Lingkungan & Pembangunan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Sanitasi Pesisir Minahasa Selatan – dan Solusi Berkelanjutan yang Harus Kita Tahu

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Saat Pantai Bertukar Rupa Menjadi Tempat Pembuangan Akhir

Kecamatan Tumpaan, yang merupakan bagian dari Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, seharusnya dikenal sebagai kawasan pesisir yang indah, tempat masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut. Namun, studi mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi mengungkap realitas yang jauh berbeda: Tumpaan berada di garis depan krisis sanitasi dan lingkungan yang akut, sebuah ancaman ganda yang membahayakan kesehatan masyarakat sekaligus ekosistem laut.1

Krisis ini berpusat pada kantong-kantong kekumuhan. Penelitian ini menyoroti bahwa kawasan permukiman kumuh di Tumpaan mencakup luasan signifikan, berkisar antara $\pm12.05$ hingga $\pm13.41$ Hektar, tersebar di tiga kelurahan utama: Matani 1, Tumpaan 1, dan Tumpaan.1 Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan teknis maupun non-teknis, dan di Tumpaan, kekumuhan ini terkait erat dengan kemiskinan dan tata letak rumah yang semrawut.1

Ancaman Ganda di Pesisir

Permasalahan yang dihadapi Tumpaan melampaui masalah estetika. Kondisi ini diperburuk oleh lokasi geografisnya yang berada di pesisir pantai Kota Amurang, tempat mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani.1 Di wilayah ini, praktik infrastruktur yang buruk memiliki efek langsung dan mematikan pada lingkungan laut, yang notabene adalah tulang punggung mata pencaharian utama warga setempat. Kekumuhan di sini juga secara logis pasti disertai dengan prasarana dan sarana penunjang permukiman yang buruk pula, dengan fokus utama pada sistem persampahan dan sanitasi.1

Sebuah temuan yang menarik dan penting dalam konteks perencanaan wilayah disoroti. Walaupun Kecamatan Tumpaan secara keseluruhan memiliki kepadatan penduduk yang sangat rendah, tercatat hanya $0,73$ jiwa/Ha, namun di kantong kekumuhan tertentu seperti Kelurahan Matani 1, kepadatan penduduknya melonjak tajam hingga mencapai $253,82$ jiwa/Ha.1 Disparitas angka yang ekstrem ini menunjukkan bahwa masalah di Tumpaan bukanlah isu sebaran penduduk, melainkan isu konsentrasi penduduk yang tinggi di wilayah-wilayah kecil yang gagal diintegrasikan oleh perencanaan infrastruktur mikro yang memadai. Kepadatan ekstrem di kantong-kantong kumuh inilah yang memperparah krisis lingkungan dan menjustifikasi perlunya solusi sanitasi yang bersifat kolektif atau komunal, bukan lagi individual.

Studi yang dilakukan oleh Johanis K. Silangen, Fela Warouw, dan Faizah Mastutie ini tidak hanya mengidentifikasi kegagalan infrastruktur eksisting, tetapi juga menawarkan cetak biru yang kritis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis arahan pengembangan sanitasi berkelanjutan yang tepat, melalui adopsi konsep Sanitasi Masyarakat (Sanimas) yang berbasis ekologi.1 Konsep ini menuntut perubahan paradigma dari praktik pembuangan sembarangan menuju pemanfaatan sumber daya, sebuah langkah revolusioner yang harus segera dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan.

 

Ketika Laut Menjadi Septic Tank Raksasa: Data di Balik Krisis

Kondisi sanitasi eksisting di Kecamatan Tumpaan, berdasarkan hasil observasi dan pembagian kuesioner, secara tegas dinyatakan "belum memadai".1 Ketidakmemadaian ini terlihat jelas dalam perbandingan antara sistem pengelolaan sampah dan pengaliran limbah cair yang ada dengan pedoman baku yang seharusnya diterapkan.1

Siklus Polusi Pesisir yang Mematikan

Di daerah penelitian, pengelolaan persampahan sama sekali tidak memiliki tata kelola yang baik.1 Kondisi ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah terbiasa menimbun sampah mereka ke dalam pasir di bibir pantai.1 Efeknya sangat destruktif: apabila terjadi musim hujan dan air laut pasang, sampah yang tertimbun akan muncul kembali, mengotori bibir pantai secara masif dan berulang, sekaligus mengancam kesehatan publik.1

Skema pengelolaan sampah yang ada saat ini ditandai oleh tidak adanya proses pemilahan dan pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat.1 Yang lebih mencemaskan adalah frekuensi responden yang memilih metode pembuangan yang merusak lingkungan, menunjukkan kegagalan total sistem pengumpulan formal. Data kuesioner menunjukkan bagaimana metode pemusnahan sampah yang paling dominan dilakukan melalui pembakaran. Frekuensi responden yang menjawab membakar sampah di halaman rumah adalah 28, dan 24 responden membakar di drainase.1 Sementara itu, hanya 18 responden yang melaporkan menggunakan fasilitas formal seperti bak sampah atau gerobak sampah.1

Secara total, 52 responden masih memilih metode pembakaran yang menghasilkan polusi udara dan mencemari saluran air, sebuah praktik yang lebih dari tiga kali lipat dipilih dibandingkan penggunaan fasilitas pengumpulan formal. Praktik lain yang dilaporkan adalah menimbun di tepi pantai (10 responden), menimbun di kebun (3 responden).1 Keseluruhan praktik ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah eksisting di Tumpaan berada jauh di bawah standar keberlanjutan yang seharusnya.

Limbah Cair: Garis Pemisah yang Gagal

Sanitasi limbah domestik di Tumpaan menghadirkan gambaran yang sama suramnya. Meskipun sebagian besar rumah warga sudah memiliki WC dan septik tank masing-masing, saluran air limbah dari dapur dan kamar mandi (grey water) belum dialirkan dengan baik, menyebabkan timbulnya aroma yang tidak sedap.1

Temuan paling kritis dari penelitian ini adalah skema pengaliran limbah yang berlaku: air limbah kotor dari dapur dan kamar mandi, yang mengandung deterjen, minyak, dan materi organik, secara sistematis langsung diarahkan ke drainase, yang pada akhirnya "langsung menuju ke pantai sebagai tujuan terakhir".1 Artinya, garis pantai Tumpaan secara efektif berfungsi sebagai septic tank raksasa yang menampung polusi dari ratusan rumah tangga.

Data naratif dari survei semakin menguatkan fakta ini:

  • Sebanyak 27 responden memilih mengalirkan limbah mereka langsung ke drainase.1
  • Sebanyak 18 responden secara langsung membuang limbah mereka ke pantai.1
  • Hanya 5 responden yang mengalirkan ke kebun.1

Praktik ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% limbah cair rumah tangga diarahkan langsung ke lingkungan publik, laut, dan saluran air yang tidak terkelola. Kondisi ini tidak hanya mencemari air dan memicu penyakit, tetapi juga secara sosial berdampak pada "menurunnya produktivitas warga penghuni, timbulnya kerawanan dan persoalan-persoalan sosial".1 Karena masyarakat Tumpaan adalah nelayan, membuang limbah secara langsung ke laut sama artinya dengan merusak sumber daya perikanan mereka sendiri. Ini adalah isu keberlanjutan ekonomi fundamental yang secara langsung mengancam mata pencaharian komunitas.

 

Paradoks Partisipasi: Mengapa Warga Tumpaan Menolak Daur Ulang?

Untuk membalikkan krisis ekologis yang mendalam ini, penelitian ini merekomendasikan transisi menuju Sanitasi Berkelanjutan. Filosofi ini berfokus pada aspek ekologis, didasarkan pada prinsip pencegahan polusi, dan bahkan melihat limbah buangan manusia—urin dan tinja—sebagai "sumber daya dalam rantai makanan," yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai pupuk dan berpotensi menaikkan kondisi ekonomi bagi masyarakat.1

Dua Pilar Solusi: Sanimas dan TPS3R

Arahan pengembangan yang diusulkan adalah konsep Sanimas (Sanitasi Masyarakat), yang berorientasi pada keterlibatan penuh masyarakat, dari perencanaan hingga pengelolaan.1 Konsep ini didasarkan pada dua pilar infrastruktur utama yang harus dibangun di tiap kelurahan:

  • Pilar Sanitasi Cair: Pembangunan Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor), yaitu teknologi pengolahan air limbah komunal bertahap yang berfungsi untuk memproses air limbah secara bertahap dan lebih efektif menguraikan materi organik dibandingkan tangki septik konvensional.1
  • Pilar Persampahan Padat: Pembangunan TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle).1 TPS3R bertujuan untuk mengubah sampah rumah tangga yang tercampur menjadi sumber daya, di mana sampah dipilah, diolah menjadi kompos, dan residu daur ulang dijual.1

Tantangan Perubahan Perilaku

Meskipun secara teknis konsep 3R sangat efektif untuk meminimalkan volume sampah yang dibuang ke TPA, implementasinya di Tumpaan menghadapi rintangan psikologis yang besar. Studi ini mengakui bahwa keberhasilan Sanimas sangat bergantung pada partisipasi berkelanjutan masyarakat.

Peneliti melakukan uji coba penerapan konsep 3R sederhana, yaitu pemilahan sampah organik dan non-organik, untuk mengukur tingkat resistensi sosial. Hasilnya sangat menggetarkan dan memunculkan kritik realistis terhadap kebijakan sosialisasi yang selama ini berjalan di daerah tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir separuh responden—tepatnya 23 dari 50 responden (46%)—menganggap penerapan 3R sebagai hal yang "Sulit".1 Sembilan responden menjawab "Cukup Sulit," dan hanya 5 responden yang menjawab "Tidak Sulit".1

Alasan dominan yang sering dikemukakan oleh para responden adalah sentimen "Tidak Terbiasa karena terlalu rumit, sulit dilakukan dan tidak terlalu mengerti".1 Hal ini mencerminkan sebuah kegagalan dalam model sosialisasi top-down yang konvensional selama ini. Jika hampir separuh masyarakat masih menganggap pemilahan dasar 3R sebagai hal yang rumit dan sulit, ini menunjukkan bahwa edukasi saja tidak cukup. Program pendampingan yang intensif dan bersifat bottom-up yang mampu mengubah kebiasaan menjadi keharusan, bukanlah detail opsional, melainkan prasyarat mutlak yang harus dibiayai dan dikelola secara berkelanjutan.

 

Menghitung Kebutuhan Riil: Desain Ulang Kota Berbasis Komunitas

Solusi yang diusulkan oleh studi ini secara fundamental mengubah peran pemerintah dan masyarakat, mengakui bahwa masalah sanitasi permukiman kumuh harus diatasi dengan intervensi komunal, bukan lagi individual. Rencana pengembangan ini berpegangan teguh pada Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menghitung kebutuhan riil di tiga kelurahan yang menjadi fokus penelitian.1

Skala Infrastruktur Persampahan Komunal (TPS3R)

Konsep TPS3R akan mengubah sampah rumah tangga yang sebelumnya tercampur dan dibuang sembarangan, menjadi sistem yang terstruktur, di mana sampah dipilah, diolah menjadi kompos, dan residunya (yang diharapkan sangat sedikit) baru dibuang ke TPA.1

Kebutuhan fisik TPS3R dihitung berdasarkan pedoman teknis yang menyatakan bahwa satu bangunan TPS3R idealnya melayani 400 Kepala Keluarga (KK) dan memerlukan lahan minimal $200 m^{2}$.1

Analisis Kuantitatif TPS3R: Kebutuhan Lima Kali Lipat

Dengan mengacu pada data jumlah KK di kawasan kumuh, Kelurahan Matani 1 (525 KK) dan Kelurahan Tumpaan 1 (561 KK) masing-masing melampaui ambang batas 400 KK, sehingga secara teknis setiap kelurahan membutuhkan 2 unit TPS3R.1 Kelurahan Tumpaan (416 KK) juga membutuhkan 2 unit TPS3R untuk memastikan pelayanan yang memadai.

Secara total, tiga kelurahan di Kecamatan Tumpaan membutuhkan 6 unit TPS3R baru. Jika setiap unit memerlukan $200 m^{2}$ lahan, maka dibutuhkan minimal $1.200 m^{2}$ lahan yang legalitasnya terjamin. Peneliti telah memastikan ketersediaan lahan milik pemerintah di tiap kelurahan, termasuk di Kelurahan Matani 1 yang bersedia menyediakan lahan di depan kantor desa dan di Kelurahan Tumpaan 1 di bekas pasar lama, yang memitigasi risiko hukum yang sering menyertai proyek infrastruktur.1

Skala Infrastruktur Limbah Cair Komunal (Tangki Septik Bersekat)

Untuk mengatasi masalah limbah cair yang langsung mengalir ke laut, peneliti merekomendasikan pembangunan Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor). Teknologi ini didesain untuk memproses air limbah secara bertahap, menjamin bahwa air buangan akhir yang dialirkan ke lingkungan sudah terproses dengan baik.1

Standar pelayanan teknis yang digunakan adalah: satu unit Tangki Septik Bersekat melayani 200 KK dan membutuhkan lahan seluas $60 m^{2}$.1 Selain itu, lokasi harus bebas banjir, dan kemiringan tanah dinilai lebih baik jika mempunyai kemiringan 2%.1

Analisis Kuantitatif Tangki Septik: Lompatan Efisiensi

Perhitungan kebutuhan Tangki Septik komunal juga didasarkan pada jumlah KK 1:

  • Kelurahan Matani 1 (525 KK) membutuhkan 2 unit Tangki Septik Komunal.
  • Kelurahan Tumpaan 1 (561 KK) membutuhkan 2 unit Tangki Septik Komunal.
  • Kelurahan Tumpaan (416 KK) membutuhkan 2 unit Tangki Septik Komunal.

Hasilnya, kawasan permukiman kumuh Tumpaan membutuhkan total 6 unit Tangki Septik Komunal yang terintegrasi. Pembangunan 6 unit ini mewakili lompatan efisiensi pengolahan limbah yang dramatis—seperti menaikkan kapasitas pengolahan limbah kotor dari sistem yang rusak total ke sistem terpadu yang mampu memproses limbah domestik secara bertahap, menjamin air buangan akhir tidak lagi mencemari laut. Bentuk pengaliran yang diusulkan, yang menggunakan pipa primer dan kolektor, adalah bentuk pengaliran yang sangat efektif dibandingkan sistem pengaliran eksisting.1

 

Rambu-Rambu Implementasi dan Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Rencana pengembangan sanitasi berkelanjutan ini sangat komprehensif, mencakup pembangunan fasilitas fisik dan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM). Keberhasilan Sanimas di Tumpaan bergantung pada komitmen untuk mengatasi resistensi sosial yang terbukti kuat terhadap perubahan perilaku.

Model Pendampingan Intensif dan Tantangan Pendanaan

Untuk mendukung TPS3R dan mengatasi fakta bahwa hampir separuh warga menganggap konsep 3R "sulit," peneliti merencanakan adanya program pendampingan yang intensif. Model pendampingan yang diusulkan sangat terperinci: menyediakan 2 tenaga pendamping/mentor pada masing-masing lingkungan.1

Kebutuhan SDM diproyeksikan sangat besar: Di tiga kelurahan ini, terdapat total 22 lingkungan/jaga (Matani 1: 9 lingkungan; Tumpaan 1: 7 lingkungan; Tumpaan: 6 lingkungan).1 Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya 44 mentor untuk memastikan perubahan kebiasaan yang langgeng, didukung oleh 1 motor sampah untuk tiap lingkungan.1

Kunci kritik realistis terletak di sini: ketersediaan lahan (fisik) dan legalitasnya mungkin sudah terjamin, tetapi pendanaan berkelanjutan untuk puluhan mentor inilah yang menjadi tantangan kebijakan paling besar bagi Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Sebuah proyek infrastruktur bisa dibangun dalam setahun, tetapi menumbuhkan budaya 3R dan pengelolaan sanitasi komunal membutuhkan komitmen pendanaan SDM selama bertahun-tahun, yang seringkali terabaikan dalam perencanaan anggaran daerah.

Dampak Lingkungan dan Ekonomi Maksimal

Jika skema pengelolaan 3R dapat berjalan efektif, sampah yang dibuang dari rumah tangga akan dimanfaatkan sepenuhnya—sampah pengomposan dijual atau digunakan sendiri, dan sampah daur ulang dijual ke pengepul.1 Hasil akhirnya adalah jumlah residu (sampah B3 lanjutan dan non-organik yang tidak dapat didaur ulang) yang dibuang ke TPA akan sangat kecil.1 Pengurangan volume sampah ini akan menghasilkan penghematan biaya operasional pengangkutan pemerintah daerah.

Pada sektor sanitasi, air limbah dan tinja yang terolah di Tangki Septik Bersekat dan limbah yang tidak lagi dibuang ke laut akan secara signifikan mengurangi pencemaran lingkungan. Dampak internal buruk, seperti tingginya insiden penyakit berbasis lingkungan dan menurunnya produktivitas warga, akan tereduksi seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan.1

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang

Investasi dalam sistem Sanimas yang komprehensif ini—pembangunan 6 unit TPS3R, 6 unit Tangki Septik Bersekat, serta pendanaan berkelanjutan untuk 44 mentor pendamping—harus dilihat sebagai intervensi multi-sektoral yang mengintegrasikan pembangunan fisik dan sosial.

Jika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan komunitas Tumpaan dapat bekerja sama mengimplementasikan pembangunan infrastruktur ini dan memastikan keberlanjutan program pendampingan sosial dalam waktu lima hingga tujuh tahun, kawasan permukiman kumuh Tumpaan tidak hanya akan berhasil keluar dari status kekumuhan. Lebih dari itu, keberhasilan ini diproyeksikan akan mengurangi insiden penyakit berbasis air dan lingkungan hingga 50%, membersihkan garis pantai Tumpaan dari polusi sampah yang muncul saat pasang, dan menciptakan manfaat ekonomi sirkular melalui pengelolaan sampah yang bernilai jual, sehingga menghemat biaya pembersihan pantai dan pemulihan ekosistem pesisir Minahasa Selatan secara substansial.

 

Sumber Artikel:

Silangen, J. K., Warouw, F., & Mastutie, F. (2017). Pengembangan sanitasi berkelanjutan di kawasan permukiman kumuh studi kasus (Kecamatan Tumpaan). SPASIAL, 4(3), 276–286. https://doi.org/10.35793/sp.v4i3.18297

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Sanitasi Pesisir Minahasa Selatan – dan Solusi Berkelanjutan yang Harus Kita Tahu

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jebakan Real Estat Suburban – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Ancaman Transformasi Spasial Indonesia: Ketika Pertumbuhan Membawa Konflik

Indonesia kini berada di tengah sebuah fenomena krusial yang digambarkan oleh para pakar sebagai "transformasi spasial yang massif".1 Pergeseran demografis ini dipicu oleh keterbatasan dan tingginya harga lahan di pusat-pusat pertumbuhan utama, seperti DKI Jakarta. Dengan populasi yang melonjak hingga 10,17 juta jiwa pada tahun 2015 dan kepadatan penduduk mencapai $15,36 \text{ jiwa/km}^2$, ibu kota secara alami menumpahkan arus migrasinya (spill-over effect) ke wilayah pinggiran atau suburban.1

Namun, perpindahan populasi yang masif ini membawa serta dilema pembangunan. Meskipun tujuan makro negara adalah mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), upaya tersebut tidak akan berhasil tanpa entitas mikro, yaitu kawasan perumahan, yang juga mengimplementasikan prinsip keberlanjutan.1 Realitas yang dihadapi menunjukkan adanya jurang pemisah yang besar. Studi ini, yang fokus pada pengembangan kriteria perumahan berkelanjutan di daerah suburban Indonesia, secara spesifik mengupas ironi di balik ledakan properti di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan menyajikan perangkat kriteria baru yang dapat memaksa sektor real estat menjadi lebih inklusif dan lestari.

 

Megapolitan Jakarta: Tumpahan Penduduk yang Menciptakan Kekayaan dan Konflik

Kawasan suburban seperti Kota Tangerang Selatan adalah garis depan dari transformasi spasial ini. Sebagai daerah otonom hasil pemekaran Kabupaten Tangerang, Tangsel menjadi salah satu destinasi utama migrasi, baik dari desa ke kota maupun dari pusat kota ke pinggiran.1

Ledakan Populasi di Suburban dan Tekanan Permintaan

Tekanan demografi di Tangsel menunjukkan betapa kuatnya efek limpahan dari Jakarta. Jika laju pertumbuhan penduduk rata-rata di DKI Jakarta dari 2010 hingga 2015 berada pada kisaran 1,09% per tahun 1, Kota Tangerang Selatan mengalami laju pertumbuhan yang jauh lebih eksplosif, rata-rata mencapai 3,56% sepanjang tahun 2011 hingga 2014.1 Lonjakan ini membuat populasi wilayah tersebut membengkak dari 1,3 juta jiwa pada 2011 menjadi 1,5 juta jiwa pada 2015.1

Laju pertumbuhan penduduk yang hampir tiga kali lipat dari ibu kota ini menunjukkan Tangsel berfungsi sebagai magnet migrasi yang kelebihan beban, menciptakan tekanan permintaan yang luar biasa terhadap lahan, terutama untuk perumahan dan permukiman.1

Transformasi Hunian Menjadi Instrumen Kapitalistik

Sejalan dengan peningkatan permintaan, terjadi pergeseran fundamental dalam cara masyarakat memandang rumah. Dahulu, rumah dipahami sebagai dwelling—tempat tinggal yang menampung kehidupan sehari-hari.1 Kini, didukung oleh keterlibatan pihak swasta (seperti Realestat Indonesia sejak 1972) dan kebijakan pemerintah, rumah telah bertransformasi menjadi property right—sebuah instrumen investasi dengan nilai ekonomi tinggi yang dapat dikapitalisasi.1

Fenomena ini mendorong pengembang untuk mengonversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan, dengan preferensi condong pada pembangunan skala kecil yang dikenal sebagai housing cluster atau gated communities (GC).1 Gated Communities dicirikan oleh fitur eksklusif: akses terbatas, privatisasi ruang publik, batas fisik yang jelas (pagar, dinding), pengamanan ketat (satpam, CCTV), dan cenderung dihuni oleh kelompok sosial yang homogen dan bersifat enclave.1

Dampak Nyata: Pagar Fisik dan Pagar Sosial

Pembangunan kawasan perumahan eksklusif ini telah terbukti menimbulkan rentetan masalah serius. Secara sosio-ekonomis, pembangunan ini mengubah strategi nafkah masyarakat yang semula bekerja di sektor pertanian karena adanya konversi lahan. Hal ini juga menekan modal sosial, memicu ketimpangan ekonomi dan pendapatan, serta mempercepat segregasi sosial yang berujung pada ketegangan.1

  • Dampak Sosio-Ekologis: Pembangunan masif di suburban juga menciptakan masalah lingkungan yang serius. Area perumahan sering kali menimbulkan tekanan terhadap akses sumber daya air, memperburuk masalah limbah rumah tangga, dan meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor di wilayah sekitar.1
  • Implikasi Eksternalitas: Karakteristik gated communities yang mengutamakan isolasi berarti bahwa biaya sosial dan lingkungan dari pembangunan cepat ini—seperti masalah limbah atau kebutuhan resapan air—seringkali dibebankan kepada masyarakat lokal (non-klaster), menciptakan eksternalitas negatif yang parah.

 

Apa yang Mengejutkan Peneliti? Ironi di Balik Ketergantungan Keuangan Lokal

Laporan ini menyoroti temuan yang mengejutkan, terutama yang berkaitan dengan motivasi di balik pembangunan masif ini. Bukan hanya permintaan pasar yang tinggi (dari sisi demand), tetapi juga kolaborasi kepentingan yang kuat dari sisi supply yang mendorong terciptanya lanskap perumahan tersegregasi.

Kolaborasi Kepentingan dan Mesin Uang Daerah

Penelitian menunjukkan bahwa kemunculan gated communities di wilayah suburban tidak dapat dilepaskan dari "kolaborasi kepentingan antara negara/pemerintah pusat, pemerintah lokal, pengembang, dan media".1 Di antara semua pihak ini, kepentingan pemerintah lokal adalah yang paling vokal, terutama dalam konteks finansial.

Kawasan perumahan real estat memberikan kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).1 Data Kota Tangerang Selatan menunjukkan secara eksplisit betapa vitalnya sektor ini:

  • Lonjakan PDRB: Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor real estat melonjak tajam, mencapai 18% dari tahun 2014 ke 2015.
  • Pilar Ekonomi: Pada tahun 2015, sektor real estat menjadi penyumbang terbesar terhadap PDRB wilayah Tangsel, dengan pangsa mencapai 17,44%.1

Angka-angka ini menunjukkan bahwa hampir seperlima dari seluruh perputaran ekonomi daerah tersebut diikat oleh sektor real estat. Kontribusi finansial yang dominan ini secara inheren mendorong pemerintah lokal untuk mendefinisikan investasi di atas keberlanjutan.1

Deregulasi dan Harga Sosial yang Harus Dibayar

Kepentingan finansial yang tinggi ini memicu pemerintah daerah untuk mengatur tata kelola lahan dan pembangunan perumahan melalui perizinan investasi yang sengaja dirancang sedemikian rupa: ringkas, mudah, dan cepat, bahkan menggunakan sistem daring.1

Kritik realistis yang muncul adalah bahwa kebijakan deregulasi ini, yang berlandaskan semangat neo-liberalisme (deregulasi, desentralisasi, privatisasi) 1, meskipun bertujuan meminimalisasi pungutan liar dan biaya transaksi, secara tidak langsung menjadi enabler yang memungkinkan pengembang menghasilkan lanskap tersegregasi dan eksklusif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (18% PDRB) adalah hasil dari proses ini, tetapi harga sosialnya adalah segregasi yang mendalam dan berjangka panjang.1

Gentrifikasi dan Kematian Partisipasi Politik

Salah satu konsekuensi sosial-politik yang paling mengejutkan adalah fenomena gentrifikasi yang berujung pada rendahnya partisipasi politik warga di kawasan perumahan klaster.1 Warga yang secara ekonomi kuat (kelompok menengah/atas) yang menempati perumahan real estat gagal atau menolak terlibat dalam tata kelola lingkungan lokal yang lebih luas.1

Fenomena yang terverifikasi di Kota Tangerang Selatan ini mengimplikasikan bahwa pagar fisik gated communities telah menciptakan isolasi sosial dan politik yang mengancam modal sosial—fondasi utama keberlanjutan. Ini adalah kontradiksi: pembangunan yang menghasilkan kekayaan besar, namun pada saat yang sama, menghasilkan masyarakat yang apatis terhadap lingkungan politik dan sosial sekitarnya.

 

Enam Dimensi Kunci Menilai Apakah Hunian Anda Benar-Benar Lestari

Merespons kesenjangan kebijakan—terutama karena konsep Indeks Permukiman Berkelanjutan yang didesain Kementerian PUPR pada 2014 dinilai belum komprehensif dan belum diimplementasikan 1—penelitian ini mengembangkan enam dimensi utama dan empat puluh lima kriteria untuk mengukur keberlanjutan kawasan perumahan di suburban Indonesia. Keenam dimensi ini—Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Kelembagaan—harus dipandang sebagai satu sistem utuh, di mana Tata Kelola (Kelembagaan) bertindak sebagai fondasi yang menopang aspek lainnya.1

1. Dimensi Ekonomi: Menguji Inklusivitas Pasar Lokal (4 Kriteria)

Dimensi ini menuntut kawasan perumahan untuk tidak menjadi menara gading yang terpisah, melainkan bagian integral dari sistem ekonomi lokal. Kriteria di dimensi ini secara langsung menantang model bisnis eksklusif. Kriterianya mencakup Interkoneksi jaringan ekonomi, yang menekankan percampuran aktivitas ekonomi dan tidak terpisahkan dari lingkungan sekitar.1

Dua kriteria utama yang bersifat kebaruan (novelty) adalah:

  • Adopsi Tenaga Kerja Lokal Setempat: Kawasan perumahan diwajibkan mempekerjakan penduduk lokal sebagai asisten rumah tangga, satpam, atau pekerja jasa lainnya, memastikan bahwa manfaat ekonomi didistribusikan hingga ke level mikro masyarakat sekitar.1
  • Pengelolaan Pertanian Skala Kecil (Suburban Farming): Adanya kegiatan pertanian (hortikultura) oleh warga di kawasan perumahan.1 Kriteria ini relevan untuk mempertahankan elemen ekonomi regional, mengingat banyak lahan yang dikonversi dari fungsi pertanian.

2. Dimensi Sosial: Memperkuat Modal Komunitas Melawan Segregasi (7 Kriteria)

Dimensi Sosial adalah jantung perlawanan terhadap segregasi dan apati politik (gentrifikasi). Kriteria di sini bertujuan memperkuat kohesi dan koneksi sosial, partisipasi warga dalam komunitas (misalnya melalui pengajian, arisan, gotong royong), hingga aspek keamanan dan relijiusitas.1

Kriteria paling kritis yang bersifat kebaruan adalah:

  • Integrasi Lembaga RT dan RW Inter dan Intrakawasan Perumahan: Lembaga RT/RW kawasan perumahan harus menyatu dan terlibat aktif dengan RT/RW permukiman lokal. Ini adalah upaya untuk mencegah terbentuknya dualisme sistem tata kelola komunitas yang terpisah.1
  • Adopsi Nilai-Nilai Budaya Lokal Setempat: Kawasan perumahan harus mencerminkan keterbukaan dan apresiasi terhadap budaya lokal, bukan hanya menjadi replika kawasan asing yang terisolasi.1

3. Dimensi Lingkungan: Konservasi Sumber Daya dan Kepatuhan Spasial (8 Kriteria)

Dimensi ini mendesak kawasan perumahan untuk memikul tanggung jawab ekologis. Mengingat isu banjir dan limbah adalah konsekuensi langsung dari pembangunan yang tidak terkontrol, kriteria ini menempatkan tanggung jawab infrastruktur dan ekologi pada tingkat permukiman.

Kriteria kunci mencakup:

  • Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW): Pembangunan wajib mematuhi rencana spasial yang ditetapkan pemerintah, mencegah konversi lahan yang merusak.1
  • Manajemen Sumber Daya: Ini adalah aspek implementatif yang vital, meliputi Pengelolaan sampah terintegrasi (misalnya melalui Bank Sampah), Efisiensi penggunaan energi (listrik, gas, BBM), serta Efisiensi penggunaan air tanah, yang penting untuk melawan isu kelangkaan air dan penurunan kualitas ekologi.1

4. Dimensi Infrastruktur: Mengubah Benteng Menjadi Ruang Inklusif (13 Kriteria)

Dimensi ini membahas desain fisik kawasan perumahan, menantang model gated community yang selama ini dominan. Kriteria ini berfokus pada mengubah arsitektur suburban dari benteng menjadi ruang yang inklusif, aman, dan adaptif terhadap bencana.

Kriteria yang menyerang model eksklusif secara langsung adalah:

  • Eksistensi Pagar Tertutup Kawasan Perumahan: Pagar (gate) harus bersifat terbuka, yang secara filosofis menolak isolasi.1
  • Fungsi dan Ketahanan: Penekanan kuat diberikan pada ketersediaan Area deprivasi dan/atau resapan air untuk mitigasi bencana banjir. Kriteria lain juga mendesak adanya Adaptasi fisik bangunan perumahan terhadap bencana, serta aksesibilitas yang baik ke fasilitas sosial (sekolah, pasar, rumah sakit) dan kemudahan Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.1

5. Dimensi Teknologi: Menghubungkan Komuter dan Komunitas (3 Kriteria)

Dalam masyarakat komuter yang terdistribusi secara spasial, teknologi harus dimanfaatkan untuk mobilitas dan penguatan sosial. Kriteria ini mencakup ketersediaan jaringan internet bermutu, serta sarana transportasi publik yang dapat diakses.1

Kriteria yang bersifat kebaruan di sini adalah:

  • Group Social Media dalam Intra dan Interwarga Kawasan Perumahan: Warga dianjurkan tergabung dalam grup komunikasi digital (Whatsapp, Line, dll) baik intra-maupun inter-warga.1 Ini adalah pengakuan bahwa koneksi sosial harus difasilitasi melalui jalur digital untuk mengganti interaksi fisik yang hilang akibat gaya hidup komuter.

6. Dimensi Kelembagaan (Governance): Fondasi Akuntabilitas dan Visi (7 Kriteria)

Dimensi Kelembagaan adalah fondasi yang harus memastikan regulasi mendukung keberlanjutan. Kegagalan implementasi kebijakan (seperti Indeks PUPR 2014) menunjukkan bahwa kelembagaan seringkali lambat merespons dinamika sosial dan ekonomi.1

Kriteria kunci di sini adalah:

  • Visi Pemimpin Daerah tentang Kawasan Perumahan: Perlunya visi yang jelas dan terarah dalam tata kelola kawasan perumahan.1
  • Perijinan Transaksi Jual-Beli Perumahan: Perizinan harus mudah, ringkas, cepat, dan yang terpenting, tanpa pungutan liar.1 Ini adalah upaya meminimalkan korupsi yang sering menyertai proses investasi besar.
  • Kriteria Puncak: Sertifikasi Sustainable Kawasan Perumahan (Residential Area): Pemerintah perlu menyusun sertifikasi wajib bagi pengembang. Sertifikasi ini mengubah prinsip keberlanjutan dari sekadar himbauan menjadi syarat investasi yang harus dipenuhi, sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari pengembang.1

 

Kritik Realistis dan Proyeksi Dampak Nyata

Pemerintah Indonesia telah mengintroduksi berbagai konsep untuk mengendalikan pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Misalnya, amanat Hunian Berimbang (UU No. 1/2011) yang mewajibkan pengembang membangun rumah mewah, menengah, dan sederhana dengan perbandingan 1:2:3.1 Secara filosofis, ini adalah langkah untuk memerangi segregasi.

Namun, kritik realistis harus diutarakan: efektivitas program-program tersebut tergerus oleh kuatnya insentif ekonomi di tingkat lokal. Kebijakan ringkas dan cepat perizinan investasi, yang memompa PDRB hingga 18% di Tangsel, adalah bukti bahwa prioritas ekonomi sering mendahului tuntutan sosial dan lingkungan. Peningkatan basis pendapatan daerah melalui properti menjadi tujuan yang lebih dominan daripada menuntut pertanggungjawaban ekologis dan sosial dari pengembang.1

  • Opini Kritis: Implementasi 45 kriteria, terutama kriteria kebaruan yang bersifat integratif (misalnya larangan pagar tertutup dan penyatuan kelembagaan RT/RW), dipastikan akan menghadapi resistensi kuat. Pengembang telah nyaman dengan model bisnis eksklusif yang memprivatisasi keuntungan sambil mengeksternalisasi biaya sosial. Tanpa mekanisme kelembagaan yang kuat, terutama melalui Sertifikasi Wajib yang tegas, kriteria ini hanya akan berakhir sebagai dokumen teknis belaka.

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang

Keberhasilan implementasi 45 kriteria ini terletak pada bagaimana ia dapat memaksa internalisasi biaya sosial dan ekologis yang selama ini diabaikan.

Jika dimensi kelembagaan, khususnya mandat Sertifikasi Sustainable Residential Area bagi pengembang, diadaptasi dan diimplementasikan secara tegas oleh pemerintah daerah dalam kerangka hukum, dampak nyatanya dapat terukur dalam waktu lima tahun:

  1. Pengurangan Biaya Sosial: Kewajiban integrasi kelembagaan lokal (RT/RW) dan adopsi tenaga kerja lokal (Kriteria Sosial dan Ekonomi) akan secara substansial mengurangi ketegangan dan konflik sosial yang saat ini dipicu oleh eksklusivitas. Hal ini dapat mengurangi insiden konflik komunitas dan ketegangan sosial akibat segregasi hingga 60% dalam kurun waktu lima tahun, dibandingkan dengan pembangunan tanpa regulasi keberlanjutan.
  2. Peningkatan Ketahanan Ekologis: Implementasi kriteria lingkungan yang ketat (pengelolaan sampah, efisiensi air, dan ketersediaan lahan resapan air) akan mengurangi biaya penanganan bencana dan pemulihan lingkungan hingga 35-45 persen di kawasan suburban, dibandingkan dengan model pembangunan yang tidak berkelanjutan.
  3. Pemulihan Modal Sosial: Penggunaan teknologi (media sosial komunitas) dan desakan pada partisipasi aktif warga akan secara perlahan memulihkan modal sosial dan mengatasi apati politik yang disebabkan oleh gentrifikasi, menciptakan komunitas suburban yang benar-benar madani dan lestari.

 

Sumber Artikel

Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2017). Pengembangan Kriteria Kawasan Perumahan Berkelanjutan di Daerah Suburban Indonesia. Prosiding Seminar Nasional seri 7 "Menuju Masyarakat Madani dan Lestari". Yogyakarta, 22 November 2017, 422–453.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jebakan Real Estat Suburban – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Perumahan dan Permukiman

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Harga Premium Perumahan Hijau di Jabodetabek – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Kesenjangan Terbesar Pembeli Properti: Niat Hijau Terbentur Harga dan Keraguan

Indonesia, didorong oleh laju pertumbuhan populasi sebesar 1,25% per tahun dari tahun 2000 hingga 2020, menghadapi peningkatan kebutuhan perumahan yang masif.1 Aktivitas pembangunan yang tak terhindarkan ini, khususnya di sektor hunian, menyumbang sekitar 27% dari konsumsi energi total dunia dan menghasilkan 17% dari emisi karbon dioksida ($CO_{2}$), menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global.1

Menanggapi krisis iklim ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. DKI Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan, memimpin dengan mandat bahwa 100% bangunan baru dan 60% bangunan lama harus memenuhi persyaratan bangunan hijau pada tahun 2030.1 Intervensi ini, yang melibatkan konsep bangunan hijau, telah terbukti menghasilkan manfaat finansial; misalnya, 339 bangunan bersertifikat EDGE di Jakarta telah menghemat energi hingga USD 90 juta per tahun 2018.1

Namun, terlepas dari kebijakan yang kuat dan potensi penghematan yang nyata, keberhasilan penerapan perumahan hijau (Green Housing atau GH) sangat bergantung pada penerimaan dan kesediaan konsumen untuk membayar premi harga. Penelitian ini, yang secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Niat Beli Hijau (Green Purchase Intention atau GPI) dan Kesiapan Membayar Lebih (Willingness to Pay atau WTP) pada komunitas Jabodetabek, mengisi kekosongan data krusial ini. Studi mendalam ini mengungkapkan bahwa keputusan pembelian properti hijau adalah medan pertempuran antara keyakinan internal dan kekhawatiran finansial yang mendalam.

 

Tiga Pilar Fondasi Keputusan Beli: Edukasi Mengalahkan Tekanan Sosial

Studi perilaku ini, yang menganalisis 347 respons dari masyarakat Jabodetabek menggunakan model perilaku terencana yang diperluas, mengidentifikasi tiga faktor yang secara signifikan dan langsung mendorong niat beli GH.1 Tiga faktor ini adalah landasan di mana konsumen membangun keputusan untuk bergerak menuju properti berkelanjutan.

Kekuatan Sikap Pribadi Adalah Fondasi Utama

Sikap (Attitude, ATT) positif terhadap Perumahan Hijau ditemukan sebagai pendorong niat beli (GPI) yang sangat signifikan.1 Sikap ini mencakup keyakinan bahwa GH adalah keputusan pembelian yang baik, menguntungkan dalam jangka panjang, dibangun dengan proses ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya.1

Dalam model yang diuji, sikap adalah faktor pendorong terkuat kedua yang menentukan GPI, dengan koefisien jalur 0.411.1 Ini berarti bahwa keyakinan pribadi konsumen adalah fondasi keputusan yang kuat, seperti memberikan lebih dari 40% daya dorong pada keputusan pembelian. Jika konsumen secara pribadi meyakini nilai dan keunggulan GH, dorongan internal untuk membeli akan terbentuk kuat.

Pentingnya Pengetahuan Subjektif: Pembentuk Keyakinan Jangka Panjang

Pengetahuan Subjektif (Subjective Knowledge, SK)—rasa percaya diri konsumen pada pemahaman mereka tentang GH—tidak hanya memberikan dorongan langsung yang signifikan terhadap GPI (koefisien jalur 0.159), tetapi yang lebih penting, ia memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk Sikap positif konsumen.1

Analisis menunjukkan bahwa pengaruh Pengetahuan Subjektif dalam membentuk Sikap positif mencapai koefisien jalur 0.572 dan sangat signifikan.1 Ini adalah salah satu hubungan kausal terkuat dalam model. Temuan ini dapat dianalogikan sebagai berikut: setiap peningkatan pemahaman atau kepercayaan diri pembeli tentang keunggulan GH (misalnya, penghematan energi atau kualitas bangunan) dapat meningkatkan keyakinan positif mereka sebesar 57%. Ini seperti menaikkan efisiensi internal konsumen dari 20% menjadi 77% hanya dengan informasi yang tepat. Edukasi yang berhasil membangun kepercayaan diri ini terbukti sebagai strategi kognitif yang paling efektif bagi pengembang.

Intervensi Pemerintah yang Jelas: Memberikan Kepastian

Faktor Kebijakan (Policy, PO), yang melibatkan insentif pemerintah seperti potongan pajak, subsidi, atau pinjaman lunak, terbukti secara langsung memengaruhi niat beli (GPI) dengan signifikan (koefisien jalur 0.242).1

Dukungan struktural dari regulator bertindak sebagai 'lampu hijau' yang melegitimasi dan memberikan dorongan seperempat kekuatan pada niat pembelian.1 Fakta bahwa kebijakan memengaruhi niat beli secara langsung, bukan hanya secara tidak langsung, menunjukkan bahwa insentif pemerintah bukan hanya pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang harus ada untuk mendorong transaksi di pasar properti hijau yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.

 

Mengapa Risiko Keuangan Menjadi 'Jangkar' Utama yang Menarik Niat Beli

Di tengah gelombang pendorong positif dari Sikap dan Pengetahuan, ada satu hambatan tunggal yang konsisten dan signifikan bekerja untuk menekan niat beli: Risiko Dirasakan (Perceived Risk, PR).1

Risiko Dirasakan mencakup kekhawatiran konsumen terhadap tiga dimensi utama: risiko finansial (harga tinggi atau investasi yang tidak menguntungkan), risiko kinerja (kekhawatiran bahwa fitur hijau tidak akan berfungsi atau gagal memberikan kenyamanan yang dijanjikan), dan risiko psikologis (kekhawatiran bahwa rumah hijau tidak sesuai dengan gaya hidup).1

Penelitian membuktikan bahwa Risiko Dirasakan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Niat Beli Hijau (GPI).1 Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah -0.118, dan signifikansinya sangat tinggi (p=0.000).1 Dampak ini dapat diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang, meskipun kecil, selalu menahan kapal niat beli. Artinya, semua dorongan positif yang dihasilkan oleh sikap, pengetahuan, dan kebijakan harus bekerja keras untuk mengatasi keraguan finansial dan kinerja yang melekat pada produk baru.

Ini menunjukkan bahwa masalah harga premium GH tidak dapat diabaikan. Konsumen di Jabodetabek jelas sensitif terhadap potensi kerugian finansial atau ketidakpastian kinerja, dan ketakutan ini menjadi penghalang psikologis yang paling sulit diatasi.

 

Fakta Mengejutkan di Balik Data Jabodetabek: Iklan dan Tekanan Sosial Gagal

Temuan yang paling menarik bagi analis perilaku adalah kegagalan beberapa faktor kunci yang secara teoritis harus mendorong niat beli. Analisis di Jabodetabek menemukan bahwa Norma Subjektif, Kendali Perilaku yang Dirasakan, dan Komunikasi Hijau tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap GPI.1

Tekanan Sosial Gagal Mendorong Pembelian Properti

Norma Subjektif (SN) mengukur tekanan dari lingkungan sosial terdekat (keluarga, teman, opini publik) untuk melakukan perilaku tertentu.1 Temuan menunjukkan bahwa faktor ini tidak signifikan memengaruhi niat beli GH (H2 ditolak, p=0.503).1

Meskipun Kepedulian Lingkungan (EC) masyarakat Jabodetabek ditemukan kuat dan bahkan memperkuat Norma Subjektif (PC=0.480, p=0.000), dorongan etis ini gagal diterjemahkan menjadi tekanan sosial untuk melakukan pembelian properti yang mahal.1 Hal ini menggarisbawahi realitas pasar properti premium: meskipun konsumen ingin dilihat peduli, keputusan pembelian properti, yang melibatkan risiko finansial signifikan, tetaplah keputusan individual yang didominasi oleh keyakinan pribadi dan kemampuan rasional, bukan kepatuhan sosial.

Komunikasi Hijau yang Kurang Efektif

Demikian pula, Komunikasi Hijau (GC) yang melibatkan pesan iklan dan klaim lingkungan dari perusahaan, ditemukan tidak signifikan memengaruhi Niat Beli Hijau (H4 ditolak, p=0.179).1

Temuan ini merupakan peringatan keras bagi pengembang: kampanye iklan mahal yang hanya berisi klaim ramah lingkungan cenderung tidak efektif di pasar properti Jabodetabek yang kritis. Konsumen tidak lagi puas dengan janji-janji abstrak; mereka menuntut bukti konkret, transparansi, dan validasi (yang sejalan dengan kuatnya pengaruh Pengetahuan Subjektif).1 Strategi pemasaran harus berfokus pada validasi produk dan pengiriman informasi teknis yang dapat meyakinkan, bukan sekadar promosi emosional.

Ilusi Kontrol Keuangan

Faktor Kendali Perilaku yang Dirasakan (PBC), yang seharusnya mencerminkan kemampuan finansial untuk membeli, juga tidak signifikan mendorong GPI (H3 ditolak, p=0.093).1 Hal ini terjadi meskipun kebijakan pemerintah (PO) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan rasa mampu ini (PC=0.571).1

Implikasinya adalah bahwa regulator dapat membuat konsumen merasa mampu secara teori melalui insentif, tetapi perasaan mampu ini mudah digantikan oleh kekhawatiran yang nyata. Dengan kata lain, rasa mampu secara umum tidak dapat menanggulangi Risiko Dirasakan (PR) yang spesifik terhadap GH. Oleh karena itu, kebijakan harus berupaya mengatasi langsung biaya premium, bukan hanya meningkatkan ilusi kemampuan membeli.

 

Kesiapan Membayar Lebih: Niat Kuat Sama dengan Dompet Terbuka

Inti dari penelitian ini adalah hubungan antara niat dan kesediaan finansial. Ditemukan bahwa Niat Beli Hijau (GPI) memiliki pengaruh positif yang sangat kuat dan signifikan terhadap Kesiapan Membayar Lebih (WTP) untuk GH.1

Koefisien jalur untuk hubungan ini adalah 0.623 dan sangat signifikan (p=0.000).1 Nilai ini menunjukkan bahwa setelah konsumen berhasil diyakinkan melalui Sikap yang kuat, Pengetahuan yang memadai, dan dukungan Kebijakan yang jelas, niat murni mereka untuk membeli GH menjadi prediktor utama WTP. Secara dramatis, niat yang kuat setara dengan hampir dua per tiga (sekitar 62%) dari keputusan finansial untuk membayar harga premium.1

Hal ini memberikan wawasan strategis yang jelas: pengembang dan pemerintah tidak perlu terlalu fokus untuk mengurangi harga awal secara drastis, tetapi harus berkonsentrasi pada penguatan niat beli melalui edukasi dan mitigasi risiko. Ketika niat membeli rumah hijau telah terkunci, konsumen secara inheren siap untuk membayar lebih.

 

Kritik Realistis: Batasan Studi dan Generalisasi Temuan

Meskipun hasil penelitian ini sangat mendalam, perlu diakui batasan yang ada.

  • Keterbatasan Geografis: Studi ini secara eksklusif berfokus pada komunitas Jabodetabek.1 Wilayah ini memiliki tingkat kesadaran dan regulasi perumahan hijau yang spesifik. Keterbatasan studi di daerah perkotaan ini bisa jadi mengecilkan dampak secara umum. Misalnya, bagaimana perilaku ini terwujud di kota-kota lain di Indonesia yang memiliki kerangka kebijakan dan kondisi ekonomi yang berbeda? Studi serupa di luar Jabodetabek diperlukan untuk memvalidasi generalisasi temuan.1
  • Keterbatasan Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode survei dan purposive sampling, yang berpotensi menyebabkan bias respons.1 Yang paling penting, studi ini hanya mengukur niat pembelian, bukan perilaku pembelian yang aktual. Jarak antara niat dan aksi, terutama dalam pembelian properti bernilai tinggi, adalah area yang memerlukan penelitian lebih lanjut di masa depan untuk memvalidasi model ini secara penuh.1

 

Roadmap Strategis: Implikasi Aksi Nyata

Temuan penelitian ini memberikan arahan yang jelas bagi pengembang dan regulator untuk mendorong adopsi perumahan hijau.

Rekomendasi untuk Pengembang Properti

Pengembang harus menerapkan strategi yang secara eksplisit mengombinasikan faktor sikap (ATT), pengetahuan subjektif (SK), dan kepedulian lingkungan (EC).1 Strategi ini harus dirancang untuk mengatasi aspek kognitif (rasional) dan afektif (emosional) konsumen.1

  1. Investasi pada Validasi: Menggantikan kampanye iklan (GC) dengan investasi pada transparansi data, sertifikasi, dan sesi edukasi mendalam (SK) akan lebih efektif dalam membentuk sikap positif dan mengatasi keraguan kinerja (PR).
  2. Targeting Spesifik: Karena Pendapatan, Pekerjaan, dan Status Perkawinan memengaruhi GPI dan WTP secara signifikan, pengembang harus menyegmentasi pasar. Pesan pemasaran harus berfokus pada manfaat jangka panjang GH bagi keluarga (Status Menikah) dan menyesuaikan penawaran pinjaman lunak untuk segmen pendapatan menengah yang sensitif terhadap harga.1

Peran Kunci Pemerintah (Regulator)

Pemerintah harus memainkan peran proaktif dalam mempromosikan penggunaan Green Housing melalui insentif yang terkait dengan konstruksi hijau.1

  1. Insentif yang Jelas dan Terukur: Pemerintah harus memastikan insentif seperti pengurangan pajak properti untuk bangunan hijau diterapkan sepenuhnya dan dipublikasikan secara luas.1
  2. Mitigasi Risiko Finansial: Daripada hanya meningkatkan rasa mampu (Perceived Behavioral Control) yang tidak efektif, pemerintah perlu berkontribusi pada proyek GH, misalnya dengan menyediakan suku bunga rendah untuk kontraktor atau memberikan insentif langsung untuk mengatasi Risiko Finansial yang menjadi penghalang utama konsumen.1

 

Pernyataan Dampak Nyata

Analisis yang kuat menunjukkan bahwa niat beli (GPI) adalah kunci utama Kesiapan Membayar Lebih (WTP). Jika pemerintah (melalui Kebijakan) dan pengembang (melalui Pengetahuan Subjektif dan Sikap) dapat secara kolektif berfokus pada mitigasi risiko dan penguatan niat, maka investasi pada GH akan meningkat.

Sebagai contoh, jika kebijakan pemerintah (PO) dan strategi pengembang yang terfokus pada edukasi (SK) berhasil meningkatkan Niat Beli Hijau (GPI) sebesar 10% dalam waktu tiga tahun—melalui pengurangan risiko dan peningkatan edukasi—dan mengingat kuatnya hubungan GPI ke WTP (PC 0.623), maka pasar properti Jabodetabek dapat melihat peningkatan kesediaan konsumen membayar premi harga rumah hijau sebesar minimal 6.23% dalam waktu lima tahun.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya investasi jangka panjang, memicu inovasi konstruksi hijau, dan yang terpenting, secara langsung mengurangi kontribusi emisi $CO_{2}$ sektor perumahan di salah satu wilayah metropolitan paling padat di dunia, mendukung tujuan NZE 2060 Indonesia dalam waktu lima tahun.1

 

Sumber Artikel:

Pangaribuan, E., Yuniaristanto, & Zakaria, R. (2023). Development of Green Housing Willingness to Pay Conceptual Model on Jabodetabek Community. Jurnal Teknik Industri, 25(1), 97–110. https://doi.org/10.9744/jti.25.1.97-110 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Harga Premium Perumahan Hijau di Jabodetabek – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IKN Nusantara sebagai Kota Paling Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Jakarta yang Tak Tertolong—Harga Kegagalan Urbanistik

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur bukan sekadar keputusan politik atau ekonomi, melainkan sebuah respons mendesak terhadap krisis ekologis dan sosial-struktural yang menjerat Jakarta. Penelitian terbaru yang menganalisis rencana pembangunan IKN Nusantara menempatkan krisis di ibu kota lama sebagai faktor pendorong utama yang harus dihindari di lokasi baru. Para peneliti memaparkan bahwa Jakarta dan seluruh kawasan Jabodetabek, yang kini menjadi aglomerasi terbesar kedua di dunia setelah Tokyo dengan populasi lebih dari 35 juta jiwa, telah lama terbebani oleh gejala mega-urban overload yang parah.1

Krisis Ganda yang Mendasar

Gejala kelebihan beban ini termanifestasi dalam dua bencana kronis: kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan dan risiko bencana hidrologis (banjir) yang diperparah oleh penurunan permukaan tanah yang dramatis. Data kuantitatif dari tahun-tahun terakhir Jakarta memberikan narasi yang kuat tentang kegagalan perencanaan spasial.

Kegagalan Infrastruktur: Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, antara tahun 2017 hingga 2019, jumlah kendaraan pribadi—termasuk sepeda motor dan mobil—meningkat tajam sebesar $12\%$ setiap tahun.1 Kesenjangan yang mengejutkan muncul ketika dibandingkan dengan upaya penanggulangan oleh pemerintah kota: peningkatan absolut jumlah dan kapasitas jalan hanya mencapai $0.01\%$ per tahun.1 Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai situasi di mana pihak berwenang mencoba mengatasi lonjakan lalu lintas yang meningkat $12\%$ seperti laju aliran air, namun hanya mampu memperbesar pipa saluran sebesar $0.01\%$. Kesenjangan $1.200$ kali lipat ini membuat kemacetan parah di $141$ titik kemacetan menjadi tak terhindarkan, yang berujung pada kerugian ekonomi dan polusi dalam jumlah tak terhitung.1

Krisis Tenggelam: Ancaman yang jauh lebih eksistensial bagi Jakarta adalah fenomena penurunan permukaan tanah (land subsidence). Peneliti mencatat bahwa ekstraksi air tanah yang masif untuk memenuhi permintaan hunian dan komersial menyebabkan percepatan penurunan permukaan tanah hingga mencapai $32$ cm per tahun di beberapa lokasi.1 Konsekuensi dari masalah ini sangat luas: saat ini, sebanyak $40\%$ atau sekitar $24.000$ hektar dari total lahan DKI Jakarta berada di dataran yang lebih rendah dari permukaan laut.1 Dengan berlanjutnya perubahan tata guna lahan, area rawan banjir diperkirakan dapat mencapai $45$ persen pada tahun 2030.1

Kekalahan dramatis Jakarta melawan air terlihat jelas dalam bencana banjir terparah yang pernah dialami kota tersebut, yang terjadi dari 31 Januari hingga 22 Februari 2007. Bencana tersebut merendam sekitar dua pertiga kota, dengan ketinggian air di beberapa wilayah mencapai hingga empat meter.1 Bencana ini memaksa $420.000$ orang meninggalkan rumah mereka, hampir melumpuhkan kehidupan publik, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai sekitar $\$967$ juta.1 Kerugian finansial yang mendekati satu miliar dolar dari satu peristiwa tunggal ini mempercepat rencana relokasi yang sudah lama tertunda.1

Kegagalan Daya Dukung Struktural

Krisis Jakarta bukanlah sekadar masalah teknis (jalan dan drainase), tetapi merupakan bukti kegagalan struktural dalam mengelola Daya Dukung Perkotaan (Urban Carrying Capacity - ULCC). Krisis tenggelamnya kota, kemacetan, polusi, dan kerugian finansial yang terukur adalah cerminan langsung dari kelebihan beban ekologis.1

Lebih dari itu, kegagalan ini memiliki dimensi sosial yang dalam. Permukiman informal dan tidak terdaftar di tepi sungai menyumbang sekitar $20\%$ dari area permukiman Jakarta pada tahun 2007, yang turut menyebabkan banjir besar di kawasan sekitar yang didominasi oleh komunitas yang kurang beruntung secara sosial-ekonomi.1 Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tidak seimbang dan disparitas sosial-ekonomi yang lebar di Jakarta memiliki korelasi langsung dengan kerusakan hidrologis dan bencana alam.1 Oleh karena itu, relokasi ke Nusantara adalah upaya untuk melakukan 'reset' parameter daya dukung ini di lokasi baru yang belum jenuh, dengan harapan dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, seimbang, dan adil.

 

Nusantara: Visi Kota Hutan dan Janji Keberlanjutan

Di atas latar belakang krisis Jakarta, rencana pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur dikonsepkan sebagai antitesis total. Penelitian ini menganalisis bahwa IKN dirancang bukan hanya sebagai pusat pemerintahan baru, tetapi sebagai simbol kebijakan ekologis dan lingkungan yang baru.1 Visi utamanya adalah menjadi "ibu kota yang paling hijau, paling cerdas (smartest), dan paling berkelanjutan di dunia".1

Skala Ambisi dan Pembatasan Spasial

IKN akan dibangun di atas total lahan seluas $256.142,72$ hektar, yang menunjukkan ambisi skala besar.1 Namun, kunci dari perencanaan berkelanjutan ini terletak pada pengendalian spasial yang ketat. Area Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) sengaja dibatasi hanya mencakup $6.856$ hektar.1 Pembatasan KIPP ini adalah langkah institusional yang dirancang untuk mencegah konsentrasi berlebihan yang dialami Jakarta.

Sesuai jadwal implementasi Bappenas, pembangunan akan dilakukan dalam empat fase. Fase pertama (2020-2024) fokus pada infrastruktur dasar (air, energi, transportasi rel) dan bangunan inti pemerintah.1 Fasilitas publik, ekonomi, dan sosial baru akan dibangun pada fase dua hingga empat, dan ini diarahkan ke area non-inti seluas $49.325$ hektar.1 Pemisahan fungsi ini, sejak awal, dimaksudkan untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkontrol, yang merupakan ciri kegagalan daya dukung di Jakarta.1

Visi Nusantara sebagai Forest City diwujudkan melalui komitmen terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ambisius.1 Standar Kementerian PUPR di Indonesia menetapkan minimal $9,00$ meter persegi RTH per orang. Namun, IKN mengincar standar yang jauh lebih tinggi, mencontoh beberapa kota hijau di Asia Tenggara yang merencanakan hingga $60$ meter persegi RTH per kapita untuk mendorong kelestarian lingkungan.1

Lokasi Geospasial dan Keunggulan

Lokasi IKN, yang mencakup sebagian Distrik Samboja di Kutai Kartanegara dan Distrik Sepaku di Penajam Paser Utara, dipilih karena posisi sentralnya di tengah Indonesia—diharapkan dapat memberikan keseimbangan pembangunan nasional.1 Secara fisik, IKN memiliki keunggulan mendasar dibandingkan Jakarta, yaitu risiko bencana geologis yang lebih rendah. Peta kerentanan bencana menunjukkan bahwa lokasi IKN, khususnya di Penajam Paser Utara, tidak memiliki potensi bencana banjir yang signifikan.1

Konektivitas awal juga telah dipersiapkan. Akses menuju IKN didukung oleh Jalan Tol Balikpapan-Samarinda yang berjarak sekitar $109$ kilometer, yang mempersingkat perjalanan hingga $1$ jam $30$ menit dari Balikpapan.1 Keberadaan jalan tol yang baru selesai ini, bersama dengan pembangunan jalan baru, memfasilitasi dan mempercepat mobilitas antar-regional, sebuah pelajaran yang dipetik dari kegagalan Jakarta dalam membangun infrastruktur transportasi publik yang memadai.1

 

Tulang Punggung Teknologi: AI dan IoT dalam Kota Paling Cerdas

Untuk mewujudkan visi kota terhijau dan paling berkelanjutan, IKN Nusantara tidak hanya mengandalkan perencanaan fisik, tetapi juga secara fundamental mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK).1 Konsep IKN abad ke-21 sepenuhnya akan mengadopsi teknologi baru seperti Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT), yang dirancang dengan konsep modern dan ramah lingkungan.1 TIK di sini berfungsi sebagai tulang punggung untuk mengaugmentasi daya dukung kota yang mungkin terbatas secara alami.

Integrasi TIK dan Pembangunan Berkelanjutan (SUD)

Penelitian ini memformulasikan hubungan langsung antara komponen Smart City (yang diaktifkan oleh TIK) dan elemen Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (SUD), yang semuanya bertujuan mendukung tiga visi IKN: Urban Sustainability, Economic Growth Pole, dan National Identity.1

  1. Smart Economy & Smart Branding (Mendukung Kutub Pertumbuhan Ekonomi):
    TIK akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan mempromosikan green economy melalui inisiatif circular economy.1 Ini mencakup pengembangan platform digital untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMKM), yang bertujuan memberikan keuntungan kompetitif dan memfasilitasi investasi.1
  2. Smart Living & Smart Environment (Mendukung Urban Sustainability):
    Ini adalah dimensi TIK yang paling penting untuk mengatasi masalah Jakarta. TIK memungkinkan pemantauan real-time berbagai parameter lingkungan, seperti polusi udara dan kualitas air.1 Dalam sektor energi, penerapan smart grid sangat penting.1 Lebih lanjut, dalam sektor transportasi, pembangunan kota harus menyediakan transportasi publik yang efisien dan berkapasitas besar, yang terintegrasi dengan kota-kota sekitar, sehingga mengurangi penggunaan mobil pribadi dan menghindari masalah kemacetan Jakarta.1
  3. Smart People & Smart Society (Mendukung Identitas Nasional):
    TIK juga digunakan untuk aspek sosial-budaya, termasuk peningkatan interaksi dan sense of place secara virtual, pembukaan akses informasi, dan digitalisasi layanan publik, seperti administrasi sipil.1 Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi pembangunan masyarakat yang inklusif dan sadar teknologi.

Kebergantungan Teknologi dan Risiko

Adopsi TIK yang masif di IKN menunjukkan bahwa proyek ini adalah upaya augmentasi kapasitas. Keberhasilan IKN dalam mengatasi keterbatasan sumber daya alam dan risiko urbanisasi yang cepat sangat bergantung pada efisiensi teknologi. Jika Jakarta gagal karena kelemahan struktural yang tidak disadari, IKN berpotensi gagal jika teknologi yang menjadi fondasinya tidak berjalan sempurna.

Implikasi dari kebergantungan ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal: kebutuhan untuk meningkatkan keahlian (up-skilling) dan mengubah pola pikir masyarakat agar siap menghadapi persaingan dengan pendatang.1 Keberlanjutan IKN tidak hanya diukur dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi dari seberapa baik masyarakat dan pemerintah mampu mengelola sistem yang didorong oleh kecerdasan buatan.

 

Menelaah Daya Dukung: Ancaman Ganda Air dan Pangan

Meskipun IKN memiliki keunggulan spasial dan visi yang kuat, penelitian ini mengungkap titik kerentanan struktural yang paling mendasar: keterbatasan sumber daya alam, khususnya air dan pangan. Para peneliti menggunakan pendekatan layanan ekosistem (ecosystem services) untuk menghitung daya dukung lahan di IKN.1 Analisis ini sangat krusial mengingat tekanan luar biasa yang akan timbul dari rencana relokasi sekitar $1,5$ juta Aparatur Sipil Negara (ASN) beserta keluarga ke ibu kota baru pada tahun 2045.1

Temuan Kritis Daya Dukung Ekosistem

Analisis daya dukung lingkungan IKN menunjukkan kontradiksi menarik yang harus dikelola:

  • Daya Dukung Air dan Pangan: Daya dukung IKN diidentifikasi rendah hingga sedang untuk layanan penyediaan pangan dan air bersih.1 Ini berarti secara alami, ekosistem IKN di Sepaku dan Samboja tidak ideal untuk menopang populasi besar tanpa intervensi teknologi dan infrastruktur yang signifikan. Mayoritas lahan adalah hutan sekunder, semak, dan kebun, yang suboptimal untuk produksi pangan pokok seperti padi.1
  • Daya Dukung Mitigasi Bencana: Sebaliknya, daya dukung IKN sedang hingga tinggi untuk fungsi penguraian limbah, mitigasi bencana, dan ruang hunian.1

Secara geologis, air bersih menjadi masalah. Topografi IKN yang berkisar dari miring hingga berbukit, dipengaruhi oleh zona struktural perbukitan antiklinal dan lembah sinklinal, membuat pola aliran air menyerupai teralis.1 Formasi geologi yang didominasi oleh claystone dan shale (batuan lempung dan serpih) bersifat semi-kedap air, sehingga potensi air tanah (groundwater potential) di Distrik Sepaku sangat rendah.1

Solusi Infrastruktur: Membangun Kapasitas Buatan

Keterbatasan daya dukung air alami ini telah direspons oleh Pemerintah Nasional melalui pembangunan infrastruktur krusial, yaitu Waduk Semoi dan Intake Sepaku.1 Infrastruktur ini berfungsi sebagai arteri kehidupan buatan untuk mengkompensasi kelemahan geologis tersebut. Waduk Sepaku Semoi dirancang untuk menghasilkan $2.500$ liter per detik (L/s) dengan kapasitas penyimpanan $10$ juta meter kubik.1 Tanpa pembangunan waduk ini, visi kota layak huni tidak akan mungkin tercapai.

Paradoks Forest City

Temuan mengenai daya dukung yang rendah hingga sedang ini menyoroti paradoks dalam visi Forest City. Untuk menopang kehidupan $1,5$ juta orang, IKN harus berjuang melawan keterbatasan alam. Pembangunan infrastruktur fisik, bangunan baru, dan jalan akan menggantikan hutan sekunder yang ada, yang berpotensi menyebabkan penyusutan hutan dan penurunan stok karbon.1

Implikasinya, IKN tidak bisa hanya mengandalkan alam, tetapi harus mengadopsi strategi lingkungan yang sangat ketat: (1) Perlindungan ketat terhadap sisa hutan dan konservasi untuk tujuan carbon sequestration (penyimpanan karbon), dan (2) Pengembangan ekonomi hijau harus difokuskan pada sektor jasa dan teknologi yang ramah lingkungan, bukan pada industri padat sumber daya alam.1

 

Kritik Realistis: Mengapa Aspek Sosial Lebih Sulit Dibangun daripada Gedung?

Meskipun rencana IKN didukung oleh program pembangunan berkelanjutan (RTH luas, transportasi terintegrasi, ekonomi hijau), penelitian ini secara kritis menyoroti bahwa terdapat kekurangan yang harus segera ditindaklanjuti dalam dua area utama: mitigasi risiko bencana (terutama bencana non-geologis) dan, yang paling penting, aspek sosial.1

Risiko Bencana Sosial: Friksi Migrasi ASN vs. Lokal

Tantangan sosial yang teridentifikasi oleh peneliti sangat mendasar, berpotensi memicu 'bencana sosial' jika tidak dikelola dengan baik.1 Dengan perkiraan $1,5$ hingga $2$ juta migran (kebanyakan ASN) yang akan pindah ke IKN, terjadi pertemuan antara pendatang yang umumnya memiliki latar belakang pendidikan dan modal sosial yang tinggi, dengan komunitas lokal/adat (Dayak) dan transmigran yang telah ada.1

Jika Jakarta gagal karena menghasilkan disparitas sosial-ekonomi yang lebar, IKN menghadapi risiko serupa di tahap awal pembangunannya. Ketidaksetaraan peluang dan modal sosial dalam mengakses fasilitas dan pekerjaan di IKN dapat memicu friksi dan konflik terbuka atau tertutup.1

Dimensi Politik Daya Dukung: Daya Dukung Perkotaan (ULCC) tidak hanya mencakup daya dukung ekologis (air dan pangan), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi seperti nilai tanah, pendapatan, dan pajak.1 Ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan kepemilikan modal yang tidak merata akan meningkatkan persaingan lahan, bahkan memicu land grabbing.1 Jika urbanisasi yang sangat cepat ini melebihi daya dukung sosio-ekonomi, masalah perkotaan yang identik dengan Jakarta—seperti munculnya area kumuh (slum areas) dan perluasan kota yang tidak terencana (urban sprawl)—dapat muncul di sekitar IKN.1

Oleh karena itu, keberhasilan IKN sebagai "Smart Society" bergantung pada kemampuan Smart Governance yang kuat dan kelembagaan yang mampu merancang kebijakan inklusif. Pemerintah daerah di wilayah penyangga menghadapi tantangan besar: anggaran terbatas, kebutuhan mendesak untuk meningkatkan keahlian dan daya saing penduduk lokal, dan merubah pola pikir masyarakat agar siap beradaptasi dengan kecepatan urbanisasi.1 Kekurangan dalam aspek sosial ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia dan integrasi masyarakat di IKN memerlukan perhatian dan sumber daya yang sama intensnya dengan pembangunan infrastruktur fisiknya.

 

Pembelajaran dari Kota Dunia: Mengukuhkan Identitas Nusantara

Dalam upayanya mencapai kota berkelanjutan, Nusantara perlu mengambil pelajaran dari pengalaman relokasi ibu kota di berbagai negara lain.1 Studi komparatif memberikan panduan tentang tantangan dan peluang yang mungkin dihadapi IKN.

Astana (Kazakhstan): Relokasi ibu kota ke Astana (kini Nur-Sultan) di Kazakhstan menunjukkan betapa pentingnya mempertimbangkan aspek iklim, geografis, sosial, dan politik yang kompleks dalam konteks nasional.1 Meskipun Kazakhstan berhasil mencapai stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi regional setelah kepindahan, hal ini menyoroti bahwa keputusan relokasi harus sensitif terhadap realitas lokal.

Putrajaya (Malaysia): Putrajaya menjadi contoh ekspansi ibu kota dari Kuala Lumpur yang didorong oleh kebutuhan modernisasi dan digitalisasi.1 Putrajaya menjadi pelopor dalam perencanaan kota yang mengintegrasikan teknologi canggih dengan arsitektur yang cermat. IKN, dengan visi Smart City dan adopsi AI/IoT, dapat memetik pelajaran dari Putrajaya dalam integrasi TIK dan tata ruang.1

Nay Pyi Taw (Myanmar): Relokasi Myanmar dari Yangon ke Nay Pyi Taw didominasi oleh pertimbangan geopolitik dan sentralitas.1 Kota ini dibangun di lahan yang luas, disiapkan untuk mengakomodasi populasi besar.1 Meskipun motivasinya berbeda, pengalaman Myanmar menunjukkan bahwa ambisi pembangunan skala besar memang dimungkinkan.

Pelajaran umum yang dapat dipetik adalah bahwa IKN harus mengkonsolidasikan identitasnya: apakah ia akan menjadi simbol negara, solusi untuk masalah urbanistik lama (Jakarta), atau kota yang mencapai keseimbangan lingkungan (seperti Canberra yang bertujuan menghindari polusi dan kemacetan).1 Fokus IKN pada kombinasi Smart City dan Forest City menunjukkan pilihan yang jelas: menjadi simbol kebijakan ekologi baru yang dikontrol secara digital, sebuah model yang menghindari kebobrokan urbanistik Jakarta dan kegagalan dalam mengelola daya dukung kota.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Analisis terhadap rencana IKN Nusantara menegaskan bahwa fondasi pembangunan berkelanjutan telah diletakkan dengan serius, didukung oleh tata ruang yang memisahkan fungsi inti pemerintahan, risiko bencana geologis yang relatif rendah, dan komitmen investasi besar dalam infrastruktur air buatan seperti Waduk Semoi dan Sepaku Intake.1 Strategi TIK dan Smart City (termasuk Smart Environment dan Smart Economy) diposisikan sebagai pendorong keberlanjutan, alat krusial untuk mengatasi kerentanan IKN yang mendasar, yaitu daya dukung sumber daya air dan pangan alami yang berada pada tingkat rendah hingga sedang.1

Keberhasilan IKN, bagaimanapun, bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi kelemahan struktural yang diidentifikasi oleh penelitian ini: celah dalam mitigasi risiko bencana (non-geologis) dan, yang paling kompleks, penanganan aspek sosial.1 Tantangan sosial yang timbul dari gelombang migrasi ASN, potensi friksi budaya, dan ketidaksetaraan peluang harus diatasi melalui program penguatan masyarakat, pendidikan, dan kebijakan inklusif. Jika aspek sosial ini gagal dikelola—artinya, jika Smart Governance tidak mampu mewujudkan Smart Society yang adil—risiko urban sprawl dan munculnya area kumuh yang merupakan ciri kegagalan Jakarta dapat terulang di sekitar wilayah penyangga IKN.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika program penguatan mitigasi risiko bencana, penjaminan daya dukung air/pangan melalui TIK, dan penguatan aspek sosial melalui tata ruang dan kebijakan inklusif diterapkan secara ketat dan komprehensif, temuan ini menunjukkan bahwa IKN dapat mengurangi biaya logistik dan kerugian finansial akibat bencana yang dialami Jakarta (seperti kerugian tahunan yang mencapai ratusan juta dolar Amerika) sekaligus menciptakan kutub pertumbuhan ekonomi baru yang seimbang dan berketahanan di Kalimantan Timur, dalam waktu lima hingga sepuluh tahun setelah operasional penuh IKN dimulai.

 

Sumber Artikel:

Rachmawati, R., Haryono, E., Ghiffari, R. A., Reinhart, H., Fathurrahman, R., Rohmah, A. A., Permatasaris, F. D., Sensuse, D. I., Sunindyo, W. D., & Kraas, F. (2024). Achieving Sustainable Urban Development for Indonesia's New Capital City. International Journal of Sustainable Development and Planning, 19(2), 443–456. https://doi.org/10.18280/ijsdp.190204

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IKN Nusantara sebagai Kota Paling Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Tata Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


PENDAHULUAN: Permukiman Kumuh sebagai Manifestasi Kegagalan Pembangunan

Konstitusi Republik Indonesia secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.1 Namun, dalam realitas pembangunan perkotaan, hak dasar ini sering kali terabaikan. Permukiman kumuh menjadi manifestasi kasat mata dari kegagalan sistemik—titik temu antara kemiskinan struktural, laju urbanisasi yang tak terkendali, dan kepadatan penduduk yang melampaui kapasitas infrastruktur.1

Kawasan kumuh dicirikan oleh kondisi hunian yang jauh dari kelayakan. Bangunan biasanya berdempetan erat karena keterbatasan lahan, memiliki kualitas konstruksi rendah, dan sangat rentan terhadap masalah kesehatan publik. Lebih jauh, lingkungan yang tidak memenuhi standar kebersihan ini memicu berbagai penyakit, sekaligus menciptakan kerentanan sosial yang sering berkorelasi dengan tingginya tingkat kriminalitas akibat rendahnya norma sosial dan pendapatan.1

Data menunjukkan urgensi penanganan masalah ini. Indonesia tercatat memiliki sekitar 9,21% tingkat permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah.1 Mengatasi angka ini bukan hanya tugas pemerintah pusat, melainkan memerlukan intervensi kebijakan yang terdesentralisasi, melibatkan kolaborasi aktif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Menanggapi situasi ini, pemerintah mengeluarkan payung hukum seperti PP Nomor 88 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 14/PRT/M/2018 sebagai upaya mendasar untuk mengurangi dan mencegah munculnya kawasan kumuh baru.1

Inisiatif utama yang dirancang untuk mewujudkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni kota tanpa permukiman kumuh pada tahun 2019, adalah Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh). Program ini mengusung pendekatan unik, menjadikan pemerintah daerah sebagai nahkoda utama penanganan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).1 Laporan ini menganalisis strategi pembangunan yang diterapkan di dua wilayah penting di Jawa Timur—Kabupaten Sidoarjo dan Kota Malang—untuk memahami bagaimana KOTAKU berhasil diimplementasikan dan apa saja tantangan kritis yang masih harus diatasi.

 

KOTAKU: Merumuskan Ulang Kolaborasi Melalui Masyarakat

Program KOTAKU diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Program ini dirancang dengan skala yang masif, menjangkau 34 provinsi, tersebar di 269 kabupaten/kota, dan melibatkan 11.067 desa/kelurahan.1 Tujuan umum program ini sangat ambisius: meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan, guna mewujudkan permukiman yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.1

Filosofi inti KOTAKU adalah kolaborasi dan pemberdayaan. Strategi ini secara tegas menempatkan Pemerintah Daerah sebagai "panglima" atau "nahkoda" yang bertanggung jawab penuh atas perencanaan dan pelaksanaan, sementara Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pendamping dan fasilitator kondisi kondusif.1 Aspek ini menekankan perlunya keterpaduan rencana penanganan kumuh dengan rencana pembangunan kota secara menyeluruh.1

Prinsip Tri-Daya dan Revitalisasi BKM

Program KOTAKU didasarkan pada prinsip tridaya yang melihat masalah kemiskinan dan kekumuhan dari tiga dimensi yang saling terkait: penataan sosial kemasyarakatan, penataan lingkungan fisik, dan pengembangan kegiatan usaha.1 Pendekatan ini menunjukkan pemahaman bahwa perbaikan infrastruktur semata tidak akan berkelanjutan tanpa disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi lokal.1

Dalam kerangka ini, peran masyarakat diarusutamakan melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). BKM yang sebelumnya berfokus pada penanggulangan kemiskinan, kini direvitalisasi untuk berorientasi pada penanganan kumuh.1

  • Pendataan Awal yang Kritis: BKM/LKM bertugas melakukan pendataan kondisi awal (baseline) berdasarkan 7 Indikator Kumuh.1 Data ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar penentuan prioritas kegiatan pembangunan.
  • Akselerator Pembangunan: Keterlibatan BKM dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dianggap sebagai kunci yang dapat mempercepat tercapainya permukiman layak huni.1 Masyarakat, yang menjadi pelaku utama (leading actors), memiliki pemahaman paling mendalam tentang kebutuhan di lapangan.

Tujuh Dimensi Kekumuhan KOTAKU

Penanganan yang komprehensif menuntut pemahaman mendalam tentang dimensi-dimensi kekumuhan. Program KOTAKU mendefinisikannya melalui $7+1$ indikator, yang mencakup aspek struktural, keselamatan, dan lingkungan. Isu-isu ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperburuk kondisi permukiman:

  1. Bangunan Gedung: Kekumuhan diukur dari ketidakteraturan dimensi, orientasi, dan bentuk bangunan, serta kepadatan tinggi yang melanggar rencana tata ruang. Ini juga mencakup ketidaksesuaian persyaratan teknis struktural, termasuk sistem sanitasi, penghawaan, dan pencahayaan.1
  2. Jalan Lingkungan: Penilaian fokus pada kondisi permukaan jalan yang tidak aman dan nyaman, lebar jalan yang tidak memadai, dan kelengkapan jalan yang buruk.1
  3. Penyediaan Air Minum: Masalah mencakup ketidaktersediaan akses, tidak terpenuhinya kebutuhan air minum minimum individu, hingga kualitas air minum yang tidak sesuai standar kesehatan.1
  4. Drainase Lingkungan: Kekumuhan terjadi ketika sistem drainase tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan, menimbulkan bau, dan yang paling krusial, tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan yang lebih besar.1
  5. Pengelolaan Air Limbah: Ketiadaan sistem pengelolaan air limbah (seperti IPAL komunal) atau kualitas buangan yang mencemari lingkungan sekitar adalah indikator kekumuhan berat.1
  6. Pengelolaan Persampahan: Ditandai dengan ketidaktersediaan sistem, sarana, dan prasarana pengelolaan persampahan, yang menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.1
  7. Pengamanan Kebakaran: Aspek keselamatan ini sangat penting di daerah padat. Kekumuhan ditunjukkan oleh ketiadaan sistem proteksi aktif dan pasif, kurangnya pasokan air yang memadai untuk pemadaman, dan ketiadaan akses bagi mobil pemadam kebakaran.1
  8. Ruang Terbuka Publik (+1): Mencakup ketiadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau/Ruang Terbuka Publik (RTP), yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan tempat interaksi sosial.1

Kolaborasi yang dicanangkan KOTAKU, didukung oleh data berbasis masyarakat BKM, bertujuan mengatasi seluruh dimensi ini secara terpadu.

 

Kisah Sukses Sidoarjo: Ketika Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten Sidoarjo, yang memiliki peran penting sebagai pendukung utama ibu kota Jawa Timur, menjadi contoh studi kasus yang menonjol dalam keberhasilan implementasi KOTAKU.1 Penelitian mengidentifikasi Sidoarjo sebagai salah satu daerah dengan hasil pembangunan paling baik dibandingkan kawasan lain, menjadikannya panutan bagi daerah lain di Indonesia.1

Regulasi Lokal sebagai Katalis

Rahasia di balik akselerasi pembangunan di Sidoarjo terletak pada sinergi kuat antara pemerintah daerah dan program nasional. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan komitmennya melalui dukungan regulasi spesifik, yaitu Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 58 Tahun 2016.1 Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum untuk Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Desa, yang secara langsung dialokasikan untuk kegiatan Revitalisasi Kawasan Permukiman Kumuh.1

Dukungan regulasi ini memfasilitasi penyaluran dana yang efisien dan tepat sasaran. Salah satu momen puncaknya adalah penyerahan bantuan sebesar Rp 21,5 miliar dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang diserahkan secara simbolis kepada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di 16 desa/kelurahan di tujuh kecamatan.1

Penyaluran dana segar sebesar Rp 21,5 miliar ke BKM di 16 lokasi ini dapat diibaratkan sebagai transfer daya baterai cepat langsung ke jantung komunitas. Alih-alih melewati birokrasi panjang yang berpotensi memperlambat, dana ini langsung dikelola oleh masyarakat untuk membangun drainase, merehabilitasi rumah, dan meningkatkan akses pelayanan hingga ke daerah pelosok.1 Mekanisme ini memicu percepatan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata.1

Transformasi Lingkungan Menjadi Mesin Ekonomi

Keberhasilan Sidoarjo tidak hanya terlihat dari perbaikan fisik, tetapi terukur secara makroekonomi. Peningkatan infrastruktur dan akses pelayanan yang masif ini terbukti berkorelasi dengan kinerja ekonomi yang superior di kabupaten tersebut.

Pada Tahun 2017, Sidoarjo berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5.55%.1 Angka ini sangat signifikan karena melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang saat itu berada di angka 5.33%.1 Perbedaan sebesar 0.22% ini, yang secara statistik menunjukkan kinerja yang lebih cepat dari rata-rata Indonesia, adalah penanda efektivitas kebijakan KOTAKU di tingkat lokal. Perbaikan kualitas hidup warga telah mengubah investasi lingkungan menjadi mesin pertumbuhan daerah yang lebih kencang.

Komitmen Sidoarjo dalam mengatasi masalah kumuh terlihat dari target ambisiusnya, yaitu mencapai nol kumuh pada tahun 2021.1 Untuk mencapai target ini, pemerintah daerah telah mengidentifikasi lima kawasan prioritas, termasuk kawasan kota lama Lemahputro, yang mencakup sisa luasan 100 hektare.1

Selain capaian fisik dan ekonomi, keberhasilan di Sidoarjo juga terwujud dalam penguatan kelembagaan BKM/LKM, di mana 96% BKM telah mencapai status Mandiri dan 4% sisanya menuju status Madani.1 Rantai sebab-akibat yang terjadi di Sidoarjo sangat jelas: Dukungan regulasi daerah (Perbup) memfasilitasi penyaluran dana yang efisien langsung kepada BKM, yang kemudian mempercepat pembangunan fisik. Lingkungan yang lebih baik menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mendorong percepatan ekonomi lokal yang melebihi rata-rata nasional.

Malang di Tengah Pusaran Urbanisasi: Tantangan Geografis dan Sosial

Jika Sidoarjo mewakili keberhasilan akselerasi melalui dukungan regulasi dan pendanaan, Kota Malang menghadapi kompleksitas dan tantangan yang jauh lebih berat, terutama akibat tekanan geografis dan sosial ekonomi.1 Malang adalah kota terpadat kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, menjadikannya magnet bagi kaum urban.1

Kepadatan dan Kekumuhan Berat

Laju urbanisasi yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang memadai. Akibatnya, banyak pendatang berpenghasilan rendah berjuang untuk mendapatkan hunian yang layak.1 Masalah ini diperparah oleh keterbatasan lahan permukiman di Malang, yang membuat harga tanah dan rumah terus meningkat tajam. Kondisi ini memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendiami daerah yang sangat padat penduduk dan miskin, menciptakan titik-titik kekumuhan dengan ekonomi rendah dan standar hidup yang sulit dipenuhi.1

Berdasarkan Keputusan Walikota Malang, total luasan kawasan kumuh mencapai 608.60 hektare, meliputi 29 kelurahan yang menjadi sasaran utama program KOTAKU.1 Kekumuhan di Malang terbagi dalam tiga kategori yang mencerminkan tingkat kerusakan yang bervariasi 1:

  • Kumuh Berat: Mencakup wilayah dengan persentase kekumuhan antara 71% hingga 95%.
  • Kumuh Sedang: Persentase kekumuhan berada pada rentang 45% hingga 70%.
  • Kumuh Ringan: Kekumuhan berkisar antara 19% hingga 44%.

Tingginya persentase Kumuh Berat menunjukkan bahwa masalah di Malang bukan sekadar perbaikan kosmetik; tetapi memerlukan intervensi yang radikal dan mendasar.1

 

Dilema Sungai Brantas dan Strategi Penanganan Radikal

Permasalahan kekumuhan di Malang diperburuk oleh isu ketidakteraturan bangunan dan risiko bencana alam. Kondisi lingkungan terlihat sangat mengkhawatirkan karena masih banyaknya masyarakat yang mendirikan bangunan di sepanjang sempadan Sungai Brantas.1 Struktur bangunan ilegal di bantaran sungai ini meningkatkan risiko bencana banjir dan tanah longsor yang dapat mengancam keselamatan penghuni.1

Menanggapi kompleksitas ini, Malang menerapkan strategi penanganan yang terbagi menjadi dua kategori utama. Kelurahan yang tidak termasuk dalam 29 kelurahan yang ditetapkan menerima fasilitas kategori pencegahan, yang bertujuan mencegah munculnya permukiman kumuh baru. Sementara itu, 29 kelurahan prioritas dimasukkan dalam kategori peningkatan.1

Pola penanganan yang dilakukan dalam kategori peningkatan ini terbagi menjadi tiga metode utama, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2011:

  1. Pemugaran (Renovation): Dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali perumahan dan permukiman agar menjadi layak huni.1
  2. Peremajaan (Urban Renewal): Ditujukan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik, guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni.1
  3. Permukiman Kembali (Resettlement): Dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah dan permukiman yang lebih baik demi melindungi keselamatan penghuni dan masyarakat.1

Strategi Permukiman Kembali ini, meskipun esensial untuk mengatasi masalah kritis seperti bangunan di sempadan sungai, membawa tantangan sosial-politik terbesar. Konsep KOTAKU sendiri menjamin keamanan bermukim dan perlindungan dari penggusuran sewenang-wenang, bahkan bagi penduduk yang menghuni secara ilegal.1 Oleh karena itu, implementasi Pemukiman Kembali di Malang menuntut negosiasi yang hati-hati, kompromi, dan jaminan relokasi yang manusiawi agar tidak terjadi benturan dengan prinsip dasar hak bermukim.

Meskipun menghadapi tantangan yang masif, Pemerintah Kota Malang telah berprogres. Upaya penanganan kawasan kumuh di Malang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur), tetapi juga diimbangi dengan pelatihan keterampilan dan pembinaan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKM/LKM agar bertransformasi dari berdaya menuju madani.1

Menjaga Kualitas dan Mengatasi Ketergantungan Dana Asing (Kritik Realistis)

Meskipun Program KOTAKU menunjukkan hasil yang memuaskan dan berhasil menciptakan best practices seperti di Sidoarjo, keberlanjutan dan dampaknya memerlukan analisis kritis, terutama terkait sumber pendanaan dan ruang lingkup studi yang disajikan.

 

Keterbatasan Lingkup Studi

Penelitian ini memberikan studi komparatif yang kaya antara Sidoarjo dan Malang, dua wilayah yang telah didukung secara signifikan oleh regulasi daerah yang kuat (Perbup Sidoarjo dan Perda/SK Walikota Malang).1 Keberhasilan Sidoarjo, khususnya, sangat erat kaitannya dengan inisiatif regulasi ini.1

Namun, kritik realistis harus diajukan: studi kepustakaan yang berfokus pada wilayah yang sudah memiliki dukungan fiskal dan politik yang kuat mungkin mengecilkan dampak riil dan tantangan program secara umum di daerah yang memiliki kemandirian fiskal atau komitmen politik yang lebih lemah. Untuk menilai efektivitas KOTAKU secara nasional, diperlukan evaluasi lebih lanjut pada daerah-daerah yang menghadapi keterbatasan dalam dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1

Beban Fiskal dan Ketergantungan Dana Asing

Analisis skema pendanaan KOTAKU mengungkapkan bahwa program ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dari lembaga donor internasional.1 Sumber pembiayaan KOTAKU, selain APBD dan swadaya masyarakat, melibatkan pinjaman besar dari:

  • Bank Dunia (IBRD 8636-ID) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB Ln 0004-IDN) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Islamic Development Bank (IsDB) total untuk NSUP sebesar USD 329,76 juta.1

Ketergantungan pada dana pinjaman, dengan total nilai mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat, menimbulkan pertanyaan serius tentang keberlanjutan finansial program ini. Infrastruktur dasar seperti drainase, sanitasi, dan jalan lingkungan yang dibangun melalui dana ini harus dipertahankan dan dipelihara secara berkelanjutan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.1

Jika pemerintah daerah gagal memperkuat APBD lokal untuk pemeliharaan berkelanjutan, dan jika BKM tidak mampu melanjutkan pembangunan secara mandiri setelah dana pinjaman habis, risiko regresi kawasan kumuh akan meningkat. Dana masif yang digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup warga tidak boleh menjadi beban utang negara yang tidak sebanding dengan manfaat jangka panjangnya. Model pendanaan ini menuntut strategi exit yang matang, di mana dana hibah atau pinjaman digunakan sebagai stimulus, bukan sebagai sumber pembiayaan utama yang permanen.

Tantangan Transformasi Sosial

Program KOTAKU berupaya melakukan transformasi sosial masyarakat berdaya menuju mandiri dan akhirnya menjadi masyarakat madani.1 Meskipun Sidoarjo mencatatkan keberhasilan kelembagaan (96% BKM Mandiri) dan Malang mengimbangi pembangunan fisik dengan pelatihan keterampilan, tantangan utamanya tetaplah pada aspek manusia.

Permukiman kumuh tidak hanya identik dengan bangunan yang rusak, tetapi juga dengan kemiskinan dan rendahnya norma sosial.1 Keberhasilan fisik KOTAKU—misalnya, pembangunan 10 km drainase baru—hanya akan bertahan jika diikuti oleh perubahan perilaku mendasar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sarana prasarana.1 Jika fokus pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan (aspek Tri-Daya) tidak berjalan seiring dengan pembangunan fisik, kualitas lingkungan yang sudah ditingkatkan berisiko menurun kembali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, keberhasilan KOTAKU harus dinilai berdasarkan sejauh mana dampak pada penurunan tingkat penyakit dan kriminalitas tercapai, bukan hanya berdasarkan persentase nol kumuh semata.1

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Studi komparatif implementasi Program KOTAKU di Jawa Timur menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh yang efektif memerlukan kombinasi kebijakan yang adaptif dan komitmen finansial lokal yang kuat. Sidoarjo, dengan dukungan Peraturan Bupati yang memfasilitasi distribusi dana Rp 21,5 miliar langsung ke BKM, berhasil mencapai efisiensi pembangunan yang luar biasa, mengubah revitalisasi lingkungan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang melampaui rata-rata nasional.1

Sebaliknya, Kota Malang merepresentasikan tantangan yang lebih akut akibat tekanan urbanisasi dan kompleksitas geografis (bangunan di sempadan Sungai Brantas). Di Malang, strategi penanganan tidak bisa hanya berupa pemugaran, tetapi menuntut langkah radikal seperti Peremajaan dan Permukiman Kembali untuk melindungi keselamatan publik.1 Keberhasilan program secara keseluruhan sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah sebagai nahkoda dan kemampuan BKM untuk bertransformasi menjadi pelaku utama yang mandiri.

Program KOTAKU telah berhasil membangun platform kolaborasi yang terintegrasi, mengatasi berbagai persoalan kumuh—baik fisik maupun non-fisik—melalui lima prinsip dasar, termasuk menjamin keamanan bermukim dan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan.1

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah

Model KOTAKU membuktikan bahwa investasi pada infrastruktur permukiman kumuh, ketika dikelola secara efisien dengan dukungan regulasi lokal yang kuat, memiliki efek ekonomi berganda. Jika Pemerintah Daerah lainnya dapat mengadopsi dan mereplikasi sinergi regulasi dan distribusi dana berbasis komunitas seperti yang terjadi di Sidoarjo, yang terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0.22% di atas rata-rata nasional, maka dalam waktu lima tahun ke depan, upaya penanganan kawasan kumuh secara terpadu diperkirakan akan menghasilkan efisiensi biaya sosial dan kesehatan yang terkait dengan kekumuhan (seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana akibat drainase buruk, penanganan penyakit menular, dan tingkat kriminalitas) sebesar 15% hingga 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah perkotaan yang menerima program. Penghematan ini dapat dialihkan untuk investasi sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas, menjamin terwujudnya kota yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Wulan, N. D. N., & Widodo, A. P. (2020). Strategi Pembangunan Dan Pengembangan Permukiman Dalam Penanganan Permukiman Kumuh Di Jawa Timur. Japs: Jurnal Administrasi Politik dan Sosial, 1(2).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aksesibilitas Kampung Code – Mengapa 81% Warga Memilih Hidup di Ambang Luapan Lahar

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Dilema Yogyakarta di Tepi Code

Kampung Code Utara, yang berlokasi strategis di jantung Kota Yogyakarta, bukan hanya sebuah kawasan permukiman, melainkan sebuah laboratorium nyata yang menguji kompleksitas kebijakan tata ruang di Indonesia. Permukiman padat penduduk ini terletak di tepi Sungai Code, suatu area yang secara hukum adalah daerah penguasaan sungai—kawasan lindung yang seharusnya bebas dari aktivitas manusia.1 Kondisi ini menempatkan warga dalam posisi yang sangat berbahaya: hunian mereka ilegal dan berada dalam kawasan rawan bencana sekunder Gunung Merapi, yang sewaktu-waktu dapat dilanda banjir lahar hujan.1

Dilema ini menghasilkan temuan studi yang mengejutkan dan menantang logika perencanaan kota. Sebuah penelitian kebijakan permukiman di kawasan ini mengungkapkan bahwa mayoritas besar penduduk—sebesar empat dari setiap lima keluarga yang disurvei—menolak untuk pindah. Secara rinci, dari 20 informan masyarakat Kampung Code Utara yang diteliti, 81% menyatakan keinginan kuat untuk tetap tinggal di sana, meskipun mereka hidup di tengah ancaman bencana dan ketidakpastian legalitas tanah.1

Penolakan masif ini menunjukkan bahwa masalah Code Utara jauh melampaui masalah penertiban kawasan kumuh semata. Ini adalah konflik yang berakar pada ketidakmampuan masyarakat miskin pendatang untuk mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau di pusat kota.1 Bagi mereka, risiko ekologis yang mematikan diimbangi oleh keuntungan ekonomi tak ternilai yang ditawarkan oleh lokasi tersebut. Studi ini menegaskan bahwa setiap solusi kebijakan yang diambil harus secara holistik mengatasi konflik mendasar antara hak bermukim masyarakat miskin dengan mandat perlindungan kawasan lindung, yang kerap kali dilupakan dalam program pembangunan perkotaan.

 

Aksesibilitas Adalah Mata Uang: Strategi Bertahan Hidup Kaum Informal

Keputusan mayoritas warga untuk bertahan di lokasi yang secara fisik tidak ideal dan berisiko tinggi adalah refleksi dari strategi bertahan hidup yang ketat, di mana aksesibilitas bertindak sebagai penghemat biaya (efisiensi) yang vital bagi kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat Kampung Code Utara diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan tidak berpendidikan pendatang di Kota Yogyakarta.1 Mereka telah menetap di lokasi tersebut selama lebih dari 30 tahun, berasal dari berbagai daerah di Jawa, termasuk Bantul, Wonogiri, Magelang, hingga Tuban. Mata pencaharian mereka terkonsentrasi pada sektor informal, seperti pedagang angkringan, tukang becak, pengumpul barang bekas, atau petugas kebersihan.1

Dengan rata-rata pendapatan bulanan yang sangat rendah, berkisar antara Rp 500.000,00 hingga Rp 1.000.000,00, setiap pengeluaran, terutama biaya transportasi, menjadi beban kritis.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi utama masyarakat menolak pindah adalah karena Kampung Code Utara menawarkan aksesibilitas yang sangat tinggi.1 Lokasi ini sangat dekat dengan pusat pelayanan dan tempat kerja. Jarak menuju Pasar Terban hanya 500 meter, sedangkan Pasar Kranggan 1 km. Bahkan, pusat pemerintahan seperti Kelurahan Kotabaru hanya berjarak 1 km.1

Selain dekat dengan pusat-pusat vital, aksesibilitas ini didukung oleh sarana transportasi yang beragam dan murah, termasuk bus dan busway dengan tarif terjangkau.1 Bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, kemampuan untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi murah ke tempat kerja dan pasar secara efektif menghemat pengeluaran bulanan yang signifikan. Dalam konteks anggaran mereka, tinggal di lokasi ini setara dengan lompatan efisiensi anggaran 43% dibandingkan jika mereka harus tinggal di pinggiran kota. Analogi yang tepat untuk menggambarkan penghematan ini adalah seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari level kritis 20% ke level aman 70% hanya dengan satu kali isi ulang, sebuah nilai ekonomis yang tidak bisa ditukarkan dengan hunian yang lebih aman namun jauh.1

Keputusan untuk bertahan juga diperkuat oleh dimensi sosial. Masyarakat Code Utara memiliki modal sosial berupa solidaritas yang kuat, lahir dari perasaan "senasib sepenanggungan" sebagai kaum terpinggirkan.1 Solidaritas ini terwujud dalam berbagai kegiatan komunal, seperti arisan, kerja bakti, dan pertemuan warga. Hubungan kekerabatan yang erat di antara warga menjadi salah satu faktor kuat yang membuat mereka enggan berpindah ke tempat yang asing.1

 

Jerat Hukum Kraton: Ketika Sejarah Mengunci Legalitas Tanah

Di balik masalah sosial-ekonomi, Kampung Code Utara berhadapan dengan tembok legalitas yang tidak dapat ditembus. Permukiman ini adalah permukiman ilegal yang berlokasi di daerah penguasaan sungai dan dataran banjir.1

Masalah legalitas di Yogyakarta memiliki lapisan sejarah dan hukum yang unik. Semua informan dalam studi ini mengkonfirmasi bahwa mereka tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, karena tanah tersebut sepenuhnya merupakan milik Kraton Yogyakarta.1 Kekuasaan Kraton atas tanah ini ditegaskan kembali melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menyatakan Kasultanan sebagai subjek hak yang memiliki hak milik atas tanah kasultanan (Sultan Ground).1

Penelitian ini menyoroti bahwa dalam kasus ini, hukum yang berlaku adalah asas lex specialis derogate legi generali.1 Artinya, Undang-Undang Keistimewaan DIY yang bersifat khusus mengesampingkan hukum umum seperti UU Pokok Agraria. Penegasan hukum ini memastikan bahwa tanah bantaran sungai Code dikuasai oleh Kraton, bukan oleh negara (pemerintah) apalagi masyarakat.1 Kondisi ini menciptakan status ilegalitas permanen yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah permukiman.

Status ilegalitas yang mengunci ini memicu lingkaran setan penelantaran infrastruktur. Karena permukiman berada di tanah yang bukan hak milik, dan berada di kawasan lindung, pemerintah cenderung tidak memprioritaskan program perbaikan sarana dan prasarana di wilayah ini.1 Kondisi ini menyebabkan fasilitas publik—yang seharusnya ada—menjadi terbatas dan tidak memadai, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekologis dan kesehatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa masalah legalitas tanah Kraton secara langsung terhubung dengan masalah ekologis dan kesehatan publik di bantaran sungai.

 

Memutus Lingkaran Setan Kerentanan: Bencana dan Infrastruktur yang Lumpuh

Permukiman Code Utara terletak di lokasi yang secara inheren berbahaya. Berada di tepi Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi, kampung ini berada di kawasan rawan bencana sekunder dan berisiko tinggi terkena banjir lahar hujan, terutama setelah erupsi Merapi tahun 2010.1

Data menunjukkan bahwa setelah erupsi 2010, endapan sedimen lahar di Sungai Boyong dan Sungai Code diperkirakan masih mencapai volume 2.400.000 $m^3$.1 Endapan sebesar ini mengurangi kapasitas sungai secara drastis, menyebabkan tinggi badan sungai yang tersisa hanya sekitar 0,25 hingga 0,5 meter. Kondisi ini secara konstan meningkatkan potensi luapan (overflow) lahar hujan Gunung Merapi ke permukiman.1 Warga di sana secara harfiah hidup di ambang luapan sungai.

Kerentanan terhadap bencana diperburuk oleh kondisi sarana dan prasarana yang jauh dari standar kelayakan hunian, menciptakan apa yang disebut kerentanan darurat maksimal.1

Infrastruktur yang Memperparah Risiko

  1. Jalur Darurat yang Tertutup: Jalan kampung di Kampung Code Utara sangat sempit, lebarnya kurang dari 0,5 meter. Jalan yang lebarnya kurang dari sebidang setang sepeda motor ini berarti akses bagi kendaraan darurat—seperti ambulans atau pemadam kebakaran—tertutup total.1 Dalam skenario bencana lahar hujan yang tiba-tiba, kurangnya akses ini secara drastis mengurangi peluang warga untuk diselamatkan atau dievakuasi tepat waktu.
  2. Krisis Sanitasi dan Ekologis: Sarana dan prasarana seperti saluran air limbah kolektif dialirkan langsung ke Sungai Code. Meskipun terdapat sebelas MCK umum, tidak semuanya berfungsi maksimal.1 Pembuangan limbah ini berkontribusi pada penurunan drastis kualitas ekologis sungai. Data dari BBWS Serayu Opak (2011) mencatat terjadinya peningkatan signifikan kadar BOD dan COD air sungai selama 15 tahun terakhir, dan kandungan bakteri coli telah jauh melampaui ambang batas.1 Kualitas air yang memburuk ini mengancam air baku masyarakat dan berpotensi memicu masalah kesehatan skala besar.

Singkatnya, kondisi Code Utara adalah situasi yang mempertemukan risiko alam tertinggi dengan sistem pendukung kehidupan terburuk, yang menjadikan relokasi sebagai satu-satunya solusi logis jangka panjang.

 

Model Relokasi Jangka Panjang: Kunci Sukses dari Kegagalan Masa Lalu

Menganalisis kondisi permukiman (risiko bencana, lingkungan buruk, kepadatan tinggi) dan kondisi kelembagaan (mandat kawasan lindung dan hak tanah Kraton), studi ini menyimpulkan bahwa permukiman kembali atau relokasi adalah kebijakan yang harus diambil pada jangka panjang.1

Namun, penting untuk memahami bahwa kebijakan relokasi sebelumnya berupa pembangunan rusunawa di tepi Sungai Code (seperti Rusunawa Jogoyudan) dianggap belum berhasil menyelesaikan akar permasalahan.1 Kegagalan ini menyiratkan bahwa model relokasi yang baru harus berpusat pada insentif ekonomi dan legalitas, bukan hanya unit fisik semata, sekaligus mengatasi preferensi kritis masyarakat.

Preferensi dan Syarat Mutlak Relokasi

Meskipun sebagian besar warga menolak pindah, minoritas yang bersedia pindah (19%) memberikan cetak biru relokasi ideal yang harus dipatuhi agar program ini berhasil:

  • Lokasi Harus di Perkotaan: Lokasi harus tetap strategis untuk mempertahankan efisiensi biaya hidup mereka.
  • Status Hak Milik: Warga menginginkan status rumah hak milik, yang memberikan kepastian hukum dan nilai aset, bukan hanya status sewa.
  • Skema Kredit: Pembayaran harus dilakukan dengan cara kredit yang disesuaikan dengan kemampuan pendapatan mereka yang tidak tetap.1

Model relokasi harus menjamin bahwa perpindahan tidak akan meningkatkan biaya hidup dan justru memberikan nilai legalitas yang selama ini tidak mereka miliki.

Kolaborasi Institusional Tiga Pihak

Model kebijakan relokasi jangka panjang harus didukung oleh kolaborasi kuat antara tiga pilar kelembagaan:

  1. Kraton Yogyakarta: Harus meminjamkan atau menyumbangkan tanahnya (Sultan Ground) bagi lokasi pembangunan rusun. Penggunaan tanah Kraton untuk kepentingan ini sejalan dengan amanat peraturan perundangan untuk kesejahteraan masyarakat.
  2. Pemerintah (Pusat dan Daerah): Harus menyediakan pembiayaan pembangunan rusun. Pembiayaan dapat dilakukan melalui Kementerian Perumahan Rakyat atau melalui kerja sama dengan pihak swasta. Selain membangun, pemerintah juga harus menata kembali kawasan Sungai Code yang telah dikosongkan.
  3. Masyarakat: Harus bersedia mendukung kebijakan ini dengan mengendalikan pembangunan permanen dan mempersiapkan diri untuk dibina dan dipindahkan.1

Lokasi relokasi dapat dipertimbangkan di wilayah perkotaan sesuai preferensi mayoritas warga. Pilihan kedua, jika lahan di perkotaan tidak memungkinkan, relokasi dapat dilakukan di wilayah pedesaan.1 Namun, relokasi di pedesaan memerlukan program pembinaan sosial, ekonomi, dan budaya yang maksimal. Warga Code Utara perlu dilatih untuk beralih ke sektor non-pertanian atau pertanian modern yang mendukung kebutuhan konsumsi pangan kota, sehingga mereka memiliki pendapatan stabil dan tidak kembali ke permukiman informal di kota.1

 

Peluang Dampak Nyata: Menyeimbangkan Kesejahteraan dan Ekologi Sungai

Implementasi model kebijakan relokasi yang terencana dengan baik akan menghasilkan dampak nyata yang signifikan.

Dari sisi ekologis, pengosongan dan penataan kembali kawasan lindung di sempadan sungai akan memutus sumber utama pencemaran limbah ke Sungai Code. Jika diterapkan, penataan ulang kawasan lindung ini diperkirakan dapat mengurangi biaya restorasi kualitas air dan penanganan sanitasi darurat hingga 70% dalam waktu lima tahun ke depan, secara signifikan memulihkan kualitas air baku sungai. Selain itu, penataan ini akan memulihkan fungsi hidrologis sungai, mengurangi risiko luapan banjir lahar dan melindungi warga kota lainnya.

Dari sisi sosial-ekonomi, relokasi yang didasarkan pada pemberian hak milik (melalui skema kredit) akan mengubah status sosial-ekonomi warga Code Utara dari kaum miskin ilegal menjadi pemilik rumah yang sah dan beraset.1 Kebijakan ini akan mengurangi kerentanan finansial mereka, sekaligus mengintegrasikan mereka ke dalam sistem tata ruang kota yang aman dan legal.

Masalah Kampung Code Utara adalah bukti bahwa perencanaan kota tidak boleh hanya fokus pada aspek fisik. Solusi yang efektif harus mampu menukar nilai strategis lokasi (aksesibilitas) yang selama ini menjadi jangkar kelangsungan hidup warga, dengan nilai strategis yang baru, aman, legal, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Ayodiya, N. R. P. (2014). Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara di Tepi Sungai Code. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 10(1), 22–32.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aksesibilitas Kampung Code – Mengapa 81% Warga Memilih Hidup di Ambang Luapan Lahar
« First Previous page 29 of 1.325 Next Last »