Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025
Cerita di Balik Angka: Kenapa Selembar Kertas Ini Membuat Saya Berhenti dan Berpikir
Kemarin saya melewati sebuah proyek konstruksi besar. Gedung pencakar langit yang gagah, dikelilingi derek-derek raksasa. Saya melihat para pekerja, titik-titik kecil berwarna cerah dengan helm mereka, bergerak lincah di ketinggian. Spontan saya berpikir, "Mereka pasti sangat terlatih." Lalu saya membaca sebuah paper penelitian, dan pikiran itu hancur.
Ini bukan sekadar jurnal karya Ferdinand Fassa dan Susy Rostiyanti dari Universitas Agung Podomoro. Ini adalah potret 60 nyawa, 60 pekerja konstruksi di Tangerang Selatan, yang suaranya—lewat kuesioner—mengungkap sebuah realita yang jauh lebih rapuh dari beton yang mereka cor.1 Paper ini berjudul "PENGARUH PELATIHAN K3 TERHADAP PERILAKU TENAGA KERJA KONSTRUKSI DALAM BEKERJA SECARA AMAN DI PROYEK," sebuah judul akademis yang menyembunyikan cerita-cerita manusia di dalamnya.1
Kita semua tahu konstruksi itu berbahaya. Data dari International Labor Organization (ILO) bahkan menyebut sektor ini menyumbang 24%-40% kematian pekerja di negara maju.1 Tapi pertanyaan yang diajukan paper ini lebih dalam: Apakah selembar sertifikat pelatihan benar-benar bisa menjadi pembeda antara pulang ke rumah dengan selamat dan menjadi statistik kecelakaan kerja? Jawabannya, ternyata, jauh lebih mengejutkan dan penting dari yang saya kira.
Realita yang Menampar: Potret Tenaga Kerja Konstruksi Kita Hari Ini
Sebelum kita bicara solusi, kita harus berani menatap masalahnya. Dan paper ini melukiskan potret tenaga kerja kita dengan angka-angka yang jujur dan, terus terang, mengkhawatirkan.
Bertemu "Bayu": Wajah di Balik Statistik
Mari kita coba bayangkan seorang pekerja dari data ini. Kita sebut saja dia Bayu. Menurut penelitian ini, Bayu kemungkinan besar adalah seorang pria muda, berusia antara 20 hingga 35 tahun (kelompok ini mencakup 71% dari total responden).1 Dia adalah tulang punggung perekonomian, berada di puncak usia produktifnya.
Namun, ada sisi lain dari profil Bayu. Peluangnya sangat besar bahwa pendidikan formal terakhirnya hanya sampai level SD atau SMP—sebanyak 82% responden berada di kategori ini.1 Pengalamannya di dunia konstruksi pun terbilang baru, dengan 55% responden memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun.1 Dan perannya di proyek kemungkinan besar adalah sebagai "kenek" atau pembantu tukang, posisi yang paling banyak diisi oleh responden (sekitar 41%).1
Jika kita gabungkan semua data ini, sebuah gambaran yang lebih jelas muncul. Tenaga kerja di lapangan didominasi oleh individu yang muda, secara formal tidak berpendidikan tinggi, dan relatif belum berpengalaman. Ini bukan untuk merendahkan, justru sebaliknya—ini untuk menyoroti betapa rentannya mereka. Mereka adalah kelompok yang paling membutuhkan bimbingan, arahan, dan perlindungan di salah satu lingkungan kerja paling berisiko di dunia.
Separuh Tentara Dikirim ke Medan Perang Tanpa Latihan
Sekarang, bayangkan Bayu dan rekan-rekannya. Dengan profil yang sudah kita ketahui, bekal apa yang mereka miliki untuk menghadapi risiko harian seperti bekerja di ketinggian, mengoperasikan alat berat, atau berada di dekat galian tanah?
Di sinilah data yang paling menampar muncul. Paper ini menemukan bahwa 51% dari para pekerja ini—lebih dari separuh—mengaku belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).1
Coba resapi sejenak. Separuh. Ini bukan berarti mereka lupa materi pelatihannya; ini berarti mereka tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Mereka dilepas di medan perang konstruksi hanya dengan bekal helm, sepatu bot, dan harapan. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang dilakukan setiap hari dengan nyawa manusia sebagai taruhannya.
Aturan yang Ada, Kepatuhan yang Tiada
Mungkin Anda berpikir, "Pasti ada aturannya, kan?" Tentu saja ada. Paper ini dengan jelas mengutip Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang pada pasal 70 ayat 1 menyatakan bahwa "Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang jasa konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja".1 Bahkan ada sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja bagi yang melanggar.
Lalu, bagaimana kenyataannya di lapangan? Penelitian ini mengungkap sebuah "jurang kepatuhan" yang masif. Sebanyak 68% pekerja yang disurvei ternyata tidak memiliki sertifikat kompetensi yang diwajibkan oleh hukum.1
Ini bukan lagi sekadar kelalaian individu. Ini adalah kegagalan sistemik. Ketika dua dari tiga pekerja di lapangan tidak memenuhi syarat legal yang paling mendasar, ini menandakan ada yang salah dengan pengawasan, implementasi, dan mungkin juga kesadaran para penyedia jasa konstruksi itu sendiri. Para pekerja seperti Bayu bukan penyebab masalah ini; mereka adalah korban dari sebuah sistem yang belum berjalan sebagaimana mestinya.
Cahaya di Ujung Terowongan: Pelatihan Ternyata Adalah Kuncinya
Di tengah data-data yang terasa suram, para peneliti menemukan seberkas cahaya. Mereka tidak berhenti pada identifikasi masalah, tapi juga mencari pembuktian apakah solusi yang selama ini kita yakini—yaitu pelatihan—benar-benar bekerja.
Momen "Aha!" dari Uji Chi-Square
Para peneliti menggunakan sebuah alat statistik bernama Uji Chi-Square. Anda tidak perlu tahu rumusnya ($x^{2}=\frac{\Sigma(fo-fe)^{2}}{fe}$) untuk mengerti hasilnya.1 Bayangkan saja alat ini seperti "detektor hubungan" yang sangat canggih. Ia bisa memberitahu kita apakah dua hal saling berkaitan secara nyata atau hanya kebetulan semata.
Dan untuk pertanyaan "Apakah ada hubungan antara pernah ikut pelatihan K3 dengan kesadaran bekerja secara aman?", detektor itu berbunyi sangat nyaring.
Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan secara statistik. Angka signifikansinya adalah $p=0,0168$.1 Dalam dunia statistik, setiap nilai di bawah 0,05 dianggap signifikan. Jadi, 0,0168 adalah angka yang sangat meyakinkan. Ini adalah bukti matematis bahwa pelatihan K3 BUKAN sekadar formalitas. Ia benar-benar mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran para pekerja untuk bekerja dengan lebih aman. Ini adalah momen "aha!" dari penelitian ini.
Efek Dosis: Semakin Sering, Semakin Aman
Penelitian ini menemukan sesuatu yang lebih kuat lagi. Ternyata, efek pelatihan ini mirip seperti minum vitamin—efeknya semakin terasa jika dilakukan secara rutin. Ini bukan soal "sudah pernah" atau "belum pernah" saja. Frekuensi menjadi sangat penting.
Lihatlah data yang luar biasa ini: di antara para pekerja yang pernah mengikuti pelatihan K3 lebih dari tiga kali, 100% dari mereka setuju bahwa pelatihan itu sangat mempengaruhi kesadaran mereka untuk bekerja dengan aman.1 Angka ini turun menjadi 75% bagi yang pernah ikut dua kali, dan 43% bagi yang baru ikut sekali.1
Pola ini sangat jelas. Keselamatan bukanlah pil yang cukup diminum sekali seumur hidup. Ia adalah otot yang harus dilatih secara berkala agar tetap kuat dan waspada. Satu sesi pelatihan mungkin bisa membuka mata, tapi pelatihan yang berulang-ulanglah yang membangun kebiasaan dan menanamkan budaya aman hingga ke alam bawah sadar. Ini adalah argumen telak untuk menentang pendekatan "centang kotak" dalam pelatihan K3.
Temuan yang Paling Mengejutkan: Ijazah Bukanlah Jaminan
Di sinilah paper ini benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya, dan mungkin juga asumsi Anda. Logika umum kita seringkali berkata: semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah ia menyerap informasi, termasuk materi pelatihan. Orang dengan ijazah SMA seharusnya lebih cepat paham daripada yang lulusan SMP, bukan?
Ternyata, data berkata lain.
Para peneliti kembali menggunakan "detektor hubungan" mereka untuk melihat apakah ada kaitan antara tingkat pendidikan (SD/SMP vs. SMA) dengan pengaruh pelatihan K3 terhadap kesadaran keselamatan. Hasilnya? Tidak ada hubungan signifikan sama sekali, dengan nilai $p=0,231$.1 Angka ini jauh di atas ambang batas 0,05, yang artinya secara statistik, tingkat pendidikan formal tidak terbukti menjadi faktor penentu.
Ini adalah pesan yang luar biasa kuat dan demokratis. Keselamatan di tempat kerja bukanlah hak eksklusif mereka yang berijazah tinggi. Ia adalah hak fundamental setiap pekerja. Kemampuan untuk menjadi aman dan sadar akan risiko tidak diukur dari rapor sekolah, melainkan dari kualitas dan relevansi pelatihan yang mereka terima. Seorang pekerja lulusan SD sama mampunya untuk menjadi agen keselamatan bagi dirinya dan rekan-rekannya seperti halnya seorang lulusan SMA, asalkan ia diberi kesempatan belajar dengan cara yang tepat.
"Jangan Cuma Bicara, Tunjukkan Caranya!": Suara Pekerja dari Lapangan
Jika kita sudah tahu bahwa pelatihan itu krusial dan bisa diakses oleh siapa saja terlepas dari latar belakang pendidikannya, pertanyaan logis berikutnya adalah: pelatihan seperti apa yang paling efektif?
Daripada berspekulasi, para peneliti langsung bertanya kepada sumbernya: para pekerja itu sendiri. Dan jawaban mereka sangat lantang dan jelas.
Sebanyak 77% responden menginginkan metode pelatihan dengan cara praktik langsung.1 Hanya sebagian kecil yang memilih metode ceramah (13%) atau video/visual (10%).1 Ini bukan sekadar preferensi, ini adalah sebuah mandat. Para pekerja, yang setiap hari bekerja dengan tangan mereka, secara intuitif tahu bahwa mereka belajar paling baik dengan cara yang sama: dengan melakukan, bukan hanya mendengar atau melihat.
Ini adalah kritik telak bagi program-program pelatihan yang hanya mengandalkan slide PowerPoint di ruangan ber-AC. Para pekerja tidak butuh lebih banyak teori; mereka butuh simulasi. Mereka tidak butuh ceramah panjang; mereka butuh merasakan langsung bagaimana cara memasang harness pengaman dengan benar, bagaimana cara mengidentifikasi struktur galian yang tidak stabil, atau bagaimana cara menggunakan alat pemadam api ringan. Mereka meminta pembelajaran kinestetik.
Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) yang berfokus pada kursus online berbasis kompetensi praktis menjadi sangat relevan. Platform semacam ini dapat menjembatani kebutuhan akan pembelajaran yang aplikatif dan mudah diakses, memberikan pengetahuan yang bisa langsung dipraktikkan di lapangan.
Refleksi dan Kritik Halus: Apa yang Tidak Dikatakan oleh Data?
Studi ini brilian dalam mengukur "kesadaran." Temuannya bahwa pelatihan K3 secara signifikan meningkatkan kesadaran adalah sebuah kemenangan besar. Namun, sebagai seorang praktisi yang terbiasa melihat implementasi di dunia nyata, saya tahu ada satu langkah lagi yang krusial: menjembatani kesenjangan antara kesadaran (awareness) dan perilaku konsisten (consistent behavior) di lapangan.
Paper ini, karena keterbatasannya (yang diakui oleh para penulis, seperti cakupan wilayah dan jumlah responden yang terbatas), belum mengukur apakah peningkatan kesadaran ini berhasil diterjemahkan menjadi penurunan angka kecelakaan atau insiden nyaris celaka.1 Ini tentu bukan kelemahan studi, melainkan sebuah panggilan untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. Kita sudah tahu cara membuat pekerja 'tahu' akan bahayanya. Tantangan kita berikutnya adalah membangun sistem dan budaya perusahaan yang memastikan mereka 'melakukan' hal yang aman, setiap saat, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi.
Pelajaran yang Bisa Kita Bawa Pulang Hari Ini
Jika saya harus merangkum seluruh kebijaksanaan dari 14 halaman paper ini ke dalam beberapa poin singkat, inilah dia:
🚀 Hasilnya Luar Biasa: Pelatihan K3 bukan sekadar formalitas birokrasi. Ia terbukti secara statistik ($p=0,0168$) mampu meningkatkan kesadaran pekerja untuk bekerja dengan aman. Ini adalah investasi yang terukur dampaknya.1
🧠 Inovasinya: Lupakan asumsi lama. Studi ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan formal tidak ada hubungannya dengan keberhasilan pelatihan keselamatan. Kemauan untuk belajar dan cara penyampaian yang tepat jauh lebih penting.1
💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir 'satu untuk semua'. Dengarkan audiens Anda. Pekerja konstruksi kita (77% dari mereka) meminta pelatihan praktik, bukan teori. Berikan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang paling mudah kita sediakan.1
Langkah Anda Selanjutnya: Dari Membaca Menjadi Bertindak
Membaca tulisan ini adalah langkah pertama yang baik. Tapi perubahan nyata terjadi saat pengetahuan diubah menjadi tindakan.
Jika Anda seorang manajer, pemimpin tim, atau profesional HR di industri konstruksi atau industri berisiko tinggi lainnya, tanyakan pada diri Anda hari ini: Kapan terakhir kali tim Anda mendapatkan pelatihan K3 yang benar-benar praktis dan interaktif? Apakah program Anda hanya dirancang untuk mencentang kotak kepatuhan, atau untuk benar-benar membangun otot keselamatan?
Keselamatan bukan hanya tugas mandor atau manajer K3. Ia adalah tanggung jawab kita bersama. Kita semua, sebagai bagian dari ekosistem industri, punya peran untuk memastikan setiap 'Bayu' di luar sana tidak hanya diberi helm, tapi juga pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri untuk pulang ke rumah menemui keluarga mereka dalam keadaan selamat setiap hari.
Diskusi ini baru permulaan. Jika Anda ingin menyelami data dan metodologi yang mendasari cerita ini, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Pengetahuan adalah langkah pertama menuju perubahan yang lebih baik.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025
Pendahuluan: Arsitektur Tak Kasat Mata Bernama Keselamatan
Saya punya kebiasaan buruk. Saat menyeberang jalan kecil yang sepi di dekat rumah, terkadang saya melirik ponsel—sekadar mengecek notifikasi terakhir. Saya tahu itu berisiko, tapi saya sudah "menghitungnya". Kemungkinannya kecil, dampaknya (semoga) tidak besar. Kita semua melakukan kalkulasi mikro seperti ini setiap hari, menimbang-nimbang antara kenyamanan dan bahaya dalam skala kecil.
Namun, bayangkan jika kalkulasi itu bukan tentang notifikasi, melainkan tentang hidup dan mati. Bayangkan jika setiap langkah yang kamu ambil di tempat kerja adalah pertaruhan antara menyelesaikan tugas dan pulang dengan selamat. Inilah dunia yang dihadapi para pekerja konstruksi setiap hari. Dan sering kali, persepsi kita—dan mereka—tentang risiko mana yang paling penting ternyata salah besar.
Baru-baru ini saya menemukan sebuah paper penelitian yang, terus terang, mengubah cara saya memandang data dan bahaya. Judulnya terdengar akademis: "Studi tentang Keselamatan Konstruksi dalam Proyek Konstruksi Bangunan di Kota Metropolitan Bharatpur". Tapi di balik judul itu, ada sebuah cerita manusia yang diceritakan melalui angka. Studi ini mengintip ke dalam tujuh lokasi proyek bangunan yang sedang berjalan di Nepal untuk menilai praktik keselamatan, memberi peringkat pada bahaya yang ada, dan mencari cara untuk memperbaikinya.
Apa yang ditemukan para peneliti ini bukan hanya relevan untuk mandor di Nepal. Ini adalah cermin bagi kita semua. Paper ini adalah sebuah studi kasus yang brilian tentang bagaimana manusia—baik sebagai individu maupun organisasi—secara sistematis meremehkan risiko berkonsekuensi tinggi yang jarang terjadi, sambil terlalu fokus pada gangguan kecil yang terjadi setiap hari. Ini adalah pelajaran universal tentang arsitektur tak kasat mata yang menopang dunia kita: keselamatan.
Di Balik Angka: Kisah Pekerja Tanpa Jaring Pengaman
Untuk benar-benar memahami temuan studi ini, kita harus mulai dari manusianya. Para peneliti tidak hanya mengamati dari jauh; mereka berbicara dengan para pekerja, manajer, dan klien untuk memahami realitas di lapangan. Apa yang mereka temukan melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan.
Bayangkan Kamu Bekerja di Ketinggian, Tanpa Pernah Diajari Cara Turun
Mari kita lakukan eksperimen pikiran. Bayangkan hari pertamamu di kantor baru. Kamu diberi akses penuh ke sistem keuangan perusahaan, lengkap dengan wewenang untuk melakukan transfer. Tapi tidak ada satu pun yang memberimu pelatihan. Tidak ada yang menjelaskan apa arti setiap tombol, bagaimana prosedur persetujuannya, atau apa konsekuensi dari kesalahan satu angka nol. Mengerikan, bukan?
Sekarang, ganti "sistem keuangan" dengan "bekerja di atas perancah setinggi lima lantai", dan "kesalahan angka nol" dengan "satu langkah yang salah". Itulah kenyataan pahit yang terungkap dalam studi ini. Salah satu statistik yang paling mengejutkan adalah ini: 83,85% pekerja konstruksi di lokasi yang diteliti tidak pernah menerima pelatihan apa pun terkait keselamatan kerja.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah potret kelalaian sistemik. Ini berarti delapan dari sepuluh orang yang membangun rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan gedung-gedung penting lainnya di kota itu bekerja hanya dengan modal nekat dan insting. Data demografis menunjukkan bahwa mayoritas pekerja ini berada di usia produktif (26-35 tahun) dan memiliki pengalaman kerja 3-5 tahun. Mereka bukan pemula. Mereka adalah pekerja berpengalaman yang, kemungkinan besar, bertahan hidup selama ini karena keberuntungan, bukan karena pengetahuan. Mereka telah terbiasa dengan lingkungan berisiko tinggi, menormalkan bahaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pekerjaan.
Helm yang Tergantung dan Sepatu Bot yang Tertinggal
Ketika pelatihan ditiadakan, kepatuhan menjadi pilihan, bukan kewajiban. Dan data penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam studi ini menunjukkan betapa berbahayanya situasi tersebut. Penggunaan APD sangat rendah dan, yang lebih mengkhawatirkan, sangat tidak konsisten.
Bayangkan dua proyek di kota yang sama, di bawah peraturan yang seharusnya sama. Namun, praktiknya seperti dua dunia yang berbeda:
Di lokasi pembangunan Newton Hospital, penggunaan helm mencapai 43,64%. Lumayan, tapi masih kurang dari separuh.
Namun, di lokasi Bharatpur City Hall, angka itu anjlok menjadi hanya 11,48%. Artinya, hampir 9 dari 10 pekerja di sana membiarkan kepala mereka tanpa pelindung.
Pola yang sama terlihat pada penggunaan sepatu bot pengaman. Di satu lokasi, tingkat pemakaiannya bisa mencapai 45,45%, sementara di lokasi lain hanya 18,75%.
Variasi yang liar ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Ini menandakan bahwa keselamatan di Bharatpur tidak diatur oleh standar industri atau penegakan hukum yang kuat. Sebaliknya, keselamatan bersifat arbitrer. Budaya keselamatan di sebuah proyek bergantung sepenuhnya pada kemauan mandor, kontraktor, atau manajer proyek individu hari itu. Mereka adalah regulator de facto di wilayah kekuasaan mereka. Ini menempatkan beban tanggung jawab yang luar biasa di pundak para pemimpin di lapangan, sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang ada.
Kalkulus Bencana: Membedah Apa yang Sebenarnya Membunuh di Lokasi Proyek
Bagian paling cemerlang dari studi ini, menurut saya, adalah cara mereka membedah konsep "risiko". Mereka tidak hanya bertanya, "Kecelakaan apa yang paling sering terjadi?" Mereka menggali lebih dalam untuk memahami perbedaan krusial antara frekuensi dan fatalitas.
Bukan Bahaya yang Paling Sering, Tapi yang Paling Mengerikan
Para peneliti menggunakan metode penilaian risiko yang cerdas. Mereka menghitung Skor Risiko dengan mengalikan dua faktor: Kemungkinan (Likelihood)—seberapa sering sebuah insiden terjadi—dan Konsekuensi (Consequences)—seberapa parah dampaknya jika terjadi.
Bayangkan risiko seperti volume suara. Ada suara yang sering kita dengar tapi pelan, seperti notifikasi ponsel. Mengganggu, tapi tidak berbahaya. Lalu ada suara yang jarang sekali terdengar tapi memekakkan telinga, seperti alarm kebakaran. Suara inilah yang menuntut perhatian penuh kita.
Studi ini menemukan bahwa para pekerja di lokasi konstruksi hidup dengan "notifikasi ponsel" yang berisik setiap hari. Insiden yang paling sering mereka alami, dengan skor kemungkinan tertinggi (Relative Importance Index atau RII sebesar 0.864), adalah "Tertimpa limbah dan bahan mentah yang diletakkan sembarangan" (Struck by wastage and raw materials placed haphazardly). Ini adalah bahaya yang konstan, mengganggu, dan menyebabkan cedera ringan.
Namun, "alarm kebakaran" yang sesungguhnya—risiko dengan konsekuensi paling fatal (RII 0.923)—adalah "Jatuh dari ketinggian" (Falling from height). Insiden ini mungkin tidak terjadi setiap hari, tetapi ketika terjadi, dampaknya bisa katastropik.
Pemisahan antara "yang paling sering" dan "yang paling mematikan" ini adalah inti dari manajemen risiko yang efektif. Ini memaksa kita untuk mengalihkan fokus dari sekadar memadamkan api-api kecil ke upaya mencegah ledakan besar.
Tiga Risiko Ekstrem yang Menuntut Perhatian Penuh
Dengan mengalikan skor Kemungkinan dan Konsekuensi, para peneliti memetakan setiap bahaya ke dalam matriks risiko, mulai dari "Rendah" hingga "Ekstrem". Tiga jenis kecelakaan secara konsisten mendarat di zona merah paling berbahaya.
Tiga Rahasia Sederhana untuk Dunia Kerja yang Lebih Aman
Setelah mengidentifikasi masalah dengan begitu jelas, bagian terbaik dari studi ini adalah solusinya ternyata sangat sederhana, berbiaya rendah, dan berfokus pada manusia. Para peneliti meminta semua pemangku kepentingan—pekerja, klien, konsultan, dan kontraktor—untuk memberi peringkat pada langkah-langkah perbaikan yang paling efektif. Tiga teratas bukanlah tentang membeli teknologi mahal atau merombak seluruh sistem. Semuanya tentang mengubah perilaku sehari-hari.
Kekuatan dari Obrolan Lima Menit Setiap Pagi
Rekomendasi nomor satu, dengan skor RII tertinggi 0.91818, adalah "Pengarahan keselamatan sebelum mulai kerja setiap hari di lokasi proyek" (Safety brief before start of work each day on work site).
Ini terdengar sangat sederhana, bukan? Tapi pikirkan dampaknya. Ini bukan tentang birokrasi atau mengisi formulir. Ini tentang ritual. Ini tentang seorang mandor mengumpulkan timnya, menatap mata mereka, dan berkata, "Oke kawan-kawan, hari ini kita akan bekerja di sisi utara. Area itu licin karena hujan semalam. Pastikan perancah sudah diperiksa. Ali, kamu yang awasi kabel listrik. Kita jaga satu sama lain."
Percakapan lima menit ini secara langsung mengatasi masalah budaya keselamatan yang arbitrer. Ia menciptakan standar harian, membangun kesadaran kolektif, dan mengubah keselamatan dari aturan di atas kertas menjadi tanggung jawab bersama. Biayanya? Hampir nol. Dampaknya? Paling tinggi menurut orang-orang yang paling tahu.
Belajar Bukan Sekali, Tapi Berkali-kali
Dua rekomendasi berikutnya saling melengkapi dengan sempurna: "Pelatihan & kesadaran rutin terkait K3 untuk pekerja" (RII 0.89758) dan "Penggunaan APD secara wajib di lokasi konstruksi" (RII 0.89455).
Ini menegaskan kembali apa yang kita lihat sebelumnya: masalahnya bukan karena pekerja tidak mau aman, tetapi sering kali karena mereka tidak pernah diajari caranya secara konsisten. Pelatihan bukanlah acara satu kali, melainkan proses berkelanjutan. Dan kewajiban menggunakan APD tanpa pelatihan dan pengawasan hanyalah aturan kosong.
Ketiga solusi teratas ini—percakapan harian, pelatihan rutin, dan penegakan aturan dasar—semuanya bersifat perilaku dan budaya. Ini adalah sebuah kesimpulan yang memberdayakan. Studi ini menunjukkan bahwa perbaikan keselamatan yang paling signifikan tidak harus datang dari investasi modal yang besar. Ia datang dari investasi pada manusia, komunikasi, dan konsistensi. Tantangannya bukan pada dompet, melainkan pada kemauan.
Jika kamu seorang manajer proyek atau profesional yang ingin menerapkan budaya ini secara sistematis, memahami fondasinya adalah kunci. Ada sumber daya hebat seperti kursus online (https://www.diklatkerja.com/course/prinsip-prinsip-manajemen-risiko-pada-proyek-konstruksi/) di Diklatkerja yang bisa membantu membangun kerangka kerja yang solid untuk timmu.
Refleksi Pribadi: Pertanyaan yang Lupa Diajukan Studi Cemerlang Ini
Sebagai seseorang yang terobsesi dengan cerita di balik data, saya sangat mengagumi metodologi kuantitatif dalam penelitian ini. Studi ini brilian dalam mengukur 'apa' dan 'seberapa banyak'. Data yang mereka kumpulkan sangat kuat dan kesimpulannya tak terbantahkan. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menggema di benak saya saat membacanya.
Di Balik "Kenapa Tidak Pakai Helm?": Sebuah Misteri yang Belum Terpecahkan
Studi ini memberitahu kita bahwa hanya 11,48% pekerja di Bharatpur City Hall yang memakai helm. Tapi ia tidak memberitahu kita mengapa.
Mengapa seorang pekerja berpengalaman memutuskan untuk tidak memakai pelindung kepalanya hari itu? Apakah karena helmnya tidak nyaman di bawah terik matahari Nepal? Apakah karena panas dan membuat berkeringat? Apakah ada tekanan sosial untuk tampil "berani" atau "tangguh" di depan rekan-rekannya? Atau mungkin, helm yang disediakan berkualitas buruk, tidak pas, atau bahkan sudah rusak?
Di sinilah saya merasa ada sebuah bab yang hilang—bab kualitatif. Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang murni kuantitatif terasa agak terlalu abstrak untuk pemula dalam memahami akar masalah perilaku. Angka memberitahu kita ada masalah, tapi cerita memberitahu kita di mana harus memulai perbaikan. Wawancara mendalam, kelompok diskusi terfokus, atau observasi etnografis bisa melengkapi angka-angka ini dengan narasi yang kaya. Ini akan memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang hambatan psikologis, budaya, dan praktis yang menghalangi penerapan keselamatan di lapangan.
Kesimpulan: Keselamatan Bukanlah Buku Aturan, Melainkan Percakapan
Pada akhirnya, studi kecil dari Bharatpur, Nepal, ini mengajarkan kita sebuah pelajaran universal yang mendalam. Peningkatan keselamatan yang nyata dan menyelamatkan nyawa tidak selalu datang dari teknologi yang lebih canggih atau buku peraturan yang lebih tebal. Sering kali, ia datang dari praktik-praktik yang paling mendasar dan manusiawi: berbicara satu sama lain setiap hari, meluangkan waktu untuk belajar dan mengajar, dan cukup peduli untuk menegakkan standar dasar secara konsisten.
Keselamatan bukanlah tujuan akhir yang bisa dicapai, melainkan sebuah percakapan tanpa henti.
Setelah membaca ini, saya ingin meninggalkanmu dengan satu pertanyaan: Risiko apa dalam pekerjaan atau hidupmu yang mungkin selama ini kamu salah nilai? Dan percakapan sederhana apa yang bisa kamu mulai besok untuk membuatnya sedikit lebih aman bagi dirimu dan orang-orang di sekitarmu?
Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dalam studi aslinya. Kalau kamu tertarik dengan ini dan ingin menyelam lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025
Lencana Kehormatan dengan Peringatan Tersembunyi
Saya terobsesi dengan optimalisasi. Pola makan, jadwal olahraga, alur kerja produktivitas saya. Tapi saya pernah begitu fokus untuk mencapai rekor lari pribadi terbaik sehingga saya mengabaikan nyeri lutut yang mengganggu, yang akhirnya membuat saya harus istirahat selama sebulan. Saya telah mengoptimalkan satu metrik—kecepatan—dengan mengorbankan metrik yang lebih penting: kesehatan saya secara keseluruhan. Ternyata, industri konstruksi mungkin sedang melakukan kesalahan serupa, tetapi dengan taruhan yang jauh lebih tinggi.
Kita semua tahu sertifikasi bangunan hijau seperti LEED (Leadership in Energy and Environmental Design). Itu adalah standar emas, sebuah lencana kehormatan bagi para pengembang, tanda kemajuan, dan sesuatu yang kita semua banggakan. Sertifikasi ini menandakan konsumsi energi yang lebih rendah, kualitas udara yang lebih baik bagi penghuni, dan jejak karbon yang lebih kecil. Sebuah kemenangan mutlak, bukan?
Tapi bagaimana jika, dalam perlombaan kita untuk mendapatkan lencana hijau itu, kita telah mengabaikan bagian penting dari persamaan? Bagaimana jika proses membuat bangunan menjadi 'sehat' bagi planet dan penghuninya di masa depan justru membuatnya lebih berbahaya bagi orang-orang yang membangunnya? Sebuah studi yang baru-baru ini saya temukan menunjukkan bahwa ini bukan hanya kemungkinan—ini adalah kenyataan yang terdokumentasi.
Sebuah Studi yang Membuat Saya Memikirkan Ulang Segalanya Tentang "Hijau"
Saya menemukan sebuah paper penelitian dari Jieling Huang dan rekan-rekannya di Universitas Manchester yang benar-benar mengubah cara pandang saya. Ini bukan sekadar teks akademis yang kering, melainkan sebuah karya investigasi yang mengungkap kebenaran yang tidak nyaman. Para peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap 39 artikel untuk menyatukan kepingan-kepingan teka-teki ini, memberikan kredibilitas yang kuat pada temuan mereka.
Kesimpulan mereka mengejutkan saya: aktivitas yang diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan tidak menciptakan bahaya baru. Sebaliknya, aktivitas tersebut secara dramatis meningkatkan frekuensi paparan pekerja terhadap bahaya paling tua dan paling umum dalam dunia konstruksi. Ini bukan tentang material baru yang eksotis; ini tentang melakukan lebih banyak pekerjaan tradisional yang paling berisiko.
🚀 Temuan Mengejutkan: Mengejar sertifikasi hijau ternyata terkait dengan risiko cedera yang lebih tinggi bagi pekerja konstruksi.
🧠 Alasan Utamanya: Bukan bahaya baru, melainkan paparan yang lebih sering terhadap bahaya yang sudah ada, seperti bekerja di ketinggian atau menangani material berat/tajam secara manual.
💡 Pelajaran Penting: Keberlanjutan sejati harus mencakup kesejahteraan para pekerja, bukan hanya lingkungan dan penghuni. Sebuah proyek tidak bisa disebut 'berkelanjutan' jika membahayakan keselamatan pekerjanya.
Studi ini menyoroti sebuah paradoks mendasar dalam konsep keberlanjutan itu sendiri. Kita memprioritaskan keberlanjutan lingkungan (energi, limbah) dan keberlanjutan sosial yang berfokus pada penghuni (kualitas udara dalam ruangan). Namun, kita sering kali mengabaikan komponen keberlanjutan sosial yang berlaku bagi tenaga kerja konstruksi: kesehatan dan keselamatan kerja (K3) mereka. Paper ini menegaskan bahwa K3 adalah "indikator paling signifikan dari keberlanjutan sosial," namun sistem peringkat yang ada saat ini sebagian besar mengabaikannya. Hasilnya adalah sebuah ironi: sebuah bangunan bisa disertifikasi sebagai "berkelanjutan" sementara dibangun dengan cara yang secara sosial tidak berkelanjutan bagi para pembuatnya.
Dua Biang Keladi Utama: Ketika Niat Baik Menciptakan Zona Bahaya
Studi ini menjadi sangat spesifik, menunjuk pada dua area utama di mana niat baik menjadi bumerang. Anggap saja mereka sebagai contoh utama dari masalah tersembunyi ini: panel surya dan tempat sampah daur ulang.
Jatuh Demi Masa Depan yang Lebih Hijau
Kita semua menginginkan energi terbarukan. Untuk mendapatkan kredit LEED seperti 'Energi Terbarukan di Lokasi' (EA 2), pengembang memasang panel surya di atap. Niatnya sangat mulia.
Namun, di sinilah masalahnya muncul. Pemasangan panel surya (diberi kode Peristiwa E1 dalam studi) berarti lebih banyak pekerja menghabiskan lebih banyak waktu di atap—sering kali di permukaan yang tinggi, terbuka, dan penuh barang. Panel itu sendiri bisa berat dan sulit dipegang.
Ini bukan sekadar asumsi. Para peneliti menemukan bahwa 'Jatuh dari ketinggian' (Bahaya H1) adalah bahaya terkait keberlanjutan kedua yang paling sering disebutkan dalam semua literatur yang mereka ulas (disebutkan 22 kali). Dan penyebab utamanya? Pemasangan panel surya (Peristiwa E1), aktivitas berisiko kedua yang paling sering dikutip (disebutkan 15 kali).
Luka Tersembunyi dari Pengelolaan Limbah
Mengurangi sampah TPA adalah prinsip inti dari bangunan hijau. Untuk mendapatkan kredit berharga 'Manajemen Limbah Konstruksi' (MR 2), proyek harus mengalihkan sebagian besar limbah mereka dari TPA.
Cara paling umum untuk melakukannya adalah pemilahan di lokasi. Ini berarti para pekerja ditugaskan untuk secara manual mengambil material yang dapat didaur ulang dari tempat sampah (Peristiwa E25). Mereka berulang kali mengangkat benda berat, menangani material dengan ujung tajam (paku yang menonjol, pecahan beton), dan meningkatkan paparan mereka terhadap keseleo, ketegangan otot, luka sayat, dan tusukan.
Data dari studi ini sangat jelas. 'Cedera penanganan manual' (Bahaya H2) adalah bahaya #1 yang paling sering dikutip, disebutkan 24 kali. Penyebabnya? 'Mengambil material yang dapat didaur ulang' (Peristiwa E25) adalah peristiwa berisiko #1 yang paling sering dikutip, muncul 20 kali di seluruh studi. Hubungannya langsung dan tidak dapat disangkal.
Risiko-risiko ini bukanlah produk sampingan yang tidak disengaja; mereka adalah hasil yang dapat diprediksi dari struktur insentif yang diciptakan oleh sistem peringkat itu sendiri. Sistem ini memberi penghargaan pada hasil (misalnya, 75% limbah dialihkan) tanpa menentukan atau memberi penghargaan pada proses yang aman untuk mencapainya. Akibatnya, sistem peringkat itu sendiri menciptakan insentif yang kuat untuk mengadopsi proses kerja yang diketahui berbahaya. Bahaya ini bukanlah sebuah bug; ini adalah fitur dari desain sistem.
Ini Bukan Sekadar Teori: Menghubungkan Titik-titik ke LEED
Ini bukan hanya kumpulan masalah yang tidak saling berhubungan. Para peneliti menarik garis lurus dari daftar periksa resmi LEED ke bahaya spesifik di lapangan. Ini seperti menemukan buku manual tentang bagaimana risiko-risiko ini diciptakan.
Alih-alih menyajikan tabel yang rumit, mari kita lihat temuannya sebagai serangkaian pernyataan "Jika Anda menginginkan kredit ini... Anda melakukan ini... dan inilah risikonya":
Ingin kredit Energi Terbarukan di Lokasi (EA 2)? Anda akan memasang panel surya, yang menurut data terkait langsung dengan risiko jatuh, cedera penanganan manual, dan sengatan listrik.
Mengejar kredit Manajemen Limbah Konstruksi (MR 2)? Tim Anda akan memilah sampah secara manual, yang menyebabkan tingginya frekuensi cedera penanganan manual dan masalah pernapasan akibat debu dan partikel.
Membidik kredit Efek Pulau Bahang—Atap (SS 7.2)? Anda akan menggunakan membran TPO yang sangat reflektif. Studi ini mencatat bahwa bahan ini "sangat menyilaukan, berat, dan licin," yang meningkatkan risiko jatuh, ketegangan mata, dan cedera penanganan.
Hal ini menyoroti kesenjangan kritis dalam manajemen proyek: menyeimbangkan tujuan keberlanjutan dengan keselamatan operasional. Bagi para profesional yang ingin memperdalam pemahaman mereka tentang manajemen risiko dalam proyek modern, pelatihan khusus seperti kursus yang ditawarkan oleh (https://diklatkerja.com) dapat memberikan kerangka kerja penting untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko-risiko yang kompleks dan saling terkait ini.
Pandangan Saya: Sebuah Kebenaran yang Cemerlang dan Tidak Nyaman
Membaca paper ini terasa penting. Di dunia yang sudah selayaknya merayakan keberlanjutan, dibutuhkan keberanian untuk menunjukkan bahwa metode kita mungkin memiliki kekurangan. Para penulis tidak mengatakan 'jangan membangun secara hijau'. Mereka meminta kita untuk mendefinisikan ulang 'hijau' agar mencakup manusia yang menuangkan beton dan mendirikan dinding. Mereka mengingatkan kita bahwa 'keberlanjutan sosial' sebuah bangunan dimulai jauh sebelum penghuni pertama pindah.
Jika ada satu kritik kecil dari saya, itu adalah sifat studi ini—sebuah tinjauan literatur—yang menyajikan gambaran tentang masalah, tetapi tidak dapat sepenuhnya menangkap solusi yang mungkin sudah dipraktikkan. Studi ini menganalisis risiko yang melekat dalam desain sistem, tetapi tidak memperhitungkan perusahaan konstruksi inovatif yang mungkin menggunakan protokol keselamatan canggih, pemilahan robotik, atau teknik instalasi yang lebih aman untuk mendapatkan poin LEED mereka tanpa membahayakan pekerja mereka. Paper ini dengan ahli mengidentifikasi 'apa masalahnya', tetapi 'bagaimana cara memperbaikinya' adalah pertanyaan besar berikutnya.
Apa Artinya Ini Bagi Kita: Membangun dengan Lebih Baik, dan Lebih Aman
Pesannya bukanlah untuk meninggalkan LEED atau bangunan hijau. Ini adalah panggilan untuk berevolusi. Kita perlu berhenti melihat keselamatan pekerja dan keberlanjutan lingkungan sebagai dua tujuan yang terpisah.
Beberapa pemikiran yang bisa ditindaklanjuti:
Untuk Profesional Industri: Mulailah bertanya, "Apa cara teraman untuk mencapai kredit ini?" bukan hanya "Apa cara termurah/tercepat?"
Untuk Pembuat Kebijakan & Badan Sertifikasi (LEED, dll.): Sudah waktunya untuk mengintegrasikan K3 pekerja secara langsung ke dalam sistem peringkat. Berikan poin untuk inovasi keselamatan, bukan hanya inovasi lingkungan.
Untuk Kita Semua: Ketika kita merayakan gedung LEED Platinum yang baru, mari kita juga bertanya, "Apakah gedung itu dibangun dengan aman?" Mari kita perluas definisi kita tentang 'bangunan yang baik'.
Pada akhirnya, bangunan hijau yang sejati bukan hanya yang menopang planet ini. Ia adalah bangunan yang menopang kehidupan dan kesehatan setiap orang yang terlibat dalam penciptaannya.
Selami Datanya Lebih Dalam
Tulisan ini hanya menggores permukaan. Jika Anda sama terpesonanya dengan saya, saya sangat menganjurkan Anda untuk membaca penelitian aslinya. Isinya padat, tetapi wawasannya sangat berharga.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 Oktober 2025
Pembuka: Cerita di Balik Jalan yang Kita Lewati Setiap Hari
Beberapa bulan lalu, ada proyek perbaikan jalan di dekat rumah saya. Setiap pagi, suara mesin diesel yang menderu menjadi alarm pengganti. Dari jendela, saya bisa melihat sebuah koreografi yang rumit dan kacau—eksavator menggaruk aspal lama, truk-truk hilir mudik, dan sekelompok pria berhelm kuning bergerak di tengah debu dan panas yang menyengat. Pemandangan itu terasa biasa, bagian dari denyut nadi sebuah kota yang terus bertumbuh.
Tapi suatu hari, saya berhenti sejenak dan benar-benar memperhatikan. Saya melihat seorang pekerja duduk di tepi trotoar, melepas sarung tangannya yang usang, dan menatap kosong ke kejauhan. Wajahnya lelah, berlumur debu dan keringat. Di tengah bisingnya mesin dan panasnya aspal, pernahkah kita benar-benar melihat orang-orang yang membangunnya? Apa cerita mereka? Apa yang mereka rasakan, apa yang mereka khawatirkan saat bekerja di salah satu lingkungan paling berbahaya di dunia?
Kita sering kali hanya melihat hasilnya: jalan mulus yang kita lewati setiap hari, gedung pencakar langit yang megah, jembatan yang menghubungkan kota. Kita menikmati kemajuan, tapi kita jarang sekali memikirkan biaya manusianya. Infrastruktur yang tampak kokoh itu dibangun di atas pundak orang-orang yang sering kali tak terlihat, yang risikonya sering kali tak terhitung. Pertanyaan ini terus menghantui saya, sampai akhirnya saya tidak sengaja menemukan sebuah jendela ke dunia mereka—sebuah jurnal ilmiah yang kering di permukaan, namun menyimpan cerita yang begitu kuat di dalamnya.
Sebuah Jurnal dari Nepal yang Mengubah Perspektif Saya
Secara kebetulan, saya menemukan sebuah paper penelitian berjudul “Assessment of Safety and Health Practices in Road Construction” oleh Prashant Baral dan Madhav Prasad Koirala. Judulnya terdengar sangat teknis, penuh dengan jargon akademis yang biasanya hanya menarik bagi para insinyur atau spesialis keselamatan kerja. Tapi rasa penasaran mendorong saya untuk membacanya. Dan saya bersyukur telah melakukannya.
Paper ini bukanlah sekadar kumpulan data. Ia adalah sebuah cerita—cerita yang diceritakan melalui angka—tentang janji dan bahaya dari pembangunan di negara berkembang. Para peneliti ini melakukan sesuatu yang sederhana namun sangat penting. Mereka pergi ke beberapa lokasi proyek konstruksi jalan di kota Pokhara, Nepal, dan bertanya langsung kepada 103 pekerja dan pengawas di sana. Pertanyaannya pun lugas: Apakah praktik keselamatan dan kesehatan di tempat Anda bekerja sudah sesuai dengan standar minimum yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO)?.
Bagi yang belum tahu, ILO adalah badan PBB yang menetapkan standar perburuhan global, termasuk hak-hak dasar seperti lingkungan kerja yang aman dan sehat. Jadi, penelitian ini pada dasarnya adalah sebuah audit realitas. Seberapa jauh kesenjangan antara standar ideal yang disepakati di atas kertas dengan kenyataan pahit yang dihadapi para pekerja di lapangan?
Konteksnya pun sangat krusial. Seperti yang dijelaskan di awal paper, industri konstruksi adalah motor penggerak ekonomi, baik di negara maju maupun berkembang. Namun, industri ini juga memiliki sisi gelap. Tingkat kecelakaan fatal di negara berkembang bisa mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di negara seperti Nepal, di mana regulasi keselamatan masih dalam tahap awal, risikonya menjadi semakin besar. Para peneliti ingin memotret kondisi ini secara objektif. Apa yang mereka temukan jauh lebih meresahkan dari yang saya bayangkan.
Data yang Berbicara: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Lapangan?
Saat saya mulai menyelami tabel-tabel data dalam paper tersebut, sebuah pola yang mengkhawatirkan mulai muncul. Para peneliti menggunakan skala 1 sampai 5 untuk mengukur tingkat kepuasan para pekerja terhadap berbagai aspek keselamatan, di mana 3 adalah "netral". Skor di bawah 3 mengindikasikan ketidakpuasan. Angka-angka ini, ketika dibaca dengan saksama, melukiskan gambaran sebuah sistem yang gagal melindungi manusianya.
Alarm Paling Keras: Kesehatan dan Pertolongan Pertama yang Nyaris Tak Ada
Dari semua data yang disajikan, ada satu kategori yang membuat saya terdiam. Kategori “Health Hazards, First Aid and Occupational Health Services” (Bahaya Kesehatan, Pertolongan Pertama, dan Layanan Kesehatan Kerja) mendapatkan skor rata-rata kepuasan yang sangat rendah: hanya 2.42 dari 5.
Coba kita resapi angka itu. Skor 2.42 bukanlah sekadar statistik; itu adalah cerminan dari rasa was-was dan kerentanan yang dirasakan setiap hari oleh para pekerja. Bayangkan Anda bekerja dengan mesin berat, material berbahaya, dan risiko kecelakaan yang selalu mengintai, namun Anda tahu bahwa jika sesuatu terjadi, pertolongan mungkin tidak akan datang. Skor ini berarti para pekerja merasa tidak ada jaring pengaman.
Ketika saya melihat lebih dalam pada rinciannya, situasinya ternyata lebih buruk. Aspek dengan skor paling rendah di seluruh penelitian ada di kategori ini: “Noise and Vibration controls” (Pengendalian Kebisingan dan Getaran) hanya mendapat skor 1.97 dari 5. Ini bahkan tidak mencapai level "netral". Ini adalah suara ketidakpuasan yang aktif. Ini adalah para pekerja yang secara implisit berkata, “Pekerjaan ini merusak tubuh kami secara perlahan, dan tidak ada yang peduli.” Paparan kebisingan dan getaran terus-menerus dari mesin berat dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen dan gangguan muskuloskeletal, tapi data ini menunjukkan bahwa bahaya jangka panjang ini sama sekali diabaikan.
Aspek-aspek lain dalam kategori ini juga sama mengkhawatirkannya. Perlindungan terhadap zat berbahaya hanya mendapat skor 2.62, dan tindakan pencegahan saat bekerja di atmosfer berbahaya (seperti di area yang penuh debu atau asap aspal) hanya 2.45. Ini menunjukkan sebuah pola yang jelas: bahaya yang tidak terlihat atau yang dampaknya tidak langsung adalah yang paling sering diabaikan. Luka gores atau patah tulang adalah risiko yang terlihat. Tapi kerusakan paru-paru akibat debu silika atau kehilangan pendengaran terjadi secara perlahan, tanpa drama, dan tampaknya, tanpa perhatian dari manajemen. Ini adalah budaya kerja yang reaktif, bukan proaktif. Masalah baru ditangani ketika sudah menjadi krisis, sementara "pembunuh senyap" dibiarkan terus menggerogoti kesehatan para pekerja.
Fondasi Keselamatan yang Goyah: Dari Perancah hingga Pencegahan Jatuh
Jika kesehatan jangka panjang diabaikan, bagaimana dengan keselamatan dasar sehari-hari? Ternyata, kondisinya tidak jauh lebih baik. Kategori “Safety at Workplace” (Keselamatan di Tempat Kerja) secara keseluruhan hanya mendapat skor rata-rata 2.78, sementara “Scaffold and Ladders” (Perancah dan Tangga) lebih rendah lagi di angka 2.73. Keduanya berada di bawah ambang batas netral, menandakan ketidakpuasan yang signifikan.
Membaca rinciannya membuat saya merinding. Aspek “Prevention of unauthorized entry” (Pencegahan masuknya pihak yang tidak berwenang) hanya mendapat skor 2.37. Ini berarti area konstruksi yang berbahaya sering kali tidak diamankan dengan baik, membuka risiko tidak hanya bagi pekerja tetapi juga bagi masyarakat umum. “Fire prevention and fire fighting” (Pencegahan dan pemadaman kebakaran) juga sangat rendah di angka 2.59.
Ini bukan lagi sekadar cerita tentang pekerja yang lupa memakai helm. Ini adalah gambaran sebuah lingkungan kerja yang secara fundamental tidak aman. Perancah yang mungkin tidak kokoh, area kerja yang terbuka dan tidak terlindungi, serta persiapan yang minim jika terjadi kebakaran. Setiap hari kerja adalah sebuah pertaruhan. Kita sering mengasosiasikan bahaya konstruksi dengan kecelakaan tunggal yang dramatis, seperti jatuhnya material dari ketinggian. Tapi data ini menunjukkan bahaya yang jauh lebih berbahaya: sebuah sistem di mana risiko telah menjadi norma, bukan pengecualian.
Secercah Harapan di Tengah Debu Proyek?
Di tengah semua data yang suram ini, ada satu anomali. Satu-satunya kategori yang mendapat skor di atas netral adalah “Transport, Earth-Moving and Materials-Handling Equipment” (Transportasi, Alat Berat Penggali, dan Peralatan Penanganan Material), dengan skor rata-rata 3.21 dari 5. Para pekerja merasa cukup puas dengan cara alat-alat berat seperti eksavator, buldoser, dan road roller dioperasikan dan dikelola.
Awalnya, saya melihat ini sebagai berita baik. Tapi kemudian, sebuah pertanyaan sinis muncul di benak saya: mengapa justru area ini yang dinilai paling baik? Jawabannya mungkin terletak pada kalkulasi ekonomi. Sebuah eksavator atau buldoser adalah aset yang sangat mahal. Kesalahan dalam pengoperasiannya tidak hanya membahayakan operator, tetapi juga bisa menyebabkan kerusakan senilai ratusan juta rupiah dan menghentikan seluruh proyek. Konsekuensi kegagalannya bersifat langsung, mahal, dan sangat terlihat.
Ini adalah sebuah pengingat yang dingin bahwa terkadang, keselamatan dihargai bukan karena melindungi nyawa manusia, tetapi karena melindungi aset dan jadwal proyek. Keselamatan sebuah mesin yang mahal tampaknya menjadi prioritas yang lebih tinggi daripada kesehatan jangka panjang seorang pekerja yang (mungkin dianggap) bisa diganti. Data ini tidak hanya menunjukkan kelalaian; ia menyingkap sebuah sistem di mana keselamatan diperlakukan sebagai pos biaya yang dioptimalkan berdasarkan risiko finansial, bukan risiko kemanusiaan.
Paradoks Besar: Tahu Apa yang Benar, Tapi Gagal Melakukannya
Saat saya berpikir bahwa saya telah menemukan inti masalahnya—yaitu kelalaian dan kurangnya sumber daya—paper ini menyajikan satu lapisan lagi yang jauh lebih dalam dan, menurut saya, paling tragis. Para peneliti tidak hanya bertanya tentang praktik yang ada, mereka juga bertanya kepada para pekerja dan pengawas tentang pentingnya berbagai elemen keselamatan. Dan di sinilah paradoks itu terungkap.
Ketika ditanya seberapa penting perencanaan keselamatan, alokasi anggaran, dan pelatihan, jawabannya sangat positif.
Pentingnya Perencanaan (termasuk alokasi anggaran untuk keselamatan) dinilai tinggi dengan skor rata-rata 3.70.
Pentingnya Pelatihan dan Kesadaran juga dinilai sangat penting dengan skor 3.62.
Pentingnya Kesejahteraan dan Motivasi Pekerja (seperti penyediaan APD dan air minum) mendapat skor tertinggi, yaitu 3.71.
Di sinilah letak tragedi yang sebenarnya. Coba sandingkan dua set data ini. Di satu sisi, para pekerja dan pengawas memberikan skor sangat rendah (2.42, 2.73, 2.78) untuk praktik keselamatan di lapangan. Di sisi lain, mereka memberikan skor sangat tinggi (3.70, 3.62, 3.71) untuk pentingnya hal-hal tersebut.
Ini bukan cerita tentang ketidaktahuan. Semua orang di lapangan—dari pekerja paling junior hingga pengawas paling senior—tahu persis apa yang seharusnya dilakukan. Mereka tahu bahwa anggaran keselamatan itu penting. Mereka tahu bahwa pelatihan itu krusial. Mereka tahu bahwa perancah harus aman. Tapi, entah bagaimana, pengetahuan itu tetap menjadi teori. Ada jurang menganga antara apa yang mereka tahu benar dan apa yang mereka lakukan (atau dipaksa lakukan) setiap hari.
Ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukanlah kurangnya informasi, melainkan kegagalan sistemik pada budaya, kepemimpinan, dan akuntabilitas. Informasi tentang keselamatan mungkin sudah disosialisasikan, tetapi tidak ada sistem yang menegakkannya. Mungkin ada tekanan untuk menyelesaikan proyek lebih cepat dari jadwal, pemotongan anggaran di area yang dianggap "tidak produktif" seperti K3, atau sekadar budaya di mana mengambil jalan pintas yang berisiko dianggap sebagai hal yang wajar. Jurang antara pengetahuan dan tindakan ini adalah bukti dari budaya kerja yang rusak.
Pelajaran yang Bisa Saya Petik (dan Mungkin Anda Juga)
Membaca paper dari Nepal ini memberikan saya perspektif baru yang melampaui industri konstruksi. Ini adalah sebuah studi kasus yang kuat tentang disfungsi organisasi dan bahaya dari "knowing-doing gap"—kesenjangan antara mengetahui hal yang benar dan benar-benar melakukannya. Pelajaran ini relevan bagi siapa pun yang bekerja dalam sebuah tim atau organisasi.
Berikut adalah beberapa poin utama yang saya bawa pulang:
🚀 Realitas yang Pahit: Kesenjangan antara standar keselamatan internasional (ILO) dan praktik di lapangan sangat besar, menunjukkan adanya masalah sistemik yang mendalam. Ini bukan hanya tentang beberapa individu yang lalai, tetapi tentang sistem yang memungkinkan kelalaian itu terjadi.
🧠 Paradoks Pengetahuan: Masalahnya bukan pada kurangnya pengetahuan tentang keselamatan, melainkan pada kegagalan eksekusi dan budaya kerja yang tidak mendukung. Semua orang tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak ada yang memastikan itu benar-benar dilakukan.
💡 Pelajaran Universal: Data ini adalah cermin bagi organisasi manapun. Apakah kita hanya bicara tentang nilai-nilai (seperti keselamatan, inovasi, atau integritas), atau kita benar-benar mengalokasikan sumber daya, membangun sistem, dan menuntut akuntabilitas untuk mewujudkannya?
Melihat data ini, saya sadar bahwa menciptakan budaya keselamatan yang kuat bukanlah sekadar soal membuat aturan, tapi tentang membangun kompetensi manajerial untuk menegakkannya. Ini bukan tugas yang bisa diselesaikan dengan memo atau poster di dinding. Diperlukan pemahaman mendalam dan terstruktur, seperti yang diajarkan dalam program (https://www.diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/), di mana para pemimpin belajar cara mengubah teori keselamatan menjadi praktik sehari-hari yang hidup di lapangan. Kesenjangan antara tahu dan melakukan hanya bisa dijembatani oleh kepemimpinan yang kompeten dan sistem yang dirancang dengan sengaja.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Peduli, Bukan Sekadar Membangun
Saya kembali teringat pada pekerja yang saya lihat dari jendela rumah saya. Membaca paper ini telah mengubah cara saya memandangnya secara permanen. Sekarang, setiap kali saya melewati sebuah proyek pembangunan, saya tidak hanya melihat baja dan beton. Saya melihat data dari paper Baral dan Koirala. Saya melihat skor 2.42 untuk layanan kesehatan. Saya melihat skor 1.97 untuk perlindungan dari kebisingan. Saya melihat paradoks dari para pekerja yang tahu apa yang seharusnya terjadi, tapi terjebak dalam sistem yang mengecewakan mereka.
Meskipun temuan dari Baral dan Koirala ini sangat kuat dan membuka mata, metodologinya yang mengandalkan survei kepuasan mungkin tidak menangkap keseluruhan cerita. Data kuantitatif ini akan lebih dahsyat jika dipasangkan dengan wawancara kualitatif mendalam untuk mendengar langsung suara dan dilema para pekerja. Namun, sebagai sebuah potret, paper ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah peringatan keras bagi kita semua.
Pembangunan adalah sebuah keniscayaan. Kita membutuhkan jalan, jembatan, dan gedung baru. Tapi kita harus mulai bertanya pada diri sendiri: dengan biaya berapa? Paper ini adalah sebuah panggilan untuk tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun budaya kepedulian, akuntabilitas, dan martabat bagi setiap orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk kemajuan kita bersama.
Ini hanyalah interpretasi saya. Data mentah di baliknya jauh lebih kaya dan detail. Jika Anda tertarik untuk mendalami metodologi dan melihat angka-angkanya secara langsung, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya.
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Pendahuluan: Pertemuan Teknologi dan Globalisasi
Di era globalisasi, perusahaan dihadapkan pada tekanan kompetitif yang semakin intens. Perubahan cepat dalam teknologi digital, integrasi ekonomi global, serta tuntutan konsumen membuat perusahaan tidak lagi cukup hanya mengandalkan strategi lokal. Paper ini menyoroti sebuah pertanyaan penting: apakah penggunaan Teknologi Informasi (TI) dan adopsi teknologi Industri 4.0 benar-benar berpengaruh terhadap internasionalisasi serta kinerja bisnis?
Pertanyaan tersebut relevan karena banyak perusahaan, khususnya di negara berkembang, menghadapi dilema: apakah investasi dalam TI dan teknologi baru benar-benar menghasilkan nilai lebih, atau sekadar mengikuti tren? Dengan mengambil 168 perusahaan di Bogotá, Kolombia sebagai sampel, penulis mencoba memberikan jawaban empiris sekaligus menyusun kerangka konseptual mengenai peran teknologi dalam strategi global.
Kerangka Teoretis: Teknologi Sebagai Enabler
Teknologi Informasi dalam Perspektif Strategi
Dalam literatur manajemen, TI sudah lama dipandang sebagai infrastruktur strategis. Paper ini menekankan bahwa TI berperan melampaui fungsi administratif. Ia memungkinkan:
Secara konseptual, penulis menghubungkan peran TI dengan teori resource-based view (RBV). Menurut pandangan ini, keunggulan kompetitif lahir dari sumber daya yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan. TI, bila diimplementasikan dengan baik, memenuhi kriteria tersebut.
Industri 4.0 sebagai Paradigma Baru
Sementara TI dipandang sebagai fondasi, Industri 4.0 dianggap sebagai lompatan paradigma. Teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, cloud computing, dan kecerdasan buatan bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi menciptakan model bisnis baru.
Paper ini memosisikan Industri 4.0 sebagai transisi dari otomatisasi (era TI tradisional) menuju otonomi. Mesin tidak hanya menjalankan instruksi manusia, tetapi juga mampu menganalisis data, berkomunikasi, dan mengambil keputusan.
Internasionalisasi sebagai Strategi Pertumbuhan
Internasionalisasi dalam penelitian ini tidak hanya diartikan sebagai ekspor, melainkan strategi menyeluruh untuk memasuki pasar global. Hambatan klasik berupa liability of foreignness—seperti keterbatasan informasi, jarak budaya, dan tingginya biaya koordinasi—dapat dikurangi melalui pemanfaatan TI.
Hasil dan Temuan Empiris
Perbedaan Penggunaan TI antara Perusahaan Lokal dan Internasional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang berorientasi internasional memiliki tingkat penggunaan TI lebih tinggi (rata-rata 3,91) dibanding perusahaan lokal (3,36).
Refleksi: Angka ini menegaskan bahwa TI bukan sekadar “pelengkap” melainkan prasyarat untuk bersaing di pasar global. Tanpa infrastruktur TI yang kuat, perusahaan cenderung hanya mampu bermain di pasar lokal.
TI dan Internasionalisasi
Analisis regresi mengungkap bahwa penggunaan TI mampu menjelaskan 9,6% variabilitas dalam internasionalisasi perusahaan dengan signifikansi tinggi (p = 0,008).
Interpretasi konseptual: meskipun angkanya terlihat kecil, hal ini penting karena internasionalisasi adalah fenomena multifaktor. TI di sini berfungsi sebagai jembatan untuk mengurangi hambatan jarak dan informasi. Tanpa TI, strategi global akan sangat terbatas.
TI dan Kinerja Bisnis
Hubungan TI dengan kinerja terbukti lebih kuat:
Refleksi teoretis: angka seperempat ini menegaskan bahwa TI memiliki peran strategis dalam meningkatkan kinerja, baik melalui efisiensi operasional, pengurangan biaya, maupun peningkatan layanan pelanggan. Namun, fakta bahwa 74,4% kinerja dijelaskan oleh faktor lain juga menjadi pengingat bahwa TI hanyalah satu dari sekian banyak faktor.
Adopsi Teknologi Industri 4.0
Menariknya, tingkat adopsi teknologi Industri 4.0 masih rendah:
Refleksi: rendahnya adopsi menunjukkan bahwa banyak perusahaan di negara berkembang masih berada pada tahap awal transformasi digital.
Industri 4.0 dan Kinerja Bisnis
Meskipun tingkat adopsinya rendah, dampak Industri 4.0 terhadap kinerja justru lebih kuat:
Refleksi konseptual: hasil ini menunjukkan potensi performance leap. Artinya, meskipun sedikit perusahaan yang berinvestasi di teknologi ini, mereka yang melakukannya cenderung mengalami peningkatan kinerja yang signifikan.
Kritik Metodologis
Refleksi Konseptual Mendalam
TI sebagai Infrastruktur Globalisasi
Data empiris menunjukkan TI lebih berperan dalam internasionalisasi daripada Industri 4.0. Refleksi ini masuk akal: TI menyediakan bahasa komunikasi global melalui e-mail, platform digital, ERP, hingga e-commerce. Tanpa TI, perusahaan akan sulit membangun jaringan internasional.
Industri 4.0 sebagai Mesin Inovasi
Industri 4.0, meski adopsinya rendah, memiliki pengaruh lebih besar terhadap kinerja. Hal ini menegaskan bahwa Industri 4.0 bukan sekadar perpanjangan TI, melainkan paradigma baru yang mampu menghasilkan inovasi produk, layanan, dan model bisnis.
Data sebagai Faktor Produksi Baru
Baik TI maupun Industri 4.0 berpusat pada data. Jika revolusi industri sebelumnya digerakkan oleh energi, maka revolusi keempat ini digerakkan oleh data. Dalam kerangka ekonomi, data kini berperan sebagai faktor produksi baru yang setara dengan modal dan tenaga kerja.
Mesin sebagai Aktor Otonom
Industri 4.0 memperkenalkan ide bahwa mesin bukan sekadar alat, tetapi aktor organisasi dengan kapasitas otonom. Konsep ini menantang teori organisasi tradisional yang selalu menempatkan manusia sebagai pusat pengambilan keputusan.
Implikasi Ilmiah
Kesimpulan: Potensi dan Tantangan
Paper ini berhasil menunjukkan bahwa:
Secara konseptual, penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa TI dan Industri 4.0 adalah instrumen strategis dalam era globalisasi. Namun, keterbatasan metodologi dan konteks geografis membuat hasilnya perlu diuji ulang di sektor dan negara lain.
Refleksi akhir: kontribusi utama paper ini adalah memperlihatkan transformasi teknologi dari sekadar alat operasional menjadi sumber daya strategis yang membentuk arah internasionalisasi dan kinerja organisasi. Secara ilmiah, penelitian ini membuka ruang bagi teori baru tentang peran data, teknologi otonom, dan ekosistem digital dalam membentuk daya saing global di abad ke-21.
Sumber Artikel:
Manufaktur Digital & Industry 4.0
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Pendahuluan: Sebuah Pertanyaan Fundamental
Artikel “What is Industry 4.0?” karya Sergio Cavalcante (2020) mengangkat pertanyaan sederhana namun mendasar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan Industry 4.0? Pertanyaan ini tidak sesederhana kelihatannya, sebab istilah “Industri 4.0” kini digunakan di berbagai bidang—dari manufaktur, pendidikan, hingga kebijakan publik—tetapi belum ada konsensus ilmiah yang kokoh mengenai maknanya.
Penulis berangkat dari kegelisahan konseptual tersebut dan mencoba membangun kerangka teoritis yang lebih sistematis. Alih-alih hanya menyajikan daftar teknologi baru, artikel ini mengajak pembaca memahami Industry 4.0 sebagai pergeseran paradigma yang lahir dari interaksi antara perkembangan teknologi, transformasi organisasi, dan dinamika sosial-ekonomi.
Pendekatan paper ini jelas berbeda dengan laporan teknis atau kajian manajerial. Cavalcante menulis dengan orientasi konseptual: ia menguraikan definisi, memetakan kerangka historis, dan merefleksikan konsekuensi ilmiah maupun sosial dari fenomena Industry 4.0.
Evolusi Revolusi Industri: Dari Mekanisasi ke Sistem Siber-Fisik
Industri 1.0: Awal Mekanisasi
Penulis mengawali pembahasan dengan memosisikan Industry 4.0 sebagai kelanjutan dari revolusi industri sebelumnya. Industri 1.0, yang berlangsung pada abad ke-18, ditandai dengan hadirnya mesin uap dan mekanisasi proses produksi. Perubahan ini memungkinkan produksi massal yang jauh melampaui tenaga manusia.
Refleksi teoritis: revolusi pertama ini mengubah struktur sosial dengan memunculkan kelas pekerja industri dan menggeser ekonomi agraris menuju ekonomi berbasis pabrik.
Industri 2.0: Elektrifikasi dan Produksi Massal
Tahap berikutnya, Industri 2.0, ditandai dengan penggunaan listrik dan jalur perakitan (assembly line). Dengan adanya energi listrik, produksi tidak lagi terbatas oleh mesin uap. Jalur perakitan Ford menjadi simbol era ini, ketika standarisasi produk dan produksi massal menjadi kunci daya saing.
Secara konseptual, revolusi kedua ini memperkenalkan gagasan efisiensi skala sebagai logika utama industri.
Industri 3.0: Komputerisasi dan Otomatisasi
Memasuki paruh kedua abad ke-20, Industri 3.0 menghadirkan komputer, elektronik, dan otomatisasi digital. Perusahaan mulai menggunakan perangkat lunak untuk mengendalikan proses produksi, dari robot di jalur perakitan hingga sistem informasi manajemen.
Pada titik ini, logika industri bergeser ke arah otomatisasi. Mesin tidak lagi hanya alat bantu, melainkan pengganti tenaga kerja dalam fungsi tertentu.
Industri 4.0: Integrasi Siber-Fisik
Akhirnya, Industri 4.0 diposisikan sebagai tahap keempat, dengan ciri utama integrasi sistem siber-fisik (Cyber-Physical Systems, CPS), Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan, dan cloud computing.
Refleksi penting: jika Industri 3.0 fokus pada otomatisasi, maka Industri 4.0 menekankan otonomi. Mesin tidak hanya menjalankan instruksi, tetapi juga mengambil keputusan berdasarkan data real-time.
Dimensi Konseptual Industry 4.0
Dimensi Teknologi
Cavalcante menjelaskan bahwa Industry 4.0 mencakup berbagai teknologi kunci:
Penekanan utamanya adalah bahwa teknologi ini tidak berdiri sendiri. Nilai sejati Industry 4.0 muncul ketika semua teknologi tersebut saling terintegrasi dalam sebuah ekosistem digital.
Dimensi Sosial-Ekonomi
Selain teknologi, artikel ini menekankan dimensi sosial dan ekonomi:
Refleksi teoritis: Industry 4.0 harus dipahami sebagai fenomena sosioteknis, di mana teknologi dan masyarakat saling membentuk.
Narasi Argumentatif: Data sebagai "Sumber Daya Baru"
Data Menggantikan Energi sebagai Faktor Utama
Salah satu argumen paling menarik dari penulis adalah analogi antara energi pada revolusi sebelumnya dan data pada revolusi keempat. Jika energi (uap, listrik, minyak) menjadi penggerak utama revolusi 1.0–3.0, maka pada revolusi 4.0 data adalah energi baru.
Big data, menurut Cavalcante, tidak sekadar kumpulan angka, melainkan sumber daya strategis yang menjadi basis inovasi, pengambilan keputusan, dan penciptaan nilai.
Sistem Produksi Cerdas
Industry 4.0 melahirkan konsep smart factory atau pabrik cerdas, di mana aliran informasi real-time memungkinkan produksi yang fleksibel, adaptif, dan efisien. Mesin mampu berkomunikasi satu sama lain, memprediksi kegagalan, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.
Refleksi teoritis: paradigma “push production” (produksi massal berdasarkan proyeksi) bergeser ke “pull production” (produksi adaptif berdasarkan data permintaan aktual).
Hasil Kuantitatif dan Indikasi Empiris
Walaupun artikel ini lebih konseptual, penulis tetap menyinggung beberapa data indikatif:
Refleksi ilmiah: angka-angka ini menegaskan bahwa Industry 4.0 bukan lagi sekadar jargon, tetapi sudah memasuki fase implementasi nyata.
Kritik terhadap Pendekatan Penulis
Implikasi Teoretis
Dari pembahasan, beberapa implikasi ilmiah dapat ditarik:
Refleksi Konseptual Mendalam
Industry 4.0 dapat dipahami melalui beberapa refleksi filosofis:
Kesimpulan: Potensi dan Implikasi Ilmiah
Artikel Sergio Cavalcante memberikan kontribusi penting dalam menjernihkan definisi Industry 4.0. Dengan menekankan aspek konseptual dan reflektif, penulis berhasil menunjukkan bahwa Industry 4.0 adalah:
Walaupun artikel ini masih terbatas pada aspek teoritis dan minim data empiris, kontribusi utamanya adalah menyediakan kerangka reflektif untuk memahami arah perkembangan industri di era digital.
Secara ilmiah, implikasi dari paper ini sangat luas. Ia membuka peluang untuk pengembangan teori baru dalam manajemen teknologi, sosiologi industri, dan bahkan filsafat teknologi. Pertanyaan tentang bagaimana manusia hidup berdampingan dengan mesin otonom, bagaimana organisasi dikelola dalam ekosistem berbasis data, dan bagaimana etika baru harus dibangun, semuanya lahir dari kerangka Industry 4.0 yang digagas dalam artikel ini.
Sumber Artikel:
https://doi.org/10.4067/S0718-07642020000100117