Manajemen Konstruksi

Kenapa Helm Saja Tidak Cukup: Tiga Pilar Tersembunyi di Balik Keselamatan Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025


Momen Hening di Tepi Proyek yang Mengubah Segalanya

Saya pernah berdiri di pinggir sebuah proyek konstruksi, kopi di tangan, menyaksikan seorang pekerja di ketinggian nyaris terpeleset. Jantung saya berhenti berdetak sesaat. Seluruh area kerja hening. Dia berhasil menyeimbangkan diri, dan dalam lima menit, suara mesin dan teriakan komando kembali normal seolah tak terjadi apa-apa. Tapi momen itu membekas.

Kita semua tahu aturannya—pakai helm, pasang jaring pengaman, gunakan sabuk keselamatan. Prosedur K3 sudah terpampang di setiap sudut. Tapi kenapa insiden "nyaris celaka" masih jadi cerita sehari-hari? Kita seolah punya resep masakan yang lengkap, tapi hasil akhirnya selalu sedikit gosong. Ada sesuatu yang hilang.

Perasaan ini, bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar daftar periksa K3, ternyata bukan cuma milik saya. Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian dari Vietnam yang, tanpa basa-basi, membongkar seluruh asumsi saya tentang keselamatan kerja. Paper berjudul "A model of factors influencing safety behaviour and awareness among Vietnamese construction workers" ini bukan sekadar dokumen akademis yang kering.1 Bagi saya, ini adalah sebuah peta harta karun yang mengungkap faktor-faktor tak terlihat yang sesungguhnya membentuk perilaku kita di lapangan.

Mengapa Standar Keselamatan Sering Gagal? Sebuah Jawaban dari 320 Profesional

Sebelum kita menyelam lebih dalam, mari kita pahami dulu kenapa penelitian ini begitu penting. Para peneliti di Vietnam melihat angka yang mengkhawatirkan: sektor konstruksi menyumbang 14% dari semua kecelakaan kerja di negara mereka.1 Mereka sadar bahwa menyalahkan pekerja karena "lalai" atau manajer karena "kurang pengawasan" itu mudah, tapi tidak akan pernah menyelesaikan akar masalahnya.

Jadi, mereka melakukan sesuatu yang radikal: mereka bertanya.

Bayangkan mereka mengumpulkan 320 orang—manajer proyek, insinyur lapangan, supervisor, dan bahkan perwakilan investor—lalu meminta mereka menilai 32 potensi "biang keladi" masalah keselamatan.1 Ini bukan survei biasa; ini adalah upaya kolosal untuk memetakan "DNA" dari budaya keselamatan di lapangan.

Yang membuat saya semakin yakin dengan hasilnya adalah keragaman responden. Data dikumpulkan dari berbagai level dan peran 1:

  • Posisi Kerja: 19.7% manajer, 60% insinyur lapangan, dan 20.3% lainnya (seperti mandor).

  • Pemangku Kepentingan: 46.9% kontraktor, 24.7% konsultan pengawas, 16.2% investor, dan sisanya dari pihak lain.

  • Pengalaman: Mayoritas (78.7%) memiliki pengalaman kerja lebih dari tiga tahun.

Ini artinya, suara yang terekam dalam penelitian ini adalah suara kolektif dari seluruh ekosistem proyek. Dari mereka yang duduk di ruang rapat ber-AC hingga mereka yang setiap hari berpanas-panasan di bawah terik matahari. Temuan mereka bukan lagi sekadar teori, melainkan cerminan realitas pahit di lapangan. Meskipun studi ini berlatar di Vietnam, masalah yang diungkapnya adalah cerminan dari lokasi proyek di mana pun, termasuk di halaman belakang kita sendiri.

Tiga Kaki Penopang Keselamatan: Manusia, Sistem, dan Lingkungan

Setelah menganalisis semua data, para peneliti menemukan sebuah pola yang indah. Dari puluhan faktor yang bertebaran, muncul tiga pilar utama yang menopang seluruh bangunan keselamatan. Saya suka membayangkannya seperti kursi berkaki tiga. Jika salah satu kakinya goyang, tak peduli seberapa kuat dua kaki lainnya, Anda pasti akan jatuh.

Secara statistik, model tiga pilar ini sangat kuat. Analisis mereka menunjukkan bahwa 23 faktor kunci yang teridentifikasi mampu menjelaskan lebih dari 60% variasi dalam perilaku keselamatan.1 Dalam bahasa manusia, itu artinya: "Ini adalah faktor-faktor yang benar-benar penting."

Mari kita bedah satu per satu ketiga kaki penopang ini.

Pilar #1: Sisi Manusiawi—Dari Toleransi Risiko hingga Kepercayaan pada Bos

Pilar pertama ini adalah tentang apa yang ada di dalam kepala dan hati setiap pekerja. Ini adalah faktor-faktor internal yang sering kali paling sulit diukur, namun dampaknya luar biasa. Penelitian ini mengidentifikasi 7 faktor kunci di area ini.1 Tiga di antaranya paling menonjol bagi saya:

  • Toleransi Risiko (A12): Ini adalah faktor dengan bobot pengaruh tertinggi di kelompoknya (koefisien 0.861).1 Ini bukan soal nekat atau penakut. Ini lebih tentang "kalibrasi" internal kita terhadap bahaya. Seorang pekerja yang benar-benar memahami risiko jatuh dari ketinggian akan memeriksa sabuk pengamannya dua kali, bukan karena ada aturan, tapi karena insting bertahan hidupnya yang menyala.1 Sebaliknya, pekerja yang sudah terbiasa dengan risiko akan menjadi "kebal" dan cenderung meremehkan bahaya.

  • Kebiasaan Merokok atau Konsumsi Alkohol (A10): Paper ini berani menyoroti hal yang sering dianggap tabu: gaya hidup di luar jam kerja. Kebiasaan merokok atau minum alkohol tidak hanya merusak kesehatan fisik, tapi juga "menguras" baterai mental yang sangat dibutuhkan keesokan harinya di lokasi proyek. Penurunan kewaspadaan dan fokus akibat kebiasaan ini secara langsung meningkatkan risiko kecelakaan.1

  • Kepercayaan pada Efektivitas Manajemen (A9): Ini faktor psikologis yang krusial. Jika pekerja tidak percaya bahwa manajemen serius soal keselamatan, maka helm yang mereka pakai hanyalah formalitas. Peraturan hanya akan dipatuhi saat ada pengawas yang melihat. Kepercayaan adalah perekat yang membuat semua aturan K3 benar-benar menempel dalam perilaku sehari-hari.1

Pilar #2: Kekuatan Sistem—Ketika Peraturan Bukan Sekadar Pajangan di Dinding

Pilar kedua adalah tentang kerangka kerja, kebijakan, dan tindakan yang diambil oleh manajemen. Ini adalah "sistem operasi" keselamatan di sebuah proyek. Jika sistemnya lemah, maka individu-individu terbaik pun akan kesulitan untuk bekerja dengan aman. Dari 8 faktor di kelompok ini, beberapa yang paling krusial adalah 1:

  • Inspeksi Rutin Kondisi Keselamatan (B5): Ini adalah faktor dengan bobot tertinggi di kelompok manajemen (koefisien 0.806).1 Kenapa? Karena inspeksi rutin mengirimkan pesan non-verbal yang sangat kuat: "Kami peduli. Kami memperhatikan. Keselamatan adalah prioritas operasional, bukan sekadar slogan di spanduk." Ini bukan soal mencari-cari kesalahan, tapi soal menunjukkan komitmen yang konsisten.

  • Sanksi atas Pelanggaran Keselamatan Kerja (B1): Aturan tanpa konsekuensi hanyalah saran. Sistem yang kuat memberlakukan sanksi yang adil, transparan, dan konsisten. Ini menunjukkan kepada semua orang bahwa keselamatan tidak bisa ditawar dan ada harga yang harus dibayar jika sengaja diabaikan.

  • Program Pelatihan Keselamatan yang Tidak Efisien (B10): Kita semua pernah mengalaminya. Pelatihan yang membosankan, di mana semua orang hanya menunggu sertifikat. Paper ini mengingatkan kita bahwa banyak perusahaan melakukan "pelatihan centang kotak". Pelatihan yang efektif bukan diukur dari berapa jam durasinya, tapi dari apakah ada perubahan perilaku nyata di lapangan setelahnya.

Pilar #3: Lingkungan yang Membentuk—Debu, Bising, dan Kurangnya Inovasi

Pilar terakhir adalah tentang konteks fisik dan teknis di mana pekerjaan dilakukan. Kita sering lupa bahwa lingkungan kerja memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk perilaku. Dari 8 faktor di kelompok ini, ada beberapa yang benar-benar membuka mata saya 1:

  • Kurangnya Inovasi dalam Teknik Keselamatan dan Konstruksi (C1): Ini adalah temuan yang paling menampar. Faktor ini memiliki bobot pengaruh tertinggi di seluruh penelitian (koefisien 0.892).1 Artinya, kegagalan kita untuk berinovasi adalah salah satu kontributor terbesar kecelakaan kerja. Kita sering terjebak dengan cara-cara lama yang berisiko. Padahal, inovasi—seperti penggunaan drone untuk inspeksi area berbahaya, material yang lebih aman, atau teknik konstruksi modular—bukanlah biaya, melainkan investasi untuk menghilangkan risiko dari akarnya.

  • Kondisi Lokasi Proyek yang Menantang (C2): Faktor ini juga memiliki bobot yang sama tingginya (0.892).1 Bekerja di ruang sempit, di ketinggian ekstrem, atau di area yang sulit dijangkau secara inheren meningkatkan stres fisik dan mental. Kelelahan ini membuat pekerja lebih rentan melakukan kesalahan. Lingkungan fisik secara langsung membentuk kondisi mental kita.

  • Kualitas Peralatan Keselamatan yang Buruk (C6): Memberikan pekerja helm yang sudah retak, sepatu bot yang solnya tipis, atau sabuk pengaman yang usang adalah pesan non-verbal yang paling buruk. Itu artinya perusahaan secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka menghargai profit lebih dari nyawa manusianya. Ini akan langsung merusak pilar pertama (kepercayaan) dan membuat pilar kedua (sistem) menjadi mandul.

Ketiga pilar ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka saling berbicara. Kondisi kerja yang buruk akan merusak kepercayaan pekerja, dan kepercayaan yang rusak akan membuat sistem manajemen paling canggih sekalipun menjadi tidak berguna. Inilah inti dari pendekatan sistemik yang ditawarkan penelitian ini.

Temuan yang Paling Mengejutkan (dan Sedikit Kritik dari Saya)

Di tengah semua data dan angka, ada satu temuan yang membuat saya terdiam. Setelah melakukan uji statistik (ANOVA), para peneliti menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam cara berbagai kelompok responden menilai faktor-faktor ini.1

Inilah bagian yang paling penting. Ternyata, baik manajer di kantor, insinyur di lapangan, supervisor, kontraktor, maupun investor, baik yang junior maupun yang sudah puluhan tahun berpengalaman, semuanya setuju tentang apa saja masalah utamanya.

Artinya? Kita tidak punya masalah "persepsi". Kita punya masalah "aksi". Semua orang tahu di mana letak kebocorannya, tapi entah kenapa kita belum menambalnya bersama-sama. Kita semua melihat masalah yang sama, tapi terjebak dalam silo masing-masing.

Tentu, sebagai orang yang bukan peneliti, saya punya sedikit kritik halus. Meskipun temuannya sangat kuat, cara analisanya yang menggunakan istilah seperti 'Exploratory Factor Analysis (EFA)' dan 'Cronbach's alpha' ($α$) mungkin terasa abstrak bagi praktisi di lapangan.1 Ini seperti seorang chef hebat yang menjelaskan resep menggunakan nama-nama senyawa kimia. Rasanya enak, tapi sulit direplikasi tanpa penerjemah. Namun, kritik ini tidak mengurangi kekuatan pesan utamanya yang tetap jernih dan tak terbantahkan.

Mari kita rangkum pelajaran utamanya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Model 3 pilar ini mampu menjelaskan lebih dari 60% penyebab perilaku tidak aman. Ini adalah peta yang sangat akurat untuk navigasi kita.1

  • 🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan secara ilmiah bahwa keselamatan bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan hasil dari sebuah sistem yang kompleks (Manusia + Sistem + Lingkungan).1

  • 💡 Pelajaran: Berhenti mencari satu 'kambing hitam'. Jika ada kecelakaan, kemungkinan besar ada masalah di ketiga pilar tersebut secara bersamaan.

Dari Teori ke Aksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan Besok Pagi?

Melihat ketiga pilar ini, mungkin kita merasa kewalahan. Mengubah karakter manusia itu sulit, dan mengubah kondisi fisik proyek sering kali di luar kendali kita. Tapi ada satu pilar yang sepenuhnya berada dalam genggaman kita.

Dari ketiga pilar, 'Kapasitas Manajemen' adalah tuas yang paling kuat yang bisa kita tarik. Pekerja membawa kebiasaan mereka dari rumah, dan lingkungan proyek seringkali sudah ditentukan oleh desain dan geografi. Tapi sistem, kebijakan, pelatihan, dan budaya—itu semua adalah hasil dari keputusan manajemen.

Melihat betapa sentralnya peran manajemen dalam membentuk budaya keselamatan, ini menegaskan bahwa menjadi manajer yang kompeten bukan lagi soal efisiensi dan anggaran semata, tapi juga soal menjadi penjaga nyawa. Ini adalah tanggung jawab besar yang membutuhkan keahlian spesifik dan pemahaman yang mendalam.

Untuk membangun fondasi ini, berinvestasi dalam pemahaman yang lebih dalam tentang seluk-beluk pengelolaan proyek adalah langkah pertama yang paling logis. Mengikuti kursus terstruktur seperti Overview of Construction Management di Diklatkerja bisa menjadi cara untuk mempertajam gergaji, memastikan kita tidak hanya membangun gedung, tapi juga membangun lingkungan kerja yang aman dan manusiawi.2

Kesimpulan - Berhenti Saling Tunjuk, Mulai Bangun Fondasi Bersama

Paper ini pada akhirnya bukan tentang menyalahkan siapa pun. Ini adalah ajakan untuk berhenti saling tunjuk—pekerja menyalahkan manajemen, manajemen menyalahkan kondisi—dan mulai melihat keselamatan sebagai tanggung jawab bersama yang dibangun di atas tiga fondasi yang kokoh: manusia yang sadar, sistem yang mendukung, dan lingkungan yang aman.

Setiap proyek yang kita bangun akan menjadi monumen. Pertanyaannya adalah, apakah itu akan menjadi monumen kehebatan rekayasa kita saja, atau juga monumen penghargaan kita terhadap nyawa manusia? Pilihan ada di tangan kita.

Jika Anda tertarik untuk menyelami data dan analisisnya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang akan mengubah cara Anda memandang lokasi proyek selamanya.

(https://doi.org/10.31276/VJSTE.2024.0038)

Selengkapnya
Kenapa Helm Saja Tidak Cukup: Tiga Pilar Tersembunyi di Balik Keselamatan Proyek Konstruksi

Manajemen

Training Saja Tidak Cukup: Satu Studi Mengungkap Kunci Tersembunyi Performa Tim yang Luar Biasa

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025


Pernahkah Anda merasakan ini? Anda baru saja keluar dari sebuah sesi training seharian. Penuh semangat. Buku catatan Anda penuh dengan ide-ide cemerlang dan kutipan inspiratif. Anda merasa siap menaklukkan dunia, atau setidaknya, menaklukkan tumpukan pekerjaan di meja Anda dengan cara yang baru dan lebih baik. Tapi kemudian, seminggu berlalu. Lalu dua minggu. Perlahan tapi pasti, kebiasaan lama kembali merayap masuk. Buku catatan itu tergeletak di laci, dan energi transformatif dari ruang training itu terasa seperti kenangan yang jauh.

Ini bukan salah Anda. Ini juga bukan salah trainernya. Ini adalah sebuah paradoks yang saya sebut sebagai "jurang antara tahu dan melakukan" (knowing-doing gap), sebuah fenomena yang menghantui banyak ruang rapat dan program pengembangan di seluruh dunia. Kita tahu apa yang harus dilakukan, tapi entah kenapa, hal itu tidak terwujud dalam tindakan sehari-hari.

Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian yang, meskipun topiknya sangat spesifik, ternyata menyimpan petunjuk untuk memecahkan teka-teki universal ini. Paper ini bukan tentang startup teknologi di Silicon Valley atau bank investasi di New York. Ini adalah studi tentang para pekerja di sebuah perusahaan rekayasa dan konstruksi besar di Selangor, Malaysia, bernama Eversendai Corporation Berhad. Para peneliti ingin tahu: apa yang benar-benar mendorong performa keselamatan kerja? Apakah pelatihan yang intensif? Atau ada faktor lain yang lebih tersembunyi?   

Membaca paper ini terasa seperti mengikuti sebuah cerita detektif. Ada data, ada petunjuk, dan ada sebuah "Aha!" momen yang mengejutkan. Dan di dalamnya, saya menemukan jawaban yang bergema jauh melampaui lantai pabrik. Jawaban ini relevan bagi siapa saja yang memimpin tim, mengelola proyek, atau sekadar ingin menjadi lebih efektif dalam hidup.

Jadi, mari kita selami bersama. Jika training yang hebat saja tidak cukup untuk menjamin performa yang hebat, lalu apa kepingan puzzle yang hilang?

Babak Pertama: Fondasi yang Kokoh, Namun Bangunan yang Rawan

"Kami Dilatih dengan Sangat Baik" — Ketika Centang di Kotak Sudah Terpenuhi

Hal pertama yang ditemukan para peneliti di Eversendai Corporation Berhad adalah kabar baik. Ketika para pekerja ditanya tentang kualitas pelatihan keselamatan yang mereka terima, jawabannya sangat positif. Dari skala 5, tingkat pelatihan keselamatan secara keseluruhan dinilai "Tinggi", dengan skor rata-rata yang mengesankan, yaitu 3.73.   

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerminan dari sebuah organisasi yang serius dalam menjalankan tanggung jawabnya. Mari kita lihat lebih dalam:

  • Pernyataan "Pekerja mendapatkan pelatihan kesehatan dan keselamatan yang ekstensif dari organisasi" mendapat skor tertinggi, yaitu 3.85 dari 5.

  • Pernyataan "Pekerja dilatih dengan tepat untuk bereaksi terhadap krisis di tempat kerja" juga mendapat skor sangat tinggi, yaitu 3.84 dari 5.

Bayangkan Anda seorang koki yang baru bergabung di sebuah restoran bintang lima. Di hari pertama, Anda diberi buku resep paling tebal dan paling detail di dunia. Setiap teknik dijelaskan, setiap bahan diukur dengan presisi, setiap prosedur terdokumentasi dengan sempurna. Anda punya semua pengetahuan yang Anda butuhkan secara teori untuk menciptakan mahakarya. Inilah yang dilakukan Eversendai. Mereka telah berhasil mentransfer pengetahuan. Mereka telah mencentang semua kotak dalam daftar "pelatihan yang baik".

Namun, di sinilah letak nuansanya. Model ini, meskipun sangat penting dan fundamental, pada dasarnya adalah model kepatuhan dan instruksi. Ini adalah aliran informasi satu arah, dari atas ke bawah. Manajemen memberikan pengetahuan, dan karyawan diharapkan untuk menyerap dan mematuhinya. Karyawan diposisikan sebagai penerima informasi yang pasif.

Ini adalah fondasi yang kokoh, tidak diragukan lagi. Tanpa pengetahuan dasar, tidak akan ada performa. Tapi seperti yang akan kita lihat, fondasi saja tidak cukup untuk membangun gedung pencakar langit. Ada satu elemen penting yang hilang, sebuah elemen yang membuat seluruh struktur menjadi rapuh.

Babak Kedua: Domino yang Hilang di Tengah Rantai

Angka yang Membuat Saya Berhenti dan Berpikir Dalam

Di tengah semua data yang positif tentang pelatihan, ada satu set angka yang menonjol—dan membuat saya benar-benar berhenti sejenak. Ketika para peneliti mengukur Partisipasi Pekerja, hasilnya jauh berbeda. Tingkat partisipasi hanya dinilai "Sedang", dengan skor rata-rata 3.45.   

Kontras ini saja sudah menarik. Perusahaan sangat pandai dalam "memberi tahu", tetapi tampaknya kurang pandai dalam "mendengarkan". Untuk memahami betapa dalamnya masalah ini, kita perlu melihat "barang bukti" yang paling memberatkan. Dari semua pertanyaan dalam survei, ada satu pernyataan yang mendapat skor paling rendah, sebuah angka yang menurut saya adalah inti dari seluruh cerita ini.

Pernyataan itu adalah: "Pekerja didesak untuk mengembangkan cara-cara baru untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan."

Skor rata-ratanya? Hanya 2.72 dari 5.   

Mari kita proses angka ini. Skor 3.0 berarti "Netral". Skor 2.72 berada di bawah netral, lebih condong ke arah "Tidak Setuju". Ini bukan hanya berarti para pekerja merasa tidak didorong untuk berinovasi; ini berarti mereka secara aktif merasa bahwa mereka tidak didorong untuk menyumbangkan ide-ide mereka sendiri.

Buku resep yang tebal dan sempurna itu telah diberikan kepada mereka, tetapi tidak ada yang pernah bertanya, "Hei, sebagai orang yang setiap hari berada di dapur, apakah kamu punya ide bagaimana kita bisa membuat resep ini lebih baik, lebih efisien, atau lebih aman?"

Inilah jurang yang sebenarnya. Ini bukan sekadar masalah komunikasi. Ini adalah gejala dari budaya organisasi. Ketika karyawan tidak merasa didorong untuk memberikan masukan tentang sesuatu yang sangat fundamental dan personal seperti keselamatan diri mereka sendiri, kecil kemungkinannya mereka akan merasa diberdayakan untuk berinovasi di area lain—baik itu efisiensi operasional, kualitas produk, atau layanan pelanggan.

Budaya yang tercipta adalah budaya "kerjakan tugasmu", bukan "tingkatkan pekerjaan kita". Akibatnya? Performa keselamatan secara keseluruhan juga hanya berada di level "Sedang" dengan skor rata-rata 3.62. Performa mereka seolah-olah menabrak langit-langit tak terlihat yang diciptakan oleh kurangnya kepemilikan kolektif.

Mengapa "Mendengar" Lebih Kuat Daripada "Menginstruksikan"

Jika tabel di atas adalah petunjuknya, maka analisis korelasi dalam paper ini adalah pengakuannya. Para peneliti tidak hanya mengukur level masing-masing variabel; mereka juga mengukur seberapa kuat hubungan antara variabel-variabel tersebut. Hasilnya adalah "Aha!" momen yang sesungguhnya.

Dalam statistik, koefisien korelasi (dilambangkan dengan '$r$') mengukur kekuatan hubungan antara dua hal, dengan skala dari -1 hingga 1. Semakin dekat ke 1, semakin kuat hubungan positifnya.

  • Hubungan antara Pelatihan Keselamatan dan Performa Keselamatan memiliki skor korelasi '$r = 0.572$'. Ini adalah hubungan positif yang kuat.1 Artinya, pelatihan yang lebih baik memang cenderung menghasilkan performa yang lebih baik. Ini masuk akal.

  • Namun, hubungan antara Partisipasi Pekerja dan Performa Keselamatan memiliki skor korelasi '$r = 0.672$'. Ini adalah hubungan positif yang lebih kuat lagi.1

Pesan dari data ini sangat jelas dan tak terbantahkan: Meskipun memberi instruksi itu penting, melibatkan orang secara aktif ternyata memiliki dampak yang lebih besar pada hasil akhir. Mendengarkan lebih kuat daripada sekadar berbicara.

Paper ini menyebutkan sebuah teori klasik bernama Teori Domino Heinrich, yang menganalogikan kecelakaan kerja seperti serangkaian domino yang jatuh berurutan.1 Pelatihan yang baik adalah seperti memastikan semua domino tersusun rapi dan para pekerja tahu cara kerjanya. Tapi partisipasi? Partisipasi adalah ketika seorang pekerja melihat susunan itu dan berkata kepada rekannya, "Tunggu sebentar, saya lihat ada cara yang lebih baik untuk menyusun ini agar tidak ada yang jatuh." Partisipasi adalah intervensi manusia yang proaktif, yang mengubah rantai peristiwa dari potensi bencana menjadi kesuksesan yang terkendali.

Tanpa partisipasi, yang Anda miliki hanyalah sederet domino yang terinformasi dengan baik, menunggu untuk jatuh.

Babak Ketiga: Menerjemahkan Riset Menjadi Aksi Nyata Hari Ini

Baiklah, kita sudah membedah masalahnya. Kita tahu bahwa partisipasi adalah kunci yang hilang. Sekarang, pertanyaan terpenting: apa yang bisa kita lakukan dengan pengetahuan ini? Bagaimana kita bisa menerapkan wawasan dari sebuah pabrik di Malaysia ke dalam pekerjaan kita besok pagi?

Tiga Wawasan yang Bisa Anda Terapkan Besok Pagi

Berikut adalah tiga pelajaran praktis yang saya tarik dari studi ini, yang saya yakini relevan untuk tim mana pun, di industri apa pun.

  • 🚀 Hasilnya Bukan Penjumlahan, Tapi Perkalian

    Pelajaran terbesar dari data ini bukanlah memilih antara partisipasi atau pelatihan. Keduanya penting. Namun, hubungan keduanya bukanlah penjumlahan, melainkan perkalian. Coba pikirkan: Pelatihan Tinggi (skor 3.73) dikalikan Partisipasi Sedang (skor 3.45) menghasilkan Performa Sedang (skor 3.62). Apa yang terjadi jika partisipasi juga tinggi? Hasilnya tidak akan naik sedikit, tapi akan melompat secara eksponensial. Bagi seorang pemimpin, ini berarti aktivitas dengan daya ungkit tertinggi (highest-leverage activity) bukanlah mengadakan satu sesi training lagi, melainkan berfokus untuk menaikkan skor partisipasi. Tanyakan pada diri Anda: "Apa satu hal yang bisa saya lakukan minggu ini untuk membuat tim saya merasa lebih didengar?"

  • 🧠 Inovasinya Adalah Pergeseran dari Monolog ke Dialog

    Ingat skor 2.72 yang menyedihkan itu? Itu adalah bendera merah untuk budaya monolog. Inovasi yang paling dibutuhkan bukanlah teknologi baru atau prosedur yang lebih rumit, melainkan pergeseran budaya yang fundamental. Dari model siaran ("Ini aturannya, patuhi.") ke model jaringan ("Apa yang kita semua pelajari? Bagaimana kita bisa menjadi lebih baik bersama?"). Ini berarti menciptakan saluran formal dan informal untuk umpan balik. Ini berarti seorang manajer secara eksplisit dan konsisten bertanya: "Apa yang kamu lihat dari posisimu yang tidak saya lihat?" dan "Apa ide gilamu untuk membuat ini 10% lebih baik?" Membangun budaya dialog yang tulus ini adalah sebuah keahlian kepemimpinan yang mendalam. Ini bukan sekadar memasang kotak saran. Jika Anda ingin serius mengasah kemampuan untuk memfasilitasi tim yang partisipatif, program seperti (https://www.diklatkerja.com/course/manajemen-tim-efektif/) bisa menjadi panduan terstruktur yang sangat berharga.

  • 💡 Pelajaran: Ciptakan Ruang, Bukan Hanya Aturan

    Aturan dan prosedur menciptakan kepatuhan. Ruang yang aman (psychological safety) menciptakan keterlibatan. Bagi para manajer, pelajaran dari studi ini adalah untuk secara sadar dan aktif menciptakan ruang di mana orang merasa aman untuk menyuarakan ide, mengajukan pertanyaan bodoh, mengakui kesalahan, dan menantang status quo dengan hormat. Bagi karyawan, pelajarannya adalah memiliki keberanian untuk melangkah ke dalam ruang itu. Seringkali, manajemen tidak mendengar bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena tidak ada yang berbicara. Dan seringkali, karyawan tidak berbicara bukan karena mereka tidak punya ide, tetapi karena mereka tidak yakin apakah ide mereka akan diterima atau justru menjadi bumerang. Seseorang harus memulai lebih dulu.

Refleksi Akhir: Sebuah Kritik Halus dan Pertanyaan untuk Kita

Apa yang Tidak Diceritakan oleh Paper Ini

Sebelum kita menyimpulkan, penting untuk bersikap adil. Saya sangat mengapresiasi studi ini karena kejelasan dan kekuatan pesan utamanya. Ia memberikan konfirmasi berbasis data yang elegan untuk sesuatu yang mungkin dirasakan oleh banyak pemimpin secara intuitif.

Namun, seperti semua penelitian, studi ini memiliki keterbatasan, dan para penulisnya pun mengakuinya.1 Pertama, data ini didasarkan pada persepsi. Para pekerja melaporkan bagaimana perasaan mereka tentang pelatihan dan partisipasi. Apakah persepsi ini selalu cocok dengan kenyataan, misalnya, dengan data angka kecelakaan yang sebenarnya? Mungkin, tapi kita tidak bisa 100% yakin.

Kedua, ini adalah potret dari satu perusahaan, dalam satu industri, di satu negara. Meskipun pelajarannya terasa universal, kita harus berhati-hati untuk tidak menggeneralisasikannya secara berlebihan. Ini adalah petunjuk yang sangat kuat, bukan hukum universal.

Tapi ada satu lapisan lagi yang saya temukan ketika melihat data demografi responden, sebuah lapisan yang tidak dibahas oleh paper ini tetapi bisa memberikan konteks yang sangat kaya.

Ternyata, tenaga kerja di sana cukup unik. Sebanyak 59.0% adalah pekerja non-Malaysia, dan mayoritas besar (73.7%) baru bekerja di perusahaan itu selama 1 hingga 5 tahun.1

Sekarang, coba kita pikirkan implikasinya. Sebuah tim yang sebagian besar terdiri dari pekerja asing yang relatif baru mungkin menghadapi tantangan tersembunyi dalam hal partisipasi. Mungkin ada kendala bahasa. Mungkin ada perbedaan budaya dalam cara berkomunikasi dengan atasan (misalnya, budaya yang lebih menghormati otoritas dan enggan untuk menantang). Mungkin ada rasa tidak aman terkait pekerjaan yang membuat mereka ragu untuk "membuat masalah" dengan menyarankan perbaikan.

Jadi, "jurang partisipasi" ini mungkin bukan hanya karena manajemen gagal bertanya. Bisa jadi, ini juga merupakan hasil dari hambatan sistemik yang membuat karyawan merasa tidak aman atau tidak nyaman untuk menjawab, bahkan jika ditanya. Ini menambah nuansa yang mendalam pada analisis kita dan menjadi pengingat penting bagi siapa pun yang memimpin tim yang beragam: menciptakan ruang untuk partisipasi berarti memahami dan membongkar hambatan-hambatan yang tidak terlihat ini.

Penutup: Sekarang Giliran Anda Menggerakkan Domino Berikutnya

Jika ada satu hal yang bisa kita bawa pulang dari studi di Eversendai Corporation Berhad, itu adalah ini: Pelatihan memberi tim Anda sebuah peta. Ia menunjukkan jalan, bahaya, dan tujuan. Itu sangat penting.

Tetapi hanya partisipasi yang memungkinkan tim Anda untuk ikut menulis perjalanan itu. Partisipasi memungkinkan mereka menemukan jalan pintas yang tidak ada di peta, melihat bahaya sebelum muncul, dan bahkan mendefinisikan kembali tujuan menjadi sesuatu yang lebih besar. Potensi sejati sebuah tim tidak terbuka melalui instruksi, tetapi melalui kepemilikan.

Jadi, saya ingin meninggalkan Anda dengan sebuah pertanyaan. Lihatlah tim Anda, lingkungan kerja Anda, atau bahkan diri Anda sendiri. Inisiatif brilian apa, ide sederhana apa, atau kekhawatiran penting apa yang selama ini hanya tersimpan di kepala, menunggu sebuah undangan untuk disuarakan?

Mungkin hari ini adalah saatnya Anda yang memulai dialog itu. Mungkin Anda yang akan menggerakkan domino berikutnya.

Kalau kamu tertarik dengan detail metodologi dan data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.30880/rmtb.2023.04.01.046)

Selengkapnya
Training Saja Tidak Cukup: Satu Studi Mengungkap Kunci Tersembunyi Performa Tim yang Luar Biasa

Budaya Kerja

Bukan Soal Helm: Pelajaran Mengejutkan Tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Paper di Ghana

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan - Momen "Nyaris" yang Mengubah Segalanya

Sabtu sore itu, saya merasa seperti pahlawan. Proyek renovasi kecil di rumah—memasang beberapa rak buku di dinding—hampir selesai. Tinggal beberapa sekrup lagi. Didorong oleh keinginan untuk cepat-cepat melihat hasilnya, saya mengambil jalan pintas. Alih-alih turun dari tangga untuk mengambil palu yang pas, saya meraih gagang obeng dan menggunakannya untuk mengetuk wall plug ke tempatnya. Tentu saja, gagang plastik itu licin. Tangan saya terpeleset, dan buku-buku jari saya menghantam tepi rak dengan keras.

Tidak ada darah, tidak ada patah tulang. Tapi ada momen hening setelahnya. Bukan rasa sakit yang saya rasakan, melainkan gelombang kejut kesadaran: "Wah, itu tadi nyaris celaka." Jari-jari saya hanya beberapa sentimeter dari ujung sekrup yang tajam. Momen "nyaris" itu membuat saya berhenti dan berpikir. Betapa mudahnya kita mengabaikan prosedur keselamatan yang paling dasar sekalipun, hanya demi menghemat beberapa menit. Kita semua melakukannya, baik di rumah maupun di tempat kerja.

Beberapa hari setelah insiden itu, secara kebetulan saya menemukan sebuah paper penelitian dari Ghana berjudul “An Investigation Of Safety Performance On Ghanaian Construction Sites”.1 Awalnya saya skeptis—apa relevansinya riset tentang lokasi konstruksi di kota Kumasi dengan proyek rak buku saya? Ternyata, isinya seperti peta harta karun. Paper ini tidak hanya mengonfirmasi mengapa momen "nyaris" saya itu terjadi, tetapi juga membongkar kesalahpahaman fundamental kita tentang apa itu keselamatan dan bagaimana cara mencapainya. Isinya menjelaskan dengan data, mengapa pendekatan kita terhadap keselamatan seringkali keliru, baik dalam skala proyek renovasi rumah maupun gedung pencakar langit.

Helm Saja Tidak Cukup: Mengapa Kita Sering Salah Kaprah Soal Keselamatan Kerja

Kita semua tahu industri konstruksi itu berbahaya. Tapi angka-angkanya tetap saja mengejutkan. Menurut data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dikutip dalam paper ini, lebih dari 1,9 juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan, yang berarti ada satu kematian setiap 15 detik.1 Bayangkan sebuah industri di mana setiap kali Anda menghitung sampai 15, seseorang di suatu tempat di dunia tidak akan pernah pulang ke rumah untuk bertemu keluarganya lagi.

Inilah yang membuat penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Botchway dan rekan-rekannya di Kwame Nkrumah University of Science & Technology menjadi begitu penting. Mereka tidak hanya ingin tahu apa yang menyebabkan kecelakaan. Mereka ingin menggali lebih dalam, ke akar budaya dan sistem yang membentuk kinerja keselamatan. Mereka melakukan survei terhadap 41 profesional konstruksi—manajer proyek, safety officer, insinyur lapangan—dan mengajukan tiga pertanyaan krusial 1:

  1. Apa saja "sinyal vital" yang menunjukkan sebuah proyek itu benar-benar aman?

  2. Apa saja "dinding tak terlihat" yang menghalangi kita untuk mencapai tingkat keselamatan yang lebih tinggi?

  3. Dan yang terpenting, apa strategi jitu yang benar-benar berhasil di lapangan, bukan hanya yang terdengar bagus di atas kertas?

Jawaban yang mereka dapatkan mengubah cara saya memandang produktivitas dan manajemen risiko. Mereka menemukan 10 indikator kunci, 10 hambatan utama, dan 8 strategi paling efektif.1 Dan beberapa di antaranya sama sekali tidak seperti yang saya duga.

Detak Jantung Proyek: 10 Sinyal Vital Keselamatan yang Diungkap Studi Ini

Para peneliti menggunakan istilah "Indikator Kinerja Keselamatan" (Safety Performance Indicators). Saya lebih suka menyebutnya "Sinyal Vital Proyek". Sama seperti dokter yang memeriksa detak jantung dan tekanan darah untuk mengetahui kondisi pasien, indikator-indikator ini adalah tanda-tanda yang menunjukkan apakah sebuah proyek itu "sehat" dan berjalan baik, atau "sakit" dan berisiko tinggi mengalami insiden.1

Mereka meminta para profesional untuk memberi peringkat pada 10 indikator berdasarkan tingkat kepentingannya. Hasilnya, yang disajikan dalam Tabel 5 paper tersebut, sangat mencerahkan.1

Apa yang Paling Penting? Ternyata Bukan Sekadar Aturan Tertulis.

Jika Anda bertanya kepada kebanyakan orang apa indikator keselamatan yang paling penting, mereka mungkin akan menjawab "memiliki kebijakan keselamatan tertulis" atau "melakukan investigasi setelah kecelakaan". Jawaban-jawaban itu masuk akal, tapi ternyata bukan yang teratas menurut para ahli di lapangan.

Indikator yang menduduki peringkat #1 dengan skor tertinggi adalah "Identifikasi dan kontrol aktivitas berbahaya dan berisiko di lokasi".1

Ini adalah sebuah pergeseran paradigma yang fundamental. Para profesional di garis depan tidak mengatakan bahwa hal terpenting adalah memiliki dokumen yang bagus (meski itu juga penting dan berada di peringkat #2). Mereka mengatakan hal terpenting adalah kemampuan untuk secara proaktif melihat ke masa depan—bahkan jika hanya beberapa jam ke depan—mengidentifikasi apa yang bisa salah, dan mengambil langkah untuk mencegahnya. Ini adalah tentang pencegahan, bukan reaksi. Ini seperti seorang dokter yang fokus menjaga pasien tetap sehat, bukan hanya ahli dalam mengobati penyakit setelah muncul.

Bandingkan ini dengan indikator seperti "Melakukan investigasi dan analisis kecelakaan," yang berada di peringkat keenam. Tentu saja investigasi itu penting, tetapi data ini menunjukkan bahwa para praktisi lebih menghargai sistem yang mencegah kecelakaan terjadi sejak awal daripada sistem yang hanya pandai menganalisis puing-puing setelahnya.

Tabel 1: Peringkat 10 Indikator Kinerja Keselamatan (Sinyal Vital Proyek)

PeringkatIndikator Kinerja KeselamatanMeanRII1Identifikasi dan kontrol aktivitas berbahaya dan berisiko di lokasi4.390.882Pengembangan kebijakan keselamatan4.340.873Penyediaan lingkungan kerja yang aman4.320.864Sikap manajemen atas yang lebih mendukung terhadap keselamatan4.320.865Implementasi sistem manajemen keselamatan4.240.856Melakukan investigasi dan analisis kecelakaan4.200.847Penyediaan dan penyimpanan catatan keselamatan harian4.170.838Identifikasi praktik tidak aman di lokasi4.120.829Indikator Kinerja Keselamatan (Panjang dan detail program keselamatan perusahaan)4.020.8010Proses analisis statistik dan metode pelaporan4.000.80

Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5, Botchway et al. (2023) 1

Dinding Penghalang Tak Terlihat: 10 Jebakan yang Menggagalkan Upaya Keselamatan

Setelah mengetahui apa saja sinyal vital dari proyek yang sehat, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang menghalanginya? Para peneliti mengidentifikasi 10 "hambatan" (barriers) utama yang sering menggagalkan implementasi program keselamatan. Di sinilah temuan yang paling mengejutkan bagi saya muncul.

Temuan yang Paling Mengejutkan Saya: Bukan Soal Uang, Tapi Soal Air Minum.

Ketika memikirkan hambatan dalam proyek besar, otak kita secara otomatis tertuju pada masalah-masalah besar: kekurangan dana, kurangnya personel ahli, atau teknologi yang usang. Semua itu memang ada dalam daftar. "Sumber daya yang rendah atau tidak memadai" berada di peringkat #2.1

Tapi apa yang berada di peringkat #1? Hambatan terbesar, yang paling signifikan menurut para profesional di Ghana, adalah "Kegagalan menyediakan fasilitas kesejahteraan di lokasi konstruksi (misalnya, peralatan P3K)".1

Saya harus membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Bukan kurangnya anggaran. Bukan kurangnya insinyur. Tapi hal-hal mendasar seperti ketersediaan kotak P3K, air minum yang bersih, atau toilet yang layak.

Dan di sinilah saya tersentak. Temuan ini bukan sekadar tentang P3K. Ini adalah cerminan dari sesuatu yang jauh lebih dalam: budaya kepedulian. Apa yang dikatakan oleh para profesional ini adalah bahwa kinerja keselamatan tidak dimulai dari sistem manajemen yang rumit atau perangkat lunak yang mahal. Ia dimulai dari rasa hormat dan kepedulian yang paling mendasar terhadap manusia.

Jika sebuah perusahaan bahkan gagal menyediakan kebutuhan paling dasar bagi pekerjanya, pesan apa yang sebenarnya mereka kirimkan? Pesannya adalah: "Kalian tidak penting. Kesejahteraan kalian adalah prioritas kedua setelah target proyek." Ketika pekerja menerima pesan itu, baik secara sadar maupun tidak, bagaimana mungkin mereka bisa diharapkan untuk sepenuhnya terlibat dalam program keselamatan? Bagaimana mungkin mereka bisa percaya bahwa manajemen benar-benar peduli jika mereka jatuh dari perancah, padahal manajemen bahkan tidak peduli jika mereka memiliki air minum yang layak?

Kegagalan menyediakan fasilitas kesejahteraan bukanlah masalah logistik; itu adalah gejala dari penyakit budaya yang jauh lebih besar. Ini adalah akar dari semua masalah keselamatan lainnya.

Dari Teori ke Aksi Nyata: 8 Strategi Praktis yang Bisa Diterapkan Besok Pagi

Jadi, kita tahu apa yang harus diukur dan apa yang harus diwaspadai. Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Bagian terakhir dari penelitian ini adalah yang paling bisa ditindaklanjuti. Para peneliti mengidentifikasi 8 strategi paling efektif untuk meningkatkan kinerja keselamatan. Ini adalah peta jalan praktis bagi setiap manajer atau pemimpin tim.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Strategi yang menduduki peringkat teratas adalah "Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang efektif" (Mean 4.24). Kata kuncinya di sini adalah 'efektif'. Ini bukan hanya tentang membeli helm dan rompi paling mahal. Ini tentang memastikan setiap orang tahu cara menggunakannya dengan benar, kapan harus menggunakannya, dan yang terpenting, mengapa itu penting. Ini adalah masalah pelatihan dan budaya, bukan sekadar pengadaan barang.   

  • 🧠 Inovasinya: Strategi-strategi peringkat atas lainnya, seperti "Penegakan kebijakan keselamatan" (#2) dan "Kunjungan lokasi acak oleh inspektorat" (#4), menciptakan sesuatu yang saya sebut "lingkaran akuntabilitas" (accountability loop). Aturan yang dibuat tidak akan ada artinya jika tidak pernah diperiksa dan ditegakkan. Kunjungan acak memastikan bahwa standar keselamatan dijaga setiap hari, bukan hanya saat ada audit yang dijadwalkan.   

  • 💡 Pelajaran: "Program pelatihan keselamatan yang wajib" (#3) adalah sebuah investasi, bukan biaya. Ini sejalan dengan pentingnya pengembangan kompetensi secara berkelanjutan. Tim yang terlatih adalah tim yang proaktif. Meningkatkan kompetensi tim melalui pelatihan profesional yang relevan adalah langkah pertama untuk membangun budaya proaktif yang dibicarakan di awal. Sistem tidak akan berjalan jika orang-orang di dalamnya tidak tahu cara mengoperasikannya.   

Refleksi Pribadi: Sebuah Kritik Halus dan Pelajaran Berharga

Kekuatan terbesar dari studi ini adalah kejujurannya. Angka-angka ini tidak berasal dari menara gading akademis, tetapi dari pengalaman nyata orang-orang yang setiap hari berhadapan dengan debu, bising, dan bahaya di lapangan. Ini memberi kita gambaran yang mentah dan otentik tentang apa yang benar-benar penting.

Namun, jika ada satu kritik halus yang bisa saya sampaikan, itu terkait dengan metodologinya. Para peneliti menggunakan teknik snowball sampling di satu kota, yaitu Kumasi. Ini berarti responden awal merekomendasikan responden berikutnya, yang bisa jadi membatasi keragaman sampel. Hal ini membuat saya bertanya-tanya: apakah hasilnya akan sama di ibu kota Accra, atau di negara lain dengan budaya kerja yang sama sekali berbeda?   

Tentu saja, para peneliti tidak mengklaim bahwa temuan mereka adalah kebenaran universal. Sebaliknya, studi ini justru membuka pintu untuk pertanyaan-pertanyaan baru yang menarik. Ini bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah undangan untuk penelitian lebih lanjut di konteks yang berbeda.

Kesimpulan - Satu Hal yang Harus Anda Ingat dari Studi Ini

Setelah membaca dan merenungkan paper ini selama berhari-hari, ada satu kesimpulan utama yang melekat di benak saya. Jika Anda hanya bisa mengingat satu hal dari tulisan ini, biarlah ini:

Budaya keselamatan sejati tidak dibangun di atas tumpukan dokumen kebijakan yang tebal atau helm yang paling canggih. Ia dibangun di atas fondasi kepedulian yang tulus—yang tecermin dari hal-hal paling sederhana seperti ketersediaan kotak P3K—dan diperkuat oleh sistem akuntabilitas yang proaktif.

Studi dari Ghana ini mengajarkan saya bahwa insiden palu saya saat memasang rak buku bukanlah karena saya ceroboh. Itu terjadi karena, pada saat itu, saya secara tidak sadar memprioritaskan "cepat selesai" di atas "selesai dengan selamat". Dan ternyata, perusahaan-perusahaan konstruksi raksasa pun seringkali melakukan kesalahan yang sama persis, hanya dalam skala yang jauh lebih besar dan dengan konsekuensi yang jauh lebih tragis. Keselamatan bukanlah tentang memperlambat pekerjaan; ini tentang memastikan ada hari esok untuk melanjutkan pekerjaan itu.

Jika tulisan ini membuat Anda berpikir, saya sangat merekomendasikan Anda untuk menyelami data aslinya. Ini adalah bacaan yang sangat berharga, penuh dengan nuansa yang tidak bisa saya rangkum semuanya di sini.

(https://doi.org/10.98765/ajmesc.v3i02.292)

Selengkapnya
Bukan Soal Helm: Pelajaran Mengejutkan Tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Paper di Ghana

Kepemimpinan & Manajemen

Cacat Tak Terlihat dalam Baju Zirah Seorang Pemimpin

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025


Saya pernah bekerja di bawah seorang manajer yang percaya bahwa semakin keras dia berteriak, semakin cepat pekerjaan selesai. Tentu saja, yang terjadi adalah sebaliknya: tim menjadi tegang, komunikasi macet, dan kesalahan-kesalahan kecil mulai bermunculan karena orang takut untuk bertanya atau mengakui ketidaktahuan. Pengalaman ini mungkin terdengar familier bagi banyak orang. Kita seringkali menyamakan kepemimpinan dengan otoritas, perintah, dan kontrol yang ketat.

Di industri konstruksi, pola pikir ini bisa berakibat fatal. Ini bukan sekadar soal target proyek yang meleset. Industri konstruksi menyumbang lebih dari 20% dari semua kematian akibat kerja di Eropa, dan setiap tahunnya, kecelakaan kerja menyebabkan sekitar 300.000 kematian di seluruh dunia.1 Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah pengingat suram akan taruhan yang sangat tinggi di setiap lokasi proyek. Manajer lokasi konstruksi memegang peran krusial dalam menjaga keselamatan, dan kepemimpinan mereka terbukti berhubungan langsung dengan iklim keselamatan, perilaku karyawan, hingga jumlah cedera.1

Ketika dihadapkan pada masalah sebesar ini, respons standar kita biasanya adalah menambah prosedur, memperketat aturan, atau membeli peralatan yang lebih canggih. Namun, sebuah paper penelitian yang luar biasa dari Martin Grill dan rekan-rekannya di Swedia mengajukan pertanyaan yang berbeda, pertanyaan yang jauh lebih mendasar.1 Mereka tidak mencari helm yang lebih kuat atau rompi yang lebih cerah. Mereka bertanya: bagaimana jika masalah keselamatan sebenarnya adalah masalah komunikasi? Bagaimana jika cara terbaik untuk mencegah kecelakaan bukan dengan meneriakkan perintah, tetapi dengan belajar mendengar?

Paper ini bukan sekadar bacaan akademis yang kering. Bagi saya, ini adalah cetak biru untuk sebuah revolusi kecil dalam cara kita memandang kepemimpinan. Para peneliti ini menggeser fokus dari aspek teknis ke aspek fundamental manusia. Mereka membuktikan bahwa masalah keselamatan sering kali salah didiagnosis sebagai masalah prosedural, padahal akarnya terletak pada psikologi dan perilaku manusia. Kepemimpinan, menurut mereka, bukanlah soal mengelola tugas, melainkan "manajemen kontingensi penguatan di lingkungan kerja".1 Dengan kata lain, ini adalah seni membentuk perilaku, bukan sekadar memaksakan kepatuhan.

Sebuah Eksperimen yang Merombak Kepemimpinan dari Dalam

Untuk menguji gagasan radikal ini, para peneliti tidak hanya melakukan survei atau wawancara. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih kuat: sebuah Randomized Controlled Trial (RCT).1 Bayangkan ini seperti uji klinis untuk obat baru, yang merupakan standar emas dalam dunia sains. Mereka mengambil sekelompok manajer proyek konstruksi dan secara acak membaginya menjadi dua.

  • Grup Eksperimen (16 manajer): Grup ini menerima "obat" berupa pelatihan khusus yang disebut Individualized Behavior-based Safety-Leadership Training (IBST).

  • Grup Kontrol (19 manajer): Grup ini tidak menerima pelatihan apa pun dan melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa.

Setelah beberapa waktu, kedua grup dibandingkan untuk melihat apakah "obat" tersebut benar-benar bekerja. Desain penelitian yang ketat ini memastikan bahwa setiap perubahan yang terjadi pada grup eksperimen benar-benar disebabkan oleh pelatihan, bukan karena faktor kebetulan lainnya.

Lalu, apa isi dari pelatihan ajaib ini? Apakah para manajer diajarkan teori manajemen yang rumit atau strategi keuangan yang canggih? Sama sekali tidak. Inti dari pelatihan IBST berpusat pada dua keterampilan yang sering kita anggap remeh, dua "kekuatan super" yang tersembunyi di depan mata: Umpan Balik Positif dan Mendengarkan Aktif.

Namun, ini bukan sekadar nasihat generik yang biasa Anda dengar di seminar motivasi. Para peneliti mendefinisikannya dengan sangat presisi:

  • Umpan Balik Positif yang Efektif: Bukan sekadar ucapan "kerja bagus." Ini adalah tentang memberikan "informasi spesifik saat menjelaskan kepada karyawan bagaimana perilaku mereka telah berkontribusi dalam mencapai tujuan".1 Ini adalah umpan balik yang membangun, bukan sekadar pujian kosong.

  • Mendengarkan Aktif yang Sebenarnya: Bukan hanya diam saat orang lain berbicara. Ini melibatkan "mendengarkan pandangan karyawan, mengakui masukan mereka, dan memperhatikan informasi serta saran yang diberikan... saat memecahkan masalah dan membuat keputusan".1 Ini adalah proses dua arah yang menunjukkan rasa hormat dan validasi.

Pilihan untuk fokus hanya pada dua perilaku sederhana ini adalah sebuah langkah jenius. Di tengah kompleksitas manajemen proyek, para peneliti menyadari bahwa intervensi yang paling efektif sering kali menargetkan tuas paling fundamental dari interaksi manusia. Mereka tidak mencoba merebus samudra; mereka hanya memanaskan panci yang tepat, dan hasilnya, seperti yang akan kita lihat, sungguh luar biasa.

A-B-C Perubahan Perilaku: Cetak Biru Rahasia Seorang Pemimpin

Bagaimana mungkin dua keterampilan sederhana ini bisa menciptakan dampak yang begitu besar? Jawabannya terletak pada "mesin" psikologis yang menggerakkan pelatihan ini: sebuah kerangka kerja yang dikenal sebagai Behavior Analysis (BA), yang sering disederhanakan menjadi model A-B-C.

Bayangkan Mengelola Tim Anda dengan Kerangka Sederhana Ini...

Behavior Analysis adalah ilmu yang mempelajari mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan.1 Model A-B-C memecah setiap perilaku menjadi tiga komponen sederhana:

  1. A - Antecedent (Pemicu): Apa yang terjadi sebelum perilaku itu muncul? Ini bisa berupa instruksi, lingkungan kerja, atau bahkan waktu.

  2. B - Behavior (Perilaku): Tindakan spesifik yang dapat diamati yang ingin kita ubah atau perkuat.

  3. C - Consequence (Konsekuensi): Apa yang terjadi segera setelah perilaku itu dilakukan? Ini bisa berupa pujian, kritik, hasil kerja yang terlihat, atau tidak ada apa-apa sama sekali.

Bayangkan Anda ingin anak Anda mengerjakan PR (Behavior). Anda tidak bisa hanya menyuruhnya. Anda perlu menciptakan pemicu (Antecedent), seperti menyiapkan meja belajar yang rapi dan camilan. Dan Anda perlu memberikan konsekuensi positif (Consequence), seperti pujian spesifik ("Wow, tulisanmu rapi sekali di bagian ini!") atau waktu bermain ekstra setelah selesai. Itulah A-B-C dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam studi ini, para pelatih tidak memberikan ceramah umum. Mereka bekerja dengan setiap manajer untuk membuat "rencana ABC individual".1 Mereka menjadi "insinyur perilaku," membantu para manajer mendiagnosis masalah spesifik di lokasi proyek mereka dan merancang solusi yang disesuaikan.

Contoh konkret dari paper tersebut menggambarkan ini dengan sempurna 1:

  • A (Antecedent): Seorang manajer mengadakan rapat penilaian risiko dan secara aktif mengundang para pekerja untuk menjelaskan bagaimana sebuah tugas dapat dilakukan dengan aman.

  • B (Behavior): Para pekerja menyuarakan saran dan ide untuk meningkatkan keselamatan.

  • C (Consequence): Manajer mendengarkan, mengakui saran tersebut di depan umum, dan yang terpenting, mengimplementasikan solusi yang diusulkan oleh para pekerja.

Lihat betapa kuatnya siklus ini? Manajer menciptakan pemicu yang aman bagi pekerja untuk berbicara. Ketika pekerja merespons dengan perilaku yang diinginkan (memberi saran), mereka langsung menerima konsekuensi positif (didengarkan dan ide mereka dihargai). Ini membuat mereka lebih mungkin untuk berbicara lagi di masa depan.

Inovasi sesungguhnya dari pelatihan IBST bukanlah pada apa yang diajarkan (mendengarkan bukanlah ide baru), tetapi pada bagaimana itu diajarkan. Kerangka kerja ABC mengubah manajer dari sekadar penegak aturan menjadi pemecah masalah yang terampil, yang dapat mendiagnosis dan mengatasi tantangan unik tim mereka sendiri. Memahami kerangka kerja seperti ABC ini adalah inti dari manajemen yang efektif. Ini bukan hanya tentang keselamatan, tetapi tentang bagaimana menggerakkan seluruh proyek ke depan. Jika Anda ingin memperdalam fondasi ini, melihat(https://www.diklatkerja.com/course/category/project-management/) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik sebelum menerapkan teknik-teknik canggih seperti ini.2

Data Tidak Berbohong: Apa yang Diungkap oleh Hasil Penelitian

Jadi, apakah pelatihan ini berhasil? Jawabannya bukan sekadar "ya." Jawabannya adalah "ya, secara spektakuler." Para peneliti mengukur perubahan perilaku dan kinerja kepemimpinan sebelum dan sesudah pelatihan, dan hasilnya, yang disajikan dalam Tabel 4 paper tersebut, sangat meyakinkan.1 Sementara grup kontrol tidak menunjukkan perubahan signifikan, grup manajer yang dilatih mengalami transformasi yang terukur.

Mari kita pecah temuan utamanya:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Para manajer yang dilatih menunjukkan peningkatan dramatis dalam memberikan umpan balik. Kemampuan mereka memberikan favorable feedback (umpan balik yang positif secara umum) meroket dengan ukuran efek $d=0.99$. Dalam penelitian ilmu sosial, ini adalah dampak yang sangat besar. Demikian pula, safety-specific feedback (umpan balik khusus tentang keselamatan) naik tajam ($d=0.89$), begitu juga dengan behavior-specific feedback (umpan balik yang menjelaskan perilaku spesifik yang dihargai) ($d=0.66$). Mereka tidak hanya lebih sering memuji, tetapi pujian mereka menjadi lebih presisi dan efektif.

  • 🧠 Inovasi Tersembunyi: Ini adalah bagian yang paling membuat saya terkejut. Peningkatan keterampilan dasar seperti active listening (mendengarkan aktif) secara langsung menyebabkan peningkatan skor mereka pada metrik kepemimpinan tingkat tinggi. Antecedent listening (mendengarkan untuk mengumpulkan ide sebelum keputusan dibuat) meningkat signifikan ($d=0.68$), begitu pula consequential listening (mendengarkan dan menggunakan masukan karyawan) ($d=0.78$). Peningkatan ini secara kausal berhubungan dengan naiknya skor mereka pada transformational leadership ($d=0.78$) dan contingent-reward leadership ($d=0.64$).

  • 💡 Pelajaran Kunci: Studi ini membuktikan secara kuantitatif bahwa untuk menjadi pemimpin transformasional yang hebat, Anda tidak perlu memulai dengan visi besar yang abstrak. Anda harus mulai dengan tindakan kecil yang fundamental: bertanya, mendengarkan, dan memberikan pengakuan yang tulus. Investasi terbaik dalam kepemimpinan bukanlah pada sistem yang rumit, melainkan pada peningkatan keterampilan komunikasi yang paling mendasar dan manusiawi.

Temuan ini memecahkan sebuah teka-teki besar dalam dunia kepemimpinan. Konsep seperti "kepemimpinan transformasional" sering kali terasa abstrak dan sulit dijangkau. Studi ini menerjemahkannya menjadi tindakan nyata yang bisa dilatih. Ternyata, menjadi pemimpin transformasional adalah tindakan mendengarkan secara aktif dan memberikan umpan balik yang membangun. Studi ini memberikan peta jalan yang jelas dari perilaku mikro ke identitas kepemimpinan makro.

Dari Teori ke Lapangan: Kisah Nyata Kepemimpinan dalam Aksi

Data memang kuat, tetapi cerita membuat data menjadi hidup. Bagian paling menarik dari paper ini adalah Tabel 6, di mana para peneliti mendokumentasikan pengamatan langsung tentang bagaimana para manajer menerapkan rencana ABC mereka di lokasi proyek.1 Ini bukan lagi teori; ini adalah kepemimpinan yang dipraktikkan di tengah debu dan kebisingan lokasi konstruksi.

Kisah Lokasi Kerja yang Rapi dan Tempat Sampah yang Tepat Sasaran

  • Masalahnya (Defisit Perilaku): Para pekerja tidak menempatkan sisa material dan sampah pada tempatnya. Lokasi kerja berantakan dan berpotensi berbahaya.

  • Rencana ABC dalam Aksi:

    • A (Antecedent): Alih-alih memasang lebih banyak tanda peringatan atau mengancam dengan hukuman, manajer melakukan sesuatu yang radikal: dia bertanya kepada para pekerja apa yang mereka butuhkan. Jawaban mereka sederhana: tempat sampah yang ada sulit dijangkau. Manajer kemudian bertindak berdasarkan masukan tersebut dan menata ulang tata letak tempat sampah agar lebih nyaman.

    • B (Behavior): Para pekerja mulai membuang sampah dan merapikan sisa material dengan benar.

    • C (Consequence): Manajer secara rutin berkeliling lokasi dan memberikan umpan balik positif yang spesifik kepada para pekerja yang telah merapikan area mereka.

  • Pelajaran: Solusinya bukanlah lebih banyak aturan, tetapi lebih banyak mendengarkan. Dengan mengatasi hambatan kecil, manajer membuat perilaku yang benar menjadi lebih mudah untuk dilakukan.

Kisah Aplikasi yang Kurang Dimanfaatkan dan Kekuatan Demonstrasi

  • Masalahnya (Defisit Perilaku): Para pekerja tidak menggunakan aplikasi seluler yang dirancang untuk melaporkan insiden atau potensi bahaya.

  • Rencana ABC dalam Aksi:

    • A (Antecedent): Daripada mengirim email memo yang akan diabaikan, manajer mengumpulkan para pekerja, meminta mereka untuk mendeskripsikan pengalaman mereka dengan aplikasi tersebut, dan membiarkan mereka saling mendemonstrasikan cara penggunaannya satu sama lain.

    • B (Behavior): Pelaporan insiden melalui aplikasi mulai meningkat.

    • C (Consequence): Manajer memberikan umpan balik visual setiap minggu (misalnya, grafik sederhana di papan pengumuman) yang menunjukkan jumlah laporan yang masuk. Ini membuat kemajuan menjadi terlihat dan memperkuat perilaku kolektif.

  • Pelajaran: Pembelajaran dari rekan sebaya dan visualisasi kemajuan adalah motivator yang sangat kuat. Manajer berperan sebagai fasilitator, bukan hanya sebagai pemberi perintah.

Kisah Pengarahan Keselamatan yang Akhirnya Efektif

  • Masalahnya (Defisit Perilaku): Para supervisor memberikan pengarahan keselamatan (safety introduction) yang tidak efektif kepada pekerja baru.

  • Rencana ABC dalam Aksi:

    • A (Antecedent): Manajer mengadakan rapat di mana para supervisor diminta untuk menjelaskan proses mereka. Salah satu supervisor bahkan diminta untuk melakukan role-play (bermain peran) untuk melatih cara memberikan pengarahan yang efektif.

    • B (Behavior): Para supervisor mulai memberikan pengarahan keselamatan yang lebih jelas, menarik, dan efektif.

    • C (Consequence): Manajer secara pribadi ikut serta dalam salah satu sesi pengarahan. Setelah selesai, dia memberikan umpan balik spesifik kepada supervisor tentang bagaimana metode barunya berkontribusi secara positif terhadap keselamatan di lokasi.

  • Pelajaran: Latihan yang disertai umpan balik adalah kunci untuk pengembangan keterampilan, bahkan bagi supervisor yang paling berpengalaman sekalipun.

Kisah-kisah ini mengungkapkan sebuah siklus yang saling menguatkan. Dengan menerapkan A-B-C, pekerjaan manajer justru menjadi lebih mudah, bukan lebih sulit. Manajer yang mendengarkan keluhan tentang tempat sampah mendapatkan lokasi kerja yang lebih bersih dan aman, yang berarti lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk menegur dan mengawasi. Ini sejalan dengan data lain dalam paper yang menunjukkan bahwa para manajer merasakan "penguatan instrumental"—mereka merasa pelatihan itu "memfasilitasi pekerjaan" dan "meningkatkan efisiensi".1 Perilaku kepemimpinan baru mereka diperkuat oleh hasil nyata yang positif, yang merupakan kunci untuk membuat perubahan itu permanen.

Pandangan Kritis: Di Mana Studi Ini Bisa Lebih Kuat

Tidak ada penelitian yang sempurna, dan mengakui keterbatasannya justru membangun kredibilitas. Para penulis paper ini sangat transparan mengenai hal ini. Meskipun temuannya sangat kuat, ada beberapa hal yang perlu diingat.

  • Ukuran Sampel yang Kecil: Dengan hanya 16 manajer dalam grup eksperimen, sulit untuk menggeneralisasi hasil ini ke semua manajer konstruksi di seluruh dunia. Namun, ini berfungsi sebagai "bukti konsep" yang sangat meyakinkan.1

  • Dampak Pandemi COVID-19: Sebagian pelatihan, yang awalnya dirancang untuk tatap muka, terpaksa dipindahkan ke format online. Kita tidak tahu pasti apakah hasilnya akan lebih baik lagi jika semua sesi dilakukan secara langsung.1

  • Tindak Lanjut Jangka Pendek: Pengukuran akhir dilakukan enam minggu setelah sesi pelatihan terakhir. Ini menunjukkan efek jangka menengah yang bertahan lama. Pertanyaan besarnya adalah: apakah perubahan ini bertahan selama enam bulan? Setahun? Lima tahun? Studi lanjutan untuk melacak dampak jangka panjang akan sangat berharga.1

Meskipun ada batasan-batasan ini, temuan studi ini terlalu kuat untuk diabaikan. Ini memberikan peta jalan yang jelas, tidak hanya untuk penelitian di masa depan, tetapi juga bagi para pemimpin yang ingin membuat perubahan nyata hari ini.

Langkah Pertama Anda untuk Menjadi Pemimpin yang Lebih Baik Hari Ini

Jika ada satu pesan yang bisa diambil dari penelitian yang luar biasa ini, itu adalah ini: perbaikan besar dalam kepemimpinan, kinerja, dan keselamatan tidak datang dari sistem yang rumit atau teknologi yang mahal. Perbaikan itu datang dari penerapan yang disengaja dan terampil dari dua perilaku manusia yang paling fundamental: mendengarkan secara aktif dan memberikan umpan balik positif yang spesifik.

Mekanisme perubahannya jelas: gunakan kerangka A-B-C untuk mendiagnosis tantangan tim Anda, lalu rekayasa lingkungan di mana perilaku yang benar menjadi mudah dan memuaskan untuk dilakukan.

Jika Anda seorang pemimpin, manajer, atau siapa pun yang ingin meningkatkan pengaruh Anda, pelajaran dari studi ini sangat berharga. Mulailah dari yang kecil. Dalam rapat Anda berikutnya, cobalah untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Saat Anda melihat seorang anggota tim melakukan sesuatu dengan benar, jangan hanya berkata "kerja bagus." Berikan umpan balik yang spesifik tentang mengapa tindakan itu bagus dan bagaimana itu membantu tim.

Perubahan kecil ini, yang didukung oleh sains yang kuat, memiliki kekuatan untuk menciptakan efek riak yang akan mengubah tidak hanya keselamatan tim Anda, tetapi juga budaya dan kinerja organisasi Anda secara keseluruhan.

Kalau kamu tertarik dengan detail ilmiah di balik ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.1016/j.jsr.2023.08.005)

Selengkapnya
Cacat Tak Terlihat dalam Baju Zirah Seorang Pemimpin

Kegagalan Kontruksi

Kegagalan Bangunan dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa: Kajian UU Jasa Konstruksi 20

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 Oktober 2025


Pendahuluan: Pentingnya Regulasi dalam Dunia Konstruksi

Industri konstruksi memiliki karakteristik risiko yang tinggi karena menyangkut aspek teknis, keselamatan, dan investasi besar. Maka dari itu, kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga berdampak hukum yang signifikan. Artikel ini menyoroti bagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur pertanggungjawaban penyedia jasa bila terjadi kegagalan bangunan—baik dalam bentuk fisik, fungsi, maupun keamanan.

Tulisan ini menguraikan proses ganti rugi, peran penilai ahli, serta tanggung jawab hukum berdasarkan kontrak konstruksi yang berlaku. Dengan pendekatan normatif, penulis melakukan telaah mendalam terhadap pasal-pasal kunci dalam UU tersebut, serta menggambarkan implikasi praktis di lapangan.

 

Dasar Hukum: Struktur Tanggung Jawab dalam UU Jasa Konstruksi

UU No. 2 Tahun 2017 menjadi payung hukum utama yang menggantikan UU No. 18 Tahun 1999. Di dalamnya, istilah “kegagalan bangunan” dijelaskan sebagai keadaan bangunan yang tidak berfungsi secara teknis, manfaat, atau keselamatan akibat kesalahan pihak penyedia atau pengguna jasa. Beberapa poin kunci dari UU ini:

  • Pasal 60–67: Mengatur mekanisme tanggung jawab dan ganti rugi

  • Pasal 65: Menyatakan penyedia jasa bertanggung jawab maksimal 10 tahun setelah serah terima akhir

  • Pasal 61–62: Menyebutkan bahwa kegagalan hanya dapat ditetapkan oleh penilai ahli yang ditunjuk oleh Menteri
     

Penegasan ini menempatkan tanggung jawab sebagai komponen hukum utama dalam pelaksanaan proyek.

 

Analisis Faktor Hukum: Ganti Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban

Kapan Ganti Rugi Wajib Diberikan?

Berdasarkan Pasal 1248 KUH Perdata dan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2017, ganti rugi wajib diberikan jika:

  • Terjadi kegagalan bangunan akibat kelalaian penyedia jasa

  • Pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak

  • Terdapat wanprestasi (ingkar janji) berupa:

    • Tidak melakukan apa yang dijanjikan

    • Melakukan tapi tidak sesuai janji

    • Melakukan terlalu lambat

    • Melakukan sesuatu yang dilarang
       

Contoh praktis:

Apabila kontraktor membangun fondasi tidak sesuai dengan RKS (Rencana Kerja dan Syarat), sehingga menyebabkan keretakan dalam waktu enam bulan, maka kontraktor tetap berkewajiban mengganti kerugian atas kerusakan tersebut, meskipun pekerjaan telah diserahterimakan.

 

Peran Kontrak dan Klausul Kegagalan Bangunan

Kontrak konstruksi menjadi instrumen penting dalam pembagian tanggung jawab. Beberapa hal yang harus dimuat:

  • Jangka waktu pertanggungjawaban

  • Risiko yang ditanggung masing-masing pihak

  • Skema ganti rugi dan penghentian kontrak

Namun praktik di lapangan sering menunjukkan bahwa banyak kontrak tidak memasukkan klausul kegagalan bangunan secara rinci, atau hanya menyalin format standar tanpa penyesuaian proyek.

 

Peran Penilai Ahli: Menjamin Objektivitas dan Keadilan

Penentu utama kegagalan bangunan bukan pemilik proyek atau kontraktor, tapi penilai ahli yang ditunjuk Menteri. Berdasarkan Pasal 61 UU No. 2/2017, penilai ahli harus:

  • Memiliki sertifikat keahlian sesuai jenis bangunan

  • Terdaftar secara resmi di kementerian terkait

  • Bekerja secara independen dan objektif
     

Tugas utama penilai ahli antara lain:

  • Menetapkan tingkat kerusakan dan penyebabnya

  • Menilai apakah standar keselamatan dan keberlanjutan dilanggar

  • Mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab

  • Memberikan rekomendasi untuk mencegah kegagalan serupa
     

 

Kritik dan Refleksi terhadap Implementasi UU

1. Kelemahan dalam Implementasi di Lapangan

Banyak pelaksana jasa konstruksi, khususnya di daerah, belum memahami struktur tanggung jawab ini secara utuh. Masih sering ditemukan:

  • Proyek berjalan tanpa dokumen kontrak yang lengkap

  • Penanggung jawab bangunan kabur setelah pekerjaan selesai

  • Penilaian kegagalan dilakukan tanpa penunjukan ahli resmi

2. Belum Optimalnya Pengawasan Teknis

Seringkali proyek tetap berjalan meski kualitas pelaksana rendah. Kurangnya pengawasan saat pengerjaan fisik memicu kegagalan struktur di masa mendatang.

 

Komparasi dengan Regulasi Negara Lain

Negara seperti Singapura dan Jepang menerapkan sistem tanggung jawab berjenjang:

  • Konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek sama-sama dapat dimintai pertanggungjawaban

  • Skema asuransi decennial liability (10 tahun) wajib diterapkan

  • Pengujian kelayakan dilakukan rutin, bahkan setelah proyek selesai
     

Indonesia masih dalam tahap transisi menuju model ini, terutama dalam hal pendanaan dan kapasitas teknis SDM.

 

Kasus Terkini dan Relevansi Penelitian

Salah satu contoh kegagalan bangunan di Indonesia adalah runtuhnya balkon gedung sekolah di Malang tahun 2022. Penyelidikan mengungkap bahwa bahan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi dan pemasangan tidak mengikuti standar. Akibatnya, pihak kontraktor diminta menanggung perbaikan total dan dikenakan denda.

 

Penelitian ini menjadi sangat relevan karena mempertegas bahwa:

  • Penegakan tanggung jawab bukan hanya melalui pidana, tetapi juga perdata melalui mekanisme kontrak

  • Mekanisme ganti rugi harus dimuat jelas sejak awal kontrak, bukan diselesaikan saat sengketa muncul

 

Rekomendasi Strategis

Bagi Pemerintah:

  • Perkuat peran penilai ahli melalui sistem sertifikasi digital dan pengawasan independen

  • Sosialisasi intensif kepada kontraktor kecil dan menengah tentang pasal-pasal kunci dalam UU No. 2/2017
     

Bagi Pengguna Jasa (Owner Proyek):

  • Pastikan kontrak memuat klausul kegagalan bangunan secara terpisah dari risiko umum

  • Gunakan kontrak berbasis kinerja (performance-based contract)
     

Bagi Penyedia Jasa:

  • Miliki asuransi pertanggungjawaban konstruksi (liability insurance)

  • Dokumentasikan setiap tahap pelaksanaan sebagai bukti pengendalian mutu
     

 

Kesimpulan

Kegagalan bangunan tidak lagi bisa dipandang sebagai risiko yang bisa dinegosiasi, tetapi harus menjadi tanggung jawab penuh berdasarkan hukum. UU No. 2 Tahun 2017 menegaskan bahwa penyedia jasa wajib memberikan ganti rugi maksimal 10 tahun sejak proyek diserahterimakan. Penilaian oleh ahli yang independen adalah jantung dari penentuan kesalahan dan skema pertanggungjawaban.

Penerapan regulasi ini secara disiplin akan melindungi tidak hanya kepentingan pengguna jasa, tetapi juga membentuk ekosistem konstruksi yang profesional, transparan, dan berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan.

 

Sumber:

Swita Bella, Said Aneke-R, & Frits Marannu Dapu.
Ganti Kerugian oleh Penyedia Jasa Apabila Terjadi Kegagalan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
Jurnal Lex Privatum, Vol.XI/No.5/Jun/2023.
Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum.

 

Selengkapnya
Kegagalan Bangunan dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa: Kajian UU Jasa Konstruksi 20

Keterlambatan Proyek

Mengungkap Akar Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aceh: Analisis Faktor Risiko dan Solusi Strategis

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 Oktober 2025


Pendahuluan: Keterlambatan Proyek, Fenomena Sistemik di Industri Konstruksi

 

Keterlambatan proyek konstruksi merupakan persoalan klasik yang terus berulang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Provinsi Aceh, masalah ini bahkan menjadi hal rutin yang terjadi hampir setiap akhir tahun anggaran. Tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga berdampak langsung pada keterlambatan pelayanan publik dan kepercayaan terhadap tata kelola pemerintah daerah.

Penelitian oleh Rauzana dan Dharma berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa saja faktor risiko utama yang memicu keterlambatan proyek konstruksi di Aceh? Melalui pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner dan analisis deskriptif statistik, mereka mengidentifikasi dan mengklasifikasikan 60 indikator keterlambatan berdasarkan pengaruhnya terhadap proyek.

 

Metodologi: Survei Lapangan dan Analisis Statistik

Penelitian ini mengandalkan data primer dari 68 responden, seluruhnya berasal dari perusahaan kontraktor yang memiliki pengalaman mengelola proyek konstruksi antara tahun 2012–2020 di Aceh. Responden sebagian besar memiliki kualifikasi perusahaan M1 (92,65%) dengan rentang biaya proyek di bawah Rp10 miliar.

Data dianalisis menggunakan uji validitas, reliabilitas (dengan Cronbach Alpha > 0,6 untuk semua variabel), dan distribusi frekuensi. Indikator dinilai menggunakan skala Likert 1–5, dan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori pengaruh: sangat berpengaruh (mode = 5), berpengaruh tinggi (mode = 4), dan pengaruh sedang (mode = 3).

 

Temuan Utama: 30 Faktor Risiko Paling Dominan

Dari 60 indikator, terdapat 30 faktor yang dikategorikan sebagai sangat berpengaruh terhadap keterlambatan proyek. Faktor-faktor ini diklasifikasikan ke dalam sepuluh kelompok utama:

1. Material

Masalah seperti perubahan spesifikasi, kerusakan penyimpanan, keterlambatan pengiriman, dan kesalahan perhitungan kebutuhan material menjadi penyebab utama.
Contoh: 91,2% responden menyebut “perubahan spesifikasi material” sebagai faktor keterlambatan tertinggi (mode = 5).

2. Peralatan

Kerusakan alat berat dan rendahnya produktivitas alat menjadi pemicu utama. Efisiensi penggunaan alat menjadi krusial agar pekerjaan tidak stagnan.

3. Keuangan

Kondisi keuangan kontraktor yang lemah, keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek, serta tingginya biaya overhead berkontribusi besar terhadap kegagalan progres proyek.

4. Tenaga Kerja

Kelangkaan tenaga kerja terampil, kelelahan akibat lembur, dan rendahnya motivasi karyawan menjadi perhatian utama.

5. Pelaksanaan Proyek

Perubahan desain, kesalahan perencana, dan pekerjaan tambahan yang tidak terencana menambah beban waktu pengerjaan.

6. Manajemen

Kesalahan dalam memahami dokumen kontrak, tidak adanya SOP, dan metode pelaksanaan yang keliru termasuk faktor internal paling kritis.

7. Faktor Politik

Persoalan seperti lambatnya pengesahan anggaran, intervensi organisasi massa, dan ketidakharmonisan antar instansi pemerintah sangat berdampak pada kelancaran proyek.

8. Faktor Kriminalitas

Kehilangan material, pemakaian narkoba oleh pekerja, hingga pungutan liar menciptakan kerugian tidak hanya secara finansial tapi juga moral.

9. Kepemimpinan Proyek

Kurangnya pengalaman manajer proyek dalam menyusun jadwal dan membagi tugas menjadi pemicu langsung keterlambatan.

10. Lingkungan

Cuaca ekstrem dan aksesibilitas yang buruk ke lokasi proyek seringkali diabaikan dalam perencanaan awal, padahal sangat memengaruhi progres fisik lapangan.

 

Analisis Tambahan dan Studi Kasus Relevan

Tren Nasional: Kasus Serupa di Daerah Lain

Penelitian oleh Yap et al. (2021) di Malaysia menunjukkan bahwa 80% proyek mengalami keterlambatan akibat faktor serupa, seperti masalah keuangan, ketidaksiapan tenaga kerja, dan lemahnya koordinasi.

Data Proyek Aceh (2012–2020):

Menurut laporan BPK Aceh, hampir 72% proyek APBA 2019 tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan betapa strukturalnya persoalan ini di provinsi tersebut.

Studi Banding Internasional:

  • Di Mesir, Aziz & Abdel-Hakam (2016) menyatakan bahwa 88% keterlambatan disebabkan oleh desain ulang dan manajemen waktu yang buruk.

  • Di UEA, studi Mpofu et al. (2017) mencatat keterlambatan besar karena minimnya komunikasi antar stakeholder.
     

Kritik dan Rekomendasi: Menuju Solusi Berbasis Data

Kelebihan Penelitian:

  • Cakupan data yang luas dan analisis mendalam berdasarkan 68 responden.

  • Klasifikasi variabel sangat rinci, mencakup aspek teknis hingga politik.

Namun, terdapat beberapa keterbatasan:

  • Fokus wilayah hanya di Aceh membuat generalisasi terbatas.

  • Data hanya berasal dari pihak kontraktor. Perspektif pemilik proyek dan konsultan belum diwakili.
     

Rekomendasi Strategis:

  1. Penguatan Manajemen Risiko di Tahap Awal Proyek.
    Identifikasi risiko seharusnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani, termasuk penilaian kapasitas finansial dan teknis kontraktor.
     

  2. Integrasi Teknologi Informasi.
    Mengadopsi sistem manajemen proyek berbasis digital (seperti BIM atau PMIS) untuk meningkatkan koordinasi dan pelacakan real-time.
     

  3. Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi.
    Pelatihan intensif bagi manajer proyek dan pengawas lapangan dalam hal time management dan pengendalian mutu.
     

  4. Kolaborasi Antarlembaga Pemerintah.
    Diperlukan SOP yang seragam dan harmonisasi lintas instansi agar birokrasi tidak menjadi penghambat.

 

Kesimpulan

Studi ini memperjelas bahwa keterlambatan proyek konstruksi bukan sekadar akibat teknis di lapangan, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian proyek. Dengan mengidentifikasi 60 faktor penyebab keterlambatan dan mengelompokkan 30 di antaranya sebagai sangat berpengaruh, penelitian ini memberikan landasan yang kuat untuk pengambilan keputusan berbasis data dalam industri konstruksi, khususnya di Aceh.

Dampak keterlambatan tidak hanya finansial, tetapi juga sosial, terutama jika menyangkut infrastruktur dasar yang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, penanganan persoalan ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, pendekatan preventif berbasis data, serta penerapan manajemen proyek yang lebih adaptif terhadap risiko.

 

Sumber:

Rauzana, A., & Dharma, W. (2022). Causes of delays in construction projects in the Province of Aceh, Indonesia. PLOS ONE, 17(1): e0263337.
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0263337

Selengkapnya
Mengungkap Akar Keterlambatan Proyek Konstruksi di Aceh: Analisis Faktor Risiko dan Solusi Strategis
« First Previous page 30 of 1.267 Next Last »