Air, Ketahanan, dan Masa Depan Sahel
Wilayah G5 Sahel—yang terdiri dari Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger—merupakan salah satu kawasan paling rapuh di dunia, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Laporan “Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel” dari World Bank (2021) hadir di tengah krisis multidimensi: pertumbuhan penduduk pesat, kemiskinan ekstrem, perubahan iklim, konflik agraria, dan migrasi massal. Paper ini mengulas secara mendalam bagaimana keamanan air (water security) menjadi fondasi utama bagi ketahanan ekonomi, sosial, dan stabilitas kawasan, serta menawarkan kerangka baru untuk intervensi regional yang lebih efektif.
Konteks: Mengapa Keamanan Air di Sahel Begitu Mendesak?
Sahel adalah zona transisi antara Sahara dan Afrika sub-Sahara, dengan curah hujan rendah dan variabilitas iklim ekstrem. Populasi kawasan ini diproyeksikan hampir dua kali lipat dari 86 juta menjadi 173 juta pada tahun 2040, dengan 47% penduduk berusia di bawah 15 tahun. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, dan perubahan iklim akan memangkas separuh ketersediaan air per kapita dalam 20 tahun ke depan, mendorong sebagian besar negara G5 Sahel ke status rawan air.
Meskipun secara nasional ketersediaan air tahunan masih mencukupi, disparitas spasial dan temporal menyebabkan sebagian besar penduduk tetap hidup dalam ketidakamanan air. Hanya sebagian kecil populasi yang memiliki akses ke sungai permanen; sisanya sangat bergantung pada hujan musiman yang tidak menentu. Keterbatasan investasi, lemahnya kapasitas institusi, serta distribusi air yang tidak merata memperburuk situasi ini.
Akses Air dan Sanitasi: Tantangan Kesehatan dan Pembangunan
Sekitar 40% penduduk G5 Sahel belum memiliki akses ke air bersih, dan hampir 80% tidak memiliki sanitasi layak. Di Chad, hanya 38,7% penduduk yang memiliki akses air dasar, dan angka sanitasi dasar bahkan di bawah 10%. Di pedesaan, angka ini lebih buruk lagi: hanya 30% rumah tangga di Chad yang memiliki akses air dasar, dan kurang dari 2% memiliki sanitasi dasar. Akibatnya, penyakit diare dan infeksi menjadi penyebab utama kematian anak di bawah lima tahun, dengan tingkat kematian akibat air tidak aman mencapai 101 per 100.000 di Chad—dua kali lipat rata-rata Afrika Sub-Sahara.
Kualitas pelayanan air dan sanitasi yang buruk juga berkontribusi pada polusi, kerusakan lingkungan, dan kerugian ekonomi besar. Di Niger, kerugian ekonomi akibat WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang tidak memadai diperkirakan lebih dari 10% PDB. Di Bamako, limbah tinja dibuang langsung ke Sungai Niger tanpa pengolahan, memperparah polusi dan risiko kesehatan.
Pertanian dan Irigasi: Kunci Ketahanan Pangan dan Tantangan Efisiensi
Sektor pertanian menyerap 51–97% pengambilan air di negara-negara G5 Sahel. Dengan 36 juta hektar lahan pertanian (hanya 10% dari total wilayah), pertanian menyumbang 30–40% PDB nasional dan hingga 80% lapangan kerja di Chad. Namun, hanya 38% potensi irigasi yang telah dikembangkan, dan separuhnya tidak berfungsi optimal. Biaya pembangunan irigasi di Afrika Sub-Sahara sangat tinggi, rata-rata US$11.800 per hektar, dibandingkan US$3.900 di wilayah lain. Banyak petani di Mauritania dan Mali meninggalkan irigasi karena biaya pemeliharaan melebihi keuntungan.
Studi kasus di Mali menunjukkan bahwa rehabilitasi jaringan irigasi dapat menggandakan produktivitas pertanian tanpa perlu ekspansi besar-besaran. Pemerintah Mali, misalnya, meminta dukungan untuk merehabilitasi 34.000 hektar lahan irigasi yang akan langsung menguntungkan lebih dari 120.000 orang. Namun, proyek irigasi besar juga rawan memicu konflik baru jika tidak dikelola secara adil.
Pastoralisme: Pilar Ekonomi yang Terpinggirkan
Sekitar 13% penduduk Afrika Barat adalah pastoral, dengan 87% angkatan kerja di Niger terlibat dalam peternakan. Sektor ini menyumbang 25% PDB G5 Sahel dan 40% PDB pertanian. Namun, jaringan titik air pastoral sangat kurang dan banyak yang rusak, membatasi mobilitas ternak dan meningkatkan risiko overgrazing serta konflik dengan petani. Pertumbuhan lahan pertanian 2,5 kali lipat sejak 1960-an telah mengurangi padang rumput kritis sebesar 13%, sementara populasi ternak meningkat 2,5 kali lipat, memperbesar persaingan lahan dan air.
Air Lintas Batas: Sumber Daya Bersama, Sumber Konflik
Sebagian besar aktivitas ekonomi G5 Sahel bergantung pada sungai lintas negara seperti Niger, Senegal, Volta, dan Chad. Namun, hanya 2% lahan pertanian di basin-basin ini yang diirigasi, jauh di bawah potensi. Pembangunan bendungan, irigasi, dan pengambilan air tanpa koordinasi lintas negara berisiko memicu ketimpangan, kerusakan ekosistem, dan konflik antarnegara.
Potensi energi hidro di kawasan ini juga besar, namun baru 17% yang dikembangkan. Sungai Niger, misalnya, baru memanfaatkan 13% dari kapasitas hidro 15.000 MW-nya. Kerjasama lintas negara sangat penting untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial dari sumber daya air bersama.
Air, Konflik, dan Migrasi: Siklus Rapuh di Sahel
G5 Sahel adalah salah satu kawasan paling rentan konflik di dunia, dengan dua pertiga penduduk tinggal di area berisiko konflik dan lebih dari 3,5 juta orang mengungsi. Ketidakamanan air memperburuk fragilitas ini melalui tiga saluran utama:
- Migrasi lingkungan: Degradasi lahan dan kekurangan air memaksa jutaan orang bermigrasi, meningkatkan tekanan pada komunitas penerima dan memperburuk ketegangan sosial. Contoh: lebih dari 1 juta orang mengungsi di Burkina Faso akibat kekeringan dan konflik.
- Konflik petani-penggembala: Variabilitas air dan lahan memicu konflik baru antara petani dan penggembala, terutama di area transisi dan sepanjang jalur transhumance. Di Mali, konflik antara komunitas Dogon dan Fulani menewaskan 134 orang pada 2019.
- Menurunnya kepercayaan pada negara: Ketidakmampuan negara menyediakan layanan dasar air memperkuat narasi eksklusi, mendorong kelompok rentan ke ekstremisme.
Studi Kasus: Danau Chad dan Delta Niger
Danau Chad, yang menjadi sumber penghidupan bagi 13 juta orang, kini menyusut drastis akibat pengambilan air berlebihan dan perubahan iklim. Migrasi massal dan konflik bersenjata (misal Boko Haram) memperburuk krisis. Delta Niger di Mali juga menghadapi tantangan serupa: pembangunan bendungan dan irigasi di hulu mengurangi banjir musiman, mengancam ekosistem dan penghidupan lebih dari 1 juta orang yang bergantung pada pertanian resesi banjir dan perikanan.
Solusi: Diversifikasi, Kolaborasi, dan Pendekatan Problem-Driven
Paper ini merekomendasikan pergeseran paradigma dari pendekatan normatif (IWRM klasik) ke pendekatan problem-driven (“problemshed”). Artinya, solusi harus disesuaikan dengan skala dan konteks masalah—baik lokal, lintas batas, maupun regional—dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Empat strategi utama:
- Diversifikasi sumber air dan peningkatan kapasitas penyimpanan: Investasi pada sumur, bendungan kecil, recharge akuifer, dan panen air hujan sangat penting untuk meningkatkan ketahanan iklim.
- Rehabilitasi dan efisiensi infrastruktur: Fokus pada perbaikan jaringan irigasi dan titik air pastoral yang ada, alih-alih ekspansi besar-besaran yang mahal dan berisiko konflik.
- Penguatan kelembagaan dan data: Investasi pada sistem informasi, monitoring, dan tata kelola air, termasuk pengelolaan air tanah yang selama ini terabaikan.
- Kolaborasi lintas negara: Penguatan organisasi basin dan kerjasama bilateral, seperti antara Ghana dan Burkina Faso di basin Volta, terbukti efektif dalam mengelola bendungan dan pertukaran data.
Kritik dan Analisis
Kekuatan Laporan
- Analisis holistik: Mengaitkan air dengan pembangunan ekonomi, kesehatan, stabilitas sosial, dan keamanan.
- Studi kasus konkret: Menampilkan contoh nyata di Mali, Chad, Burkina Faso, dan Volta Basin.
- Pendekatan inovatif: Mendorong pergeseran ke problem-driven dan kolaborasi lintas skala.
Tantangan dan Kekurangan
- Implementasi kebijakan: Banyak rekomendasi bagus di atas kertas, namun pelaksanaan di lapangan sering terhambat birokrasi, lemahnya kapasitas, dan fragmentasi institusi.
- Kesenjangan investasi: Sebagian besar proyek masih bersifat nasional dan sektoral, belum cukup regional dan multisektor.
- Kurangnya integrasi air tanah: Pengelolaan air tanah masih minim, padahal potensinya besar untuk ketahanan jangka panjang.
Relevansi Global dan Industri
- Adaptasi perubahan iklim: Sahel menjadi laboratorium penting untuk inovasi adaptasi air di kawasan kering dan rapuh.
- Kolaborasi lintas batas: Model kerjasama basin dan problem-driven dapat diadopsi di kawasan lain yang menghadapi tantangan serupa.
- Investasi swasta dan karbon: Potensi investasi swasta melalui skema offset karbon dan agroforestry mulai berkembang.
Rekomendasi Kebijakan
- Dorong investasi pada diversifikasi sumber air dan penyimpanan skala kecil-menengah.
- Prioritaskan rehabilitasi infrastruktur dan efisiensi, bukan sekadar ekspansi.
- Perkuat sistem data, monitoring, dan tata kelola air tanah.
- Fasilitasi dialog lintas negara dan lintas sektor, dengan pendekatan problem-driven.
- Libatkan komunitas lokal dan kelompok rentan dalam perencanaan dan pelaksanaan.
- Integrasikan air dalam strategi pembangunan regional dan pencegahan konflik.
Kesimpulan: Air sebagai Fondasi Ketahanan dan Perdamaian Sahel
Laporan ini menegaskan bahwa keamanan air bukan sekadar isu teknis, melainkan fondasi utama bagi ketahanan, pertumbuhan ekonomi, dan perdamaian di Sahel. Tanpa reformasi tata kelola, investasi cerdas, dan kolaborasi lintas batas, kawasan ini akan terus terjebak dalam siklus krisis air, kemiskinan, dan konflik. Namun, dengan strategi yang tepat, Sahel dapat bertransformasi menjadi kawasan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel Asli
Strengthening Regional Water Security for Greater Resilience in the G5 Sahel, World Bank, 2021.