Logistik Cerdas
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025
Pendahuluan
Dalam era digital, last-mile logistics menjadi fokus utama dalam meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan rantai pasok. E-commerce yang berkembang pesat menuntut solusi inovatif dalam pengiriman, terutama yang ramah lingkungan dan efisien. Studi ini mengeksplorasi penerapan teknologi cerdas dalam last-mile logistics di Polandia, membahas tantangan, peluang, serta dampak keberlanjutannya.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis eksploratif terhadap sumber sekunder (buku, artikel, laporan industri) serta studi CAWI (Computer-Assisted Web Interview) mengenai kebiasaan belanja online konsumen Polandia.
Temuan Utama
1. Pentingnya Teknologi Cerdas dalam Last-Mile Logistics
2. Model Pengiriman Berkelanjutan dan Teknologi Hijau
3. Hambatan Implementasi Teknologi Smart Logistics
Kesimpulan & Rekomendasi
Penerapan teknologi cerdas dalam last-mile logistics berpotensi meningkatkan efisiensi layanan pelanggan serta mendukung transisi ke sistem logistik yang lebih hijau dan berkelanjutan. Tiga rekomendasi utama:
Sumber : Kolasińska-Morawska, K., Sułkowski, Ł., Buła, P., Brzozowska, M., & Morawski, P. (2022). Smart Logistics—Sustainable Technological Innovations in Customer Service at the Last-Mile Stage: The Polish Perspective. Energies, 15, 6395.
Risiko Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Investasi Transformasional di Era Risiko Global
Dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh ketidakpastian, investor institusional dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mengelola portofolio agar tetap menghasilkan imbal hasil optimal, sekaligus berkontribusi pada solusi risiko sistemik global seperti perubahan iklim, keamanan air, ketidakstabilan geopolitik, evolusi teknologi, pergeseran demografi, dan suku bunga rendah berkepanjangan. White paper “Transformational Investment: Converting Global Systemic Risks into Sustainable Returns” (World Economic Forum, 2020) menawarkan kerangka kerja dan studi kasus nyata tentang bagaimana investor global mulai bertransformasi dari sekadar pencari keuntungan menjadi agen perubahan yang mampu mengubah risiko sistemik menjadi peluang berkelanjutan.
Artikel ini tidak hanya penting bagi pelaku industri keuangan, tetapi juga bagi pemerintah, korporasi, dan masyarakat luas yang ingin memahami peran investasi dalam membangun masa depan yang lebih resilien dan inklusif.
Risiko Sistemik Global: Tantangan dan Peluang Investasi
Enam Risiko Sistemik Utama
Laporan ini mengidentifikasi enam risiko sistemik global yang paling relevan bagi investor jangka panjang:
Setiap risiko ini saling terkait dan sering kali memperkuat satu sama lain, sehingga membutuhkan pendekatan investasi yang holistik dan kolaboratif.
Studi Kasus Transformasional: Praktik Terbaik Investor Global
1. Perubahan Iklim: New Zealand Superannuation Fund (NZSF)
NZSF menilai bahwa mengabaikan risiko iklim sama dengan mengambil risiko berlebihan dalam pengelolaan portofolio. Pada 2017, NZSF mengalihkan NZD 950 juta dari perusahaan dengan eksposur karbon tinggi ke perusahaan yang lebih ramah lingkungan. Hasilnya, pada 2019 intensitas emisi karbon portofolio turun 43% dan eksposur cadangan karbon turun 52% dibanding benchmark awal. Strategi ini tidak hanya mengurangi risiko, tetapi juga membuka peluang investasi baru di bidang energi terbarukan, teknologi pertanian, dan bangunan hijau.
2. Keamanan Air: British Columbia Investment Management Corporation (BCI)
BCI menempatkan risiko air sebagai isu utama dalam strategi ESG mereka. Dengan aset CA$153 miliar, BCI berinvestasi di sektor-sektor padat air seperti utilitas, energi, dan konstruksi. Mereka mengembangkan alat pemantauan risiko air berbasis lokasi untuk aset real estat dan melakukan penelitian mendalam tentang teknologi desalinasi. Salah satu investasi strategis adalah perusahaan purifikasi air global, yang dipilih berdasarkan analisis risiko air dan peluang pasar.
3. Ketidakstabilan Geopolitik: Temasek, Singapura
Temasek, dengan portofolio besar di sektor transportasi dan logistik (7% PDB Singapura), melakukan stress test skenario geopolitik seperti perlambatan ekonomi China, eskalasi perang dagang, dan stagnasi sekuler. Setiap skenario dievaluasi dampaknya terhadap nilai intrinsik investasi, sehingga portofolio tetap adaptif terhadap volatilitas global.
4. Evolusi Teknologi: Mubadala Investment Company, Uni Emirat Arab
Mubadala aktif berinvestasi di perusahaan teknologi dan venture capital, serta membangun budaya organisasi yang adaptif terhadap inovasi. Mereka menerapkan analisis risiko teknologi pada setiap keputusan investasi, termasuk aspek keamanan siber, etika, dan diversifikasi portofolio untuk mengantisipasi disrupsi.
5. Pergeseran Demografi: Sunsuper, Australia
Sunsuper menggunakan proyeksi pertumbuhan tenaga kerja global untuk memandu strategi investasi jangka panjang. Dengan populasi menua, Sunsuper mendiversifikasi portofolio ke aset alternatif dan infrastruktur, serta menyesuaikan ekspektasi imbal hasil masa depan agar tetap realistis.
6. Suku Bunga Rendah: Ireland Strategic Investment Fund (ISIF)
ISIF mengadopsi strategi “double bottom line”—mencari imbal hasil komersial sekaligus dampak ekonomi nasional. Dengan suku bunga rendah, ISIF meningkatkan fokus pada strategi alpha dan absolute return, serta menyesuaikan alokasi aset agar tetap relevan dengan perubahan lingkungan moneter.
Angka-Angka Kunci dan Skala Tantangan
Kerangka Tata Kelola: Roadmap Transformasional 6 Langkah
Laporan ini menawarkan roadmap tata kelola investasi transformasional yang terdiri dari enam langkah:
Kerangka ini menekankan pentingnya kolaborasi, inovasi, dan monitoring berkelanjutan agar investasi benar-benar mampu mengubah risiko menjadi peluang.
Tren Industri dan Inisiatif Kolektif
Kolaborasi dan Standar Industri
Banyak inisiatif industri yang mendukung investasi transformasional, seperti Principles for Responsible Investment (PRI), Task Force on Climate-Related Financial Disclosures (TCFD), dan Santiago Principles untuk sovereign wealth funds. Kolaborasi semacam ini mempercepat adopsi praktik terbaik, berbagi data, dan menciptakan pasar baru untuk investasi berkelanjutan.
Contoh Transformasi Nyata
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Nilai Tambah dan Kritik
Laporan ini unggul dalam menggabungkan teori, praktik, dan studi kasus nyata dari berbagai negara dan institusi. Namun, beberapa tantangan yang masih perlu diatasi antara lain:
Perbandingan dengan Studi Lain
Temuan ini sejalan dengan laporan-laporan World Bank dan UNDP yang menekankan pentingnya peran investor institusional dalam pencapaian SDGs. Namun, laporan WEF ini lebih menekankan pada tata kelola dan studi kasus nyata, bukan hanya kebutuhan modal.
Relevansi dengan Tren Global dan Masa Depan Industri
Arah Industri Investasi
Peluang dan Tantangan
Kesimpulan dan Rekomendasi
Investasi transformasional bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis di era risiko sistemik global. Dengan mengadopsi tata kelola yang kuat, kolaborasi, dan inovasi, investor institusional dapat menjadi motor penggerak perubahan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Rekomendasi utama:
Dengan langkah-langkah ini, investasi transformasional dapat menjadi jembatan antara tujuan finansial dan keberlanjutan planet, menciptakan nilai jangka panjang bagi investor, masyarakat, dan generasi mendatang.
Sumber Artikel Asli
World Economic Forum. “Transformational Investment: Converting Global Systemic Risks into Sustainable Returns.” May 2020.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Sungai Indus, Hidropolitik, dan Tantangan Kerja Sama Regional
Sungai Indus bukan hanya urat nadi bagi Pakistan dan India, tetapi juga simbol kompleksitas hubungan lintas batas di Asia Selatan. Sejak pembagian India dan Pakistan pada 1947, pengelolaan Indus telah menjadi sumber sengketa, kerja sama, dan ketegangan geopolitik. Paper “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation” karya Hanifeh Rigi dan Jeroen F. Warner (2020) menawarkan analisis mendalam tentang mengapa, meski ada perjanjian formal seperti Indus Waters Treaty (IWT), kerja sama air antara kedua negara tetap rapuh dan sering berujung pada kebuntuan.
Artikel ini sangat penting di tengah meningkatnya tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air bersih di kawasan. Dengan menyoroti peran aktor domestik dan internasional, serta strategi negosiasi yang digunakan kedua negara, paper ini memberikan wawasan segar tentang dinamika “permainan dua level” (two-level game) dalam diplomasi air lintas batas.
Kerangka Teori: Realisme, Liberalisme, dan Permainan Dua Level
Realisme vs Liberalisme dalam Hidropolitik
Dalam studi hubungan internasional, realisme menekankan persaingan, konflik, dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri. Air, dalam perspektif ini, dipandang sebagai sumber daya strategis yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi negara, bahkan sebagai alat tekanan politik atau militer. Sebaliknya, liberalisme (atau institusionalisme) menyoroti pentingnya institusi internasional, aktor non-negara, dan potensi kerja sama melalui rezim multilateral, seperti IWT.
Permainan Dua Level (Two-Level Game Theory)
Robert Putnam mengembangkan teori “permainan dua level” untuk menjelaskan bagaimana negosiator negara harus menyeimbangkan kepentingan domestik (Level II) dan internasional (Level I). Keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada “win-set”—yaitu himpunan solusi yang bisa diterima baik oleh aktor domestik maupun mitra internasional. Semakin kecil win-set, semakin sulit tercapai kesepakatan. Paper ini menyoroti bahwa di Indus, win-set kedua negara sangat sempit akibat tekanan domestik, politisasi isu air, dan strategi negosiasi yang saling mengunci123.
Studi Kasus: Konflik dan Negosiasi di Sungai Indus
Latar Belakang: Indus Waters Treaty (IWT) dan Realitas Lapangan
IWT yang ditandatangani pada 1960, membagi enam sungai utama di Indus Basin: tiga sungai barat (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan, dan tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India. Perjanjian ini dianggap sukses bertahan lebih dari 60 tahun, bahkan melewati tiga perang besar antara kedua negara45. Namun, implementasinya terus diwarnai sengketa, terutama terkait pembangunan bendungan dan proyek pembangkit listrik India di sungai-sungai barat yang dianggap mengancam pasokan air Pakistan.
Angka-angka Kunci:
Politik Domestik dan Securitization di Pakistan
Air di Pakistan sangat dipolitisasi dan disecuritasi—artinya diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar isu kebijakan publik. Aktor-aktor domestik seperti militer, partai Islamis, kelompok tani, dan teknokrat menggunakan narasi anti-India untuk memperkuat posisi tawar mereka. Misalnya, laporan Engineers Study Forum menuduh India “mencuri” 15–20% air, menyebabkan kerugian US$12 miliar per tahun bagi sektor pertanian Pakistan. Demonstrasi massal oleh kelompok tani dan aksi protes di berbagai kota menambah tekanan pada pemerintah untuk tidak berkompromi dengan India1.
Militer Pakistan, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik luar negeri, memandang isu air tak terpisahkan dari konflik Kashmir. Setiap upaya kompromi dengan India sering digagalkan oleh tekanan kelompok ekstremis dan militer yang menganggap air adalah bagian dari “perjuangan” melawan India. Ketidakharmonisan antara pemerintah sipil, militer, dan kelompok agama memperkecil win-set domestik, sehingga negosiator sulit mengambil keputusan yang pragmatis1.
Politik Domestik dan Tekanan di India
Di India, tekanan datang dari politisi nasionalis, pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir, dan masyarakat lokal yang merasa IWT terlalu menguntungkan Pakistan. Setelah serangan teror di Kashmir (seperti insiden Uri 2016 dan Pulwama 2019), pemerintah India mendapat tekanan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengancam meninjau ulang atau bahkan membatalkan IWT57. Pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir secara resmi menuntut revisi atau bahkan pembatalan IWT, karena dianggap membatasi pembangunan ekonomi dan energi lokal.
Tekanan domestik ini membuat pemerintah India cenderung mengambil posisi negosiasi yang kaku, khawatir dianggap lemah di mata publik dan oposisi. Akibatnya, setiap upaya kompromi dengan Pakistan dianggap berisiko secara politik1.
Strategi Negosiasi: Securitization, Issue-Linkage, dan Aliansi
Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Ketergantungan Ekonomi Pakistan pada Indus
Namun, kapasitas penyimpanan air Pakistan sangat terbatas—kurang dari 10% aliran tahunan sungai, jauh di bawah standar internasional. Ini membuat Pakistan sangat rentan terhadap fluktuasi debit air akibat pembangunan bendungan di India atau perubahan iklim6.
Studi Kasus: Krisis dan Deadlock Negosiasi
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain
Nilai Tambah Artikel
Paper ini menonjol karena:
Kritik dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi Astha Nahar (2023) menyoroti perlunya modernisasi IWT agar lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim, pengelolaan air tanah, dan kebutuhan adaptasi kelembagaan9. Sementara laporan-laporan lain menyoroti bahwa IWT masih terlalu negara-sentris dan kurang melibatkan komunitas lokal atau mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan8.
Relevansi dengan Tren Regional dan Global
Konteks Asia Selatan dan Global
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Kesimpulan
Paper ini menunjukkan bahwa kerja sama air lintas batas di Indus tidak hanya soal teknis atau hukum, melainkan juga soal politik domestik, identitas, dan strategi negosiasi yang kompleks. Selama win-set tetap sempit akibat tekanan domestik, politisasi, dan aliansi geopolitik, peluang kerja sama substantif akan tetap kecil. Namun, dengan reformasi kelembagaan, depolitisasi isu air, dan pendekatan adaptif, masih ada harapan untuk membangun tata kelola air yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di Indus—dan kawasan lain di dunia.
Sumber Artikel Asli
Hanifeh Rigi and Jeroen F. Warner. “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation.” Water Policy 22 (2020): 972–990.
Keamanan Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025
Air, Ketahanan, dan Masa Depan Sahel
Wilayah G5 Sahel—yang terdiri dari Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger—merupakan salah satu kawasan paling rapuh di dunia, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Laporan “Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel” dari World Bank (2021) hadir di tengah krisis multidimensi: pertumbuhan penduduk pesat, kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, konflik agraria, dan migrasi massal. Paper ini mengulas secara mendalam bagaimana keamanan air (water security) menjadi fondasi utama bagi ketahanan ekonomi, sosial, dan stabilitas kawasan, serta menawarkan kerangka baru untuk intervensi regional yang lebih efektif.
Konteks: Mengapa Keamanan Air di Sahel Begitu Mendesak?
Sahel adalah zona transisi antara Sahara dan Afrika sub-Sahara, dengan curah hujan rendah dan variabilitas iklim ekstrem. Populasi kawasan ini diproyeksikan hampir dua kali lipat dari 86 juta menjadi 173 juta pada tahun 2040, dengan 47% penduduk berusia di bawah 15 tahun. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, dan perubahan iklim akan memangkas separuh ketersediaan air per kapita dalam 20 tahun ke depan, mendorong sebagian besar negara G5 Sahel ke status rawan air.
Meskipun secara nasional ketersediaan air tahunan masih mencukupi, disparitas spasial dan temporal menyebabkan sebagian besar penduduk tetap hidup dalam ketidakamanan air. Hanya sebagian kecil populasi yang memiliki akses ke sungai permanen; sisanya sangat bergantung pada hujan musiman yang tidak menentu. Keterbatasan investasi, lemahnya kapasitas institusi, serta distribusi air yang tidak merata memperburuk situasi ini.
Akses Air dan Sanitasi: Tantangan Kesehatan dan Pembangunan
Sekitar 40% penduduk G5 Sahel belum memiliki akses ke air bersih, dan hampir 80% tidak memiliki sanitasi layak. Di Chad, hanya 38,7% penduduk yang memiliki akses air dasar, dan angka sanitasi dasar bahkan di bawah 10%. Di pedesaan, angka ini lebih buruk lagi: hanya 30% rumah tangga di Chad yang memiliki akses air dasar, dan kurang dari 2% memiliki sanitasi dasar. Akibatnya, penyakit diare dan infeksi menjadi penyebab utama kematian anak di bawah lima tahun, dengan tingkat kematian akibat air tidak aman mencapai 101 per 100.000 di Chad—dua kali lipat rata-rata Afrika Sub-Sahara.
Kualitas pelayanan air dan sanitasi yang buruk juga berkontribusi pada polusi, kerusakan lingkungan, dan kerugian ekonomi besar. Di Niger, kerugian ekonomi akibat WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang tidak memadai diperkirakan lebih dari 10% PDB. Di Bamako, limbah tinja dibuang langsung ke Sungai Niger tanpa pengolahan, memperparah polusi dan risiko kesehatan.
Pertanian dan Irigasi: Kunci Ketahanan Pangan dan Tantangan Efisiensi
Sektor pertanian menyerap 51–97% pengambilan air di negara-negara G5 Sahel. Dengan 36 juta hektar lahan pertanian (hanya 10% dari total wilayah), pertanian menyumbang 30–40% PDB nasional dan hingga 80% lapangan kerja di Chad. Namun, hanya 38% potensi irigasi yang telah dikembangkan, dan separuhnya tidak berfungsi optimal. Biaya pembangunan irigasi di Afrika Sub-Sahara sangat tinggi, rata-rata US$11.800 per hektar, dibandingkan US$3.900 di wilayah lain. Banyak petani di Mauritania dan Mali meninggalkan irigasi karena biaya pemeliharaan melebihi keuntungan.
Studi kasus di Mali menunjukkan bahwa rehabilitasi jaringan irigasi dapat menggandakan produktivitas pertanian tanpa perlu ekspansi besar-besaran. Pemerintah Mali, misalnya, meminta dukungan untuk merehabilitasi 34.000 hektar lahan irigasi yang akan langsung menguntungkan lebih dari 120.000 orang. Namun, proyek irigasi besar juga rawan memicu konflik baru jika tidak dikelola secara adil.
Pastoralisme: Pilar Ekonomi yang Terpinggirkan
Sekitar 13% penduduk Afrika Barat adalah pastoral, dengan 87% angkatan kerja di Niger terlibat dalam peternakan. Sektor ini menyumbang 25% PDB G5 Sahel dan 40% PDB pertanian. Namun, jaringan titik air pastoral sangat kurang dan banyak yang rusak, membatasi mobilitas ternak dan meningkatkan risiko overgrazing serta konflik dengan petani. Pertumbuhan lahan pertanian 2,5 kali lipat sejak 1960-an telah mengurangi padang rumput kritis sebesar 13%, sementara populasi ternak meningkat 2,5 kali lipat, memperbesar persaingan lahan dan air.
Air Lintas Batas: Sumber Daya Bersama, Sumber Konflik
Sebagian besar aktivitas ekonomi G5 Sahel bergantung pada sungai lintas negara seperti Niger, Senegal, Volta, dan Chad. Namun, hanya 2% lahan pertanian di basin-basin ini yang diirigasi, jauh di bawah potensi. Pembangunan bendungan, irigasi, dan pengambilan air tanpa koordinasi lintas negara berisiko memicu ketimpangan, kerusakan ekosistem, dan konflik antarnegara.
Potensi energi hidro di kawasan ini juga besar, namun baru 17% yang dikembangkan. Sungai Niger, misalnya, baru memanfaatkan 13% dari kapasitas hidro 15.000 MW-nya. Kerjasama lintas negara sangat penting untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial dari sumber daya air bersama.
Air, Konflik, dan Migrasi: Siklus Rapuh di Sahel
G5 Sahel adalah salah satu kawasan paling rentan konflik di dunia, dengan dua pertiga penduduk tinggal di area berisiko konflik dan lebih dari 3,5 juta orang mengungsi. Ketidakamanan air memperburuk fragilitas ini melalui tiga saluran utama:
Studi Kasus: Danau Chad dan Delta Niger
Danau Chad, yang menjadi sumber penghidupan bagi 13 juta orang, kini menyusut drastis akibat pengambilan air berlebihan dan perubahan iklim. Migrasi massal dan konflik bersenjata (misal Boko Haram) memperburuk krisis. Delta Niger di Mali juga menghadapi tantangan serupa: pembangunan bendungan dan irigasi di hulu mengurangi banjir musiman, mengancam ekosistem dan penghidupan lebih dari 1 juta orang yang bergantung pada pertanian resesi banjir dan perikanan.
Solusi: Diversifikasi, Kolaborasi, dan Pendekatan Problem-Driven
Paper ini merekomendasikan pergeseran paradigma dari pendekatan normatif (IWRM klasik) ke pendekatan problem-driven (“problemshed”). Artinya, solusi harus disesuaikan dengan skala dan konteks masalah—baik lokal, lintas batas, maupun regional—dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Empat strategi utama:
Kritik dan Analisis
Kekuatan Laporan
Tantangan dan Kekurangan
Relevansi Global dan Industri
Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan: Air sebagai Fondasi Ketahanan dan Perdamaian Sahel
Laporan ini menegaskan bahwa keamanan air bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi utama bagi ketahanan, pertumbuhan ekonomi, dan perdamaian di Sahel. Tanpa reformasi tata kelola, investasi cerdas, dan kolaborasi lintas batas, kawasan ini akan terus terjebak dalam siklus krisis air, kemiskinan, dan konflik. Namun, dengan strategi yang tepat, Sahel dapat bertransformasi menjadi kawasan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel, World Bank, 2021.
Logistik Cerdas
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025
Pendahuluan
Last-mile logistics (LML) merujuk pada tahap akhir distribusi, yaitu pengiriman dari pusat distribusi ke pelanggan. Tantangan utama dalam LML adalah efisiensi biaya, kecepatan pengiriman, dan kenyamanan pelanggan. Studi ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi konsumen terhadap inovasi dalam LML, seperti self-collection lockers, pick-up points, dan crowdshipping, serta bagaimana faktor-faktor tersebut membentuk keputusan pelanggan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini melakukan systematic literature review (SLR) terhadap 21 jurnal peer-reviewed yang membahas faktor adopsi inovasi LML oleh pelanggan. Data dikumpulkan dari ScienceDirect, Emerald Insight, Wiley Online Library, dan Taylor & Francis, dengan rentang waktu 2012-2023.
Temuan Utama
1. Biaya dan Efisiensi Last-Mile Logistics
2. Model Inovatif dalam Last-Mile Delivery
3. Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Konsumen terhadap Inovasi LML
Tantangan dalam Implementasi Inovasi LML
Kesimpulan & Rekomendasi
Paper ini menegaskan bahwa adopsi konsumen terhadap inovasi last-mile logistics sangat dipengaruhi oleh kenyamanan, keamanan, dan efisiensi biaya. Rekomendasi utama untuk meningkatkan adopsi LML:
Sumber Artikel: Firdausa, Muhammad Iqbal (2023). Consumer’s Adoption of Last Mile Logistics Innovation: A Systematic Literature Review. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, Vol. 10, No. 01.
Logistik Cerdas
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025
Pendahuluan
Urbanisasi dan perkembangan e-commerce telah meningkatkan kebutuhan akan logistik last mile yang efisien dan berkelanjutan. Last mile delivery menjadi tantangan utama dalam distribusi barang, terutama di kota pintar (smart cities) yang menekankan efisiensi transportasi dan keberlanjutan lingkungan. Paper ini mengeksplorasi model distribusi logistik last mile di Metropolitan Recife, Brasil, dan membandingkannya dengan implementasi di berbagai smart cities global.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan pengumpulan data melalui kuesioner terhadap manajer perusahaan logistik di Metropolitan Recife. Selain itu, kajian ini juga mengacu pada literatur global mengenai model logistik last mile seperti locker systems, crowdshipping, dan pick-up points.
Temuan Utama
1. Tingginya Biaya Last Mile Delivery
2. Model Distribusi Logistik di Smart Cities
3. Studi Kasus: Logistik Last Mile di Metropolitan Recife
Tantangan Implementasi Logistik Last Mile di Smart Cities
Kesimpulan & Rekomendasi
Penelitian ini menunjukkan bahwa logistik last mile memainkan peran kunci dalam efisiensi rantai pasok di smart cities. Model seperti pick-up points, lockers, dan crowdshipping dapat mengurangi biaya dan dampak lingkungan. Rekomendasi utama untuk kota-kota yang ingin meningkatkan efisiensi last mile delivery:
Sumber Artikel: Queiroz, Alessandro P. F. & Guimarães, Djalma (2022). Last Mile Trips: Logistics Distribution Infrastructure in Smart Cities and the Experiences of Service Provision in the Metropolitan Region of Recife - PE. Revista Nacional de Gerenciamento de Cidades, Vol. 10, No. 76.