Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Angola memasuki 2025 dengan serangkaian kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis. Walaupun negara ini memiliki kerangka kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat melalui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), arah kebijakan internalnya justru bergerak menuju penguatan kontrol negara atas arus barang, devisa, dan perizinan komersial.
Bagian laporan 2025 National Trade Estimate menggambarkan Angola sebagai salah satu pasar yang paling menantang di Afrika bagi eksportir dan investor internasional. Hambatan yang dihadapi bukan hanya berupa tarif yang tinggi, tetapi juga pembatasan kuantitatif, pelarangan impor untuk berbagai produk, ketidakpastian kebijakan kepabeanan, serta tantangan besar dalam hal valuta asing dan perizinan bisnis.
Kenaikan Tarif Besar-besaran: Proteksionisme yang Didorong Kepentingan Produksi Lokal
Angola sebelumnya memiliki tarif impor rata-rata 11%, tetapi kebijakan baru melalui Presidential Decree No. 1/24 mengubah peta tarif secara signifikan untuk mendukung produksi domestik. Banyak kebutuhan pokok dikenakan tarif jauh lebih tinggi, termasuk:
susu: naik dari 10% menjadi 40%,
beras: dari bebas bea menjadi 20%,
tepung terigu: dari 20% menjadi 50%,
minyak sayur dan minyak sawit: naik dari 10% menjadi 40%,
gula tebu: naik dari 10% menjadi 30%.
Pemerintah berargumen bahwa kenaikan ini bertujuan mendorong substitusi impor dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Namun, para analis di Angola memperingatkan risiko kelangkaan karena negara tersebut hanya benar-benar swasembada pada beberapa komoditas seperti pisang dan garam.
Hambatan Non-Tarif: Pembatasan Impor yang Ketat dan Mekanisme Lisensi yang Tidak Transparan
Di luar tarif, serangkaian aturan baru mempersempit akses impor secara substansial:
1. Mekanisme tender untuk impor beras
Pada April 2024, pemerintah membuka prosedur elektronik untuk lisensi impor beras, kemudian memilih sembilan perusahaan sebagai importir resmi. Kebijakan ini bertindak sebagai pembatasan kuantitatif terselubung, meski tidak menggunakan dana publik.
2. Pembatasan impor melalui Presidential Decree No. 213/23
Peraturan ini mensyaratkan bahwa importir harus membuktikan telah mencoba bermitra dengan pemasok lokal sebelum mengimpor barang. Praktik ini menghambat pemasok asing yang ingin memasuki pasar.
3. Pelarangan produk tertentu
Per April 2024, Angola melarang impor berbagai produk, termasuk bagian tubuh hewan dengan harga murah (offal), produk unggas, dan offal sapi atau babi. Selain itu, izin impor untuk produk unggas yang tidak dilarang juga ditangguhkan tanpa pemberitahuan resmi.
Kebijakan ini berdampak besar bagi pengusaha AS karena sekitar 99% ekspor pertanian AS ke Angola termasuk dalam kategori produk yang terkena pembatasan ini.
Hambatan Kepabeanan: Proses Lambat, Tidak Konsisten, dan Kurang Transparan
Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya transparansi dalam penilaian bea cukai. Angola belum menyampaikan notifikasi resmi mengenai implementasi Customs Valuation Agreement WTO, dan ini menciptakan ketidakjelasan dalam:
proses penilaian nilai barang,
persyaratan dokumentasi impor,
standar verifikasi,
dan konsistensi penerapan aturan di lapangan.
Importir sering menghadapi penahanan barang, pemeriksaan berulang, dan permintaan dokumen tambahan yang tidak selalu sesuai pedoman internasional.
SPS dan Bioteknologi: Kontrol Ketat terhadap Produk Pangan dan Benih
Semua produk pangan hewani dan nabati yang masuk ke Angola wajib diuji di laboratorium dan disertai sertifikat kesehatan. Ketiadaan sistem manajemen risiko yang efektif menyebabkan prosedur menjadi lebih lambat dan tidak efisien bagi produk berisiko rendah.
Dalam hal bioteknologi:
benih hasil rekayasa genetika tidak boleh diimpor,
produk yang mengandung GE hanya diperbolehkan untuk bantuan pangan dan harus digiling sebelum tiba di Angola,
impor GE untuk riset diperbolehkan di bawah pengawasan ketat.
Pada 2024, Angola membentuk Genetically Modified Seed Committee untuk merancang sistem nasional biosafety—tanda bahwa negara mungkin menuju regulasi yang lebih terstruktur, namun implementasi masih belum jelas.
Pengadaan Pemerintah: Dominasi Kontrak Langsung dan Minimnya Kompetisi
Meskipun Angola telah memperbarui Undang-Undang Pengadaan Publik untuk meningkatkan transparansi, praktiknya berbeda. Proses pengadaan masih banyak menggunakan:
tender terbatas,
pra-kualifikasi,
penunjukan langsung,
dan kontrak yang berulang ke kelompok perusahaan tertentu.
Praktik ini menciptakan hambatan besar bagi perusahaan asing yang ingin bersaing dalam proyek publik. Angola juga bukan anggota GPA-WTO sehingga tidak terikat pada standar internasional tentang pengadaan pemerintah.
Korupsi: Tantangan Struktural yang Belum Terselesaikan
Walaupun ada kemajuan melalui undang-undang baru mengenai anti-korupsi dan pencucian uang, implementasinya masih jauh dari ideal. Beberapa masalah yang terus berulang:
kapasitas institusi yang lemah,
pelatihan aparat yang tidak merata,
penegakan hukum yang tidak konsisten,
lemahnya identifikasi beneficial ownership,
minimnya tuntutan kasus pencucian uang.
Evaluasi FATF regional pada 2023 juga menunjukkan berbagai kelemahan fundamental.
Korupsi yang terus berlanjut menambah ketidakpastian dan meningkatkan biaya kepatuhan bagi pelaku usaha asing.
Keterbatasan Akses Valuta Asing: Risiko Besar bagi Importir dan Investor
Ketergantungan Angola pada sektor minyak membuat ketersediaan devisa sangat fluktuatif. Pelaku usaha sering mengalami:
antrean panjang untuk memperoleh dolar,
keterlambatan pembayaran impor,
nilai tukar yang sangat volatil.
Pada 2023, mata uang Angola mengalami depresiasi hampir 40% akibat kurangnya pasokan dolar. Pemerintah kemudian memperketat kontrol devisa, termasuk:
pembatasan transfer internasional hingga USD 250.000 per individu per tahun,
pengenaan Special Contribution for Foreign Exchange Operations (CEOC) antara 2,5% hingga 10% pada transfer valuta asing tertentu.
Langkah ini meningkatkan biaya transaksi sekaligus menciptakan ketidakpastian tambahan bagi importir dan perusahaan jasa asing.
Perizinan dan Iklim Usaha: Sentralisasi Kewenangan di Tangan Presiden
Melalui Law No. 26/21, kewenangan penerbitan lisensi usaha dipindahkan dari tingkat provinsi dan kota langsung ke Presiden. Perubahan ini mengangkat kekhawatiran akan:
birokrasi yang semakin tersentralisasi,
potensi keterlambatan izin,
dan ketergantungan pelaku usaha pada otoritas eksekutif tingkat atas.
Meskipun perluasan cakupan lisensi dianggap positif, ketidakpastian dalam proses persetujuan justru dipandang sebagai hambatan baru bagi investasi.
Penutup: Peluang Pasar Ada, tetapi Aksesnya Sulit
Angola memiliki potensi ekonomi besar, terutama dari sumber daya alam, pertanian, dan kebutuhan pembangunan infrastrukturnya. Namun pola kebijakan yang sangat proteksionis, proses kepabeanan yang lambat, pembatasan impor yang luas, masalah korupsi, serta kesulitan akses devisa membuat negara ini menjadi salah satu pasar yang paling sulit dimasuki pelaku usaha internasional.
Bagi perusahaan global, terutama dari sektor agrikultur, energi, dan logistik, memahami dinamika hambatan ini merupakan langkah awal untuk merencanakan strategi yang layak memasuki pasar Angola.
Daftar Pustaka
2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Angola Section.
Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Departemen Keuangan AS secara berkala menerbitkan daftar negara yang mengharuskan atau mungkin mengharuskan partisipasi dalam boikot internasional berdasarkan ketentuan hukum pajak AS. Pada Februari 2024, negara-negara berikut termasuk dalam daftar tersebut:
Iraq, Kuwait, Lebanon, Libya, Qatar, Saudi Arabia, Syria, dan Yemen.
Berikut ringkasan kondisi implementasi boikot di tiga negara yang dijelaskan secara rinci dalam laporan.
1. Irak: Secara Kebijakan Tidak Mengikuti Boikot, tetapi Praktiknya Belum Seragam
Pemerintah Irak secara resmi menghentikan implementasi boikot pada 2009 melalui keputusan Dewan Menteri. Sebagian besar kementerian dan BUMN telah sepakat untuk:
tidak mematuhi peraturan boikot lama,
mencabut persyaratan dokumentasi boikot,
dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam proses tender.
Namun pada level implementasi, masih terjadi pelanggaran sporadis. Beberapa pejabat dan lembaga pemerintah secara individual masih:
mengeluarkan permintaan sertifikat boikot,
memasukkan klausul terkait boikot dalam dokumen pengadaan,
atau menyampaikan tuntutan administratif yang bertentangan dengan kebijakan nasional.
Contoh paling menonjol adalah Kimadia, badan pengadaan Kementerian Kesehatan, yang masih pernah mengeluarkan permintaan terkait boikot.
Bagi perusahaan AS, kondisi ini menciptakan ketidakpastian, karena kebijakan nasional tidak selalu diikuti secara konsisten di tingkat institusi.
2. Qatar: Boikot Masih Ada dalam Hukum, tetapi Penegakannya Tidak Konsisten
Qatar secara historis memiliki undang-undang boikot, tetapi sejak 1994 negara ini telah menyatakan tidak lagi menerapkan boikot sekunder dan tersier terhadap perusahaan AS. Namun demikian, perusahaan AS masih melaporkan bahwa:
beberapa perusahaan milik negara di Qatar tetap mengeluarkan permintaan dokumen terkait boikot,
kontrak tertentu masih memasukkan klausul yang meminta jaminan bahwa perusahaan tidak berbisnis dengan Israel,
permintaan tersebut biasanya muncul dalam pengadaan publik atau kontrak sektor energi.
Dalam banyak kasus, perusahaan AS berhasil mengganti klausul tersebut dengan bahasa netral atau alternatif yang dapat diterima secara hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kendala paling sering bersifat administratif, bukan kebijakan eksplisit pemerintah.
3. Yaman: Kondisi Politik Membuat Situasi Tidak Jelas tetapi Boikot Masih Berjalan
Yaman menjadi salah satu negara yang paling sulit dipetakan dalam hal implementasi boikot karena kondisi geopolitik dan fragmentasi pemerintahan. Secara historis:
Yaman telah menghentikan boikot sekunder dan tersier sejak 1995,
namun masih menerapkan boikot primer,
dan sejumlah elemen birokrasi kerap menghidupkan kembali aspek sekunder dan tersier dalam praktik.
Ketidakstabilan politik membuat mustahil memastikan sikap resmi pemerintah saat ini. Namun bukti lapangan menunjukkan bahwa perusahaan AS masih menghadapi:
permintaan sertifikasi anti-Israel,
permintaan pengakuan bahwa perusahaan tidak bekerja sama dengan entitas tertentu,
dan hambatan administratif lainnya yang termasuk kategori boikot tersier.
Peran Pemerintah AS dalam Mengatasi Hambatan Ini
Pemerintah AS terus memantau implementasi boikot melalui:
Departemen Perdagangan,
Departemen Keuangan,
USTR,
dan jaringan kedutaan besar AS.
Upaya mereka mencakup:
memberi panduan hukum kepada perusahaan AS,
mengadvokasi penghapusan klausul boikot,
melakukan diplomasi ekonomi,
menekan negara mitra untuk menyesuaikan praktik dengan komitmen internasional.
Pendekatan ini membuat banyak kasus boikot yang muncul dapat diselesaikan pada level administratif sebelum menjadi hambatan perdagangan yang besar.
Implikasi bagi Perusahaan AS: Risiko Administratif Lebih Besar daripada Risiko Komersial
Dampak boikot terhadap perdagangan AS saat ini dinilai minimal secara ekonomi, tetapi tetap menimbulkan:
beban kepatuhan,
risiko ketidaksengajaan melanggar hukum AS,
dan perlunya negosiasi tambahan dalam pengadaan publik.
Isu boikot jarang menutup pasar sepenuhnya, tetapi membatasi kelancaran transaksi dan menjadi pertimbangan penting dalam penilaian risiko pasar di wilayah Arab League.
Penutup: Boikot yang Melemah tetapi Belum Sepenuhnya Hilang
Laporan NTE 2025 menunjukkan bahwa meskipun boikot Arab League sudah jauh melemah dibanding masa lalu, praktik terkait boikot—terutama dalam bentuk permintaan dokumen dan klausul administratif—masih terus muncul di sejumlah negara.
Bagi perusahaan AS, tantangan utamanya bukan larangan eksplisit, tetapi ketidakkonsistenan implementasi, perbedaan antar lembaga pemerintah, dan kebutuhan untuk memastikan setiap transaksi tetap sesuai dengan hukum AS yang melarang kepatuhan pada boikot asing non-AS.
Dalam konteks geopolitik yang terus berubah, isu ini kemungkinan tetap menjadi perhatian dalam hubungan dagang AS–MENA untuk tahun-tahun mendatang.
Daftar Pustaka
2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Arab League Section.
Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Laporan 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers menandai edisi ke-40 dari upaya sistematis pemerintah Amerika Serikat untuk mengidentifikasi hambatan terbesar yang menghalangi ekspor, investasi, dan aktivitas digital ekonomi AS di pasar global. Dokumen ini bukan sekadar inventaris hambatan perdagangan; ia merupakan instrumen kebijakan strategis yang digunakan untuk menegosiasikan akses pasar, menegakkan hukum perdagangan, serta mempertahankan daya saing ekonomi dan keamanan nasional AS di tengah dinamika global yang semakin kompleks.
Dalam konteks persaingan geopolitik, peningkatan proteksionisme, serta pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata, laporan ini menjadi landasan penting bagi pembuat kebijakan, sektor swasta, dan mitra internasional dalam memahami bagaimana kebijakan suatu negara dapat menciptakan distorsi yang memengaruhi pasar global.
Tujuan Utama Laporan: Transparansi, Negosiasi, dan Penegakan Aturan
Laporan NTE hadir untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan perdagangan paling signifikan yang memengaruhi:
ekspor barang dan jasa AS,
investasi langsung luar negeri oleh pelaku usaha AS,
dan aktivitas ekonomi digital lintas negara.
Dengan memetakan berbagai bentuk regulasi, praktik non-pasar, hingga tindakan diskriminatif, laporan ini membantu memperkuat posisi negosiasi AS dalam perundingan perdagangan, sekaligus mendukung upaya menegakkan prinsip fair competition dalam sistem perdagangan global.
Hambatan yang dilaporkan mencakup negara-negara yang mewakili hampir 60 mitra dagang utama AS, sehingga cakupan laporan ini mencerminkan porsi besar dari perdagangan global.
Memahami Apa yang Disebut sebagai Hambatan Perdagangan
Hambatan perdagangan tidak selalu berupa tarif tinggi atau kuota impor. Dalam laporan ini, hambatan dipahami secara luas sebagai kebijakan, peraturan, atau praktik pemerintah asing yang menghalangi persaingan yang adil.
Ini termasuk:
tarif dan pungutan impor,
aturan teknis dan standar yang diskriminatif,
pembatasan data lintas negara,
praktik subsidi yang menciptakan kapasitas berlebih,
hingga perilaku antikompetitif perusahaan milik negara.
Khusus untuk negara dengan struktur ekonomi non-pasar, masalah seperti kelebihan kapasitas industri atau ekspansi tidak alami dari BUMN menjadi perhatian utama karena dapat memicu distorsi global dan mengancam sektor industri AS.
Empat Belas Kategori Hambatan Perdagangan yang Dipantau AS
Untuk memetakan kompleksitas berbagai kebijakan negara mitra, laporan NTE mengklasifikasikan hambatan ke dalam 14 kategori besar, antara lain:
Kebijakan impor, termasuk tarif, kuota, lisensi impor, dan hambatan fasilitasi perdagangan.
Standar teknis dan regulasi, terutama yang dianggap tidak perlu atau diskriminatif.
Sanitary and phytosanitary measures, khususnya aturan keamanan pangan dan kesehatan yang tidak berbasis sains.
Pengadaan pemerintah, seperti kebijakan “buy national” atau tender tertutup.
Perlindungan kekayaan intelektual, termasuk lemahnya penegakan paten, hak cipta, dan merek dagang.
Larangan atau pembatasan layanan, misalnya persyaratan kehadiran lokal yang membatasi perusahaan digital.
Hambatan e-commerce dan perdagangan digital, seperti pembatasan data lintas batas atau regulasi diskriminatif terhadap platform asing.
Hambatan investasi, termasuk batas kepemilikan asing, kewajiban transfer teknologi, atau pembatasan permodalan.
Subsidi dan distorsi pasar lainnya, baik dalam bentuk ekspor maupun substitusi impor.
Praktik antikompetitif, seperti penyalahgunaan regulasi persaingan untuk menekan perusahaan asing.
Peran BUMN, termasuk dukungan tidak transparan atau keunggulan non-komersial yang merugikan pesaing asing.
Isu tenaga kerja dan lingkungan, yang dapat mempengaruhi arus perdagangan dan investasi.
Praktik korupsi, yang memengaruhi lisensi, bea masuk, dan proses tender.
Kategori “lainnya”, untuk hambatan lintas sektor yang tidak masuk ke kategori di atas.
Daftar ini menunjukkan bagaimana pemahaman tentang hambatan perdagangan telah berkembang dari isu tarif semata menjadi lanskap kebijakan yang lebih luas dan kompleks.
Korupsi: Masalah Permanen yang Mengganggu Perdagangan Global
Laporan ini menyoroti bahwa korupsi masih menjadi salah satu keluhan terbesar perusahaan AS ketika berbisnis di luar negeri. Dampaknya sangat luas:
menghambat akses pasar,
menurunkan efisiensi logistik,
mendistorsi proses tender publik,
dan memperburuk iklim investasi.
AS menekankan bahwa korupsi yang tidak terkendali dapat menghapus manfaat dari negosiasi perdagangan apa pun. Karena itu, Washington secara aktif memimpin upaya multilateral untuk memperkuat transparansi dan penegakan anti-korupsi dalam perdagangan internasional.
Menganalisis Dampak Hambatan Perdagangan terhadap Ekspor AS
Laporan ini juga mengkaji dampak ekonomi dari hambatan perdagangan, meskipun disertai keterbatasan metodologis. Estimasi dilakukan berdasarkan:
perubahan biaya akibat tarif,
elastisitas harga permintaan dan penawaran,
perubahan pangsa pasar,
hingga pengaruh subsidi terhadap kompetisi di pasar ketiga.
Namun analisis ini diakui tidak dapat memberikan perhitungan agregat terhadap seluruh kerugian ekspor, mengingat kompleksitas interaksi pasar global.
Meskipun demikian, pendekatan kuantitatif ini tetap membantu menggambarkan prioritas kebijakan, misalnya pada sektor yang paling terdampak oleh hambatan tertentu.
Mengapa Laporan Ini Penting bagi Dunia Usaha dan Kebijakan Publik
Bagi pelaku usaha, laporan NTE berfungsi sebagai:
panduan identifikasi risiko,
peta hambatan operasional di berbagai negara,
sumber rujukan dalam merencanakan ekspansi internasional,
dan alat advokasi dalam dialog pemerintah–swasta.
Bagi pemerintah, laporan ini:
menyediakan dasar untuk tindakan diplomatik,
menjadi alat untuk negosiasi perdagangan,
membantu mengawasi kepatuhan negara mitra,
serta memainkan peran penting dalam penegakan hukum perdagangan AS.
Dengan meningkatnya dinamika geopolitik dan fragmentasi ekonomi global, laporan ini menjadi semakin relevan.
Penutup: Peta Jalan dalam Lanskap Perdagangan Global yang Semakin Kompleks
2025 National Trade Estimate Report menunjukkan bahwa hambatan perdagangan modern tidak lagi berupa tarif semata. Dunia menghadapi kebijakan impor yang rumit, regulasi digital yang berkembang cepat, ketidakpastian teknis, praktik non-pasar, hingga tantangan tata kelola yang mempengaruhi arus perdagangan internasional.
Dengan mengidentifikasi hambatan ini secara sistematis, AS tidak hanya melindungi kepentingan industrinya, tetapi juga ikut membentuk struktur perdagangan global agar tetap kompetitif, transparan, dan berbasis aturan.
Daftar Pustaka
2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Foreword & Scope.
Perekonomian
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Laporan World Economic Outlook Update – January 2025 menggambarkan perekonomian global yang berada di persimpangan penting. Pertumbuhan dunia diperkirakan stabil pada 3,3% untuk 2025 dan 2026—angka yang tidak menunjukkan krisis, tetapi juga menandakan bahwa dunia belum kembali ke dinamika pra-pandemi yang lebih kuat.
Di bawah permukaan angka-angka ini, terdapat realitas yang lebih kompleks: ekonomi negara-negara besar bergerak ke arah yang berbeda, kebijakan moneter dan fiskal tidak lagi selaras, dan ketidakpastian perdagangan meningkat tajam. Dunia berada dalam fase “ketahanan rapuh”—stabil secara agregat, tetapi penuh tekanan di banyak titik.
Pertumbuhan Global: Stabil Namun Bergerak dalam Kecepatan yang Berbeda
Amerika Serikat Tetap Menjadi Pusat Gravitasi Ekonomi Dunia
Dengan konsumsi rumah tangga yang solid, pasar tenaga kerja yang kuat, serta kondisi keuangan yang relatif akomodatif, Amerika Serikat menjadi pendorong utama pertumbuhan global. Investasi terus meningkat, terutama di sektor-sektor teknologi, energi bersih, dan infrastruktur.
Keunggulan AS bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi momentum—sebuah kombinasi kebijakan fiskal ekspansif, produktivitas yang meningkat, dan kemampuan perusahaan besar untuk tetap berinovasi di tengah ketidakpastian global.
Eropa Masih Tertahan oleh Struktur yang Kaku
Berbeda dengan AS, Eropa masih berjuang keluar dari fase stagnasi. Lemahnya permintaan eksternal, industrialisasi yang menua, dan tekanan geopolitik membuat kawasan ini bergerak lambat. Investor masih berhati-hati, terutama di tengah ketegangan politik dan pergantian kepemimpinan di berbagai negara besar.
Kondisi ini membuat Eropa menjadi salah satu kawasan dengan prospek pemulihan paling lambat.
Asia: Pertumbuhan Pincang, dengan India Sebagai Sorotan Utama
Asia tetap menjadi penggerak penting perekonomian global, namun kinerjanya beragam:
China menghadapi tantangan struktural: lemahnya permintaan domestik, tekanan di sektor real estate, dan konsumsi rumah tangga yang belum benar-benar pulih. Pemerintah menambah stimulus fiskal, tetapi dampaknya terbatas.
India, sebaliknya, terus mencatat pertumbuhan kuat. Permintaan domestik besar, transformasi digital meluas, dan arus investasi asing tetap stabil.
Negara berkembang Asia lainnya, termasuk ASEAN, bergerak positif meski tidak sekuat periode pra-pandemi.
Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin Berhadapan dengan Tekanan Eksternal
Harga komoditas, ketidakpastian geopolitik, dan kebijakan negara maju memengaruhi kawasan ini dengan cara yang berbeda:
Negara produsen energi menghadapi dilema antara menjaga pendapatan dan mengikuti kebijakan produksi.
Afrika Sub-Sahara menunjukkan sinyal peningkatan pertumbuhan, tetapi masih menghadapi hambatan struktural dan pembiayaan.
Amerika Latin bergerak moderat, dengan stabilitas politik sebagai faktor penentu bagi banyak negara.
Inflasi Melandai tetapi Tidak Merata: Tekanan Harga Jasa Masih Keras
Secara global, inflasi melambat, tetapi penurunan ini belum sepenuhnya merata. Negara maju mengalami disinflasi yang cukup cepat, meskipun harga jasa tetap menjadi penyumbang tekanan terbesar.
Di negara berkembang, inflasi kerap terhambat oleh:
harga pangan yang sensitif terhadap cuaca ekstrem,
volatilitas nilai tukar,
dan biaya logistik yang belum turun sepenuhnya.
Ekspektasi inflasi masyarakat mulai membaik, tetapi tetap berada di atas level rata-rata dekade sebelum pandemi—menandakan risiko terbalik masih besar jika terjadi kejutan harga energi atau pangan.
Kondisi Keuangan Global Mulai Mengencang di Tengah Divergensi Kebijakan
Kebijakan moneter dunia tidak lagi bergerak seragam. Bank sentral negara maju memiliki ruang pelonggaran terbatas karena inflasi jasa yang keras. Sementara itu, beberapa pasar berkembang mulai menurunkan suku bunga karena inflasi domestik lebih cepat melandai.
Situasi ini menciptakan:
perbedaan yield yang semakin lebar,
penguatan dolar AS,
dan ketidakstabilan aliran modal ke ekonomi rentan.
Penguatan dolar khususnya memberi tekanan pada negara dengan utang luar negeri tinggi, memperbesar biaya pembiayaan dan menekan ruang fiskal.
Perdagangan Global Tertekan oleh Fragmentasi dan Ketidakpastian Kebijakan
Salah satu temuan paling krusial adalah meningkatnya ketidakpastian perdagangan internasional. Kebijakan proteksionisme meningkat, baik melalui tarif, pembatasan ekspor, maupun kebijakan industri yang memprioritaskan produksi domestik.
Dampaknya dirasakan dalam dua cara:
investasi jangka panjang tertahan karena prospek rantai pasok yang tidak pasti,
perusahaan mengalihkan strategi perdagangan mereka demi mengantisipasi kemungkinan hambatan baru.
Fenomena front-loading—mempercepat impor atau ekspor sebelum risiko tarif diterapkan—menambah volatilitas volume perdagangan.
Risiko Global yang Meningkat: Dari Geopolitik hingga Kebijakan Internal Negara Besar
Prospek ekonomi global 2025 dibayang-bayangi risiko yang semakin kompleks dan saling terkait:
1. Eskalasi proteksionisme
Kebijakan industri agresif, perang tarif, dan pembatasan ekspor dapat mengganggu rantai pasok global dan menghambat investasi.
2. Ketegangan geopolitik
Konflik di Timur Tengah dan Ukraina dapat memicu kejutan harga energi dan gangguan logistik.
3. Kebijakan fiskal negara besar
Belanja fiskal agresif di negara tertentu berpotensi mempercepat pertumbuhan jangka pendek, tetapi dapat menimbulkan tekanan inflasi dan ketidakstabilan pembiayaan jangka panjang.
4. Fragmentasi keuangan
Perbedaan arah kebijakan moneter dapat memperkuat arus modal yang tidak stabil ke emerging markets.
Risiko-risiko ini menciptakan lanskap yang sulit diprediksi, menuntut pemerintah dan bank sentral untuk lebih berhati-hati.
Rekomendasi Kebijakan: Membangun Stabilitas dalam Dunia yang Terfragmentasi
IMF menekankan pentingnya kebijakan yang terkoordinasi dan kredibel untuk menjaga stabilitas jangka panjang:
Kebijakan moneter
Harus tetap fokus pada stabilitas harga, dengan pelonggaran dilakukan hanya ketika inflasi benar-benar dalam tren turun yang meyakinkan.
Kebijakan fiskal
Negara perlu mengurangi defisit secara bertahap sambil tetap menjaga ruang untuk perlindungan sosial dan investasi penting.
Kebijakan nilai tukar dan permodalan
Fleksibilitas nilai tukar dapat menjadi penyangga; intervensi hanya diperlukan ketika volatilitas mengancam stabilitas makro.
Reformasi struktural
Peningkatan produktivitas, digitalisasi, dan perbaikan iklim usaha tetap menjadi kunci pertumbuhan jangka panjang di banyak negara.
Kerja sama multilateral
Dunia membutuhkan koordinasi dalam perdagangan, perubahan iklim, teknologi, dan pembiayaan. Fragmentasi hanya akan memperlambat pemulihan.
Penutup: Dunia Stabil, tetapi Baru pada Permukaan
Ekonomi global memasuki 2025 dengan stabilitas yang tampak, tetapi fondasinya rapuh. Pertumbuhan tidak merata, inflasi belum sepenuhnya jinak, kondisi keuangan mulai mengetat, dan risiko geopolitik semakin besar.
Untuk melewati fase ini, negara perlu menavigasi lingkungan global yang semakin terfragmentasi dengan kombinasi disiplin kebijakan, investasi jangka panjang, dan kerja sama internasional yang lebih kuat.
Prospek global memang tidak suram, tetapi juga jauh dari aman. Dunia bergerak dengan kecepatan berbeda dan arah yang sering berseberangan—dan stabilitas jangka panjang hanya dapat dicapai melalui ketahanan, adaptasi, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan.
Daftar Pustaka
IMF World Economic Outlook Update – January 2025.
Dunia Kerja & HR
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Di tengah fenomena great resignation, banyak organisasi menghadapi tekanan besar untuk segera mengisi posisi kosong. Beban kerja meningkat, moral tim menurun, dan urgensi operasional mendorong manajer untuk “mengambil siapa saja yang mau bekerja.” Namun bab ini menekankan satu realitas penting: membiarkan posisi kosong terkadang jauh lebih aman daripada merekrut orang yang salah.
Rekrutmen bukan hanya tentang menambah kepala—ini tentang menjaga stabilitas, produktivitas, dan kesehatan organisasi dalam jangka panjang. Kandidat yang tidak tepat dapat menciptakan masalah yang lebih besar daripada kekosongan itu sendiri, terutama ketika perilaku negatif mereka menciptakan beban tambahan pada tim yang sudah lelah.
Bab ini menawarkan empat indikator kunci untuk menilai apakah kandidat yang “sekadar lumayan” layak dipertimbangkan atau justru harus dihindari, serta strategi mendukung tim saat organisasi kekurangan staf.
Empat Sifat yang Harus Ada sebelum Anda Mengambil Risiko Merekrut
Tidak semua kandidat harus sempurna, tetapi ada empat karakteristik dasar yang bersifat non-negotiable. Jika kandidat gagal di salah satunya, risikonya lebih besar daripada manfaat yang mungkin mereka bawa.
1. Reliability: Fondasi yang Menentukan Stabilitas Tim
Fleksibilitas berbeda dari ketidakandalan.
Fleksibilitas adalah hal yang dapat diprediksi—misalnya jadwal hybrid atau permintaan hari libur tertentu. Ketidakandalan justru berasal dari:
sering absen mendadak,
gagal menyelesaikan tugas,
atau tiba-tiba tidak dapat dihubungi.
Masalah ini sangat sulit dinilai dari wawancara saja karena kandidat tidak mungkin secara eksplisit mengaku tidak dapat diandalkan. Itulah mengapa perusahaan perlu:
memperkuat proses reference check, termasuk backdoor references,
menyiapkan pertanyaan perilaku tentang cara kandidat menangani gangguan tak terduga,
mengamati pola adaptabilitas dan ketahanan dalam pengalaman mereka.
Dampak ketidakandalan sangat merusak, terutama dalam profesi berbasis klien. Rekan kerja yang andal harus menanggung beban tambahan dan mempelajari konteks klien baru sebelum mereka bisa memberi bantuan, yang menambah frustrasi dan kelelahan tim.
2. Job Readiness: Apakah Kandidat Dapat Memberi Nilai Tanpa Membebani Tim?
Dalam situasi kekurangan staf, ada anggapan bahwa “bantuan sedikit apa pun lebih baik daripada tidak ada sama sekali.” Ini hanya benar jika kandidat:
memiliki keterampilan dasar yang memadai,
membutuhkan pelatihan minimal,
tidak membebani waktu dan energi rekan kerja.
Pelatihan memakan waktu dan mahal. Jika kandidat tidak memiliki kesiapan dasar, anggota tim yang sudah kewalahan akan terpaksa:
menambal kesalahan mereka,
menjelaskan ulang proses,
dan mengorbankan pekerjaan inti mereka sendiri.
Bab ini merekomendasikan menilai growth mindset sebagai indikator produktivitas jangka panjang. Pertanyaan seperti “Apa yang akan Anda lakukan berbeda jika menghadapi situasi sulit yang sama besok?” membantu mengidentifikasi apakah kandidat reflektif dan mau belajar.
hbr-guide-to-better-recruiting-…
3. Positive Attitude: Energi Emosional yang Menular ke Seluruh Tim
Emosi menyebar layaknya virus. Satu individu negatif dapat:
merusak suasana kerja,
memicu konflik kecil,
menurunkan kolaborasi,
dan membuat beban kerja terasa lebih berat bagi semua orang.
Karyawan cenderung mengubah cara mereka bekerja hanya agar dapat menghindari rekan yang berperilaku buruk. Ini memicu biaya koordinasi tinggi dan mengurangi aktivitas proaktif seperti membantu kolega atau kontribusi sukarela untuk tim.
Ketika beban kerja sudah berat akibat kekosongan posisi, energi negatif satu orang bisa memberikan efek berantai yang memperburuk situasi jauh lebih cepat.
4. Good Communication: Terutama Penting dalam Lingkungan Kerja Virtual
Komunikasi efektif tidak hanya tentang berbicara dengan jelas—tetapi juga tentang responsivitas, kehandalan, dan adaptasi pada ritme kerja tim. Dalam kerja virtual:
lebih mudah “bersembunyi”,
lebih sulit meminta klarifikasi,
dan kesalahan komunikasi bisa menunda proyek secara signifikan.
Manajer dapat menilai kemampuan komunikasi kandidat melalui:
kejelasan jawaban dalam wawancara,
kemampuan merangkai pemikiran secara logis,
preferensi komunikasi mereka,
dan trik pribadi yang mereka gunakan untuk tetap responsif.
Jika kandidat untuk tim virtual membenci email atau tidak mau dikontak setelah jam tertentu, perusahaan harus berhati-hati.
hbr-guide-to-better-recruiting-…
Apa yang Harus Dilakukan Saat Tidak Ada Kandidat yang Memenuhi Syarat?
Tidak adanya kandidat layak bisa membuat frustrasi, tetapi memaksakan perekrutan bukanlah solusi. Bab ini memberikan beberapa langkah penting sementara tim menghadapi kekurangan staf:
1. Berkomunikasi Jujur kepada Tim
Tim perlu tahu bahwa kekosongan ini bersifat sementara dan pemimpin sedang berusaha mencari rekan kerja yang baik bagi mereka. Banyak karyawan lebih memilih bekerja ekstra beberapa minggu daripada harus menanggung konsekuensi dari rekan baru yang tidak kompeten atau negatif.
2. Berikan Dukungan untuk Mengurangi Burnout
Perusahaan dapat:
memberi penghargaan,
menyesuaikan beban kerja,
memberikan fleksibilitas,
dan menunjukkan perhatian personal.
Ini penting untuk mempertahankan karyawan yang sudah bertahan di tengah kondisi sulit.
3. Manfaatkan Program Rekomendasi Karyawan (Employee Referral)
Karyawan sering kali membawa talenta berkualitas yang mereka percayai. Referral meningkatkan peluang menemukan kandidat yang cocok lebih cepat.
4. Pertimbangkan Merekrut Posisi Lain sebagai Penyangga
Jika posisi inti sulit diisi, perusahaan bisa merekrut bantuan untuk:
tugas administratif,
dukungan operasional,
atau fungsi pelengkap lain.
Strategi ini umum dilakukan di industri seperti kesehatan (asisten medis) dan pendidikan (asisten pengajar), serta efektif meningkatkan produktivitas pekerja inti hingga 20%.
5. Pertimbangkan Otomasi atau Teknologi untuk Mengurangi Beban
Dengan kemajuan kecerdasan buatan dan kolaborasi digital, beberapa tugas dapat dialihkan ke sistem otomatis atau software pendukung. Ini dapat menjadi solusi jangka pendek maupun jangka panjang.
Penutup: Terkadang “Tidak Merekrut” Adalah Keputusan Strategis
Merekrut orang yang salah lebih merusak daripada membiarkan posisi kosong. Empat sifat inti—reliability, job readiness, positive attitude, dan communication—harus menjadi syarat minimum sebelum risiko perekrutan diambil.
Jika tidak ada kandidat yang memenuhi standar tersebut, langkah paling bijak adalah:
mendukung tim yang ada,
mempertahankan moral,
dan menunggu talenta yang tepat datang.
Pada akhirnya, keputusan merekrut bukan tentang kecepatan, tetapi tentang menjaga kesehatan organisasi dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 27.
Dunia Kerja & HR
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 28 November 2025
Dalam proses perekrutan, organisasi biasanya berfokus pada dua metrik utama: menarik kandidat terbaik dan mempertahankan karyawan berkinerja tinggi. Banyak perusahaan mengukur tingkat turnover dan melakukan exit interview untuk memahami alasan seseorang meninggalkan perusahaan. Namun ada satu area yang sangat penting tetapi sering diabaikan: apa yang sebenarnya dipikirkan kandidat yang sudah diberi tawaran, tetapi memilih tidak bergabung?
Bab ini menegaskan bahwa wawasan paling berharga tidak hanya datang dari mereka yang pergi, tetapi juga dari mereka yang tidak pernah masuk. Melakukan “declined offer interview” memberikan sudut pandang jujur tentang daya tarik organisasi, kekuatan kompetitor, dan bagaimana pengalaman kandidat selama proses seleksi membentuk persepsi mereka. Praktik ini juga memberi peringatan dini ketika tingkat penerimaan tawaran mulai menurun, sehingga perusahaan bisa memperbaiki strategi sebelum terlambat.
Mengapa Perusahaan Jarang Melakukan Wawancara Setelah Tawaran Ditolak
Banyak organisasi memandang wawancara pascapenolakan sebagai sesuatu yang tidak nyaman. Ada persepsi bahwa kandidat yang menolak tawaran mungkin:
merasa canggung memberi umpan balik,
tidak ingin “menyakiti perasaan” perekrut,
atau khawatir merusak hubungan profesional.
Di sisi lain, perusahaan mungkin takut mendengar kritik atau tidak ingin membuka potensi konflik internal. Namun, seperti halnya pemasaran, kita sering belajar jauh lebih banyak dari “pelanggan yang tidak membeli” dibandingkan mereka yang membeli tanpa masalah.
Universitas sudah lama mempraktikkan hal ini—menganalisis siswa yang diterima tetapi memilih kampus lain—namun perusahaan justru tertinggal.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kandidat yang Menolak Tawaran
Umpan balik dari kandidat tersebut biasanya jatuh ke dalam tiga kategori besar:
1. Faktor di luar kendali perusahaan
Contoh: memilih pindah industri, perubahan lokasi, kebutuhan keluarga, atau jalur karier baru.
2. Faktor dalam kendali organisasi, tetapi sulit diubah cepat
Seperti gaji, struktur level jabatan, paket benefit, atau sistem promosi.
3. Faktor dalam kendali penuh perusahaan
Dan inilah sumber insight paling berharga—meski juga paling sensitif untuk dibahas. Misalnya:
wawancara yang terasa tidak ramah,
pewawancara tidak fokus atau kurang antusias,
jumlah pewawancara terlalu banyak dan membingungkan,
pesan yang tidak konsisten tentang strategi perusahaan,
ketidakjelasan tentang tanggung jawab, tantangan, atau indikator kesuksesan.
Umpan balik semacam ini, walaupun tidak nyaman, justru merupakan data yang dapat langsung ditindaklanjuti untuk memperbaiki proses rekrutmen.
Mengumpulkan Feedback dengan Cara yang Aman dan Jujur
Agar kandidat mau terbuka, perusahaan perlu menggunakan metode yang membuat mereka merasa aman. Bab ini merekomendasikan:
survei anonim,
email tanpa identitas personal,
pihak ketiga (konsultan riset, headhunter, atau lembaga survei),
tim riset internal yang tidak terafiliasi langsung dengan HR maupun hiring manager.
Dengan menjaga jarak antara pemberi umpan balik dan penerimanya, kandidat lebih mudah menyampaikan pendapat jujur tanpa takut “membakar jembatan.”
Selain itu, organisasi harus menekankan bahwa:
tidak ada rasa sakit hati,
feedback mereka sangat dihargai,
kerahasiaan akan dijaga,
dan pintu tetap terbuka untuk peluang masa depan.
Pendekatan seperti ini meningkatkan tingkat partisipasi dan kualitas insight.
Pertanyaan Kunci untuk Kandidat yang Menolak Tawaran
Untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh, bab ini menyarankan beberapa pertanyaan penting, seperti:
Apa aspek positif dari perusahaan atau peran ini menurut Anda?
Apa kekhawatiran terbesar Anda?
Apa faktor utama yang menentukan keputusan Anda?
Bagaimana pengalaman Anda selama wawancara?
Apakah ada saran untuk perbaikan proses rekrutmen atau komunikasi kami?
Bagaimana kami bisa membuat value proposition kami lebih menarik di masa depan?
Pertanyaan ini tidak hanya mengungkap alasan penolakan, tetapi juga memberi gambaran tentang bagaimana perusahaan dipersepsikan di pasar talenta.
Tantangan dalam Mengelola Interpretasi Internal
Meskipun feedback kandidat sangat informatif, bab ini memperingatkan bahwa:
sensitivitas personal,
politik organisasi,
dan bias kognitif
dapat memengaruhi interpretasi data.
HR mungkin menyalahkan manajer lini atas wawancara yang buruk.
Manajer mungkin menyalahkan HR mengenai komunikasi dan logistik.
Keduanya mungkin menyalahkan eksekutif senior karena tidak meluangkan waktu bertemu kandidat.
Oleh karena itu, data harus dianalisis secara objektif dan diarahkan untuk perbaikan, bukan permainan saling menyalahkan.
Tujuan akhirnya adalah memahami faktor apa yang benar-benar dapat dikendalikan—dan mana yang paling berpengaruh terhadap tingkat penerimaan tawaran.
Mengapa Wawancara Pascapenolakan Layak Dijadikan Prosedur Standar
Dengan menata proses ini secara sistematis, perusahaan dapat:
meningkatkan employment brand,
mengomunikasikan value proposition dengan lebih konsisten,
memperbaiki pengalaman kandidat,
dan meningkatkan acceptance rate di masa depan.
Yang lebih penting, perusahaan juga dapat memetakan kompetitor:
mengapa kandidat memilih mereka, apa yang ditawarkan, dan apa yang membuat penawaran itu lebih menarik.
Wawasan seperti ini sangat berharga untuk strategi rekrutmen jangka panjang.
Penutup: Kandidat yang Pergi Selalu Meninggalkan Pelajaran
Bab ini menekankan bahwa menghadapi penolakan bukan hal mudah—baik bagi individu maupun organisasi. Namun dengan disiplin mengumpulkan dan mempelajari feedback dari mereka yang menolak tawaran, perusahaan dapat:
memperbaiki proses rekrutmen,
meningkatkan daya tarik sebagai employer,
dan membuat keputusan lebih baik di masa depan.
Pada akhirnya, kandidat yang pergi membawa pelajaran penting bagi perusahaan yang siap mendengarkan.
Daftar Pustaka
HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 26.