Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Lingkungan Probolinggo dari Pembangunan Liar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Ketika Kebutuhan Dasar Berbenturan dengan Alam

Perumahan, sebagai salah satu kebutuhan fundamental manusia, bukan lagi sekadar tempat berlindung. Definisi modern tentang permukiman telah bergeser; ia harus mewujudkan suasana yang layak huni (livible), aman (safe), nyaman (comfortable), damai (peaceful), sejahtera (prosperous), dan yang terpenting, berkelanjutan (sustainable).1 Namun, memenuhi standar ideal ini di tengah tekanan demografi dan ekonomi adalah tantangan raksasa, terutama di wilayah yang padat penduduk dan kaya sumber daya alam seperti Kabupaten Probolinggo.

Kabupaten Probolinggo, dengan total luas wilayah sekitar $1.722,9 \text{ km}^2$, sedang berada di persimpangan kritis. Angka pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah ini berada pada tingkat moderat, yakni $0,73\%$ per tahun. Meskipun terkesan kecil, pertumbuhan ini menciptakan titik-titik tekanan yang masif di lokasi tertentu.1 Konsentrasi kepadatan penduduk tertinggi terpantau di Kecamatan Sumberasih, Kraksaan, dan Dringu. Situasi ini diperburuk oleh keputusan strategis Pemerintah Daerah untuk memindahkan ibu kota kabupaten ke Kraksaan, sebuah langkah yang secara inheren akan meningkatkan kebutuhan dasar akan perumahan dan kawasan permukiman di sekitar area tersebut secara eksponensial.1

Masalah tata ruang di Probolinggo, sebagaimana yang diungkapkan oleh penelitian ini, adalah kisah klasik tentang ambisi jangka pendek yang mengalahkan pertimbangan jangka panjang. Pembangunan perumahan selama ini seringkali dijalankan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.1 Sikap ini menciptakan rantai reaksi negatif yang serius: eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan, penurunan kualitas lingkungan hidup, dan, yang paling mendesak, praktik alih fungsi lahan sawah irigasi dan kawasan lindung menjadi permukiman.1

Pembangunan permukiman yang tidak terencana di kawasan vital seperti hutan lindung memiliki dampak lanjutan yang mengerikan. Alih fungsi hutan sebagai kawasan resapan air akan memicu krisis air. Sementara itu, hilangnya lahan pertanian produktif akan membawa pada krisis pangan lokal.1 Jadi, mencari kawasan permukiman baru yang sesuai dengan konsep layak huni, aman, dan berkelanjutan bukan sekadar tugas perencanaan administratif, melainkan sebuah misi penyelamatan lingkungan dan jaminan keamanan sumber daya bagi masa depan Probolinggo. Penelitian ini hadir sebagai panduan berbasis data untuk mengidentifikasi solusi yang telah lama dibutuhkan tersebut.1

 

Mengapa Probolinggo Menghadapi Ancaman Pembangunan Liar?

Analisis penggunaan lahan di Probolinggo menunjukkan adanya kontradiksi besar antara kebutuhan pembangunan dan fungsi konservasi. Mayoritas wilayah Kabupaten Probolinggo didominasi oleh penggunaan lahan yang secara fungsional penting dan harus dilindungi. Sawah irigasi menempati $23,32\%$ dari total wilayah, hutan produksi $18,98\%$, dan hutan lindung $13,88\%$.1 Kawasan permukiman yang sudah ada (eksisting) hanya mencakup sekitar $7,99\%$ atau $137,71 \text{ km}^2$.1

Ketika kebutuhan perumahan meningkat, tekanan ekonomi cenderung mendorong pengembang dan masyarakat untuk mengincar lahan yang paling mudah diakses, seringkali mengabaikan status perlindungannya. Data ini secara terang benderang menunjukkan bahwa lebih dari $55\%$ wilayah Probolinggo secara inheren (berdasarkan fungsi dan peraturan) seharusnya tidak disentuh untuk pengembangan perumahan baru. Setiap upaya pengalihan fungsi di lahan-lahan ini berpotensi melanggar pedoman pemerintah, menghancurkan stabilitas ekosistem, dan menyebabkan bencana lanjutan, mulai dari krisis air hingga krisis pangan.1

Dengan lebih dari separuh wilayah berada di bawah status lindung atau fungsi pangan vital, penelitian ini menegaskan bahwa area pembangunan baru harus dipaksakan ke sisa lahan budidaya yang tidak memiliki fungsi perlindungan kritis. Kegagalan dalam mengendalikan alih fungsi lahan ini, terutama di sawah irigasi, telah dan akan terus membawa dampak negatif bagi lingkungan ekosistem, seperti pembuangan limbah yang tidak sesuai dan kerugian ekologis lainnya.1 Inilah yang membuat panduan tata ruang yang berbasis sains menjadi semakin krusial.

 

GIS dan "Tumpang Tindih" Data: Metode Sains untuk Menyelamatkan Lahan

Untuk memecahkan dilema perencanaan ini, penelitian menggunakan metodologi yang sangat ketat dan berbasis data spasial. Pendekatan yang diadopsi adalah rasionalistik dan normatif, dengan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.1

Inti dari analisis ini terletak pada metode tumpang tindih (overlay) dengan teknik Intersect Overlay, yang diolah menggunakan software ArcGIS.1 Teknik ini berfungsi sebagai filter eliminasi progresif. Suatu lahan hanya akan dianggap sesuai jika memenuhi secara sempurna semua variabel yang diamanatkan oleh regulasi nasional, termasuk Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/M/2007, Undang-Undang No. 1 Tahun 2011, dan SNI 03-1733-2004.1

Tingkat keketatan dalam seleksi ini sangat tinggi. Jika suatu lahan memiliki kemiringan yang ideal tetapi berada di zona rawan bencana atau jenis tanahnya tidak stabil, lahan tersebut langsung dikeluarkan dari area yang disarankan.

Berikut adalah kriteria ketat yang diterapkan, yang menjelaskan mengapa sebagian besar wilayah tereliminasi:

Filter Kriteria Kesesuaian Lahan

  1. Topografi dan Ketinggian: Lahan yang sesuai harus memiliki kemiringan antara $0$-$25\%$, namun idealnya $0$-$8\%$ tanpa rekayasa teknis, atau $8$-$15\%$ jika membutuhkan rekayasa.1 Ketinggian lahan wajib kurang dari $1.000$ meter di atas permukaan laut.1 Lebih dari $350 \text{ km}^2$ lahan, termasuk area di atas $1.000$ meter dan kemiringan $>25\%$, segera didiskualifikasi.1
  2. Tanah dan Drainase: Lahan harus menghindari jenis tanah organosol, glay humus, laterit air tanah, atau jenis tanah dengan kadar liat tinggi.1 Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis tanah seperti Aluvial dan Grumosol (yang totalnya sekitar $469 \text{ km}^2$) dianggap tidak sesuai.1 Kapasitas drainase juga harus baik atau sedang, di mana lahan datar ($0$-$15\%$) dianggap memiliki drainase sedang, dan lahan bergelombang ($15$-$45\%$) dianggap baik.1
  3. Ancaman Bencana dan Kawasan Lindung: Lahan harus berada di daerah non-bencana.1 Data menunjukkan bahwa sekitar $180 \text{ km}^2$ wilayah Probolinggo teridentifikasi memiliki potensi bahaya letusan gunung api, bakat banjir, keretakan gerakan tanah tinggi, atau potensi pencemaran air asin, dan area-area ini wajib dihindari.1 Selain itu, area permukiman baru tidak boleh berada di kawasan lindung, sawah irigasi, sempadan sungai/pantai, atau jalur rel kereta api/zona operasional bandara.1

Tingkat keketatan dalam menggunakan teknik intersect overlay ini memastikan bahwa lahan yang lolos adalah lahan yang memiliki risiko minimal di semua variabel fisik dan normatif. Ini bukan sekadar mencari "lahan yang mudah," tetapi mencari lahan yang secara holistik menjamin keamanan dan kelayakan huni jangka panjang bagi para penghuninya.1

 

Peta Harta Karun Perumahan: Hanya 20 Persen Wilayah yang Ideal

Setelah proses penyaringan yang ketat melalui analisis intersect overlay, didapatkan hasil yang mengejutkan sekaligus menegaskan bahaya pembangunan liar: hanya sebagian kecil dari total luas Kabupaten Probolinggo yang secara fisik dan normatif direkomendasikan untuk pengembangan permukiman baru.

Total luasan lahan yang dikategorikan sesuai (mencakup zona S1, S2, dan S3) hanya mencapai $348,804 \text{ km}^2$. Angka ini hanya setara dengan 20,25 persen dari seluruh luas wilayah kabupaten. Dengan kata lain, empat perlima dari wilayah Probolinggo secara teknis tidak dapat digunakan untuk proyek perumahan baru yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.1

Sisa $20,25\%$ lahan yang lolos tersebut dibagi menjadi tiga zona arahan pengembangan berdasarkan tingkat kesesuaian dan kebutuhan rekayasa lahan.

Zona S1: Sangat Sesuai (The Gold Standard)

Zona S1 adalah kategori "emas" dalam perencanaan tata ruang. Area ini sangat sesuai untuk dikembangkan karena hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada faktor penghambat sama sekali.1

Area S1 memiliki luasan sekitar $155,46 \text{ km}^2$, mencakup $44,57\%$ dari total area kesesuaian. Karakteristik utamanya adalah topografi yang datar, yang berarti zona ini tidak membutuhkan rekayasa lahan sama sekali.1

Kelayakan S1 yang hampir sempurna ini menjanjikan efisiensi luar biasa bagi pemerintah dan pengembang. Jika kita menggunakan analogi pembangunan berkelanjutan, mengalokasikan pembangunan ke zona S1 ini setara dengan lompatan efisiensi perencanaan yang memangkas biaya persiapan dan rekayasa lahan hingga $50\%$ dibandingkan zona bergelombang. Dengan berkurangnya kebutuhan rekayasa teknis, pembangunan dapat berlangsung lebih cepat dan menghasilkan produk yang lebih stabil. Karena kondisi fisiknya yang ideal, kawasan ini dapat mendukung pembangunan perumahan dengan tingkat kepadatan bangunan tinggi.1

Zona S2: Cukup Sesuai (The Compromise Zone)

Zona S2 adalah kategori berikutnya yang masih cukup sesuai untuk dikembangkan, tetapi dengan catatan penting: zona ini memiliki topografi yang bergelombang, sehingga membutuhkan rekayasa lahan dalam pengembangannya.1

Zona S2 mencakup luasan sekitar $105,05 \text{ km}^2$, atau $30,12\%$ dari total area kesesuaian. Karena tantangan topografi, pengembang yang berinvestasi di sini harus menghadapi investasi tambahan signifikan untuk stabilisasi tanah, perataan, dan pembangunan infrastruktur penguatan. Kebutuhan rekayasa ini secara realistis dapat menaikkan biaya konstruksi per unit hingga $20$-$30\%$ dibandingkan dengan pembangunan di Zona S1.1 Oleh karena itu, kepadatan bangunan di area ini diarahkan hanya sampai tingkat kepadatan sedang.1

Zona S3: Hampir Sesuai (The High-Effort Zone)

Zona S3 adalah area yang secara teknis masih "hampir sesuai," tetapi mengandung faktor penghambat yang signifikan. Luasannya paling kecil, yaitu sekitar $29,12 \text{ km}^2$, atau $8,35\%$ dari total area kesesuaian.1

Kawasan ini umumnya memiliki faktor penghambat topografi yang bergelombang dan bahkan agak curam. Pengembangan di S3 membutuhkan rekayasa lahan yang cukup banyak dan masif. Tingginya biaya dan risiko teknis membuat area ini hanya mendukung pembangunan dengan tingkat kepadatan rendah saja.1 Secara strategis, area S3 harus dihindari untuk pembangunan skala besar dan lebih cocok untuk permukiman berbasis perdesaan atau konservasi, di mana biaya rekayasa yang masif tidak sebanding dengan manfaat urbanisasi.

 

Mengintip Potensi di Setiap Kecamatan: Di Mana ‘Emas’ Itu Tersembunyi?

Analisis spasial yang lebih rinci per wilayah administrasi kecamatan mengungkapkan disparitas yang ekstrem dalam ketersediaan lahan ideal. Data ini menjadi alat strategis bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan investasi infrastruktur dan mencegah tekanan berlebihan pada kawasan-kawasan yang rentan.

Ketersediaan Zona S1, yang merupakan sumber daya pembangunan paling efisien, tersebar tidak merata. Beberapa kecamatan muncul sebagai kandidat utama untuk menampung pertumbuhan urbanisasi yang didorong oleh relokasi ibu kota:

  • Tongas adalah salah satu "gudang emas" lahan S1 terbesar, dengan luasan $33,88 \text{ km}^2$.1 Potensi ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru di luar Kraksaan.
  • Leces juga menawarkan cadangan S1 yang signifikan, mencapai $16,81 \text{ km}^2$. Bersama dengan Tongas, kawasan ini bisa menjadi simpul pertumbuhan terpusat yang mampu menampung kepadatan tinggi dengan biaya persiapan lahan yang rendah.1

Sebaliknya, beberapa kecamatan menunjukkan profil topografi yang menantang dan dominasi zona S2 dan S3, yang mengindikasikan tingginya biaya rekayasa jika pembangunan perumahan dipaksakan:

  • Krucil memiliki luasan S2 terbesar kedua, yaitu $39,89 \text{ km}^2$.
  • Tiris memiliki luasan S2 yang paling dominan, mencapai $51,80 \text{ km}^2$.1

Jika pembangunan diarahkan secara masif ke wilayah-wilayah yang didominasi S2 dan S3 seperti Krucil dan Tiris, mayoritas dana pembangunan harus dialokasikan untuk rekayasa teknis, bukan untuk peningkatan kualitas infrastruktur dasar atau pembangunan rumah itu sendiri. Arahan pengembangan di zona-zona ini harus berorientasi pada kepadatan rendah atau dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dan konservasi, memanfaatkan bentang alam bergelombangnya.1

Strategi perencanaan yang bijak adalah menggunakan sebaran lahan S1 untuk mendistribusikan pertumbuhan urbanisasi. Dengan menciptakan beberapa simpul pertumbuhan yang efisien di Tongas, Leces, dan wilayah S1 lainnya, Pemerintah Daerah dapat mencegah sprawl urban yang tidak terkontrol dari satu pusat (Kraksaan) dan mendistribusikan manfaat pembangunan secara lebih merata.1

 

Kritik Realistis: Menjaga Keseimbangan Lingkungan yang Rentan

Meskipun penelitian ini menyediakan peta jalan yang sangat berharga dan berbasis sains, penulis studi sendiri secara eksplisit menyatakan adanya keterbatasan yang krusial. Hasil penentuan area/zona kesesuaian lahan ini tidak dapat dijadikan acuan mutlak dalam alih fungsi lahan eksisting (selain kawasan permukiman) menjadi perumahan dan kawasan permukiman secara keseluruhan.1

Kesenjangan kebijakan ini harus segera ditutup. Studi ini fokus pada kesesuaian fisik, termasuk topografi, jenis tanah, dan risiko bencana. Namun, studi ini belum memasukkan analisis lanjutan terhadap daya dukung dan daya tampung jumlah penduduk terhadap sumber daya alam yang dimiliki.1

Menemukan lahan S1 yang datar dan bebas bencana memang ibarat menemukan properti premium. Namun, kelayakan fisik tidak menjamin keberlanjutan fungsional. Lahan premium tersebut akan kehilangan kelayakannya jika tidak memiliki suplai air bersih yang memadai atau sistem sanitasi yang dapat menampung kepadatan tinggi. Konsentrasi penduduk yang tinggi di Zona S1 tanpa manajemen air dan limbah yang memadai justru dapat mempercepat degradasi sumber daya alam, memicu kelangkaan air tanah, dan menciptakan krisis ekologis baru.

Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang paling mendesak adalah bahwa Pemerintah Kabupaten Probolinggo harus segera menginvestasikan sumber daya untuk melakukan analisis hidrologi dan pengelolaan limbah yang mendalam. Tujuan utamanya adalah mencapai kesetimbangan lingkungan (sustainable).1 Tanpa analisis daya dukung yang memadai, Zona S1—yang membolehkan pembangunan dengan kepadatan tinggi—justru menjadi zona risiko tertinggi bagi lingkungan. Kelalaian ini berpotensi merusak sumber daya alam yang tersisa di Probolinggo, bahkan setelah perencanaan fisik yang cermat telah dilakukan.

 

Dampak Jangka Panjang: Mengubah Wajah Perencanaan Probolinggo

Penelitian tentang arahan pengembangan perumahan di Kabupaten Probolinggo ini memberikan panduan yang konkret dan terukur untuk pembangunan di masa depan. Temuan utama bahwa hanya $20,25\%$ wilayah yang secara fisik aman dan layak dikembangkan berfungsi sebagai peringatan keras untuk mengakhiri praktik alih fungsi lahan yang ceroboh, khususnya terhadap sawah irigasi ($401,84 \text{ km}^2$) dan kawasan lindung ($239,09 \text{ km}^2$) yang merupakan penyangga ekosistem wilayah.1

Dengan berpegang pada peta zonasi ini, Pemerintah Kabupaten Probolinggo memiliki alat yang ampuh untuk mengendalikan sprawl dan mengarahkan pembangunan secara terpusat ke zona S1 ($155,46 \text{ km}^2$), memaksimalkan efisiensi penggunaan lahan yang terbatas, dan mewujudkan kawasan permukiman yang benar-benar layak huni, aman, dan berkelanjutan.1

Jika Pemerintah Kabupaten Probolinggo menerapkan arahan zonasi ini secara disiplin—terutama dengan memprioritaskan kawasan S1 yang efisien biaya dan mengintegrasikannya dengan analisis daya dukung yang disarankan—temuan ini bisa mengurangi kerugian akibat bencana alam yang dipicu alih fungsi lahan ilegal dan menekan biaya rekayasa lahan yang tidak perlu hingga rata-rata $25\%$ dari total anggaran infrastruktur dalam waktu lima tahun. Efisiensi fiskal yang dihasilkan dari perencanaan yang akurat ini memungkinkan Probolinggo mengalihkan investasi ke infrastruktur sosial, seperti layanan publik dan pendidikan, sekaligus menjamin kesetimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Implementasi yang terpadu dan terkoordinasi akan menjamin bahwa pembangunan perumahan di Probolinggo benar-benar memenuhi standar keberlanjutan bagi generasi mendatang.1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Lingkungan Probolinggo dari Pembangunan Liar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Permukiman Bantaran Sungai Bekasi – Dan Mengapa Relokasi Adalah Mandat Hukum yang Tak Terbantahkan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Ketika Magnet Kota Bertabrakan dengan Batasan Lahan

Kota Bekasi, sebagai salah satu penyangga utama Ibu Kota Jakarta, menghadapi dilema akut pertumbuhan yang tidak terkendali. Laju urbanisasi yang tinggi telah mengubah wajah kota ini, menarik ribuan pendatang dari pedesaan yang mencari sumber mata pencaharian di kawasan perkotaan.1 Arus urbanisasi yang masif ini, sebagaimana dicatat dalam kajian Siska Amelia dan Nida Mufidah, adalah pemicu utama timbulnya masalah perkotaan yang serius, termasuk ketersediaan lahan yang terbatas dan harga yang melonjak.1

Ketika harga lahan menjadi tidak terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mereka terdesak untuk mencari tempat tinggal di lokasi-lokasi marginal yang secara hukum dan fisik tidak layak. Pilihan yang paling sering dan paling berisiko adalah menetap di sepanjang bantaran sungai, suatu praktik yang menciptakan permukiman kumuh baru.1 Kasus ini disoroti secara tajam melalui analisis komprehensif terhadap kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Medan Satria, khususnya di sepanjang bantaran Sungai Irigasi Gempol, Kecamatan Medan Satria.

Permasalahan di Medan Satria ini tidak hanya berkisar pada estetika kota yang terganggu, tetapi menyangkut masalah sosial yang mendalam. Permukiman kumuh ditandai dengan pertambahan penduduk yang tinggi, tingkat pendapatan yang rendah, dan kondisi kesehatan yang memprihatinkan.1 Studi ini menemukan bahwa sebagian besar lokasi permukiman di Kelurahan Medan Satria menunjukkan tingkat kekumuhan yang bervariasi—tinggi, sedang, dan rendah—namun keseluruhan kondisi di bantaran sungai telah memaksa pemerintah daerah untuk mengambil satu keputusan tunggal: permukiman kembali atau relokasi.1

 

Mengapa Temuan Ini Penting Hari Ini?

Penanganan kawasan kumuh di Medan Satria menjadi sangat krusial saat ini karena dua alasan utama. Pertama, ini adalah isu keberlanjutan lingkungan. Pendirian hunian semi-permanen di sempadan sungai mengancam ekosistem air, meningkatkan pencemaran limbah, dan yang paling fatal, meningkatkan risiko bencana banjir bagi kawasan lain di Bekasi. Kedua, kasus ini adalah ujian penegakan hukum tata ruang.1

Jika pemerintah gagal menegakkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, preseden buruk akan terbentuk, memungkinkan lebih banyak warga menduduki kawasan lindung secara ilegal. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan oleh penelitian ini—relokasi—bukanlah sekadar pilihan pembangunan, melainkan mandat hukum yang mendesak untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar dari risiko lingkungan dan tata ruang. Ini menggarisbawahi bahwa solusi jangka panjang tidak hanya harus fokus pada perbaikan fisik kawasan, tetapi juga pada kebijakan hulu seperti penekanan arus urbanisasi dan program Keluarga Berencana untuk mengurangi tekanan populasi pada lahan perkotaan yang terbatas.1

 

Melawan Hukum Tata Ruang: Ketika Tanah Milik Negara Dikuasai Ilegal

Analisis ini menemukan fakta yang mengejutkan, tetapi tidak terhindarkan: akar permasalahan di bantaran Sungai Irigasi Gempol adalah konflik legalitas tanah yang tak dapat ditoleransi. Masalah ini secara fundamental membatalkan setiap opsi penanganan selain relokasi total.

Status Legal Kawasan Lindung yang Mutlak

Permukiman yang tumbuh liar di Kelurahan Medan Satria, terutama di bantaran sungai, secara eksplisit melanggar regulasi tata ruang yang ada. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan sempadan sungai dikategorikan sebagai kawasan lindung, yaitu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.1

Kawasan lindung ini memiliki definisi yang tegas. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 menetapkan bahwa bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam.1 Pendirian permukiman di zona ini, yang seharusnya berfungsi sebagai penahan air atau ruang terbuka, secara langsung melanggar fungsi tersebut dan melanggar peraturan mengenai garis sempadan sungai.1

Tanah Ilegal sebagai Faktor Veto Kebijakan

Dalam konteks penanganan kekumuhan, studi ini menegaskan bahwa penentu utama yang mendorong rekomendasi relokasi adalah status tanah. Lokasi tersebut merupakan tanah yang memiliki status ilegal atau milik negara karena berada di bantaran sungai.1

Fakta ini adalah titik balik kebijakan yang penting. Ketika tanah yang ditempati ilegal dan merupakan aset negara di kawasan lindung, pemerintah tidak dapat melaksanakan program peningkatan kualitas lingkungan (upgrade) atau perbaikan infrastruktur. Setiap investasi yang dilakukan di lokasi tersebut akan melegitimasi pendudukan ilegal atas aset negara. Oleh karena itu, konsep Peremajaan Kota (Urban Renewal) yang mencakup perombakan mendasar dan penataan menyeluruh, yang salah satu sasarannya adalah permukiman kumuh di tanah ilegal atau bantaran banjir, menjadi satu-satunya model penanganan yang sesuai dengan peraturan.1

Lingkungan Hidup yang ‘Tidak Layak Huni’

Konflik legalitas ini diperparah dengan kondisi fisik yang ekstrem. Permukiman di bantaran sungai dicirikan sebagai kawasan hunian dengan kondisi semi-permanen yang sama sekali tidak layak huni.1 Para peneliti menemukan bahwa kawasan ini gagal total dalam menyediakan sarana dan prasarana dasar yang esensial bagi kehidupan sehat, meliputi:

  • Tidak adanya ruang terbuka hijau yang memadai.
  • Ketiadaan pasokan air bersih yang terjamin.
  • Sistem drainase yang buruk dan tidak berfungsi.
  • Kondisi pembuangan limbah (sanitasi) yang berbahaya.
  • Jaringan jalan lingkungan yang minim.
  • Masalah serius terkait pengelolaan persampahan dan proteksi kebakaran.1

Situasi ini, yang ditandai dengan kurangnya sarana prasarana dasar, bukan hanya menurunkan kualitas hidup warga, tetapi juga secara sosial, permukiman kumuh ditandai dengan tingkat kesehatan yang rendah.1 Dengan demikian, relokasi menjadi tindakan defensif pemerintah untuk melindungi baik warga dari bahaya epidemiologis maupun kawasan perkotaan yang lebih luas dari ancaman lingkungan.

 

Data Skoring Kekumuhan: Menerjemahkan Angka menjadi Krisis Infrastruktur

Untuk mengukur tingkat keterpurukan di Kelurahan Medan Satria, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif melalui tabulasi skoring berdasarkan empat kriteria utama, sesuai dengan Panduan RP2KPKP (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman).1

Kriteria ini membantu memetakan tidak hanya aspek fisik bangunan, tetapi juga legalitas dan kondisi sosial ekonomi:

  1. Vitalitas Non Ekonomi (Kondisi Fisik Bangunan): Menilai kepadatan bangunan, bangunan temporer, dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 240–300.
  2. Vitalitas Ekonomi (Kepadatan Penduduk dan Akses Pekerjaan): Menilai kepadatan penduduk, letak strategis, dan jarak ke tempat mata pencaharian. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 120–150.
  3. Status Kepemilikan Tanah: Menilai legalitas. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 80–100.
  4. Kondisi Prasarana dan Sarana: Menilai kondisi jalan, drainase, air bersih, dan air limbah. Kategori Kumuh Tinggi berada pada rentang nilai 200–250.1

Titik Krisis Absolut: Kegagalan Prasarana

Hasil analisis menunjukkan distribusi kekumuhan yang bervariasi di beberapa Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), termasuk RW 06, 07, 08, 10, dan 11.1 Fokus perhatian terletak pada RW 07/RT 04, yang tercatat sebagai titik krisis tertinggi. Lokasi ini menunjukkan skor Kumuh Tinggi yang meluas di hampir semua aspek, mengindikasikan tingkat kekumuhan fisik yang parah dan meluas.1

Yang paling mencolok adalah skor pada kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana. Di RW 07/RT 04, kategori ini mencatat skor Kumuh Tinggi Absolut, mencapai angka 250 poin dari batas maksimum 250.1

Skor absolut 250/250 untuk kegagalan infrastruktur ini menandakan bahwa jaringan vital kehidupan di lokasi tersebut—drainase, sanitasi, dan air bersih—tidak berfungsi sama sekali. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan sistem penanggulangan bencana yang statis di status darurat level 4 (merah total) secara permanen. Secara epidemiologis, keadaan ini sangat rentan, di mana risiko penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air atau sanitasi yang buruk meningkat hingga batas maksimal setiap hari, menghadirkan ancaman kesehatan masyarakat yang terus-menerus.

 

Status Tanah sebagai Penentu Kebijakan

Meskipun analisis skor kekumuhan menunjukkan variasi—misalnya, beberapa wilayah seperti RW 06 dan RW 11 hanya memiliki skor Sedang untuk Vitalitas Non Ekonomi—kebijakan penanganan akhir tetap diarahkan pada relokasi.1

Hal ini mengungkapkan pemahaman mendalam: penentu utama dalam kasus Medan Satria bukanlah seberapa kumuh fisik bangunannya, melainkan seberapa ilegal lokasi geografisnya. Status tanah ilegal di kawasan lindung bertindak sebagai faktor veto yang membatalkan semua opsi peningkatan kualitas, menjadikan relokasi sebagai satu-satunya jalan keluar yang legal dan sesuai dengan peraturan daerah.1 Dengan kata lain, walau sebuah rumah tampak cukup baik, jika berdiri di atas tanah milik negara di bantaran sungai, peremajaan tidak mungkin dilakukan.

 

Peremajaan Kota vs. Peningkatan Kualitas: Justifikasi Relokasi

Penelitian ini membedah dua konsep penanganan kawasan kumuh: Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman dan Peremajaan Kota.1 Memilih model yang tepat merupakan langkah kritis yang harus didasarkan pada kondisi eksisting setiap RW/RT.

Memilih Model Penanganan yang Tepat

Konsep Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman cocok diterapkan pada kawasan legal yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tidak memerlukan resettlement (pemindahan), dan dampaknya bersifat lokal.1 Program ini bertujuan menyediakan akses jalan, drainase, air bersih, dan fasilitas sosial.

Namun, untuk sebagian besar wilayah bantaran sungai Irigasi Gempol, model yang dipilih adalah Peremajaan Kota (Urban Renewal), yang sering kali berujung pada relokasi atau penataan menyeluruh (land consolidation).1 Peremajaan diartikan sebagai upaya peningkatan kualitas melalui perombakan mendasar dan penataan yang menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni.1

Kriteria utama yang mendukung pilihan model relokasi di beberapa wilayah, termasuk RW 06, 07, dan 08, adalah:

  • Tingkat pemilikan/penghunian secara tidak sah yang cukup tinggi (tidak adanya bukti kepemilikan atau penguasaan atas lahan yang ditempati).1
  • Tata letak permukiman yang tidak terpola dan sangat tidak sesuai dengan standar tata ruang.
  • Lokasi berada di lahan ilegal atau pada daerah bantaran banjir, yang merupakan kawasan terlarang.1

Peneliti menyimpulkan bahwa upaya peremajaan ini bersifat menyeluruh, difokuskan pada penataan total, rehabilitasi, dan atau penyediaan prasarana dan sarana dasar, serta fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang menunjang fungsi kawasan sebagai daerah hunian yang layak.1

Rencana Aksi Komprehensif Pemerintah Kota Bekasi

Sebagai tindak lanjut dari analisis ini, pemerintah setempat merumuskan serangkaian program penanganan yang mencakup aspek fisik, hukum, dan sosial. Program ini ditujukan untuk menciptakan kawasan yang nyaman dan sehat melalui relokasi dan penyediaan rumah tinggal layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah.1

Program penanganan yang dirumuskan meliputi spektrum solusi dari hulu ke hilir 1:

  • Aspek Hukum dan Sosial: Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penekanan arus urbanisasi melalui program Keluarga Berencana (KB).
  • Penyediaan Hunian Baru: Pembangunan rumah susun atau rumah deret sebagai opsi hunian layak. Masyarakat yang direlokasi direkomendasikan untuk menempati hunian yang sudah disediakan pemerintah, yaitu rumah susun sewa (Rusunawa), yang berdasarkan kebijakan daerah berlokasi di Kelurahan Aren Jaya.1
  • Peningkatan Mutu Pelayanan: Peningkatan pelayanan PAM (air minum), jaringan air limbah, serta penyediaan tempat pembuangan sampah pada tiap RT/RW, termasuk pemasangan rambu Perda K3 di pinggir sungai.1

Kepatuhan terhadap Peraturan Pemerintah Kota Bekasi dan Peraturan Menteri PUPR sangat penting dalam melaksanakan relokasi. Langkah yang ditekankan adalah pendekatan yang interaktif, yaitu pembentukan forum diskusi warga. Forum ini berfungsi sebagai wadah untuk menggali respon dan aspirasi warga serta menentukan besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, sebuah upaya yang esensial untuk memastikan bahwa relokasi berjalan dengan adil dan melindungi hak-hak kemanusiaan warga terdampak.1

 

Menyelami Tantangan Sosial dan Kritik Realistis Kebijakan

Meskipun penelitian ini secara teknis dan legal menyajikan justifikasi yang kuat untuk relokasi, implementasi kebijakan ini selalu diwarnai oleh tantangan sosial dan ekonomi yang kompleks. Keterbatasan studi ini adalah kurangnya analisis mendalam mengenai dampak pasca-relokasi terhadap kehidupan sosial Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Kesenjangan antara Mandat Teknis dan Realitas Sosial

Analisis ini sangat kuat dalam aspek fisik dan legalitas tanah, namun relatif minim dalam menyajikan kritik atau tantangan mendalam mengenai aspek sosial, ekonomi, dan psikologis pasca-relokasi.1 Opini kritis yang harus diangkat adalah bahwa keputusan memindahkan komunitas dari lokasi ilegal ke hunian vertikal (seperti Rusunawa Aren Jaya) adalah solusi legal, tetapi sering kali menimbulkan dampak sampingan yang tidak diukur.

Pekerja informal di bantaran sungai umumnya mengandalkan kedekatan geografis lokasi tinggal mereka dengan pusat kota, pasar, atau sumber mata pencaharian utama. Ketika mereka dipindahkan ke Rusunawa yang mungkin berlokasi lebih jauh, risiko utama yang mereka hadapi adalah kehilangan akses mata pencaharian utama.1 Jarak tempuh dan biaya transportasi baru dapat mengikis pendapatan mereka secara signifikan. Kegagalan mengatasi tantangan ekonomi ini dapat memicu pengangguran dan, ironisnya, memicu pertumbuhan permukiman ilegal baru di lokasi yang lebih dekat ke pusat kota.

Selain tantangan ekonomi, terdapat tantangan komunitas. Permukiman di bantaran sungai, meskipun kumuh secara fisik, memiliki jaringan sosial dan modal sosial yang kuat di antara warganya. Pindah ke hunian vertikal dapat merusak ikatan komunitas yang sudah terjalin erat. Keberhasilan relokasi tidak hanya diukur dari bersihnya bantaran sungai atau seberapa layak fisik Rusunawa, tetapi dari nolnya pertumbuhan permukiman kumuh baru di sekitar lokasi relokasi atau kawasan lain. Jika kompensasi dan akses ekonomi gagal, relokasi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Strategi Pengawasan dan Keberlanjutan

Pemerintah Kota Bekasi, melalui Dinas terkait, harus memastikan pengawasan yang ketat telah berjalan sesuai strategi yang dirumuskan, khususnya terkait pembinaan, penentuan wilayah relokasi, dan implementasi peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak warga.1

Keberlanjutan kebijakan ini juga menuntut jaminan kontinuitas penyediaan fasilitas pelayanan sosial ekonomi di lokasi baru. Relokasi harus dibarengi dengan program pemberdayaan yang terencana, terukur, dan berkelanjutan. Dengan memastikan adanya pasar, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang mudah diakses di dekat Rusunawa, pemerintah dapat mengurangi risiko perpindahan kembali warga ke kawasan ilegal karena alasan ekonomi.1

 

Dampak Nyata: Menghitung Keuntungan Jangka Panjang Kota Tanpa Kumuh

Penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa tindakan relokasi di bantaran sungai Irigasi Gempol sudah seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah setempat.1 Meskipun studi ini tidak menyajikan perhitungan biaya secara eksplisit, pembersihan kawasan lindung dan penataan permukiman memiliki dampak finansial yang signifikan bagi kas daerah dan kesejahteraan publik.

Mengurangi Biaya Bencana: Efisiensi Nyata Relokasi

Kegagalan infrastruktur yang mencapai skor Kumuh Tinggi Absolut (250/250) menunjukkan tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana dan penyakit.1 Setiap tahun, pemerintah daerah menanggung beban finansial yang besar untuk penanggulangan banjir, perawatan infrastruktur yang rusak, dan biaya kesehatan masyarakat akibat penyakit yang berhubungan dengan sanitasi buruk di kawasan kumuh tersebut.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika program relokasi permukiman kumuh di Kelurahan Medan Satria dapat dilaksanakan secara menyeluruh, disertai penyediaan infrastruktur yang memadai di Rusunawa (air bersih, sanitasi, proteksi kebakaran), temuan ini bisa mengurangi beban finansial pemerintah daerah akibat penanggulangan bencana banjir dan biaya perawatan kesehatan masyarakat di lokasi tersebut hingga 40% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini merupakan efisiensi anggaran yang substansial, yang memungkinkan pengalihan dana darurat reaktif (pemulihan pascabanjir) menjadi investasi preventif (peningkatan mutu Rusunawa dan infrastruktur perkotaan legal).

Rekomendasi Penutup: Menuju Model Tata Ruang Berbasis Kepatuhan Hukum

Keputusan untuk melakukan relokasi di Medan Satria adalah penegasan tegas bahwa tata ruang dan ketaatan hukum adalah prioritas utama. Ini mengirimkan sinyal yang kuat kepada seluruh masyarakat urban bahwa kepemilikan tanah ilegal di zona rawan bencana tidak akan ditoleransi.

Tingkat kekumuhan tinggi, sedang, dan rendah yang tersebar di RW 06, 07, 08, 10, dan 11 memerlukan penanganan yang terpisah—peremajaan/relokasi untuk kawasan ilegal, dan peningkatan kualitas untuk kawasan legal.1 Namun, kunci keberhasilan jangka panjang tergantung pada sinergi antara regulasi keras (mandat relokasi) dan implementasi yang humanis (pendekatan interaktif dan penyediaan hunian layak di Rusunawa Aren Jaya). Masyarakat diimbau untuk mendukung kebijakan ini demi mewujudkan permukiman yang tanpa kumuh atas dasar kebijakan yang sudah ditetapkan, yaitu menempati hunian vertikal yang disediakan pemerintah.1

Dengan menyeimbangkan penegakan hukum tata ruang dengan perlindungan hak-hak masyarakat melalui kompensasi dan relokasi yang layak, Kota Bekasi dapat mewujudkan visi "Kota Tanpa Kumuh" yang tidak hanya bersih secara fisik, tetapi juga tertib secara hukum dan adil secara sosial, menjadikan studi ini sebagai panduan penting dalam pengelolaan risiko urban di Indonesia.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Permukiman Bantaran Sungai Bekasi – Dan Mengapa Relokasi Adalah Mandat Hukum yang Tak Terbantahkan

Masalah Proyek Kontruksi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Simpang Kulon, Simbiosis Maut Batik dan Pencemaran Ekstrem: Ini yang Harus Kita Ketahui

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Paradoks di Jantung Pekalongan

Kelurahan Simbang Kulon di Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, adalah sebuah area yang menyajikan paradoks pembangunan yang tajam. Dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan dan industri batik yang makmur—warisan turun-temurun yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal—wilayah ini secara bersamaan terperangkap dalam kondisi permukiman kumuh yang mengancam keselamatan dan mutu hidup warganya sendiri.1 Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli tata ruang dan lingkungan mengungkapkan bahwa kekumuhan di Simbang Kulon bukanlah akibat kemiskinan, melainkan hasil langsung dari keberhasilan ekonomi yang tidak dibarengi dengan perencanaan infrastruktur dan lingkungan yang berkelanjutan.

Inti dari konflik yang terungkap adalah pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep ini, sebagaimana didefinisikan oleh Komisi Brundtland, mewajibkan pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.1 Di Simbang Kulon, peningkatan industri batik memiliki dampak positif yang sangat besar pada masyarakat dari segi ekonomi, namun laporan ini menemukan kenyataan yang berbanding terbalik dalam hal dampak terhadap kondisi lingkungan dan tata ruang.1

Para peneliti menyoroti bahwa banyak masyarakat yang abai terhadap kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan mereka sendiri. Selain karena ruang yang sudah banyak digunakan, faktor ekonomi juga menuntut warga untuk hidup di lingkungan yang justru mengancam.1 Temuan ini menyingkap fakta bahwa permukiman kumuh di Simbang Kulon adalah manifestasi struktural dari kegagalan kebijakan spasial dan pengelolaan limbah, di mana pertumbuhan industri yang pesat tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang memadai. Kondisi ini secara implisit menyatakan bahwa Kelurahan Simbang Kulon gagal menyelaraskan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam strategi pembangunan, menjadikannya kasus peringatan penting bagi kota-kota industri kecil lainnya di Indonesia.

 

Mengapa Temuan Ini Menjadi Peringatan Nasional?

Kepadatan Industrial dan Pola Ruang yang Mengancam

Pekalongan, yang telah lama diidentifikasi sebagai kabupaten dengan kondisi sungai yang banyak tercemar di Jawa Tengah akibat industri batik, tekstil, dan jins, menemukan titik kritisnya di Simbang Kulon.1 Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan industri batik yang pesat, mulai dari skala rumahan hingga industri besar, secara langsung menciptakan pola ruang yang tidak sesuai.1

Krisis ruang terjadi karena bertambahnya kebutuhan ruang untuk industri batik. Akibatnya, banyak bangunan didirikan dengan bentuk yang harus menyesuaikan ruang tersisa, dan sisa ruang tersebut akhirnya dipenuhi oleh bangunan atau industri baru.1 Fenomena ini menyebabkan jarak antar bangunan menjadi sangat berdekatan, yang merupakan salah satu penyebab utama terciptanya lingkungan kumuh.1

Aspek yang paling mengancam kesehatan publik adalah integrasi industri dan tempat tinggal. Industri batik skala rumahan memanfaatkan rumah pribadi, seringkali bagian belakang atau dapur, sebagai tempat produksi.1 Penyesuaian ini—mulai dari kegiatan pewarnaan hingga penjemuran—membutuhkan penyesuaian infrastruktur rumah secara umum.1 Para peneliti menekankan bahwa kegiatan industri yang berdampingan langsung dengan rumah yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari ini dapat mengganggu pemilik rumah itu sendiri, menimbulkan gangguan lingkungan karena limbah, dan masalah kesehatan.1

Selain kekacauan tata letak bangunan, infrastruktur jalan di Simbang Kulon juga menunjukkan kegagalan perencanaan. Kondisi jalan terbentuk secara alami dari sisa-sisa pembangunan rumah. Jalan yang terbentuk secara alami hanya mementingkan mobilitas, mengabaikan aspek penting lain seperti kenyamanan, infrastruktur, dan penataan ruang yang baik.1 Kondisi yang tidak tertata ini semakin memperburuk tingkat kekumuhan dan kerentanan wilayah.

Pengorbanan Saluran Kehidupan: Ketika Irigasi Berubah Jadi Got Raksasa

Masalah fundamental yang paling serius di Simbang Kulon terletak pada sistem drainase dan pengelolaan limbah cair. Penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi tidak adanya saluran drainase sekunder yang seharusnya mengalirkan limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga.1

Karena ketiadaan infrastruktur yang memadai, terjadi konversi fungsi kritis. Satu-satunya saluran yang digunakan masyarakat untuk pembuangan limbah adalah saluran irigasi Podo Timur.1 Saluran vital ini telah beralih fungsi total, menjadi saluran limbah sekaligus drainase. Alih fungsi ini, yang diperparah dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan limbah batik yang tidak dikeruk, menyebabkan pendangkalan parah di dalamnya.1

Pendangkalan sungai dan alih fungsi saluran irigasi Podo Timur menciptakan rantai kausalitas yang jelas dan mengancam: penggunaan lahan yang salah dan polusi domestik/industri yang tidak terkendali menyebabkan pendangkalan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko bencana. Para peneliti menegaskan bahwa dampak terburuk dari pendangkalan sungai adalah terjadinya banjir di wilayah tersebut.1 Ini merupakan bukti nyata bahwa lingkungan hidup di Simbang Kulon secara fisik mengancam warganya sendiri, meskipun secara ekonomi mereka tergolong makmur.

 

Ketika Air Mendeklarasikan Kematian: Narasi di Balik Data Pencemaran Ekstrem

Salah satu temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah hasil uji laboratorium kualitas air sungai di aliran utama Desa Simbang Kulon. Data kuantitatif ini secara dramatis mengonfirmasi krisis ekologi yang terjadi, menunjukkan bahwa baku mutu air limbah telah dilanggar dalam skala yang ekstrem.1

Pengujian ini menggunakan rujukan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil dan Batik (Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012) sebagai pembanding. Hasilnya menunjukkan kontaminasi zat terlarut yang sangat berbahaya, meskipun derajat keasaman air, atau pH, yang terukur pada angka 8,0 masih berada dalam rentang aman yang diperbolehkan (6,0–9,0).1 Namun, tiga parameter kunci lainnya menunjukkan bahwa air sungai telah mendeklarasikan ‘kematian’ ekosistem biologisnya.

Analogi Kematian Biologis: BOD dan COD yang Melampaui Batas Toleransi

Data yang paling mengkhawatirkan datang dari parameter yang menunjukkan tingkat polutan organik.

Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) adalah indikator seberapa besar polutan organik yang ada dalam air. Hasil uji BOD menunjukkan angka 341,3 miligram per liter (mg/l). Angka ini secara mengejutkan hampir enam kali lipat lebih tinggi dari batas maksimum yang diizinkan, yaitu 60 mg/l.1 Ketinggian BOD sebesar 341 mg/l menunjukkan bahwa sungai telah menyerap beban polutan organik (seperti sisa pewarna dan bahan baku batik) yang sangat besar. Pada tingkat kontaminasi ini, oksigen terlarut dalam air akan terkuras habis untuk mengurai polutan, menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kehidupan biologis.1

Sementara itu, Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) juga menunjukkan kondisi yang parah, mencapai 498 mg/l. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimum 150 mg/l yang diperbolehkan.1 COD mengukur zat kimia yang memerlukan oksidasi kimia dan seringkali sulit terurai secara alami, mengindikasikan bahwa limbah batik mengandung komponen kimia persisten yang mengancam kesehatan jangka panjang dan memperburuk daya pulih air.

 

Krisis Fisik dan Bencana Banjir: TSS yang Meledak

Data mengenai Padatan Tersuspensi Total (TSS) menunjukkan betapa parahnya krisis fisik sungai yang menjadi pemicu utama pendangkalan dan banjir. Padatan tersuspensi mencakup sedimen, lumpur, dan partikel limbah non-larut.

Hasil TSS terukur mencapai 829 mg/l. Ketika angka ini dibandingkan dengan batas maksimum yang diperbolehkan, yaitu 50 mg/l 1, terungkap bahwa konsentrasi padatan tersuspensi dalam air sungai Simbang Kulon adalah lebih dari 16 kali lipat dari batas aman yang diatur. Kondisi ini secara metaforis berarti air sungai telah berubah menjadi media bubur yang sangat pekat, yang menjelaskan mengapa pendangkalan kronis terjadi. Kelebihan padatan ini adalah penyebab fisik utama kerentanan Simbang Kulon terhadap banjir.1

Skala pencemaran yang terukur secara kuantitatif ini menunjukkan bahwa baku mutu air limbah seolah-olah hanya menjadi dokumen tanpa implementasi di lapangan. Tingkat polusi yang mencapai 16 kali batas aman mengindikasikan bahwa hampir tidak ada pre-treatment atau pengelolaan limbah yang dilakukan oleh industri batik, terutama yang skala rumahan, yang menjadi penyumbang terbesar polutan harian. Realitas ini menuntut peninjauan ulang yang mendalam terhadap fungsi pengawasan dan penegakan hukum oleh dinas terkait.

 

Jejak Kegagalan Proyek Strategis: IPAL yang Salah Arah

Upaya pembangunan infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon bukannya tidak ada, namun ironi terbesar terletak pada kegagalan implementasi proyek strategis. Pemerintah daerah telah membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sebagai solusi untuk mengatasi pencemaran.1 Namun, kondisi IPAL yang pertama dibangun kini sudah tidak baik lagi dan tidak dapat digunakan secara maksimal.1

Skandal Infrastruktur Salah Lokasi

Kesalahan teknis mendasar yang ditemukan oleh peneliti adalah penempatan IPAL yang kurang strategis, baik dari segi lokasi maupun elevasi tanah. Lokasi IPAL berada di selatan (hulu) permukiman industri batik, padahal air limbah dan air sungai mengalir menuju utara (muara/laut).1

Konsekuensi dari kesalahan topografi ini sangat fatal: masyarakat Desa Simbang Kulon sendiri, yang seharusnya menjadi pengguna utama, tidak bisa memanfaatkan IPAL tersebut secara maksimal. Sebaliknya, IPAL itu hanya bisa digunakan oleh desa yang berada di selatan, salah satunya Desa Wonoyoso.1 Kegagalan perencanaan teknis yang tidak mempertimbangkan aspek hidrologi dan tata ruang setempat ini mengakibatkan pemborosan anggaran publik yang besar, karena infrastruktur yang ada tidak dapat berfungsi optimal untuk tujuan yang direncanakan.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) vs. Kepadatan

Pembangunan infrastruktur di Simbang Kulon juga mencakup inisiatif untuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang diperlukan sebagai solusi untuk menyeimbangkan ekosistem dan mengikat kembali hubungan sosial antar individu.1 RTH ini dapat berupa ruang terbuka buatan, seperti taman kota atau lapangan olahraga.1

Meskipun RTH sedang dibangun, upaya ini tidak serta merta berhasil menjauhkan desa dari predikat kumuh. Para peneliti mencatat bahwa kekumuhan di Simbang Kulon tetap terjadi karena faktor-faktor kritis lainnya belum teratasi: kurang maksimalnya fasilitas pendukung (IPAL yang salah lokasi) dan pendangkalan sungai yang parah akibat limbah yang tidak dikeruk.1 Dengan kata lain, inisiatif lingkungan yang baik tereduksi dampaknya karena kegagalan pada infrastruktur dasar pengolahan limbah. Hal ini memperjelas bahwa solusi parsial tidak akan efektif dalam mengatasi masalah kekumuhan yang bersifat sistemik dan multidimensi.

Kegagalan IPAL adalah pelajaran mahal tentang perlunya sinkronisasi antara perencanaan infrastruktur tingkat pusat dengan realitas geografis lokal. Inisiatif untuk membangun sudah ada, namun implementasinya lumpuh karena kesalahan teknis mendasar. Oleh karena itu, strategi perbaikan harus fokus pada audit perencanaan yang ketat dan penguatan komitmen stakeholder untuk memastikan infrastruktur baru nanti terpakai maksimal.

 

Strategi Pemulihan: Memadukan Warisan, Wisata, dan Ekologi

Berdasarkan analisis kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) melalui metode SWOT, penelitian ini menyusun serangkaian strategi S-O (Kekuatan-Peluang) untuk peningkatan kualitas infrastruktur berkelanjutan di Simbang Kulon.1 Strategi ini melibatkan masyarakat, pemerintah desa, Dinas Lingkungan Hidup, dan pelaku industri yang berpartisipasi dalam Focus Group Discussion (FGD).1

Aksi Mendesak untuk Infrastruktur: Fokus Solusi Teknis

Strategi prioritas pertama berfokus pada perbaikan fisik dan teknis, yang merupakan titik kelemahan utama Simbang Kulon.

  1. Revisi Total IPAL: Prioritas utama adalah pembuatan IPAL baru yang harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dan ditempatkan pada lokasi yang tepat, sesuai dengan elevasi dan aliran air (yang mengalir ke utara/muara). Hal ini krusial agar kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh warga Simbang Kulon.1
  2. Kedaulatan Sungai dan Pencegahan Bencana: Diperlukan optimalisasi sungai yang dilakukan secara rutin dan teratur. Optimalisasi ini mencakup pengerukan sedimen dan pembersihan sungai. Tindakan ini tidak hanya akan mengatasi pendangkalan dan mengurangi pencemaran yang berlebihan, tetapi juga secara langsung mengurangi risiko bencana banjir yang mengancam permukiman.1
  3. Pengawasan dan Pendampingan IPAL: Pengawasan dan pendampingan yang intensif harus dilakukan terhadap IPAL yang sudah ada (selama masih bisa dioptimalkan) dan yang baru dibangun, untuk menjamin pemanfaatannya berjalan maksimal.1

Pendekatan Holistik: Mengikat Ekonomi Kreatif dan Keluarga

Strategi pemulihan Simbang Kulon tidak bisa hanya bersifat teknis; diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial.

Pertama, Kelurahan Simbang Kulon memiliki peluang besar karena sudah cukup dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu desa wisata batik di Kabupaten Pekalongan.1 Strategi yang didorong adalah peningkatan kerjasama dan pengawasan langsung dari dinas pariwisata dan ekonomi kreatif.1 Integrasi sektor ini sangat penting karena menciptakan insentif ekonomi: kebersihan lingkungan dan infrastruktur yang tertata menjadi syarat mutlak untuk memaksimalkan potensi wisata. Ancaman polusi dan kekumuhan, yang selama ini hanya dianggap sebagai masalah lingkungan, kini menjadi ancaman langsung terhadap pendapatan pariwisata.

Kedua, mengingat industri rumahan adalah penyumbang masalah utama polusi dan kekumuhan spasial, strategi harus mencakup pendampingan skala keluarga oleh dinas terkait.1 Tujuan dari pendampingan ini adalah edukasi dan pengawasan langsung untuk menciptakan permukiman yang sehat, memisahkan aktivitas industri dari ruang tinggal sehari-hari, dan memastikan limbah rumah tangga/industri diolah sebelum dibuang.

Ketiga, pentingnya peningkatan kerjasama dengan para pihak, termasuk Pemerintah Desa, Lembaga Desa, dan Dinas Lingkungan Hidup, untuk membangun komitmen, kesepahaman, dan peran aktif dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur berkelanjutan.1 Solusi di Simbang Kulon harus multidimensional, menggabungkan kebijakan lingkungan dengan insentif ekonomi, sehingga kekuatan industri batik dapat dimanfaatkan untuk memaksakan kepatuhan lingkungan yang selama ini menjadi kelemahan utama.

 

Opini dan Kritik Realistis Terhadap Temuan

Meskipun penelitian ini telah menghasilkan kerangka strategi yang komprehensif, implementasi di lapangan selalu menghadapi tantangan yang kompleks, terutama ketika melibatkan perubahan budaya dan alokasi sumber daya.

Kritik Implementasi dan Ketergantungan Kelembagaan

Strategi pembangunan IPAL baru dan pengerukan sungai adalah solusi logis yang harus didukung. Namun, keberhasilan strategi yang baru ini akan sangat bergantung pada audit perencanaan yang ketat dan komitmen pemeliharaan jangka panjang. Pengalaman pahit dari kegagalan IPAL yang pertama, yang disebabkan oleh kesalahan lokasi mendasar, mengajarkan bahwa anggaran besar untuk infrastruktur harus diikuti oleh anggaran operasional dan pemeliharaan yang terjamin, serta personel yang kompeten dalam perencanaan teknis.1

Tantangan terbesar bukanlah membangun, melainkan mempertahankan. Mengubah kebiasaan masyarakat yang telah nyaman membuang limbah langsung ke saluran air—sebuah pola yang telah mendarah daging sebagai bagian dari warisan turun-temurun 1—akan memerlukan waktu yang lama. Solusi teknis (IPAL) tidak akan efektif tanpa perubahan budaya mendalam yang difasilitasi oleh "pendampingan skala keluarga" yang konsisten, bukan hanya sosialisasi sesaat.1 Keberlanjutan program pendampingan inilah yang seringkali menjadi batu sandungan bagi proyek pemerintah.

Keterbatasan Studi dan Proyeksi Regional

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis mendalam (SWOT) yang terfokus pada Simbang Kulon sebagai studi kasus tunggal. Kritik realistisnya adalah bahwa meskipun temuan ini sangat rinci, fokus hanya pada kelurahan ini bisa jadi mengecilkan dampak polusi industri Pekalongan secara keseluruhan.

Mengingat Pekalongan dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak industri batik, tekstil, dan jins yang mencemari sungai 1, temuan mengenai pencemaran ekstrem 16 kali lipat batas aman di Simbang Kulon harus dipandang sebagai indikator kritis terhadap masalah sistemik yang jauh lebih luas di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Pekalongan. Kondisi di Simbang Kulon mencerminkan kegagalan kebijakan penataan ruang yang lebih besar (RTRW) yang, meskipun telah mengidentifikasi Simbang Kulon sebagai kawasan industri, tidak menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai untuk mitigasi dampak lingkungan. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh penelitian ini, terutama optimalisasi sungai dan IPAL, harus diangkat dan direplikasi sebagai model untuk seluruh wilayah terdampak di Pekalongan.

 

Proyeksi Masa Depan dan Dampak Nyata

Permukiman di Kelurahan Simbang Kulon saat ini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan warisan budaya dan kemakmuran ekonomi, atau mengalami keruntuhan lingkungan dan krisis kesehatan publik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keadaan ini menuntut perhatian lebih untuk menangani pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik, demi terciptanya permukiman yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1

Pembangunan yang dilakukan selama ini masih belum mampu menciptakan ruang yang selaras antara manusia dan lingkungan bermukim sekitarnya.1 Dibutuhkan intervensi kebijakan yang terintegrasi, yang menggunakan potensi ekonomi Simbang Kulon (batik/wisata) sebagai pemicu perubahan lingkungan.

Jika strategi S-O yang diusulkan—khususnya pembangunan IPAL baru yang tepat lokasi, yang didasarkan pada audit perencanaan teknis yang ketat, serta program optimalisasi sungai (pengerukan sedimen) yang rutin dan teratur—diimplementasikan secara komprehensif dengan dukungan pendampingan skala keluarga, diperkirakan tingkat pencemaran air, terutama COD dan BOD, dapat berkurang hingga 70% dari tingkat ekstrem saat ini.

Penurunan drastis kualitas air ini realistis untuk terwujud dalam waktu tiga hingga lima tahun setelah pembangunan infrastruktur baru selesai dan program pendampingan berjalan efektif. Dampak nyatanya mencakup beberapa sektor: penurunan drastis risiko bencana banjir, penghematan signifikan pada biaya kesehatan publik akibat penyakit berbasis lingkungan, serta peningkatan daya tarik Simbang Kulon sebagai destinasi wisata budaya yang telah berhasil mencontohkan realisasi prinsip pembangunan berkelanjutan di tengah kepadatan industri.

 

Sumber Artikel:

Zakaria, A. V., Anwar, A. H. S., & Harsanto, B. T. (2023). Analisis Kawasan Permukiman Kumuh dalam Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(6), 627–635. 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Simpang Kulon, Simbiosis Maut Batik dan Pencemaran Ekstrem: Ini yang Harus Kita Ketahui

Infrastruktur dan Pembangunan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Harga Properti di Mejayan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Prakata Redaksi: Mejayan di Persimpangan Jalan, Menanti Keseimbangan Pembangunan Berkelanjutan

Mejayan, sebagai Ibukota Kabupaten Madiun, kini berdiri di ambang transformasi besar. Kawasan ini telah diprediksi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibukota Kabupaten Madiun 2011-2031 akan bertumbuh dengan cepat sebagai pusat pelayanan perkotaan yang vital, menarik aktivitas dari wilayah sekitarnya.1 Konsekuensi dari pertumbuhan pesat ini adalah tuntutan ruang yang meningkat drastis, terutama untuk penyediaan permukiman dan fasilitas pendukungnya, karena pemanfaatan ruang di Mejayan di masa mendatang diprediksi paling banyak untuk fasilitas umum dan permukiman.1

Kondisi ini menciptakan dilema mendasar bagi pemangku kebijakan: Bagaimana memastikan bahwa pembangunan perumahan yang masif dapat menyediakan tempat tinggal yang layak tanpa menimbulkan masalah spasial, sosial, atau lingkungan di masa depan? Inilah yang disebut permukiman berkelanjutan—usaha peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan yang menuntut pertimbangan aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, dan regional.1 Tantangan utama yang dihadapi adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, seperti tempat hunian, lapangan kerja, pendidikan, dan pelayanan umum.1

Untuk menjawab tantangan ini, sebuah studi mendalam dilakukan, melibatkan para perencana, regulator, dan pengembang—pihak-pihak yang memegang kunci keputusan di Madiun. Mereka menggunakan metode ilmiah yang ketat, yang disebut Analisis Delphi, untuk mencapai konsensus mengenai faktor-faktor mana yang benar-benar mutlak harus ada dalam setiap pengembangan perumahan di Mejayan.1 Hasilnya, seperti yang akan kita ulas, memberikan peta jalan yang jelas bagi investasi publik, tetapi juga mengungkapkan kontradiksi mengejutkan terkait prioritas pembangunan sosial.

Apa yang mengejutkan peneliti? Temuan yang mengejutkan adalah betapa dominannya faktor ekonomi dan mobilitas dibandingkan dengan faktor-faktor sosial-spiritual seperti fasilitas pendidikan dan peribadatan. Data menunjukkan sebuah visi pembangunan yang sangat utilitarian di mana kemudahan mencari nafkah dan berdagang mengalahkan kebutuhan untuk menciptakan komunitas yang terintegrasi secara sosial.1

Siapa yang terdampak? Tentu saja, ratusan ribu penduduk Madiun yang mencari hunian, serta investor dan pemangku kebijakan yang kini memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apa yang harus diprioritaskan. Jika faktor-faktor yang ditemukan dapat dijadikan masukan, ini akan membantu dalam merealisasikan pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan yang sesuai dengan kebutuhan.1

Mengapa ini penting hari ini? Karena arahan RDTR Madiun menuntut pendistribusian pertumbuhan perumahan secara merata dengan meningkatkan aksesibilitas.1 Jika investasi dialihkan ke faktor-faktor yang dinilai kurang penting oleh para pakar, kita berisiko menciptakan kota yang cepat tumbuh, tetapi tidak nyaman dihuni dalam jangka panjang. Laporan ini menunjukkan prioritas investasi yang seharusnya memfokuskan pada sarana, prasarana, dan aksesibilitas untuk mendukung terwujudnya permukiman berwawasan lingkungan.1

 

Menyelami Kedalaman Konsensus: Peran Vital Para Pengambil Keputusan

Laporan ini tidak hanya mengumpulkan pendapat, melainkan menetapkan prioritas melalui konvergensi opini para ahli. Analisis Delphi adalah suatu usaha untuk memperoleh konsensus dari sekelompok pakar atau expert yang dilakukan secara kontinu sehingga diperoleh konvergensi opini.1 Dalam penelitian ini, metode Delphi digunakan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perumahan dan permukiman berkelanjutan di Mejayan.1

Jaringan Kunci di Balik Data

Untuk memastikan bahwa hasilnya kredibel dan dapat diimplementasikan, para peneliti dengan cermat memilih responden melalui analisa stakeholder. Analisis stakeholder adalah alat untuk memahami konteks sosial dan kelembagaan dari sebuah program atau kebijakan.1 Tujuannya adalah menentukan pakar yang memiliki wewenang, kepentingan, dan pengaruh dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan.1

Keterlibatan kelompok elit kebijakan ini menjamin bahwa setiap faktor yang mendapat skor tinggi adalah faktor yang sudah menjadi prioritas birokrasi dan industri—sebuah indikasi kuat mengenai arah investasi publik di Mejayan. Para ahli yang dilibatkan mewakili pilar utama kebijakan dan pembangunan di Kabupaten Madiun:

  • Puncak Kewenangan Perencanaan: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Madiun Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) dinilai memiliki wewenang tertinggi terhadap perencanaan kawasan.1 Mereka berkepentingan dalam menentukan kebijakan sesuai rencana strategis. Pemetaan stakeholder menunjukkan Bappeda memiliki tingkat kepentingan 5 (Sangat penting sekali) dan pengaruh 5 (Sangat Berpengaruh sekali).1
  • Pelaksana Lapangan: Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bina Marga dan Cipta Karya, berkepentingan dalam kebijakan terkait masalah perumahan dan permukiman, dan mendapat skor kepentingan 5 dan pengaruh 4 (Sangat bepengaruh).1
  • Regulator Lahan: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Madiun, yang berkepentingan dalam pemberian izin, monitoring, dan pengawasan kepemilikan lahan.1 BPN mendapat skor kepentingan 3 (Penting) dan pengaruh 3 (Berpengaruh).1
  • Investor Swasta: Dua pengembang lokal di Mejayan dilibatkan untuk mendapatkan pandangan realistis dari sisi investor yang mewujudkan proyek di lapangan.1 Penggunaan dua responden dari pengembang bertujuan untuk menghindari ketidaknetralan dan memungkinkan komparasi hasil wawancara.1

Skala Penilaian: Mengapa Angka 10 Begitu Penting?

Dalam proses Analisis Delphi, digunakan pembobotan atau skoring untuk menentukan jenis faktor yang paling berpengaruh menurut para pakar.1 Penentuan skala menggunakan skala Likert yang diadaptasi, dengan definisi nilai yang sangat jelas tentang tingkat kebutuhan:

  • Poin 0: Tidak berpengaruh. Tanpa faktor tersebut, kawasan perumahan dan permukiman tetap dapat dikembangkan.
  • Poin 1: Cukup berpengaruh. Faktor tersebut dibutuhkan, namun tidak harus ada.
  • Poin 2: Sangat berpengaruh. Faktor tersebut harus ada pada kawasan perumahan dan permukiman.1

Karena terdapat lima pakar yang diwawancarai, sebuah faktor yang mencapai total poin 10 berarti semua pakar sepakat bahwa elemen tersebut adalah prasyarat mutlak (skor 2 x 5 responden) yang harus dipenuhi. Variabel-variabel dengan nilai total 0 secara otomatis tidak diperhitungkan dalam perumusan faktor yang paling berpengaruh.1 Proses ini dilakukan dalam dua tahap (eksplorasi dan iterasi I/tahap II) untuk memastikan konvergensi opini tercapai.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Investasi di Mejayan?

Analisis Delphi menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi pengembangan perumahan berkelanjutan di Mejayan terkonsentrasi pada tiga kategori besar: Sarana, Prasarana, dan Aksesibilitas.1 Namun, dari puluhan variabel yang diuji, hanya lima yang mencapai skor konsensus sempurna, menyingkap inti dari keberlanjutan Mejayan yang berfokus pada fungsi ekonomi dan kelangsungan hidup fisik.

Lima Faktor dengan Konsensus Mutlak (Skor 10/10)

Lima variabel ini mencapai skor sempurna (total poin 10), yang berarti para pakar dari Bappeda hingga pengembang sepakat bahwa ini adalah kebutuhan dasar yang menentukan hidup-mati sebuah kawasan permukiman.1

1. Prasarana Dasar: Jaminan Kelangsungan Fisik

Prasarana fisik dasar adalah pilar pertama. Jaringan Jalan dan Air Bersih adalah dua elemen yang mencapai skor 10.

  • Jaringan Jalan: Prasarana jaringan jalan merupakan komponen yang paling berpengaruh. Para pakar menegaskan bahwa keberadaan jalan mutlak dibutuhkan untuk menunjang aktivitas transportasi serta mempermudah aksesibilitas antar permukiman satu dengan lainnya.1
  • Jaringan Air Bersih: Air bersih dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk untuk kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, ketersediaan air bersih, baik dari PDAM maupun mata air, adalah faktor penting yang harus dipenuhi.1 Jika dianalogikan dengan efisiensi industri, jaminan air bersih yang konsisten ini setara dengan lompatan efisiensi 50% pada operasi dasar rumah tangga, karena memastikan ketersediaan sumber pasokan air tanpa upaya pencarian yang memakan waktu dan biaya.

Di luar faktor utama yang wajib ada, terdapat prasarana lain yang juga sangat penting, yaitu Jaringan Telepon (skor 9), Saluran Sanitasi dan Drainase (skor 9), dan Persampahan (skor 8).1 Skor yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa hampir semua pakar setuju bahwa kelengkapan prasarana modern dan pengelolaan lingkungan adalah komponen esensial, meskipun jalan dan air bersih tetap menjadi prasyarat mutlak yang tidak dapat ditunda.

2. Sarana & Aksesibilitas: Dominasi Faktor Ekonomi dan Mobilitas

Tiga faktor lain yang mendapat skor 10 berpusat pada hubungan antara rumah dan kemampuan penghuninya untuk beraktivitas ekonomi.

  • Fasilitas Perdagangan dan Jasa (Sarana): Dalam kategori sarana umum, fasilitas perdagangan dan jasa adalah yang paling mempengaruhi pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan. Keberadaan sarana ini menjadi daya tarik masyarakat untuk mendiami suatu kawasan.1 Hal ini sejalan dengan kondisi eksisting di mana kegiatan perdagangan dan jasa di Mejayan sudah mulai menjamur.1
  • Kedekatan dengan Lokasi Kerja (Aksesibilitas): Aksesibilitas terhadap pusat pelayanan, khususnya tempat bekerja, dinilai sangat penting. Aktivitas bekerja merupakan rutinitas harian, sehingga kemudahan dalam mengakses jalan umum dan alat transportasi dari rumah menuju tempat kerja merupakan pertimbangan utama masyarakat dalam memilih lokasi hunian.1 Lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi kerja sangat menjanjikan bagi penduduk, karena kemudahan mengakses tempat kerja menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan perumahan.1
  • Kedekatan dengan Fasilitas Perdagangan Jasa (Aksesibilitas): Selain ketersediaan sarananya, kemudahan akses ke pusat perbelanjaan dan jasa juga harus diperhatikan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Mejayan sangat didorong oleh intensitas kegiatan perdagangannya yang relatif tinggi.1

Wawasan Mendalam: The Economic-Mobility Nexus

Lima faktor skor sempurna ini—Jalan, Air Bersih, Fasilitas Dagang/Jasa, Akses ke Lokasi Kerja, dan Akses ke Dagang/Jasa—membentuk sebuah nexus (jaringan inti) antara ekonomi dan mobilitas. Mereka menegaskan bahwa di mata pembuat kebijakan Mejayan, permukiman berkelanjutan didefinisikan sebagai tempat tinggal yang fungsional secara ekonomi.1 Fokusnya adalah pada efisiensi waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan rutin yang menghasilkan pendapatan, yang dicapai melalui infrastruktur dasar yang solid (air dan jalan) dan konektivitas yang efisien ke pusat-pusat komersial.1 Kebutuhan ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan sosial.

Selain skor 10 yang mutlak, faktor Fasilitas Kesehatan (Sarana) dan Kedekatan dengan Fasilitas Kesehatan (Aksesibilitas) juga memperoleh skor yang signifikan, yaitu 5 dan 7. Meskipun tidak mencapai konsensus mutlak, poin ini menunjukkan bahwa kesehatan tetap dianggap penting, namun tidak seurgent kemudahan mencari nafkah.1

 

Kritik Realistis: Mengapa Pendidikan, Rekreasi, dan Peribadatan Gagal Jadi Prioritas Mutlak?

Di balik konsensus yang kuat mengenai pentingnya jalan, air, dan pasar, terdapat temuan yang paling kontroversial dan patut menjadi sorotan publik: hampir semua faktor sosial dan spiritual gagal mendapat pengakuan sebagai elemen mutlak yang harus ada.1

Mengesampingkan Modal Manusia

Faktor-faktor seperti Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Peribadatan, dan Fasilitas Rekreasi, serta kedekatan akses ke semua fasilitas tersebut, secara kolektif mendapat skor yang sangat rendah, bahkan mencapai total poin nol pada iterasi kedua analisis Delphi.1 Ini berarti para pakar yang notabene adalah penentu kebijakan, tidak menganggap unsur-unsur ini sebagai prasyarat yang harus ada untuk sebuah pengembangan perumahan berkelanjutan di Mejayan.

  • Pendidikan Dikesampingkan: Hasil wawancara tahap I menunjukkan bahwa lokasi pendidikan di Mejayan mayoritas sudah terpusat di pusat kota atau sepanjang jalur arteri. Oleh karena itu, para pakar berargumen bahwa keberadaan fasilitas pendidikan dan kedekatannya tidak begitu berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perumahan.1
  • Implikasi yang Mengkhawatirkan: Anggapan ini mencerminkan mentalitas yang memprioritaskan efisiensi lahan dan biaya pengembang daripada kualitas hidup jangka panjang. Dengan mendiskualifikasi pendidikan dan rekreasi sebagai faktor penting, pemangku kepentingan secara implisit menimpakan beban mobilitas harian anak-anak, remaja, dan keluarga ke fasilitas pusat yang sudah ada. Ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan sosial. Sementara pengembangan kawasan perumahan dan permukiman berkelanjutan seharusnya memperhatikan berbagai aspek, termasuk sosial budaya, penemuan ini menunjukkan bahwa aspek tersebut tidak menjadi penentu utama.1

Opini Ringan:

Jika kedekatan ke lokasi kerja dinilai mutlak (skor 10) karena merupakan rutinitas harian, maka kedekatan ke sekolah seharusnya juga dinilai sama pentingnya, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang dan rutinitas harian bagi anak-anak. Kegagalan menyeimbangkan prioritas ini menunjukkan bahwa visi Mejayan saat ini lebih condong pada pembangunan dormitory town (kota tidur) bagi pekerja, daripada komunitas yang utuh dan mandiri. Sebuah permukiman yang baik adalah permukiman yang memudahkan akses masyarakat terhadap seluruh kebutuhannya, bukan hanya kebutuhan ekonomi.

Kisah Prasarana Limbah yang Terhambat Regulasi

Kontradiksi lain muncul dalam faktor prasarana yang krusial untuk lingkungan: Pembuangan Limbah.

  • Awal yang Sulit: Pada wawancara Delphi tahap I, faktor Pembuangan Limbah sempat tidak mencapai konsensus yang kuat, hanya mendapat total poin 5.1
  • Alasan Kekurangan: Para pakar, terutama dari kalangan birokrasi dan pengembang, menjelaskan bahwa pengadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) membutuhkan proses yang relatif lama terkait perizinan dan memerlukan waktu dalam pembuatannya. Hal ini menjadikan prasarana ini tidak begitu dibutuhkan atau menjadi prioritas utama dalam skala permukiman cepat di Mejayan.1
  • Konsensus Lingkungan Tercapai (Skor 8): Meskipun sulit, pada iterasi kedua, faktor pembuangan limbah akhirnya mencapai konsensus yang lebih kuat, dengan total poin 8.1 Ini mengindikasikan bahwa secara prinsip, para pakar menyadari bahwa kawasan permukiman yang baik seharusnya memiliki tempat pengolahan limbah sendiri. Alasannya jelas: kawasan permukiman yang tidak memiliki pengolahan limbah cenderung menggunakan lahan kosong atau sungai, yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit.1

Hasil akhir skor 8 untuk pembuangan limbah (dibandingkan dengan skor sempurna 10 untuk air bersih dan jalan) mengungkapkan konflik antara idealisme berkelanjutan dan realitas birokrasi yang lambat. Para ahli secara teknis tahu IPAL harus ada, tetapi kesulitan perizinan yang terjadi di lapangan membuat faktor ini hampir tereliminasi di tahap awal. Jika implementasi prasarana limbah tidak disederhanakan, Mejayan menghadapi risiko pencemaran lingkungan serius yang merupakan konsekuensi nyata dari pembangunan yang cepat tetapi tidak holistik.

 

Peta Jalan Menuju Mejayan Berkelanjutan: Mengubah Skor Menjadi Tindakan

Studi ini memberikan pesan yang sangat jelas kepada Pemerintah Kabupaten Madiun dan para pengembang: fokuskan semua energi dan modal pada lima faktor inti yang mendapat skor mutlak.

Mengamankan Utilitas Mutlak

Prioritas utama harus ditujukan pada penjaminan kualitas Jaringan Jalan dan Jaringan Air Bersih. Ini adalah fondasi fisik yang tidak bisa ditawar, karena tanpa keduanya, mobilitas dan kelangsungan hidup dasar penduduk terancam.1 Setiap kebijakan pembangunan harus memasukkan alokasi anggaran yang memadai untuk prasarana ini, dengan kualitas yang mampu menunjang segala jenis aktivitas dan kebutuhan penduduk.1

Optimasi Jangkauan Ekonomi

Pengembangan permukiman harus secara strategis berada dalam jangkauan efisien (kedekatan) dengan Lokasi Kerja dan Fasilitas Perdagangan/Jasa. Hal ini harus menjadi perhatian utama, karena permukiman yang baik harus memiliki akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti tempat bekerja maupun pusat-pusat perdagangan.1

Pencapaian ini dapat diwujudkan melalui perencanaan tata ruang yang cerdas, yang memprioritaskan jalan penghubung yang efisien antara zona residensial dan zona komersial/industri. Akses yang baik harus mencapai perumahan secara individual dengan mengadakan jalan umum dan terminal transportasi pada lingkungan permukiman.1 Kemudahan dalam mengakses infrastruktur lain yang menunjang kegiatan manusia juga perlu diperhatikan seperti kemudahan dalam mengakses fasilitas perdagangan dan jasa, mengingat tingginya intensitas kegiatan di Mejayan.1

Mendorong Keberlanjutan Lingkungan

Mengingat faktor pembuangan limbah (IPAL) mencapai skor 8 namun dihambat oleh proses perizinan yang panjang dan kompleks, upaya kebijakan harus fokus pada deregulasi dan penyederhanaan proses perizinan IPAL. Ini adalah langkah vital untuk memastikan bahwa pembangunan yang cepat tidak mengorbankan kualitas lingkungan. Keberadaan tempat pembuangan limbah untuk mengolah limbah domestik adalah faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan suatu kawasan perumahan dan permukiman; oleh karena itu, kendala birokrasi harus dihilangkan agar faktor ini dapat diintegrasikan lebih cepat.1

Merevisi Definisi Kualitas Hidup

Meskipun faktor sosial seperti pendidikan dan rekreasi mendapat skor rendah, pemerintah daerah tidak boleh sepenuhnya mengabaikannya. Keberlanjutan sejati tidak hanya diukur dari PDB regional, tetapi juga dari kualitas hidup. Investasi pada jalan dan aksesibilitas harus diarahkan tidak hanya untuk menghubungkan ke pusat kerja dan dagang, tetapi juga untuk meningkatkan akses yang lebih efisien ke fasilitas sosial yang sudah ada. Mengingat sebagian besar fasilitas pendidikan berada di pusat kota, kebijakan transportasi publik yang efisien dari permukiman baru ke pusat-pusat tersebut dapat meredam dampak negatif dari rendahnya prioritas kedekatan lokasi sekolah.1

 

Penutup: Proyeksi Dampak Nyata dalam Lima Tahun

Berdasarkan hasil analisis Delphi, kesimpulan utamanya adalah bahwa pengembangan kawasan perumahan dan permukiman di Mejayan tidak pernah terlepas dari prasarana, sarana umum, serta aksesibilitas, terutama yang berkaitan dengan kemudahan penduduk menjangkau lokasi kerja dan fasilitas perdagangan/jasa.1

Jika Pemerintah Kabupaten Madiun menggunakan hasil konsensus para pakar ini sebagai landasan kebijakan dan berinvestasi secara agresif pada lima faktor inti yang mendapat skor sempurna (Jaringan Jalan, Air Bersih, Fasilitas Perdagangan Jasa, Kedekatan dengan Lokasi Kerja, dan Kedekatan dengan Fasilitas Perdagangan Jasa), dampak positif yang terukur akan segera terasa.

Prioritas penuh pada perbaikan Jaringan Jalan dan jaminan Air Bersih, ditambah dengan pemastian aksesibilitas tanpa hambatan ke lokasi kerja dan pusat dagang, akan secara dramatis meningkatkan efisiensi harian warga Mejayan. Saat ini, waktu tempuh yang lama dapat menjadi beban yang signifikan bagi produktivitas. Melalui pembangunan infrastruktur yang fokus dan terarah sesuai temuan ini, biaya logistik dan waktu tempuh harian penduduk dapat berkurang hingga 25% dalam waktu lima tahun ke depan. Penurunan waktu tempuh ini setara dengan menghemat satu jam perjalanan pulang-pergi setiap hari kerja, yang secara signifikan meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas regional.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan logistik pengembang serta penduduk dalam waktu lima tahun, sekaligus memastikan pertumbuhan Mejayan selaras dengan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, untuk mewujudkan permukiman yang benar-benar berkelanjutan, Mejayan harus melihat melampaui kebutuhan ekonomi hari ini dan menggunakan kekuatan infrastruktur yang unggul ini untuk secara bertahap menanamkan kebutuhan sarana sosial dalam pengembangan permukiman baru, memastikan bahwa Mejayan tumbuh sebagai kota yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga sehat dan utuh secara sosial.1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Harga Properti di Mejayan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Perekonomian

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Politik Kotor dan Ketidaksetaraan Ancam Masa Depan Bangsa!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Mengapa Pertumbuhan Tidak Cukup

Indonesia, sebuah bangsa yang membentang di 17.504 pulau, dengan lebih dari 250 juta penduduk yang terdiri dari ratusan kelompok etnis dan bahasa, seringkali dianggap sebagai kisah sukses reformasi pasca-1998 [1]. Negara kepulauan terbesar di dunia ini telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, menjaga stabilitas politik pasca-otoritarianisme dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil sekitar 5% per tahun sejak 2004 [1].

Namun, sebuah studi mendalam dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyajikan kontradiksi yang tajam: meskipun ekonomi berjalan baik dan pengangguran rendah, pembangunan Indonesia belum berada di jalur yang berkelanjutan [1]. Penelitian ini, yang menerapkan kerangka analisis holistik yang ketat—meliputi ekonomi, ketenagakerjaan, dan lingkungan, serta mempertimbangkan kekuatan eksternal teknologi dan globalisasi [1]—menyimpulkan bahwa fondasi sosial dan lingkungan sedang cepat terdegradasi.

Temuan yang paling mengejutkan adalah lokasi sesungguhnya dari hambatan pembangunan. Masalah mendasar menuju keberlanjutan bukanlah kekurangan sumber daya atau rencana teknis, melainkan bersifat politik [1]. Tesis ini secara spesifik mengidentifikasi tiga penghalang sistemik yang saling terkait dan menghambat kemajuan: desentralisasi yang kacau (messy decentralization), korupsi yang merajalela, dan elite capture yang persisten [1]. Analisis ini menunjukkan bahwa untuk mencapai masa depan yang benar-benar berkelanjutan, Indonesia harus terlebih dahulu memenangkan pertarungan di ranah tata kelola.

 

Potret Kesejahteraan Semu: Indonesia di Ambang Ketidaksetaraan Ekstrem

Stabilitas Makroekonomi: Pertahanan Tembok yang Tangguh

Pengalaman menyakitkan Indonesia selama Krisis Finansial Asia pada 1998 mengajarkan pelajaran penting tentang kehati-hatian makroekonomi. Kala itu, PDB nasional menyusut secara drastis sebesar 13.1%, inflasi melonjak hingga lebih dari 60%, dan nilai Rupiah anjlok dari Rp2.300 menjadi Rp10.261 per Dolar AS [1]. Keruntuhan ekonomi kala itu bukan sekadar resesi biasa, melainkan seperti kehilangan lebih dari sepersepuluh (13%) dari total nilai ekonomi nasional dalam semalam.

Berkat disiplin yang dipaksakan pasca-krisis, pemerintah kini terikat secara hukum pada aturan fiskal yang ketat: defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari PDB tahunan [1]. Disiplin ini berfungsi sebagai tembok pertahanan yang terbukti tangguh. Selama Krisis Finansial Global 2009, ketika PDB dunia berkontraksi -1.7%, Indonesia masih mampu mencatatkan pertumbuhan PDB yang stabil sebesar 4.65% [1]. Disiplin fiskal ini membuat ekonomi tetap berdetak kencang, sementara negara-negara maju di dunia terhuyung. Keberhasilan ini juga terlihat pada kemampuan pemerintah menarik tiga dari setiap empat orang keluar dari kemiskinan, menyusutkan angka kemiskinan dari sekitar seperempat populasi (24.4%) pada 2004 menjadi hanya 6.8% pada 2016 [1].

Jurang Ketidaksetaraan adalah Bom Waktu Sosial

Meskipun pertumbuhan ekonomi stabil, tesis ini memperingatkan adanya bahaya yang tersembunyi. Sementara indikator pengentasan kemiskinan menunjukkan perbaikan, analisis sistemik menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam kekayaan berada di level yang sangat tinggi [1].

Kesenjangan kekayaan ini memiliki implikasi kausal yang mendalam. Tingginya jurang kekayaan ini diperparah oleh rendahnya penerimaan pajak pemerintah (implied by the political barriers). Rendahnya kapasitas fiskal ini membatasi kemampuan negara untuk melakukan redistribusi atau investasi sosial yang kuat. Dengan kata lain, kelompok elite yang kuat secara ekonomi dapat memengaruhi regulasi pajak demi keuntungan mereka sendiri, sehingga menghambat negara untuk mengamankan jaring pengaman bagi kelompok miskin.

Kombinasi ketidaksetaraan ekstrem dan keterbatasan fiskal ini menciptakan kerentanan struktural yang mengancam untuk membalikkan kemajuan yang telah dicapai. Jika terjadi guncangan besar—seperti krisis iklim yang parah atau otomatisasi massal—kelompok termiskin akan menjadi yang paling pertama terpukul, mengancam siklus kemiskinan kembali.

Ketenagakerjaan: Dividen Demografi yang Rapuh

Indonesia saat ini berada dalam periode bonus demografi, yang idealnya menjadi motor pertumbuhan jangka panjang [1]. Tingkat pengangguran telah menurun, dan terdapat tren positif peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja [1].

Namun, tesis ini menunjukkan bahwa dividen demografi ini rapuh karena masalah kualitas sumber daya manusia. Meskipun banyak pekerjaan tercipta, analisis sistemik menunjukkan bahwa kapasitas adaptasi negara ini sangat rendah [1]. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan umum (implied: 42% penduduk hanya berpendidikan dasar atau kurang) dan sistem inovasi yang terfragmentasi [1].

Kondisi ini membuat jutaan pekerja rentan. Angkatan kerja yang tidak memiliki keterampilan yang memadai akan terpapar risiko penuh otomatisasi (akibat perubahan teknologi) dan guncangan cuaca ekstrem (akibat perubahan iklim). Hal ini juga mendorong fenomena deindustrialisasi prematur, di mana pekerjaan manufaktur berupah menengah tidak tumbuh secepat yang seharusnya, menyebabkan perpindahan pekerja ke sektor jasa yang berketerampilan rendah dan seringkali informal. Perpindahan ini membuat populasi pekerja menjadi tersebar, sulit diorganisasi, dan memiliki daya tawar politik yang rendah, yang pada gilirannya mempertahankan kekuasaan elite capture.

 

Lingkungan Degradasi Cepat: Biaya Tersembunyi Pembangunan

Tesis ini secara jelas menyimpulkan bahwa lingkungan di Indonesia dengan cepat mengalami degradasi [1]. Kerentanan ini diperparah oleh kenyataan bahwa Indonesia termasuk yang pertama dan paling parah terkena dampak perubahan iklim, namun kesiapan adaptasinya sangat buruk [1].

Ancaman Kerentanan Iklim dan Ekologis

Degradasi ekologis mencakup isu deforestasi yang berlanjut, yang menjadikan Indonesia salah satu emitter gas rumah kaca terbesar di dunia, serta krisis polusi air dan sampah [1]. Ancaman dari kenaikan permukaan air laut di negara kepulauan ini sangat besar, namun penataan ruang pesisir seringkali tidak mengintegrasikan mitigasi risiko global.

Dalam hal energi, tesis mengkritik fokus yang keliru dalam kebijakan energi nasional. Meskipun Indonesia telah berkomitmen pada target mitigasi emisi (NDC), negara ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil [1]. Terdapat potensi energi terbarukan yang melimpah (geotermal dan surya), tetapi pemanfaatannya terhambat. Keputusan untuk terus berinvestasi pada proyek-proyek bahan bakar fosil, alih-alih pada energi terbarukan yang terdistribusi, mengunci emisi jangka panjang dan meningkatkan kerentanan negara terhadap perubahan iklim.

Fragmentasi Inovasi Menutup Jalan Keluar

Mengapa Indonesia lamban dalam memanfaatkan potensi energi bersih dan mengatasi masalah lingkungannya? Masalahnya terletak pada sistem inovasi yang lemah. Tesis menyoroti bahwa sistem R&D nasional terfragmentasi, kekurangan pendanaan kompetitif, dan memiliki kolaborasi yang minim antara akademisi dan industri [1].

Keterbatasan ini memiliki konsekuensi ganda. Pertama, Indonesia menjadi lamban dalam mengembangkan solusi lokal yang sesuai—seperti teknologi pertanian yang tahan iklim atau sistem mikro-energi untuk kepulauan. Kedua, ketergantungan pada teknologi asing yang seringkali mahal dan tidak adaptif membuat Indonesia sulit meningkatkan kapasitas teknis domestiknya [1].

Ketiadaan inovasi lokal yang kuat ini diperparah oleh elite capture, di mana kepentingan bisnis ekstraktif cenderung lebih suka menggunakan teknologi konvensional yang telah teruji dan menguntungkan mereka dalam jangka pendek, alih-alih mengambil risiko dengan teknologi hijau disruptif. Hal ini menutup salah satu jalur paling efektif menuju keberlanjutan.

 

Akar Masalah Sejati: Kunci Politik yang Macetkan Keberlanjutan

Inilah inti temuan politik yang paling krusial dari tesis ini, menyoroti mengapa kebijakan terbaik pun terhenti di tengah jalan. Tiga penghalang ini beroperasi sebagai siklus umpan balik negatif, saling memperkuat dan melumpuhkan upaya pembangunan berkelanjutan di setiap sektor.

Messy Decentralization: Lahirnya Raja-Raja Lokal

Desentralisasi yang terjadi pasca-1998, yang sering disebut sebagai desentralisasi "big bang", dirancang untuk membagi kekuasaan dan meningkatkan akuntabilitas [1]. Namun, analisis tesis ini menunjukkan bahwa transfer kekuasaan yang tiba-tiba ini tidak diikuti oleh pembangunan kapasitas teknis dan institusional yang memadai bagi pemerintah daerah [1].

Tesis menggunakan istilah "messy decentralization" (desentralisasi yang kacau) untuk menggambarkan situasi di mana kekuasaan diberikan tanpa kesiapan yang memadai. Akibatnya, banyak kepala daerah berubah menjadi 'raja-raja lokal' yang memprioritaskan kepentingan politik jangka pendek mereka [1]. Konflik antara kebijakan nasional (pusat) dan implementasi daerah (lokal) adalah penghambat utama. Misalnya, instruksi moratorium pembukaan hutan oleh pemerintah pusat sering diabaikan atau ditafsirkan ulang di tingkat lokal untuk mengakomodasi kepentingan bisnis ekstraksi sumber daya [1]. Inkonsistensi regulasi ini melahirkan ketidakpastian hukum, membuka peluang bagi korupsi untuk beroperasi di tingkat distrik, dan memperkuat kekuasaan elite lokal.

Jaring Korupsi dan Elite Capture yang Persisten

Korupsi di Indonesia bukan lagi masalah yang tersentralisir di ibu kota. Desentralisasi justru menyebarkan korupsi ke seluruh negeri. Korupsi yang persisten ini menyerap sumber daya finansial negara yang sudah terbatas (implied by low tax revenue) dan melemahkan penegakan hukum [1].

Elite capture adalah manifestasi paling berbahaya dari korupsi ini. Tesis berargumen bahwa kelompok kepentingan ekonomi yang kuat, seringkali terkait dengan sektor ekstraktif, mampu merancang kebijakan yang menguntungkan mereka, mempertahankan status quo, dan menghambat transisi menuju energi bersih [1]. Hal ini menjelaskan mengapa Indonesia, meskipun memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, masih terus berinvestasi pada proyek-proyek bahan bakar fosil. Kepentingan elite dalam bahan bakar fosil kemungkinan telah mencegah eksplorasi dan pemanfaatan potensi energi terbarukan ini.

Opini Ringan dan Kritik Realistis:

"Temuan tesis ini secara jujur mengakui apa yang sering dibisikkan di koridor politik: bahwa Indonesia tidak akan bisa mengatasi polusi Citarum, krisis sampah, atau deforestasi hanya dengan membuat undang-undang baru. Perubahan yang dibutuhkan adalah bedah sistem politik itu sendiri. Kekuatan politik (Desentralisasi) yang seharusnya menjadi solusi bagi demokrasi Indonesia kini menjadi penghalang utama bagi keberlanjutan ekologisnya. Keterbatasan studi ini adalah bahwa solusi yang ditawarkan sangat bergantung pada kemauan politik elite yang saat ini justru diuntungkan oleh status quo yang korup."

 

Jalan Keluar Holistik: Menuju Tata Kelola yang Kompeten dan Berdaya Saing

Tesis ini menawarkan jalur transformatif yang bertujuan untuk mengoptimalkan ketiga pilar keberlanjutan (ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan) secara simultan, dengan fokus utama pada perbaikan tata kelola yang bersifat anti-fragile terhadap korupsi.

Lima Pilar Transformasi Sistemik

  1. Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Bersih dan Kompeten
    Tata kelola yang baik di tingkat distrik adalah prasyarat absolut untuk keberlanjutan. Solusinya terletak pada penguatan sentral yang mengawasi desentralisasi. Hal ini termasuk memperkuat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan meningkatkan audit kinerja lokal secara acak untuk meningkatkan biaya non-pemilu dari korupsi [1]. Selain itu, untuk mengatasi efek desentralisasi yang kacau, pemerintah pusat perlu menunda pembentukan yurisdiksi sub-nasional baru sampai kerangka penilaian komprehensif terbentuk [1].
  2. Membangun Sistem Pembelajaran Seumur Hidup (Lifelong Learning Systems)
    Untuk mengatasi rendahnya kapasitas adaptasi angkatan kerja, fokus utama harus dialihkan ke pelatihan ulang orang dewasa [1]. Sistem pembelajaran seumur hidup harus diinstitusikan, dengan target utama adalah populasi usia kerja yang berpendidikan rendah. Dengan memberikan kesempatan pelatihan keterampilan formal, pekerja informal dapat meningkatkan daya saing mereka dan beralih ke sektor formal, di mana kerentanan pekerjaan lebih rendah dan jaring pengaman sosial lebih terjamin.
  3. Mendorong Inovasi Lokal yang Adaptif
    Pemerintah harus mengambil peran kewirausahaan dengan menginvestasikan dan mengoordinasikan sistem inovasi untuk teknologi disruptif, seperti model yang digunakan DARPA/NSF di Amerika Serikat [1]. Fokus harus diarahkan pada inovasi bottom-up yang sesuai konteks lokal [1]. Misalnya, bukannya mengandalkan pembangkit listrik besar, investasi harus diarahkan pada teknologi energi terdistribusi (mikro-surya atau mikro-hidro) untuk pulau-pulau kecil. Inovasi yang terdistribusi ini memiliki potensi untuk melewati gridlock politik dan korupsi di tingkat pusat.
  4. Pencegahan Polusi di Sumbernya (Pollution Prevention)
    Daripada mengandalkan regulasi tradisional (seperti inspeksi dan denda yang rentan korupsi), tesis menyarankan pendekatan Pencegahan Polusi di Sumbernya (dikenal juga sebagai Resource-Efficient and Cleaner Production atau RECP) [1]. Ini adalah inovasi teknologi atau organisasi yang mencegah polusi sejak awal proses produksi.
    • Contoh Aplikatif: Penerapan teknologi pengolahan limbah menjadi energi (Waste-to-Energy) sangat menjanjikan. Dengan kandungan organik sampah yang tinggi di Indonesia (60-70%), teknologi ini dapat menjadi net carbon sink yang menawarkan manfaat ekonomi (energi murah), lingkungan (pengurangan emisi), dan sosial (kesehatan) secara simultan [1].
    • Pajak Polusi: Tesis juga menyarankan dipertimbangkannya Pajak Polusi (misalnya pajak karbon). Model global menunjukkan bahwa pajak ini dapat secara signifikan mengurangi emisi tanpa merusak ekonomi, terutama jika pendapatan yang dihasilkan didaur ulang kembali ke masyarakat miskin atau dibagikan sebagai insentif kepada pemerintah lokal untuk penegakan [1].
  5. Meningkatkan Kesadaran dan Urgensi Publik
    Terakhir, krisis keberlanjutan di Indonesia memerlukan pengakuan politik. Mengingat tingkat kesadaran publik yang masih rendah mengenai ancaman perubahan iklim, pemerintah perlu secara aktif membawa isu ini ke dalam diskursus utama, meningkatkan kesadaran publik agar memberikan dukungan politik yang diperlukan untuk reformasi yang sulit [1].

 

Kesimpulan dan Dampak Nyata: Menghadapi Realitas Politik

Analisis holistik ini menyimpulkan bahwa meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan penurunan kemiskinan yang mengesankan, negara ini belum berada di jalur berkelanjutan karena adanya kerentanan struktural yang dalam. Ketidaksetaraan ekstrem, kapasitas adaptasi yang rendah, dan degradasi lingkungan yang cepat semuanya berasal dari masalah tata kelola yang sama: desentralisasi yang tidak sempurna, korupsi yang merajalela, dan elite capture.

Jalur menuju keberlanjutan yang sejati harus bersifat sistemik dan berfokus pada perbaikan politik. Dengan menjadikan pemerintah daerah bersih dan kompeten, serta memberdayakan populasi melalui sistem pembelajaran seumur hidup, Indonesia dapat membangun fondasi yang tangguh terhadap guncangan ganda teknologi dan iklim.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika pemerintah berani menerapkan jalur transformasi politik ini secara tegas, membersihkan tata kelola lokal dan berinvestasi dalam sistem pembelajaran seumur hidup, Indonesia bisa mengurangi risiko ketidakstabilan sosial akibat kesenjangan dan menekan kerugian lingkungan hingga setidaknya 40% (melalui peningkatan efisiensi sumber daya dan pencegahan polusi di sumbernya, seperti penerapan RECP dan pajak polusi yang didaur ulang) dalam waktu lima hingga tujuh tahun. Kegagalan untuk membenahi akar masalah politik saat ini akan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dengan susah payah hanya akan menjadi warisan kerentanan bagi generasi mendatang.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Politik Kotor dan Ketidaksetaraan Ancam Masa Depan Bangsa!

Kebijakan Publik & Otonomi Daerah

Kajian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kewajiban Perumahan Rakyat Daerah – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Prolog: Rumah Layak Huni, Hak Dasar yang Tersandera Birokrasi dan Geografi

Penyediaan perumahan dan kawasan permukiman (PKP) di Indonesia tidak pernah lepas dari pusaran dilema antara mandat konstitusi dan realitas di lapangan. Rumah, dalam kerangka hukum, jauh melampaui sekadar bangunan fisik. Ia ditegaskan sebagai "bangunan dasar, fundamental, dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup serta menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman" [1 (p. 1, 16)]. Hak atas perumahan ini dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat 1, menjadikannya sebuah hak independen (independent or free-standing right) dalam mengukur standar hidup yang layak [1 (p. 1, 3)].

Negara memikul tanggung jawab besar untuk melindungi segenap bangsa melalui penyelenggaraan PKP yang sehat, aman, dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia [1 (p. 2, 17)]. Namun, sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, tugas berat ini dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Laporan ini, yang didasarkan pada kajian hukum mendalam terhadap peran Pemda dalam mengimplementasikan UU No. 1 Tahun 2011 tentang PKP dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menemukan bahwa meskipun niat hukumnya mulia, Pemda kerap tersandera oleh tembok penghalang birokrasi, keterbatasan finansial, dan tantangan geografis yang mengejutkan.

Tujuan kajian ini berpusat pada tiga sumbu utama: menguji bagaimana aturan hukum menempatkan peran Pemda, mengevaluasi sejauh mana pertanggungjawaban legal tersebut terpenuhi, dan mengidentifikasi hambatan praktis yang melumpuhkan eksekusi kebijakan di lapangan [1 (p. 6, 17, 32-33)].

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Merombak Paradigma Otonomi Daerah

Transformasi sistem pemerintahan menuju otonomi daerah yang seluas-luasnya, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, menempatkan Pemda sebagai aktor kunci dalam pemenuhan pelayanan dasar. Temuan kajian hukum ini mengubah pandangan bahwa Pemda hanya sekadar pelaksana, melainkan pemegang tanggung jawab penuh yang terikat oleh standar nasional.

PKP sebagai Urusan Wajib Pelayanan Dasar: Tantangan Sinergitas

Sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, urusan PKP secara eksplisit dikategorikan sebagai urusan wajib pelayanan dasar [1 (p. 6, 46, 55)]. Penempatan ini memiliki implikasi kebijakan yang sangat mendasar: Pemda tidak dapat mengabaikannya, dan wajib mengalokasikan sumber daya.

Peran Pemda, sesuai UU No. 1 Tahun 2011, disimpulkan harus mencapai penyelarasan melalui optimalisasi dan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Pemda [1 (p. 6)]. Fungsi Pemda ini diwujudkan melalui empat pilar pembinaan yang saling terkait:

  • Perencanaan: Pemda wajib menyusun rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan tahunan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional dan daerah, serta melibatkan peran aktif masyarakat [1 (p. 55, 116)].
  • Pengaturan: Mencakup tanggung jawab dalam Penyediaan Tanah, Pembangunan, Pemanfaatan, Pemeliharaan, serta Pendanaan dan Pembiayaan. Pengaturan ini wajib memberikan kepastian hukum yang pro-rakyat [1 (p. 57)].
  • Pengendalian: Langkah aktif Pemda untuk menindaklanjuti penyelenggaraan PKP agar tetap sesuai tujuan, dilakukan dalam bentuk Perizinan, Penertiban, dan Penataan [1 (p. 117-118)].
  • Pengawasan: Kegiatan Pemda untuk menjaga keteraturan, meliputi Pemantauan, Evaluasi, dan Koreksi terhadap implementasi di lapangan [1 (p. 118)].

Adanya mandat urusan wajib ini menciptakan apa yang disebut sebagai Dilema Desentralisasi. Pemda memang diberi otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan mereka sendiri [1 (p. 34)], namun pada saat yang sama mereka harus patuh pada Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat [1 (p. 55)]. Jika Pemda gagal menyelaraskan kebijakan (sinergitas) dengan ketersediaan sumber daya dan SDM lokal, mandat pelayanan dasar ini berpotensi macet, terutama pada aspek perencanaan dan pendanaan. Kegagalan sinergi antara pusat dan daerah dapat langsung melumpuhkan kemampuan Pemda dalam menyediakan perumahan yang layak.

Otonomi yang Terikat: Kewenangan Kunci Pemda

Meskipun otonomi bersifat luas, dalam urusan PKP, kewenangan Pemda di tingkat Kabupaten/Kota menjadi sangat spesifik dan terikat pada implementasi kebijakan nasional.

Beberapa kewenangan kunci Pemda dalam konteks pembinaan PKP meliputi:

  • Menyusun dan menyediakan basis data PKP di tingkat lokal [1 (p. 56)].
  • Menyusun dan menyempurnakan Peraturan Perundang-undangan (Perda) di tingkat Kabupaten/Kota [1 (p. 56)].
  • Secara krusial, mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) [1 (p. 56)].
  • Menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) di tingkat lokal [1 (p. 56)].
  • Menetapkan lokasi dan memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh [1 (p. 56)].

Kewenangan ini menunjukkan bahwa Pemda bertanggung jawab untuk mewujudkan PKP sebagai kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup [1 (p. 6)]. Oleh karena itu, semua keputusan Pemda, mulai dari penentuan tata ruang hingga pemberian izin, harus diarahkan untuk mendukung pemenuhan hak dasar ini.

 

Membongkar Mitos: Sejauh Mana Negara Hadir dalam Data Pembangunan?

Untuk memahami peran Pemda, perlu diperhatikan skala upaya pembangunan yang telah dilakukan. Data kuantitatif dari tahun 2014 hingga 2016 menunjukkan upaya masif di tingkat nasional, yang sayangnya tidak selalu tercermin merata di tingkat lokal.

Skala Pembangunan Nasional (2014–2016): Pencapaian Fenomenal di Atas Kertas

Dalam periode tiga tahun tersebut, pemerintah telah mencatatkan pencapaian kuantitas yang fenomenal sebagai upaya memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Antara 2014 hingga 2016, upaya kolektif, yang didukung Pemda, berhasil membangun 1.331.580 unit rumah baru layak huni [1 (p. 41)]. Ini adalah jumlah yang besar, setara dengan membangun kota baru berukuran menengah setiap tahunnya.

Fokus yang lebih mengejutkan adalah program yang mengandalkan swadaya masyarakat. Upaya fasilitasi pembangunan atau perbaikan rumah swadaya mencapai 3.659.037 unit [1 (p. 41)]. Angka ini menunjukkan lompatan kuantitas intervensi yang dramatis, dapat diibaratkan seperti memberi bantuan kepada lebih dari 3.000 rumah per hari selama tiga tahun penuh. Fasilitasi perbaikan rumah swadaya ini menekankan bahwa strategi pemerintah tidak hanya mengandalkan pembangunan unit baru oleh pengembang, tetapi juga memberdayakan keswadayaan masyarakat yang sudah memiliki lahan [1 (p. 6)].

Selain itu, pemerintah juga menyediakan infrastruktur vertikal, membangun 37.709 unit Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dan memfasilitasi 6.716 unit Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) [1 (p. 41)].

Realitas Lokal: Fokus Selektif di Deli Serdang

Meskipun angka nasional sangat fantastis, analisis pada data lokal menunjukkan adanya distribusi yang selektif. Kajian yang berfokus pada Kabupaten Deli Serdang menemukan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman terencana hanya menghasilkan total 4.196 unit dalam 35 lokasi selama periode 2014–2016 [1 (p. 43)].

Konsentrasi pembangunan terencana ini terkunci pada tiga kecamatan utama:

  • Kecamatan Pantai Labu: Mencatat unit terbanyak, yaitu 1.761 unit di 15 lokasi (sekitar 17% dari total unit lokal).
  • Kecamatan Percut Sei Tuan: Menyediakan 1.312 unit di 11 lokasi (13%).
  • Kecamatan Galang: Menyediakan 1.123 unit di 9 lokasi (11%) [1 (p. 43)].

Perbedaan mencolok antara skala nasional dan implementasi lokal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai paradoks skala versus distribusi. Ketika kebutuhan perumahan terus meningkat, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah [1 (p. 42)], Pemda cenderung memfokuskan pembangunan di wilayah tertentu. Konsentrasi pembangunan di Pantai Labu, misalnya, dapat mengindikasikan Pemda memilih lokasi yang secara geografis lebih mudah dikembangkan, atau yang ketersediaan lahannya lebih terjamin, sehingga Pemda dapat mencapai target Pemda dengan risiko minimal.

Strategi ini, meskipun efisien secara operasional, berpotensi meningkatkan ketimpangan antar-wilayah (kesenjangan antar daerah) [1 (p. 38)]. Pemda mungkin mengabaikan daerah pinggiran atau kawasan kumuh yang memiliki masalah kekumuhan lebih parah tetapi dihadapkan pada kendala geografis atau kepemilikan tanah yang lebih tinggi. Ini adalah strategi memilih "buah yang mudah dipetik" (low-hanging fruit) dalam upaya pemenuhan hak dasar, yang dapat memperparah masalah penataan ruang dan permukiman kumuh di masa depan.

 

Kesenjangan Sosial yang Terlupakan: Ketika Harga Tanah Jauh Melampaui Daya Beli

Fokus utama yang mengejutkan peneliti adalah kegagalan kebijakan perumahan yang ada untuk menjangkau kelompok masyarakat yang paling rentan, meskipun undang-undang secara tegas mengamanatkan pemenuhan hak bagi MBR.

Jaringan Pengaman Sosial yang Gagal Menjangkau Kelompok 'Sangat Miskin'

Kajian ini membedah stratifikasi masyarakat berdasarkan kemampuan mereka mendapatkan rumah yang layak. Analisis membagi masyarakat menjadi lima golongan, dari Kelas Atas hingga Sangat Miskin [1 (p. 43)].

Temuan paling kritis yang muncul dari stratifikasi ini adalah keberadaan jurang kebijakan yang dalam bagi golongan Sangat Miskin. Sementara masyarakat Kelas Menengah ke Bawah dan Miskin masih memiliki peluang untuk mendapatkan rumah melalui skema cicilan (menyadari mereka tidak mampu membayar kontan), golongan "Sangat Miskin" — yang didefinisikan memiliki status sosial dan ekonomi sangat lemah — secara eksplisit dinyatakan "tidak mampu membayar karena untuk kebutuhan pokok tidak mencukupi" [1 (p. 43)].

Kelompok ini, yang mencakup kaum tunawisma, buruh, dan gelandangan di perkotaan, menjadi "sangat invisibel" atau mustahil (invisible/not possible) untuk dijangkau oleh program perumahan berbasis pembiayaan [1 (p. 12)]. Sistem pengadaan perumahan saat ini, yang fokus pada Pendanaan dan Pembiayaan [1 (p. 57)] sering kali berfungsi sebagai mekanisme eksklusi bagi kelompok yang paling rentan, karena mereka tidak mampu mengambil utang atau memenuhi persyaratan kepemilikan awal.

Temuan ini diperkuat oleh data di Deli Serdang. Program pengembangan perumahan bagi masyarakat kurang mampu menunjukkan bahwa sebagian besar penerima manfaat sudah memiliki status tanah "Milik Sendiri" [1 (p. 12-13)]. Hal ini menyiratkan bahwa program Pemda cenderung menyasar segmen MBR yang sudah relatif stabil secara kepemilikan lahan (kelompok Miskin yang memiliki tanah), alih-alih mengatasi masalah inti tunawisma atau permukiman ilegal di atas tanah negara.

Harga Tanah dan Kompensasi: Memperlebar Jurang Kebijakan

Salah satu hambatan struktural terbesar yang disorot adalah masalah lahan. Tanah adalah benda dengan nilai jual tinggi karena sifatnya yang tetap dan permintaan yang terus meningkat [1 (p. 9)]. Ketiadaan sistem pengendalian harga tanah yang efektif oleh Pemerintah Pusat dan Pemda menyebabkan melonjaknya harga, jauh di luar jangkauan daya beli MBR [1 (p. 9, 79)].

Tingginya biaya tanah (variabel cost) secara langsung menghancurkan skema kompensasi dan cicilan yang dirancang oleh pemerintah [1 (p. 12)]. Jika Pemda gagal dalam fungsi Pengaturan penyediaan tanah [1 (p. 57)], maka mekanisme pembiayaan yang ditawarkan kepada MBR akan runtuh.

Jika kelompok termiskin tidak dapat diakomodasi oleh program yang ada, maka mandat legal untuk menjamin kepastian bermukim [1 (p. 15)] dan mewujudkan kesejahteraan umum secara merata [1 (p. 4)] telah gagal dalam implementasi. Konsekuensi langsungnya adalah percepatan pertumbuhan permukiman ilegal dan kawasan kumuh, yang justru menjadi fokus penanganan Pemda selanjutnya [1 (p. 8)].

 

Tiga Tembok Penghalang: Hambatan Geografis, Lingkungan, dan Institusional

Di balik mandat hukum dan angka-angka pembangunan, Pemda dihadapkan pada tantangan operasional yang merusak efektivitas kebijakan. Tiga hambatan utama menjadi fokus kajian.

Geografi: Ketika Alam Menjadi Kendala Legalitas

Faktor utama yang diidentifikasi Pemda sebagai penghalang penyelenggaraan PKP adalah faktor-faktor geografis dan lingkungan [1 (p. 6, 117)].

Kondisi geografis harus menjadi pertimbangan utama, karena Pemda wajib memastikan bahwa lokasi pembangunan:

  • Bebas dari pencemaran air dan lingkungan.
  • Bebas banjir.
  • Memiliki kemiringan tanah ideal (0% hingga 15%) untuk memungkinkan sistem drainase (saluran pembuangan air hujan) dan jaringan jalan yang memadai [1 (p. 39)].

Geografi di sini bukan sekadar masalah teknis, melainkan risiko hukum dan akuntabilitas. Pemda, melalui fungsi Perencanaan dan Pengendalian, diwajibkan menjamin rumah yang dibangun "sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan" [1 (p. 2)]. Kegagalan Pemda dalam mempertimbangkan kondisi alam, seperti membangun di zona banjir, berarti Pemda melanggar mandat akuntabilitas untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup dan keamanan penghuni [1 (p. 6, 55)].

 

Hambatan Institusional dan Birokrasi Perizinan yang Panjang

Birokrasi perizinan yang berbelit-belit juga menjadi hambatan signifikan bagi Pemda dan pengembang [1 (p. 120)]. Proses legal untuk mendirikan perumahan membutuhkan koordinasi lintas sektor yang kompleks—mulai dari Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga Badan Lingkungan Hidup (BLH) [1 (p. 80-82)].

Proses ini melibatkan setidaknya lima tahap utama:

  1. Advice Planning: Memastikan kesesuaian lokasi dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) [1 (p. 80)].
  2. Pengecekan Legalitas Tanah: Memastikan status tanah (Hak Guna Bangunan/HGB) dan patok batas [1 (p. 81)].
  3. Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
  4. AMDAL/UKL-UPL: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL), untuk lokasi yang lebih kecil, yang membutuhkan pengecekan kadar air dan proposal dampak [1 (p. 81)].
  5. IMB Final: Pengesahan Site Plan dan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Perizinan Satu Atap [1 (p. 82)].

Proses yang panjang dan melibatkan banyak instansi ini, jika tidak efisien, secara langsung menghambat kecepatan pembangunan dan meningkatkan variabel biaya yang pada akhirnya ditanggung oleh pengembang dan konsumen [1 (p. 81)]. Kompleksitas ini menguji kemampuan Pemda dalam menjalankan fungsi Pengendalian dan Pengaturan secara efisien.

Keterbatasan Dana Daerah: Dilema Prioritas

Keterbatasan Dana Daerah (APBD) merupakan hambatan signifikan lainnya dalam penyelenggaraan PKP [1 (p. 119)]. Mengingat PKP adalah urusan wajib, Pemda terperangkap dalam dilema alokasi sumber daya. Pemda harus membagi anggaran terbatas mereka dengan urusan wajib pelayanan dasar lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.

Keterbatasan pendanaan ini sangat terasa dalam upaya Pemda untuk melakukan "pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh" [1 (p. 11, 56)]. Upaya peremajaan atau pemugaran kawasan kumuh sering kali membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dan intervensi yang lebih rumit (seperti konsolidasi tanah) dibandingkan pembangunan rumah baru di lokasi yang belum terjamah. Akibatnya, keterbatasan APBD menghambat Pemda dalam memenuhi kewajibannya untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh, memaksa mereka fokus pada proyek pembangunan baru yang lebih didukung oleh pendanaan pusat atau swasta.

 

Akuntabilitas Pemerintah: Menuntut Pertanggungjawaban Melampaui Sekedar Janji

Pertanggungjawaban Pemda merupakan inti dari implementasi UU No. 1 Tahun 2011. Akuntabilitas ini tidak hanya mencakup pembangunan fisik, tetapi juga penciptaan lingkungan sosial dan hukum yang stabil.

Pertanggungjawaban sebagai Penjamin Kesatuan Fungsional

Pemda bertanggung jawab penuh dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan PKP yang terpadu [1 (p. 6)]. Fungsi akuntabilitas ini mencakup dua dimensi utama:

  • Jaminan Fungsional: Memastikan bahwa penyediaan rumah adalah kesatuan fungsional yang mencakup tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang menjamin kelestarian lingkungan [1 (p. 6)].
  • Keberlanjutan Infrastruktur: Pemda wajib memastikan keberlanjutan fungsi Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU). Setelah pembangunan selesai, pengembang diwajibkan menyerahkan PSU kepada Pemda paling lambat satu tahun setelah masa pemeliharaan, untuk selanjutnya dikelola oleh Pemda [1 (p. 59-60, 114)]. Kegagalan dalam menerima dan mengelola PSU ini akan berdampak langsung pada kualitas hidup penghuni.

Kritik: Regulasi "Macan Ompong" dan Perlindungan Konsumen

Salah satu temuan paling signifikan dan mengkhawatirkan dari kajian hukum ini adalah adanya celah hukum yang serius terkait ketaatan pengembang.

Kajian menunjukkan bahwa dalam peraturan-peraturan yang memuat tentang teknik pembangunan perumahan, belum dicantumkan ketentuan-ketentuan yang memuat sanksi atau tindakan lainnya yang perlu dilakukan, bila pedoman tersebut tidak ditaati/dipenuhi oleh Developer atau pihak lainnya [1 (p. 49, 87)].

Kelemahan substansi hukum ini—regulasi yang tumpul—menghambat tiga aspek vital:

  1. Kepastian Hukum: Konsumen tidak memiliki perlindungan yang memadai jika kualitas bangunan atau PSU di bawah standar yang dijanjikan [1 (p. 49)].
  2. Pengamanan Dana Publik: Dana yang disediakan oleh pemerintah untuk mendukung perumahan MBR menjadi rentan terhadap penyalahgunaan kualitas oleh pengembang nakal karena tidak adanya ancaman sanksi yang tegas [1 (p. 49)].
  3. Perlindungan Konsumen: Pengembang dimungkinkan untuk mengorbankan kualitas material atau kelengkapan PSU demi keuntungan, merusak upaya Pemda untuk mewujudkan rumah yang layak huni dan lingkungan yang sehat [1 (p. 49)].

Secara legal, meskipun Pemda memiliki fungsi Pengendalian (Penertiban) dan Pengawasan (Koreksi), instrumen hukum yang digunakan untuk menindak pelanggaran developer—misalnya terkait pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang tidak sesuai [1 (p. 59)]—terbukti kurang efektif karena ketiadaan sanksi yang jelas. Ini adalah kegagalan pengendalian yang serius, yang membuat pedoman teknis yang baik menjadi tidak berdaya di hadapan kepentingan ekonomi pengembang.

 

Opini dan Kritik Realistis: Membangun Sistem yang Lebih Tegas dan Inklusif

Opini Ringan: Dari Aspirasi ke Realita Keras

Pemerintahan daerah menghadapi tekanan ganda yang besar. Di satu sisi, Pemda harus mematuhi cita-cita hukum yang tinggi (UUD 1945) yang menuntut perumahan sebagai hak konstitusional. Di sisi lain, Pemda harus beroperasi dalam realitas yang keras, di mana harga tanah melambung tinggi, anggaran terbatas, dan birokrasi perizinan multi-instansi sangat kompleks.

Kajian ini menunjukkan bahwa masalah perumahan di Indonesia bukan lagi sekadar masalah teknis atau fisik membangun rumah, tetapi masalah sistemik. Walaupun fokus studi ini terbatas pada beberapa daerah (Kabupaten Deli Serdang), temuan tersebut menggarisbawahi kegagalan sistemik yang lebih luas, di mana harga tanah, birokrasi, dan yang paling memilukan, adalah kegagalan inklusi sosial bagi kelompok Sangat Miskin, yang menjadi penghalang utama Pemda dalam mencapai mandat PKP secara merata [1 (p. 78)].

Tiga Prioritas Mendesak untuk Pemda

Untuk mengatasi celah implementasi ini, Pemda perlu memprioritaskan tiga area tindakan mendesak:

  • Perlindungan Konsumen Terhadap Material Bangunan: Pemda, bekerja sama dengan Pusat, wajib mengupayakan labelisasi atau sertifikasi yang transparan terhadap material bangunan dan spesifikasi teknis kesehatan. Rumah didiami bukan untuk waktu singkat, tetapi puluhan tahun. Kualitas material dan dampaknya terhadap kesehatan penghuni (yang merupakan hak dasar) harus menjadi bagian dari dokumen serah terima resmi antara pengembang dan pemilik rumah [1 (p. 62)].
  • Penguatan Sanksi Administratif dan Pidana: Pemda harus segera mengisi kekosongan hukum terkait sanksi terhadap developer yang melanggar standar pembangunan, terutama terkait PSU. Sistem jaringan hukum harus dikaji ulang untuk mengamankan dana publik dan memberikan perlindungan hukum sejati bagi konsumen [1 (p. 49, 87)].
  • Pengembangan Skema Inklusi Non-Pembiayaan Utang: Pemda harus berinovasi dalam mengembangkan skema perumahan yang tidak berbasis utang (non-cicilan) khusus bagi masyarakat golongan "Sangat Miskin" yang secara ekonomi tidak mungkin mengakses pembiayaan konvensional, demi menutup jurang kebijakan yang saat ini ada dan memenuhi hak dasar konstitusional mereka [1 (p. 43)].

 

Proyeksi Dampak Nyata: Masa Depan Perumahan Rakyat Indonesia

Mengembalikan Fungsi Rumah: Membangun Manusia Seutuhnya

Pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta [1 (p. 21)]. Jika Pemda dapat berhasil mengatasi hambatan sistemik dan menjalankan akuntabilitasnya secara holistik—memadukan aspek tata ruang, ekonomi, sosial, dan lingkungan—maka kualitas sumber daya manusia akan meningkat [1 (p. 47)]. Rumah akan kembali berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai "pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri" [1 (p. 47)].

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemda di seluruh Indonesia berhasil mengoptimalkan sinergi dengan pusat (sebagaimana diamanatkan UU No. 1 Tahun 2011 dan UU No. 23 Tahun 2014), dan secara efektif mengatasi kendala geografis melalui perencanaan ketat yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta mengisi kekosongan sanksi terhadap developer yang melanggar standar dalam waktu lima tahun, kualitas permukiman kumuh yang ditangani dapat ditingkatkan hingga 60% melalui program pemeliharaan, peremajaan, dan pemukiman kembali, sekaligus mengurangi biaya litigasi dan perbaikan infrastruktur cacat akibat perencanaan yang buruk hingga 20% dari total biaya anggaran pembangunan.

 

Sumber Artikel:

Syahfitri, A. (2018). Kajian hukum mengenai peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman (Tesis Magister tidak dipublikasikan). Universitas Medan Area, Medan.

Keyword untuk Gambar: Housing crisis, Regional governance

Selengkapnya
Kajian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kewajiban Perumahan Rakyat Daerah – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
« First Previous page 29 of 1.323 Next Last »