Pendahuluan: Ironi Lingkungan dalam Industri Konstruksi
Industri konstruksi adalah salah satu kontributor terbesar terhadap kerusakan lingkungan global. Menurut UNEP (2016), sektor ini menyumbang sekitar 40% limbah, 30% emisi gas rumah kaca terkait energi, 12% penggunaan air, dan 4% penggunaan energi total dunia. Meski demikian, adopsi strategi ramah lingkungan dalam praktik konstruksi berlangsung sangat lambat.
Penelitian oleh Isaksson dan Linderoth ini menggali mengapa transisi ke arah konstruksi yang lebih berkelanjutan belum berjalan efektif di Swedia, negara yang dikenal progresif dalam kebijakan lingkungannya. Fokus utamanya adalah pada tiga faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan konstruksi: biaya, struktur kelembagaan, dan informasi.
Tujuan dan Metode Penelitian
Studi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Apa faktor paling menentukan yang memengaruhi keputusan adopsi pertimbangan lingkungan dalam industri konstruksi?
Untuk menjawabnya, penulis menggabungkan:
- 17 wawancara semi-terstruktur dengan pimpinan dan manajer konstruksi.
- Pengamatan langsung selama 80 jam pada proyek publik senilai €50 juta.
- Survei kepada 1049 pengambil keputusan, dengan 297 responden aktif.
Metode ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (berbasis kuesioner) dan kualitatif (kasus mendalam), mengikuti kerangka Theory of Planned Behaviour dan Reasoned Action untuk mengukur persepsi perilaku.
Temuan Kunci: Realitas Keputusan Lingkungan di Lapangan
1. Biaya dan Kualitas Masih Dominan
- Dalam pemilihan bahan dan produk, faktor biaya langsung dan kualitas adalah yang paling menentukan (mean >4,35 dari skala 6).
- Dampak lingkungan justru berada di peringkat ke-5.
- Untuk metode produksi, biaya kembali menjadi faktor dominan (mean = 4,97), mengungguli kualitas dan lingkungan.
2. Pertimbangan Lingkungan Dianggap Penting, Tapi Tidak Dominan
- Responden secara umum mengakui pentingnya lingkungan, tapi tidak menjadikannya prioritas dalam keputusan nyata.
- Hanya sebagian kecil yang percaya bahwa pertimbangan lingkungan menurunkan biaya (mean = 2,5) atau meningkatkan kualitas.
3. Kurangnya Informasi adalah Hambatan Terbesar
- Kurangnya pengetahuan dan informasi menjadi hambatan utama dalam mengadopsi pertimbangan lingkungan (mean = 2,91).
- Ini menunjukkan bahwa meskipun isu lingkungan dikenal, akses terhadap data, pelatihan, dan tools masih sangat kurang.
4. Kondisi Kelembagaan Tidak Mendukung
- Sistem tender di Swedia masih berbasis harga terendah, bukan nilai jangka panjang.
- Hal ini membuat kontraktor enggan memasukkan fitur ramah lingkungan yang bisa membuat harga penawaran naik.
- Kontrak tipe partnering, di mana klien dan kontraktor berbagi keputusan dan insentif, lebih mendukung pendekatan holistik.
Studi Kasus: Proyek Arena Multiaktivitas di Swedia
Studi lapangan dilakukan pada proyek rekonstruksi arena publik senilai €50 juta selama dua tahun. Proyek ini mencakup pembangunan kolam renang, arena olahraga, gym, dan bowling.
Fakta menarik dari lapangan:
- Mayoritas fokus lingkungan perusahaan masih terbatas pada pengelolaan bahan kimia dan limbah.
- Perusahaan mendorong pembelian bahan dari luar negeri demi efisiensi biaya, meskipun ini meningkatkan jejak karbon melalui transportasi.
- Perusahaan memiliki insentif kuat untuk menekan biaya demi menarik investor, menyebabkan aspek keberlanjutan dikesampingkan.
Implikasi dan Analisis Tambahan
- Tumpang Tindih Antara Biaya dan Lingkungan
- Biaya dianggap utama, tapi sebagian besar tidak meyakini bahwa strategi hijau akan menurunkan biaya.
- Hal ini memperkuat paradoks klasik “profit vs planet”.
- Pentingnya Peran Klien dan Kontrak
- Klien profesional berperan penting dalam mendorong standar lingkungan.
- Sistem tender yang mempertimbangkan biaya siklus hidup (life-cycle cost) lebih cocok daripada hanya fokus investasi awal.
- Lemahnya Demand dari Konsumen
- Rendahnya pemahaman atau permintaan dari pengguna akhir terhadap bangunan ramah lingkungan menyebabkan kontraktor tidak melihat urgensi dalam berinovasi hijau.
Rekomendasi Strategis
- Reformasi sistem tender agar mempertimbangkan biaya jangka panjang dan dampak lingkungan, bukan hanya harga awal.
- Peningkatan kapasitas informasi, termasuk training, data LCA, dan dokumentasi manfaat ekonomi jangka panjang dari desain hijau.
- Inisiatif dari klien institusional untuk menggunakan sertifikasi lingkungan seperti LEED/BREEAM sebagai standar minimum.
- Penguatan peran kontrak partnering untuk menciptakan proses kolaboratif dan berbagi risiko dalam desain dan implementasi bangunan hijau.
Kesimpulan: Strategi Hijau Perlu Disokong Sistem dan Informasi
Studi ini mengungkap bahwa meskipun kesadaran lingkungan meningkat, pengambilan keputusan dalam proyek konstruksi tetap dikendalikan oleh logika biaya dan struktur kelembagaan jangka pendek. Kesenjangan antara persepsi dan aksi nyata menciptakan hambatan sistemik dalam transisi menuju konstruksi berkelanjutan.
Informasi yang memadai dan sistem kontrak yang progresif adalah dua pilar penting untuk mengubah arah industri ini. Jika tidak, strategi hijau akan tetap jadi retorika tanpa realisasi.
Sumber : Isaksson, A., & Linderoth, H. (2018). Environmental considerations in the Swedish building and construction industry: the role of costs, institutional setting, and information. Journal of Housing and the Built Environment, 33(4), 615–632.