Logistik Cerdas

Transformasi Last-Mile Logistics di Polandia: Peran Teknologi Cerdas dan Keberlanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam era digital, last-mile logistics menjadi fokus utama dalam meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan rantai pasok. E-commerce yang berkembang pesat menuntut solusi inovatif dalam pengiriman, terutama yang ramah lingkungan dan efisien. Studi ini mengeksplorasi penerapan teknologi cerdas dalam last-mile logistics di Polandia, membahas tantangan, peluang, serta dampak keberlanjutannya.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis eksploratif terhadap sumber sekunder (buku, artikel, laporan industri) serta studi CAWI (Computer-Assisted Web Interview) mengenai kebiasaan belanja online konsumen Polandia.

Temuan Utama

1. Pentingnya Teknologi Cerdas dalam Last-Mile Logistics

  • 70% perusahaan logistik Polandia mulai mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi pengiriman.
  • IoT dan AI digunakan dalam optimasi rute dan pengelolaan inventaris, meningkatkan ketepatan waktu pengiriman hingga 35%.
  • Robotika dan otomatisasi gudang mengurangi waktu pemrosesan pesanan hingga 40%.

2. Model Pengiriman Berkelanjutan dan Teknologi Hijau

  • Parcel Lockers & Pick-Up Points
    • Polandia memiliki lebih dari 15.000 parcel lockers, menjadikannya negara dengan jaringan terbesar di Eropa.
    • Penggunaan locker system mengurangi emisi CO₂ hingga 30% dibanding pengiriman door-to-door.
  • Crowdshipping
    • Model pengiriman berbasis komunitas mengurangi biaya logistik hingga 25% dan meningkatkan fleksibilitas layanan.
    • 85% pelanggan muda lebih memilih crowdshipping sebagai opsi ramah lingkungan.
  • Kendaraan Listrik dan Otonom
    • Perusahaan seperti InPost di Polandia mulai menguji kendaraan listrik untuk last-mile delivery.
    • Dampak: Pengurangan konsumsi bahan bakar hingga 60% dan emisi karbon 50% lebih rendah dibandingkan kendaraan konvensional.

3. Hambatan Implementasi Teknologi Smart Logistics

  • Kurangnya investasi dalam infrastruktur digital memperlambat adopsi teknologi cerdas.
  • Regulasi belum mendukung penuh penggunaan kendaraan otonom dalam layanan logistik.
  • Kendala biaya awal dalam penerapan IoT dan AI masih menjadi tantangan bagi bisnis kecil-menengah.

Kesimpulan & Rekomendasi

Penerapan teknologi cerdas dalam last-mile logistics berpotensi meningkatkan efisiensi layanan pelanggan serta mendukung transisi ke sistem logistik yang lebih hijau dan berkelanjutan. Tiga rekomendasi utama:

  • Perluasan infrastruktur locker & pick-up points untuk mengurangi ketergantungan pada pengiriman konvensional
  • Dukungan regulasi untuk kendaraan listrik & otonom guna meningkatkan efisiensi logistik.
  • Adopsi AI dan IoT dalam optimasi rantai pasok untuk meningkatkan kecepatan dan ketepatan pengiriman.

Sumber : Kolasińska-Morawska, K., Sułkowski, Ł., Buła, P., Brzozowska, M., & Morawski, P. (2022). Smart Logistics—Sustainable Technological Innovations in Customer Service at the Last-Mile Stage: The Polish Perspective. Energies, 15, 6395.

Selengkapnya
Transformasi Last-Mile Logistics di Polandia: Peran Teknologi Cerdas dan Keberlanjutan

Risiko Global

Transformational Investment: Strategi Investor Global Menghadapi Risiko Sistemik Dunia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Investasi Transformasional di Era Risiko Global

Dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh ketidakpastian, investor institusional dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mengelola portofolio agar tetap menghasilkan imbal hasil optimal, sekaligus berkontribusi pada solusi risiko sistemik global seperti perubahan iklim, keamanan air, ketidakstabilan geopolitik, evolusi teknologi, pergeseran demografi, dan suku bunga rendah berkepanjangan. White paper “Transformational Investment: Converting Global Systemic Risks into Sustainable Returns” (World Economic Forum, 2020) menawarkan kerangka kerja dan studi kasus nyata tentang bagaimana investor global mulai bertransformasi dari sekadar pencari keuntungan menjadi agen perubahan yang mampu mengubah risiko sistemik menjadi peluang berkelanjutan.

Artikel ini tidak hanya penting bagi pelaku industri keuangan, tetapi juga bagi pemerintah, korporasi, dan masyarakat luas yang ingin memahami peran investasi dalam membangun masa depan yang lebih resilien dan inklusif.

Risiko Sistemik Global: Tantangan dan Peluang Investasi

Enam Risiko Sistemik Utama

Laporan ini mengidentifikasi enam risiko sistemik global yang paling relevan bagi investor jangka panjang:

  • Perubahan Iklim: Ancaman fisik dan transisi akibat emisi karbon.
  • Keamanan Air: Krisis ketersediaan dan kualitas air bersih.
  • Ketidakstabilan Geopolitik: Implikasi dari ketimpangan, proteksionisme, dan konflik antarnegara.
  • Evolusi Teknologi: Disrupsi dan peluang dari inovasi teknologi.
  • Pergeseran Demografi: Dampak populasi menua dan migrasi.
  • Suku Bunga Rendah Jangka Panjang: Tantangan bagi imbal hasil investasi dan stabilitas ekonomi.

Setiap risiko ini saling terkait dan sering kali memperkuat satu sama lain, sehingga membutuhkan pendekatan investasi yang holistik dan kolaboratif.

Studi Kasus Transformasional: Praktik Terbaik Investor Global

1. Perubahan Iklim: New Zealand Superannuation Fund (NZSF)

NZSF menilai bahwa mengabaikan risiko iklim sama dengan mengambil risiko berlebihan dalam pengelolaan portofolio. Pada 2017, NZSF mengalihkan NZD 950 juta dari perusahaan dengan eksposur karbon tinggi ke perusahaan yang lebih ramah lingkungan. Hasilnya, pada 2019 intensitas emisi karbon portofolio turun 43% dan eksposur cadangan karbon turun 52% dibanding benchmark awal. Strategi ini tidak hanya mengurangi risiko, tetapi juga membuka peluang investasi baru di bidang energi terbarukan, teknologi pertanian, dan bangunan hijau.

2. Keamanan Air: British Columbia Investment Management Corporation (BCI)

BCI menempatkan risiko air sebagai isu utama dalam strategi ESG mereka. Dengan aset CA$153 miliar, BCI berinvestasi di sektor-sektor padat air seperti utilitas, energi, dan konstruksi. Mereka mengembangkan alat pemantauan risiko air berbasis lokasi untuk aset real estat dan melakukan penelitian mendalam tentang teknologi desalinasi. Salah satu investasi strategis adalah perusahaan purifikasi air global, yang dipilih berdasarkan analisis risiko air dan peluang pasar.

3. Ketidakstabilan Geopolitik: Temasek, Singapura

Temasek, dengan portofolio besar di sektor transportasi dan logistik (7% PDB Singapura), melakukan stress test skenario geopolitik seperti perlambatan ekonomi China, eskalasi perang dagang, dan stagnasi sekuler. Setiap skenario dievaluasi dampaknya terhadap nilai intrinsik investasi, sehingga portofolio tetap adaptif terhadap volatilitas global.

4. Evolusi Teknologi: Mubadala Investment Company, Uni Emirat Arab

Mubadala aktif berinvestasi di perusahaan teknologi dan venture capital, serta membangun budaya organisasi yang adaptif terhadap inovasi. Mereka menerapkan analisis risiko teknologi pada setiap keputusan investasi, termasuk aspek keamanan siber, etika, dan diversifikasi portofolio untuk mengantisipasi disrupsi.

5. Pergeseran Demografi: Sunsuper, Australia

Sunsuper menggunakan proyeksi pertumbuhan tenaga kerja global untuk memandu strategi investasi jangka panjang. Dengan populasi menua, Sunsuper mendiversifikasi portofolio ke aset alternatif dan infrastruktur, serta menyesuaikan ekspektasi imbal hasil masa depan agar tetap realistis.

6. Suku Bunga Rendah: Ireland Strategic Investment Fund (ISIF)

ISIF mengadopsi strategi “double bottom line”—mencari imbal hasil komersial sekaligus dampak ekonomi nasional. Dengan suku bunga rendah, ISIF meningkatkan fokus pada strategi alpha dan absolute return, serta menyesuaikan alokasi aset agar tetap relevan dengan perubahan lingkungan moneter.

Angka-Angka Kunci dan Skala Tantangan

  • Kebutuhan investasi global: Setidaknya $6,2 triliun per tahun diperlukan untuk menutup gap investasi di bidang iklim, air, dan demografi.
  • Khusus air: Untuk mencapai target SDGs air bersih dan sanitasi, dibutuhkan $1,7 triliun hingga 2030, tiga kali lipat dari level investasi saat ini. Kebutuhan infrastruktur air secara luas mencapai $6,7–$22,6 triliun hingga 2050.
  • Dampak ekonomi: Jika krisis air tidak diatasi, PDB di beberapa wilayah bisa turun hingga 6% pada 2050.
  • Aset institusional: Pada 2018, total aset dana pensiun publik, bank sentral, dan sovereign wealth funds mencapai $37,8 triliun—cukup besar untuk menjadi katalis perubahan jika dikelola secara transformasional.

Kerangka Tata Kelola: Roadmap Transformasional 6 Langkah

Laporan ini menawarkan roadmap tata kelola investasi transformasional yang terdiri dari enam langkah:

  1. Understand: Pahami dampak risiko sistemik terhadap entitas, tujuan, dan penerima manfaat.
  2. Collaborate: Kolaborasi dengan organisasi sejenis untuk mengatasi risiko bersama.
  3. Design: Rancang kebijakan, tata kelola, dan akuntabilitas untuk risiko sistemik.
  4. Invest: Kelola eksposur portofolio terhadap risiko sistemik global.
  5. Transform: Kembangkan strategi investasi yang mendorong perubahan nyata.
  6. Monitor: Pantau dan evaluasi, lalu perbaiki kebijakan dan proses secara berkelanjutan.

Kerangka ini menekankan pentingnya kolaborasi, inovasi, dan monitoring berkelanjutan agar investasi benar-benar mampu mengubah risiko menjadi peluang.

Tren Industri dan Inisiatif Kolektif

Kolaborasi dan Standar Industri

Banyak inisiatif industri yang mendukung investasi transformasional, seperti Principles for Responsible Investment (PRI), Task Force on Climate-Related Financial Disclosures (TCFD), dan Santiago Principles untuk sovereign wealth funds. Kolaborasi semacam ini mempercepat adopsi praktik terbaik, berbagi data, dan menciptakan pasar baru untuk investasi berkelanjutan.

Contoh Transformasi Nyata

  • MSCI ACWI Index: 45,5% perusahaan sektor utilitas, 19,8% sektor energi, dan 24,6% sektor material berhasil menurunkan intensitas karbon antara 2014–2019.
  • Proyek-proyek infrastruktur: Investasi pada transportasi publik rendah karbon, energi terbarukan, dan pengelolaan air berbasis teknologi menjadi contoh nyata transformasi portofolio.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah dan Kritik

Laporan ini unggul dalam menggabungkan teori, praktik, dan studi kasus nyata dari berbagai negara dan institusi. Namun, beberapa tantangan yang masih perlu diatasi antara lain:

  • Kurangnya data dan standar pengukuran: Banyak risiko sistemik belum memiliki standar pengukuran yang baku, sehingga sulit membandingkan efektivitas strategi antar investor.
  • Kesenjangan antara negara maju dan berkembang: Negara berkembang yang paling membutuhkan investasi transformasional justru sering kesulitan menarik modal akibat risiko politik dan lemahnya perlindungan hukum.
  • Implementasi di level portofolio: Walau banyak investor sudah mengadopsi prinsip ESG, penerapan nyata di seluruh kelas aset dan proses investasi masih bervariasi.

Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan ini sejalan dengan laporan-laporan World Bank dan UNDP yang menekankan pentingnya peran investor institusional dalam pencapaian SDGs. Namun, laporan WEF ini lebih menekankan pada tata kelola dan studi kasus nyata, bukan hanya kebutuhan modal.

Relevansi dengan Tren Global dan Masa Depan Industri

Arah Industri Investasi

  • Dekarbonisasi portofolio: Investor semakin aktif mengalihkan dana dari aset berbasis karbon ke energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan.
  • Infrastruktur berkelanjutan: Investasi pada infrastruktur air, energi, dan transportasi menjadi prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mitigasi risiko sistemik.
  • Teknologi dan data: Penggunaan big data, analitik, dan teknologi baru mempercepat identifikasi risiko dan peluang investasi.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Investasi transformasional menawarkan imbal hasil kompetitif sekaligus dampak sosial-lingkungan yang signifikan.
  • Tantangan: Dibutuhkan inovasi produk, kolaborasi lintas sektor, dan reformasi kebijakan untuk mempercepat transformasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Investasi transformasional bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis di era risiko sistemik global. Dengan mengadopsi tata kelola yang kuat, kolaborasi, dan inovasi, investor institusional dapat menjadi motor penggerak perubahan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Rekomendasi utama:

  • Investor perlu mengadopsi kerangka tata kelola 6 langkah untuk mengintegrasikan risiko sistemik dalam setiap keputusan investasi.
  • Kolaborasi lintas institusi dan negara sangat penting untuk mengatasi tantangan data, standar, dan inovasi produk.
  • Pemerintah dan regulator perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif, terutama di negara berkembang, agar modal global dapat mengalir ke sektor-sektor prioritas.
  • Perluasan produk investasi tematik dan impact investing akan mempercepat transisi menuju portofolio yang lebih resilien dan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah ini, investasi transformasional dapat menjadi jembatan antara tujuan finansial dan keberlanjutan planet, menciptakan nilai jangka panjang bagi investor, masyarakat, dan generasi mendatang.

Sumber Artikel Asli

World Economic Forum. “Transformational Investment: Converting Global Systemic Risks into Sustainable Returns.” May 2020.

Selengkapnya
Transformational Investment: Strategi Investor Global Menghadapi Risiko Sistemik Dunia

Sumber Daya Air

Permainan Dua Level di Sungai Indus: Hambatan Kerja Sama Air antara India dan Pakistan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Sungai Indus, Hidropolitik, dan Tantangan Kerja Sama Regional

Sungai Indus bukan hanya urat nadi bagi Pakistan dan India, tetapi juga simbol kompleksitas hubungan lintas batas di Asia Selatan. Sejak pembagian India dan Pakistan pada 1947, pengelolaan Indus telah menjadi sumber sengketa, kerja sama, dan ketegangan geopolitik. Paper “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation” karya Hanifeh Rigi dan Jeroen F. Warner (2020) menawarkan analisis mendalam tentang mengapa, meski ada perjanjian formal seperti Indus Waters Treaty (IWT), kerja sama air antara kedua negara tetap rapuh dan sering berujung pada kebuntuan.

Artikel ini sangat penting di tengah meningkatnya tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air bersih di kawasan. Dengan menyoroti peran aktor domestik dan internasional, serta strategi negosiasi yang digunakan kedua negara, paper ini memberikan wawasan segar tentang dinamika “permainan dua level” (two-level game) dalam diplomasi air lintas batas.

Kerangka Teori: Realisme, Liberalisme, dan Permainan Dua Level

Realisme vs Liberalisme dalam Hidropolitik

Dalam studi hubungan internasional, realisme menekankan persaingan, konflik, dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri. Air, dalam perspektif ini, dipandang sebagai sumber daya strategis yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi negara, bahkan sebagai alat tekanan politik atau militer. Sebaliknya, liberalisme (atau institusionalisme) menyoroti pentingnya institusi internasional, aktor non-negara, dan potensi kerja sama melalui rezim multilateral, seperti IWT.

Permainan Dua Level (Two-Level Game Theory)

Robert Putnam mengembangkan teori “permainan dua level” untuk menjelaskan bagaimana negosiator negara harus menyeimbangkan kepentingan domestik (Level II) dan internasional (Level I). Keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada “win-set”—yaitu himpunan solusi yang bisa diterima baik oleh aktor domestik maupun mitra internasional. Semakin kecil win-set, semakin sulit tercapai kesepakatan. Paper ini menyoroti bahwa di Indus, win-set kedua negara sangat sempit akibat tekanan domestik, politisasi isu air, dan strategi negosiasi yang saling mengunci123.

Studi Kasus: Konflik dan Negosiasi di Sungai Indus

Latar Belakang: Indus Waters Treaty (IWT) dan Realitas Lapangan

IWT yang ditandatangani pada 1960, membagi enam sungai utama di Indus Basin: tiga sungai barat (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan, dan tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India. Perjanjian ini dianggap sukses bertahan lebih dari 60 tahun, bahkan melewati tiga perang besar antara kedua negara45. Namun, implementasinya terus diwarnai sengketa, terutama terkait pembangunan bendungan dan proyek pembangkit listrik India di sungai-sungai barat yang dianggap mengancam pasokan air Pakistan.

Angka-angka Kunci:

  • Pakistan mendapat 80% aliran air Indus, namun 90% lahan irigasi Pakistan bergantung pada air yang bersumber dari wilayah India, terutama Kashmir16.
  • Proyek besar India yang dipermasalahkan Pakistan antara lain: Kishanganga Dam (330 MW), Baglihar Dam (850 MW), Ratle Dam (810 MW), dan Tulbul/Wullar Project. Pakistan menuding proyek-proyek ini mengurangi debit air ke wilayahnya, menyebabkan kekeringan atau banjir ekstrem15.

Politik Domestik dan Securitization di Pakistan

Air di Pakistan sangat dipolitisasi dan disecuritasi—artinya diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar isu kebijakan publik. Aktor-aktor domestik seperti militer, partai Islamis, kelompok tani, dan teknokrat menggunakan narasi anti-India untuk memperkuat posisi tawar mereka. Misalnya, laporan Engineers Study Forum menuduh India “mencuri” 15–20% air, menyebabkan kerugian US$12 miliar per tahun bagi sektor pertanian Pakistan. Demonstrasi massal oleh kelompok tani dan aksi protes di berbagai kota menambah tekanan pada pemerintah untuk tidak berkompromi dengan India1.

Militer Pakistan, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik luar negeri, memandang isu air tak terpisahkan dari konflik Kashmir. Setiap upaya kompromi dengan India sering digagalkan oleh tekanan kelompok ekstremis dan militer yang menganggap air adalah bagian dari “perjuangan” melawan India. Ketidakharmonisan antara pemerintah sipil, militer, dan kelompok agama memperkecil win-set domestik, sehingga negosiator sulit mengambil keputusan yang pragmatis1.

Politik Domestik dan Tekanan di India

Di India, tekanan datang dari politisi nasionalis, pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir, dan masyarakat lokal yang merasa IWT terlalu menguntungkan Pakistan. Setelah serangan teror di Kashmir (seperti insiden Uri 2016 dan Pulwama 2019), pemerintah India mendapat tekanan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengancam meninjau ulang atau bahkan membatalkan IWT57. Pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir secara resmi menuntut revisi atau bahkan pembatalan IWT, karena dianggap membatasi pembangunan ekonomi dan energi lokal.

Tekanan domestik ini membuat pemerintah India cenderung mengambil posisi negosiasi yang kaku, khawatir dianggap lemah di mata publik dan oposisi. Akibatnya, setiap upaya kompromi dengan Pakistan dianggap berisiko secara politik1.

Strategi Negosiasi: Securitization, Issue-Linkage, dan Aliansi

  1. Securitization: Kedua negara memframing isu air sebagai ancaman keamanan nasional. Di Pakistan, narasi “India akan mengeringkan sungai kami” digunakan untuk memobilisasi dukungan publik dan menekan pemerintah agar tidak berkompromi. Di India, isu air dikaitkan dengan keamanan nasional, terutama setelah serangan teror12.
  2. Issue-Linkage: India beberapa kali mengaitkan negosiasi air dengan isu terorisme. Setelah serangan di Uri, India menangguhkan pertemuan Komisi Indus dan menyatakan “darah dan air tidak bisa mengalir bersama.” Strategi ini membuat negosiasi air menjadi sandera isu lain, memperkecil kemungkinan win-set yang tumpang tindih17.
  3. Aliansi: Pakistan memperkuat aliansi dengan China, termasuk melalui pembangunan bendungan di wilayah Indus yang didukung Beijing. China juga menekan India melalui proyek bendungan di Sungai Brahmaputra, menciptakan tekanan geopolitik tambahan. Aliansi ini digunakan Pakistan untuk menyeimbangkan kekuatan India dan memperkecil tekanan dalam negosiasi18.

Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan

Ketergantungan Ekonomi Pakistan pada Indus

  • 94% pengambilan air di Pakistan digunakan untuk pertanian, yang menyumbang 22,9% PDB dan menyediakan mata pencaharian bagi dua pertiga penduduk pedesaan6.
  • 90% produksi pangan Pakistan bergantung pada irigasi Indus.
  • 20% listrik nasional dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air di Indus.

Namun, kapasitas penyimpanan air Pakistan sangat terbatas—kurang dari 10% aliran tahunan sungai, jauh di bawah standar internasional. Ini membuat Pakistan sangat rentan terhadap fluktuasi debit air akibat pembangunan bendungan di India atau perubahan iklim6.

Studi Kasus: Krisis dan Deadlock Negosiasi

  • Baglihar Dam: Pakistan memprotes desain dan kapasitas bendungan ini, menuding India melanggar IWT. Setelah dua putaran negosiasi gagal, kasus ini dibawa ke ahli netral sesuai prosedur IWT, yang akhirnya memutuskan sebagian besar proyek India tetap berjalan45.
  • Kishanganga Dam: Pakistan mengajukan enam protes formal, termasuk soal desain dan pengalihan air. Kasus ini akhirnya diputuskan oleh Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengizinkan proyek India dengan beberapa syarat teknis45.
  • Ratle Dam: Pakistan menuntut pengurangan kapasitas dan perubahan desain, namun negosiasi kembali berakhir buntu, dengan kedua negara saling membawa kasus ke forum internasional45.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Artikel

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan kerangka “permainan dua level” untuk menganalisis hambatan kerja sama air, bukan sekadar melihat konflik sebagai hasil pertentangan negara.
  • Menunjukkan bahwa aktor domestik (militer, politisi, kelompok agama, masyarakat lokal) sama pentingnya dengan aktor negara dalam menentukan hasil negosiasi.
  • Mengidentifikasi strategi negosiasi (securitization, issue-linkage, aliansi) sebagai penghambat utama, bukan hanya perbedaan teknis atau kekurangan institusi123.

Kritik dan Keterbatasan

  • Paper ini kurang membahas secara mendalam dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air dan relevansi IWT ke depan, padahal isu ini makin krusial98.
  • Tidak banyak mengulas potensi reformasi kelembagaan atau mekanisme baru yang dapat memperluas win-set dan membuka jalan bagi kerja sama yang lebih adaptif dan inklusif.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil lintas negara atau inisiatif lokal yang bisa menjadi jembatan di tengah kebuntuan politik tingkat tinggi.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi Astha Nahar (2023) menyoroti perlunya modernisasi IWT agar lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim, pengelolaan air tanah, dan kebutuhan adaptasi kelembagaan9. Sementara laporan-laporan lain menyoroti bahwa IWT masih terlalu negara-sentris dan kurang melibatkan komunitas lokal atau mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan8.

Relevansi dengan Tren Regional dan Global

Konteks Asia Selatan dan Global

  • Ketegangan India-Pakistan: Suspensi IWT oleh India pada 2025 setelah serangan teror di Kashmir menandai titik balik dalam diplomasi air Asia Selatan, dengan risiko eskalasi konflik terbuka dan ketidakpastian pasokan air lintas negara7.
  • Perubahan Iklim: Perubahan pola curah hujan, mencairnya gletser Himalaya, dan meningkatnya frekuensi banjir/kekeringan menambah tekanan pada sistem Indus, membuat mekanisme kerja sama yang adaptif semakin mendesak98.
  • Dinamika Global: Sengketa Indus menjadi studi kasus penting bagi tata kelola sungai lintas batas di dunia, menyoroti perlunya kerangka hukum internasional yang lebih kuat dan inklusif, seperti Konvensi Hukum Air PBB8.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  1. Perluasan Win-Set melalui Reformasi Kelembagaan: Memperkuat peran Komisi Indus Permanen (PIC), memperluas mandat IWT untuk mencakup air tanah, adaptasi iklim, dan partisipasi masyarakat sipil9.
  2. Dekonstruksi Securitization: Mengurangi narasi ancaman eksistensial dan membuka ruang dialog berbasis data, sains, dan kepentingan bersama.
  3. Pengelolaan Isu-Linkage secara Bijak: Memisahkan isu air dari isu politik/keamanan lain agar negosiasi tidak selalu terjebak deadlock.
  4. Kolaborasi Regional dan Internasional: Melibatkan pihak ketiga secara lebih aktif, baik dari lembaga internasional maupun negara-negara tetangga, untuk memediasi dan memfasilitasi dialog.
  5. Modernisasi dan Adaptasi Perjanjian: Menyesuaikan IWT dengan tantangan abad ke-21, termasuk perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika geopolitik baru.

Kesimpulan

Paper ini menunjukkan bahwa kerja sama air lintas batas di Indus tidak hanya soal teknis atau hukum, melainkan juga soal politik domestik, identitas, dan strategi negosiasi yang kompleks. Selama win-set tetap sempit akibat tekanan domestik, politisasi, dan aliansi geopolitik, peluang kerja sama substantif akan tetap kecil. Namun, dengan reformasi kelembagaan, depolitisasi isu air, dan pendekatan adaptif, masih ada harapan untuk membangun tata kelola air yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di Indus—dan kawasan lain di dunia.

Sumber Artikel Asli

Hanifeh Rigi and Jeroen F. Warner. “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation.” Water Policy 22 (2020): 972–990.

Selengkapnya
Permainan Dua Level di Sungai Indus: Hambatan Kerja Sama Air antara India dan Pakistan

Keamanan Air

Memperkuat Keamanan Air Regional untuk Meningkatkan Ketahanan di Kawasan G5 Sahel

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air, Ketahanan, dan Masa Depan Sahel

Wilayah G5 Sahel—yang terdiri dari Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger—merupakan salah satu kawasan paling rapuh di dunia, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Laporan “Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel” dari World Bank (2021) hadir di tengah krisis multidimensi: pertumbuhan penduduk pesat, kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, konflik agraria, dan migrasi massal. Paper ini mengulas secara mendalam bagaimana keamanan air (water security) menjadi fondasi utama bagi ketahanan ekonomi, sosial, dan stabilitas kawasan, serta menawarkan kerangka baru untuk intervensi regional yang lebih efektif.

Konteks: Mengapa Keamanan Air di Sahel Begitu Mendesak?

Sahel adalah zona transisi antara Sahara dan Afrika sub-Sahara, dengan curah hujan rendah dan variabilitas iklim ekstrem. Populasi kawasan ini diproyeksikan hampir dua kali lipat dari 86 juta menjadi 173 juta pada tahun 2040, dengan 47% penduduk berusia di bawah 15 tahun. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, dan perubahan iklim akan memangkas separuh ketersediaan air per kapita dalam 20 tahun ke depan, mendorong sebagian besar negara G5 Sahel ke status rawan air.

Meskipun secara nasional ketersediaan air tahunan masih mencukupi, disparitas spasial dan temporal menyebabkan sebagian besar penduduk tetap hidup dalam ketidakamanan air. Hanya sebagian kecil populasi yang memiliki akses ke sungai permanen; sisanya sangat bergantung pada hujan musiman yang tidak menentu. Keterbatasan investasi, lemahnya kapasitas institusi, serta distribusi air yang tidak merata memperburuk situasi ini.

Akses Air dan Sanitasi: Tantangan Kesehatan dan Pembangunan

Sekitar 40% penduduk G5 Sahel belum memiliki akses ke air bersih, dan hampir 80% tidak memiliki sanitasi layak. Di Chad, hanya 38,7% penduduk yang memiliki akses air dasar, dan angka sanitasi dasar bahkan di bawah 10%. Di pedesaan, angka ini lebih buruk lagi: hanya 30% rumah tangga di Chad yang memiliki akses air dasar, dan kurang dari 2% memiliki sanitasi dasar. Akibatnya, penyakit diare dan infeksi menjadi penyebab utama kematian anak di bawah lima tahun, dengan tingkat kematian akibat air tidak aman mencapai 101 per 100.000 di Chad—dua kali lipat rata-rata Afrika Sub-Sahara.

Kualitas pelayanan air dan sanitasi yang buruk juga berkontribusi pada polusi, kerusakan lingkungan, dan kerugian ekonomi besar. Di Niger, kerugian ekonomi akibat WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang tidak memadai diperkirakan lebih dari 10% PDB. Di Bamako, limbah tinja dibuang langsung ke Sungai Niger tanpa pengolahan, memperparah polusi dan risiko kesehatan.

Pertanian dan Irigasi: Kunci Ketahanan Pangan dan Tantangan Efisiensi

Sektor pertanian menyerap 51–97% pengambilan air di negara-negara G5 Sahel. Dengan 36 juta hektar lahan pertanian (hanya 10% dari total wilayah), pertanian menyumbang 30–40% PDB nasional dan hingga 80% lapangan kerja di Chad. Namun, hanya 38% potensi irigasi yang telah dikembangkan, dan separuhnya tidak berfungsi optimal. Biaya pembangunan irigasi di Afrika Sub-Sahara sangat tinggi, rata-rata US$11.800 per hektar, dibandingkan US$3.900 di wilayah lain. Banyak petani di Mauritania dan Mali meninggalkan irigasi karena biaya pemeliharaan melebihi keuntungan.

Studi kasus di Mali menunjukkan bahwa rehabilitasi jaringan irigasi dapat menggandakan produktivitas pertanian tanpa perlu ekspansi besar-besaran. Pemerintah Mali, misalnya, meminta dukungan untuk merehabilitasi 34.000 hektar lahan irigasi yang akan langsung menguntungkan lebih dari 120.000 orang. Namun, proyek irigasi besar juga rawan memicu konflik baru jika tidak dikelola secara adil.

Pastoralisme: Pilar Ekonomi yang Terpinggirkan

Sekitar 13% penduduk Afrika Barat adalah pastoral, dengan 87% angkatan kerja di Niger terlibat dalam peternakan. Sektor ini menyumbang 25% PDB G5 Sahel dan 40% PDB pertanian. Namun, jaringan titik air pastoral sangat kurang dan banyak yang rusak, membatasi mobilitas ternak dan meningkatkan risiko overgrazing serta konflik dengan petani. Pertumbuhan lahan pertanian 2,5 kali lipat sejak 1960-an telah mengurangi padang rumput kritis sebesar 13%, sementara populasi ternak meningkat 2,5 kali lipat, memperbesar persaingan lahan dan air.

Air Lintas Batas: Sumber Daya Bersama, Sumber Konflik

Sebagian besar aktivitas ekonomi G5 Sahel bergantung pada sungai lintas negara seperti Niger, Senegal, Volta, dan Chad. Namun, hanya 2% lahan pertanian di basin-basin ini yang diirigasi, jauh di bawah potensi. Pembangunan bendungan, irigasi, dan pengambilan air tanpa koordinasi lintas negara berisiko memicu ketimpangan, kerusakan ekosistem, dan konflik antarnegara.

Potensi energi hidro di kawasan ini juga besar, namun baru 17% yang dikembangkan. Sungai Niger, misalnya, baru memanfaatkan 13% dari kapasitas hidro 15.000 MW-nya. Kerjasama lintas negara sangat penting untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial dari sumber daya air bersama.

Air, Konflik, dan Migrasi: Siklus Rapuh di Sahel

G5 Sahel adalah salah satu kawasan paling rentan konflik di dunia, dengan dua pertiga penduduk tinggal di area berisiko konflik dan lebih dari 3,5 juta orang mengungsi. Ketidakamanan air memperburuk fragilitas ini melalui tiga saluran utama:

  • Migrasi lingkungan: Degradasi lahan dan kekurangan air memaksa jutaan orang bermigrasi, meningkatkan tekanan pada komunitas penerima dan memperburuk ketegangan sosial. Contoh: lebih dari 1 juta orang mengungsi di Burkina Faso akibat kekeringan dan konflik.
  • Konflik petani-penggembala: Variabilitas air dan lahan memicu konflik baru antara petani dan penggembala, terutama di area transisi dan sepanjang jalur transhumance. Di Mali, konflik antara komunitas Dogon dan Fulani menewaskan 134 orang pada 2019.
  • Menurunnya kepercayaan pada negara: Ketidakmampuan negara menyediakan layanan dasar air memperkuat narasi eksklusi, mendorong kelompok rentan ke ekstremisme.

Studi Kasus: Danau Chad dan Delta Niger

Danau Chad, yang menjadi sumber penghidupan bagi 13 juta orang, kini menyusut drastis akibat pengambilan air berlebihan dan perubahan iklim. Migrasi massal dan konflik bersenjata (misal Boko Haram) memperburuk krisis. Delta Niger di Mali juga menghadapi tantangan serupa: pembangunan bendungan dan irigasi di hulu mengurangi banjir musiman, mengancam ekosistem dan penghidupan lebih dari 1 juta orang yang bergantung pada pertanian resesi banjir dan perikanan.

Solusi: Diversifikasi, Kolaborasi, dan Pendekatan Problem-Driven

Paper ini merekomendasikan pergeseran paradigma dari pendekatan normatif (IWRM klasik) ke pendekatan problem-driven (“problemshed”). Artinya, solusi harus disesuaikan dengan skala dan konteks masalah—baik lokal, lintas batas, maupun regional—dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Empat strategi utama:

  • Diversifikasi sumber air dan peningkatan kapasitas penyimpanan: Investasi pada sumur, bendungan kecil, recharge akuifer, dan panen air hujan sangat penting untuk meningkatkan ketahanan iklim.
  • Rehabilitasi dan efisiensi infrastruktur: Fokus pada perbaikan jaringan irigasi dan titik air pastoral yang ada, alih-alih ekspansi besar-besaran yang mahal dan berisiko konflik.
  • Penguatan kelembagaan dan data: Investasi pada sistem informasi, monitoring, dan tata kelola air, termasuk pengelolaan air tanah yang selama ini terabaikan.
  • Kolaborasi lintas negara: Penguatan organisasi basin dan kerjasama bilateral, seperti antara Ghana dan Burkina Faso di basin Volta, terbukti efektif dalam mengelola bendungan dan pertukaran data.

Kritik dan Analisis

Kekuatan Laporan

  • Analisis holistik: Mengaitkan air dengan pembangunan ekonomi, kesehatan, stabilitas sosial, dan keamanan.
  • Studi kasus konkret: Menampilkan contoh nyata di Mali, Chad, Burkina Faso, dan Volta Basin.
  • Pendekatan inovatif: Mendorong pergeseran ke problem-driven dan kolaborasi lintas skala.

Tantangan dan Kekurangan

  • Implementasi kebijakan: Banyak rekomendasi bagus di atas kertas, namun pelaksanaan di lapangan sering terhambat birokrasi, lemahnya kapasitas, dan fragmentasi institusi.
  • Kesenjangan investasi: Sebagian besar proyek masih bersifat nasional dan sektoral, belum cukup regional dan multisektor.
  • Kurangnya integrasi air tanah: Pengelolaan air tanah masih minim, padahal potensinya besar untuk ketahanan jangka panjang.

Relevansi Global dan Industri

  • Adaptasi perubahan iklim: Sahel menjadi laboratorium penting untuk inovasi adaptasi air di kawasan kering dan rapuh.
  • Kolaborasi lintas batas: Model kerjasama basin dan problem-driven dapat diadopsi di kawasan lain yang menghadapi tantangan serupa.
  • Investasi swasta dan karbon: Potensi investasi swasta melalui skema offset karbon dan agroforestry mulai berkembang.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Dorong investasi pada diversifikasi sumber air dan penyimpanan skala kecil-menengah.
  2. Prioritaskan rehabilitasi infrastruktur dan efisiensi, bukan sekadar ekspansi.
  3. Perkuat sistem data, monitoring, dan tata kelola air tanah.
  4. Fasilitasi dialog lintas negara dan lintas sektor, dengan pendekatan problem-driven.
  5. Libatkan komunitas lokal dan kelompok rentan dalam perencanaan dan pelaksanaan.
  6. Integrasikan air dalam strategi pembangunan regional dan pencegahan konflik.

Kesimpulan: Air sebagai Fondasi Ketahanan dan Perdamaian Sahel

Laporan ini menegaskan bahwa keamanan air bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi utama bagi ketahanan, pertumbuhan ekonomi, dan perdamaian di Sahel. Tanpa reformasi tata kelola, investasi cerdas, dan kolaborasi lintas batas, kawasan ini akan terus terjebak dalam siklus krisis air, kemiskinan, dan konflik. Namun, dengan strategi yang tepat, Sahel dapat bertransformasi menjadi kawasan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel Asli

Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel, World Bank, 2021.

Selengkapnya
Memperkuat Keamanan Air Regional untuk Meningkatkan Ketahanan di Kawasan G5 Sahel

Logistik Cerdas

Inovasi dalam Last-Mile Logistics: Studi Sistematis tentang Faktor Adopsi Konsumen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Pendahuluan

Last-mile logistics (LML) merujuk pada tahap akhir distribusi, yaitu pengiriman dari pusat distribusi ke pelanggan. Tantangan utama dalam LML adalah efisiensi biaya, kecepatan pengiriman, dan kenyamanan pelanggan. Studi ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi konsumen terhadap inovasi dalam LML, seperti self-collection lockers, pick-up points, dan crowdshipping, serta bagaimana faktor-faktor tersebut membentuk keputusan pelanggan.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini melakukan systematic literature review (SLR) terhadap 21 jurnal peer-reviewed yang membahas faktor adopsi inovasi LML oleh pelanggan. Data dikumpulkan dari ScienceDirect, Emerald Insight, Wiley Online Library, dan Taylor & Francis, dengan rentang waktu 2012-2023.

Temuan Utama

1. Biaya dan Efisiensi Last-Mile Logistics

  • Last-mile delivery menyumbang 30% hingga 70% dari total biaya logistik (NUS, 2017).
  • Biaya logistik di Brasil mencapai 12,2% dari PDB nasional, dengan 58% biaya dialokasikan untuk transportasi (ILOS, 2019).
  • Model inovatif seperti parcel lockers dan crowdshipping telah berhasil mengurangi biaya pengiriman hingga 40% (Deutsch & Golany, 2018).

2. Model Inovatif dalam Last-Mile Delivery

  • Self-Collection Parcel Lockers
    • Pelanggan mengambil sendiri paket mereka dari loker otomatis dengan kode akses satu kali.
    • Studi menunjukkan bahwa model ini dapat mengurangi keterlambatan pengiriman sebesar 35%.
  • Pick-Up Points (PUPs)
    • Pelanggan mengambil paket di toko ritel atau lokasi tertentu untuk meningkatkan efisiensi pengiriman.
    • 75% pelanggan di Eropa lebih memilih PUPs dibanding pengiriman langsung ke rumah (Mangiaracina et al., 2019).
  • Crowdsourced Delivery (Crowdshipping)
    • Pengiriman dilakukan oleh individu dengan skema mirip ride-sharing.
    • Model ini dapat menurunkan emisi karbon hingga 25% dibanding pengiriman konvensional (Guo et al., 2019).

3. Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Konsumen terhadap Inovasi LML

  • Kecepatan dan Fleksibilitas
    • 86% konsumen e-commerce menginginkan fleksibilitas dalam waktu dan lokasi pengiriman (Vakulenko et al., 2018).
  • Keamanan dan Privasi
    • 59% pelanggan lebih memilih locker otomatis karena faktor keamanan dibanding pengiriman konvensional (Buldeo Rai et al., 2019).
  • Biaya Pengiriman
    • 45% pelanggan menyatakan bersedia menggunakan crowdshipping jika biaya lebih rendah dibanding pengiriman standar (Jara et al., 2018).
  • Preferensi Konsumen
    • Pengguna layanan self-collection lockers meningkat 20% setiap tahun sejak 2015 (Lachapelle et al., 2018).

Tantangan dalam Implementasi Inovasi LML

  1. Kurangnya Infrastruktur Pendukung – Masih sedikit kota yang memiliki jaringan locker otomatis dan pick-up points yang luas.
  2. Rendahnya Kesadaran Konsumen – Sebanyak 40% pelanggan masih ragu menggunakan metode self-collection karena kurangnya edukasi.
  3. Regulasi Pemerintah yang Belum Jelas – Peraturan mengenai crowdshipping dan model berbasis komunitas masih belum banyak diterapkan.

Kesimpulan & Rekomendasi

Paper ini menegaskan bahwa adopsi konsumen terhadap inovasi last-mile logistics sangat dipengaruhi oleh kenyamanan, keamanan, dan efisiensi biaya. Rekomendasi utama untuk meningkatkan adopsi LML:

  • Perluasan infrastruktur locker otomatis dan pick-up points untuk meningkatkan efisiensi pengiriman.
  • Kampanye edukasi bagi pelanggan mengenai manfaat model pengiriman inovatif seperti crowdshipping.
  • Dukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif bagi pelaku industri logistik berbasis digital.

Sumber Artikel: Firdausa, Muhammad Iqbal (2023). Consumer’s Adoption of Last Mile Logistics Innovation: A Systematic Literature Review. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, Vol. 10, No. 01.

Selengkapnya
Inovasi dalam Last-Mile Logistics: Studi Sistematis tentang Faktor Adopsi Konsumen

Logistik Cerdas

Model Distribusi Logistik Last Mile: Studi Kasus Metropolitan Recife dan Perbandingan dengan Smart Cities Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Pendahuluan

Urbanisasi dan perkembangan e-commerce telah meningkatkan kebutuhan akan logistik last mile yang efisien dan berkelanjutan. Last mile delivery menjadi tantangan utama dalam distribusi barang, terutama di kota pintar (smart cities) yang menekankan efisiensi transportasi dan keberlanjutan lingkungan. Paper ini mengeksplorasi model distribusi logistik last mile di Metropolitan Recife, Brasil, dan membandingkannya dengan implementasi di berbagai smart cities global.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan pengumpulan data melalui kuesioner terhadap manajer perusahaan logistik di Metropolitan Recife. Selain itu, kajian ini juga mengacu pada literatur global mengenai model logistik last mile seperti locker systems, crowdshipping, dan pick-up points.

Temuan Utama

1. Tingginya Biaya Last Mile Delivery

  • Last mile delivery menyumbang hingga 50% dari total biaya logistik global (Roumboutsos et al., 2014).
  • Di Brasil, biaya logistik mencapai 12,2% dari PDB nasional (ILOS, 2019).
  • 58% dari total biaya logistik perusahaan dialokasikan untuk biaya transportasi (ABComm, 2020).

2. Model Distribusi Logistik di Smart Cities

  • Pick-up Points: Lokasi fisik tempat konsumen mengambil barangnya, mengurangi kebutuhan pengiriman individual.
  • Lockers: Sistem loker otomatis untuk pengambilan barang yang lebih fleksibel. 54% konsumen online di Eropa telah menggunakan model ini (Araújo et al., 2019).
  • Crowdsourcing & Crowdshipping: Pemanfaatan individu sebagai kurir, sering kali menggunakan sepeda atau skuter listrik untuk mengurangi emisi karbon.

3. Studi Kasus: Logistik Last Mile di Metropolitan Recife

  • Metropolitan Recife memiliki populasi 4 juta jiwa, dengan tingkat kemacetan tinggi, yang mempengaruhi efisiensi distribusi logistik.
  • Perusahaan logistik di Recife masih banyak yang menggunakan model tradisional, seperti distribusi langsung dengan kendaraan berbahan bakar fosil.
  • Saat ini hanya 2 pusat perbelanjaan di Recife yang menyediakan layanan locker system, berbeda dengan Singapura yang telah memasang locker di setiap 250 meter dari pemukiman publik untuk meningkatkan efisiensi pengiriman.
  • Platform logistik crowdsourcing, seperti perusahaan L, mulai berkembang di Recife tetapi belum memanfaatkan kendaraan listrik seperti yang telah diterapkan di beberapa smart cities di Eropa.

Tantangan Implementasi Logistik Last Mile di Smart Cities

  1. Kurangnya Infrastruktur Transportasi yang Memadai – Tingginya kemacetan memperlambat pengiriman dan meningkatkan biaya bahan bakar.
  2. Rendahnya Adopsi Teknologi Digital – Masih banyak perusahaan yang belum menggunakan AI dan IoT untuk optimasi rute distribusi.
  3. Kurangnya Kebijakan Pemerintah – Tidak adanya insentif bagi penggunaan kendaraan listrik atau fasilitas locker yang lebih luas.

Kesimpulan & Rekomendasi

Penelitian ini menunjukkan bahwa logistik last mile memainkan peran kunci dalam efisiensi rantai pasok di smart cities. Model seperti pick-up points, lockers, dan crowdshipping dapat mengurangi biaya dan dampak lingkungan. Rekomendasi utama untuk kota-kota yang ingin meningkatkan efisiensi last mile delivery:

  • Menerapkan jaringan locker di area publik untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan fleksibilitas pengambilan barang.
  • Mendorong penggunaan crowdshipping dengan kendaraan listrik untuk solusi yang lebih ramah lingkungan.
  • Investasi dalam teknologi AI dan IoT untuk meningkatkan optimasi rute dan efisiensi pengiriman barang.

Sumber Artikel: Queiroz, Alessandro P. F. & Guimarães, Djalma (2022). Last Mile Trips: Logistics Distribution Infrastructure in Smart Cities and the Experiences of Service Provision in the Metropolitan Region of Recife - PE. Revista Nacional de Gerenciamento de Cidades, Vol. 10, No. 76.

 

Selengkapnya
Model Distribusi Logistik Last Mile: Studi Kasus Metropolitan Recife dan Perbandingan dengan Smart Cities Global
« First Previous page 29 of 1.105 Next Last »