai jawaban jauh lebih akurat daripada satu jawaban saja.

Penutup: Memperkuat Kualitas Wawancara dengan Kerangka Evaluasi yang Jelas

Menilai jawaban kandidat membutuhkan kejelasan kriteria, bukan sekadar intuisi. Dengan memahami karakteristik jawaban yang baik dan buruk, serta menerapkan prinsip evaluasi pada empat jenis pertanyaan umum, pewawancara dapat:

  • mengurangi bias,

  • meningkatkan prediksi performa,

  • dan memilih kandidat yang benar-benar memiliki kapasitas untuk berkembang.

Ketika wawancara dievaluasi dengan cara yang lebih ilmiah dan terstruktur, kualitas rekrutmen meningkat—dan organisasi memiliki peluang lebih besar membangun tim yang kuat dan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 18.

Selengkapnya
Menilai Jawaban Kandidat Secara Akurat: Panduan Membaca Respons atas Pertanyaan Wawancara yang Paling Umum

Dunia Kerja & HR

Lima Kualitas Utama yang Harus Dicari Saat Merekrut: Cara Menilai Kandidat yang Mampu Bertahan, Berkontribusi, dan Berkembang

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Merekrut anggota tim baru bukan hanya soal mengisi posisi kosong—ini adalah proses strategis yang memengaruhi masa depan organisasi. Pemimpin yang hebat memahami bahwa kualitas tim berbanding lurus dengan kualitas orang-orang yang mereka rekrut. Namun dalam wawancara yang waktunya terbatas, bagaimana cara menemukan kandidat yang tidak hanya memiliki keterampilan, tetapi juga karakter dan kapasitas untuk berkembang?

Bab ini memberikan pendekatan sistematis: alih-alih mengejar kandidat yang “sempurna”, manajer perlu memfokuskan perhatian pada lima kualitas inti yang dapat memberi dampak besar pada tim. Pendekatan ini tidak hanya membantu memilih orang yang tepat, tetapi juga memperkuat budaya kerja yang sehat dan berorientasi pertumbuhan.

 

1. Entrepreneurial Mindset: Kemauan Mencari Jalan, Bukan Mencari Alasan

Entrepreneurial mindset bukan milik para pendiri startup saja. Dalam konteks organisasi, kualitas ini berarti kemampuan untuk:

  • melihat masalah sebagai peluang,

  • merancang solusi ketika struktur belum jelas,

  • mengambil inisiatif tanpa menunggu instruksi,

  • dan menunjukkan komitmen kuat terhadap hasil organisasi.

Kandidat seperti ini tidak mudah patah ketika menghadapi “no”, kegagalan, atau hambatan. Mereka responsif terhadap kompleksitas dan cepat beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.

Dalam wawancara, kualitas ini muncul melalui kisah tentang:

  • memulai proyek yang diragukan orang lain,

  • memperbaiki proses tanpa diminta,

  • atau menunjukkan kebanggaan dalam mengatasi hambatan.

Kandidat yang memiliki pola pikir ini memberi energi positif bagi tim dan memperkuat budaya “bisa dikerjakan”.

2. Curiosity: Bahan Bakar Pembelajaran dan Inovasi

Rasa ingin tahu bukan sekadar sifat pribadi—ia adalah penanda budaya belajar. Kandidat yang ingin memahami “mengapa” di balik tindakan organisasi cenderung lebih adaptif, lebih cepat belajar, dan lebih inovatif.

Dalam wawancara, rasa ingin tahu ditandai oleh:

  • keinginan belajar sesuatu tanpa diminta,

  • minat eksplorasi terhadap industri, pelanggan, atau teknologi,

  • serta pertanyaan kritis yang mereka ajukan kepada pewawancara.

Walaupun terkadang jumlah pertanyaan yang banyak membuat manajer kewalahan, ingat bahwa kandidat juga sedang menilai apakah organisasi mendukung pembelajaran. Kandidat yang ingin tahu biasanya berkembang menjadi kontributor strategis dalam jangka panjang.

3. Leading from Where They Are: Kemampuan Memengaruhi Tanpa Jabatan

Kepemimpinan bukan tentang posisi, melainkan tentang kontribusi. Karyawan yang “leading from where they are” mampu:

  • menciptakan peluang,

  • mengambil inisiatif untuk kepentingan tim,

  • memengaruhi rekan kerja melalui kolaborasi,

  • dan mendorong perubahan meskipun tidak memiliki otoritas formal.

Dalam wawancara, mereka sering menyebut:

  • memimpin proyek lintas departemen,

  • menginisiasi proses baru,

  • memengaruhi kolega untuk mencoba pendekatan baru,

  • atau pengalaman menggerakkan hasil melalui kolaborasi.

Kualitas ini sangat penting untuk organisasi modern yang dinamis dan menuntut kepemimpinan lateral.

4. Self-Awareness: Fondasi Kolaborasi yang Dewasa

Banyak orang percaya mereka memiliki self-awareness, tetapi tidak semuanya benar-benar memahaminya. Self-awareness mencakup kemampuan untuk:

  • mengetahui kekuatan utama,

  • mengakui area yang perlu dikembangkan,

  • memahami bagaimana perilaku pribadi memengaruhi orang lain.

Dalam wawancara, tanda self-awareness muncul melalui:

  • jawaban jujur tentang kekuatan dan kelemahan,

  • pemahaman atas persepsi rekan kerja,

  • serta refleksi tentang bagaimana mereka memperbaiki diri.

Tanpa self-awareness, kolaborasi sering terhambat oleh ego, miskomunikasi, atau resistensi terhadap umpan balik. Kandidat dengan self-awareness tinggi lebih mudah berkembang dan membangun hubungan yang sehat dalam tim.

hbr-guide-to-better-recruiting-…

5. Growth Potential: Kemampuan untuk Terus Berkembang dan Menambah Nilai

Rekrutmen modern tidak lagi hanya mengutamakan siapa yang paling “jadi” hari ini. Yang jauh lebih penting adalah siapa yang dapat tumbuh paling cepat dan paling kuat dalam enam bulan ke depan.

Growth potential mencakup:

  • motivasi belajar tinggi,

  • kemampuan memperluas keterampilan,

  • rekam jejak kontribusi yang meningkat,

  • keinginan membangun masa depan di organisasi baru.

Kandidat dengan potensi tumbuh biasanya dapat menunjukkan:

  • bagaimana mereka meningkat dalam peran sebelumnya,

  • upaya mandiri untuk belajar,

  • visi tentang apa yang ingin mereka pelajari di pekerjaan berikutnya.

Merekrut untuk potensi memberikan organisasi fleksibilitas, keberagaman kemampuan, dan talenta yang lebih loyal karena merasa didukung.

Mengapa Fokus pada Lima Kualitas Ini Sangat Penting

Pemimpin baru kadang merasa perlu mencari kandidat yang “sempurna”—tetapi kesempurnaan tidak ada. Sebaliknya, manajer harus mencari kandidat yang:

  • mampu memecahkan masalah,

  • mau terus belajar,

  • dapat memengaruhi tanpa otoritas,

  • memahami diri sendiri,

  • dan memiliki ruang pertumbuhan besar.

Kandidat dengan kualitas ini tidak hanya memperkuat kinerja tim hari ini, tetapi juga membangun masa depan organisasi.  Mereka adalah orang-orang yang bisa diandalkan ketika organisasi berubah, ketika tantangan baru muncul, dan ketika inovasi menjadi kebutuhan.

Bagian Tambahan: Mengapa “Bagaimana Anda Belajar?” Adalah Pertanyaan Penting

Bab ini juga menambahkan perspektif kedua: kemampuan belajar tidak lagi menjadi nice-to-have, tetapi menjadi kompetensi inti. Pertanyaan sederhana seperti “Bagaimana Anda belajar?” dapat mengungkap:

  • kapasitas adaptasi,

  • sistem belajar yang mereka gunakan,

  • kemampuan mengelola informasi,

  • kesiapan menghadapi masa depan.

Era skill-based economy menuntut pekerja yang bukan hanya tahu lebih banyak, tetapi bisa belajar lebih cepat. Kandidat yang memiliki sistem belajar terstruktur hampir selalu menjadi high performers dalam jangka panjang.

hbr-guide-to-better-recruiting-…

Penutup: Merekrut untuk Potensi, Karakter, dan Kapasitas Tumbuh

Bab ini menyimpulkan bahwa rekrutmen yang baik tidak mengejar kandidat yang paling impresif di atas kertas, melainkan mencari mereka yang:

  • punya pola pikir membangun,

  • ingin tahu,

  • mampu memimpin dari posisinya,

  • memahami diri sendiri,

  • dan berpotensi tumbuh.

Itulah fondasi tim yang kuat, adaptif, dan relevan untuk masa depan. Dengan memperhatikan lima kualitas ini, manajer dapat membuat keputusan yang lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih efektif dalam jangka panjang.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 17.

Selengkapnya
Lima Kualitas Utama yang Harus Dicari Saat Merekrut: Cara Menilai Kandidat yang Mampu Bertahan, Berkontribusi, dan Berkembang

Dunia Kerja & HR

Mengapa Banyak Kandidat Baik Justru Gugur: Menata Ulang Pertanyaan Wawancara untuk Menemukan Talenta yang Mampu Berkembang

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Dalam banyak proses rekrutmen, kandidat sering dinilai tidak cocok bukan karena mereka kurang kompeten, tetapi karena proses wawancara itu sendiri salah arah. Bab ini dibuka dengan kisah klasik: seorang kandidat bernama Anand merasa wawancaranya berjalan sangat baik, sementara VP engineering justru menilainya sebagai “bad fit.” Alasannya? Anand mengajukan terlalu banyak pertanyaan—dan banyak dari pertanyaan itu tidak dapat dijawab oleh tim.

Perbedaan persepsi ini menggambarkan masalah besar dalam banyak organisasi: pemimpin sering menyaring kandidat bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena ketidaknyamanan mereka sendiri. Alih-alih menghargai pola pikir kritis, rasa ingin tahu, dan kemampuan eksplorasi kandidat—kompetensi yang justru penting untuk inovasi—mereka menolak kandidat hanya karena pola pikir tersebut menantang status quo. Kenyataannya, dunia kerja modern menuntut tim yang mampu beroperasi dalam ketidakpastian, mengajukan pertanyaan yang tepat, dan membangun jawaban bersama. Anand bukan “bad fit,” ia hanya salah dinilai.

 

Mengubah Fokus Pertanyaan: Dari Pengalaman Masa Lalu Menuju Kemampuan Sesungguhnya

Salah satu penyebab utama tersaringnya kandidat berkualitas adalah pertanyaan wawancara yang salah. Banyak organisasi masih menilai kandidat berdasarkan years of experience, riwayat kronologis, atau daftar tugas historis. Padahal, pengalaman masa lalu tidak selalu mencerminkan kemampuan masa depan.

Contoh ekstrem dijelaskan dalam kisah lowongan “10 tahun pengalaman Twitter”—yang pada saat itu bahkan belum berumur setahun. Persyaratan semacam ini mencerminkan pola pikir yang lebih mementingkan apa yang sudah pernah dilakukan, bukan bagaimana seseorang akan berpikir menghadapi hal baru.

Pertanyaan yang berfokus pada pengalaman cenderung menghasilkan data yang dangkal. Pertanyaan yang berfokus pada capabilities menghasilkan wawasan yang jauh lebih dalam.

Daripada bertanya:
“Pernahkah Anda melakukan X?”
lebih baik bertanya:
“Bagaimana Anda akan mendekati X jika Anda harus melakukannya besok?”

Pertanyaan ini menggali cara berpikir, fleksibilitas, kemampuan belajar, dan kreativitas—atribut yang lebih relevan untuk pekerjaan yang terus berubah.

 

Menilai Kemampuan Kolaborasi dan Co-Creation dalam Tim

Organisasi sering mencari “team player,” tetapi ironisnya, pertanyaan untuk menilai kemampuan berkolaborasi sering tidak pernah ditanyakan. Tim modern tidak lagi bekerja dalam struktur kaku; peran berubah cepat, tanggung jawab berpindah, dan anggota tim harus saling menggantikan ketika dibutuhkan.

Untuk itu, pewawancara perlu bertanya:
“Bagaimana Anda menangani situasi ketika ada celah di tim yang tidak ada orang mengisinya?”

Ini bukan sekadar melihat apakah kandidat mau membantu, tetapi bagaimana mereka memahami dinamika tim. Apakah mereka bangga mendeteksi celah? Apakah mereka gelisah karena struktur tidak rapi? Apakah mereka mampu berperan fleksibel?

Jawaban mereka memberi sinyal penting: apakah kandidat cenderung bekerja secara kolaboratif atau justru lebih suka bekerja dalam silo.

 

Menggali Apa yang Benar-Benar Diminati Kandidat

Inovasi tidak muncul dari kerja mekanis; ia lahir dari individu yang bekerja pada hal yang mereka anggap bermakna. Karena itu, pewawancara perlu menggali motivasi terdalam kandidat:

  • aspek apa dari proyek tertentu yang mereka nikmati,

  • bagian mana dari pekerjaan yang membuat mereka merasa hidup,

  • nilai apa yang mereka kejar melalui pekerjaan,

  • dan mengapa pengalaman itu penting bagi mereka.

Pertanyaan seperti:
“Apa yang Anda anggap paling bermakna dari proyek tersebut?”
“Apa yang hal itu katakan tentang diri Anda?”

membantu pewawancara menilai bukan hanya kompetensi, tetapi juga keselarasan nilai dan energi kandidat dengan tim. Kandidat yang termotivasi secara intrinsik lebih mudah berkembang, lebih tahan terhadap tekanan, dan lebih mudah terhubung dengan misi organisasi.

 

Membentuk Tim yang Mampu Berinovasi Bersama

Kegagalan dalam strategi sering bukan karena talenta buruk, tetapi karena tim tidak mampu co-create. Dalam kondisi dunia yang berubah cepat, peran tidak lagi statis. Tim yang hebat adalah tim yang mampu:

  • bersama-sama memetakan wilayah baru,

  • mengajukan pertanyaan ketika arah tidak jelas,

  • berpindah peran ketika terjadi kekosongan,

  • serta menyatukan keahlian berbeda menuju tujuan bersama.

Karena itu, pemimpin tidak boleh hanya mencari orang yang “cocok dengan pola lama.” Mereka harus mencari orang yang mampu membentuk pola baru bersama tim.

Bab ini menegaskan bahwa tugas pemimpin bukan menjadi “orang yang paling tahu,” tetapi menciptakan kondisi di mana semua orang dapat belajar, bereksperimen, dan berinovasi.

 

Pentingnya Menghapus Bias “Bad Fit” yang Tidak Relevan

Sering kali, label “bad fit” hanyalah kode halus untuk mengatakan “kandidat ini membuat saya tidak nyaman.”

Namun ketidaknyamanan bukan indikator kualitas. Justru kandidat yang membuat kita berpikir ulang bisa menjadi aset besar dalam tim inovasi. Mereka mendorong organisasi keluar dari zona nyaman, mengungkap area yang selama ini tersembunyi, dan membantu tim melihat masalah dari perspektif baru.

Kisah Anand menggambarkan hal ini secara sempurna: ia bukan kandidat yang salah, melainkan kandidat yang berani menanyakan pertanyaan yang tepat—pertanyaan yang justru dibutuhkan perusahaan untuk tumbuh.

Pada akhirnya, VP engineering memperbaiki persepsinya dan mempekerjakan Anand—keputusan yang terbukti benar karena mereka akhirnya berhasil mencapai target bersama.

 

Penutup: Merancang Pertanyaan yang Tepat untuk Menemukan Orang yang Tepat

Pertanyaan wawancara bukan hanya alat mengumpulkan informasi; ia adalah alat strategis untuk menemukan orang yang mampu tumbuh bersama organisasi.

Pertanyaan yang tepat dapat mengungkap:

  • kemampuan berpikir masa depan,

  • fleksibilitas,

  • kecenderungan bekerja sama,

  • motivasi terdalam,

  • kapasitas berinovasi,

  • serta keselarasan nilai.

Pertanyaan yang salah justru menyingkirkan kandidat baik dan memperkuat bias pewawancara.

Hanya dengan menata ulang pertanyaan wawancara—dari fokus pada masa lalu menuju kemampuan untuk co-create di masa depan—organisasi dapat membangun tim yang benar-benar siap menghadapi ketidakpastian.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 16.

Selengkapnya
Mengapa Banyak Kandidat Baik Justru Gugur: Menata Ulang Pertanyaan Wawancara untuk Menemukan Talenta yang Mampu Berkembang

Dunia Kerja & HR

Tujuh Prinsip Merancang Pertanyaan Wawancara yang Lebih Akurat dan Memprediksi Kinerja Nyata

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 November 2025


Di dunia perekrutan modern, banyak praktik wawancara telah berubah, tetapi pertanyaan wawancara masih sering tertinggal. Kandidat kini dapat menemukan hampir seluruh daftar pertanyaan umum di internet, berlatih berulang kali, bahkan merekam diri untuk menyempurnakan jawaban. Akibatnya, pewawancara makin sulit membedakan jawaban autentik dari jawaban yang dipoles.

Bab ini menegaskan perlunya melakukan perombakan terhadap cara organisasi menyusun pertanyaan wawancara. Bukan lagi mengejar kejutan, bukan pula mengandalkan pertanyaan historis atau brainteasers, melainkan beralih pada pertanyaan berbasis pekerjaan nyata yang lebih sulit dipalsukan dan lebih akurat memprediksi kinerja.

 

1. Tinggalkan Pertanyaan yang Mudah Dipraktikkan

Banyak pertanyaan lama yang sebenarnya tidak pernah efektif—dan sekarang justru kontraproduktif karena kandidat dapat menghafal jawaban yang “sempurna.” Pertanyaan seperti:

  • “Apa kekuatan dan kelemahan Anda?”

  • “Kenapa kami harus memilih Anda?”

  • “Apa pekerjaan impian Anda?”

hampir selalu menghasilkan jawaban yang seragam dan tidak mencerminkan kemampuan aktual.

Solusinya adalah mulai dari nol: hapus pertanyaan-pertanyaan klise dan ganti dengan pertanyaan yang membutuhkan pemikiran nyata serta sulit dipersiapkan tanpa pengalaman.

2. Waspadai Pertanyaan Historis yang Tidak Lagi Relevan

Behavioral interview selama bertahun-tahun dianggap “gold standard,” namun penelitian oleh Schmidt & Hunter menunjukkan bahwa prediktivitasnya hanya sedikit lebih baik daripada lempar koin.

Alasannya jelas:

  • konteks kerja berubah cepat, sehingga cara kandidat menangani situasi bertahun-tahun lalu bisa tidak relevan lagi,

  • kandidat yang pandai bercerita dapat membesar-besarkan kontribusi mereka,

  • penyampai cerita yang lemah bisa tampak tidak kompeten, padahal memiliki keterampilan yang kuat.

Pertanyaan historis masih dapat digunakan, tetapi perannya tidak boleh dominan. Ia harus dilengkapi dengan pertanyaan yang menguji kemampuan kandidat menyelesaikan masalah masa kini.

3. Gunakan Pendekatan “Job Content”: Uji Langsung Cara Mereka Menyelesaikan Masalah

Jika ingin menilai kemampuan nyata, cara terbaik adalah meminta kandidat melakukan simulasi pekerjaan sesungguhnya.

Pendekatan ini dapat berupa:

  • Mengidentifikasi masalah
    Mintalah kandidat menjelaskan langkah pertama mereka dalam minggu awal untuk mengidentifikasi isu-isu prioritas di area kerja.

  • Menyelesaikan masalah nyata
    Berikan deskripsi singkat mengenai masalah aktual yang sedang dihadapi tim dan minta mereka menguraikan pendekatan solusi. Pewawancara dapat membandingkan langkah kandidat dengan daftar langkah ideal yang telah disiapkan.

  • Menilai proses organisasi
    Sediakan proses kerja yang “cacat” lalu minta kandidat mengidentifikasi bagian yang kemungkinan menimbulkan masalah.

Jenis pertanyaan ini tidak dapat dipalsukan—kandidat harus benar-benar memahami cara kerja yang relevan.

4. Uji Kemampuan Mereka Melihat Masa Depan

Dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah, kemampuan memprediksi arah pekerjaan jauh lebih bernilai daripada pengalaman historis.

Pewawancara dapat menanyakan:

  • rencana mereka untuk 3–6 bulan pertama,

  • cara mereka mengumpulkan data, menetapkan metrik, atau berkonsultasi dengan berbagai pihak,

  • prediksi mereka tentang bagaimana peran akan berkembang dalam tiga tahun,

  • serta tren industri yang akan memengaruhi bisnis.

Kandidat yang kuat akan mampu menghubungkan perubahan eksternal dengan strategi internal.

5. Nilai Kemampuan Belajar, Adaptasi, dan Inovasi

Di banyak peran, kemampuan untuk terus belajar lebih penting daripada keahlian yang mereka punya saat masuk. Karena itu, pertanyaan dapat diarahkan pada:

  • bagaimana mereka menjaga kompetensi teknis,

  • langkah yang mereka ambil ketika terjadi perubahan mendadak,

  • cara mereka menumbuhkan inovasi dalam tim.

Pertanyaan seperti ini mengungkap pola pikir pertumbuhan, fleksibilitas, dan keberanian mengambil risiko—kemampuan yang sering menjadi pembeda utama karyawan berkinerja tinggi.

6. Sediakan Waktu untuk “Menjual” Jabatan dan Perusahaan

Banyak pewawancara menghabiskan seluruh waktu untuk menilai kandidat, tanpa menyadari bahwa kandidat juga sedang menilai mereka.

Bab ini menekankan pentingnya menyediakan waktu untuk menjawab kebutuhan kandidat dengan bertanya:

“Apa faktor utama yang Anda pertimbangkan saat menerima tawaran pekerjaan?”

Setelah itu, pewawancara dapat secara proaktif menunjukkan:

  • peluang pertumbuhan,

  • fleksibilitas kerja,

  • budaya tim,

  • atau aspek unik perusahaan.

Kandidat terbaik akan tertarik pada perusahaan yang mampu memberikan alasan jelas mengapa mereka harus bergabung.

7. Gunakan Pertanyaan yang Dirancang dan Diuji Sebelumnya

Inti dari aturan terakhir adalah struktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hiring akan jauh lebih akurat bila pewawancara:

  • memilih pertanyaan yang sudah dipilih secara cermat,

  • menetapkan standar jawaban yang dapat diterima,

  • serta menghindari keputusan instan (mengingat banyak pewawancara membuat penilaian awal dalam 15 detik pertama).

Dengan menunda penilaian hingga setidaknya setengah durasi wawancara, pewawancara mendapatkan gambaran lebih utuh dan mengurangi bias.

Penutup: Pertanyaan yang Baik Membangun Perekrutan yang Baik

Pertanyaan wawancara bukan sekadar alat untuk mengumpulkan informasi; ia adalah fondasi untuk memprediksi performa nyata. Dengan meninggalkan pertanyaan klise, menghindari kebergantungan pada masa lalu, menguji kemampuan kandidat dalam konteks nyata, serta menilai kemampuan belajar dan adaptasi, perusahaan dapat membuat rekrutmen lebih ilmiah dan adil.

Pertanyaan yang baik menciptakan wawancara yang mendalam—dan wawancara yang mendalam menghasilkan rekrutmen yang tepat.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 15.

Selengkapnya
Tujuh Prinsip Merancang Pertanyaan Wawancara yang Lebih Akurat dan Memprediksi Kinerja Nyata
« First Previous page 30 of 1.343 Next Last »