Pendidikan
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada adopsi teknologi yang meluas di institusi pendidikan sebagai respons terhadap kebutuhan akan pembelajaran jarak jauh, sebuah tren yang semakin diperkuat oleh disrupsi akibat COVID-19. Dalam konteks pengajaran bahasa, platform seperti Moodle menawarkan potensi untuk menciptakan lingkungan belajar yang interaktif, di mana guru dapat menyediakan beragam sumber daya instruksional—mulai dari video, materi tertulis, hingga rekaman audio—untuk mendorong kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah.
Namun, di luar potensi teoretisnya, masih terdapat kesenjangan dalam pemahaman empiris mengenai dampak nyata dari alat-alat ini terhadap dua hasil pembelajaran yang krusial: peningkatan kemahiran berbahasa dan pembentukan sikap positif mahasiswa. Dengan latar belakang ini, karya Qaddumi dan Smith bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan menyelidiki secara kuantitatif bagaimana implementasi Moodle mempengaruhi akuisisi bahasa Inggris dan sikap mahasiswa tingkat dua. Hipotesis utama yang secara implisit diuji adalah bahwa penggunaan latihan bahasa interaktif yang difasilitasi oleh Moodle akan menghasilkan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam perkembangan keterampilan berbahasa jika dibandingkan dengan metode pengajaran tradisional.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi desain penelitian quasi-eksperimental yang kuat, sebuah pendekatan yang sangat sesuai untuk lingkungan pendidikan di mana randomisasi penuh sering kali tidak memungkinkan. Desain ini melibatkan pembentukan dua kelompok: sebuah
kelompok eksperimental yang pembelajarannya didukung oleh Moodle, dan sebuah kelompok kontrol yang mengikuti metode pengajaran konvensional.
Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pra-tes dan pasca-tes (pre-test and post-test) dengan menggunakan dua instrumen yang dikembangkan secara khusus untuk penelitian ini:
Sebuah tes pengembangan bahasa yang terdiri dari 100 butir soal pilihan ganda, yang dirancang untuk mengukur berbagai aspek kemahiran berbahasa, termasuk keterampilan berbicara.
Sebuah kuesioner yang terdiri dari 25 butir soal, yang dibagi ke dalam empat bagian untuk merekam sikap mahasiswa terhadap pembelajaran bahasa.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan teori baru, melainkan pada aplikasi metodologisnya yang rigor untuk mengukur efektivitas sebuah intervensi teknologi. Dengan menggunakan desain quasi-eksperimental yang mencakup kelompok kontrol dan pengukuran sebelum-sesudah, penelitian ini berhasil melampaui laporan anekdotal dan menyajikan bukti empiris yang dapat diukur mengenai dampak Moodle dalam konteks pengajaran EFL.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kuantitatif menghasilkan temuan yang jelas dan signifikan secara statistik. Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa kelompok eksperimental yang menggunakan Moodle menunjukkan perkembangan yang lebih besar dalam keterampilan berbahasa Inggris dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Secara lebih spesifik, perbandingan nilai rata-rata (mean) antara hasil pra-tes dan pasca-tes menunjukkan bahwa kelompok eksperimental mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi. Temuan ini diperkuat oleh hasil uji statistik Wilks' Lambda, yang mengonfirmasi adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada pengukuran pasca-tes. Salah satu hasil yang paling menonjol adalah adanya korelasi yang kuat antara peningkatan kemahiran berbicara (speaking proficiency) mahasiswa dengan penggunaan Moodle oleh mereka.
Secara kontekstual, temuan ini memberikan validasi empiris yang kuat terhadap argumen bahwa latihan pembelajaran bahasa yang interaktif dan bermakna yang difasilitasi oleh LMS dapat secara efektif meningkatkan kinerja mahasiswa. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang juga menemukan dampak positif Moodle terhadap performa siswa, menegaskan bahwa platform digital, jika diimplementasikan dengan benar, dapat menjadi alat yang ampuh untuk akuisisi bahasa.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu ukuran sampel yang kecil. Ketergantungan pada sekelompok peserta yang terbatas dari satu konteks institusional tertentu mengharuskan adanya kehati-hatian dalam melakukan generalisasi temuan ke populasi yang lebih luas.
Sebagai refleksi kritis, meskipun tes pilihan ganda yang digunakan komprehensif, ia mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa dari keterampilan produktif seperti berbicara. Namun, temuan yang secara spesifik menyoroti peningkatan kemahiran berbicara menunjukkan bahwa aktivitas di Moodle kemungkinan besar berhasil menstimulasi aspek-aspek komunikatif yang kemudian tercermin dalam skor tes secara keseluruhan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan dari penelitian ini memiliki implikasi yang signifikan bagi para pendidik bahasa, pengembang kurikulum, dan pembuat kebijakan institusional. Hasil skor pasca-tes yang lebih tinggi pada kelompok eksperimental memberikan argumen berbasis bukti yang kuat untuk mengintegrasikan LMS seperti Moodle secara lebih mendalam ke dalam kurikulum pengajaran bahasa.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Ada kebutuhan yang jelas untuk studi replikasi dengan sampel yang lebih besar dan lebih beragam untuk menguji kekokohan temuan ini di berbagai konteks budaya dan institusional. Selain itu, penelitian selanjutnya dapat berfokus pada investigasi yang lebih mendalam mengenai jenis-jenis aktivitas interaktif spesifik di dalam Moodle yang paling berkontribusi terhadap peningkatan keterampilan berbahasa, sehingga memungkinkan para pendidik untuk merancang intervensi yang lebih bertarget dan efektif.
Sumber
Qaddumi, H. A., & Smith, M. (2024). Implementation of Learning Management Systems (Moodle): Effects on Students' Language Acquisition and Attitudes towards Learning English as a Foreign Language. Trends in Higher Education, 3, 260-272. https://doi.org/10.3390/higheredu3020016
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Industri konstruksi global berada di ambang disrupsi yang signifikan, didorong oleh kombinasi tekanan keberlanjutan, kelangkaan keterampilan, kemajuan teknologi material, dan digitalisasi. Di tengah transformasi ini, Metode Konstruksi Modern (Modern Methods of Construction - MMC)—terutama yang berbasis manufaktur di luar lokasi (off-site manufacturing)—muncul sebagai paradigma yang menjanjikan untuk mengatasi inefisiensi yang melekat pada rantai nilai konstruksi tradisional yang terfragmentasi. Namun, adopsi yang lebih luas dari pendekatan inovatif ini terhambat oleh sebuah tantangan fundamental: kurangnya personel yang terlatih dan terdidik dengan baik di seluruh rantai pasokan.
Laporan "Modern Methods of Construction: Defining MMC Business" ini secara spesifik mengkaji permasalahan tersebut dalam konteks industri konstruksi Irlandia. Dengan latar belakang meningkatnya permintaan akan solusi MMC yang didorong oleh klien yang lebih terinformasi dan dimungkinkan oleh teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan yang krusial. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi secara sistematis kesenjangan dalam penyediaan pelatihan dan pendidikan untuk keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor MMC, sebagaimana dipersepsikan oleh para pemangku kepentingan utama di industri konstruksi Irlandia.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi penelitian campuran (mixed-methods) yang kuat untuk membangun pemahaman yang komprehensif dan berbasis bukti. Pendekatan ini melibatkan dua cabang pengumpulan data primer:
Survei Kuantitatif: Sebuah survei disebarkan kepada para pemangku kepentingan utama di sektor konstruksi Irlandia untuk mengumpulkan pandangan mereka mengenai pentingnya MMC, dampaknya, dan kesenjangan keterampilan yang ada.
Wawancara Kualitatif: Wawancara mendalam dilakukan dengan perwakilan dari perusahaan-perusahaan manufaktur di luar lokasi yang berbasis di Irlandia untuk mendapatkan wawasan yang lebih kaya dan bernuansa mengenai kebutuhan industri saat ini.
Selain itu, penelitian ini juga mencakup tinjauan terhadap penawaran kursus yang ada di berbagai universitas dan perguruan tinggi di Irlandia untuk memetakan lanskap pendidikan saat ini terkait dengan MMC. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada sintesisnya yang pragmatis dan berorientasi pada solusi. Dengan secara langsung menghubungkan permintaan industri (yang diartikulasikan melalui survei dan wawancara) dengan pasokan pendidikan (yang dipetakan melalui tinjauan kurikulum), penelitian ini menghasilkan sebuah analisis kebutuhan (
needs analysis) yang spesifik konteks dan dapat ditindaklanjuti, yang berfungsi sebagai fondasi untuk rekomendasi kebijakan yang konkret.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan serangkaian temuan yang secara jelas melukiskan tantangan dan peluang dalam ekosistem keterampilan MMC di Irlandia.
Adanya Kesenjangan Keterampilan yang Signifikan: Temuan yang paling menonjol adalah konfirmasi empiris mengenai adanya kesenjangan keterampilan yang nyata. Ketika ditanya apakah Irlandia saat ini memiliki keterampilan kerja yang memadai untuk menerapkan MMC dengan sukses, mayoritas responden survei (53,8%) menyatakan tidak. Kesenjangan keterampilan ini secara konsisten muncul sebagai salah satu dari sepuluh hambatan utama dalam implementasi MMC, menegaskan bahwa masalah sumber daya manusia adalah isu sentral.
Sifat Keterampilan Hibrida yang Unik: Penelitian ini mengungkap bahwa kompetensi yang dibutuhkan untuk MMC bukanlah sekadar keterampilan konstruksi atau manufaktur tradisional, melainkan sebuah perpaduan unik dari keduanya. Keterampilan yang dibutuhkan merupakan campuran dari yang ditemukan dalam disiplin ilmu konstruksi, manufaktur, dan manajemen rantai pasokan. Hal ini menyiratkan bahwa model pelatihan silo yang ada saat ini tidak lagi memadai dan diperlukan pendekatan yang lebih interdisipliner.
Defisit dalam Lanskap Pendidikan Saat Ini: Tinjauan terhadap kurikulum yang ada di berbagai institusi pendidikan tinggi di Irlandia menunjukkan adanya defisit yang jelas. Sebagian besar program studi di bidang Arsitektur dan Teknik di berbagai tingkatan (NFQ Level 7, 8, dan 9) ditemukan tidak memiliki modul atau elemen kursus yang secara spesifik membahas MMC. Kesenjangan antara kebutuhan industri yang mendesak dan kurangnya penawaran pendidikan yang relevan ini menjadi akar masalah dari kelangkaan talenta.
Pergeseran Model Bisnis dan Kebutuhan Kolaborasi: Adopsi MMC menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis baru; ia juga mensyaratkan pergeseran dalam model bisnis dan praktik pengadaan. Rantai nilai tradisional yang terfragmentasi, di mana risiko sering kali dilimpahkan ke bawah, tidak sesuai dengan pendekatan MMC yang berbasis manufaktur. Diperlukan pendekatan yang lebih kolaboratif, model pembagian risiko yang baru, dan strategi pengadaan yang berbeda (misalnya, Keterlibatan Kontraktor Awal atau
Early Contractor Involvement) yang tidak sepenuhnya didukung oleh model kontrak tradisional.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang komprehensif, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, fokusnya yang eksklusif pada konteks Irlandia berarti bahwa temuan dan rekomendasi spesifiknya mungkin tidak dapat digeneralisasi secara langsung ke negara lain dengan struktur industri atau sistem pendidikan yang berbeda. Kedua, meskipun melibatkan berbagai pemangku kepentingan, ada potensi bias seleksi di mana responden survei dan wawancara mungkin adalah mereka yang sudah lebih proaktif dan sadar akan pentingnya MMC, sehingga perspektif dari perusahaan yang lebih resisten terhadap perubahan mungkin kurang terwakili.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan dan langsung. Laporan ini secara efektif berfungsi sebagai peta jalan bagi para pembuat kebijakan, institusi pendidikan, dan badan profesional di Irlandia. Rekomendasi utamanya jelas: perlu ada upaya terkoordinasi untuk mengembangkan kursus pelatihan dan pendidikan terkait MMC di semua tingkatan, mulai dari program magang hingga program pascasarjana (NFQ Level 4 hingga 9). Ini mencakup pembuatan kursus baru yang berfokus pada MMC, serta
integrasi modul-modul terkait MMC ke dalam kurikulum teknis yang sudah ada.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalur. Studi longitudinal dapat dilakukan untuk melacak dampak dari implementasi rekomendasi pendidikan ini terhadap tingkat adopsi MMC dan metrik produktivitas industri. Selain itu, penelitian komparatif yang menganalisis model pendidikan MMC yang berhasil di negara lain dapat memberikan wawasan berharga untuk mempercepat pengembangan kurikulum di Irlandia. Sebagai refleksi akhir, studi ini menegaskan bahwa realisasi penuh dari potensi MMC sangat bergantung pada investasi paralel dalam modal manusia; tanpa tenaga kerja yang terampil, inovasi teknologi secanggih apa pun akan tetap menjadi potensi yang tidak terpenuhi.
Sumber
Modern Methods of Construction: Defining MMC Business & Skills Requirements. (n.d.). Laporan berdasarkan survei dan wawancara dengan para pemangku kepentingan konstruksi di Irlandia.
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di era pasca-pandemi, pembelajaran daring telah bertransformasi dari sebuah alternatif menjadi komponen integral dalam ekosistem pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada pemahaman mendalam mengenai dinamika interaksi di ruang virtual. Karya Byung-Hak Leem yang berjudul, "Impact of interactivity on learning outcome in online learning settings," menyajikan sebuah investigasi kuantitatif yang cermat untuk menjawab pertanyaan fundamental: Bagaimana berbagai bentuk interaksi—antara siswa, fakultas, konten, dan sistem—secara nyata mempengaruhi pencapaian akademik?
Kerangka teoretis penelitian ini secara solid berlabuh pada dua model pedagogis yang telah mapan. Pertama, model Community of Inquiry (CoI), yang mengidentifikasi tiga elemen inti yang saling tumpang tindih—kehadiran kognitif, kehadiran sosial, dan kehadiran mengajar—sebagai fondasi untuk pembelajaran yang mendalam dan bermakna. Kedua, model interaksi yang diperluas dari Moore, yang mencakup empat jenis interaksi krusial: siswa-konten, siswa-pengajar, siswa-siswa, dan siswa-sistem (antarmuka teknologi). Dengan mengintegrasikan kedua kerangka ini, penulis merumuskan serangkaian hipotesis yang bertujuan untuk menguji secara empiris dampak positif dari interaksi siswa-konten (catatan dan video kuliah), interaksi siswa-fakultas (melalui messenger dan Zoom), dan interaksi siswa-platform LMS (tampilan halaman dan waktu tinggal) terhadap hasil belajar.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang canggih dengan menggunakan model logit ordinal. Pilihan metodologis ini sangat tepat karena variabel dependen—kinerja akademik siswa yang direpresentasikan dalam bentuk nilai (A, B, C, D, F)—bersifat kategorikal dan memiliki tingkatan yang terurut, sebuah karakteristik data yang tidak dapat dianalisis secara akurat menggunakan model regresi linear standar.
Sumber data utama berasal dari log data platform Learning Management System (LMS) CANVAS dari tiga mata kuliah daring di sebuah universitas di Korea selama semester musim semi 2022, dengan total sampel sebanyak 166 mahasiswa. Penggunaan data log web ini menjadi kebaruan utama dari penelitian ini. Alih-alih mengandalkan kuesioner atau wawancara yang bersifat subjektif, studi ini mengukur interaksi secara objektif melalui metrik digital seperti tingkat penyelesaian unduhan materi, jumlah pesan yang dipertukarkan, waktu yang dihabiskan dalam sesi Zoom, serta jumlah tampilan halaman dan total waktu tinggal di LMS. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih berbasis bukti mengenai perilaku aktual pembelajar.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data menggunakan model logit ordinal menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Secara umum, ditemukan bahwa interaksi siswa-konten, siswa-fakultas (melalui messenger), dan siswa-platform secara signifikan dan positif mempengaruhi hasil belajar.
Temuan yang paling menonjol adalah peringkat pengaruh dari berbagai atribut interaktivitas, yang diukur melalui nilai odds ratio:
Interaksi Siswa-Catatan Kuliah: Atribut ini menunjukkan pengaruh yang luar biasa besar, dengan odds ratio mencapai 45.898,8. Ini mengindikasikan bahwa keterlibatan aktif dengan materi kuliah tertulis adalah prediktor terkuat dari keberhasilan akademik.
Interaksi Siswa-Video Kuliah: Menempati peringkat kedua dengan odds ratio 99,4, menegaskan pentingnya konten multimedia yang dirancang dengan baik.
Interaksi Siswa-Platform (Tampilan Halaman): Dengan odds ratio 20,5, temuan ini menyoroti bahwa navigasi aktif dan eksplorasi di dalam LMS berkorelasi positif dengan kinerja.
Interaksi Siswa-Fakultas (Messenger): Komunikasi satu-ke-satu melalui pesan instan menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan odds ratio 5,9.
Interaksi Siswa-Platform (Waktu Tinggal): Total waktu yang dihabiskan di LMS juga menjadi faktor yang signifikan, dengan odds ratio 5,5.
Secara kontras, temuan yang juga sangat penting adalah bahwa interaksi siswa-fakultas melalui Zoom tidak ditemukan memiliki efek yang signifikan secara statistik terhadap hasil belajar. Temuan ini mengontekstualisasikan bahwa, dalam lingkungan pembelajaran daring, kualitas dan aksesibilitas konten asinkron (catatan dan video) serta kemudahan penggunaan platform LMS memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kinerja siswa dibandingkan dengan interaksi sinkron melalui konferensi video.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitiannya. Pertama, studi ini dilakukan hanya pada satu departemen di satu universitas, sehingga generalisasi temuannya ke konteks yang lebih luas harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, penelitian ini tidak berhasil menangkap data interaksi antar-siswa, karena mereka cenderung menggunakan platform komunikasi pribadi di luar LMS. Ketiga, analisis yang hanya didasarkan pada data log tidak dapat menangkap nuansa kualitatif dari interaksi; misalnya, ia mengukur kuantitas waktu yang dihabiskan, bukan kualitas dari keterlibatan kognitif selama waktu tersebut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan ini memberikan implikasi yang sangat kuat bagi universitas dan desainer instruksional. Pesan utamanya adalah bahwa investasi sumber daya harus diprioritaskan pada pengembangan konten pembelajaran asinkron yang berkualitas tinggi dan mudah diakses (baik teks maupun video) serta pada penyediaan platform LMS yang ramah pengguna dan andal. Ini terbukti lebih berdampak daripada sekadar menambah jumlah sesi sinkron.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi studi replikasi di berbagai institusi dan disiplin ilmu untuk menguji kekokohan temuan ini. Ada juga kebutuhan mendesak untuk mengembangkan metode guna menangkap dan menganalisis interaksi antar-siswa yang sering kali "tersembunyi". Terakhir, mengintegrasikan analisis data log kuantitatif dengan metode kualitatif (seperti wawancara atau analisis forum diskusi) dapat memberikan pemahaman yang lebih holistik mengenai bagaimana dan mengapa berbagai bentuk interaksi berkontribusi—atau gagal berkontribusi—terhadap pembelajaran yang bermakna.
Sumber
Leem, B.-H. (2023). Impact of interactivity on learning outcome in online learning settings: Ordinal logit model. International Journal of Engineering Business Management, 15, 1-10. DOI: 10.1177/18479790231203107
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada masalah praktis yang dihadapi oleh banyak institusi pendidikan dan organisasi di Nigeria dan sekitarnya: proliferasi platform LMS yang masif tanpa adanya studi komparatif yang jelas untuk memandu proses pengambilan keputusan. Penulis mengidentifikasi bahwa meskipun Nigeria menunjukkan kemajuan yang stabil dalam mengadopsi teknologi e-learning, banyak institusi masih kebingungan dalam memilih sistem yang paling sesuai dengan kebutuhan dan anggaran mereka. Kurangnya analisis teknis yang terperinci sering kali berujung pada implementasi yang suboptimal atau investasi yang tidak efisien.
Dengan latar belakang ini, kerangka teoretis studi ini adalah analisis teknis komparatif yang bertujuan untuk mengevaluasi fungsionalitas dari berbagai LMS yang umum digunakan. Hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa melalui perbandingan fitur yang sistematis, pola-pola kesamaan dan perbedaan yang signifikan dapat diidentifikasi, yang pada gilirannya dapat memberikan dasar yang kuat untuk rekomendasi strategis. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyajikan analisis komparatif yang luas dari sepuluh platform LMS terkemuka, menyelidiki fungsionalitasnya, dan memberikan rekomendasi berbasis bukti mengenai platform mana yang paling sesuai untuk diadopsi oleh institusi pendidikan tinggi, bisnis, dan organisasi.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif, dengan menggunakan tinjauan literatur, analisis data sekunder, dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data utama. Proses metodologisnya melibatkan analisis komparatif terhadap sepuluh platform LMS yang dipilih secara cermat: Moodle, Canvas, Docebo, Blackboard, Chamilo, Schoology, Sakai, TalentLMS, iSpring Learn, dan 360Learning.
Pengumpulan data dilakukan dengan menelaah dokumentasi teknis dan makalah penelitian yang ada, serta melakukan wawancara dengan pengguna untuk memahami persepsi mereka terhadap beberapa sistem LMS yang umum. Analisis data dilakukan menggunakan prosedur tematik untuk mengidentifikasi pola-pola yang konsisten dari data yang terkumpul. Platform-platform tersebut dievaluasi berdasarkan serangkaian kriteria yang komprehensif, mencakup alat keterampilan belajar, alat komunikasi, alat produktivitas, kegunaan, mobilitas, ketersediaan editor kursus, dukungan konferensi video, dan biaya.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada kontribusinya sebagai sebuah analisis teknis yang praktis dan berorientasi pada solusi. Dengan secara langsung membandingkan fitur-fitur dari berbagai platform terkemuka dan membingkainya dalam konteks kebutuhan institusi di Nigeria, penelitian ini berfungsi sebagai panduan pengambilan keputusan yang sangat dibutuhkan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis komparatif yang mendalam terhadap sepuluh platform LMS menghasilkan beberapa temuan kunci yang memberikan wawasan berharga.
Tingkat Kesamaan Fungsionalitas yang Tinggi: Temuan yang paling menonjol adalah bahwa lebih dari 85% dari LMS yang dianalisis menunjukkan kesamaan yang signifikan dalam hal fungsionalitas inti. Sebagian besar platform telah mendukung penggunaan elemen multimedia, pembuatan dan penyuntingan materi kursus, serta manajemen tugas dan latihan.
Dominasi Platform Sumber Terbuka (Open Source): Sebuah observasi menarik adalah bahwa mayoritas dari sistem yang dipelajari, seperti Moodle, Chamilo, Sakai, dan Canvas, bersifat open source. Hal ini menunjukkan adanya tren kuat menuju platform yang menawarkan fleksibilitas dan kustomisasi tanpa biaya lisensi awal yang tinggi, yang sangat relevan bagi institusi dengan anggaran terbatas.
Kesenjangan dalam Fitur Komunikasi: Meskipun fungsionalitas inti cenderung seragam, ditemukan adanya kesenjangan pada fitur komunikasi. Hanya 75% dari sistem yang diteliti yang menyediakan dukungan obrolan (chat) dan hanya 68% yang memiliki dukungan forum. Kurangnya fitur komunikasi sinkron dan asinkron yang terintegrasi ini sering kali memaksa pengguna untuk beralih ke platform eksternal (misalnya, media sosial), yang bertentangan dengan konsep lingkungan belajar terpadu.
Rekomendasi Berbasis Peringkat: Berdasarkan evaluasi komprehensif terhadap 40 fitur dan persyaratan teknis, penelitian ini menyimpulkan bahwa Blackboard merupakan pilihan terbaik secara keseluruhan, terutama bagi organisasi dengan anggaran yang lebih besar yang menginginkan solusi lengkap dan kaya fitur. Di sisi lain, Moodle direkomendasikan sebagai platform open source terbaik, menawarkan fungsionalitas yang luas, antarmuka pengguna yang baik, dan standar keamanan yang solid tanpa biaya lisensi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang komprehensif, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, sebagai studi kualitatif yang mengandalkan data sekunder dan sampel wawancara bertujuan (purposive samples), generalisasi temuannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, analisis yang berfokus pada fitur teknis mungkin tidak sepenuhnya menangkap aspek-aspek non-fungsional yang sama pentingnya, seperti kualitas dukungan pelanggan, kemudahan penggunaan dalam jangka panjang, atau efektivitas pedagogis dari setiap platform.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat langsung: ia menyediakan sebuah kerangka kerja berbasis bukti bagi para pengambil keputusan di institusi pendidikan Nigeria untuk menavigasi pasar LMS yang ramai dan memilih platform yang paling sesuai dengan tujuan strategis dan kendala sumber daya mereka.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi studi-studi yang lebih berfokus pada pengguna. Diperlukan penelitian empiris yang lebih mendalam di konteks Nigeria untuk mengevaluasi pengalaman pengguna (user experience), dampak pedagogis, dan total biaya kepemilikan (Total Cost of Ownership - TCO) dari platform-platform yang direkomendasikan. Studi longitudinal yang melacak dampak implementasi LMS tertentu terhadap hasil belajar siswa dan efisiensi administratif akan menjadi kontribusi yang sangat berharga.
Sumber
Onwodi, G. O., & Ibrahim, G. F. (n.d.). Technical Analysis of Learning Management Systems Towards Improving System Functionality. Faculty of Sciences, National Open University Nigeria, Abuja.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Pembengkakan biaya (cost overruns) merupakan sebuah penyakit kronis dalam industri konstruksi yang sering kali menjadi penentu utama kegagalan sebuah proyek. Karya Calvin Limantoro, Andi, dan Jani Rahardjo yang berjudul, "Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia," secara sistematis berupaya membongkar kompleksitas di balik fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa faktor-faktor penyebab pembengkakan biaya sering kali bersifat kualitatif dan saling terkait, sehingga pendekatan yang hanya membuat daftar penyebab tanpa memahami hubungan sebab-akibat di antara mereka menjadi tidak efektif untuk mitigasi.
Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas sintesis literatur yang cermat, di mana penulis mengidentifikasi dan memilih lima belas faktor utama penyebab cost overruns yang paling sering muncul dalam studi-studi sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk menemukan faktor-faktor baru, melainkan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan yang lebih krusial: memetakan struktur hierarkis dan hubungan kausal antar faktor-faktor tersebut dalam konteks spesifik industri konstruksi di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang merupakan akar masalah fundamental dan mana yang hanya merupakan gejala, sehingga upaya pencegahan dapat difokuskan pada titik-titik dengan daya ungkit tertinggi.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi hibrida yang canggih, mengintegrasikan dua teknik pengambilan keputusan multikriteria (Multi-Criteria Decision-Making - MCDM), yaitu Interpretive Structural Modeling (ISM) dan Decision-making Trial and Evaluation Laboratory (DEMATEL). Pendekatan ini memungkinkan analisis yang melampaui sekadar identifikasi faktor untuk memodelkan interaksi dinamis di antara mereka.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei kuesioner perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang disebar kepada delapan orang responden yang dikategorikan sebagai ahli di bidang konstruksi, dengan kriteria utama memiliki pengalaman sebagai manajer proyek. Proses analisis data sangat terstruktur:
Metode DEMATEL digunakan untuk mengkuantifikasi kekuatan pengaruh antar faktor, menghasilkan matriks hubungan total (Total-Relation Matrix) dan mengklasifikasikan faktor sebagai penyebab (dispatcher) atau akibat (receiver).
Hasil dari DEMATEL kemudian diubah menjadi masukan untuk metode ISM, yang digunakan untuk membangun model struktur hierarkis yang memvisualisasikan hubungan antar faktor ke dalam beberapa tingkatan, dari akar masalah yang paling dasar hingga dampak yang paling permukaan.
Kebaruan dari karya ini terletak pada aplikasi metodologisnya yang rigor untuk konteks Indonesia. Dengan menggabungkan ISM dan DEMATEL, penelitian ini berhasil mengubah daftar faktor kualitatif yang tidak terstruktur menjadi sebuah model kausal yang dapat ditindaklanjuti, memberikan sebuah peta sistemik dari permasalahan cost overruns.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan sebuah model hierarkis empat tingkat yang secara jelas memetakan hubungan sebab-akibat dari kelima belas faktor cost overruns.
Pada level paling dasar (Level 4), penelitian ini mengidentifikasi Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6) sebagai akar masalah yang paling fundamental. Ini adalah pendorong utama yang mempengaruhi semua faktor lain dalam sistem.
Pada Level 3, terdapat dua faktor yang dipengaruhi oleh keterbatasan SDM namun menjadi penyebab bagi level di atasnya, yaitu Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7) dan Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8).
Pada Level 2, terdapat faktor-faktor yang lebih bersifat perantara, seperti Perencanaan dan Estimasi Pekerjaan yang Buruk (F1), Harga Material yang Berubah-ubah (F3), dan Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu (F14).
Pada Level 1, terdapat sembilan faktor yang merupakan dampak atau gejala paling permukaan dari masalah di level-level yang lebih dalam. Faktor-faktor ini termasuk Keterlambatan Pekerjaan (F5), Perubahan Desain (F2), Kontrak yang Tidak Menguntungkan (F12), dan Kualitas Pekerjaan yang Buruk (F15).
Analisis DEMATEL lebih lanjut mengonfirmasi temuan ini. Ketika kedua metode disintesis, tiga faktor secara konsisten muncul sebagai akar masalah utama dengan daya penggerak (driving power) tertinggi dan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah:
Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6)
Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7)
Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8)
Secara kontekstual, temuan ini sangat signifikan. Ia menunjukkan bahwa masalah-masalah yang sering terlihat di permukaan seperti keterlambatan atau perubahan desain sering kali hanyalah gejala dari masalah yang lebih fundamental di tingkat kapabilitas SDM, integritas manajemen, dan praktik etis perusahaan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara eksplisit mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu ketergantungan pada penilaian subjektif dari sekelompok kecil ahli (delapan responden). Meskipun umum dalam studi ISM/DEMATEL, hal ini berarti bahwa model yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan bias dari para ahli yang berpartisipasi.
Sebagai refleksi kritis, meskipun model ini memberikan wawasan kausal yang mendalam, ia tidak dapat digeneralisasi secara statistik ke seluruh industri konstruksi Indonesia. Validitasnya bergantung sepenuhnya pada keahlian dan representativitas dari panel ahli yang dipilih.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat kuat. Model hierarkis yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai kerangka kerja strategis bagi para manajer proyek dan pemilik perusahaan. Alih-alih memadamkan "kebakaran" di Level 1 (misalnya, mengatasi keterlambatan dengan kerja lembur), mereka dapat memfokuskan sumber daya dan upaya perbaikan pada tiga akar masalah di Level 3 dan 4. Mengatasi masalah keterbatasan SDM melalui pelatihan, memperbaiki sistem manajemen kontraktor, dan memperkuat kontrol internal untuk mencegah kecurangan akan memberikan dampak sistemik yang jauh lebih besar dalam mencegah cost overruns.
Untuk penelitian di masa depan, penulis secara tepat merekomendasikan perlunya validasi lebih lanjut menggunakan metode statistik seperti Structural Equation Modeling (SEM) dengan sampel yang lebih besar. Hal ini akan memungkinkan pengujian hipotesis hubungan kausal yang diidentifikasi dalam model ini secara kuantitatif, sehingga meningkatkan validitas dan generalisasi temuan.
Sumber
Limantoro, C., Andi, & Rahardjo, J. (2023). Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Dimensi Utama Teknik Sipil, 10(1), 20-37. DOI: 10.9744/duts.10.1.20-37
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah kompleksitas industri Arsitektur, Rekayasa, dan Konstruksi (AEC), kolaborasi lintas batas pengetahuan antar pemangku kepentingan menjadi kunci sekaligus tantangan utama. Tesis doktoral karya Jing Wang yang berjudul, "Exploring Digital Collaboration across Knowledge Boundaries: A Case Study of the BIM-Enabled Construction Project," secara mendalam menginvestigasi fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa studi-studi yang ada sering kali berfokus pada peran
teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM) sebagai mediator praktik kolaboratif individu, namun cenderung mengabaikan pemahaman holistik mengenai kondisi kontekstual—seperti dimensi organisasi dan budaya—yang membentuk keseluruhan proses kolaborasi tersebut.
Dengan berlandaskan pada pendekatan berbasis praktik (practice-based approach), penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengeksplorasi bagaimana kolaborasi terjadi melintasi batas-batas pengetahuan dalam proyek konstruksi yang didukung BIM dari berbagai tingkatan. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa kolaborasi digital bukanlah sekadar interaksi teknis, melainkan sebuah fenomena sosio-teknis yang kompleks, di mana implementasi dan penggunaan BIM secara dinamis dibentuk oleh dan sekaligus membentuk kembali aktivitas kolaboratif dari waktu ke waktu. Tesis ini secara spesifik bertujuan untuk menjawab bagaimana aktivitas kolaboratif diorganisir, bagaimana BIM diimplementasikan dan digunakan untuk mendukung aktivitas tersebut, dan bagaimana pengaturan aktivitas tersebut membentuk penggunaan BIM.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif, interpretif, dan tertanam (embedded case study) yang kuat. Kasus yang dipilih adalah sebuah proyek konstruksi yang didukung oleh teknologi BIM, dengan unit analisis tertanam yang mencakup empat pemangku kepentingan utama: organisasi pemilik, organisasi desain, organisasi konstruksi, dan organisasi sub-kontraktor. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang mendalam dan multi-perspektif.
Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi sumber, dengan wawancara semi-terstruktur sebagai metode utama, yang didukung oleh observasi lapangan dan analisis dokumen.
Analisis data dilakukan menggunakan analisis tematik refleksif pada tiga tingkatan yang berbeda: (1) penggunaan BIM sehari-hari oleh individu untuk kolaborasi lintas batas, (2) implementasi strategis BIM di tingkat organisasi, dan (3) praktik dan pengalaman yang situasional di tingkat proyek.
Kebaruan dari karya ini terletak pada desain penelitian kualitatifnya yang inovatif. Dengan menerapkan Teori Aktivitas (Activity Theory) dan melakukan analisis multi-level, tesis ini berhasil melampaui analisis satu tingkat yang dominan dalam literatur. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk "membongkar kotak hitam" BIM, merinci peran-perannya yang berevolusi dalam praktik individu, strategi inovasi organisasi, dan kolaborasi berbasis siklus hidup proyek, serta mengungkap sifat temporal dan permeabel dari konteks kolaborasi BIM.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis multi-level yang cermat menghasilkan tiga dimensi temuan utama yang saling terkait, yang melukiskan gambaran komprehensif mengenai kolaborasi lintas batas yang didukung BIM.
Konfigurasi Aktivitas Kolaboratif: Ditemukan bahwa aktivitas kolaboratif tidak ditentukan secara kaku, melainkan dikonfigurasi bersama (co-configured) oleh berbagai faktor di berbagai tingkatan. Di tingkat individu, motivasi pribadi dan hubungan kerja menjadi pendorong utama. Di tingkat organisasi, strategi inovasi digital perusahaan secara signifikan mempengaruhi bagaimana kolaborasi didorong dan difasilitasi. Sementara itu, di tingkat proyek, kebutuhan kolaborasi yang situasional dan berbasis tugas menjadi penentu praktik di lapangan.
Peran Multifaset Teknologi BIM: Penelitian ini mengungkap bahwa peran BIM tidaklah statis, melainkan berkembang seiring waktu dan konteks. Awalnya, BIM berfungsi sebagai alat yang memungkinkan praktik individu menjadi lebih efisien. Seiring berjalannya waktu, perannya meluas hingga mempengaruhi proses transformasi digital di tingkat organisasi secara keseluruhan. Pada akhirnya, persepsi terhadap BIM bahkan dapat mengubah tujuan proyek itu sendiri, di mana pemanfaatan BIM yang efektif menjadi salah satu tolok ukur kualitas dan keberhasilan.
Kondisi Kontekstual Kolaborasi BIM: Konteks di mana kolaborasi BIM terjadi ditemukan bersifat temporal dan dinamis. Temuan menunjukkan adanya perubahan dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh tiga pola utama: (a) pola penggunaan BIM yang berpusat pada artefak digital (misalnya, model 3D, laporan deteksi konflik), (b) adopsi strategis BIM yang didorong oleh inovasi digital di tingkat perusahaan, dan (c) manajemen proyek berbasis tahapan yang menentukan jenis dan intensitas kolaborasi yang dibutuhkan pada setiap fase siklus hidup proyek. Temuan ini menegaskan bahwa konteks bukanlah latar belakang yang pasif, melainkan sebuah arena aktif yang membentuk dan dibentuk oleh praktik kolaboratif.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi kasus tunggal, keterbatasan utama dari penelitian ini adalah generalisasi temuannya ke konteks proyek atau budaya industri yang lain. Meskipun pendekatan kualitatif memberikan kedalaman yang luar biasa, ia tidak dapat menghasilkan klaim statistik yang luas. Selain itu, fokus pada satu proyek yang berhasil mengadopsi BIM mungkin tidak sepenuhnya menangkap tantangan dan kegagalan yang dialami dalam proyek-proyek lain yang kurang berhasil.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, tesis ini memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para praktisi mengenai bagaimana strategi inovasi digital organisasi dan tujuan manajemen proyek berpadu dengan praktik berbasis BIM untuk membentuk kolaborasi yang efektif. Ini memberikan wawasan berharga untuk merancang intervensi dan pelatihan yang lebih baik.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini meletakkan fondasi yang kuat. Ada kebutuhan untuk studi komparatif yang menerapkan kerangka kerja multi-level ini pada berbagai jenis proyek (misalnya, proyek dengan tingkat kematangan BIM yang berbeda atau di negara yang berbeda) untuk menguji kekokohan model yang dihasilkan. Penelitian lebih lanjut juga dapat mengeksplorasi secara lebih mendalam dinamika kekuasaan dan negosiasi yang terjadi dalam kolaborasi digital, terutama terkait dengan kontrak dan kepemilikan data. Sebagai reflesi akhir, tesis ini memberikan kontribusi signifikan dengan menggeser fokus dari sekadar "apa" yang dilakukan teknologi, menjadi "bagaimana" kolaborasi digital secara dinamis terwujud dalam jaringan praktik yang kompleks.
Sumber
Wang, J. (2023). Exploring Digital Collaboration across Knowledge Boundaries: A Case Study of the BIM-Enabled Construction Project. Doctoral Thesis, The University of Sheffield.