K3 Konstruksi

Strategi Efektif Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja melalui Pengadaan, Monitoring, dan Efisiensi Biaya Konstruksi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Konstruksi, Industri Vital dengan Risiko Tinggi

Industri konstruksi di Inggris menyumbang 8% dari PDB, mempekerjakan 10% tenaga kerja nasional, dan menghasilkan £250 miliar per tahun. Namun, ironisnya, sektor ini juga menjadi salah satu yang paling berbahaya, dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Penelitian oleh John P. Cooney menyelidiki hubungan antara strategi pengadaan proyek, monitoring, dan efektivitas biaya terhadap peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja (K3 atau OHS) di industri ini.

Studi ini menyoroti bahwa budaya organisasi kontraktor, keputusan tender, serta pengabaian faktor keselamatan demi efisiensi anggaran berkontribusi terhadap tingginya risiko kecelakaan. Oleh karena itu, pendekatan strategis berbasis regulasi hukum, manajemen risiko, dan insentif ekonomi sangat dibutuhkan.

Isu Utama: Tiga Pilar Penelitian

Penelitian ini mengeksplorasi tiga isu utama yang saling terkait:

  1. Bagaimana proses pengadaan (procurement) memengaruhi K3.
    Pemilihan kontraktor yang tidak mempertimbangkan rekam jejak keselamatan berisiko besar terhadap keseluruhan proyek.
  2. Efektivitas biaya dan prioritas keselamatan.
    Kontraktor sering tergoda memilih penawaran termurah, mengabaikan standar K3 demi mengurangi biaya.
  3. Strategi dan tanggung jawab pemangku kepentingan.
    Siapa yang harus bertanggung jawab jika kecelakaan terjadi? Bagaimana kontrak dan regulasi dapat menekan risiko tersebut?

Metodologi Penelitian: Pendekatan Gabungan

Penulis menggunakan kombinasi kualitatif dan kuantitatif, termasuk:

  • Studi literatur intensif
  • Kuesioner terstruktur untuk pekerja konstruksi dan manajer proyek
  • Analisis SWOT dan penilaian kebijakan legislatif K3 di Inggris

Temuan Kunci: Angka, Fakta, dan Analisis

  1. Faktor Ekonomi & OHS: Biaya Langsung dan Tidak Langsung
    • Kerugian ekonomi akibat penyakit akibat kerja mencapai 23 juta hari kerja hilang (2009/2010).
    • Biaya langsung: asuransi, klaim kerusakan, kompensasi.
    • Biaya tidak langsung: citra perusahaan menurun, moral pekerja rendah, keterlambatan proyek, biaya pelatihan ulang.
  2. Kecelakaan Fatal Masih Tinggi
    • Tahun 2006/2007, terjadi kenaikan 28% kematian kerja, menyumbang 32% dari seluruh kematian akibat kerja nasional di Inggris.
    • Industri konstruksi memiliki tingkat kematian 4x lebih tinggi dibanding sektor lain.
  3. Peran Klien dan Kontraktor dalam Proyek
    • Klien dianggap bertanggung jawab hukum dan moral atas keselamatan di lokasi proyek.
    • Namun, tanggung jawab ini sering dialihkan ke pihak ketiga seperti subkontraktor, menciptakan ketidakjelasan dan risiko hukum.
  4. Masalah Pengadaan & Tender
    • Banyak kontraktor memilih penawaran termurah tanpa meninjau catatan K3 dari penyedia jasa.
    • Studi menyarankan verifikasi budaya keselamatan organisasi sebagai bagian dari evaluasi tender.
  5. Pengaruh Budaya Organisasi & CSR
    • Implementasi K3 dipengaruhi oleh komitmen CSR organisasi terhadap kesehatan karyawan.
    • Perusahaan dengan nilai CSR tinggi lebih konsisten dalam menerapkan sistem manajemen keselamatan.

Studi Kasus: Statistik & Dampak Nyata

  • 1,3 juta orang di Inggris menderita penyakit akibat kerja pada 2009/2010.
  • 8% pekerja konstruksi Inggris adalah migran, menciptakan tantangan komunikasi K3.
  • Beberapa proyek besar menunjukkan bahwa pengawasan yang lemah dalam proses procurement menyebabkan peningkatan insiden kecelakaan.

Dimensi Hukum: Tanggung Jawab Sipil dan Pidana

  • Undang-Undang Health and Safety at Work Act 1974 memberikan beban pembuktian pada perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka telah mengambil semua langkah yang "reasonably practicable".
  • Konsekuensi hukum meliputi denda, tuntutan perdata, dan bahkan penjara jika ditemukan kelalaian fatal.

Kritik dan Analisis Tambahan

Keunikan dari studi ini adalah fokusnya pada procurement sebagai pintu awal keselamatan kerja. Ini pendekatan yang sering luput dalam praktik industri, padahal merupakan titik awal semua perjanjian kerja. Namun, penelitian ini:

  • Belum menguji model di luar Inggris, padahal banyak prinsipnya dapat diaplikasikan secara global.
  • Perlu pendalaman lebih lanjut pada strategi implementasi pasca-tender, bukan hanya tahap seleksi.

Implikasi Strategis untuk Industri Konstruksi Global

Penelitian ini sangat relevan dalam konteks ESG (Environmental, Social & Governance) dan tuntutan transparansi bisnis global. Perusahaan konstruksi yang menyeimbangkan efisiensi biaya dengan standar keselamatan tinggi akan lebih berdaya saing, mendapatkan kepercayaan dari klien dan masyarakat.

Rekomendasi Praktis

  1. Integrasikan evaluasi K3 ke dalam semua tahapan procurement — dari tender hingga monitoring lapangan.
  2. Wajibkan pelatihan keselamatan bagi semua tenaga kerja, termasuk pekerja sementara dan migran.
  3. Bangun sistem audit dan reward berbasis hasil nyata keselamatan.
  4. Kembangkan kesadaran risiko sejak pendidikan vokasi melalui kurikulum K3.
  5. Perkuat regulasi tender dengan syarat kinerja K3 minimum.

Kesimpulan: OHS adalah Investasi, Bukan Biaya

Penelitian ini memperlihatkan bahwa pendekatan strategis terhadap keselamatan kerja—yang mencakup aspek hukum, ekonomi, dan budaya organisasi—dapat secara nyata menurunkan risiko kecelakaan kerja di industri konstruksi. Kesehatan dan keselamatan kerja tidak boleh menjadi korban efisiensi anggaran. Justru, keduanya harus menjadi faktor pertimbangan utama dalam proses pengadaan dan manajemen proyek.

Sumber : Cooney, J. P. (2016). Health and safety in the construction industry: A review of procurement, monitoring, cost effectiveness and strategy. University of Salford.

Selengkapnya
Strategi Efektif Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja melalui Pengadaan, Monitoring, dan Efisiensi Biaya Konstruksi

K3 Konstruksi

Mengungkap Hambatan Adopsi Strategi Ramah Lingkungan di Industri Konstruksi Swedia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Ironi Lingkungan dalam Industri Konstruksi

Industri konstruksi adalah salah satu kontributor terbesar terhadap kerusakan lingkungan global. Menurut UNEP (2016), sektor ini menyumbang sekitar 40% limbah, 30% emisi gas rumah kaca terkait energi, 12% penggunaan air, dan 4% penggunaan energi total dunia. Meski demikian, adopsi strategi ramah lingkungan dalam praktik konstruksi berlangsung sangat lambat.

Penelitian oleh Isaksson dan Linderoth ini menggali mengapa transisi ke arah konstruksi yang lebih berkelanjutan belum berjalan efektif di Swedia, negara yang dikenal progresif dalam kebijakan lingkungannya. Fokus utamanya adalah pada tiga faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan konstruksi: biaya, struktur kelembagaan, dan informasi.

Tujuan dan Metode Penelitian

Studi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Apa faktor paling menentukan yang memengaruhi keputusan adopsi pertimbangan lingkungan dalam industri konstruksi?

Untuk menjawabnya, penulis menggabungkan:

  • 17 wawancara semi-terstruktur dengan pimpinan dan manajer konstruksi.
  • Pengamatan langsung selama 80 jam pada proyek publik senilai €50 juta.
  • Survei kepada 1049 pengambil keputusan, dengan 297 responden aktif.

Metode ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (berbasis kuesioner) dan kualitatif (kasus mendalam), mengikuti kerangka Theory of Planned Behaviour dan Reasoned Action untuk mengukur persepsi perilaku.

Temuan Kunci: Realitas Keputusan Lingkungan di Lapangan

1. Biaya dan Kualitas Masih Dominan

  • Dalam pemilihan bahan dan produk, faktor biaya langsung dan kualitas adalah yang paling menentukan (mean >4,35 dari skala 6).
  • Dampak lingkungan justru berada di peringkat ke-5.
  • Untuk metode produksi, biaya kembali menjadi faktor dominan (mean = 4,97), mengungguli kualitas dan lingkungan.

2. Pertimbangan Lingkungan Dianggap Penting, Tapi Tidak Dominan

  • Responden secara umum mengakui pentingnya lingkungan, tapi tidak menjadikannya prioritas dalam keputusan nyata.
  • Hanya sebagian kecil yang percaya bahwa pertimbangan lingkungan menurunkan biaya (mean = 2,5) atau meningkatkan kualitas.

3. Kurangnya Informasi adalah Hambatan Terbesar

  • Kurangnya pengetahuan dan informasi menjadi hambatan utama dalam mengadopsi pertimbangan lingkungan (mean = 2,91).
  • Ini menunjukkan bahwa meskipun isu lingkungan dikenal, akses terhadap data, pelatihan, dan tools masih sangat kurang.

4. Kondisi Kelembagaan Tidak Mendukung

  • Sistem tender di Swedia masih berbasis harga terendah, bukan nilai jangka panjang.
  • Hal ini membuat kontraktor enggan memasukkan fitur ramah lingkungan yang bisa membuat harga penawaran naik.
  • Kontrak tipe partnering, di mana klien dan kontraktor berbagi keputusan dan insentif, lebih mendukung pendekatan holistik.

Studi Kasus: Proyek Arena Multiaktivitas di Swedia

Studi lapangan dilakukan pada proyek rekonstruksi arena publik senilai €50 juta selama dua tahun. Proyek ini mencakup pembangunan kolam renang, arena olahraga, gym, dan bowling.

Fakta menarik dari lapangan:

  • Mayoritas fokus lingkungan perusahaan masih terbatas pada pengelolaan bahan kimia dan limbah.
  • Perusahaan mendorong pembelian bahan dari luar negeri demi efisiensi biaya, meskipun ini meningkatkan jejak karbon melalui transportasi.
  • Perusahaan memiliki insentif kuat untuk menekan biaya demi menarik investor, menyebabkan aspek keberlanjutan dikesampingkan.

Implikasi dan Analisis Tambahan

  1. Tumpang Tindih Antara Biaya dan Lingkungan
    • Biaya dianggap utama, tapi sebagian besar tidak meyakini bahwa strategi hijau akan menurunkan biaya.
    • Hal ini memperkuat paradoks klasik “profit vs planet”.
  2. Pentingnya Peran Klien dan Kontrak
    • Klien profesional berperan penting dalam mendorong standar lingkungan.
    • Sistem tender yang mempertimbangkan biaya siklus hidup (life-cycle cost) lebih cocok daripada hanya fokus investasi awal.
  3. Lemahnya Demand dari Konsumen
    • Rendahnya pemahaman atau permintaan dari pengguna akhir terhadap bangunan ramah lingkungan menyebabkan kontraktor tidak melihat urgensi dalam berinovasi hijau.

Rekomendasi Strategis

  • Reformasi sistem tender agar mempertimbangkan biaya jangka panjang dan dampak lingkungan, bukan hanya harga awal.
  • Peningkatan kapasitas informasi, termasuk training, data LCA, dan dokumentasi manfaat ekonomi jangka panjang dari desain hijau.
  • Inisiatif dari klien institusional untuk menggunakan sertifikasi lingkungan seperti LEED/BREEAM sebagai standar minimum.
  • Penguatan peran kontrak partnering untuk menciptakan proses kolaboratif dan berbagi risiko dalam desain dan implementasi bangunan hijau.

Kesimpulan: Strategi Hijau Perlu Disokong Sistem dan Informasi

Studi ini mengungkap bahwa meskipun kesadaran lingkungan meningkat, pengambilan keputusan dalam proyek konstruksi tetap dikendalikan oleh logika biaya dan struktur kelembagaan jangka pendek. Kesenjangan antara persepsi dan aksi nyata menciptakan hambatan sistemik dalam transisi menuju konstruksi berkelanjutan.

Informasi yang memadai dan sistem kontrak yang progresif adalah dua pilar penting untuk mengubah arah industri ini. Jika tidak, strategi hijau akan tetap jadi retorika tanpa realisasi.

Sumber : Isaksson, A., & Linderoth, H. (2018). Environmental considerations in the Swedish building and construction industry: the role of costs, institutional setting, and information. Journal of Housing and the Built Environment, 33(4), 615–632.

Selengkapnya
Mengungkap Hambatan Adopsi Strategi Ramah Lingkungan di Industri Konstruksi Swedia

K3 Konstruksi

Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Kenapa K3L Terpadu Kini Jadi Prioritas Industri?

Industri konstruksi menyumbang lebih dari 10% PDB global, namun tetap menjadi salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Setiap tahun, lebih dari 60.000 kematian kerja terjadi di sektor ini, dan konstruksi juga berkontribusi pada hingga 35% kerusakan lingkungan global. Di banyak negara berkembang seperti Ghana, pelaksanaan sistem Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (K3L atau SHE: Safety, Health, and Environment) secara terpisah masih mahal, birokratis, dan kurang efektif.

Penelitian ini hadir untuk mengidentifikasi atribut organisasi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi sistem manajemen K3L terpadu, dengan fokus pada industri konstruksi Ghana. Studi ini menjadi acuan penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa.

Metodologi: Kombinasi Delphi dan Voting AHP

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap:

  1. Kajian literatur sistematis untuk mengidentifikasi atribut awal.
  2. Verifikasi ahli terhadap 27 atribut, kemudian diringkas menjadi 20 atribut inti.
  3. Delphi Tiga Putaran dengan 30+ pakar konstruksi di Ghana.
  4. Voting Analytical Hierarchy Process (VAHP) untuk mengurutkan bobot kepentingan atribut.

Delphi digunakan untuk mencapai konsensus, sementara VAHP digunakan untuk menghitung prioritas global setiap atribut dalam lima kategori utama.

Lima Pilar Atribut Organisasi untuk SHE Terpadu

Penelitian ini mengelompokkan 20 atribut menjadi lima kategori utama, yaitu:

  1. Strategi: visi organisasi, komitmen manajemen puncak, kebijakan SHE.
  2. Orang: kompetensi, peran, pelatihan, keterlibatan karyawan.
  3. Proses: manajemen risiko, kontrol operasional, pengukuran performa.
  4. Sumber Daya: fasilitas fisik & dana untuk implementasi SHE.
  5. Informasi: komunikasi SHE, dokumentasi, dan manajemen pengetahuan.

Hasil Utama: Mana yang Paling Penting?

1. Strategi = Pilar Utama

  • Atribut terpenting secara global adalah “komitmen manajemen puncak terhadap SHE” (23% dari total bobot).
  • Kebijakan SHE menempati urutan kedua tertinggi.
  • Kombinasi keduanya menyumbang lebih dari 60% bobot kategori strategi.

2. Orang = Kekuatan Implementasi

  • Kompetensi staf menjadi atribut ketiga terpenting secara global.
  • Peran & tanggung jawab yang jelas serta pelatihan SHE juga sangat signifikan.
  • Atribut "keterlibatan karyawan" juga masuk dalam 10 besar prioritas.

3. Sumber Daya = Dukungan Operasional

  • Fasilitas fisik menempati urutan keempat global, diikuti oleh sumber daya keuangan.
  • Atribut ini mencerminkan kebutuhan akan teknologi, alat kerja aman, dan investasi dalam sistem digital SHE.

4. Proses & Informasi = Pelengkap Sistem

  • Dalam proses, manajemen risiko SHE adalah yang paling penting.
  • Pengukuran performa dan pengendalian operasional menyusul.
  • Di kategori informasi, komunikasi internal SHE dianggap paling vital dibanding dokumentasi atau pembelajaran organisasi.

Studi Kasus: Ghana Sebagai Cermin Negara Berkembang

  • Ghana menunjukkan tingkat kecelakaan dan kematian tertinggi di antara sektor industri lokal.
  • Implementasi SHE secara terpisah sangat rendah akibat biaya tinggi, kurangnya staf terlatih, dan resistensi terhadap perubahan.
  • Penelitian ini jadi tonggak awal untuk pengembangan kerangka SHE terpadu nasional di Ghana.

Temuan Tambahan: Angka dan Fakta

  • Tujuh atribut teratas (35% dari 20 atribut) mencakup 57,47% bobot total.
  • Sepuluh atribut teratas menyumbang 72,5% dari total bobot global, menunjukkan distribusi yang sangat terkonsentrasi pada faktor-faktor inti.
  • SHE auditing dan investigasi insiden memiliki bobot terendah, mengindikasikan lemahnya fokus pada umpan balik sistemik di banyak organisasi.

Opini & Implikasi Strategis

  1. Tanpa komitmen manajemen, sistem SHE hanya jadi dokumen formalitas.
    Studi ini menggarisbawahi pentingnya leadership visible dalam budaya keselamatan.
  2. Investasi pada pelatihan dan fasilitas bukan pengeluaran, tapi strategi mitigasi risiko.
    Perusahaan yang gagal melatih staf akan membayar lebih mahal akibat kecelakaan dan sanksi hukum.
  3. Keterlibatan karyawan bukan pelengkap, melainkan mesin penggerak suksesnya sistem SHE.
    Standar seperti ISO 45001 dan OSHA juga menekankan pentingnya keterlibatan pekerja dalam perencanaan dan evaluasi SHE.

Rekomendasi Praktis

  • Bangun sistem SHE terintegrasi berbasis lima pilar utama: strategi, proses, orang, sumber daya, dan informasi.
  • Lakukan audit internal kapasitas organisasi berdasarkan 20 atribut yang diidentifikasi.
  • Fokus investasi awal pada manajemen risiko, pelatihan SHE, dan komunikasi internal.
  • Kembangkan kebijakan SHE berbasis visi jangka panjang dan nilai perusahaan.
  • Gunakan pendekatan VAHP atau metode prioritisasi lainnya untuk menyesuaikan alokasi sumber daya dan pelatihan internal.

Kesimpulan: Strategi & SDM adalah Jantung Sistem K3L Terpadu

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan manajemen SHE tidak hanya soal memiliki sistem, tapi soal kesiapan organisasi untuk mengimplementasikannya. Komitmen manajemen puncak, SDM kompeten, kebijakan yang jelas, dan komunikasi yang kuat adalah kunci transformasi SHE yang efektif dan berkelanjutan. Tanpa pemetaan dan penguatan kemampuan organisasi secara sistematis, penerapan SHE terpadu hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.

Sumber : Asah-Kissiedu, M., Manu, P., Booth, C., Mahamadu, A. M., & Agyekum, K. (2021). Integrated Safety, Health And Environmental Management in The Construction Industry: Key Organisational Capability Attributes. Journal of Engineering, Design and Technology. https://doi.org/10.1108/JEDT-08-2021-0436

 

Selengkapnya
Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi

K3 Konstruksi

Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda

Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.

Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.

Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara

Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:

  • 66 kuesioner NOSACQ-50 (Nordic Safety Climate Questionnaire)
  • 12 kuesioner manajer tentang manajemen lingkungan kerja
  • 47 wawancara mendalam dengan pekerja
  • Analisis dilakukan di 6 sekolah berkuda dan 6 kandang pacuan di Swedia Tengah.

Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah

1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja

  • Dimensi ini mencetak skor terendah (mean 2,93), menunjukkan tingginya penerimaan terhadap risiko dan cedera ringan sebagai bagian pekerjaan.
  • Pernyataan seperti “kecelakaan kecil adalah hal biasa” disetujui oleh banyak pekerja, terutama di kandang pacuan.

2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan

  • Sekolah berkuda mencetak skor lebih tinggi pada hampir semua dimensi.
  • Dimensi 5, 6, dan 7 (penolakan risiko, komunikasi keselamatan, dan kepercayaan terhadap sistem) menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0.05), dengan sekolah berkuda lebih unggul.

3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan

  • Manajer kandang pacuan hanya mencetak nilai 2,4 (dari 6) pada komitmen terhadap penilaian risiko.
  • Kontras dengan sekolah berkuda yang mencetak rata-rata 5,2, mengindikasikan pendekatan lebih sistematis.

Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka

Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..

Temuan Tambahan dari Wawancara

A. Normalisasi Cedera

Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.

B. Kurangnya Komunikasi Formal

  • Sekolah berkuda lebih sering mengadakan rapat staf dan pembahasan keselamatan.
  • Kandang pacuan lebih banyak mengandalkan obrolan informal atau aplikasi pesan.

C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis

Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.

Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi

Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:

  • Cedera ringan dianggap normal.
  • Waktu dan efisiensi kerja lebih diprioritaskan daripada perlindungan diri.
  • Sistem formal hanya digunakan saat terjadi insiden besar, bukan untuk pencegahan.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

  1. Edukasi Ulang tentang Cedera Kecil
    • Harus ada perubahan mindset bahwa “kecelakaan kecil” tetaplah indikator sistem yang gagal.
  2. Perkuat Komitmen Manajemen Kandang Pacuan
    • Perlu pelatihan khusus bagi manajer untuk menerapkan manajemen risiko secara proaktif, bukan hanya reaktif.
  3. Tingkatkan Komunikasi Sistemik
    • Buat sistem pelaporan insiden & near-miss yang mudah, bahkan untuk kejadian ringan.
  4. Formalitas dalam Horsemanship
    • Uji coba pendekatan pelatihan sistematis untuk mengajarkan horsemanship secara terstruktur, tanpa mengandalkan "trial and error".

Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.

Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

K3 Konstruksi

Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat

Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).

Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.

Tujuan dan Fokus Program Pengabdian

Program ini dirancang untuk:

  • Meningkatkan pengetahuan dasar tentang K3 kepada tukang bangunan setempat.
  • Menjawab kebingungan pekerja terkait alat pelindung diri (APD) dan tanggung jawab pemberi kerja.
  • Menumbuhkan kesadaran bahwa K3 bukan formalitas, tetapi kebutuhan dasar untuk melindungi nyawa.

Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif

Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:

  • Ceramah terstruktur dengan bantuan infokus.
  • Diskusi terbuka, di mana peserta dapat bertanya langsung.
  • Evaluasi kualitatif melalui wawancara terhadap 10 dari 27 peserta.

Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan

Sebelum Penyuluhan:

  • 0 dari 10 responden mengetahui apa itu K3.
  • 9 dari 10 tidak pernah menggunakan APD seperti helm atau sarung tangan.
  • Kesadaran risiko sangat rendah, bahkan cedera kerja dianggap bagian dari keseharian.

Setelah Penyuluhan:

  • 10 dari 10 responden menyatakan memahami K3 dan pentingnya APD.
  • 9 dari 10 berkomitmen menggunakan APD saat bekerja.
  • Seluruh responden menunjukkan keinginan menerapkan prinsip K3 dalam pekerjaan mereka.

Materi Kunci yang Disampaikan:

  1. Definisi dan ruang lingkup K3 di bidang konstruksi
  2. Risiko umum yang dihadapi tukang batu dan tukang kayu
  3. Jenis alat pelindung diri dan cara penggunaannya
  4. Tanggung jawab pemberi kerja berdasarkan hukum Ketenagakerjaan
  5. Studi kasus kecelakaan kerja dan upaya pencegahan

Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:

  • Siapa yang bertanggung jawab menyediakan APD? → Pemberi kerja wajib menyediakannya.
  • Apa akibat jika tidak memakai APD? → Cedera serius bahkan kematian bisa terjadi.
  • Siapa bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan? → Pemberi kerja secara hukum bertanggung jawab.

Dampak Sosial dan Budaya

Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.

Analisis dan Refleksi

Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.

Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.

Rekomendasi Strategis

  1. Edukasi K3 harus masuk dalam skema pelatihan Dana Desa, agar pelaksanaan infrastruktur desa tidak hanya cepat, tapi juga aman.
  2. Pendekatan langsung dan interaktif terbukti efektif di daerah yang belum akrab dengan sistem pelatihan formal.
  3. Kepala desa, kontraktor, dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan aktif sebagai motor penggerak budaya K3.

Kesimpulan

Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.

Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.

Selengkapnya
Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

K3 Konstruksi

Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: K3 dalam Industri Kehutanan, Urgensi yang Terlupakan

Industri kehutanan adalah salah satu yang paling berisiko tinggi secara global, dan Swedia tidak terkecuali. Meski negara ini terkenal dengan sistem keselamatan kerja yang maju, nyatanya rata-rata 2–3 kematian kerja akibat aktivitas kehutanan masih terjadi setiap tahun—angka yang tinggi mengingat hanya 0,6% tenaga kerja nasional bekerja di sektor ini, namun menyumbang lebih dari 5% total kecelakaan kerja fatal.

Selain kecelakaan, sekitar 100 insiden serius yang menyebabkan cuti sakit tercatat tiap tahun, dan 34 di antaranya berasal dari aktivitas penebangan. Namun, banyak kasus diduga tidak dilaporkan, sehingga angka riil jauh lebih tinggi.

Artikel ini menginvestigasi bagaimana kontraktor kehutanan di Swedia mengelola Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), serta faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi implementasinya. Studi ini penting karena mencerminkan realita sistem K3 di sektor yang semakin didominasi oleh subkontraktor dan mekanisasi tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengkarakterisasi praktik manajemen K3 kontraktor kehutanan Swedia.
  • Mengidentifikasi perbedaan berdasarkan ukuran perusahaan, jenis layanan, lokasi geografis, dan margin keuntungan.
  • Menyoroti area praktik K3 yang masih jauh dari standar hukum dan sertifikasi.

Metodologi: Survei Skala Nasional dan Analisis Multivariat

  • Sampel: 1200 perusahaan dengan berbagai tingkat profitabilitas.
  • Responden aktif: 267 perusahaan (22%).
  • Analisis: Statistik deskriptif, ANOVA, OPLS-DA, serta korelasi persepsi ekonomi dan implementasi K3.

Temuan Utama: Ukuran dan Lokasi Menentukan Kualitas K3

1. Perusahaan Besar Lebih Tertib K3

  • Perusahaan dengan omset > EUR 800.000 cenderung:
    • Menyediakan fasilitas staf seperti ruang hangat, air panas, dan tempat berganti pakaian.
    • Mempunyai panduan tertulis untuk pekerjaan berbahaya dan kerja sendiri.
    • Melakukan inspeksi keselamatan secara berkala dan menyediakan koordinat lokasi kerja via GPS.

2. Kesadaran Terhadap K3 Tidak Terkait Langsung dengan Keuntungan

  • Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat profitabilitas dan kepatuhan K3 formal.
  • Namun, perusahaan yang percaya bahwa K3 berdampak positif terhadap keuangan cenderung:
    • Lebih sering memberi pelatihan.
    • Lebih mendorong penggunaan alat pelindung diri (APD).
    • Lebih memperbarui rencana aksi K3.

3. Kesenjangan Geografis Signifikan

  • Kontraktor di utara Swedia lebih sering menyediakan:
    • Fasilitas staf lengkap.
    • Inspeksi rutin dan pelatihan K3.
  • Faktor seperti musim dingin ekstrem dan jarak lokasi kerja turut berpengaruh.

Studi Kasus: Statistik Fakta Menarik

  • 77% perusahaan memiliki panduan kerja sendirian, tapi 23% tidak sama sekali.
  • 48% tidak pernah melakukan inspeksi lokasi kerja dalam 12 bulan terakhir.
  • Hanya 42% memiliki rencana kerja K3 yang diperbarui.
  • 71% perusahaan tidak punya perwakilan keselamatan kerja, padahal diwajibkan untuk perusahaan >5 pekerja.
  • 45% perusahaan memberikan pelatihan tiap tahun, sementara 28% melakukannya lebih jarang dari dua tahun sekali.

Kendala Utama Implementasi K3

  • Kurangnya sumber daya, terutama pada perusahaan kecil.
  • Persepsi negatif terhadap biaya K3, meski bukti menyebutkan bahwa kecelakaan jauh lebih mahal dalam jangka panjang.
  • Ketergantungan pada pekerja musiman dan asing, terutama pada kontraktor silvikultur.
  • Perbedaan interpretasi standar, misalnya fasilitas staf kadang dianggap sama dengan tempat tinggal musiman, padahal berbeda secara fungsional dan legal.

Analisis & Opini: Sistemik, Bukan Sekadar Individu

Studi ini membuktikan bahwa implementasi K3 lebih dipengaruhi oleh ukuran dan sikap perusahaan dibanding kemampuan finansialnya. Ini menunjukkan bahwa persepsi dan budaya organisasi lebih penting daripada sekadar profitabilitas.

Kesenjangan antara regulasi hukum (AFS 2001:1) dan implementasi lapangan perlu ditangani melalui:

  • Edukasi berbasis risiko.
  • Pendekatan personal dan partisipatif.
  • Insentif fiskal atau pembebasan pajak atas investasi K3.

Rekomendasi Strategis

  1. Kampanye penyadaran ekonomi K3 kepada pelaku industri kecil dan menengah.
  2. Standardisasi fasilitas staf dan pengawasan berbasis wilayah, mengingat kesenjangan utara-selatan.
  3. Pemutakhiran panduan kerja berbahaya dan kerja sendiri sebagai keharusan tahunan.
  4. Peningkatan partisipasi pekerja dalam proses K3, termasuk pelatihan dan pemilihan perwakilan.
  5. Penguatan kerjasama antara kontraktor dan pemilik hutan sebagai pemangku kepentingan utama.

Kesimpulan

Penelitian ini mengungkap bahwa praktik K3 di industri kehutanan Swedia masih jauh dari ideal, terutama pada level kontraktor kecil dan sedang. Ukuran perusahaan dan persepsi terhadap nilai K3 menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi, bukan profitabilitas semata.

Untuk mencapai kondisi kerja yang aman dan sehat, diperlukan pendekatan sistemik, dukungan kebijakan, dan keterlibatan aktif semua pelaku industri. Jika tidak, maka risiko cedera dan kematian akan terus menghantui sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan Swedia.

Sumber : Kronholm, T., Olsson, R., Thyrel, M., & Häggström, C. (2024). Characterization of Swedish Forestry Contractors’ Practices Regarding Occupational Safety and Health Management. Forests, 15(3), 545. https://doi.org/10.3390/f15030545

Selengkapnya
Mengupas Praktik K3 Perusahaan Kehutanan Swedia: Tantangan, Fakta, dan Solusi Sistematis
« First Previous page 222 of 1.287 Next Last »